//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama  (Read 7241 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« on: 15 August 2015, 06:28:20 PM »
Berikut adalah terjemahan tiga sutta dari Samyukta Agama (SA) yang mengambil topik tentang kekosongan (suññata / sunyata). Pentingnya ketiga sutta ini tidak hanya dalam Buddhisme awal, namun juga Mahayana yang mengomentari ketiga sutta dari kanon "Hinayana" ini sebagai yang mengandung ajaran tentang kekosongan fenomena (dharmanairātmāya) [sebagai pasangan dari kekosongan diri (pudgalanairātmāya) dalam Buddhisme awal]. Dua dari tiga sutta ini memiliki padanan Pali-nya dalam Samyutta Nikaya (SN), kecuali sutta yang terakhir.

Semoga bermanfaat _/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #1 on: 15 August 2015, 06:30:50 PM »
Saṃyukta Āgama 232
Samiddhi-Suññata-Veyyākaraṇa
Penjelasan kepada Samiddhi tentang Kekosongan

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthi di Hutan Jeta, TamanAnāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Samiddhi mendekati Sang Bhagavā, setelah mendekati dan bersujud, ia duduk pada satu sisi. Ketika duduk pada satu sisi Yang Mulia Samaddhi berkata kepada Sang Bhagavā:

“Dikatakan bahwa ‘dunia adalah kosong’, Bhante. Dengan cara apakah, Bhante, dikatakan bahwa ‘dunia adalah kosong’?
Sang Bhagavā berkata:

“Mata adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.
Bentuk adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Kesadaran-mata adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-mata juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

“Telinga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Suara adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.
Kesadaran-telinga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-telinga juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

“Hidung adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Bebauan adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Kesadaran-hidung adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-hidung juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

“Lidah adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Rasa adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.
Kesadaran-lidah adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-lidah juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

“Badan adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Sentuhan adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Kesadaran-badan adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-badan juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

“Pikiran adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Objek pikiran adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Kesadaran-pikiran adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung pada kontak-pikiran juga adalah kosong, kosong dari diri, kosong dari apa yang menjadi milik diri, dan kosong dari sifat yang kekal dan tidak berubah.

Oleh karena itu, dikatakan bahwa ‘dunia adalah kosong’.”

Demikianlah yang dikatakan Sang Bhagavā. Yang Mulia Samiddhi bergembira dalam kata-kata Sang Bhagavā tersebut.

[Padanan Pali: SN 35.85]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #2 on: 15 August 2015, 06:39:23 PM »
Saṃyukta Āgama 297
Mahā-Suññata-Dhamma-Pariyāya
Uraian Panjang tentang Kekosongan

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk negeri Kuru. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Aku akan mengajarkan kalian Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya, dengan makna yang benar dan ungkapan yang benar, kehidupan suci yang sepenuhnya lengkap dan murni. Aku akan mengungkapkan kepada kalian, yaitu, penguraian yang disebut uraian panjang tentang kekosongan. Dengarkanlah, perhatikan dengan seksama, apa yang akan Ku-katakan.

“Apakah uraian panjang tentang kekosongan? Yaitu: ‘karena ini ada, itu ada; karena ini muncul, itu muncul’, yaitu ‘dikondisikan oleh ketidaktahuan, bentukan muncul; dikondisikan oleh bentukan, kesadaran muncul; dikondisikan oleh kesadaran, nama-dan-bentuk muncul; dikondisikan oleh nama-dan-bentuk, enam landasan indera muncul; dikondisikan oleh enam landasan indera, kontak muncul; dikondisikan oleh kontak, perasaan muncul; dikondisikan oleh perasaan, ketagihan muncul; dikondisikan oleh ketagihan, kemelekatan muncul; dikondisikan oleh kemelekatan, penjelmaan muncul; dikondisikan penjelmaan, kelahiran muncul; dikondisikan oleh kelahiran, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan muncul. Demikianlah munculnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini muncul.’

[Penuaan dan Kematian]

‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami penuaan dan kematian? Milik siapakah penuaan dan kematian?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami penuaan dan kematian. Penuaan dan kematian adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian muncul’.

