//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta  (Read 26229 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
"Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« on: 10 August 2014, 04:13:30 PM »
MN 22 Alagaddupama Sutta mengisahkan tentang seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha memunculkan suatu pandangan sesat bahwa perilaku yang dilarang oleh Sang Buddha tidak benar-benar merupakan rintangan. Sang Buddha menegurnya dan, dengan serangkaian perumpamaan yang mengesankan, menekankan bahaya dalam kesalahan memahami Dhamma.

Di sini Sang Buddha menegur Bhikkhu Arittha dengan menyebutnya sebagai "orang sesat" (dalam versi terjemahan DC yang diambil dari Bhikkhu Bodhi):

6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi...”

Tampaknya di sini Sang Buddha berkata agak kasar dan berkonotasi tidak menyenangkan walaupun tujuannya untuk menyadarkan sang bhikkhu yang berpandangan salah tsb. Di sini timbul pertanyaan: kenapa kok Buddha bisa berkata demikian kasar dan tidak mengenakkan bagi orang lain? Apakah sutta ini benar-benar mencerminkan sikap Sang Buddha terhadap pandangan salah yang kemudian dicap sebagai "sesat"?

Fyi, definisi kata "sesat" menurut KKBI:

Quote
sesat /se·sat/ a 1 tidak melalui jalan yg benar; salah jalan: malu bertanya -- di jalan; mati --; 2 ki salah (keliru) benar; berbuat yg tidak senonoh; menyimpang dr kebenaran (tt agama dsb): ajaran yg --;-- surut, terlangkah kembali, pb memperbaiki kesalahan yg telah dibuat;
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #1 on: 10 August 2014, 06:14:33 PM »
yg jadi masalah adalah ketika kita punya gambaran, ekspektas dan ideal sosok Buddha itu sendiri.

dan yg lebih rumit lagi... gambaran sosok seperti apa buddha, dan bagaimana beliau merespon itu dibentuk oleh riwayat dan kisah2 yg beraneka macam yg kita tidak tahu apakah itu adalah kebenaran atau hanya interpretasi dan dugaan saja. (sepertinya yg belakangan)
There is no place like 127.0.0.1

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #2 on: 11 August 2014, 07:28:57 PM »
Hmmm... Dalam MN 58 Abhayarajakumara Sutta dikatakan bahwa Sang Buddha hanya mengucapkan kata-kata yang benar, tepat dan bermanfaat terlepas dari apakah kata-kata itu disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak:

8. “Demikian pula, Pangeran, (a) kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata.
(b) Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan juga yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata.
(c) Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, tetapi tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu.
(d) Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, tetapi disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata.
(e) Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, tetapi tidak bermanfaat, dan disukai dan menyenangkan bagi orang lain: kata-kata demikian tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata.
(f) Kata-kata yang diketahui oleh Sang Tathāgata sebagai benar, tepat, dan bermanfaat, dan juga yang disukai dan menyenangkan bagi orang lain: Sang Tathāgata mengetahui waktunya untuk mengucapkan kata-kata itu. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata berbelas kasih pada makhluk-makhluk.”


Jadi, mungkin saja Sang Buddha menggunakan kata-kata yang tidak disukai dan tidak menyenangkan bagi orang lain untuk menegur para siswa-Nya demi kebaikan mereka seperti dalam kasus Bhikkhu Arittha di atas.

Mungkin ada yang punya pendapat lain?
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #3 on: 11 August 2014, 08:31:08 PM »
MN 22 Alagaddupama Sutta mengisahkan tentang seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha memunculkan suatu pandangan sesat bahwa perilaku yang dilarang oleh Sang Buddha tidak benar-benar merupakan rintangan. Sang Buddha menegurnya dan, dengan serangkaian perumpamaan yang mengesankan, menekankan bahaya dalam kesalahan memahami Dhamma.

Di sini Sang Buddha menegur Bhikkhu Arittha dengan menyebutnya sebagai "orang sesat" (dalam versi terjemahan DC yang diambil dari Bhikkhu Bodhi):

6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi...”

Tampaknya di sini Sang Buddha berkata agak kasar dan berkonotasi tidak menyenangkan walaupun tujuannya untuk menyadarkan sang bhikkhu yang berpandangan salah tsb. Di sini timbul pertanyaan: kenapa kok Buddha bisa berkata demikian kasar dan tidak mengenakkan bagi orang lain? Apakah sutta ini benar-benar mencerminkan sikap Sang Buddha terhadap pandangan salah yang kemudian dicap sebagai "sesat"?

Fyi, definisi kata "sesat" menurut KKBI:


Menurut saya apa yang dikatakan Sang Buddha tidak kasar, karena mamang saat itu Bhikkhu Arittha berpikiran menyimpang, salah berpikir, salah jalan. Kalau salah jalan berarti istilah pendeknya ya tersesat.

Justru saya berpikir, jangan-jangan pikiran kita yang berkonotasi negatif terhadap kata "sesat" sebagai sesuatu yang sangat jahat, sangat amoral. Padahal dalam KBBI jelas berarti tidak melalui jalan yg benar; salah jalan. Jika kata "sesat" tetap dianggap tidak nyaman dibaca , ya ganti saja dengan kata "salah jalan".

Dalam bahasa Pali dari kata yang diterjemahkan oleh DC sebagai "orang sesat" adalah moghapurisa dari kata mogha dan purisa (orang). Mogha sendiri bisa banyak arti, bisa berarti:  tidak berguna, tidak berbuah, sia-sia, tidak tahu yang benar / salah (dari kata moha)
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #4 on: 11 August 2014, 09:05:12 PM »
Walaupun...
Secara tata bahasa dirubah menjadi...

Orang yang salah jalan,
dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu?


Tetep aja esensi kasar, offence'nya tetep kerasa kasar.


Semacam...

