saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..
andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".
apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"
tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?
orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"
garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).
ada 10 belenggu yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9 nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.
jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....
salam metta.
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.
Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....
karena belum mencapai arahat....
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"
rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco.....
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).
hak anda...silahkan..
kalau saya, yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.
kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain ,
karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...saya rasa tidak demikian bukan
kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.
kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense
murni diskusi open mind.
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.
Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..
mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?
apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.