//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dukkha “Bukan” Penderitaan  (Read 15426 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 17 November 2017, 10:01:00 AM »
Karena Dhammacitta belum menerima karya saya, yang berjudul "Jalur Nibbana" (sekitar 60-an halaman), yang poin utamanya membahas perbedaan kenikmatan jasmaniah dan batiniah hingga Nibbana, diakhiri dengan makna dari syair Yang Mulia Buddhaghosa thera. Saya akan publikasikan "potongan" Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan, yang saya tulis. Silakan dibaca, terimakasih.

Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan

1. Pengertian dukkha
Melihat judul bab di atas, mungkin saja dahi akan mengerut. Kemudian bagi yang tertarik pada judul buku ini, akan tertarik untuk segera membahas Nibbāna, “Nibbāna, Nibbāna.” Jangan khawatir, Anda pasti akan mendapatkan gambaran seperti apa Nibbāna, tentu saja Nibbāna, adalah di luar jangkauan. Karena Nibbāna untuk dialami, seperti halnya ketika seseorang memakan suatu makanan kemudian orang yang belum pernah memakan makanan itu, ingin mengetahui rasa makanan tersebut, bertanya, “Bagaimanakah, Tuan, rasa dari makanan ini (atau makanan itu)?” Ia pun menjawab rasa makanan ini adalah seperti makanan ini atau seperti rasa itu. Meskipun begitu, bagi yang belum pernah mencoba makanan tersebut maka ia tetap tidak akan mengetahui rasanya sebelum mencobanya, hanya gambaran yang akan ia dapatkan walaupun telah diberitahu. Karena, makanan yang belum pernah dimakan, tidak akan ada kesan yang didapat. Demikianlah Nibbāna, hanya gambaran yang bisa diberikan, untuk mengetahui “rasanya” maka ia harus mengalaminya (merealisasikan). Oleh karena itu, saya akan membahas mengenai gambaran Nibbāna, sesuai judul, yaitu “jalur”, dan hal-hal yang berkaitan lainnya.
 
Namun, ada PR penting yang selama ini belum diselesaikan dengan baik. Saya tidak bermaksud sedikit pun untuk menyinggung ataupun untuk menjatuhkan pihak manapun, melainkan untuk meluruskan apa yang keliru, dengan argumen dan logika yang saya berikan. Seperti pendapat-ilmuwan yang keliru kemudian diluruskan dengan “pembuktian” oleh si pembantah (ilmuan bijak lainnya). Namun, sekali lagi, saya hanya bermaksud untuk meluruskan apa yang keliru. Karena bagaimanapun, menulis atau menerjemahkan sebuah isi buku (baik kata maupun kalimat) pastinya bukan hal yang mudah, terutama perbedaan gaya berbahasa dan budaya. Bahkan editor dan tim terkait pasti terlibat di belakang layar dalam penulisan sebuah buku/karya, terutama karya besar.

“Menilai sesuatu itu mudah,
Namun membuat suatu hal yang baik itu susah,
Susah tidak berarti tidak bisa atau payah,
Melainkan diperlukan usaha, penuh.

“Mengkritik, memberi saran, tanpa alasan yang berfaedah,
Tidak-tahu menilai juga mencari masalah,
Kritik dan saran tersebut mirip seperti sampah,
Mengkritik, memberi saran, sesuai hal yang ia anggap salah,
Tahu menilai, tahu waktu, tahu arah,
Hal yang kurang benar ia perindah,
Bagaikan ilmuan-bijak membantah,
Apa yang keliru sebagai hal yang perlu dibenah.” (Syair Gwi).

