Setelah pembicaraan tentang perbedaan antara dewa dan "gods", kita sampai pada yang diajarkan oleh Sang Buddha tentang konsep "penciptaan" alam-semesta oleh suatu "maha-dewa" atau makhluk tertentu. Keberadaan makhluk seperti itu dibantah oleh Sang Buddha, sebab menurut Beliau, pemahaman seperti itu adalah tidak masuk akal, tanpa pembuktian yang mendukungnya. Ada beberapa argumentasi yang mencoba membuktikan adanya "maha-dewa" pencipta, namun Buddha Dhamma malah membuktikan bahwa tidak satupun argumentasi itu memuaskan. Argumentasi pertama mengatakan seperti ini: "Segala sesuatu mempunyai kausa (sebab), oleh karenanya selayaknya ada kausa pertama, dan bahwa kausa pertama itulah "maha-dewa" itu. Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi ini. Pertama, ialah bahwa argumentasi diatas justru bertolak belakang dengan pernyataan/argumentasi itu sendiri. Oleh karena, segala sesuatu mempunyai kausa, maka kausa pertama seharusnya mempunyai kausa juga. Kedua, tidak ada alasan yang masuk akal, bahwa segala sesuatu harus mempunyai satu kausa tunggal. Semua benda pada dasarnya terbentuk dari beberapa kausa, dengan demikian adalah sangat makul kalau dikatakan bahwa sesuatu hal memiliki sepuluh, ratusan atau bahkan ribuan kausa. Ketiga, walau ada kausa pertama yang tunggal, namun tidak terbukti bahwa itu adalah suatu "maha-dewa". Banyak kemungkinan untuk itu. Lalu ke-empat, adalah secara makul tidak mungkin ada kausa pertama atau asal dari alam-semesta. Suatu permulaan, adalah suatu kejadian, dan sama halnya dengan kejadian-kejadian pada umumnya, permulaan adalah suatu perlangsungan, yang tentunya pasti mengambil masa atau waktu untuk perlangsungannya. Waktu terdiri atas lampau, sekarang dan akan datang. Oleh karenanya pada setiap kejadian yang berlangsung, ada waktu sebelum terjadi (waktu lampau), waktu ketika terjadi (sekarang) dan waktu sesudah terjadi (waktu akan datang). Sebelum dari apa yang disebut "penciptaan oleh maha-dewa", dengan sendirinya tidak ada waktu (karena segala sesuatu belum ada). Lalu, jelas tidaklah mungkin bahwa sesuatu "tanpa-waktu" menghasilkan waktu, sama tidak mungkinnya gelap menghasilkan terang, atau kering dapat menimbulkan basah.
13. Argumentasi lain, mengenai keberadaan "maha-dewa" tersebut, adalah sebagai berikut: dikatakan "Segala sesuatu secara alami mempunyai tujuan dan aturan. Tidak terjadi secara kebetulan, namun dirancang. Apabila alam adalah rancangan, maka harus ada perancang, lalu perancang itu seharusnya "maha-dewa" tersebut". Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi diatas. Pertama, walau misalnya diakui bahwa alam ini dirancang, namun tidak terbukti bahwa perancangnya adalah "maha-dewa" tersebut, juga tidak terbukti bahwa perancangnya adalah tunggal. Pada kenyataannya, alam demikian rumit serta kompleks, wajar bila memerlukan banyak perancang. Jadi, bila segala sesuatu dirancang, maka perlu ada beberapa "pencipta". Kedua, walau misalnya alam ini dirancang, maka ternyata tampak aspek kekejaman dalam rancangannya. Sebagai contoh, kuman tuberkulosa dirancang untuk menggerogoti paru-paru manusia. Mulut belut laut dirancang untuk mencengkram tubuh ikan mangsanya untuk kemudian pelan-pelan dimakan hidup-hidup penuh rasa sakit. Kuman kusta dirancang untuk menggerogoti daging manusia sehingga anggota badan rusak. Dengan demikian, walau, misalnya alam dirancang, kenyataan bahwa justru banyak rancangan menyebabkan penderitaan menyimpulkan bahwa Yang-Esa yang maha-pengasih tidak pernah menciptakannya sedemikian rupa. Ke-tiga, walau misalnya alam ini dirancang, banyak dari rancangan itu justru salah. Bila "maha-dewa sempurna" itu merancang, maka ciptaannya seharusnya sempurna pula. Kenyataannya hujan memang mengairi persawahan, tapi kadang-kadang hujan tidak datang, menyebabkan berjuta orang meninggal karena kelaparan, atau hujan terlampau banyak, menyebabkan ribuan orang kehilangan rumahnya atau hidupnya karena banjir. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan cacat mental atau badaniah yang sangat mengerikan. Produksi sel tubuh, kadang-kadang salah, menyebabkan tumor dan kanker. Kenyataan, bahwa perancangan alam tidaklah sempurna meng-indikasikan bahwa "maha-dewa", pencipta yang seharusnya sempurna bukanlah perancangnya.