"Guoblokkk!!!
Kapan2 kubilang belok kanan?
Belok pulak kau, kena tilang lah kau"

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #5 on: 11 August 2014, 09:13:32 PM »
Menurut aye sih ga salah lah buddha bilang gitu, lha wong ajarannya di putarbalikan, wajar saja sih dia meluruskan orang yang "salah jalan"
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #6 on: 11 August 2014, 09:16:38 PM »
Ryu,

tuk perbandingan

Nak...
Lain kali jangan belok kanan ya...
Ferboden itu, satu arah...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #7 on: 11 August 2014, 09:31:00 PM »
Di lihat nya harus dari sisi cerita :

Buddha ternyata mengajarkan jalan ke kiri


Trus buddha mau meluruskan :
Woy sesat loh, gw bilang ke kanan loe malah bilang gw kekiri
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #8 on: 11 August 2014, 10:34:53 PM »
AN 5.198
Vaca Sutta: Ucapan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, suatu
ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan
dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar
celaan oleh para bijaksana. apakah lima ini?
[244] Ucapan itu diucapkan pada waktu yang
tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan
itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan
adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan
pikiran cinta kasih. Dengan memiliki kelima faktor
ini, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan
diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela
dan di luar celaan oleh para bijaksana.”

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23950.msg438322.html#msg438322

Pertanyaannya: apakah teguran "orang sesat" itu memenuhi kelima syarat ucapan yg baik di atas?
« Last Edit: 11 August 2014, 10:37:28 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #9 on: 12 August 2014, 06:25:47 AM »
Ya , mungkin karena harapan dan image berlebihan kepada Buddha. Apa iya seseorang harus sangat lemah lembut seperti itu?
Kalau liat stereotip bhikkhu theravada dari jawa memang seperti itu (yg saya tahu dan kenal). Ngomongnya halus dan lembut.
Kalau dipikir Buddha juga seperti itu jadinya terjadi dissonance.

Kalau kenal guru dharma yg lain, ada yg tanpa ragu memarahi muridnya dan bahasanya agak "kasar". Walaupun hatinya baik dan itu demi kebaikan muridnya. Jadi buat saya ngerasanya biasa aja, mungkin udah biasa dimarahin hahahahha
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #10 on: 12 August 2014, 07:06:09 AM »
Walaupun...
Secara tata bahasa dirubah menjadi...

Orang yang salah jalan,
dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu?


Tetep aja esensi kasar, offence'nya tetep kerasa kasar.


Lalu pertanyaannya, disebut apakah orang yang salah jalan atau tersesat?

Seperti yang saya sampaikan kemungkinan justru kita yang berpikiran terlalu negatif pada kata "sesat".


Quote
Semacam...

"Guoblokkk!!!
Kapan2 kubilang belok kanan?
Belok pulak kau, kena tilang lah kau"

Sayangnya dalam teks Pali-nya, tidak ditemukan tanda baca, sehingga kita tidak bisa menilai apakah suatu kata yang di ucapkan oleh Sang Buddha itu dengan nada datar atau dengan nada keras dengan tanda seru seperti contoh yang Anda berikan. Ini yang pertama.

Kedua. Kata 'g****k' sendiri bisa diganti dengan kata "bodoh sekali" sebagai kata yang lebih halus.

Ketiga. Karena kita sebagai awam tidak tahu secara persis apakah seseorang benar-benar bodoh atau tidak maka kita tidak bisa sembarangan menggunakan kata itu untuk menyebut seseorang. Hal yang berbeda dengan Sang Buddha yang memang telah tahu bahwa Bhikkhu Arittha memiliki pandangan yang salah arah. Jadi Sang Buddha menyebutnya dengan kenyataan yang ada, bukan sebaliknya.

 
Hanya itu saja.

GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Predator

  • Sebelumnya: Radi_muliawan
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 585
  • Reputasi: 34
  • Gender: Male
  • Idealis tapi realistis dan realistis walau idealis
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #11 on: 12 August 2014, 08:18:23 PM »
Dalam kontek salah pemahaman dan terjebak dalam pemahamannya yg keliru maka "Orang sesat" lebih sesuai daripada "orang Nyasar" :D

Ketegasan dalam meluruskan pandangan keliru lain juga ada di Mahatanhasankhaya Sutta MN 38
susah dan senang, sakit dan sehat selalu silih berganti

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #12 on: 13 August 2014, 04:01:50 AM »
klo sy sih liat nya tidak kasar, biasa aja....mungkin karakter org sulsel sih...hehehe
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #13 on: 14 August 2014, 05:10:07 PM »
AN 5.198
Vaca Sutta: Ucapan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, suatu
ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan
dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar
celaan oleh para bijaksana. apakah lima ini?
[244] Ucapan itu diucapkan pada waktu yang
tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan
itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan
adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan
pikiran cinta kasih. Dengan memiliki kelima faktor
ini, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan
diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela
dan di luar celaan oleh para bijaksana.”

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23950.msg438322.html#msg438322

Pertanyaannya: apakah teguran "orang sesat" itu memenuhi kelima syarat ucapan yg baik di atas?
Sepertinya tidak....ini menurut saya pribadi...

Ucapan bagai paku yang telah terpaku di daun pintu walau paku tsb telah dicabut tp bekas nya msh ada. Seperti hal nya kata2 yang kasar pasti akan selalu kita ingat apalagi bila sangat menyakitkan hati....
I'm an ordinary human only

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.153
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #14 on: 02 September 2014, 03:46:31 PM »
menurut wa sendiri penggunaan kata sesat tergantung jenis manusianya, bukankah Buddha mempunyai kemampuan untuk menghancurkan debu kotoran yang ada pada manusia.

Penggunaan kata2 yang tepat seperti kepada YA Ananda yang di tawari bidadari berkaki ungu

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #15 on: 02 September 2014, 04:37:17 PM »
menurut wa sendiri penggunaan kata sesat tergantung jenis manusianya, bukankah Buddha mempunyai kemampuan untuk menghancurkan debu kotoran yang ada pada manusia.

Penggunaan kata2 yang tepat seperti kepada YA Ananda yang di tawari bidadari berkaki ungu
sperti kata2 tepat kotoran dan air kencing untuk putri magandiya sampe dendam kesumat ngebakar samavati dan 500 pengikutnya... bner2 menghancurkan debu..  =D>

http://dennysumarlin.blogspot.com/2010/09/kisah-samavati.html

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.153
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #16 on: 02 September 2014, 04:58:38 PM »
Dengan tersenyum Beliau menjawab, "Setelah melihat Tanha, Arati dan Raga, putri-putri Mara, Aku tidak lagi mempunyai keinginan seksual; semuanya hanya berisikan kotoran dan air kencing dan aku tidak ingin menyentuh walaupun dengan ujung kakiku sekalipun".

di baca yg benar ada bilang ttg magandiya, yang di sebut putri putri mara.
« Last Edit: 02 September 2014, 05:00:31 PM by kullatiro »

Offline btj

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 183
  • Reputasi: 5
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #17 on: 02 September 2014, 08:29:23 PM »
AN 5.198
Vaca Sutta: Ucapan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, suatu
ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan
dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar
celaan oleh para bijaksana. apakah lima ini?
[244] Ucapan itu diucapkan pada waktu yang
tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan
itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan
adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan
pikiran cinta kasih. Dengan memiliki kelima faktor
ini, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan
diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela
dan di luar celaan oleh para bijaksana.”

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23950.msg438322.html#msg438322

Pertanyaannya: apakah teguran "orang sesat" itu memenuhi kelima syarat ucapan yg baik di atas?
Menurut saya, ya, telah memenuhi kelima syarat ucapan baik di atas.
Karena penilaian kelima syarat tersebut tidak seharusnya dilakukan melalui secara kasat mata atau kasat telinga semata-mata tapi lebih kepada dari dalam (hati), tujuannya.

Kata-kata yang lemah lembut belum tentu menunjukkan/mengandung unsur cinta kasih, manfaat, dan benar adanya.
sebaliknya kata-kata yang terdengar kasar bagi kita belum tentu timbul dari hati yang jahat.

Sebenarnya thread ini bertujuan untuk menunjukkan keraguan kita terhadap ucapan Sang Buddha atau untuk "membersihkan" nama Buddha dari terjemahan yang mungkin keliru, atau apa?

Andaikan memang benar Buddha pernah menggunakan kata-kata seperti itu, so what? Apakah lantas kita akan meragukan kesempurnaan Buddha?

Jika sang murid tersebut tidak mempan disadari atau ditegur dengan kata-kata lembut, apakah Buddha tetap harus menegur dengan kata-kata lemah lembut demi menjaga kekhasan dari kelima syarat ucapan baik tersebut, dan apakah kelima syarat ucapan baik tersebut harus benar-benar diucapkan sesuai pemahaman/penangkapan/persepsi kita masing2?

CMIIW

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #18 on: 02 September 2014, 09:09:44 PM »
AN 5.198
Vaca Sutta: Ucapan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, suatu
ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan
dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar
celaan oleh para bijaksana. apakah lima ini?
[244] Ucapan itu diucapkan pada waktu yang
tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan
itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan
adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan
pikiran cinta kasih. Dengan memiliki kelima faktor
ini, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan
diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela
dan di luar celaan oleh para bijaksana.”

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23950.msg438322.html#msg438322

Pertanyaannya: apakah teguran "orang sesat" itu memenuhi kelima syarat ucapan yg baik di atas?


1.Ucapan itu diucapkan pada waktu yang tepat;

2.apa yang dikatakan adalah benar;

3.  ucapan itu diucapkan dengan lembut;

4.apa yang dikatakan
adalah bermanfaat;

5.ucapan itu diucapkan dengan
pikiran cinta kasih.


ok ..5...

skrg.. apa hubnya dgn "orang sesat"?? kecuali klo sambil emosi tinggi..nada kasar..klo masih ngomong "orang sesat" secara lembut kan masih ok.. :D
...

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #19 on: 03 September 2014, 10:01:03 AM »
Dengan tersenyum Beliau menjawab, "Setelah melihat Tanha, Arati dan Raga, putri-putri Mara, Aku tidak lagi mempunyai keinginan seksual; semuanya hanya berisikan kotoran dan air kencing dan aku tidak ingin menyentuh walaupun dengan ujung kakiku sekalipun".

di baca yg benar ada bilang ttg magandiya, yang di sebut putri putri mara.
haha jd yg dihina putri2 mara yg sewot magandiya??  :)) kalo ude iman buta emg baca jg bias jd belok artinye.
itu ambil dr cerita dhammapada 21 "Even after seeing Tanha, Arati and Raga, the daughters of Mara, I felt no desire in me for sensual pleasures; after all, what is this which is full of urine and filth and which I don't like to touch even with my foot."

nih ade lg yg penjelasany lbh lgsg dr palikanon ...  Māgandiyā was incensed against the Buddha for having called her a "vessel of filth,"

http://www.palikanon.com/english/pali_names/ma/maagandiyaa.htm

dbaca yg bner ye kk jeruk jgn maen be er pe  ^:)^

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #20 on: 03 September 2014, 10:35:29 AM »
klo menurut kisah Magandiya, ucapan itu berguna untuk orang tuanya.. dan ucapan itu di tujukan kepada org tua Magandiya, yg meminta Buddha menerima Magandiya sebagai istrinya


klo masalah org lain yg dgr sakit hati, tidak senang, atau bahkan lawan bicaranya sakit hati n tidak senang..krn dirasa tidak menyenangkan sudah dijelaskan di MN 58

Magandiya. A brahmin of the Kuru country. He had a very beautiful daughter, called Magandiya. Many men of high station sought her hand, but the brahmin did not consider them worthy. The Buddha, one day, became aware that both Magandiya and his wife were ready for conversion, so he visited their village. Magandiya saw him, and, noting the auspicious marks on his body, told him of his daughter and begged him to wait till she could be brought. The Buddha said nothing, and Magandiya went home and returned with his wife and daughter arrayed in all splendours. On arriving, they found the Buddha had gone, but his footprint was visible, and Magandiyas wife, skilled in such matters, said that the owner of such a footprint was free from all passion. But Magandiya paid no attention, and, going a little way, saw the Buddha and offered him his daughter. The Buddha thereupon told them of his past life, his renunciation of the world, his conquest of Mara, and the unsuccessful attempts of Maras very beautiful daughters to tempt him. Compared with them, Magandiya was, he said, a corpse, filled with thirty two impurities, an impure vessel painted without; he would not touch her with his foot. At the end of the discourse, Magandiya and his wife became anagamins. DhA.iii.193ff.; SNA.ii.542f.; cp. Dvy.515ff., where the name is given as Makandika and he is called a parivrajaka. The daughters name is given as Anupama and the wifes Sakali.
It is said that they gave their daughter into the charge of her uncle, Culla Magandiya, retired from the world, and became arahants. DhA.i.202
According to the Anguttara Commentary (AA.i.235f), Magandiyas village was Kammasadamma, and the Buddha went there on his journey to Kosambi at the invitation of Ghosita, Kukkuta and Pavarika. He turned off the main road to visit Magandiya.

http://www.wisdomlib.org/definition/magandiya/index.html
« Last Edit: 03 September 2014, 10:41:01 AM by The Ronald »
...

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #21 on: 03 September 2014, 11:19:27 AM »
klo menurut kisah Magandiya, ucapan itu berguna untuk orang tuanya.. dan ucapan itu di tujukan kepada org tua Magandiya, yg meminta Buddha menerima Magandiya sebagai istrinya


klo masalah org lain yg dgr sakit hati, tidak senang, atau bahkan lawan bicaranya sakit hati n tidak senang..krn dirasa tidak menyenangkan sudah dijelaskan di MN 58

Magandiya. A brahmin of the Kuru country. He had a very beautiful daughter, called Magandiya. Many men of high station sought her hand, but the brahmin did not consider them worthy. The Buddha, one day, became aware that both Magandiya and his wife were ready for conversion, so he visited their village. Magandiya saw him, and, noting the auspicious marks on his body, told him of his daughter and begged him to wait till she could be brought. The Buddha said nothing, and Magandiya went home and returned with his wife and daughter arrayed in all splendours. On arriving, they found the Buddha had gone, but his footprint was visible, and Magandiyas wife, skilled in such matters, said that the owner of such a footprint was free from all passion. But Magandiya paid no attention, and, going a little way, saw the Buddha and offered him his daughter. The Buddha thereupon told them of his past life, his renunciation of the world, his conquest of Mara, and the unsuccessful attempts of Maras very beautiful daughters to tempt him. Compared with them, Magandiya was, he said, a corpse, filled with thirty two impurities, an impure vessel painted without; he would not touch her with his foot. At the end of the discourse, Magandiya and his wife became anagamins. DhA.iii.193ff.; SNA.ii.542f.; cp. Dvy.515ff., where the name is given as Makandika and he is called a parivrajaka. The daughters name is given as Anupama and the wifes Sakali.
It is said that they gave their daughter into the charge of her uncle, Culla Magandiya, retired from the world, and became arahants. DhA.i.202
According to the Anguttara Commentary (AA.i.235f), Magandiyas village was Kammasadamma, and the Buddha went there on his journey to Kosambi at the invitation of Ghosita, Kukkuta and Pavarika. He turned off the main road to visit Magandiya.

http://www.wisdomlib.org/definition/magandiya/index.html
emg wkt ngomong buddha ga tau magandiyany bakal marah?? ato ga peduli brp byk yg salah paham yg penting berguna buat yg diajak omong (ortuny)??


Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #22 on: 03 September 2014, 07:15:01 PM »
kemungkinan besar tau..tp kurasa sistim Buddha ngomong bukan tujuannya menyenangkan semua org kok..
...

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #23 on: 04 September 2014, 08:32:24 AM »
kemungkinan besar tau..tp kurasa sistim Buddha ngomong bukan tujuannya menyenangkan semua org kok..
tp di sutta ktnya gini...

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita, berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.

gmana nih...  binun...  ::)

Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #24 on: 05 September 2014, 02:00:51 AM »
tp di sutta ktnya gini...

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita, berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.

gmana nih...  binun...  ::)
:))

*puk puk pala cucu...cucu kamu bener2 pinter, ga percuma sekolah  :))
I'm an ordinary human only

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #25 on: 05 September 2014, 08:52:19 AM »
tp di sutta ktnya gini...

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita, berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.

gmana nih...  binun...  ::)
napa binggung..?  justru cocok koq..
...

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #26 on: 05 September 2014, 09:22:56 AM »
:))

*puk puk pala cucu...cucu kamu bener2 pinter, ga percuma sekolah  :))

 (:$

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #27 on: 05 September 2014, 09:32:47 AM »
napa binggung..?  justru cocok koq..
nga cocok krn yg satu blgny klo ada yg menyenangkan diomongin di wkt yg tepat tp yg ini asal njeblak aje bikin panas si magandiya.. kea di dhammapada ada crita bhikhu cekcok ame gadis buddha tau klo lgsg disalahin pst si bhikhu ga senang jdny buddha belain dulu br disalahin tuh... itu br nmnya wkt yg bnr kan??  ???

Offline will_i_am

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.163
  • Reputasi: 155
  • Gender: Male
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #28 on: 05 September 2014, 10:17:00 AM »
Ucapan Sang Buddha adalah untuk membuat kedua orang tua Magandiya mencapai kesucian Anagami...
lain kali berikan kutipan yang lengkap, jangan jadi orang picik...
« Last Edit: 05 September 2014, 10:30:12 AM by will_i_am »
hiduplah hanya pada hari ini, jangan mengkhawatirkan masa depan ataupun terpuruk dalam masa lalu.
berbahagialah akan apa yang anda miliki, jangan mengejar keinginan akan memiliki
_/\_

Offline Meruem

  • Teman
  • **
  • Posts: 88
  • Reputasi: -4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #29 on: 05 September 2014, 10:48:55 AM »
Ucapan Sang Buddha adalah untuk membuat kedua orang tua Magandiya mencapai kesucian Anagami...
lain kali berikan kutipan yang lengkap, jangan jadi orang picik...

 (:$    uda pd tau keleus... kalo mo ngepo baca dulu kk...


emg wkt ngomong buddha ga tau magandiyany bakal marah?? ato ga peduli brp byk yg salah paham yg penting berguna buat yg diajak omong (ortuny)??
« Last Edit: 05 September 2014, 11:13:48 AM by Meruem »

Offline BTY

  • Bhikkhu
  • Bukan Tamu
  • *****
  • Posts: 34
  • Reputasi: 17
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #30 on: 05 September 2014, 11:21:02 AM »
"Orang sesat" yang dirujuk dalam sutta ini adalah terjemahan dari kata "moghapurisa", orang yang diliputi moha. Kadangkala istilah ini diterjemahkan juga sebagai orang dungu, orang bodoh.  Menurut hemat saya, penggunaan ungkapan "moghapurisa" tidak sekasar yang dibayangkan. Mungkin bisa dicari istilah Indonesia yang lebih sesuai?
Seorang bhikkhu dilarang menggunakan kata-kata kasar, ini ada dalam peraturan winaya. Demikian pula seorang Buddha takkan menggunakan kata-kata kasar.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #31 on: 05 September 2014, 11:31:54 AM »
"Orang sesat" yang dirujuk dalam sutta ini adalah terjemahan dari kata "moghapurisa", orang yang diliputi moha. Kadangkala istilah ini diterjemahkan juga sebagai orang dungu, orang bodoh.  Menurut hemat saya, penggunaan ungkapan "moghapurisa" tidak sekasar yang dibayangkan. Mungkin bisa dicari istilah Indonesia yang lebih sesuai?
Seorang bhikkhu dilarang menggunakan kata-kata kasar, ini ada dalam peraturan winaya. Demikian pula seorang Buddha takkan menggunakan kata-kata kasar.
Untuk di vinaya atau secara tradisi sendiri, apakah ada definisi tentang "kata-kata kasar" itu apa saja, Bhante? Sebab mungkin penilaian ini sangat mungkin berbeda-beda antar komunitas.

Offline BTY

  • Bhikkhu
  • Bukan Tamu
  • *****
  • Posts: 34
  • Reputasi: 17
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #32 on: 05 September 2014, 11:15:46 PM »
Definisi "berucapan kasar" (pharusa-vāca) dalam Dasa-Kusalakamma-Patha adalah :

 “Ia berucapan kasar. Ucapannya keras, kasar, membuat getir pihak lain, menyinggung perasaan pihak lain, menimbulkan kemarahan dan kegalauan. Seperti itulah ia berucap.” [A. 5:282-4; Paṭhamanirayasaggasuttaṃ]

Di mana faktor pelanggarannya ada tiga (ketiga syarat ini harus terpenuhi baru bisa dikatakan ucapan kasar) :
1.   akkositabbo paro   : pihak yang akan dicerca
2.   kupitacittaṃ   : pikiran marah
3.   akkosana      : pencercaan

Sedangkan dalam Vinaya, itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran pacittiya no. 2. Di sini tidak mengguna istilah pharusa-vāca (ucapan kasar), tetapi Omasavāda (ucapan yang menyinggung perasaan). Penjelasan pelanggarannya adalah sebagai berikut (dikutip dari "Buddhist Monastic Code" karya Bhikkhu Thanissaro :

 2. An insult is to be confessed.

An insult is a gesture or statement, written or spoken, made with the malicious intent of hurting another person's feelings or of bringing him/her into disgrace. The Vibhaṅga analyzes the full offense under this rule in terms of three factors:

    1) Effort: One insults a person directly to his face, touching on any one of the ten topics for abuse (akkosa-vatthu) listed below.
    2) Object: The person is a bhikkhu.
    3) Intention: One's motive is to humiliate him.

Effort. The Vibhaṅga lists ten ways a verbal insult can be phrased: making remarks about the other person's

    race, class, or nationality (You nigger! You bum! You Frenchman!);
    name (You really are a Dick!);
    family or lineage (You bastard! You son of a b***h!);
    occupation (You pimp! You capitalist pig!);
    craft (What would you expect from a guy who crochets?);
    disease or handicap (Hey, Clubfoot! Spastic!);
    physical characteristics (Hey, Fatty! Beanpole! Shrimp! Hulk!);
    defilements (You control freak! Fool! Queer! Breeder!);
    offenses (You liar! You thief!); or
    using an abusive form of address, such as, "You camel! You goat! You ass! You p*n*s! You vagina!" (§) (All five of these come from the Vibhaṅga.)

(The category of "offense" — which literally means "falling" — contains an interesting sub-category, in that the noble attainment of stream-entry is, literally, "falling into the stream." Thus an insult along the lines of, "Some stream-winner you are!" would also fit under this category as well.)

These ten topics are called the akkosa-vatthu — topics for abuse — and appear in the following training rule as well.

As the examples in the Vibhaṅga show, the remark that fulfills the factor of effort here must touch on one of these topics for abuse and must be made directly to the listener: "You are X." It may be phrased either as sarcastic praise or as out-and-out abuse. The Commentary and Sub-commentary say that any insulting remark not listed in the Vibhaṅga would only be grounds for a dukkaṭa, but the Vibhaṅga defines the topics for abuse in such a general way that any term related to them in any way would fulfill this factor here.

Remarks made in an indirect or insinuating manner, though, would not fulfill this factor. Indirect remarks are when the speaker includes himself together with the target of his insult in his statement ("We're all a bunch of fools.") Insinuating remarks are when he leaves it uncertain as to whom he is referring to ("There are camels among us"). Any remark of this sort, if meant as an insult, entails a dukkaṭa regardless of whether the target is a bhikkhu or not.

All of the insults mentioned in the Vibhaṅga take the form of remarks about the person, whereas insults and verbal abuse at present often take the form of a command — Go to hell! F--- off! etc. — and the question is whether these too would be covered by this rule. Viewed from the standpoint of intent, they fit under the general definition of an insult; but if for some reason they would not fit under this rule, they would in most cases be covered by Pc 54.

Insulting remarks made about someone behind his/her back are dealt with under Pc 13.

Object. To insult a bhikkhu incurs a pācittiya; to insult an unordained person — according to the Commentary, this runs the gamut from bhikkhunīs to all other living beings — a dukkaṭa.