[Kelahiran]

‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kelahiran? Milik siapakah kelahiran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kelahiran. Kelahiran adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul’.

[Penjelmaan]

‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami penjelmaan? Milik siapakah penjelmaan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami penjelmaan. Penjelmaan adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan muncul’.

[Kemelekatan]

‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kemelekatan? Milik siapakah kemelekatan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kemelekatan. Kemelekatan adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan muncul’.

[Ketagihan]

‘Dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami ketagihan? Milik siapakah ketagihan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami ketagihan. Ketagihan adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan muncul’.

[Perasaan]

‘Dengan kontak sebagai kondisi, perasan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami perasaan? Milik siapakah perasaan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami perasaan. Perasaan adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kontak sebagai kondisi, perasaan muncul’.

[Kontak]

‘Dengan enam landasan indera sebagai kondisi, kontak muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kontak? Milik siapakah kontak?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kontak. Kontak adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan enam landasan indera sebagai kondisi, kontak muncul’.

[Enam Landasan Indera]

‘Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami enam landasan indera? Milik siapakah enam landasan indera?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami enam landasan indera. Enam landasan indera adalah milik diri’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indera muncul’.

[Nama-dan-bentuk]

‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami nama-dan-bentuk? Milik siapakah nama-dan-bentuk?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami nama-dan-bentuk. Nama-dan-bentuk adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk muncul’.

[Kesadaran]

‘Dengan bentukan sebagai kondisi, kesadaran muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kesadaran? Milik siapakah kesadaran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kesadaran. Kesadaran adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan bentukan sebagai kondisi, kesadaran muncul’.

[Bentukan]

‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami bentukan? Milik siapakah kesadaran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami bentukan. Bentukan adalah milik diri.’

Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.

Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.

Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul’.

[Munculnya Pengetahuan]

“Para bhikkhu, bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya penuaan dan kematian telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami penuaan dan kematian? Milik siapakah penuaan dan kematian?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kelahiran telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kelahiran? Milik siapakah kelahiran?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya penjelmaan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami penjelmaan? Milik siapakah penjelmaan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kemelekatan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kemelekatan? Milik siapakah kemelekatan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya ketagihan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami ketagihan? Milik siapakah ketagihan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya perasaan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami perasaan? Milik siapakah perasaan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kontak telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kontak? Milik siapakah kontak?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya enam landasan indera telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami enam landasan indera? Milik siapakah enam landasan indera?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya nama-dan-bentuk telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami nama-dan-bentuk? Milik siapakah nama-dan-bentuk?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kesadaran telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kesadaran? Milik siapakah kesadaran?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya bentukan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami bentukan? Milik siapakah bentukan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.

Dan, para bhikkhu, ketika ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, baginya karena lenyapnya ketidaktahuan, maka bentukan lenyap; karena lenyapnya bentukan, maka kesadaran lenyap; karena lenyapnya kesadaran, maka nama-dan-bentuk lenyap; karena lenyapnya nama-dan-bentuk, maka enam landasan indera lenyap; karena lenyapnya enam landasan indera, maka kontak lenyap; karena lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap; karena lenyapnya perasaan, maka ketagihan lenyap; karena lenyapnya ketagihan, maka kemelekatan lenyap; karena lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap; karena lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap; karena lenyapnya kelahiran, maka penuaan dan kematian, dukacita, kesakitan, ratap tangis, kesedihan dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

Inilah yang disebut uraian panjang tentang kekosongan.”

Demikianlah apa yang dikatakan Sang Bhagavā. Para bhikkhu bergembira dalam kata-kata Sang Bhagavā tersebut.

[Padanan Pali: SN 12.35-36]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #3 on: 15 August 2015, 06:42:46 PM »
Saṃyukta-Āgama 335
Paramattha-Suññata-Sutta
Kotbah tentang Makna Tertinggi dari Kekosongan

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk negeri Kuru di sebuah kota bernama Kalāmasadama. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya, dengan makna yang benar dan ungkapan yang benar, kehidupan suci yang sepenuhnya lengkap dan murni. Aku akan mengungkapkan kepada kalian, yaitu uraian tentang makna tertinggi dari kekosongan. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan.