14. Agama Buddha juga masih memiliki beberapa argumentasi kuat untuk menganggap "maha-dewa" itu, tidaklah maha-tahu, maha-kuasa serta maha-pengasih. Argumentasi pertama adalah, apabila "maha-dewa" itu maha-tahu, maka "maha-dewa" itu pasti mengetahui semua masa lalu, mengetahui semua masa sekarang dan mengetahui semua masa yang akan datang. Dengan demikian seharusnya "maha-dewa" itu pasti mengetahui pilihan yang dijatuhkan seseorang, pikiran yang dipunyai seseorang, tindakan yang akan dilakukan seseorang, jauh sebelum dilaksanakan oleh orang itu. Jadi, dengan demikian setiap manusia seharusnya hanya dapat bertindak sesuai apa yang telah "maha-dewa" ramalkan sebelumnya; seluruh kehidupan setiap orang telah dipastikan dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, berdasar pada pemahaman "maha-dewa maha-tahu" itu tidak mungkin lagi ada kebebasan keinginan lagi; lalu bila tidak ada kebebasan keinginan, seseorang tidak seharusnya bertanggung jawab pada setiap tindakannya, pula ide untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan, tidak berarti lagi.
Sehubungan dengan itu, argumentasi lain, adalah sebagai berikut:
Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak "maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya "maha-dewa" itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji. Sang Buddha menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:
Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". Saya menemui dan bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu saya berkata: "Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri dan berzina pula atas kehendak "maha-dewa" tersebut. Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan "maha-dewa" tersebut". Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini atau tidak berbuat itu.5
Pujangga Buddhis, Santideva, menyatakan dengan sederhana: "Bila "maha-dewa" lah penyebab semua kejadian, lalu apa gunanya manusia berusaha sekuat tenaga?"6.
15. Argumentasi lain mengenai konsep "maha-dewa", sebagai berikut: keberadaan kejahatan dan penderitaan didunia adalah bukti bahwa "maha-dewa" yang maha-kasih, maha-kuasa tidaklah ada, sebab bila ada tentunya "maha-dewa" sedemikian itu bisa menghentikan segala kejahatan, bencana dan penderitaan. Seorang manusia sederhana sekalipun akan berbuat apa saja agar terbebas dari sakit, kelaparan dan ketakutan apabila mereka berdaya untuk itu; lalu mengapa "maha-dewa" yang lebih sempurna dan maha-kuasa itu tidak bertindak? Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa penderitaan adalah hukuman "maha-dewa" bagi yang berbuat kejahatan. Tapi bukankah orang yang baik juga ditimpa bencana, sakit, kematian mendadak, sebaliknya penjahat juga ada yang sukses, sehat dan bahagia. Lalu, apa pula yang mengatakan bahwa semua penderitaan manusia disebabkan oleh dosa. Walau manusia memang harus bertanggung jawab dalam bentuk penderitaan, namun tetap mereka tidak dapat dipersalahkan untuk beberapa macam penderitaan seperti kanker, gempa bumi, paceklik, kekeringan dan juga terlahir cacat. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa pengasih" tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa "maha-dewa pengasih" membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya, adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya "maha-dewa maha-pengasih" tersebut.
Sang Buddha bersabda:
Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan;
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal.
Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan.
Yang membuat dunia yang diatur keliru.7
16. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanyalah kepercayaan pada "maha-dewa yang bercirikan sifat seperti diatas" yang dapat menjamin kebahagiaan serta membuat hidup berarti atau hanya dengan keyakinan seperti itu kita dapat mengatasi masalah kita sendiri. Namun, jutaan manusia yang juga berbahagia, produktif dan bermoral dalam hidupnya tanpa harus menyandang konsep tentang adanya "maha-dewa" berciri sedemikian. Mereka juga berhasil mengatasi kecacatan, ketidak-mampuan dan kekerasan hidup melalui kekuatan dan ketetapan hati mereka sendiri, tanpa bersandar pada kekuasaan "maha-dewa" tersebut. Apabila manusia bermoral, bahagia dan berkasih-sayang pada sesamanya serta mempunyai tujuan hidup, maka kepercayaan sedemikian diatas kiranya tidaklah diperlukan. Namun, adalah penting diketahui bahwa untuk orang tertentu kepercayaan pada bentuk-bentuk atau ciri-ciri "maha-dewa" sedemikian diatas adalah berarti dan penting untuk hidupnya. Oleh karenanya, walau tidak menganut paham sedemikian bagi dirinya sendiri, seorang umat Buddha hendaknya tetap menghormati mereka yang berkeyakinan seperti itu.
Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika