//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm  (Read 37472 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« on: 20 March 2009, 03:05:03 PM »


Ajahn Brahmavamso dilahirkan di London pada tahun 1951. Ia menganggap dirinya seorang Buddhis saat berusia 17 tahun melalui buku-buku Buddhis yang dibacanya ketika masih di sekolah. Ketertarikannya dalam ajaran Buddha dan meditasi berkembang ketika mempelajari Teori Fisika di Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya dan mengajar selama setahun, beliau mengunjungi Thailand untuk menjadi seorang bhikkhu. Beliau ditahbiskan di Bangkok pada usia 23 tahun oleh Kepala Vihara Wat Saket. Kemudian berturut-turut selama 9 tahun, beliau mempelajari dan berlatih tradisi meditasi hutan di bawah bimbingan Ajahn Chah. Pada tahun 1983, beliau diminta untuk membantu pembangunan sebuah vihara hutan dekat Perth, Australia bagian Barat. Ajahn Brahm sekarang adalah Kepala Vihara Bodhinyana dan Pembimbing Spiritual Buddhist Community di Australia bagian Barat.


** Ketikan terjemahan bisa rekan2 DC upload file nya dlm format .pdf
Elin sudah upload ke http://www.4shared.com/file/93914447/17519497/Kebijaksanaan_dalam_Keheningan.html


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #1 on: 20 March 2009, 03:08:00 PM »
MELAKUKAN SUATU KESALAHAN BUKANLAH HAL YANG BESAR

Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Dalam kehidupan ini, kita sering lupa bahwa melakukan kesalahan bukanlah hal yang besar. Dalam Ajaran Buddha tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Tidaklah mengapa menjadi tidak sempurna. Bukankah hal ini luar biasa? Ini berarti kita mempunyai kebebasan sebagai seorang manusia, daripada beranggapan bahwa diri kita sendiri merupakan seorang yang luar biasa dan hebat, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Alangkah mengerikan bukan, jika kita berpikir bahwa kita tidak diperbolehkan untuk melakukan kesalahan, karena pada dasarnya kita selalu melakukan kesalahan, kemudian kita berusaha menyembunyikannya dan mencoba untuk menutupinya. Sehingga rumah pun bukan lagi tempat yang damai, tenang dan nyaman. Tentu saja kebanyakan orang yang ragu-ragu akan berkata, “Jika kamu memperbolehkan orang untuk melakukan kesalahan, bagaimana mereka akan belajar? Mereka bahkan akan terus melakukan lebih banyak kesalahan lagi.” Tetapi sebenarnya bukan demikian caranya bekerja. Untuk mengilustrasikan hal ini, ketika saya masih remaja, ayah saya berkata kepada saya bahwa ia tidak akan mencampakkan saya maupun menutup pintu rumahnya bagi saya, tidak peduli apapun yang saya lakukan; saya akan selalu diterima di sana, bahkan jika saya melakukan kesalahan terburuk sekalipun. Ketika saya mendengar hal itu, saya memahami itu adalah ungkapan cinta, ungkapan penerimaan. Hal ini menginspirasi saya dan saya begitu menghormatinya sehingga saya tidak ingin menyakitinya, saya tidak ingin menimbulkan masalah baginya dan oleh sebab itulah saya bahkan berusaha lebih keras untuk menjadi lebih bernilai dalam keluarga.

Sekarang jika kita dapat menerapkan hal demikian terhadap orang-orang yang hidup di sekeliling kita, kita akan tahu bahwa hal ini akan memberikan kebebasan dan ruang untuk menenangkan dan mendamaikan diri, serta menghilangkan semua ketegangan. Dengan kenyamanan demikian, timbullah rasa hormat dan peduli kepada orang lain. Jadi saya menantang kamu untuk mencoba memperbolehkan orang-orang untuk melakukan kesalahan – katakanlah pada pasanganmu, orang tuamu atau anak-anakmu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, tidak peduli apapun yang kamu lakukan.” Katakan juga kepada dirimu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukku.” Perbolehkanlah dirimu untuk melakukan kesalahan juga. Dapatkah kamu mengingat semua kesalahan yang telah kamu lakukan dalam seminggu terakhir ini? Bisakah kamu membiarkannya, masih bisakah kamu menjadi seorang sahabat bagi dirimu sendiri? Hanya pada saat kita memperbolehkan diri kita sendiri untuk melakukan kesalahan, kita akan merasa nyaman.

Itulah yang kita sebut dengan kasih sayang, Metta, cinta. Sesuatu yang tanpa pamrih. Jika kamu hanya mencintai seseorang karena mereka melakukan sesuatu yang kamu sukai atau karena mereka selalu memuaskan segala pengharapanmu, maka tentu saja cinta itu tidak akan begitu berarti. Hal itu hanya seperti transaksi bisnis cinta, “Saya akan mencintaimu jika kamu memberikan imbalan kepadaku sebagai gantinya.”

Ketika pertama kali saya menjadi seorang bhikkhu, saya beranggapan para bhikkhu haruslah sempurna. Saya pikir mereka tidak pernah boleh melakukan kesalahan; ketika duduk saat meditasi, mereka harus selalu duduk dengan tegak. Tetapi bila kamu pernah duduk pukul 04.30 dini hari, terutama setelah bekerja keras sehari sebelumnya, kamu akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, tubuhmu akan menggelongsor, kamu bahkan akan terangguk-angguk karena rasa kantuk. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Dapatkah kamu merasakan betapa nyamannya perasaanmu, ketika semua ketegangan dan tekanan sirna di saat kamu memperbolehkan dirimu untuk melakukan kesalahan?

Masalahnya kita cenderung membesar-besarkan kesalahan dan melupakan keberhasilan, sehingga menciptakan begitu banyak beban berat dan rasa bersalah. Sebaliknya kita harus mengalihkannya kepada keberhasilan kita, hal-hal baik yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita; kita dapat menyebutnya sifat Buddha dalam diri kita. Jika kamu beralih kepadanya, maka ia akan tumbuh berkembang; sebaliknya jika kamu mengalihkannya kepada kesalahan, mereka juga akan tumbuh berkembang. Jika kamu merenungkan pikiran apapun dalam batin, pikiran apapun itu, ia akan tumbuh berkembang dan berkembang, bukankah demikian? Maka sebaiknya kita mengalihkan pikiran kita dan merenungkan hal-hal positif di dalam diri kita, kemurnian, kebajikan, sumber cinta yang tanpa pamrih – dengan berkeinginan untuk membantu, bahkan mengorbankan kenyamanan kita untuk kepentingan makhluk lain. Ini adalah sebuah cara agar kita bisa menghormati nurani kita, hati kita. Dengan memaafkan kesalahan, kita akan merenungkan kemuliaannya, kemurniannya, dan kebaikannya. Kita bisa menerapkan hal yang sama pada orang lain, kita bisa merenungkan kebajikan mereka dan mengamatinya tumbuh berkembang.

Inilah apa yang kita sebut dengan Kamma – perbuatan; cara kita berpikir mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, dan apa yang kita lakukan dengan kehidupan. Dan apa yang kita lakukan benar-benar terserah kepada kita, bukan sesuai kehendak suatu makhluk gaib luar biasa di atas sana yang menentukan kamu akan bahagia atau tidak. Kebahagiaanmu sepenuhnya berada di tanganmu, dalam kekuasaanmu. Inilah yang kita maksudkan dengan Kamma. Sama seperti ketika memanggang kue, Kamma menggambarkan bahan-bahan apa yang kamu miliki, apa yang harus kamu lakukan dengannya. Jadi jika seseorang memiliki Kamma yang kurang beruntung, mungkin ini merupakan hasil dari perbuatan lampau mereka, sehingga mereka tidak memiliki banyak bahan. Mungkin mereka hanya memiliki sejumlah terigu yang sudah tersimpan lama, satu atau dua butir kismis, dan sejumlah mentega tengik dan – bahan lain yang diperlukan untuk kue itu? – sejumlah gula… jadi dengan semua bahan itulah kita bekerja. Dan orang lain mungkin memiliki kamma yang sangat bagus, semua bahanbahan yang kamu idamkan: tepung gandum berkualitas, gula merah dan semua jenis buah-buah kering dan kacang. Tetapi pada akhirnya kue itu akan tetap dihasilkan… Bahkan dengan bahan-bahan yang amat kurang sekalipun, ada sebagian orang yang dapat menjadikannya kue yang indah. Mereka mengaduk semua bahan itu, memasukkannya ke dalam pemanggang – hmm.. lezat! Bagaimana mereka melakukannya? Sebaliknya ada orang yang mungkin mempunyai segalanya, malah menghasilkan kue yang rasanya tidak karuan.

Jadi Kamma menggambarkan bahan-bahan, sesuatu yang kita miliki untuk diolah; tetapi tidak menjelaskan apa yang harus kita perbuat dengan bahan bahan tersebut. Jadi jika seseorang bijaksana, tidaklah menjadi soal bahan apapun yang ia miliki untuk diolah.Kamu masih dapat membuat sebuah kue yang indah – asalkan kamu tahu caranya.

Tentu saja hal pertama yang harus diketahui, bahwa selalu mengeluhkan bahan-bahan yang kamu miliki adalah alternatif terakhir dalam membuat kue yang bagus. Kadang-kadang di vihara, jika ada satu bahan yang kurang, orang-orang yang sedang memasak akan mencari ke dapur dan cukup menggunakan apapun yang ada. Bahan itu bisa serba guna dan kamu akan memperoleh kue-kue yang sangat aneh, tetapi semuanya terasa lezat, ini dapat terjadi karena orang-orang telah belajar seni menggunakan apa yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu dengannya.

Jadi ke mana arah Kamma? Apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah menjadi kaya dan berkuasa? Tidak. Meditasi ini, ajaran Buddha ini, arah yang kita tuju, adalah ke arah pencerahan. Kita sedang menggunakan bahanbahan yang kita miliki untuk mencapai pencerahan. Tetapi sebenarnya apa arti pencerahan itu? Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Suatu ketika ada seorang guru Rusia bernama Gurdjief, yang memiliki sebuah komunitas di Prancis. Didalam komunitasnya, ada seorang pria yang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu mengganggu orang-orang dan menyusahkan mereka. Maka komunitas itu mengadakan pertemuan dan mereka meminta Gurdjief mengusirnya, mengeluarkannya, karena dia selalu menciptakan percekcokan dan membuat orang-orang tidak bahagia. Tetapi Gurdjief tidak pernah mau. Akan tetapi kemudian, setelah ia meninggal, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya ia lah yang membayar pria itu untuk menetap di sana! Setiap orang yang ada di sana harus membayar untuk makanan dan tempat tinggal. Tetapi Gurdjief sebenarnya membayar pria itu agar menetap di sana – untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang itu. Jika kamu hanya bisa bahagia ketika kamu hidup dengan orang-orang yang kamu suka, kebahagiaanmu itu sama sekali tidak bernilai, karena kamu belum bergejolak. Sama seperti segelas air berlumpur, ketika belum diaduk, bukankah kelihatannya jernih? Tetapi seketika setelah diguncang, lumpur muncul dari dasar gelas dan air menjadi keruh. Alangkah baiknya kamu menggoyangkan gelasmu untuk melihat apa yang sebenarnya terdapat didalamnya. Maka pada saat masih hidup, Gurdjief  membayar pria ini untuk mengguncang setiap orang untuk melihat apa yang terdapat di dalamnya.

Indikator yang sangat bagus untuk menilai sejauh mana tahap kehidupan spiritual seseorang adalah dengan melihat sebaik apa ia berhubungan dengan orang lain – terutama dengan orang yang tidak menyenangkan. Bisakah kamu merasa damai ketika seseorang menyusahkanmu? Bisakah kamu melepaskan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang, terhadap suatu tempat atau terhadap dirimu sendiri? Pada akhirnya kita harus bisa melakukannya, jika tidak kita tidak akan pernah mendapatkan pencerahan, kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian.

Bayangkan bagaimana rasanya dengan berkata, “Saya tidak akan pernah merasa jengkel lagi, saya tidak akan menentang atau menolak seseorang maupun kebiasaan-kebiasaan mereka. Jika saya tidak bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini, saya akan belajar hidup damai dengan sesuatu yang tidak saya sukai. Daripada selalu mengalihkan diri dari kepedihan dan mencari kesenangan, saya akan belajar menerima kepedihan itu dengan damai.” Bayangkan hal itu!

Kadang-kadang orang berpikir bahwa jika kamu tidak marah maka kamu cenderung seperti sayuran, kamu terus membiarkan orang lain menginjakmu, kamu hanya akan menjadi seseorang yang duduk berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Tetapi tanyakan pada dirimu sendiri, “Bagaimana perasaanmu setelah marah? Apakah kamu merasa berapi-api, penuh semangat?” Kita akan kelelahan ketika marah; kemarahan menghabiskan begitu banyak energi kita. Bahkan ketika kita merasa jengkel atau berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu tempat, itupun sudah menghabiskan energi. Maka jika kita tidak ingin merasa begitu letih dan tertekan, sebagai percobaan, kita bisa mencoba untuk tidak merasa jengkel. Lihat betapa kita akan menjadi lebih sigap dan lebih bergairah. Kemudian kita dapat memancarkan energi itu dalam bentuk kepedulian terhadap sesama dan juga terhadap diri kita sendiri. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini. Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan jalur cepat menuju pencerahan, cobalah dengan menghentikan kejengkelan dan kemarahan.