Mari kita mulai membahas dukkha “bukan” penderitaan. Berdasarkan terjemahan-terjemahan yang melebar di kalangan Buddhis, dukkha artinya penderitaan? Apa ada yang salah? Benar. Karena itulah, saya akan membahasnya di sini. Mungkin beberapa pengikut Buddhis akan mengatakan saya menentang Ajaran Buddha, akan tetapi, saya hanya meluruskan “terjemahan” yang keliru, bukan “Ajaran”. (Karena saya pengikut setia, yang tidak mungkin melihat ada makhluk manapun yang dengannya dapat mencela Ajaran Buddha secara benar.) Ketika terjemahannya keliru maka makna dari Ajaran Buddha akan melebar ke sana sini. Jika terjemahannya benar maka maknanya sesuai apa adanya. Dengan begitu, makna yang ada pada terjemahan akan sama dengan yang orisinil. Seperti kue yang dipopulerkan oleh si A dan si B mengikuti resep itu kemudian menghasilkan rasa yang persis dengan yang dibuat si A, dst.

Kata dukkha sangat mudah didapatkan di dunia gamer, terutama pada game fantasy. Para gamer mungkin akan sangat suka dengan pembahasan ini. Beberapa mungkin akan mulai kebingungan ketika saya langsung memulai dengan mengatakan dukkha = pengalaman (experience). Benarkah demikian? Bagaimana mungkin dukkha dapat diartikan dengan pengalaman? Bukankah dua garpu yang saling menindih dengan bantuan setengah (panjang) tusuk gigi dapat melayang? Kita abaikan makna implisit ini. Mari kita telusuri arti dari “pengalaman”.

Di wikipedia tertulis: “Pengalaman ialah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan.”

Pengetahuan memungkinkah untuk memunculkan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan maka Nibbāna memungkinkan dapat ditemukan. Berdasarkan pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengalaman memiliki sinonim (persamaan kata) dengan “suka duka”. Suka duka adalah kesenangan dan kesakitan yang muncul silih berganti sesuai kondisi keadaan. Ketika seseorang bermain game, kata “pengalaman” sangat mudah didapatkan bahkan dikenali hampir semua pemain (game), yang dalam bahasa inggrisnya: pengalaman disebut experience.

Pengalaman mencakup hal yang positif, negatif, dan netral. Kesemua ini dapat dirasakan melalui apa, dikondisikan oleh apa? Oleh dukkha = pengalaman. Pengalaman (dukkha) memiliki persamaan kata dengan suka duka. Atau dengan kata lain, suka duka dan pengalaman adalah hal yang sama. Karena, pada suka-duka mencakup banyak hal, dari yang positif, negatif, dan netral, demikian pula dengan pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman dan suka-duka bukan hanya mirip, tetapi memang sama (sinonim). Sinonim ini juga sesuai dan tepat dengan KBBI.

Pengalaman terjadi karena ia pernah mengalami jatuh bangun. Orang bisa sukses karena ia berpengalaman, pernah jatuh bangun, pernah mengalami suka duka kemudian mencari atau mendapatkan jalan keluar. Dengan pengalaman yang pernah terjadi maka orang sukses demikian akan menjadi sulit dijatuhkan. Karena, ia sudah pengalaman. Demikianlah Sang Buddha mengajarkan pengalaman, agar murid-murid-Nya memiliki pengalaman melalui suka-duka yang ada. Jangan terpancing dengan kegagalan atau keberhasilan-sementara namun tetap berjuang hingga memiliki pengalamanya yang kuat. Jangan pula terjebak dalam pengalaman, tetapi mencari jalan keluarnya.

2. Analisis dukkha adalah pengalaman (sinonim = suka duka)

Mungkin kursi sudah panas atau akan, tetapi pikiran harus tetap hangat. Untuk menguatkan pendapat-saya maka saya akan menjelaskannya dengan contoh kalimat yang ada, bahwa dukkha adalah pengalaman (bahasa Inggris: experience).