“Apakah uraian tentang makna tertinggi dari kekosongan?

“Mata, para bhikkhu, saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun, dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya mata yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Bentuk saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya bentuk yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Kesadaran-mata saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya kesadaran-mata yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung dari kontak-mata juga saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung dari kontak-mata yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Terdapat kamma, dan terdapat akibat kamma, tetapi pelaku yang meletakkan kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dan menghubungkan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan lain tidak dapat ditemukan, yang hanya suatu perumpamaan untuk fenomena.

“Telinga... hidung... lidah... badan... pikiran saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun, dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya telinga... hidung... lidah... badan... pikiran yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Suara... bebauan... rasa... sentuhan... objek pikiran saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya suara... bebauan... rasa... sentuhan... objek pikiran yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Kesadaran-telinga... kesadaran-hidung... kesadaran-lidah... kesadaran-badan... kesadaran-pikiran saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya kesadaran-telinga... kesadaran-hidung... kesadaran-lidah... kesadaran-badan... kesadaran-pikiran yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung dari kontak-telinga... kontak-hidung... kontak-lidah... kontak-badan... kontak-pikiran juga saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun. Demikianlah sesungguhnya apa yang dirasakan sebagai menyenangkan, menyakitkan dan bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul bergantung dari kontak-telinga... kontak-hidung... kontak-lidah... kontak-badan... kontak-pikiran yang belum muncul dan yang telah lenyap.

Terdapat kamma, dan terdapat akibat kamma, tetapi pelaku yang meletakkan kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dan menghubungkan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan lain tidak dapat ditemukan, yang hanya suatu perumpamaan untuk fenomena.

“[Apakah] ‘hanya suatu perumpamaan untuk fenomena’? Dalam hal ini, inilah perumpamaan untuk fenomena, yaitu: ketika ini ada, itu ada; dengan munculnya ini, itu muncul. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul; dengan bentukan sebagai kondisi, kesadaran muncul; dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk muncul; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indera muncul; dengan enam landasan indera sebagai kondisi, kontak muncul; dengan kontak sebagai kondisi, perasaan muncul; dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan muncul; dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan muncul; dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan muncul; dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan muncul. Demikianlah munculnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

Di dalam hal ini, ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, itu lenyap. Yaitu, dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap; dengan lenyapnya bentukan, kesadaran lenyap; dengan lenyapnya kesadaran, nama-dan-bentuk lenyap; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, enam landasan indera lenyap; dengan lenyapnya enam landasan indera, kontak lenyap; dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap; dengan lenyapnya perasaan, ketagihan lenyap; dengan lenyapnya ketagihan, kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan, penjelmaan lenyap; dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Inilah yang disebut uraian tentang makna tertinggi dari kekosongan.”

Demikianlah yang dikatakan Sang Bhagavā. Para bhikkhu bergembira dalam kata-kata Sang Bhagavā tersebut.

[Tidak ada padanan Pali]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #4 on: 16 August 2015, 01:37:52 PM »
"tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun"

baru pertama kalinya liat di agama sutra. Biasanya liat di mahayana sutra.
seperti di sutra hati " tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang berkurang dan tiada yang bertambah"
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #5 on: 16 August 2015, 07:46:58 PM »
"tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun"

baru pertama kalinya liat di agama sutra. Biasanya liat di mahayana sutra.
seperti di sutra hati " tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang berkurang dan tiada yang bertambah"

Beda, bro, dalam SA 335 itu: "<enam landasan indera, enam objek indera, enam kesadaran indera, enam jenis perasaan yang muncul dari enam kontak indera> saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun" (artinya ketika muncul ia tidak muncul dari penyimpanan [diri/jiwa] apa pun, juga ketika lenyap ia tidak pergi ke mana pun)

Menariknya, pernyataan tentang tidak ada penyimpanan di mana suatu fenomena muncul dan lenyap ini juga dikutip dalam Visuddhimagga sbb: "Tidak ada timbunan atau penyimpanan dari nama-dan-bentuk [yang muncul] sebelum kemunculannya. Ketika ia muncul, ia tidak datang dari timbunan atau penyimpanan apa pun; dan ketika ia lenyap, ia tidak pergi ke arah mana pun. Tidak ada di mana pun tempat penyimpanan dengan cara timbunan atau penyimpanan dari apa yang telah lenyap." (Vism 20.96).

Bhikkhu Nanamoli yang menerjemahkan Visuddhimagga mengidentifikasi kutipan kalimat ini berasal dari SN IV. 197, tetapi hanya cocok pada bagian perumpamaannya tentang kecapi di mana suara kecapi tidak tersimpan di mana pun dalam bagian-bagian kecapi, namun menunjuk pada hal yang berbeda (SN IV.197 / SN 35.247 mengatakan tentang penyelidikan lima khanda sejauh jangkauan lima khanda tersebut masing-masing sehingga gagasan "aku", "milikku", "diriku" yang muncul sebelumnya tidak muncul lagi). Jadi, kemungkinan penulis Visuddhimagga mengutip dari sutta SA 335 (atau yang sejenis) yang mengindikasikan bahwa sutta ini mungkin hilang dalam kanon Pali saat ini karena lost in transmission of texts.
« Last Edit: 16 August 2015, 07:51:58 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #6 on: 16 August 2015, 08:53:45 PM »
sering lho, tidak datang, tidak pergi.... di sutra mahayana.
==========================================

Sebagai contoh Bhadrapala, misalnya ada seorang wanita atau pria yang telah mencuci rambutnya dan memakai perhiasan, ia memutuskan untuk melihat dirinya sendiri pada bayangan di tempayan minyak jernih, atau bayangan di wadah air, atau cermin yang bersih, atau lantai yang dilapisi azurite. Jika mereka melihat bentuk diri mereka sendiri, Bhadrapala, apa pendapatmu? Apakah bentuk bayangan tersebut berarti ada orang pria atau wanita yang telah masuk ke dalam hal-hal itu ?

Bhadrapala menjawab: "Tidak, Yang Mulia, bukan begitu. Tetapi karena air dan minyak tenang dan tidak kacau, atau cermin bersih jernih, atau lantai azurite bersih, bayangan pantulan muncul; tubuh pria atau wanita tidaklah muncul dari air, minyak, cermin, atau kristal azurite, mereka tidak datang darimanapun dan tidak pergi kemanapun, mereka tidak dihasilkan darimanapun, juga tidak menghilang kemanapun.

Guru Buddha mengatakan: "Demikianlah, demikianlah, Bhadrapala. Seperti yang telah engkau katakan Bhadrapala, karena bentuk-bentuk (minyak, air, cermin, azurite) bagus dan jernih maka bayangan-pantulan muncul. Dengan cara yang sama, ketika para bodhisattva telah melatih samadhi ini dengan benar, para Tathagata akan dilihat oleh bodhisattva tanpa kesulitan. Setelah melihat mereka lalu para bodhisattva bertanya, dan gembira dengan jawaban dari pertanyaan tersebut. Dengan berpikir: "Apakah para Tathagata ini datang dari suatu tempat? Apakah aku pergi ke suatu tempat?" mereka mengerti bahwa Sang Tathagata tidak datang darimanapun. Setelah mengerti bahwa tubuh mereka juga tidak pergi kemanapun, mereka berpikir: "Apapun yang ada di tiga dunia ini tidak lain hanyalah pikiran. Mengapa? Karena bagaimana aku mengimajinasikan hal - hal, demikianlah mereka muncul."

"Pikiran itu tidak dapat dinyatakan berada di dalam, atau di luar, atau bukan keduanya, sebaliknya, ia dihasilkan dengan dasar obyektifikasi. Itu yang [dengan cara ini] dihasilkan dengan kondisi <pratitya-samutpanna> tidak memiliki keberadaan substansial <abhava>. Ia yang tidak memiliki keberadaan substansial adalah tak dilahirkan. Ia yang tak dilahirkan tidak dapat dipegang sebagai sebuah objek <anupalambha>. Ia yang tidak dapat dipegang sebagai objek adalah kosong dari inti-keberadaan <svabhava-sunya>. Ia yang kosong dari inti-keberadaan adalah tidak terdefinisikan. Ia yang tak terdefinisikan tidak dapat dilihat, dimengerti, dilekati, diperlihatkan, dihancurkan, atau dikembangkan.

"Pikiran menciptakan Buddha, pikiran itu sendiri melihatNya. Pikiran adalah Buddha, pikiran adalah Sang Tathagata. Pikiran adalah tubuhku, pikiran melihat Buddha. Pikiran tidak dapat dengan sendirinya mengetahui pikiran, pikiran tidak dapat dengan sendirinya melihat pikiran. Pikiran dengan persepsi [keliru] adalah kebodohan; pikiran tanpa persepsi [keliru] adalah Nirvana. Dharma- dharma ini kekurangan apapun yang bernilai. Mereka semua dihasilkan oleh pemikiran. Karena pemikiran adalah kosong, maka apapun yang dipikirkan sesungguhnya tidak ada." Bhadrapala, demikianlah visi dari bodhisattva yang berkembang dalam samadhi.

Pratyutpanna Buddha Sammukhavasthita Samadhi Sutra
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #7 on: 16 August 2015, 09:10:59 PM »
Kemudian Licchavi Vimalakirti melihat Putra Mahkota, Manjushri dan menyapanya demikian: “Manjushri! Selamat datang, Manjushri! Sungguh Selamat datang! Engkau datang, tiada yang datang. Engkau muncul, tiada yang melihat. Engkau terdengar, tiada yang mendengar.”
Manjushri berkata, “Perumah tangga, begitulah seperti yang engkau katakan. Siapa yang datang, sebenarnya tidak ada yang datang. Siapa yang pergi, sebenarnya tidak ada yang pergi. Mengapa? Tiada siapa pun yang datang. Tiada siapa pun yang pergi. Siapa yang datang sebenarnya tak terlihat.

Vimalakirti Sutra
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #8 on: 16 August 2015, 10:26:42 PM »
Sedikit berbeda arti antara "tidak muncul / tidak datang" dan "saat muncul tidak datang dari penyimpanan apa pun" serta antara "tidak lenyap / tidak pergi" dan "saat lenyap tidak pergi ke mana pun".

Dalam sutta awal ini berarti fenomena muncul dari suatu sebab dan kondisi (melalui kemunculan bergantungan), tetapi bukan berarti ia muncul dari suatu tempat di mana ia tersimpan (yaitu semacam diri/jiwa), seperti perumpamaan api muncul dari sebab dan kondisi tetapi bukan muncul dari suatu tempat di mana ia tersimpan. Atau perumpamaan suara kecapi yang bukan muncul dari bagian2 kecapi di mana ia tersimpan, melainkan dari sebab dan kondisi yg menyebabkan suara itu (yaitu petikan pd kecapi). Atau perumpamaan buah yg sebelum muncul pd pohonnya tdk tersimpan di mana pun pd bagian2 pohon tsb, melainkan ketika sebab dan kondisi mendukung (antara lain cuaca, air, penyerbukan dst) maka ia akan berbuah.

Kalo sutra Mahayana sepertinya beda makna, karena meniadakan kemunculan dan kelenyapan itu sendiri (tidak muncul, tidak lenyap, tidak datang, tidak pergi).
« Last Edit: 16 August 2015, 10:28:40 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #9 on: 16 August 2015, 10:52:10 PM »
seharusnya sama artinya, karena diambil dari situ juga. Kalau di madhyamika, Nagarjuna mengatakan tidak muncul tidak lenyap, sunyata, dan paticcasamupada adalah hal yang sama
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #10 on: 17 August 2015, 07:34:36 AM »
seharusnya sama artinya, karena diambil dari situ juga. Kalau di madhyamika, Nagarjuna mengatakan tidak muncul tidak lenyap, sunyata, dan paticcasamupada adalah hal yang sama

Pengertian tidak muncul dan tidak lenyap itu apa? Apakah tidak ada kemunculan dan tidak ada kelenyapan? Sedangkan Buddhisme awal mengajarkan tidak ada esensi (diri) yang muncul dan lenyap, melainkan hanya dukkha yang muncul dan lenyap melalui kemunculan bergantungan (paticcasamuppada) [SN 12.15 / SA 301]. Jika tidak ada kemunculan dan kelenyapan, berarti menolak/meniadakan paticcasamuppada itu sendiri yang adalah intisari untuk memahami jalan tengah tanpa berbelok pada salah satu ekstrem.

IMO, kalo memang pengertiannya memang sama, maka kemungkinan teks-teks Mahayana mereduksi/meringkas ungkapan dalam sutta awal "saat muncul tidak muncul dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap" (uppajjamānaṁ na kutoci sannicayato āgacchati, nirujjhamānañ’ca na kuhiñ’ci gacchati).menjadi "tidak muncul, tidak pergi; tidak lenyap, tidak datang" (anuppajjamānaṁ āgacchati, anirujjhamānañ’ca gacchati) yang menyebabkan perubahan makna dari kekosongan dari diri (pudgalanairatmaya) dalam Buddhisme awal menjadi kekosongan fenomena (dharmanairatyamaya) dalam Mahayana
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #11 on: 17 August 2015, 12:47:26 PM »
iya, karena kemudian diperluas bukan hanya kekosongan skandha akan diri, tetapi juga kekosongan semua fenomena akan sifat substantif yang berdiri sendiri (svabhava)

kalau pudgalanairatmaya kan diarahkan untuk diri sendiri dan makhluk lain. Kalau dharmanairatyamaya diarahkan pada semua fenomena.
Seharusnya tidak ada kontradiksi
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #12 on: 17 August 2015, 03:16:37 PM »
Sebagai catatan, yang dibantah oleh Madhyamaka dengan ajaran kekosongan fenomena adalah eksistensi fenomena (dharma) yang berdiri sendiri tanpa bergantung pada fenomena lain, seperti yang dikemukakan oleh Sarvastivada dalam konsep svabhava.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Alexis

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 36
  • Reputasi: -1
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #13 on: 18 August 2015, 04:24:37 AM »
 _/\_
Namo Buddhaya

Timbul, tenggelam...
Isi, kosong...
Dualisme, Non-Dualisme...
Ber "kehendak", maupun tidak ber "kehendak

Semua hanyalah fenomena...
Semua fenomena beserta isinya masih berada didalam Roda Samsara...
Roda Samsara = 31 alam kehidupan

Dengan munculnya pengetahuan (tentunya sesuai dengan JMB8)
Memahami Dhamma
- Anatta                - tidak ada        "Aku"
- Anicca                 - tidak berke     "Ingin" an
- Melepas (ikhlas) - jalan menuju   "Bahagia"



Melepas 31 alam kehidupan = menuju kebahagiaan

 _/\_
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
« Last Edit: 18 August 2015, 04:54:14 AM by Alexis »

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Tiga Sutta tentang Kekosongan dalam Samyukta Agama
« Reply #14 on: 18 August 2015, 10:10:19 PM »
"tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun"

baru pertama kalinya liat di agama sutra. Biasanya liat di mahayana sutra.
seperti di sutra hati " tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang berkurang dan tiada yang bertambah"

Beda.....

tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun
dan
tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang berkurang dan tiada yang bertambah"

dimana bedanya??
tidak datang dari penyimpanan apa pun dan saat lenyap tidak pergi ke mana pun

kalimat ini isinya...
1. ada yg datang (bukan tiada yg muncul), tp kedatangannya bukan dari suatu tempat penyimpanan
2. Bisa lenyap  (bukan tiada yg lenyap)..tp saat dia lenyap..dia tidak pergi di suatu tempat...

klo seandainya dia pergi ke suatu tempat..maka ada tempat penampungan, dimana dia bisa saja muncul (datang) dari sana kemudian... krn tidak ada "tempat penampungan" tsb maka di katakan begitu
...

 

anything