Jadi bagaimana kita menghentikannya? Pertamatama, dengan menginginkannya berhenti. Tetapi kebanyakan dari kita tidak menginginkan berhentinya kemarahan dan kejengkelan tersebut – dengan alasan yang tidak jelas kita menyukainya. Ada sebuah cerita pendek yang menarik mengenai dua orang bhikkhu yang tinggal bersama-sama di sebuah vihara selama bertahun-tahun, mereka bersahabat karib. Kemudian merekapun meninggal dengan perbedaan kurun waktu beberapa bulan. Salah seorang dari bhikkhu tersebut terlahir kembali di alam surga, sedangkan yang satunya lagi terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran. Ia yang berada di alam surga mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, menikmati semua kesenangan surgawi. Kemudian ia mulai memikirkan sahabatnya, “Saya ingin tahu di manakah sahabat lama saya?” Maka ia menerawang semua alam surga, akan tetapi ia tidak menemukan jejak sahabatnya. Kemudian ia menerawang alam manusia, tetapi ia juga tidak menemukan jejak sahabatnya di sana. Jadi ia mencarinya di alam binatang dan kemudian serangga. Akhirnya ia menemukannya, sahabatnya terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran… Wah! Ia berpikir, “Saya akan membantu sahabat saya. Saya akan turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan membawanya ke alam surga, sehingga ia juga bisa menikmati kesenangan surgawi dan hidup dalam kebahagiaan di alam-alam yang menyenangkan ini.”

Jadi ia pun turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sahabatnya. Cacing kecil itu menggeliat keluar dan bertanya, “Siapa kamu?”, “Saya adalah sahabatmu. Kita pernah hidup bersama sebagai bhikkhu pada kehidupan yang lampau, dan saya bermaksud membawamu ke alam surga yang kehidupannya menyenangkan dan penuh kebahagiaan.” Tetapi cacing itu membalas, “Pergilah, menjauhlah!”, “Tetapi saya sahabatmu, dan saya tinggal di alam surga,” dan ia pun menjelaskan alam surga kepadanya. Tetapi cacing itu berkata, “Tidak, terima kasih. Saya cukup gembira di sini, dalam tumpukan kotoran saya. Silakan pergi.” Kemudian makhluk surga ini berpikir, “Jika saya bisa memegangnya dengan erat dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri.” Maka ia pun memegang erat cacing itu dan mulai menariknya, dan semakin kuat ia menariknya, semakin kuat pula cacing itu melekat pada tumpukan kotorannya.

Apakah kamu dapat memetik pesan moral dari cerita di atas? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita? Ketika seseorang mencoba menarik kita keluar, kita terus menggeliat kembali kedalam, karena inilah yang menjadi kebiasaan kita, kita suka berada di dalamnya. Kadang-kadang kita sebenarnya melekat kepada kebiasaan-kebiasaan lama kita, kemarahan kita dan keinginan kita. Kadang-kadang kita ingin marah.

Jadi lain kali ketika kamu marah, berhentilah dan amati. Sadarlah sesaat dengan memperhatikanbagaimana perasaan itu. Ambil keputusan, peringatkan dirimu sendiri. “Lain kali ketika saya marah, saya akan merasakannya, bukannya menjadi sok pintar, menempuh caraku sendiri atau melukai orang lain”. Hanya memperhatikan bagaimana perasaan itu. Seketika setelah kamu memperhatikan kemarahan tersebut dengan hatimu – bukan dengan kepalamu – maka kamu akan menginginkannya berhenti, karena hal ini sangatlah menyakitkan, memedihkan, dan penuh penderitaan.

Hanya jika orang-orang bisa lebih mawas diri, lebih sadar – menyadari bagaimana rasanya, bukan dengan berpikir mengenainya, maka tidak akan ada persoalan lagi. Mereka akan melepaskan kemarahan dengan sangat cepat karena kemarahan itu panas, membakar. Tetapi kita cenderung melihat dunia ini dengan kepala daripada dengan hati kita. Kita memikirkannya, tetapi kita sangat jarang merasakannya, mengalaminya. Meditasi mulai membimbingmu berhubungan kembali dengan hatimu; dan keluar dari pemikiran dan keluh kesah, tempat dimana semua kemarahan dan keinginan berasal.

Ketika kamu memulainya dari hatimu, kamu bisa merasakannya sendiri, kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kamu bisa peduli terhadap dirimu sendiri. Ketika saya memulainya dari hati, saya juga bisa menghargai perasaan orang lain. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, ketika kita menghargai perasaan orang lain pula. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, dengan menghargai perasaan mereka, melihat sesuatu dari mereka untuk dicintai, dihormati.

Orang-orang marah karena mereka terluka, merasa tidak nyaman, tetapi jika kita bahagia, kita tidak akan pernah bisa marah pada orang lain, hanya jika kita merasa tertekan, lelah, frustrasi, susah, ketika ada rasa sakit dalam hati kita, saat itulah kita bisa marah kepada orang lain. Jadi ketika seseorang marah kepada saya, timbul rasa kasih sayang dan kebaikan saya terhadap orang itu, karena saya menyadari mereka sedang terluka.

Pertama kali saya mengunjungi seseorang yang dianggap telah tercerahkan, saya berpikir, “Wah! Lebih baik saya bermeditasi sebelum saya berada dalam jarak sepuluh mil darinya, karena ia pasti bisa membaca pikiran saya dan hal ini tentu saja sangat memalukan!” Akan tetapi seorang yang tercerahkan tidak akan bertindak kejam dan menyakitimu. Seorang yang tercerahkan akan menerimamu dan memberimu rasa nyaman. Itulah perasaan yang luar biasa, bukankah demikian; hanya dengan menerimamu apa adanya. Kamu hanya perlu menenangkan diri, tidak ada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah pengertian yang mendalam, pencerahan yang luar biasa, bahwa kamu baik-baik saja. Betapa banyak kepedihan yang bisa disingkirkan dari kehidupan manusia, betapa besar kebebasan yang bisa diberikan kepada orangorang untuk hidup di dunia, untuk melayani dunia, untuk mencintai dunia ini, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka baik-baik saja. Mereka tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah bertindak benar, mengubah diri mereka, selalu takut berbuat kesalahan. Ketika kamu merasa nyaman dengan dirimu, kamu akan merasa nyaman dengan orang lain, tidak menjadi soal siapapun mereka.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #2 on: 20 March 2009, 03:12:34 PM »
trims ya, dah cape2 terjemahin...  <:-P
i'm just a mammal with troubled soul



Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #3 on: 20 March 2009, 03:12:49 PM »
Thank u sis, it's a nice gift :)
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #4 on: 20 March 2009, 03:13:52 PM »
MEDITASI : INTI AJARAN BUDDHA

Hari ini saya ingin berbicara secara mendalam mengenai sifat ajaran Buddha. Saya sangat sering membaca di surat-surat kabar dan buku-buku mengenai hal-hal aneh yang terdapat dalam ajaran Buddha. Maka di sini, saya akan menunjukkan inti sebenarnya dari ajaran Buddha, bukan sebagai suatu teori melainkan sebagai suatu pengalaman.

Apa yang Bukan Inti Ajaran Buddha

Psikoterapi – Saya tahu bahwa sebagian orang beranggapan ajaran Buddha itu merupakan suatu bentuk psikoterapi, suatu jalan untuk menerapkan tingkah laku yang bijaksana dan terampil agar hidup lebih damai di dunia ini. Tentu saja, di dalam literatur ajaran Buddha yang kaya terdapat banyak hal yang dapat membantu manusia mengurangi permasalahan hidup. Melalui tingkah laku bijaksana dan niat penuh kasih sayang, Buddha mengajarkan sebuah cara efektif dalam menghadapi permasalahan di dunia. Ketika metode Buddha ini benar-benar berhasil, mereka memberikan keyakinan dan kepercayaan diri kepada orang-orang bahwa ada sesuatu yang benar-benar berharga bagi mereka di jalur Buddhis ini.

Saya sering merenungkan mengapa orang-orang datang ke sini, ke Buddhist Society pada setiap Jumat malam. Ini disebabkan mereka mendapatkan sesuatu dari sini. Sesuatu yang mereka dapatkan dari ajaran-ajaran ini adalah cara hidup yang lebih damai, perasaan yang lebih bahagia terhadap diri mereka sendiri dan rasa penerimaan yang lebih terhadap orang lain. Ajaran Buddha ibarat sebuah terapi permasalahan kehidupan, yang benar-benar menunjukkan hasil. Akan tetapi, bukan ini ajaran Buddha sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari efek sampingnya.

Filosofi – Sebagian orang mengenal ajaran Buddha dan mengetahui bahwa ajaran itu merupakan filosofi yang mengagumkan. Mereka bisa duduk mengelilingi meja kopi setelah saya memberikan ceramah dan mereka bisa saja berbincang-bincang selama berjam-jam, tetapi masih belum dekat ke arah pencerahan. Orang-orang sangat sering membahas hal hal yang sangat berjiwa besar, otak mereka dapat berbicara dan berpikir mengenai topik yang begitu mulia. Kemudian mereka keluar dan menyumpahi mobil pertama yang memotong jalan mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Mereka langsung melupakan apa yang mereka perbincangkan begitu saja.

Ritual – Selain melihat ajaran Buddha sebagai filosofi, banyak orang memandangnya sebagai agama. Ritual ajaran Buddha sangatlah bermakna dan tidak seharusnya dihilangkan hanya karena seseorang berpikir bahwa ritual itu tidak penting lagi. Saya sadar, orang orang yang terkadang sangat bangga, bahkan sombong dan berpikir mereka tidak membutuhkan ritual apapun. Tetapi sebenarnya ritual itu mempunyai potensi psikologis. Sebagai contoh, ritual akan berguna dalam masyarakat bagi dua orang yang hendak menjalani kehidupan bersama, mereka melangsungkan upacara pernikahan tertentu. Dalam upacara tersebut ada sesuatu yang terjadi di dalam pikiran, sesuatu terjadi di dalam hati. Ada sebuah komitmen mendalam yang menggema dengan mengetahui bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Dalam upacara dan ritual kematian, semua ritual lantunan, perenungan dan kata-kata baik sesungguhnya bermakna bagi orang yang terlibat di dalamnya. Ritual membantu mereka untuk dapat menerima kepergian seseorang yang mereka kasihi dengan lapang dada. Ritual membantu mereka mengakui kenyataan yang telah terjadi, bahwa perpisahan akhir dengan orang tersebut telah terjadi. Dan dalam penerimaan itulah, mereka akan merasa damai.

Dengan cara yang sama, di vihara kami, dalam upaya memaafkan orang lain dan menyembuhkan luka lama, sering dilaksanakan upacara pengampunan. Di gereja ka****k, mereka mempunyai upacara pengakuan dosa. Rincian yang detil mengenai upacara pengampunan itu tidaklah penting, yang terpenting adalah pengampunan telah diberikan, dengan cara-cara fisik melalui upacara atau ritual. Dibandingkan jika kamu hanya berkata, “Oh, maafkan saya”, bukankah akan sangat berbeda apabila permintaan maaf tersebut dibarengi dengan memberikan hadiah atau seikat bunga? Atau bukankah hal ini akan menjadi berbeda apabila kita menemuinya dan berkata “Oh, apa yang saya lakukan pada hari itu benar-benar tidak bisa dimaafkan, bersediakah kamu menerima undangan makan malam dariku malam ini” atau “ini ada dua lembar tiket nonton.” Akan lebih bermakna dan lebih efektif jika kamu merangkai sebuah upacara pengampunan yang indah daripada hanya dengan menggumamkan beberapa patah kata.

Bahkan ritual bersujud kepada rupang Buddha memiliki arti penting. Ini adalah sebuah praktik kerendahan hati. Ini berarti, “Saya belum tercerahkan dan masih ada sesuatu yang belum saya pahami dalam upaya pencapaian cita-citaku.” Hal ini sama seperti kerendahan hati seseorang ketika mereka pergi ke sekolah atau universitas dan mereka mengakui bahwa dosen-dosen dan profesor-profesor mengetahui lebih banyak hal daripada mereka. Jika kamu membantah para profesor ketika kuliah, apakah kamu akan belajar sesuatu? Kerendahan hati bukanlah ketaatan yang berlebihan, yang menampik harga dirimu, tetapi kerendahan hati adalah sikap menghormati berbagai kualitas diri orang yang berbeda-beda. Kadang-kadang tindakan bersujud, jika dilakukan dengan penuh kesadaran, merupakan sebuah upacara, sebuah ritual yang dapat membangkitkan suatu rasa suka cita yang amat luar biasa. Sebagai seorang bhikkhu banyak orang bersujud kepadaku dan saya juga bersujud kepada banyak orang yang lainnya. Selalu ada seseorang yang dapat kamu berikan sujud, tidak peduli betapa seniornya kamu. Setidaknya selalu ada Buddha untuk disujud. Saya menikmati bersujud. Ketika ada seorang bhikkhu yang lebih senior daripada saya, bersujud adalah sebuah cara yang indah untuk mengatasi keakuan dan sikap menghakimi, terutama ketika saya mesti bersujud kepada seorang bhikkhu yang benar-benar payah (kalau bhikkhunya baik, mudah saja untuk disujud). Ini adalah sebuah ritual yang jika dilakukan dengan cara yang benar bisa menghasilkan begitu banyak manfaat. Setidaknya, saya memberitahukan orang-orang di vihara, jika kamu banyak bersujud maka bisa menguatkan otot perutmu dan tidak akan kelihatan bergeledur! Tetapi bersujud lebih daripada sekadar demikian. Maka ritual-ritual Buddhis ini bermanfaat, tetapi ajaran Buddha jauh melebihi hal itu.


Meditasi dan Pencerahan

Ketika kamu bertanya apa sebenarnya ajaran Buddha itu, ini adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan beberapa patah kata. Kamu harus kembali kepada proses meditasi karena itulah yang terpenting, titik pangkal ajaran Buddha, inti ajaran Buddha. Sebagaimana yang dapat diketahui oleh setiap orang yang pernah mengenal ajaran Buddha, Buddha adalah seorang manusia yang mencapai pencerahan ketika bermeditasi di bawah sebatang pohon. Beberapa menit yang lalu kamu juga melakukan meditasi yang sama selama setengah jam. Mengapa kamu belum tercerahkan? Pencerahan Buddha itulah yang menciptakan agama Buddha. Itulah artinya, itulah pokoknya. Ajaran Buddha adalah segala hal mengenai pencerahan, bukan hanya sekadar menjalankan hidup sehat, atau hidup bahagia, atau belajar untuk menjadi bijaksana dan mengucapkan hal-hal yang cerdas kepada teman-temanmu di sekeliling meja kopi. Sekali lagi, ajaran Buddha adalah segala sesuatu mengenai Pencerahan ini.

Pertama-tama kamu harus mendapatkan perasaan atau indikasi mengenai apa sebenarnya pencerahan itu. Kadang-kadang orang-orang datang kepadaku dan berkata, “Saya telah tercerahkan”, dan kadang-kadang saya menerima surat dari orang-orang yang berisi, “Terima kasih atas pengajaranmu, ketahuilah bahwa saya telah tercerahkan sekarang.” Dan kadang-kadang saya mendengar pandangan orang mengenai para pengajar atau para guru “Oh yah, tentu saja mereka telah tercerahkan” tanpa benar-benar mengetahui apa makna perkataan tersebut. Kata tercerahkan berarti terbukanya kebijaksanaan, suatu pemahaman tentang lenyapnya semua penderitaan. Orang yang belum melepaskan semua penderitaan tidak akan pernah tercerahkan. Apabila seseorang masih menderita, berarti mereka masih belum melepaskan segala kemelekatan mereka. Orang yang masih mencemaskan harta bendanya, yang masih menangisi kematian dari orang yang ia kasihi, yang masih marah, dan yang masih menikmati kesenangan indrawi seperti seks, mereka belum tercerahkan. Pencerahan adalah sesuatu yang melampaui dan bebas dari semua hal tersebut.

Kadang kala ketika seorang bhikkhu membicarakan hal ini, dengan mudahnya ia dapat membuat orang-orang berdalih. Para bhikkhu kelihatan seperti “Wowsers” [Wowser berarti orang yang luar biasa fanatik, pembunuh kesenangan, berpantang minuman keras, perusak permainan. (Kamus Oxford Australia)], demikian yang mereka katakan di Australia. Mereka tidak nonton film, mereka tidak berhubungan intim, tidak memiliki kerabat, tidak bertamasya pada hari libur, tidak punya kesenangan apapun. Benar-benar gerombolan wowsers! Tetapi hal menarik yang diperhatikan orang banyak adalah bahwa kebanyakan orang yang paling damai dan bahagia yang dapat kamu temui adalah para bhikkhu dan biarawati yang hadir dan duduk serta memberikan ceramah di sini setiap Jumat malam. Para bhikkhu sangat berbeda dengan wowsers, alasannya ada kebahagiaan lain yang diketahui para bhikkhu, yang telah ditunjukkan oleh Buddha kepada mereka. Kamu semua dapat merasakan kebahagiaan yang sama ketika praktik meditasimu mulai tinggal landas.


Pelepasan

Buddha mengajarkan bahwa kemelekatan menyebabkan penderitaan dan pelepasan adalah sumber dari kebahagiaan dan merupakan jalan menuju pencerahan. Lepaskanlah! Sering kali orang menanyakan bagaimana caranya melepaskan? Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan tidak akan dapat dijawab dengan kata-kata. Jadi saya menjawab pertanyaan tersebut dengan berkata, “Sekarang waktunya untuk bermeditasi, duduk bersila, dan hiduplah pada saat ini”, karena hal ini mengajarkan mereka bagaimana cara melepaskan. Lebih lanjut, waktu terpenting dalam bermeditasi adalah saat-saat terakhir. Selalu camkan hal ini. Pada beberapa menit terakhir tanyakan pada dirimu, “Bagaimana perasaan saya?”, “Seperti apakah perasaan ini dan mengapa?”, “Bagaimana ini dapat terjadi?”

Orang bermeditasi karena meditasi mengasyikkan dan menyenangkan. Mereka tidak bermeditasi untuk “memperoleh sesuatu”, bahkan walaupun bila kamu bermeditasi ada banyak keuntungan yang dapat diraih seperti manfaat kesehatan atau mengurangi tekanan dalam hidupmu. Meditasi mengurangi sikap intoleran dan kemarahanmu. Tetapi ada sesuatu yang lebih dari semua itu – yaitu hanyalah sekelumit kesenangan. Ketika saya masih sebagai bhikkhu muda, hal inilah yang menjadikan saya seorang Buddhis yang sebenarnya. Membaca buku memang sangat mengispirasi, tetapi membaca buku saja tidaklah cukup. Ketika saya bermeditasilah, saya menjadi damai, sangat damai, luar biasa damai, sesuatu memberitahuku bahwa inilah pengalaman yang paling mendalam dalam hidupku. Saya ingin merasakan hal ini lagi. Saya ingin menyelidikinya lebih lanjut. Mengapa? Karena sebuah pengalaman meditasi yang mendalam adalah senilai dengan seribu ceramah, atau argumen, atau buku-buku, atau teori-teori. Hal yang kamu baca dibuku adalah pengalaman orang lain, bukan pengalamanmu. Mereka hanyalah kata-kata dan mungkin bisa memberikan inspirasi, tetapi pengalaman nyata diri sendirilah yang dapat benar-benar menggugah. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan karena akan mengguncangkan hal-hal yang terpendam dalam dirimu selama ini. Dengan menapaki jalur meditasi ini, sebenarnya kamu sedang belajar bagaimana sebenarnya cara melepaskan.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #5 on: 20 March 2009, 03:16:29 PM »
Mengakui, Memaafkan dan Melepaskan

Bagi kamu yang mengalami kesulitan bermeditasi, hal ini disebabkan kamu belum belajar bagaimana melepas pada saat bermeditasi. Mengapa kita tidak bisa melepaskan hal-hal sederhana seperti masa lampau atau masa mendatang? Mengapa kita begitu mempedulikan apa yang telah dilakukan dan dikatakan seseorang terhadap kita hari ini? Semakin banyak kamu memikirkannya, semakin bodohlah jadinya. Seperti pepatah kuno, “Ketika seseorang menyebutmu idiot, semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin seringlah mereka telah menyebutmu idiot!” Jika kamu segera melepaskannya, kamu tidak akan pernah memikirkannya lagi. Paling banyak mereka hanya menyebutmu idiot sekali saja. Sudah! Selesai! Kamu bebas!

Mengapa kita memenjarakan diri kita dalam masa lalu kita? Mengapa kita masih tidak bisa melepaskannya? Apakah kamu sungguh-sungguh ingin bebas? Maka akuilah, maafkan dan lepaskan. Akui, maafkan dan lepaskan hal apapun yang menyakitimu, baik itu sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh seseorang, maupun apa yang telah terjadi dalam kehidupanmu. Sebagai contoh, seseorang dalam keluargamu telah meninggal dan kamu berdebat dengan dirimu sendiri bahwa mereka tidak seharusnya meninggal. Atau kamu telah kehilangan pekerjaanmu dan kamu berpikir tanpa henti bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Atau hanya karena sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, kemudian kamu begitu terobsesi menyatakan bahwa itu tidaklah adil. Kamu boleh menghukum dirimu atas hal yang kamu lakukan sepanjang sisa hidupmu jika kamu mau, tetapi tidak ada seorangpun yang memaksamu untuk melakukannya. Sebaliknya kamu dapat mengakui, memaafkan dan belajar memaafkan. Pelepasan adalah proses pembelajaran. Pelepasan memberikan kebebasan bagi kita untuk menyongsong masa depan dengan mudah, serta memutuskan rantai keterikatan terhadap masa lalu.

Baru-baru ini saya berbicara dengan beberapa orang mengenai komunitas orang-orang Kamboja di Perth yang menjadi komunitas Buddhis, masih banyak hal yang harus saya lakukan bersama komunitas ini. Seperti layaknya umat Buddha tradisional lainnya, ketika mereka terbentur masalah, mereka akan datang dan berkonsultasi dengan para bhikkhu. Inilah yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Vihara dan para bhikkhu adalah pusat sosial, pusat keagamaan, dan pusat konseling bagi komunitas tersebut. Bahkan ketika para pria bertengkar dengan istri mereka, merekapun datang ke vihara.

Suatu ketika pada saat saya masih seorang bhikkhu muda di Thailand, seorang pria datang ke vihara dan bertanya pada saya, “Bolehkah saya tinggal di vihara selama beberapa hari?” Saya pikir ia ingin bermeditasi, jadi saya berkata, “Oh, kamu mau bermeditasi ya?” “Oh, tidak”, ia menjawab, “Saya ingin tinggal di vihara karena saya baru saja bertengkar dengan istri saya.” Jadi ia pun tinggal di vihara. Tiga atau empat hari kemudian ia menjumpai saya dan berkata, “Saya merasa lebih baik sekarang, bolehkah saya pulang?” Sungguh bijak, ia bukannya pergi ke bar dan mabuk-mabukan, ia tidak mendatangi teman-temannya dan membeberkan kepada mereka hal-hal jelek yang ia pikirkan mengenai apa yang telah dilakukan istrinya sehingga memperkuat rasa sakit hati dan kemarahannya, melainkan ia tinggal dengan sekumpulan bhikkhu yang penuh kebaikan dan kedamaian, yang tidak akan berkomentar apapun mengenai istrinya. Ia merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya dalam kedamaian itu, dalam lingkungan yang mendukung dan akhirnya ia pun merasa lebih baik. Kadang-kadang inilah fungsi vihara: sebagai pusat konsultasi, tempat pengungsian, tempat dimana orang melepaskan segala permasalahannya. Bukankah hal ini lebih baik daripada tetap melekat pada masa lalu, terutama ketika kita marah terhadap sesuatu yang telah terjadi? Ketika kita memperbesar kemarahan, apakah kita dapat benar-benar melihat hal yang sedang terjadi? Atau kita melihatnya melalui kacamata kemarahan yang menyesatkan, mencari kesalahan orang lain, hanya memperhatikan hal-hal jelek yang telah dilakukannya pada kita, tanpa pernah benar-benar melihat gambarannya secara utuh?

Satu hal yang saya amati dari komunitas orang orang Kamboja ini adalah bahwa mereka semua telah melalui penderitaan pada masa zaman Pol Pot. Saya mengenal seorang pria Kamboja yang istrinya ditembak tepat di hadapannya oleh Khmer Merah, hanya karena mencuri sebuah mangga. Istrinya sangat lapar sehingga ia memetik sebuah mangga dari pohon. Salah seorang kader Khmer Merah melihatnya dan, tanpa diadili, ia menarik senapannya di depan suaminya dan menembak mati sang istri. Ketika pria ini menceritakan hal ini kepada saya, saya memperhatikan wajahnya, gerak gerik tubuhnya, sungguh menakjubkan, tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, bahkan tidak ada kesedihan yang tampak. Yang ada hanyalah penerimaan yang penuh kedamaian atas apa yang telah terjadi. Hal ini tidak seharusnya terjadi, tetapi pada kenyataannya hal inilah yang terjadi.

Dengan melepaskan masa lalu, kita dapat menikmati masa sekarang dan bebas menyongsong masa depan. Mengapa kita selalu membawa-bawa sesuatu yang telah berlalu? Kemelekatan terhadap masa lalu bukanlah suatu teori, melainkan suatu sikap. Kita dapat mengatakan, “Oh, saya tidak melekat.” Atau kita dapat mengatakan, “Saya sama sekali tidak melekat, bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan tersebut,” yang terasa sangat bijak dan terdengar sangat indah, tetapi semua itu hanyalah sampah. Tahukah kamu jika kamu melekat, tidak bisa melepaskan hal-hal penting yang menyebabkanmu menderita, maka hal ini akan menghalangi kebebasanmu. Kemelekatan laksana bola besi dengan rantai yang terikat di kakimu. Tidak ada orang yang mengikatkannya padamu. Kamu memiliki kunci untuk membebaskan dirimu, tetapi kamu tidak menggunakannya. Mengapa kita begitu membatasi diri kita sendiri dan mengapa kita tidak bisa melepaskan segala urusan dan kekhawatiran terhadap masa yang akan datang? Apakah kamu khawatir mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya, besok, minggu depan, atau tahun depan? Mengapa kamu melakukan hal ini? Sudah berapa kali kamu mengkhawatirkan ujian atau ulangan, atau kunjungan ke dokter, atau kunjungan ke dokter gigi? Kamu bisa saja khawatir kamu akan sakit dan ketika kamu telah bersiap mengunjungi dokter gigi, ternyata mereka telah membatalkan perjanjianmu dan kamu pun tidak perlu pergi lagi!