Intent. The Vibhaṅga defines this factor as "desiring to jeer at, desiring to scoff at, desiring to make (him) abashed." If, with no insult intended, a bhikkhu jokes about another person's race, etc., he incurs a dubbhāsita, regardless of whether the person is lay or ordained, mentioned outright or insinuatingly, and regardless of whether he/she takes it as a joke or an insult. This is the only instance of this class of offense.

The K/Commentary adds result as a fourth factor — the target of one's insult knows, "He's insulting me" — but there is no basis for this in either the Vibhaṅga or the Commentary. If one makes an insulting remark under one's breath, not intending to be heard — or in a foreign language, not intending to be understood — the motive would be to let off steam, which would not qualify as the intention covered by this rule. If one truly wants to humiliate someone, one will make the necessary effort to make that person hear and understand one's words. But if for some reason that person doesn't hear or understand (a loud noise blots out one's words, one uses a slang term that is new to one's listener), there is nothing in the Vibhaṅga to indicate that one would escape from the full penalty.

For this reason, whether the person addressed actually feels insulted by one's remarks is irrelevant in determining the severity of the offense. If one makes a remark to a fellow bhikkhu, touching on one of the topics for abuse and meaning it as an insult, one incurs a pācittiya even if he takes it as a joke. If one means the remark as a joke, one incurs a dubbhāsita even if the other person feels insulted.

Non-offenses. According to the Vibhaṅga, a bhikkhu who mentions another person's race, etc., commits no offense if he is "aiming at Dhamma, aiming at (the person's) benefit (attha — this can also mean "the goal"), aiming at teaching." The Commentary illustrates this with a bhikkhu saying to a member of the untouchable caste: "You are an untouchable. Don't do any evil. Don't be a person born into misfortune and going on to misfortune."

Another example would be of a teacher who uses insulting language to get the attention of a stubborn student so that the latter will bring his behavior in line with the Dhamma. This would entail no offense, but one should be very sure of the purity of one's motives and of the beneficial effect of one's words before using language of this sort.

Offline BTY

  • Bhikkhu
  • Bukan Tamu
  • *****
  • Posts: 34
  • Reputasi: 17
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #33 on: 05 September 2014, 11:19:10 PM »
Ya, saya pun berpendapat persepsi "ucapan kasar" tidak selalu sama bagi komunitas yang berbeda.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #34 on: 06 September 2014, 08:58:21 AM »
Definisi "berucapan kasar" (pharusa-vāca) dalam Dasa-Kusalakamma-Patha adalah :

 “Ia berucapan kasar. Ucapannya keras, kasar, membuat getir pihak lain, menyinggung perasaan pihak lain, menimbulkan kemarahan dan kegalauan. Seperti itulah ia berucap.” [A. 5:282-4; Paṭhamanirayasaggasuttaṃ]

Di mana faktor pelanggarannya ada tiga (ketiga syarat ini harus terpenuhi baru bisa dikatakan ucapan kasar) :
1.   akkositabbo paro   : pihak yang akan dicerca
2.   kupitacittaṃ   : pikiran marah
3.   akkosana      : pencercaan

Sedangkan dalam Vinaya, itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran pacittiya no. 2. Di sini tidak mengguna istilah pharusa-vāca (ucapan kasar), tetapi Omasavāda (ucapan yang menyinggung perasaan). Penjelasan pelanggarannya adalah sebagai berikut (dikutip dari "Buddhist Monastic Code" karya Bhikkhu Thanissaro :

 2. An insult is to be confessed.

An insult is a gesture or statement, written or spoken, made with the malicious intent of hurting another person's feelings or of bringing him/her into disgrace. The Vibhaṅga analyzes the full offense under this rule in terms of three factors:

    1) Effort: One insults a person directly to his face, touching on any one of the ten topics for abuse (akkosa-vatthu) listed below.
    2) Object: The person is a bhikkhu.
    3) Intention: One's motive is to humiliate him.

Effort. The Vibhaṅga lists ten ways a verbal insult can be phrased: making remarks about the other person's

    race, class, or nationality (You nigger! You bum! You Frenchman!);
    name (You really are a Dick!);
    family or lineage (You bastard! You son of a b***h!);
    occupation (You pimp! You capitalist pig!);
    craft (What would you expect from a guy who crochets?);
    disease or handicap (Hey, Clubfoot! Spastic!);
    physical characteristics (Hey, Fatty! Beanpole! Shrimp! Hulk!);
    defilements (You control freak! Fool! Queer! Breeder!);
    offenses (You liar! You thief!); or
    using an abusive form of address, such as, "You camel! You goat! You ass! You p*n*s! You vagina!" (§) (All five of these come from the Vibhaṅga.)

(The category of "offense" — which literally means "falling" — contains an interesting sub-category, in that the noble attainment of stream-entry is, literally, "falling into the stream." Thus an insult along the lines of, "Some stream-winner you are!" would also fit under this category as well.)

These ten topics are called the akkosa-vatthu — topics for abuse — and appear in the following training rule as well.

As the examples in the Vibhaṅga show, the remark that fulfills the factor of effort here must touch on one of these topics for abuse and must be made directly to the listener: "You are X." It may be phrased either as sarcastic praise or as out-and-out abuse. The Commentary and Sub-commentary say that any insulting remark not listed in the Vibhaṅga would only be grounds for a dukkaṭa, but the Vibhaṅga defines the topics for abuse in such a general way that any term related to them in any way would fulfill this factor here.

Remarks made in an indirect or insinuating manner, though, would not fulfill this factor. Indirect remarks are when the speaker includes himself together with the target of his insult in his statement ("We're all a bunch of fools.") Insinuating remarks are when he leaves it uncertain as to whom he is referring to ("There are camels among us"). Any remark of this sort, if meant as an insult, entails a dukkaṭa regardless of whether the target is a bhikkhu or not.

All of the insults mentioned in the Vibhaṅga take the form of remarks about the person, whereas insults and verbal abuse at present often take the form of a command — Go to hell! F--- off! etc. — and the question is whether these too would be covered by this rule. Viewed from the standpoint of intent, they fit under the general definition of an insult; but if for some reason they would not fit under this rule, they would in most cases be covered by Pc 54.

Insulting remarks made about someone behind his/her back are dealt with under Pc 13.

Object. To insult a bhikkhu incurs a pācittiya; to insult an unordained person — according to the Commentary, this runs the gamut from bhikkhunīs to all other living beings — a dukkaṭa.

Intent. The Vibhaṅga defines this factor as "desiring to jeer at, desiring to scoff at, desiring to make (him) abashed." If, with no insult intended, a bhikkhu jokes about another person's race, etc., he incurs a dubbhāsita, regardless of whether the person is lay or ordained, mentioned outright or insinuatingly, and regardless of whether he/she takes it as a joke or an insult. This is the only instance of this class of offense.

The K/Commentary adds result as a fourth factor — the target of one's insult knows, "He's insulting me" — but there is no basis for this in either the Vibhaṅga or the Commentary. If one makes an insulting remark under one's breath, not intending to be heard — or in a foreign language, not intending to be understood — the motive would be to let off steam, which would not qualify as the intention covered by this rule. If one truly wants to humiliate someone, one will make the necessary effort to make that person hear and understand one's words. But if for some reason that person doesn't hear or understand (a loud noise blots out one's words, one uses a slang term that is new to one's listener), there is nothing in the Vibhaṅga to indicate that one would escape from the full penalty.

For this reason, whether the person addressed actually feels insulted by one's remarks is irrelevant in determining the severity of the offense. If one makes a remark to a fellow bhikkhu, touching on one of the topics for abuse and meaning it as an insult, one incurs a pācittiya even if he takes it as a joke. If one means the remark as a joke, one incurs a dubbhāsita even if the other person feels insulted.

Non-offenses. According to the Vibhaṅga, a bhikkhu who mentions another person's race, etc., commits no offense if he is "aiming at Dhamma, aiming at (the person's) benefit (attha — this can also mean "the goal"), aiming at teaching." The Commentary illustrates this with a bhikkhu saying to a member of the untouchable caste: "You are an untouchable. Don't do any evil. Don't be a person born into misfortune and going on to misfortune."

Another example would be of a teacher who uses insulting language to get the attention of a stubborn student so that the latter will bring his behavior in line with the Dhamma. This would entail no offense, but one should be very sure of the purity of one's motives and of the beneficial effect of one's words before using language of this sort.
Terima kasih untuk infonya yang detail, Bhante.

Untuk faktornya itu harus ada "pikiran marah". Kalau seandainya orang mengucapkan salah satu dari 10 kategori penghinaan, tapi bukan dari pikiran marah namun memang menikmati bullying, apakah jadinya termasuk pisuna-vaca atau kategori lainnya?


Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #35 on: 06 September 2014, 10:31:49 AM »
Definisi "berucapan kasar" (pharusa-vāca) dalam Dasa-Kusalakamma-Patha adalah :

 “Ia berucapan kasar. Ucapannya keras, kasar, membuat getir pihak lain, menyinggung perasaan pihak lain, menimbulkan kemarahan dan kegalauan. Seperti itulah ia berucap.” [A. 5:282-4; Paṭhamanirayasaggasuttaṃ]

Di mana faktor pelanggarannya ada tiga (ketiga syarat ini harus terpenuhi baru bisa dikatakan ucapan kasar) :
1.   akkositabbo paro   : pihak yang akan dicerca
2.   kupitacittaṃ   : pikiran marah
3.   akkosana      : pencercaan

Sedangkan dalam Vinaya, itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran pacittiya no. 2. Di sini tidak mengguna istilah pharusa-vāca (ucapan kasar), tetapi Omasavāda (ucapan yang menyinggung perasaan). Penjelasan pelanggarannya adalah sebagai berikut (dikutip dari "Buddhist Monastic Code" karya Bhikkhu Thanissaro :

 2. An insult is to be confessed.

An insult is a gesture or statement, written or spoken, made with the malicious intent of hurting another person's feelings or of bringing him/her into disgrace. The Vibhaṅga analyzes the full offense under this rule in terms of three factors:

    1) Effort: One insults a person directly to his face, touching on any one of the ten topics for abuse (akkosa-vatthu) listed below.
    2) Object: The person is a bhikkhu.
    3) Intention: One's motive is to humiliate him.

Effort. The Vibhaṅga lists ten ways a verbal insult can be phrased: making remarks about the other person's

    race, class, or nationality (You nigger! You bum! You Frenchman!);
    name (You really are a Dick!);
    family or lineage (You bastard! You son of a b***h!);
    occupation (You pimp! You capitalist pig!);
    craft (What would you expect from a guy who crochets?);
    disease or handicap (Hey, Clubfoot! Spastic!);
    physical characteristics (Hey, Fatty! Beanpole! Shrimp! Hulk!);
    defilements (You control freak! Fool! Queer! Breeder!);
    offenses (You liar! You thief!); or
    using an abusive form of address, such as, "You camel! You goat! You ass! You p*n*s! You vagina!" (§) (All five of these come from the Vibhaṅga.)

(The category of "offense" — which literally means "falling" — contains an interesting sub-category, in that the noble attainment of stream-entry is, literally, "falling into the stream." Thus an insult along the lines of, "Some stream-winner you are!" would also fit under this category as well.)

These ten topics are called the akkosa-vatthu — topics for abuse — and appear in the following training rule as well.

As the examples in the Vibhaṅga show, the remark that fulfills the factor of effort here must touch on one of these topics for abuse and must be made directly to the listener: "You are X." It may be phrased either as sarcastic praise or as out-and-out abuse. The Commentary and Sub-commentary say that any insulting remark not listed in the Vibhaṅga would only be grounds for a dukkaṭa, but the Vibhaṅga defines the topics for abuse in such a general way that any term related to them in any way would fulfill this factor here.

Remarks made in an indirect or insinuating manner, though, would not fulfill this factor. Indirect remarks are when the speaker includes himself together with the target of his insult in his statement ("We're all a bunch of fools.") Insinuating remarks are when he leaves it uncertain as to whom he is referring to ("There are camels among us"). Any remark of this sort, if meant as an insult, entails a dukkaṭa regardless of whether the target is a bhikkhu or not.