I. A. Kasus pertama–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Sang Buddha mengajarkan dukkha = penderitaan?
2. Sang Buddha mengajarkan dukkha = pengalaman (suka duka)

I. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Kenyataannya Sang Buddha mengajarkan Nibbāna sebagai puncak Ajaran. Nibbāna sepenuhnya bahagia, itulah yang dikatakan (faktanya). Bahkan Sang Buddha mengajarkan meditasi yang menghasilkan kegiuran (pīti), sukacita (sukha), keseimbangan batin (uppekha) hingga puncaknya, yaitu kebahagiaan sejati (Nibbāna). Memang ada beragam penderitaan di dunia ini namun jika Sang Buddha dikatakan mengajarkan penderitaan maka ini saling bertentangan, bukan saling berhubungan.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
Pengalaman mewakili apa yang ada di dunia ini, yaitu “suka” merupakan titik awal yang menuju pada kesenangan dan “duka” merupakan titik awal yang menuju pada penderitaan. Namun, kedua ini muncul tumpang tindih, dan inilah yang diketahui Sang Buddha, dan Beliau memunculkan Jalan Tengah, jalan menuju kebahagiaan, tanpa suka atau duka yang menyertai, dengan mencapai puncak pengalaman.
Sang Buddha mengajarkan “pengalaman (experience)”, agar murid-Nya dapat naik level menjadi Arahat (level 100/puncak). Seperti halnya jika level di game (permainan), sudah mencapai puncak maka tidak akan naik level lagi, demikianlah ketika menjadi Arahat maka tidak perlu lagi menambah apa pun. Musuh tidak berarti lagi, suka-duka tidak berarti lagi, pengalaman sudah sempurna.
Dengan demikian, arti dukkha adalah pengalaman. Kita akan membahas lebih lanjut lagi hingga ke puncaknya.

I. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: Sang Buddha mengajarkan “dukkha” = Sang Buddha mengajarkan pengalaman.

II. A. Kasus ke dua–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Hidup adalah penderitaan, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
2. Hidup adalah pengalaman, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.

II. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
(a) Hidup adalah penderitaan: mereka yang telah merealisasikan Nibbāna, dikatakan telah bahagia (batin selalu bahagia) walaupun secara jasmani bisa sakit akibat cuaca atau kondisi tubuh. Orang mulia demikian adalah bahagia, bukan menderita. Bahkan orang-biasa saja mampu mendapatkan kegembiraan atau kesenangan yang ada dalam hidupnya.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan: ada, mereka yang berpisah dengan orang yang dicintai namun tidak meratap dan “bahkan” yang belum merealisasikan Nibbāna, jika ia bijak, ia tidak akan menderita (merana) ketika berpisah dengan orang yang ia cintai. Namun, menerima kenyataan yang ada. Oleh karena itu, ia bisa saja biasa-biasa saja.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan: ambil kasus seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini sedang meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak.
Dengan demikian, dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
(a) Hidup adalah pengalaman: baik ia suka atau tidak (berpengalaman atau tidak), berduka atau tidak (tidak berpengalaman atau tidak-tidak berpengalaman), suka duka (pengalaman) pasti muncul dengan sendirinya menghampiri ke sana sini, ditolak atau diterima, suka-duka (pengalaman) tidak mengenal siapa, tempat, saat, dan kapanpun bisa datang. Ini kondisi yang nyata dalam kehidupan.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman: kadang, kita lebih memilih berpisah dengan orang yang kita cintai (anak, istri, dll.) demi hal tertentu, misalnya karena pekerjaan, ia merantau jauh (berpisah) karena kondisi ekonomi atau hal lainnya, atau seorang prajurit bertempur dan berpisah dengan orang yang dia cintai demi membela negara–suka-duka mengampiri.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman: sama seperti kasus terjemahan pertama, seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak. Ada suka dan duka namun ia tidak menggenggam keduanya walau datang. Ketika mendapatkannya, ia mungkin akan senang (senang berasal dari suka), ia mungkin juga akan berduka ketika seandainya mendapatkannya namun di satu sisi dompetnya menipis. Di balik suka ada duka, di balik duka ada suka. Berduka atau tidak, suka-duka datang silih berganti. Di sini ia mendapatkan pengalaman (suka atau duka).
Dengan demikian, dukkha adalah pengalaman (suka duka). Kebetulan kata “duka” mirip kata “dukkha”.

II. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: hidup adalah dukkha, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah dukkha, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah dukkha, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
Artinya: hidup adalah pengalaman (suka duka), berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
« Last Edit: 17 November 2017, 10:33:57 AM by Gwi Cool »
Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #1 on: 17 November 2017, 10:02:05 AM »
Sambungan,

III. A. Kasus ke tiga–dukkha
Manakah yang benar:
1. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.
2. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman, asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman (selesai/penyelesaian), dan jalan menuju lenyapnya pengalaman (jalan keluar).

III. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini akan mengarah pada pemahaman “nihilisme”. Mengapa? Karena, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan memiliki makna: keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru selesai dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru mulai mencari kebahagiaan.

Bagaikan seorang buta yang baru dioperasi dan mendapat penglihatan, ia baru mulai melihat, dimana harus “belajar” lagi (lebih) untuk menjaga matanya, merawat matanya, dan penuh kewaspadaan menjaga matanya. Asal mula: ia buta. Lenyapnya: melenyapkan kebutaan. Jalan menuju lenyapnya: operasi.

Atau bagaikan orang yang telah ditipu dimana ia baru disadarkan bahwa ia telah ditipu, dan sekarang ia harus belajar agar tidak ditipu lagi. Asal mula: ditipu. lenyapnya: mengilangkan keragu-raguannya apakah ia ditipu atau tidak. Jalan menuju lenyapnya: belajar untuk tidak ditipu lagi.

Bagaikan penghuni neraka yang baru selesai dari penyiksaan di alam Neraka. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di neraka) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Atau bagaikan tahanan yang baru bebas dari penjara. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di penjara) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Atau bagaikan orang miskin yang “baru saja” menjadi kaya raya. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (kemiskinannya) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Dari perumpamaan-perumpamaan yang saya berikan, dapat kita lihat bahwa: ia baru mulai, baru mulai mencari, dalam tahap belajar, bukan telah selasai.

Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini adalah baru mulai membuka mata; bukan mencapai tujuan, baru mulai belajar; bukan mencapai tujuan, baru memulai hidup baru; bukan mencapai tujuan. Sementara, inti ajaran seharusnya menuntun pada tujuan akhir, bukan baru mulai. Baru mulai berarti, bahkan belum sampai di tengah, bagaimana mungkin ia akan tiba di tujuan? Ini seakan pandangan kosong! Pandangan kosong adalah pandangan yang menentang pandangan lain, disamping ia secara tidak langsung menentang pandangannya sendiri. Pandangan kosong adalah pandangan yang paling bodoh dan bego, ia sendiri mencela kebaikan namun ia sendiri berbuat baik kepada apa yang ia anggap benar. Misalnya: ia menolak perbuatan baik ataupun buruk atau keduanya, tidak buruk atau tidak-tidak buruk. Namun, kenyataan ia menyebarkan ajarannya, dengan begitu ia melakukan kebaikan (menurutnya) namun ia menolak kebaikan. Ini seperti tong kosong nyaring bunyinya. Kosong dan tidak ada pengetahuan, itulah pandangan kosong, menentang baik dan buruk, dst. Namun, menerima pandangannya, seakan orang bodoh.

Akan tetapi, Ajaran Buddha bukanlah nihilisme, bukan pandangan kosong. Karena, Sang Buddha mengajarkan (salah satunya) untuk menghindari segala jenis pembunuhan makhluk hidup. Ini adalah “perbuatan baik”. Oleh karenanya, bukan pandangan kosong. Karena, orang bijak yang mencela perbuatan baik ini, ia akan dikritik dari berbagai arah jika menentang perbuatan baik sebagai baik.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
Sang Buddha mengajarkan suka duka (pengalaman), asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka duka maka ini akan mengarah pada Nibbāna ‘kebahagiaan sejati’. Mengapa? Karena, asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka-duka memiliki makna: keluar dari suka-duka, atau dengan kata lain, melepaskan sesuatu baik suka atau tidak, duka atau tidak, atau dengan kata lain, menginginkan pembebasan, yaitu bebas dari suka-duka karena suka-duka muncul silih berganti tanpa mengenal tempat dan waktu, “suka” datang dengan “duka” menyertai, duka datang dengan suka menyertai. Ia mulai tahu bahwa:

ada-suka pasti akan ada-duka; ada-duka pasti akan ada-duka.
Inilah yang tersembunyi, inilah yang harus dilihat sebagaimana adanya bahwa kedua ini muncul beriringan, cepat atau lambat akan, ketika ada “suka”, “duka” akan segera hadir. Ketika ada “duka”, “suka” sedang menanti. Melihat demikian, ia pun bosan dengan suka-duka, tidak membencinya namun melepasnya. Ketika ia bebas dari keduanya maka muncul kata: “terbebaskan”. Ketika terbebaskan dari suka-duka maka apalagi yang ingin ia cari/dapatkan kalau bukan kebahagiaan?

Jika seseorang menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang disukai itu mengalami perubahan, ia yang dicintai mulai selingkuh, suara buruk tiba-tiba muncul, aroma bau datang, gagal dalam cinta sehingga putus cinta maka muncullah dalam diri seseorang akan “duka” (dari suka [awalnya]): dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia meratap. Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya namun jika ia menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia akan meratap.

Setelah melihat bahaya ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu (chandarāgavinayakkhāyī). karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.

Jika seseorang tidak menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang menyenangkan itu mengalami perubahan maka tidak muncul dalam diri seseorang akan “duka”: dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, tidak menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia tidak meratap.

Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya, jika ia tidak menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia tidak akan meratap.

Setelah melihat manfaat ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu. Jika seseorang menjawab apa yang diajarkan oleh Sang Buddha seperti demikian, yaitu Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu maka tidak akan ada celah dan kritikan yang akan datang walaupun ia berada di “tengah samudra” (di manapun).

Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi tidak bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi tidak bermanfaat akan berdiam dalam suka-duka dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi bermanfaat akan berdiam dalam sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat.

Pada kasus ke tiga ini, disamping menjelaskan arti dukkha, juga telah membahas apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Di sini kita telah mengetahui dukkha = Pengalaman (suka duka), bukan penderitaan.

III. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu dukkha, asal-mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha.
Artinya: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman (suka duka), asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman, dan jalan menuju lenyapnya pengalaman.

3. Kesimpulan akhir dari pengertian dukkha
Kita telah menganalisis dan bahkan telah mengetahui apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Dari analisis dukkha, dapat ditarik kesimpulan akhir, sebagai berikut:
1. Dukkha artinya pengalaman.
2. Sinonim pengalaman = suka duka. Karena, pengalaman terdiri dari suka dan duka, dan sesuai KBBI, juga mutlak demikian.
3. Ajaran Buddha “bukanlah mengenai penderitaan” karena ajaran penderitaan adalah ajaran kosong (nihilisme), tanpa pengetahuan.
4. Ajaran Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.

4. Arti penderitaan dalam bahasa Pāli
Karena kita telah memecahkan arti dukkha adalah pengalaman (suka duka), bukan penderitaan maka pertanyaan sekarang adalah, “Apa arti penderitaan dalam bahasa Pāli?” Saya tidak akan membahas lama-lama karena nanti akan menyimpang dari judul buku. Kita ambil kasus dari potongan cerita di Jātaka. Di sutta lain juga pastinya bisa ditemukan namun saya mengambil dari Jātaka. Tidak ada yang berbeda. Lihat potongan kisah di bawah dengan mengacu pada kata yang bergaris bawah:

Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orangtua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut." [Jātaka Aṭṭhakathā II–No. 202. Keḷi Sīla Jātaka].

Alam rendah di sini adalah “apāya” namun bukan arti dari alam rendah, tetapi maksudnya adalah alam menderita (apāyaloka; apāya = penderitaan, sedangkan alam = loka), atau dengan kata lain, alam yang menyedihkan, (rendah), memberikan penderitaan. Dengan demikian,  bahasa  Pāli dari “penderitaan” adalah apāya.

Penderitaan adalah hal yang menyiksa atau memberi kesan buruk yang mengganggu dalam jangka waktu tertentu atau jangka panjang. Ada hal yang mengganggu dan menyiksa, tidak ada kesenangan dalam penderitaan. Inilah penderitaan. Penderitaan tidak menghasilkan kesenangan atau kesukaan, melainkan hanya duka (bersifat negatif).–Waktunya membahas Jalur Nibbāna.

“Makhluk hidup terjerat keinginan,
Suka-duka datang sebagai ikatan,
Menjerat nafsu, hasrat, dan mencoba meninggalkan lekatan,
Bagaikan hewan di dalam kurungan,
Sekali dapat, susah mendapat kebebasan (bebas),
Tanpa kebebasan, ia jauh dari kebahagiaan.

“Makhluk hidup terjerat kesenangan,
Suka-duka datang sebagai tuan, bukan teman,
Menetap untuk menguasai si korban,
Bagaikan penyakit yang tersimpan,
Kambuh karena tiada pencegahan,
Demikianlah suka-duka muncul bergantian.

“Namun, ia yang bijak tahu mana lawan,
Dan mana yang bukan,
Seperti mata-mata dalam penyamaran,
Begitu diketahui, akan disingkirkan.

“Menginginkan kebebasan tanpa halangan,
Sang Bijaksana mencari kebahagiaan,
Bukan melalui kesenangan atau kesakitan (penyiksaan diri),
Akan tetapi dengan peluruhan.” (Syair Gwi).

Bab II–Nibbāna
Bab III–Empat Jenis Kenikmatan Batiniah
Bab IV–Kesejahteraan Jangka Panjang
Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline DragonHung

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 963
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #2 on: 17 November 2017, 03:19:54 PM »
Jadi, dukkha adalah . . . . . . . . ?
Banyak berharap, banyak kecewa
Sedikit berharap, sedikit kecewa
Tidak berharap, tidak kecewa
Hanya memperhatikan saat ini, maka tiada ratapan dan khayalan

Offline Alucard Lloyd

  • Sebelumnya: a.k.agus
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 529
  • Reputasi: 13
  • Gender: Male
  • buddho
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #3 on: 17 November 2017, 08:33:21 PM »
Dukkha is dukkha ,,😀
Agama ku tidak bernama
Karena guru ku telah parinibbana
Yang tertinggal hanyalah dahmma
Agar aku dapat mencapai nibbana

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #4 on: 17 November 2017, 10:25:06 PM »
dukkha ada 3 jenis
dukkha-dukkha
viparinama-dukkha
sankhara dukkha

Pembahasan diatas sedikit keliru, karena suka-duka itu sebenarnya sudah masuk ke dalam 3 jenis dukkha

Jadi benar, dukkha adalah penderitaan. Memang penderitaan. Semua pengalaman kita dalam samsara adalah menderita. Semua rasa senang dalam samsara tidak memuaskan.

Jadi jangan pakai definisi penderitaan yang umum. Bahkan potensi untuk menderita juga dikatakan penderitaan dalam buddhisme
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #5 on: 18 November 2017, 09:14:28 AM »
dukkha ada 3 jenis
dukkha-dukkha
viparinama-dukkha
sankhara dukkha

Pembahasan diatas sedikit keliru, karena suka-duka itu sebenarnya sudah masuk ke dalam 3 jenis dukkha

Jadi benar, dukkha adalah penderitaan. Memang penderitaan. Semua pengalaman kita dalam samsara adalah menderita. Semua rasa senang dalam samsara tidak memuaskan.

Jadi jangan pakai definisi penderitaan yang umum. Bahkan potensi untuk menderita juga dikatakan penderitaan dalam buddhisme
Tuan, sepertinya maksud Tuan adalah tetap bepegang teguh bahwa dukkha = penderitaan. Akan tetapi, isi komentar malah setuju denganku (dukkha = suka-duka). Ini hal yang biasa bagi saya karena selama ini, kita telah mempertahankan dukkha = penderitaan. Karena hal inilah, kalimat jadi kacau (karena terus mempertahankan kekeliruan arti dukkha). Selama ini kita telah mempertahankan kekeliruan karena mempertahankan kekeliruan, bagaimana hal ini dapat bertahan lama atau bertahan dengan baik?

Adalah wajar jika ajaran lain mencela dan mengkritik kita karena kekeliruan kita dalam terjemahan, hal ini tidak salah. Seperti seorang anak yang ingin membela ayahnya, malah keliru dengan maksud ayahnya. Pendek kata, sang yang malu (kena celah dan kritikan). Demikianlah, jika kekeliruan dalam terjemahan, maknana akan lari.

Tuan, baik sekali jika post yang saya tulis 2 halaman (sebelumnya), dibaca dengan baik karena di sana saya bahas analisisnya. Jika komentar Tuan adalah demikian, pastinya Tuan belum membacanya dengan baik (lompat-lompat).

Saya bisa menjelaskan 3 jenis dukkha itu, jika Tuan menginginkan, tetapi sebenarnya Tuan telah setuju dukkha = suka-duka karena Tuan mengatakan ini: "... karena suka-duka itu sebenarnya sudah masuk ke dalam 3 jenis dukkha."

Satu pertanyaan Tuan:
1. Bagaimana Tuan menjelaskan arti "Dukkha vedana"?

Di sutta tertulis perasaan tidak menyenangkan/menyakitkan.

Tuan, setelah saya menganalisis dukkha, percayalah, para penerjemah pasti akan berkata seperti ini: "Oh, pantas saja, selama ini saya kesulitan dengan terjemahan dukkha = penderitaan, saya kadang bingung mau diterjemahkan seperti apa."

Mengapa demikian? Karena, di terjemahan, kerap kali arti dukkha selalu berubah-ubah. Itulah kekeliruan terjemahan. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Pertanyaannya: "Apakah kita ingin kekeliruan dipertahankan?"

Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #6 on: 18 November 2017, 09:49:42 AM »
Note: Dipindah ke pengalaman pribadi karena merupakan opini semata.

Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #7 on: 18 November 2017, 10:36:10 AM »
Note: Dipindah ke pengalaman pribadi karena merupakan opini semata.
Ini ditempatkan di mana juga tidak masalah karena ini nantina akan mendunia
Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #8 on: 18 November 2017, 02:42:57 PM »
Ini ditempatkan di mana juga tidak masalah karena ini nantina akan mendunia
Untuk ini saya lumayan setuju. Mungkin bisa mendunia jika dibuat meme. Apalagi bagian "dukkha = pengalaman" itu paling menggugah humor.

Hampir saya tulis lowongan kerja: "Dicari staf akuntansi, dukkha > 5 tahun"


Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #9 on: 18 November 2017, 02:55:36 PM »
Untuk ini saya lumayan setuju. Mungkin bisa mendunia jika dibuat meme. Apalagi bagian "dukkha = pengalaman" itu paling menggugah humor.

Hampir saya tulis lowongan kerja: "Dicari staf akuntansi, dukkha > 5 tahun"
Hahaha. Sayang sekali pengalaman memiliki 2 makna. (Ini wilayah sastra.)
Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #10 on: 21 November 2017, 08:01:22 AM »
Dukkha tidak diterjemahkan jadi hanya "penderitaan", itu bisa saja

Orang mengatakan, "tak memuaskan", "stress"

Tapi kalau diterjemahkan "pengalaman", itu juga gak benar. Memang sudah bagus penderitaan.

Penderitaan biasa, Penderitaan karena perubahan, Penderitaan yang bersifat potensi.

Kalau pake kata pengalaman malah lebih rancu. Memangnya Arahat gak punya pengalaman setelah pencerahan?
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline Gwi Cool

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 170
  • Reputasi: -2
  • Terpujilah Sang Buddha
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #11 on: 21 November 2017, 08:41:00 AM »
Dukkha tidak diterjemahkan jadi hanya "penderitaan", itu bisa saja

Orang mengatakan, "tak memuaskan", "stress"

Tapi kalau diterjemahkan "pengalaman", itu juga gak benar. Memang sudah bagus penderitaan.

Penderitaan biasa, Penderitaan karena perubahan, Penderitaan yang bersifat potensi.

Kalau pake kata pengalaman malah lebih rancu. Memangnya Arahat gak punya pengalaman setelah pencerahan?
terimakasih atas diskusinya yang hangat.
Pengalaman benar-benar kata yang bermakna tinggi. Pengalaman berasal dari "Peng-alam-an". Banyak orang ketika dikatakan pengalaman pada umumnya akan mengacu ke yang knvensional. Sang Buddha menerima hal-hal duniawi, tetapi Sang Buddha selalu menggunakan kata yang mutlak.
Seperti halnya Nibbana (kebahagiaan sejati). Sang Buddha selalu menggambarkan "bahagia" dalam konvensi duniawi sebagai "sukha (sukacita)". Karena kenyataannya, hanya Nibbana-lah yang berarti kebahagiaan mutlak. Sedangkan secara konvensional, kerap kali, apa-apa bahagia.

Arahat adalah asekha = melampaui pengalaman (suka-duka).

Silakan teliti "kasus ke tiga" yang saya tulis sebelumnya.
Apa pun yang identik dengan "penderitaan" maka jika ada ajaran yang mengajarkan inti ajaran sebagai penderitaan maka artinya "ajaran nihilisme". Saya bahas itu di kasus ke tiga (di atas).
« Last Edit: 21 November 2017, 08:48:25 AM by Gwi Cool »
Yang mau debat, saya diam, dan mengaku kalah karena saya hanyalah makhluk lemah, debat sama yang lain saja.
Mari berbicara Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir. Indah dengan pikiran penuh cinta kasih. Hobiku menggubah syair.

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #12 on: 21 November 2017, 10:14:44 AM »
Dukkha tidak diterjemahkan jadi hanya "penderitaan", itu bisa saja

Orang mengatakan, "tak memuaskan", "stress"

Tapi kalau diterjemahkan "pengalaman", itu juga gak benar. Memang sudah bagus penderitaan.

Penderitaan biasa, Penderitaan karena perubahan, Penderitaan yang bersifat potensi.

Kalau pake kata pengalaman malah lebih rancu. Memangnya Arahat gak punya pengalaman setelah pencerahan?
betul, sudah tepat diterjemahkan dengan "penderitaan". tidak sempurna, tapi paling dekat dengan maknanya.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Lex Chan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.437
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
  • Love everybody, not every body...
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #13 on: 21 November 2017, 11:26:51 AM »
daripada panjang, lebih baik "dukkha" diterjemahkan jadi "duka"... :whistle:
“Give the world the best you have and you may get hurt. Give the world your best anyway”
-Mother Teresa-

Offline harlons

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 20
  • Reputasi: 2
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« Reply #14 on: 21 November 2017, 02:34:26 PM »
Dukkha jika diterjemahkan jd pengalaman jadinya abu-abu.
Jika membuang dualitas yg mendasar dan menjadi ambigu, bagaimana jika mencuri & berdana secara bersamaan dibilang pengalaman.
Suka dan duka itu jelas & simpel kok menurut saya, hilang duit merasa duka. Dapat duit merasa suka, walaupun pd akhirnya dalam dhamma diajarkan rasa suka sendiripun merupakan bagian dari dukkha, yg konteks nya biasa kita sebut anicca/ketidakekalan.