Sesuatu tidak akan pernah terjadi sesuai dengan pengharapanmu. Belumkah kita belajar bahwa masa yang akan datang itu begitu tidak pasti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika kita melepaskan masa lalu dan masa yang akan datang, bukankah kita telah berada pada jalur meditasi yang mendalam? Bukankah kita sebenarnya sedang belajar bagaimana cara untuk menjadi damai, bebas, dan puas?

Ini adalah indikasi dari makna pencerahan. Ini berarti melihat bahwa banyak kemelekatan kita yang didasari oleh kebodohan belaka. Kita tidak memerlukan hal ini. Seiring kita mengembangkan meditasi dengan lebih mendalam, kita semakin bisa lebih melepaskannya. Semakin banyak kita melepas, semakin bahagia dan damailah diri kita. Inilah alasan mengapa Buddha menyebut semua jalan dalam ajaran Buddha sebagai latihan yang bertahap. Ini adalah jalan yang membimbing seseorang, selangkah demi selangkah, dan pada setiap langkahnya kamu akan mendapatkan suatu penghargaan. Itulah sebabnya ini merupakan sebuah jalan yang sangat membahagiakan dan semakin jauh kamu melangkah, maka semakin membahagiakan dan berhargalah penghargaan itu. Bahkan pada langkah pertama saja kamu sudah akan mendapatkan penghargaan.

Saya masih ingat pertama sekali saya bermeditasi. Saya ingat ruangannya, di Universitas Cambridge, di Ruang Wordsworth, Kampus King. Saya belum pernah bermeditasi sebelumnya, jadi saya hanya duduk di sana lima sampai sepuluh menit dengan beberapa teman saya. Walaupun hanya sepuluh menit, tetapi saya berpikir, “Oh, alangkah menyenangkannya”, saya masih ingat perasaan itu bahwa ada sesuatu yang bergaung dalam diriku, memberitahukan bahwa inilah jalan yang membimbing saya ke suatu tempat yang luar biasa. Saya telah mendiskusikan segala jenis filosofi sambil minum kopi dan bir dengan teman-teman saya, tetapi “diskusi” selalu berakhir dengan perdebatan dan mereka tidak pernah membuat saya lebih bahagia. Bahkan profesor besar di unversitas yang kamu kenal dengan sangat baik tidak terlihat bahagia. Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak melanjutkan karir akademis saya. Mereka memang sangat brilian dalam bidang mereka, tetapi di sisi lain mereka juga sebodoh orang biasa. Mereka juga berdebat, khawatir dan tertekan, sama seperti setiap orang yang lain. Dan hal ini benar-benar mengena padaku. Mengapa orang-orang pintar di universitas yang terkenal ini tidak merasa bahagia? Apa gunanya menjadi pintar jika hal ini tidak memberikanmu kebahagiaan? Yang saya maksud adalah kebahagiaan sejati, kepuasan sejati dan kedamaian sejati.


Kepuasan dan Kedamaian Sejati

Orang yang penuh kepuasan dan kedamaian sejati yang pertama saya jumpai adalah Ajahn Chah, guru saya di Thailand. Ada sesuatu dalam dirinya! Saya melihat apa yang dimilikinya dan saya berkata pada diriku sendiri, “Saya menginginkan hal itu, saya menginginkan pengertian itu, kedamaian itu.” Orang-orang dari segala penjuru dunia datang mengunjunginya. Hanya karena beliau seorang bhikkhu tidak berarti setiap orang merasa hormat, mengabdi dan selalu memujinya. Sebagian orang datang dan berdebat dengannya, bahkan berusaha mencari kesalahannya, atau bahkan membentaknya. Saya ingat sebuah cerita mengenai saat pertama kalinya ia mengunjungi Inggris dengan Ajahn Sumedho. Beliau ber-pindapata di Hampstead dan ketika beliau sedang berjalan, hal ini terjadi dua puluh tahun silam, seorang pengacau muda mendatangi orang Asia yang berkostum lucu ini dan berpura-pura meninju hidungnya. Ajahn Chah tidak tahu orang ini hanya berpura-pura. Kemudian ia berusaha untuk menendangnya tetapi luput dari sasaran. Ia hanya ingin bercanda dengan bhikkhu Asia kecil yang berkostum lucu. Ajahn Chah tidak tahu kapan beliau akan dipukul. Beliau tidak pernah terkena sasaran, karena beliau tetap damai, tenang dan tidak pernah marah. Kemudian, ia mengatakan bahwa Inggris adalah tempat yang sangat bagus dan ia ingin mengirim semua bhikkhu bhikkhu seniornya ke sana untuk benar-benar menguji mereka. Sedangkan bagi Ajahn Chah, beliau telah memiliki ketenangan hati dalam latihannya.

Mudah bagi kita untuk mengatakan, “saya telah tercerahkan”, tetapi ketika hal demikian terjadi, kamu pun berlari sejauh satu mil. Pada saat itu bhikkhu lain di Hampstead sedang jalan-jalan sore ketika ia melewati sebuah pub. Pada saat itu, beliau tidak menyadari pada hari tersebut ada pertandingan sepak bola besar-besaran antara Inggris dan Skotlandia. Pertandingan tersebut telah berakhir dan para pendukung Skotlandia berada di pub tersebut dalam keadaan mabuk. Pada masa itu, ada sebuah drama seri TV mengenai seorang bhikkhu Kung Fu, yang pada saat masih kecil dijuluki “jangkrik”. Penggemar sepakbola Skotlandia itu melihat melalui jendela pub dan berkata, “Oh, ia adalah jangkrik kecil” dan bhikkhu ini terkejut. Mereka adalah orang Skotlandia yang berbadan besar dan mereka sangat mabuk, jadi ia pun melarikan diri dan mereka mengejarnya di sepanjang jalan kembali ke vihara. “Jangkrik kecil” sedang menyelamatkan dirinya. Ia kalah. Tetapi jenis praktik pelepasan yang dilakukan oleh Ajahn Chah di Hampstead adalah sesuatu yang memberikanmu sebuah perasaan bahwa kamu berada di jalan menuju pencerahan.


Sebuah Jalan Bertahap

Inti ajaran Buddha adalah sebuah jalan bertahap, selangkah demi selangkah dan kamu akan berhasil. Beberapa orang berkata kamu seharusnya tidak bermeditasi untuk mendapatkan hasil. Semua itu omong kosong! Bermeditasilah untuk mendapatkan hasil. Bermeditasilah untuk menjadi bahagia. Bermeditasilah untuk mendapatkan kedamaian. Bermeditasilah untuk mencapai pencerahan, sedikit demi sedikit. Tetapi jika kamu mengharapkan hasil maka bersabarlah. Salah satu masalah yang dihadapi manusia adalah ketika mereka menetapkan tujuannya, mereka tidak cukup bersabar. Karena itulah mereka kecewa, tertekan dan merasa frustrasi. Mereka tidak meluangkan waktu yang cukup untuk berlatih hingga berkembang secara alami menuju pencerahan. Hal ini membutuhkan waktu, bahkan mungkin beberapa kali kehidupan, jadi jangan terburu buru. Seiring kamu menempuh setiap langkahnya, selalu ada sesuatu yang dapat kamu pelajari. Lepaskanlah sedikit maka kamu akan mendapatkan kebebasan dan kedamaian. Lepaskanlah lebih banyak maka kamu akan merasakan kebahagiaan. Inilah cara saya mengajarkan meditasi, baik di vihara saya maupun di sini. Saya mendorong para meditator untuk mencoba mencapai tingkat-tingkat pelepasan ini, tingkat kebahagiaan yang disebut Jhana.


Jhana

Setiap orang ingin bahagia dan jhana adalah caramu agar dapat meraih kebahagiaan, maksud saya kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang mendalam. Satu satunya masalah yang timbul adalah bahwa keadaan ini tidak bertahan lama. Hanya beberapa jam, tapi mereka tetap saja sangat menarik. Mereka muncul melalui pelepasan, pelepasan yang nyata. Terutama melalui pelepasan keinginan, pilihan dan kendali. Sungguh merupakan suatu hal yang sangat menarik, jika kita mempraktikkan meditasi secara mendalam dan memahami bagaimana hal itu dapat terjadi. Melalui pengalaman seperti itulah kamu menyadari bahwa semakin kamu mengendalikan, kamu akan semakin ketagihan karena kemelekatan, semakin berkurang pula kedamaian yang kamu peroleh. Tetapi semakin kamu melepaskan, semakin kamu menanggalkan, semakin kamu menyingkir dari jalan tersebut, kamu akan merasa semakin bahagia. Ini adalah ajaran dari sesuatu yang sangat mendalam, jauh lebih mendalam daripada yang dapat kamu baca dalam buku atau kamu dengar dalam sebuah ceramah dan tentu saja lebih bermanfaat daripada hanya mendiskusikannya di sekeliling meja kopi. Kamu benar-benar mengalami sesuatu. Hal ini langsung menuju kepada inti ajaran, sesuatu yang disebut orang mistisisme. Kamu benar-benar mengalaminya sendiri. Tepatnya ketika kamu melepaskan “pengendali” ini, ”pelaku” ini. Nah, inilah masalah utama yang dihadapi manusia. Kita tidak dapat berhenti mengacau. Sering kali kita seharusnya membiarkannya, tetapi kita tidak mampu, kita tidak melakukannya. Kita malah mengacaukannya. Mengapa sih kamu tidak bisa bersenang-senang saja dan menikmatinya, daripada terus melakukan sesuatu tanpa henti?

Sangat sulit untuk hening pada saat bermeditasi, tetapi semakin mampu kamu hening, semakin banyak hadiah yang kamu dapatkan, kamu akan merasa semakin damai. Ketika kamu melepaskan pada saat bermeditasi, melepaskan keinginan, melepaskan kendali, ketika kamu berhenti berbicara dalam hati, kamu akan medapatkan keheningan sejati dalam dirimu. Berapa banyak orang yang merasa jengkel akan keributan yang berkecamuk dalam kepala mereka sepanjang waktu? Berapa banyak orang yang terkadang sulit tidur pada malam hari, tatkala tidak ada keributan yang berasal dari tetangga, melainkan sesuatu yang jauh lebih berisik di antara kedua telinga mereka. Bicara, Bicara, Bicara, Cemas, Cemas, Cemas, Berpikir, Berpikir, Berpikir! Inilah masalah yang dihadapi manusia, pada saat mereka seharusnya berpikir, mereka tidak dapat berpikir jernih, dan pada saat mereka seharusnya berhenti berpikir, mereka tidak bisa merasa damai. Saat kita belajar cara bermeditasi, kita dapat merasa menjadi lebih seimbang, dan kita tahu bagaimana cara melepas. Kita tahu bagaimana melepaskan hingga titik dimana semua pemikiran lenyap. Pemikiran ini hanyalah komentar komentar, mereka hanyalah gambaran-gambaran. Perbedaan antara pemikiran dan kenyataan seperti layaknya perbedaan, katakanlah, membaca buku mengenai New York dan mengunjungi New York. Mana yang lebih nyata? Ketika kamu berada di sana, kamu menghirup udara di sana, kamu merasakan suasana disana, kamu merasakan karakternya, semua ini adalah hal-hal yang tidak dapat kamu tuliskan di buku. Kebenaran itu selalu berhubungan dengan keheningan. Kebohongan itu selalu berhubungan dengan kata-kata.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #6 on: 20 March 2009, 03:17:40 PM »
Ketika Badan Jasmani Menghilang

Ingatlah baik “pria penipu” maupun “wanita penipu” dapat menjual apapun kepadamu! Ada satu yang tinggal dalam pikiranmu saat ini, dan kamu mempercayai setiap perkataan yang dikatakannya! Namanya adalah Pemikiran. Pada saat kamu melepaskan pembicaraan yang terjadi dalam dirimu dan mengheningkan diri, kamu akan merasa bahagia. Kemudian ketika kamu melepaskan gejolak dalam pikiran dan memperhatikan napas, kamu bahkan akan merasa lebih bahagia lagi. Ketika kamu melepaskan badan jasmanimu, kelima indra pun lenyap dan kamu akan merasakan kebahagiaan tertinggi. Inilah ajaran Buddha yang sebenarnya. Penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan sepenuhnya lenyap. Seolah berada dalam sebuah ruangan yang kedap akan indriawi, bahkan lebih baik. Tetapi ini bukanlah keheningan, kamu hanya tidak mendengar apapun. Bukanlah kegelapan, kamu hanya tidak melihat apapun. Bukanlah perasaan yang nyaman pada badan jasmani, melainkan tidak ada badan jasmani sama sekali.