All of the insults mentioned in the Vibhaṅga take the form of remarks about the person, whereas insults and verbal abuse at present often take the form of a command — Go to hell! F--- off! etc. — and the question is whether these too would be covered by this rule. Viewed from the standpoint of intent, they fit under the general definition of an insult; but if for some reason they would not fit under this rule, they would in most cases be covered by Pc 54.

Insulting remarks made about someone behind his/her back are dealt with under Pc 13.

Object. To insult a bhikkhu incurs a pācittiya; to insult an unordained person — according to the Commentary, this runs the gamut from bhikkhunīs to all other living beings — a dukkaṭa.

Intent. The Vibhaṅga defines this factor as "desiring to jeer at, desiring to scoff at, desiring to make (him) abashed." If, with no insult intended, a bhikkhu jokes about another person's race, etc., he incurs a dubbhāsita, regardless of whether the person is lay or ordained, mentioned outright or insinuatingly, and regardless of whether he/she takes it as a joke or an insult. This is the only instance of this class of offense.

The K/Commentary adds result as a fourth factor — the target of one's insult knows, "He's insulting me" — but there is no basis for this in either the Vibhaṅga or the Commentary. If one makes an insulting remark under one's breath, not intending to be heard — or in a foreign language, not intending to be understood — the motive would be to let off steam, which would not qualify as the intention covered by this rule. If one truly wants to humiliate someone, one will make the necessary effort to make that person hear and understand one's words. But if for some reason that person doesn't hear or understand (a loud noise blots out one's words, one uses a slang term that is new to one's listener), there is nothing in the Vibhaṅga to indicate that one would escape from the full penalty.

For this reason, whether the person addressed actually feels insulted by one's remarks is irrelevant in determining the severity of the offense. If one makes a remark to a fellow bhikkhu, touching on one of the topics for abuse and meaning it as an insult, one incurs a pācittiya even if he takes it as a joke. If one means the remark as a joke, one incurs a dubbhāsita even if the other person feels insulted.

Non-offenses. According to the Vibhaṅga, a bhikkhu who mentions another person's race, etc., commits no offense if he is "aiming at Dhamma, aiming at (the person's) benefit (attha — this can also mean "the goal"), aiming at teaching." The Commentary illustrates this with a bhikkhu saying to a member of the untouchable caste: "You are an untouchable. Don't do any evil. Don't be a person born into misfortune and going on to misfortune."

Another example would be of a teacher who uses insulting language to get the attention of a stubborn student so that the latter will bring his behavior in line with the Dhamma. This would entail no offense, but one should be very sure of the purity of one's motives and of the beneficial effect of one's words before using language of this sort.
Anumodana bhante...._/\_

Mohon kesediaan bhante untuk terus membimbing kami disini, karena kami sangat membutuhkan bimbingan bhante.
+1 untuk bhante jangan dipandang sbg saya menyogok bhante yaaa.... ;D

Based on this "Another example would be of a teacher who uses insulting language to get the attention of a stubborn student so that the latter will bring his behavior in line with the Dhamma." always use to cover his mistakes, that he insults others. He is a monk, who will dares to report about his conducts ?

Pls, dont misunderstand me bhante, might this is occured in society.

Namaskara.
 _/\_
I'm an ordinary human only

Offline BTY

  • Bhikkhu
  • Bukan Tamu
  • *****
  • Posts: 34
  • Reputasi: 17
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #36 on: 09 September 2014, 08:42:29 AM »
 [at]  K. K. : kalau saya tidak salah mengerti, sebagaimana yang dijelaskan B. Thanissaro di atas, 'bullying' termasuk pelanggaran dubbhasita.

 [at]  Shasika : oleh karena itu B. Thanissaro mengatakan "One should be very sure of the purity of one's motives and of the beneficial effect of one's words before using language of this sort."

Asal gratifikasi dilaporkan ke KPK, boleh saja :-)

Offline wijananda

  • Teman
  • **
  • Posts: 95
  • Reputasi: -10
  • brahmajala. sutra
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #37 on: 09 September 2014, 08:05:40 PM »
Pak biksu / bikkhu
1. Apa benar bapak biksu atau bikhu.
2. Jika bapak biksu memakai bajunya terbalik
     Dalam arti yang terbuka sebelah kiri.
     Apakah ini bisa dikatakan buta karena itu
     Diartikan tersesat.
     Atau bodoh dalam artian  perhatian kurang
     Sehingga terbalik.
3. Bapak biksu jgn mudah marah ya
     Ini pertanyaan serius
     

Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #38 on: 09 September 2014, 09:53:54 PM »
[at]  K. K. : kalau saya tidak salah mengerti, sebagaimana yang dijelaskan B. Thanissaro di atas, 'bullying' termasuk pelanggaran dubbhasita.

 [at]  Shasika : oleh karena itu B. Thanissaro mengatakan "One should be very sure of the purity of one's motives and of the beneficial effect of one's words before using language of this sort."

Asal gratifikasi dilaporkan ke KPK, boleh saja :-)
Ama Bhante...
Namaskara.

***Bhante apabila ada pertanyaan2 dari saya yang agak kurang sopan, mohon maaf ya bhante, tapi karena memang apa2 yang saya tanyakan adalah yang saya alami sendiri..._/\_
I'm an ordinary human only

Offline wijananda

  • Teman
  • **
  • Posts: 95
  • Reputasi: -10
  • brahmajala. sutra
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #39 on: 10 September 2014, 02:48:06 AM »
Pak biksu maap ya
Jika ada tulisan yg baik
Didepan pak biksu
Tapi kurang jelek
Dibelakang pak biksu

Offline siJeffrey2

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 2
  • Reputasi: 0
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
"Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #40 on: 16 February 2017, 07:54:23 AM »
trus apa gunanya orang kulit hitam meluk islam..? mereka gak tau ya kayaknya kl islam tuh rasis sama mereka...

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Orang sesat" dalam MN 22 Alagaddupama Sutta
« Reply #41 on: 03 March 2017, 04:55:20 PM »
trus apa gunanya orang kulit hitam meluk islam..? mereka gak tau ya kayaknya kl islam tuh rasis sama mereka...
Di sini tidak membahas Islam, orang kulit hitam, ataupun rasisme. Mohon tidak melebar ke mana-mana.