Ketika badan jasmani menghilang, hal itu mulai terasa menyenangkan. Apakah kamu mengenal orang orang yang pernah merasakan hilangnya badan jasmani? Saat badan jasmani mati, setiap orang mengalami hal tersebut, mereka akan keluar dari tubuhnya. Dan satu hal yang selalu mereka katakan adalah bahwa hal ini sangat damai, sangat indah dan sangat bahagia. Demikian pula pada saat bermeditasi, ketika badan jasmani menghilang, sungguh terasa damai, indah, dan bahagia rasanya terbebaskan dari badan jasmanimu. Apakah yang tersisa? Tidak ada lagi penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan maupun sentuhan. Inilah yang disebutkan Buddha sebagai kondisi pikiran pada meditasi yang mendalam. Sesuatu yang tersisa dalam batin, ketika badan jasmani menghilang.

Pada malam lainnya, saya memberikan sebuah perumpamaan kepada seorang Bhikkhu. Bayangkan seorang kaisar yang mengenakan celana panjang dan baju kebesarannya. Dia memakai sepatu, memakai syal di sekeliling lehernya dan memakai topi di kepalanya. Kamu sama sekali tidak bisa melihatnya, karena ia seutuhnya ditutupi oleh kelima pakaian tersebut. Demikian pula halnya dengan pikiran. Ia seutuhnya ditutupi oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan. Jadi orang tidak dapat mengenali pikiran. Mereka hanya mengenali pakaiannya. Ketika mereka berjumpa dengan kaisar, mereka hanya melihat jubah dan pakaiannya. Mereka tidak tahu siapa yang tinggal di dalamnya. Tidak heran mereka bingung mengenai apa itu hidup, apa itu pikiran, siapa yang berada di dalamnya, darimana saya datang? Mengapa? Apa yang seharusnya saya lakukan dalam kehidupan ini? Pada saat lima indra menghilang, hal ini bagaikan kaisar yang menanggalkan pakaiannya dan menjadi jelas apa yang sebenarnya ada di dalamnya, apa yang memainkan peranan, siapa yang mendengarkan kata-kata ini, siapa yang melihat, siapa yang merasakan hidup, siapakah ini. Ketika kelima indra lenyap, maka kamu akan semakin dekat dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Apa yang kamu lihat dalam meditasi yang begitu mendalam adalah apa yang kita sebut “pikiran” (citta). Buddha menggunakan perumpamaan yang indah ini. Ketika ada bulan purnama pada malam berawan, kendatipun bulan tersebut adalah bulan penuh, akan sulit bagi kamu untuk melihatnya. Kadang kala saat awan menipis, kamu bisa melihat bentuk samar-samar yang menyinari. Kamu tahu ada sesuatu di sana. Ini seperti meditasi sebelum kamu masuk ke tahap yang mendalam. Kamu tahu ada sesuatu di sana, tetapi kamu tidak dapat berhenti bertanya-tanya apakah itu gerangan. Masih ada “pakaian” yang tertinggal. Kamu masih berpikir dan melakukan, merasakan badan jasmani atau mendengar suara. Tetapi ketika tiba saatnya, inilah perumpamaan Buddha, ketika bulan terbebaskan dari awan dan kamu bisa melihat bulan purnama yang indah bersinar dengan terang di langit pada malam yang cerah, kamu pun mengetahui bahwa itu adalah bulan. Di sanalah bulan, bulan itu nyata dan bukanlah berbagai efek yang dihasilkan oleh awan. Inilah yang terjadi pada saat bermeditasi ketika kamu melihat ke dalam pikiran. Kamu melihat dengan jelas bahwa pikiran bukanlah sejumlah efek yang dihasilkan oleh otak. Kamu melihat pikiran itu dan kamu tahu pikiran tersebut. Buddha berkata bahwa pikiran yang terbebaskan itu indah, brilian, dan cemerlang. Jadi hal ini bukan hanya pengalaman yang membahagiakan, tetapi juga merupakan pengalaman yang sangat bermakna.

Berapa banyak orang yang mungkin pernah mendengar mengenai kelahiran kembali tetapi masih saja belum benar-benar mempercayainya? Bagaimana kelahiran kembali bisa terjadi? Tentu saja badan jasmani tidak akan terlahir kembali. Itulah sebabnya ketika orang orang menanyakan saya ke mana kamu akan pergi setelah kamu meninggal, “salah satu dari dua tempat” saya berkata badan jasmani saya akan pergi “Fremantle atau Karrakatta”! [Freemantle dan Karrakatta adalah dua kuburan/krematorium utama yang melayani di seluruh Perth]. Tetapi apakah ke sana arah pikiran itu? Kadang kala orang-orang di dunia ini begitu bodoh, mereka berpikir hanya tubuh yang mereka miliki, tidak ada pikiran. Jadi ketika kamu dikremasi atau dikubur, maka selesai sudah, segalanya telah berakhir. Satu-satunya jalan untuk membuktikan pandangan ini adalah dengan mengembangkan meditasi seperti yang dicapai Buddha di bawah pohon Bodhi. Kemudian kamu bisa melihat pikiranmu sendiri dengan kesadaran yang murni – bukan dalam kondisi mental yang terhipnotis, bukan dalam ketumpulan – melainkan di dalam kesadaran yang murni. Inilah proses mengenali pikiran.


Mengenal Pikiran

Ketika kamu mengenali pikiran, ketika kamu melihatnya sendiri, salah satu hasil yang akan timbul adalah pengetahuan bahwa pikiran itu tidak tergantung pada badan jasmani ini. Tidak tergantung berarti bahwa ketika tubuh ini lapuk dan mati, ketika dikremasi atau dikuburkan, atau bagaimanapun badan jasmani itu hancur setelah kematian, semua hal ini tidak akan mempengaruhi pikiran. Kamu mengetahuinya karena kamu melihat sifat alami dari pikiran. Pikiran yang kamu lihat ini akan membawamu pada perenungan atas kematian badan jasmani. Hal pertama yang akan kamu lihat sendiri adalah bahwa pengetahuan itu sejelas hidung di wajahmu, apakah ada sesuatu yang lebih daripada badan jasmani yang kita anggap sebagai diri untuk ditempati? Kedua, kamu bisa mengenali pikiran tersebut, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan proses kesadaran semua makhluk. Baik manusia atau binatang atau bahkan serangga, dengan jenis kelamin, usia atau ras apapun, kamu tahu bahwa apa yang lazim untuk semua kehidupan adalah pikiran ini, kesadaran ini, sumber dari perbuatan.

Pada saat kamu melihat hal ini kamu akan semakin menghormati orang-orang. Tidak hanya sekadar hormat kepada rasmu, sukumu atau agamamu, bukan hanya sekadar untuk manusia, tetapi untuk semua makhluk. Ini adalah gagasan mulia yang luar biasa. “Semoga semua makhluk sehat dan berbahagia, dan semoga kita menghormati semua bangsa, semua orang, bahkan semua makhluk.” Akan tetapi inilah cara kamu mencapainya! Kamu akan benar-benar merasakan kasih sayang hanya ketika kamu melihat bahwa pada dasarnya setiap orang sama seperti diri kita. Jika kamu berpikir bahwa sapi sama sekali berbeda denganmu, bahwa sapi tidak berpikir seperti manusia, maka mudah bagi kamu untuk memakannya. Tetapi bisakah kamu memakan nenekmu? Ia terlalu mirip denganmu. Bisakah kamu memakan semut? Mungkin kamu akan membunuh semut, karena menurutmu semut itu tidak sama denganmu. Tetapi jika kamu memperhatikan semut dengan saksama, maka tidak terdapat perbedaan. Jika kamu tinggal di vihara hutan, dekat dengan semak semak, dekat dengan alam, maka kamu akan menjadi sangat yakin bahwa binatang mempunyai emosi, terutama dapat merasakan sakit. Kamu mulai mengenal kepribadian binatang-binatang, burung kookaburra (Australia), tikus, semut dan laba-laba. Setiap laba-laba juga memiliki pikiran selayaknya dirimu. Suatu ketika kamu akan mengerti bahwa kasih sayang Buddha ditujukan kepada semua makhluk. Kamu juga akan mengerti bagaimana kelahiran kembali dapat terjadi pada semua jenis makhluk – bukan hanya manusia, tetapi juga binatang menjadi manusia, manusia menjadi binatang. Kamu juga bisa memahami bagaimana pikiran menjadi sumber dari semua hal ini.

Di alam setan dan alam dewa, pikiran bahkan bisa ada tanpa badan jasmani. Jadi, jelaslah bagi kamu bagaimana mereka ada, mengapa mereka ada, apa mereka sebenarnya. Pengetahuan dan pemahaman ini didapat dari meditasi secara mendalam. Tetapi lebih daripada itu, ketika kamu mengetahui sifat pikiran, maka kamu akan mengetahui sifat kesadaran. Kamu akan mengetahui sifat keheningan. Kamu akan mengetahui sifat kehidupan. Kamu memahami apa yang menyebabkan pikiran ini terus berkeliaran, dan berkeliaran, dan berkeliaran; memahami apa yang menyebabkan pikiran mencari kelahiran kembali. Kamu pun memahami hukum Kamma.


Tiga pengetahuan

Pengetahuan pertama – menurut tradisi, ketika Buddha duduk di bawah pohon Bodhi, beliau mencapai tiga pengetahuan. Pengetahuan pertama adalah mengenai ingatan kehidupan masa lampau. Ketika kamu dekat dengan pikiran, ada sejenis kekuatan tertentu yang muncul bersama pengalaman itu. Kekuatan itu tidak lain adalah sebuah kemampuan, kecerdasan mengelola pikiran. Hal ini seperti perbedaan antara seekor anjing liar dengan seekor anjing yang telah terlatih. Kamu bisa memerintahkan anjing yang telah terlatih untuk berlari dan mengambil koran. Ia akan menggoyang-goyangkan ekornya kemudian mengambilkan koran tersebut untukmu. Sebagian orang bahkan melatih anjingnya dengan baik sampai mereka bisa mengangkat telepon. Jangan-jangan mereka juga bisa menjawab telepon, sehingga menghemat banyak waktumu.

Ketika kamu sering mengarah pada kondisi meditasi yang mendalam ini, pikiran menjadi terlatih dengan baik. Salah satu hal yang dilakukan Buddha (dan yang dapat kamu lakukan ketika kamu mengarah pada meditasi mendalam) adalah mengarahkan pikiran kembali ke masa lalu. Apakah ingatanmu yang paling awal. Kembalilah lebih jauh, lebih jauh lagi dan lebih jauh lagi. Para bhikkhu yang melakukan hal ini dapat mengingat kembali fase awal masa kecil mereka. Mereka bahkan dapat mengingat momen pada saat mereka dilahirkan.
Kadang kala orang menganggap bahwa ketika kamu dilahirkan, kamu tidak memiliki kesadaran karena sel saraf otak belum berkembang atau semacam itulah. Tetapi ketika kamu mengalami kembali kelahiranmu, kamu tahu bahwa hal ini tidaklah benar. Ketika ingatan akan kelahiranmu muncul, kamu seolah-olah berada disana, mengalami semua perasaan pada proses kelahiran itu. Kemudian kamu dapat bertanya pada dirimu sendiri, bahkan mengenai ingatan yang lebih awal dan kemudian kamu dapat kembali ke dalam kehidupan lampaumu. Itulah yang dilakukan Buddha di bawah pohon Bodhi. Melalui meditasi kamu mengetahui kelahiran kembali, kamu mengetahui kehidupan lampaumu. Inilah yang terjadi dengan pikiran dan kamu tahu bagaimana ini dapat terjadi. Itulah pengetahuan pertama yang dimiliki Buddha.

Pengetahuan kedua – pengetahuan kedua adalah mengetahui bagaimana kamu dilahirkan kembali. Mengapa kamu dilahirkan kembali. Dimana kamu dilahirkan kembali. Ini adalah Hukum Kamma. Seseorang menunjukkan sebuah buku kepada saya hari ini, yang walaupun dibagikan secara gratis, namun sayang sekali saya belum pernah melihatnya. Buku itu berisi gagasan yang sangat aneh mengenai hukum Kamma. Menurut saya, apa yang disampaikan buku itu adalah jika kamu membaca salah satu sutta (ceramah) sambil berbaring di lantai, kamu akan terlahir kembali dengan punggung bungkuk atau sejenisnya. Benar-benar gagasan yang bodoh. Kamma jauh lebih rumit daripada hal itu dan kamma terutama tergantung pada kualitas niat kamu. Pergerakan pikiran itu sendirilah yang menentukan Kamma, bukan hanya sekadar tindakannya, tetapi juga sebab dan asal niat tersebut. Kamu dapat melihat hal ini dalam meditasi, kamu juga dapat melihat bagaimana pikiran menjadi terbebaskan sepenuhnya.

Pengetahuan ketiga – pengetahuan ketiga adalah akhir dari penderitaan. Dengan memahami Empat Kebenaran Mulia, kamu akan mengetahui jalannya dan apa makna pencerahan sebenarnya. Pencerahan berarti kebebasan! Pikiran menjadi terbebas, terutama terbebas dari badan jasmani, tidak sekadar terbebas dari penderitaan badan jasmani melainkan juga terbebas dari kebahagiaan badan jasmani. Artinya tidak ada lagi hal yang mengarah pada seksualitas, tidak ada lagi ketakutan akan rasa sakit, tidak ada lagi kesedihan karena pelapukan badan jasmani, tidak ada lagi sakit hati dan rasa takut terhadap kritikan. Mengapa orang-orang cemas terhadap ucapan buruk yang dilontarkan? Hanya karena ego. Mereka menganggap sesuatu sebagai diri mereka. Bayangkanlah sebuah momen bagaimana rasanya terbebas dari semua hal-hal demikian. Seperti apakah rasanya bila tidak ada ketakutan, tidak ada nafsu, tidak perlu beringsut dari momen ini – dengan kata lain tidak ada sesuatu yang hilang dan tidak ada lagi sesuatu yang perlu dilakukan, tidak ada lagi tempat untuk dituju karena kamu sepenuhnya bahagia di sini, tidak peduli apapun yang terjadi! Inilah yang kita maksudkan dengan pencerahan. Meditasi ini adalah sumber pencerahan Buddha, juga merupakan sumber pencerahan bagi setiap orang.

Tidak akan ada pencerahan tanpa meditasi. Inilah alasan mengapa ajaran Buddha lebih dari sekadar sebuah psikoterapi. Lebih dari sekadar sebuah filosofi. Lebih dari sekadar sebuah agama. Ajaran Buddha terpendam dalam sifat alami setiap makhluk dan dapat diakses oleh setiap orang. Kamu tahu caranya bermeditasi. Para guru memberikan instruksinya secara cuma-cuma dan tanpa memungut bayaran apapun. Apakah kamu akan melakukannya? Biasanya jawaban untuk pertanyaan ini adalah, “Mungkin besok, yang pasti bukan hari ini.” Walaupun demikian, karena benih-benih telah ditanamkan dalam pikiran, karena meditasi telah dimulai, maka ada ketertarikan. Sudah ada suatu pengertian pencerahan, suatu kekaguman atas kedamaian, kamu tidak akan mampu berpaling lagi dari jalan itu. Kamu bisa saja berniat untuk menundanya sementara waktu, mungkin sepanjang hidup, tetapi tidakkah terasa aneh, seperti yang dikatakan seseorang kepada saya bertahun-tahun yang lalu, “Ketika kamu telah mendengarkan ajaran ini, kamu tidak akan mampu mengabaikannya begitu saja.” Kamu tidak akan bisa melupakannya. Ajaran Buddha tidak memberitahumu apa yang harus dipercaya. Tidak semata-mata menyuguhkan sebuah teori yang rasional. Tetapi ajaran membimbingmu kepada sesuatu yang dapat kamu pahami dan kamu alami secara langsung, sehingga kamu bisa mendapatkan intuisi dari pendalaman yang kamu lakukan.

Buddha adalah sosok yang sangat luar biasa, kedamaian-Nya, kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya, sangatlah legendaris. Ada sesuatu yang sangat menarik mengenai pencerahan. Dengan jalan yang sama, ada sesuatu yang berkenaan dengan kebebasan yang tidak dapat kamu abaikan. Inilah sebabnya sedikit demi sedikit, kamu akan memahami mengenai apa sebenarnya ajaran Buddha itu. Kamu tidak akan memahami ajaran Buddha melalui buku-buku maupun dari apa yang saya katakan. Kamu hanya akan mengerti ajaran Buddha melalui pengalamanmu sendiri dalam meditasi yang damai. Disitulah ajaran Buddha diajarkan. Jadi nikmatilah meditasimu dan tidak perlu takut akan pencerahan. Masuklah ke dalamnya, nikmatilah dan kamu tidak akan menyesal.

Itulah ajaran Buddha. Itulah intinya – meditasi dan pencerahan. Itulah makna ajaran Buddha. Saya berharap kamu bisa mengerti hal ini. Sehubungan dengan batas waktu yang ditentukan, saya tidak dapat berbicara panjang lebar lagi. Saya akhiri ceramah saya sekarang.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #7 on: 20 March 2009, 03:18:15 PM »
KEMELEKATAN

Mungkin istilah yang paling sering disalahartikan dalam kalangan Buddhis Barat adalah apa yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘kemelekatan’. Terlalu sering mereka beranggapan bahwa mereka tidak seharusnya melekat pada apapun. Ada salah satu gurauan tentang mengapa rumah umat Buddha itu berdebu di sudut sudutnya – karena mereka bahkan tidak memperbolehkan adanya kemelekatan terhadap apapun, termasuk mesin penghisap debunya. Sebagian umat Buddha gadungan yang sesat mengkritik bahwa menjalani kehidupan bermoral adalah kemelekatan terhadap sila mereka dan mereka menjunjung tindakan amoral sebagai suatu pertanda kebijaksanaan mendalam. Bah! Kalangan Buddhis tradisional lainnya menciptakan ketakutan terhadap meditasi mendalam, kemudian dengan pandangan salah menyatakan bahwa kamu hanya akan melekat kepada Jhana. Semua itu sudah menyimpang terlalu jauh. Mungkin puncak dari kesesatan ini adalah seperti yang diungkapkan oleh Rajneesh, yang menyatakan, “Saya sangat tidak melekat. Saya bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan itu sendiri” dan dengan gampangnya ia membuat pembenaran bagi semua tindakannya yang keterlaluan.

Istilah Pali yang dipertanyakan adalah Upadana, yang secara harafiah berarti “mengambil”. Secara umum digunakan untuk mengindikasikan “bahan bakar” yang menopang suatu proses, laksana minyak pada sebuah pelita yang menjadi bahan bakar/upadana bagi nyala apinya. Hal ini berhubungan dengan nafsu keinginan (Tanha). Sebagai contoh, tanha adalah mendambakan secangkir kopi nikmat, upadana-lah yang mengambilnya. Walaupun kamu berpikir bahwa mudah untuk meletakkan kembali kopi tersebut, walaupun tanganmu tidak direkatkan pada cangkir, itu tetaplah upadana. Kamu telah mengambilnya. Kamu telah mencengkeramnya.

Untung saja tidak semua upadana itu non-Buddhis. Buddha hanya memerincikan empat kelompok upadana : “mengambil” lima indra, “mengambil” pandangan salah”, “mengambil” gagasan bahwa kebebasan dapat dicapai hanya melalui ritual lantunan dan inisiasi, serta “mengambil” pandangan mengenai adanya aku. Ada banyak hal lain yang dapat “diambil” atau digenggam seseorang, tetapi intinya hanya keempat kelompok inilah yang menyebabkan kelahiran kembali, hanya keempat kelompok inilah yang menjadi bahan bakar bagi keberadaan kita di alam mendatang serta penderitaan lebih lanjut, hanya keempat hal inilah yang harus dihindari.

Dengan melatih kasih sayang, melatih Lima Sila atau aturan kebhikkhu/ni-an yang lebih banyak dan melatih praktik meditasi – bukanlah non-Buddhis dan tidaklah cocok menghentikan praktik demikian dengan menyebutnya “kemelekatan”. Dengan menjaga Lima Sila, sebenarnya sudah merupakan praktik pelepasan nafsu nafsu kasar seperti birahi, keserakahan dan kekerasan. Melatih cinta kasih adalah praktik pelepasan dari keegoisan dan bermeditasi adalah praktik pelepasan terhadap masa lalu, masa yang akan datang, pemikiran dan masih banyak lagi. Pencapaian jhana tidak lain adalah pelepasan lima nafsu indriawi sebagai langkah awal untuk masuk ke dalam batin. Nibbana adalah pelepasan sekali untuk selamanya dari semua keserakahan, kebencian dan kebodohan, yang merupakan benih-benih kelahiran kembali. Parinibbana adalah pelepasan akhir dari badan jasmani dan pikiran (Lima Khanda). Merupakan suatu kesalahan bila menganggap tataran-tataran pelepasan ini sama dengan kemekatan.

Jalan tersebut laksana sebuah tangga. Seseorang naik dengan memegang anak tangga di atasnya dan melepaskan anak tangga di bawahnya. Dalam waktu singkat, anak tangga yang baru saja dipegang akan menjadi anak tangga tempat kita berpijak sekarang. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk naik lebih tinggi lagi, dengan melepaskan sebuah anak tangga untuk menggapai anak tangga yang lebih tinggi lagi. Jika seseorang tidak pernah memegang apapun, maka ia akan tetap bodoh secara spiritual.

Bagi mereka yang tidak bijaksana, pelepasan sering terlihat sebagai kemelekatan. Sebagai contoh, seekor burung yang bertengger di dahan pohon pada malam hari kelihatannya mencengkeram dahan tersebut dengan kokoh, tetapi ia sebenarnya telah melepas dan benar benar terlelap. Ketika seekor burung melepas dan otot otot di sekitar cakarnya mulai mengendur, maka otot ototnya akan menempel ke dahan. Semakin mengendur ototnya, semakin erat pula cakarnya mencengkeram. Itulah sebabnya kamu tidak pernah melihat seekor burung terjatuh dari tempat ia bertengger bahkan ketika mereka sedang terlelap sekalipun. Hal ini kelihatan seperti kemelekatan, tetapi pada kenyataannya, ini adalah pelepasan. Pelepasan sering mengarah pada ketenangan, tidak beringsut dari tempatmu berada, oleh sebab itu hal ini kadang-kadang disalah artikan sebagai kemelekatan.

Jadi jangan berdalih dengan kata-kata yang kedengaran indah, tetapi dapat menyesatkan umat Buddha pemula yang sama sekali tidak mengerti mengenai upadana dan kemelekatan. Melekatlah tanpa rasa takut pada silamu, objek meditasimu dan jalan yang dapat membimbingmu ke Nibbana. Dan jangan lupa pula membeli kemelekatan untuk mesin penghisap debumu!


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #8 on: 20 March 2009, 03:19:00 PM »
LIMA RINTANGAN (NIVARANA)

Yang menjadi halangan terbesar atas keberhasilan meditasi dan pencapaian pengetahuan adalah satu unsur atau lebih dari Lima Rintangan. Seluruh praktik menuju pencerahan bisa dianggap sebagai usaha untuk mengatasi Lima Rintangan, pertama-tama memendamnya sementara waktu untuk mengalami Jhana dan Pengetahuan, kemudian mengatasinya secara tuntas melalui pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan sepenuhnya.

Jadi, apa saja Lima Rintangan ini? Lima Rintangan terdiri dari:

Kamacchanda : Nafsu Keinginan
Vyapada : Kemauan Jahat
Thina-middha : Kemalasan dan Kelambanan
Uddhacca-Kukucca : Kegelisahan dan Penyesalan
Vicikiccha : Keragu-raguan

1. Nafsu Keinginan
Merujuk pada keinginan tertentu untuk mencari kebahagiaan melalui lima indriawi: indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap dan indra peraba. Tetapi hal ini secara spesifik tidak mencakup segala cita-cita untuk mencapai kebahagiaan yang didapat melalui indra keenam yaitu pikiran.

Dalam bentuk ekstrim, nafsu keinginan dapat berupa obsesi untuk mencari kesenangan dalam hal-hal seperti hubungan intim, makanan lezat, atau musik yang indah. Juga mencakup keinginan untuk menukarkan kejengkelan atau bahkan pengalaman lima indriawi yang menyedihkan dengan pengalaman yang menyenangkan, yaitu keinginan akan kenyamanan indriawi.

Buddha mempersamakan nafsu keinginan dengan berhutang. Kesenangan apapun melalui lima indra yang dialami seseorang harus dibayar dengan ketidaksenangan yang memburunya tanpa menaruh kasihan berupa perpisahan, kehilangan atau kelaparan dan kekosongan pada saat kesenangan itu berakhir. Sedangkan hutang, selalu berhubungan dengan bunga, maka hal ini seperti yang dikatakan Buddha, kesenangan yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan penderitaan yang harus dibayar.

Dalam meditasi, seseorang menaklukkan nafsu keinginan dalam kurun waktu tertentu dengan melepaskan kepeduliannya terhadap badan jasmani dan aktivitas lima indranya. Sebagian orang beranggapan bahwa lima indra itu ada untuk melayani dan melindungi badan jasmani, tetapi pada kenyataannya badan jasmanilah yang melayani kelima indra dalam memainkan peranannya di dunia ini untuk pencarian kesenangan. Demikianlah, Buddha pernah berkata, “Kelima indra adalah dunia” dan untuk meninggalkan dunia ini demi menikmati kebahagiaan lain berupa Jhana, ada saatnya seseorang harus menghentikan SEMUA bentuk kepeduliannya terhadap badan jasmani dan lima indra.

Ketika nafsu keinginan telah ditaklukkan, di dalam batin meditator tidak lagi terdapat ketertarikan terhadap iming-iming kesenangan atau bahkan terhadap kenyamanan badan jasmani. Badan jasmani telah lenyap dan kelima indra telah dinon-aktifkan. Pikiran menjadi tenang dan bebas untuk melihat ke dalam. Perbedaan antara aktivitas kelima indra dan penaklukkannya, sama dengan perbedaan antara melihat keluar jendela dan melihat ke dalam cermin. Pikiran yang terbebas dari aktivitas lima indra dapat benar-benar melihat ke dalam dan menilik sifat alami sejatinya. Hanya dari sanalah kebijaksanaan kita mengenai, seperti “siapakah kita, dari mana dan mengapa” dapat berkembang.


2. Kemauan Jahat
Merujuk kepada keinginan untuk menghukum, menyakiti atau menghancurkan. Hal ini semata-mata mencakup kebencian seseorang, atau bahkan suatusituasi, dan ia bisa membangkitkan banyak energi yang sangat menggiurkan dan menyebabkan kecanduan. Pada awalnya, kekuatan niat jahat selalu membenarkan semua hal, sehingga dengan mudahnya merusak kemampuan kita untuk menilai secara adil. Ini juga termasuk niat jahat terhadap seseorang, atau dengan kata lain dikenal sebagai kesalahan, yang menampik segala kemungkinan kebahagiaan seseorang. Dalam meditasi, niat jahat muncul dalam bentuk kebencian terhadap objek meditasi, menolak untuk menerimanya sehingga perhatian seseorang dipaksa mengembara
kemana-mana.

Buddha mempersamakan niat jahat dengan jatuh sakit. Sama seperti penyakit yang merenggut kebebasan dan kebahagiaan kesehatan seseorang, maka niat jahat merenggut kebebasan dan kebahagiaan kedamaian seseorang.

Niat jahat dapat diatasi dengan mengembangkan Metta, cinta kasih. Ketika timbul niat jahat terhadap seseorang, Metta mengajarkan seseorang untuk memahami seseorang lebih mendalam daripada semua hal yang melukaimu, untuk memahami mengapa seseorang melukaimu (sering karena mereka melukai diri sendiri dengan hebatnya) dan mendorongnya untuk mengesampingkan kepedihan yang dirasakannya dengan memancarkan kasih sayang kepada sesama. Tetapi jika hal ini melampaui batas kemampuan seseorang, Metta mengarahkan seseorang agar tidak terus menerus berkeinginan jahat pada orang itu, sehingga kenangan atas perbuatan-perbuatan mereka tidak menyakitimu lebih dalam lagi. Sama halnya jika niat jahat itu tertuju kepada diri sendiri, dengan metta kita tidak sekadar melihat kesalahan seseorang, kita bisa memahami kesalahan seseorang, dan menimbulkan keberanian untuk memaafkan mereka, belajar dari hal itu, dan melepaskannya, kemudian, jika niat jahat ditujukan terhadap objek meditasi (biasanya ini adalah alasan mengapa seorang meditator tidak bisa merasa damai), Metta merangkul objek meditasi dengan perhatian dan kesenangan. Sebagai contoh, bagaikan seorang ibu yang memancarkan sifat alami Metta kepada anaknya, demikian pula seorang meditator bisa memperhatikan nafasnya, katakanlah, dengan kualitas perhatian pengamatan yang sama. Maka ini akan seperti ketidakmungkinan hilangnya perhatian pada nafas karena kelengahan, seperti halnya ketidakmungkinan seorang ibu melupakan bayinya di sebuah pusat perbelanjaan, dan ini juga akan seperti ketidakmungkinan meninggalkan perhatian pada nafas untuk mengalihkan pikiran seperti halnya ketika seorang ibu yang sedang kebingungan menghilangkan bayinya! Ketika niat jahat telah diatasi, maka akan terbentuk hubungan langgeng dengan orang lain, dengan diri sendiri, dan dalam meditasi, sebuah hubungan langgeng dengan objek meditasi yang menyenangkan akan menyebabkan seseorang menjadi matang ke dalam penyerapan perhatian penuh.


3. Kemalasan dan Kelambanan
Merujuk kepada kondisi beratnya badan jasmani dan ketumpulan pikiran yang menarik seseorang kedalam kelambanan yang melumpuhkan dan depresi berat. Buddha mempersamakannya dengan terpenjara didalam sebuah sel gelap yang penuh sesak, tidak bisa dengan bebas menghirup udara dan menikmati cahaya sinar matahari. Dalam meditasi, hal ini menyebabkan perhatian yang lemah dan terputus-putus, yang bahkan bisa menyebabkan seseorang terlelap saat bermeditasi bahkan tanpa menyadarinya!

Kemalasan dan kelambanan dapat diatasi dengan membangkitkan energi. Energi selalu ada tetapi hanya sedikit yang tahu bagaimana mengaktifkannya, sebagaimana halnya energi itu dapat diaktifkan. Dengan menetapkan tujuan, tujuan yang logis, merupakan cara yang efektif dan bijaksana untuk membangkitkan energi, karena dengan bebas akan mengembangkan ketertarikan untuk melakukan tugas yang ada. Seorang anak kecil mempunyai ketertarikan yang alami dan energi dari ketertarikan tersebut, karena dunianya begitu baru. Maka, jika seseorang dapat belajar melihat kehidupan seseorang atau meditasi seseorang dengan “pikiran seorang pemula”, seseorang bahkan bisa melihat sudut sudut baru dan kemungkinan-kemungkinan yang menyegarkan, yang menjauhi seseorang dari kemalasan dan kelambanan, tetap aktif dan energik. Dengan kata lain, seseorang dapat mengembangkan kegembiraannya dalam hal apapun yang dilakukannya dengan melatih pencerapan untuk melihat keindahan dalam hal-hal yang biasa, dengan demikian dapat membangkitkan ketertarikan untuk menghindari keletihan yang teramat sangat, yaitu kemalasan dan kelambanan.

Pikiran mempunyai dua fungsi utama, “melakukan” dan “mengenali”. Cara bermeditasi adalah untuk menenangkan fungsi “melakukan” untuk sepenuhnya tenang ketika mempertahankan fungsi “mengenali”. Kemalasan dan kelambanan muncul ketika seseorang dengan cerobohnya menenangkan kedua fungsi ini baik “melakukan” maupun “mengenali”, karena tidak dapat membedakan keduanya. Kemalasan dan kelambanan adalah sebuah masalah umum yang memperlambat dan menghambat seseorang dalam latihannya. Seorang meditator yang terampil akan terus mengamati petanda awal kemalasan dan kelambanan dengan tajam, dengan demikian ia dapat menyadari kedatangannya dan mengelak sebelum terlambat. Seperti saat tiba di persimpangan jalan, seseorang dapat memilih jalan yang jauh dari kemalasan dan kelambanan.

Kemalasan dan kelambanan adalah suatu kondisi badan jasmani dan batin yang tidak menyenangkan, yang terlalu kaku untuk mencapai kebahagiaan Jhana dan terlalu buta untuk menyadari pengetahuan apapun. Pendeknya, hal ini adalah suatu pemborosan waktu yang berharga.


4. Kegelisahan
Merujuk pada batin yang seperti seekor monyet, selalu berayun dari satu dahan ke dahan lainnya, tanpa pernah dapat berdiam lama dalam segala hal. Hal ini dikarenakan kondisi batin yang selalu mencari kesalahan, tidak bisa puas dengan segala hal yang ada, maka harus terus berpindah untuk mencari sesuatu yang lebih baik, selamanya.

Buddha mempersamakan kegelisahan dengan budak, yang terus menerus mengikuti perintah atasan tiran, yang mendambakan kesempurnaan dan tidak pernah membiarkan seseorang berhenti.

Kegelisahan dapat diatasi dengan mengembangkan rasa puas, yaitu lawan kata dari mencari kesalahan. Seseorang belajar hidup bahagia dalam kesederhanaan, puas dengan sedikit memiliki, daripada selalu menginginkan lebih. Seseorang yang bersyukur pada saat ini lebih baik daripada selalu memikirkan kekurangan yang ada. Sebagai contoh, dalam meditasi, kegelisahan sering berupa ketidaksabaran untuk bergerak cepat ke tataran berikutnya. Kemajuan tercepat, malah dicapai oleh mereka yang puas dengan tataran mereka sekarang. Ini adalah kepuasan yang mendalam yang mematangkan sampai pada tataran selanjutnya. Jadi berhati-hatilah dalam “menginginkan sesuatu” dan sebaliknya belajarlah bagaimana beristirahat dalam rasa puas yang penuh perasaan menghargai. Demikianlah, fungsi “melakukan” itu menghilang dan meditasipun berkembang.

Penyesalan merujuk kepada suatu kegelisahan tertentu, yang diakibatkan oleh efek kamma dari perbuatan jahat seseorang. Satu-satunya jalan untuk mengatasi rasa penyesalan, kegelisahan akibat hati nurani yang tidak baik adalah dengan memurnikan kebajikan seseorang dan menjadi bijaksana dan baik. Pada hakikatnya, tidaklah mungkin bagi seseorang yang tidak bermoral atau yang suka memanjakan diri untuk maju dan berkembang pesat dalam meditasi.


5. Keragu-raguan
Keragu-raguan merujuk pada pertanyaanpertanyaan mengganggu yang timbul dalam batin pada saat seseorang seharusnya bergerak lebih jauh dalam keheningan. Keragu-raguan bisa berupa mempertanyakan kemampuan seseorang, “Bisakah saya melakukan ini?” atau mempertanyakan cara “Apakah jalan yang kutempuh sudah benar?” atau bahkan mempertanyakan makna “Apakah ini ?”. Hal yang harus diingat bahwa pertanyaan demikian adalah halangan halangan dalam bermeditasi karena mereka ditanyakan pada waktu yang salah, sehingga menjadi suatu gangguan, yang mengaburkan pandangan jelas seseorang.

Buddha mempersamakan keragu-raguan dengan tersesat di padang pasir, tanpa tahu petunjuk jalan. Keragu-raguan semacam itu dapat diatasi dengan mengumpulkan instruksi yang jelas, memiliki peta yang bagus, sehingga seseorang bisa mengenali petunjuk yang halus di daerah asing ketika bermeditasi secara mendalam dan mengetahui kemana jalan yang akan ditempuh. Keraguan-raguan akan kemampuan dapat diatasi dengan mencari seorang guru yang mahir untuk membimbingnya mengembangkan kepercayaan dirinya. Seorang guru meditasi seperti seorang pelatih yang meyakinkan tim olahraganya bahwa mereka akan berhasil. Buddha menyatakan bahwa seseorang bisa dan akan mencapai Jhana dan Pencerahan jika ia dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran mengikuti instruksi yang diberikan. Satu-satunya ketidakpastian adalah “kapan”! Pengalaman juga mengatasi keraguraguan seseorang atas kemampuannya dan juga keragu keraguan apakah ia berada di jalan yang benar. Ketika seseorang menyadari tingkatan jalan yang indah, maka ia mengetahui bahwa seseorang itu benar-benar mempunyai kemampuan untuk mencapai yang tertinggi, maka inilah jalan yang menuntun orang ke sana.

Keragu-raguan berupa dugaan terus menerus, “Apakah ini jhana?”, “Bagaimana jalannya?” dapat diatasi dengan menyadari pertanyaan-pertanyaan demikian, paling baik disingkirkan jauh-jauh ke belakang, sampai pada menit-menit terakhir meditasi. Dewan juri hanya memberikan penilaian pada akhir sidang, ketika semua bukti telah diajukan. Dengan kata lain, seorang meditator yang terampil mengejar serangkaian bukti-bukti yang tenang, memeriksanya hanya pada akhir untuk menemukan maknanya.

Akhir dari keragu-raguan dalam meditasi dijelaskan dengan sebuah pikiran yang telah sepenuhnya percaya dalam keheningan sehingga tidak akan ikut campur dalam suara batin. Seperti memiliki seorang supir yang baik, ia duduk dengan tenang dalam perjalanannya sebagai wujud kepercayaaannya terhadap supir tersebut.

Permasalahan apapun yang timbul dalam meditasi akan menjadi salah satu dari Lima Rintangan atau kombinasinya. Jadi, jika seseorang mengalami kesulitan, gunakan skema Lima Rintangan ini sebagai “daftar periksa” untuk mengidentifikasikan masalah utamanya. Barulah kamu akan tahu pengobatan yang sesuai, terapkan dengan sungguh-sungguh dan melampaui rintangan menuju meditasi yang lebih mendalam.

Ketika Lima Rintangan telah sepenuhnya diatasi, tidak ada penghalang antara meditator dengan kebahagiaan Jhana. Maka, lulus ujian tertentu dari Lima Rintangan merupakan kemampuan untuk memasuki Jhana.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #9 on: 20 March 2009, 03:19:47 PM »
SATIPATTHANA – EMPAT PERHATIAN KESADARAN

Dewasa ini semakin banyak guru-guru Buddhis yang membicarakan praktik latihan Satipatthana daripada praktik latihan meditasi lainnya... kecuali oleh bhikkhu yang satu ini! Jadi di dalam artikel Dhamma ini saya akan mengikuti tren dengan menyajikan sejumlah pengamatan praktik atas ajaran Buddha yang paling banyak disalahmengertikan.

Bagi kamu yang telah “duduk malas tanpa tujuan” di pusat meditasi selama beberapa saat, mungkin telah pernah mendengar beberapa guru menyatakan bahwa empat “Perhatian Kesadaran” – terjemahan dari “Satipatthana” – [Terjemahan lain : Empat Landasan Perhatian] merupakan “satu dan satu satunya jalan” dalam tujuan mencapai Pencerahan penuh! Walaupun terkesan seperti nada promosi yang mengesankan untuk ajaran tersebut,itu bukanlah sebuah terjemahan yang dari naskah aslinya, juga tidak konsisten dengan apa yang Buddha utarakan di bagian lain. Ungkapan (“Ekayana Magga”) yang disalahterjemahkan sebagai “satu dan satu-satunya jalan” terjadi lagi di sutta ke-12 pada koleksi Majjhima yang dengan jelas berarti sebuah “jalan yang hanya memiliki satu tujuan.” Banyak jalan berbeda dapat mencapai satu tujuan yang sama. Kenyataannya “satu dan satu-satunya jalan” adalah uraian Buddha, bukan untuk Satipatthana, tetapi untuk Jalan Mulia Berunsur Delapan:

“Dari semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapanlah yang terbaik.
Inilah satu-satunya jalan, tidak ada jalan lain untuk kemurnian pengetahuan”

Ayat Dhammapada 273 dan 274 (ringkasan)

Dengan demikian, “satu-satunya jalan” menuju Pencerahan, sebagaimana semua umat Buddha seharusnya tahu, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Empat Perhatian Kesadaran hanya mencakup satu bagian dari jalan ini, yaitu faktor ketujuh. Jhana adalah faktor kedelapan dan ada juga Pandangan Benar, Pikiran Benar, Usaha Benar dan 3 faktor Sila. Setiap faktor dari kedelapan faktor ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan Pencerahan penuh. Jika ini berlebihan, tentu saja Buddha hanya akan mengajarkan tujuh jalan atau enam jalan saja dan seterusnya. Maka, dalam mempraktikkan ajaran Buddha, ingatlah selalu bahwa kedelapan faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan harus selalu dipraktikkan sebagai “satu dan satu-satunya jalan”.

Metode empat Perhatian Kesadaran yang diajarkan oleh Buddha merupakan praktik yang sangat lanjut. Demikian lanjutnya, sehingga Buddha menuturkan, bahwa siapapun yang mengembangkan jalan ini sesuai dengan cara yang diajarkan-Nya, hanya dalam tujuh hari mereka akan mencapai Pencerahan penuh atau Tataran Tidak Kembali lagi. Banyak meditator yang membaca hal ini mungkin telah pernah mengikuti retret selama sembilan hari atau bahkan lebih lama tetapi belum tercerahkan penuh seperti yang Buddha janjikan. Mengapa demikian? Karena saya yakin kamu belum mengikuti instruksi Buddha sepenuhnya.

Jika kamu ingin mempraktikkan empat Perhatian Kesadaran dengan cara yang yang dikatakan Buddha dapat membimbingmu menuju Pencerahan dengan pesat, maka ada hal-hal tertentu yang harus dipersiapkan sebelum kamu memulainya. Pendek kata, persiapan persiapan utama adalah pengembangan sepenuhnya ketujuh faktor lain dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Atau sebagaimana yang diutarakan oleh Sang Buddha dalam koleksi Anguttara (9:Sutta 63-64), seseorang seharusnya menjaga Lima Sila (lebih lama lebih baik), mengatasi Lima Rintangan [nafsu indriawi, kemauan jahat, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan keragu-raguan], kemudian mempraktikkan Satipatthana.

Prasyarat penting ini sebenarnya diutarakan oleh Buddha dalam dua ceramah-Nya mengenai empat Perhatian Kesadaran, yaitu “Vineyya Loke Abhijjha-Domanassam” (izinkan saya mengutip dalam bahasa Pali. Inilah satu-satunya jalan untuk menekankan pentingnya hal ini). Ungkapan ini biasanya diterjemahkan sebagai “telah melenyapkan keinginan dan kesedihan duniawi” atau sejenisnya. Meditator merasa terjemahan tersebut kurang berarti, sehingga mengabaikan instruksinya sama sekali dan merekapun ketinggalan bus! Pada masa kehidupan Buddha, para bhikkhu, bhikkhuni dan pengikut-pengikut awam akan telah memahami ungkapan yang berarti “telah mematahkan Lima Rintangan!” dari komentar-komentar agung dalam dua Satipatthana Sutta yang diajarkan oleh Buddha, dimana di dalam keduanya diutarakan dengan jelas bahwa “Abhijja-Domanassam” (maaf, lagi-lagi bahasa Pali!) secara tepat merujuk pada Lima Rintangan. Pada bagian lain dari catatan mengenai ajaran Buddha, “Abhijjha” adalah padanan kata untuk rintangan pertama, “Domanassam” merupakan padanan kata untuk rintangan kedua dan mereka berdiri bersama dalam idiom bahasa Pali, sebagai penyingkatan dari kelima rintangan tersebut. Ini berarti Lima Rintangan harus dipatahkan terlebih dahulu sebelum memulai salah satu dari praktik Perhatian Kesadaran. Menurut pendapat saya yang kurang begitu enak kedengarannya, ini persis karena meditator mencoba untuk mempraktikkan metode Satipatthana dengan beberapa rintangan yang masih tersisa dalam diri mereka, sehingga mereka tidak mencapai hasil yang luar biasa atau tahan lama.

Inilah fungsi dari praktik Jhana, faktor tertinggi dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, mematahkan Lima Rintangan dalam waktu yang cukup lama sehingga bisa mencapai Pengetahuan Tertinggi. Sebagai contoh, dalam Sutta ke-68 (“Nalakapanna”) dalam koleksi Majjhima, Buddha menyatakan bahwa meditator yang tidak mencapai Jhana, Lima Rintangan berikut ketidakpuasan maupun jemu kelelahan menyerang pikiran dan meringkuk di dalamnya. Hanya ketika seseorang telah mencapai Jhana, Lima Rintangan berikut ketidakpuasan maupun jemu kelelahan tidak menyerang pikiran dan meringkuk, begitulah jalan yang dijelaskan oleh Buddha. Meditator manapun yang telah mengalami kedahsyatan Jhana akan tahu melalui pengalaman pengalamannya, apa yang akan terjadi selanjutnya, seperti apa kondisi pikiran yang tanpa Rintangan-Rintangan itu.

Meditator yang belum mencapai Jhana tidak menyadari banyak bentuk halus yang ditunggangi oleh Rintangan-Rintangan. Mereka mungkin saja berpikir bahwa rintangan-rintangan telah teratasi tetapi mereka sebenarnya hanya tidak menyadarinya, jadi mereka tidak mendapatkan hasil yang maksimal dari latihan meditasi yang mereka jalankan. Inilah mengapa praktik Samatha, yang mengembangkan Jhana merupakan bagian dari pengajaran Satipatthana dan tidaklah tepat bila menyebut Satipatthana sebagai “Vipassana murni”. Bahkan guru saya, Ajahn Chah berulang kali mengatakan bahwa Samatha dan Vipassana, “ketenangan dan pengetahuan”, selalu berjalan seiring dan tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dari sekeping koin yang sama.

Setelah dengan tekun menyelesaikan persiapan persiapan yang diperlukan, meditator mempertahankan perhatian mereka pada salah satu dari empat kesadaran: badan jasmani, kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan setiap indra, kesadaran pikiran, dan yang keempat, objek pikiran. Ketika rintangan-rintangan telah dipatahkan dan seseorang dapat mempertahankan perhatian kuat dan penembusan terhadap empat objek ini, hanya pada kondisi inilah kita mungkin bisa menyadari kedalaman batin, jauh lebih dalam daripada selubung pemikiran intelek, yang telah kita asumsikan dengan adanya Diri. Kita telah mengasumsikan bahwa badan jasmani ini “Aku” atau “Milikku”, bahwa kesenangan dan penderitaan ada hubungannya denganku, bahwa pikiran yang mengamati itu adalah Jiwa kita atau sejenisnya, dan bahwa objek pikiran seperti pemikiran atau kemauan (“si pemilih”) adalah sebuah Diri, Aku atau Milikku. Pendek kata, tujuan dari empat Perhatian Kesadaran adalah untuk menginstruksikan apa yang harus dilakukan ketika seseorang telah bangkit dari Jhana, untuk menyingkap secara mendalam kebodohan yang tersamar dalam sesosok Jiwa dan kemudian mengetahui apa yang disadari oleh Buddha, Kebenaran tentang Anatta.

Ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi ini dapat dilakukan dan hanya membutuhkan waktu tujuh hari saja untuk menyelesaikannya. Itu jika seseorang mengikuti instruksi Buddha, mengikutinya dan tidak mengambil jalan pintas.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #10 on: 20 March 2009, 03:20:15 PM »
PERSEMBAHAN (PUJA)

Persembahan lilin, bunga, buah, sari buah, dupa dan sebagainya untuk memuja Buddha adalah praktik lain, yang maknanya mungkin tidak diketahui oleh sebagian orang. Persembahan benda demikian kepada seorang suci sebenarnya merupakan kebiasaan dunia timur. Bahkan pada masa kehidupan Buddha, telah ada kebiasaan orang India membawa bunga ketika mereka mengunjungi orang suci. Ini dilakukan sebagai lambang penghormatan. Buddhis yang berbakti juga melakukan persembahan dengan memuja Buddha, Dhamma dan Sangha. Perbuatan simbolis ini memberikan mereka rasa bahagia, damai dan lega.

Pada saat yang sama, Buddhis yang paham sering memakai persembahan yang sama sebagai objek meditasi mereka. Mereka sepenuhnya sadar terhadap objek-objek fisik ini sebagai sajian sederhana atas benda benda spiritual. Nyala lilin atau pelita dan bunga bisa diibaratkan dengan kehidupan badan jasmani. Persembahan lilin merupakan lambang lenyapnya kegelapan atau kebodohan melalui cahaya yang dipancarkannya. Keberadaan nyala dan terangnya cahaya, keindahan bunga, wangi dupa dan sentuhan akhir dari kebinaran dan keindahannya hanya untuk mewujudkan ketidakkekalan, maka semua fenomena alam ini bisa diambil sebagai objek meditasi yang sesuai. Bunga-bunga di altar melambangkan salah satu dari yang paling indah dan juga salah satu bentuk alami yang paling sementara sifatnya.

Persembahan-persembahan demikian melambangkan kebajikan-kebajikan karena menghasilkan kondisi mental yang sehat dan penuh bakti. Oleh karena itu waktu yang dihabiskan untuk persembahan barang-barang ini dan melantunkan paritta di sebuah ruang suci itu sama sekali bukanlah pemborosan. Perbuatan berbakti seseorang menghasilkan efek menyenangkan diri mereka sendiri dan menenangkan batin. Sebaiknya setiap hari sebelum mulai bekerja, merupakan hal yang baik untuk melakukan persembahan benda-benda ini kepada Buddha sebagai lambang penghormatan kepada Buddha yang suci, yang telah menunjukkan jalan yang benar kepada kita demi ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan.

Akan tetapi, umat Buddha seharusnya tidak merasa puas dengan hanya mempersembahkan sesuatu untuk memuja Buddha, melantunkan syair atau Sutta “gaya beo” dengan berpikir bahwa tugas mereka telah selesai. Untuk menjadi umat Buddha yang baik, mereka harus melakukan sesuatu yang lebih, mereka harus mengoreksi diri mereka dengan mengikuti anjuran Buddha. Cobalah untuk memperoleh lebih banyak pengetahuan dan pemahaman melalui ajaran-ajaran-Nya. Seseorang tidak seharusnya berpikir bahwa dengan hanya mempersembahkan sesuatu kepada Buddha, perbuatan jahat seseorang bisa terhapuskan.


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #11 on: 20 March 2009, 03:23:58 PM »

D.O.N.E !!!

**sigh** slesai juga neh.. panjang beneeeeeeeer.....
wakakakakak


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #12 on: 20 March 2009, 03:37:10 PM »
trims ya, dah cape2 terjemahin...  <:-P

Bukan Elin yg translate bro..  :)
Translated by : Ratnadevi Suryani & Anjali Yean

Elin hanya bantu copy paste dan rapihin file dari format pdf nya.
Agar lebih mudah dibaca gituuuuu, kali aja ada rekan2 DC yg mau langsung baca..
Ein juga sediakan file nya di 4shared, untuk rekan2 DC yang mau print / utk keperuan lainnya..
Semoga bisa bermanfaat secara maksimal  _/\_


Thank u sis, it's a nice gift :)

ur welcome bro...
cepet banget neh respond nya, Elin aja blm slesai post uda ada yg baca duluan...
Senang juga siy hehehe


Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin

Offline Brado

  • Sebelumnya: Lokkhitacaro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.645
  • Reputasi: 67
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #13 on: 20 March 2009, 03:38:21 PM »
Elin yang translate ?  :-?
Jadi anda adalah salah satu yang punya nama asli di bawah ini ya ?

Kebijaksanaan dalam Keheningan
Judul asli : Wisdom of Silence
By Ven. Ajahn Brahmavamso
Alih bahasa: Ratnadevi Suryani & Anjali Yean

Kamu yang mana ? Ratnadevi atau Anjali ?  ???

Offline Mr. Wei

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.074
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
Re: Terjemahan buku Wisdom of Silence - Ajahn Brahm
« Reply #14 on: 21 March 2009, 06:11:18 AM »
:-?