//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~  (Read 11892 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« on: 12 October 2010, 11:19:52 AM »
Berikut ini saya posting-kan, tentang Thich Nhat Hanh (tentang ceramah maupun retreat-nya), yang berlangsung beberapa saat yang lalu.

Tolong admin pindahin ke board yang sesuai (kalo salah). Kalo ada yang ikut ceramah atau retretnya, dan mau sharing, silahkan.

Selamat menikmati :)
« Last Edit: 12 October 2010, 11:36:44 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Jalan Berkesadaran Thich Nhat Hanh (Kompas)
« Reply #1 on: 12 October 2010, 11:23:19 AM »
Jalan Berkesadaran Thich Nhat Hanh

Kompas; Minggu, 10 Oktober 2010
oleh: Maria Hartiningsih

Sesosok tubuh seperti melayang menuju ke tengah panggung kosong. Setiap geraknya hening, seperti menghayati setiap tarikan dan embusan napas. Setelah duduk merapikan jubah, Thich Nhat Hanh (84) melakukan anjali. Ia membungkukkan tubuh, mengatupkan kedua tangan, membentuk kuncup bunga, seperti menyodorkan ”sekuntum teratai untukmu”; simbol kedamaian dan kesadaran akan kesalingterkaitan.

Keheningan sekitar lima menit itu seperti ritual, membumikan kaligrafi ”Practice from the heart” yang melatari panggung, sebelum Thay—sapaan akrab Bhante Thich Nhat Hanh di Plum Village, yang artinya Guru, dalam bahasa Vietnam—memulai ceramahnya di depan sekitar 900 peserta retret di Caringin, Sukabumi, pekan lalu.

Ia berbicara tanpa teks, sambil duduk, kadang berdiri, berjalan perlahan ke papan tulis, menjelaskan istilah-istilah dalam psikologi Buddhisme dengan contohcontoh sederhana dari kehidupan riel. Humornya subtil. Ketika lonceng kesadaran bergema, dia berhenti, kembali pada keheningan sepanjang tiga kali embusan napas.

Keteduhan Thay memancar dengan tatapan mata dan bibir yang selalu tersenyum. Namun, suara lembut di balik tubuh yang tampak ringkih itu mengandung energi ajaib yang menggedor kesadaran terdalam, menguakkan selubung demi selubung penderitaan di balik realitas yang ditangkap sepintas oleh lima indera.

Ceramah Dharma selama empat hari itu mengeluarkan orang dari gulungan hidup serba cepat, kompetisi ketat meraih lebih banyak dan lebih banyak lagi, mengejar batas tak berbatas; ilusi ”kemajuan” dan ”kesuksesan”.

Kejaran target membuat orang tak punya lagi kemampuan menghidupi momen demi momen berharga dalam kehidupan sehari-hari, seberapa pun besar kekayaan dan kemewahan material yang dimiliki. Kemampuan mendengar sirna. Komunikasi di dalam dan di luar rumah macet, tidak bisa saling mengerti, tidak bisa melihat penderitaan orang lain, terus menuduh dan menyalahkan pihak lain. Sikap itu menggelembungkan persepsi yang keliru, melahirkan kegelisahan, kemarahan, kebencian, ketakutan, kekerasan, kalau akarnya tidak dikenali.

Ia menceritakan kisah seorang suami yang menuduh istrinya berselingkuh selama beberapa tahun ia berada di medan perang. Persepsi itu keliru, tetapi tak pernah terkuak karena keduanya membisu. Suami dikuasai kemarahan, sang istri dikuasai kesedihan, sampai memutuskan bunuh diri. Suatu malam, di bawah sinar lentera, si anak menunjuk bayangan di dinding, ”Pak, Ibu bilang itu ayahku....”

Perang dan terorisme, menurut Thay, juga lahir dari persepsi keliru. Akarnya, kesalahpahaman, nir-toleransi, kebencian, ketiadaan harapan dan pembalasan, tak bisa disentuh apalagi dihancurkan oleh bom dan peluru kendali.

”Persepsi keliru adalah sumber segala penderitaan,” tutur Thay.

Ajakan ”pulang”

Retret selama lima hari itu adalah ajakan ”pulang ke rumah”; di sini, kini (in the here and now). Latihan meditasi adalah kembali kepada napas berkesadaran dan jalan berkesadaran. Napas adalah sahabat setia, seperti bumi solid tempat berlindung dari berbagai situasi mental, pikiran, emosi, dan persepsi.

”Bagi praktisi meditasi, kalau Anda sedang marah, Anda tidak akan melakukan apa pun kecuali kembali kepada napas untuk mengetahui apakah akar kemarahanmu berasal dari persepsi keliru. Kalau Anda mengenalinya, Anda terbebaskan....”

Menurut Thay, di dalam kesadaran terdapat sedikitnya dua lapisan. Di lapisan bawah, menurut tradisi Buddha, tersimpan 51 benih yang muncul sebagai bentuk mental positif dan negatif. Di lapisan atas adalah kesadaran pikiran atau bentuk-bentuk mental.

”Ketika benih kemarahan bermanifestasi menjadi bentuk mental, kita tak boleh membiarkannya terlalu lama sendirian di dalam kesadaran kita. Kita harus mengundang benih kebersadaran untuk menjaganya, menenangkannya.”

Thay melanjutkan, ”Benih kebersadaran akan mengenali benih-benih negatif yang muncul. Tidak ada pertempuran di antara dua energi itu. Tugas benih kebersadaran adalah mengenali benih lain sebagaimana adanya, lalu memeluknya lembut, seperti ibu memeluk anaknya yang menangis. Prinsip meditasi Buddhis adalah nondualitas dan nonkekerasan. Nondualitas berarti engkau adalah kemarahan dan kebersadaran.”

Latihan berkesadaran melalui bernapas dan berjalan membuat benih kebersadaran menjadi bentuk mental dan meningkatkan energi kebersadaran.

”Sebagai praktisi meditasi, Anda harus mengawasi hakikat pikiran yang berasal dari salah satu dari 51 bentuk mental. Kalau yang diproduksi adalah pikiran welas asih, maka yang muncul adalah sikap saling pengertian, welas asih dan non-diskriminasi. Inilah yang disebut berpikir benar oleh Buddha.”

Latihan kebersadaran juga mencakup berpikir benar, berpandangan benar, berbicara benar, dan bertindak benar. ”Berpandangan benar yang didapat dari latihan meditasi, kebersadaran, dan konsentrasi membantu kita menyentuh kebenaran interbeing, kesalingterkaitan, kebenaran kesementaraan dan non-diri.”

Dalam bahasa yang lebih sederhana, latihan hidup berkesadaran adalah latihan eling (dan waspada), dengan menemukan ”maitri” di dalam diri. Kualitasnya disimbolkan sebagai bunga merekah, embun segar, kesolidan gunung, kekokohan bumi, ketenangan dan kejernihan air, dan ruang tak bersekat di angkasa luas.

”Maitri tak bisa dibeli dengan uang berapa pun banyaknya,” ujar Thay.

Sang Guru

Thich Nhat Hanh dikenal sebagai salah satu Guru Zen terkemuka, intelektual, sekaligus penyair, penulis (menulis lebih dari 100 buku, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, yang terbaru adalah The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology), dan tokoh perdamaian internasional. Menurut Sister Chan Khong dalam bukunya Learning True Love: Pengamalan Ajaran Buddha di Masa Tersulit (1993, terjemahan 2009), Thay suka berkebun dan ahli dalam pekerjaan manual.

Dilahirkan di Vietnam Tengah, 11 Oktober 1926, ia menjalani hidup yang luar biasa. Ia mengalami tiga perang, bertahan hidup dari penyiksaan, dan lebih dari 30 tahun di pengasingan. Lulusan Universitas Princeton, Amerika Serikat dan pernah mengajar di Universitas Cornell dan Universitas Columbia di AS itu juga mendirikan organisasi pelayanan sosial, menyelamatkan manusia perahu, dan memimpin Delegasi Buddhis Vietnam pada Perundingan Pardamaian Paris. Martin Luther King menominasikannya sebagai penerima Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1967.

Sejak usia 16 tahun, ia telah menjadi sramanera (calon biksu), aktivis perdamaian, dan pencari jalan. Dia adalah kepala sebuah wihara di Vietnam yang silsilahnya dapat ditelusuri sampai lebih dari 2.000 tahun ke belakang.

Ia mendirikan Universitas Buddhis Van Hanh dan Ordo Interbeing, dan membangun jalan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai ”Engaged Buddhism”; praktik penghayatan nilai-nilai spiritual dalam tindakan sehari-hari.

Thay mendapat suaka dari Pemerintah Perancis dan kemudian membangun dan memimpin komunitas Plum Village di Selatan Perancis, wihara Buddha dan pusat pelatihan hidup berkesadaran bagi orang awam.
« Last Edit: 12 October 2010, 11:25:16 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Engaged Buddhism (Kompas)
« Reply #2 on: 12 October 2010, 11:26:44 AM »
Sampai hari ini Thay masih melakukan perjalanan ke beberapa penjuru dunia untuk mengajarkan seni hidup berkesadaran. Ia mengatakan, Buddhisme lebih tepat dikatakan sebagai jalan hidup, kearifan, dan cara hidup.

Plum Village menjadi oase bagi semua bangsa, agama, keyakinan dan tak berkeyakinan, juga di antara mereka yang bertikai, seperti peserta dari Israel dan Palestina. Seperti diungkapkannya, ”Ketika menyadari penderitaan yang sama, kesalingpengertian dan rekonsiliasi menjadi sesuatu yang mungkin.”

Ia tak kenal lelah menyebarkan kedamaian, kebahagiaan sejati, dan rekonsiliasi, termasuk perjalanannya ke Indonesia kali ini. Menulis apa pun tentang Thay di luar konteks ini akan membuatnya tampak tidak membumi. Dapat dipahami kalau ia tak ingin diwawancara oleh wartawan yang tidak secara intensif mendengarkan ceramahnya dan berlatih meditasi bersamanya.

Ketika ditanya lebih jauh mengenai ”Engaged Buddhism” dalam wawancara petang setelah kegiatan retret usai (3/10) ia menjelaskan, Engaged Buddhism adalah Buddhisme yang tidak dipisahkan dari kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, di dalam komunitas dan masyarakat; Buddhisme yang hadir di setiap momen kegiatan, ketika berbelanja dan menggosok gigi, ketika melakukan wawancara, menulis, dan lain-lain.

Engaged Buddhism adalah Buddhisme yang menanggapi persoalan-persoalan ”saat ini, di sini”; termasuk soal pemanasan global dan perubahan iklim, penghancuran ekosistem, kurangnya komunikasi, masalah bunuh diri, perang, konflik, terorisme, dan lain-lain.

”Semua itu adalah sumber penderitaan saat ini,” ujar Thay, ”Kalau tidak mengenali penderitaan itu, Anda tidak akan menemukan jalan menuju transformasi. Dengan kebersadaran, kita awas terhadap apa pun yang terjadi di dalam tubuh, perasaan, emosi, dan lingkungan kita.”

Kolektif

Lima latihan kebersadaran yang diajarkan merupakan praktik konkret tentang welas asih, kebaikan hati, dan cinta sejati, yang penjabarannya merangkum semua unsur dalam Etik Global.

Latihan kedua adalah kemurahan hati, dan tidak mendukung ketidakadilan sosial dan penindasan. Latihan ketiga adalah komitmen tidak melakukan kegiatan seksual tak senonoh dan tak bertanggung jawab. Latihan keempat terkait dengan praktik berbicara dengan penuh kasih dan mendengarkan secara mendalam untuk mengurangi penderitaan orang lain. Subyek latihan kelima adalah berkesadaran atas apa yang dimakan dan dikonsumsi.

Thay lebih banyak menjelaskan tentang latihan utama, yaitu melindungi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan alam, dan lain-lain di Bumi, dan latihan kelima. Ia mengingatkan, semua yang hidup di alam semesta merupakan hakikat Buddha. Elemen-elemen di alam, yakni air, udara, tanah, api, logam, ada di dalam tubuh manusia.

Oleh karena itu, melakukan kegiatan yang merusak lingkungan, berarti melakukan perusakan terhadap diri sendiri.

”Melindungi kehidupan, pertama-tama adalah melindungi diri dari racun yang dikonsumsi dan diproduksi melalui makanan, bacaan, tontonan, dan lain-lain,” tutur Thay.

”Artikel yang Anda tulis bisa membuat pembaca mengalami transformasi dan menjadi sarana penyembuhan dari kemarahan dan ketakutan, racun yang didapat dari bacaan yang lain.”

Praktik vegetarian 10 hari dalam sebulan dalam tradisi Buddhis Vietnam, bukan sekadar tidak makan daging. ”Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, kita harus mengurangi konsumsi daging sampai 50 persen, karena industri itu mengirim emisi jauh lebih banyak dari yang kita duga,” sambung Thay.

Sebagai tambahan, peternakan skala luas adalah terkait dengan pembalakan hutan. Di Brasil, misalnya, hutan yang dihancurkan sejak tahun 1970-an, antara lain untuk keperluan peternakan, berjumlah 700.000 sampai 750.000 kilometer persegi.

Antara tahun 1990 dan 2003, menurut Paulo Bareto, peneliti senior dari Imazon, ditemui tahun lalu di Brasilia, antara tahun 1990 dan 2003, pertumbuhan produksi daging meningkat tinggi, tujuh persen setahun. Oleh karena itu, target Presiden Luiz Inacio Lula da Silva untuk mengurangi emisi karbondioksida di Brasil adalah mengurangi 80 persen deforestasi.

Lebih dari itu, sapi yang akan dipotong sebenarnya mengalami depresi hebat karena ia tahu akan disembelih. Energi ketakutan, ketidakberdayaan, dan semua energi negatif tertinggal dalam daging sapi yang kemudian disantap manusia.

Semua ini memperlihatkan pemahaman Buddha tentang ”deep ecology”. ”Hidup kita lebih damai dan bahagia kalau tidak mengonsumsi terlalu banyak, dan makan secukupnya. Ini juga bisa diterapkan di dalam bisnis, dengan menekankan pada kesejahteraan pegawai dibandingkan sekadar mengejar untung. Selain itu, tidak melakukan kegiatan bisnis yang merusak lingkungan.”

Tanpa kebangkitan kolektif, tutur Thay, kehancuran segera terjadi. Planet ini tak akan bertahan.... (MH)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Sharing Dewi Lestari (Retreat Thich Nhat Hanh)
« Reply #3 on: 12 October 2010, 11:34:23 AM »
Sebuah e-mail saya terima bulan Maret lalu, info tentang retreat lima hari bersama Master Zen Thich Nhat Hanh di Hong Kong. Hati saya seketika terangkat, intuisi saya berkata: pergi. Saya pengagum karya-karya beliau, tapi tidak mempelajarinya secara mendalam. Bisikan kedua datang dari guru sekaligus sahabat saya, yang juga berkata: pergi.

Bahkan hingga saya menginjakkan kaki di Hongkong pada tanggal 11 Mei lalu, menempuh perjalanan satu jam lebih ke Wu Kai Sha, dan meletakkan koper saya di dalam kamar yang akan dihuni bersama lima orang lain selama lima hari ke depan, saya masih belum tahu pasti apa yang saya cari, dan apa yang akan saya dapat.

Tercatat sekitar 400 orang yang menginap di kompleks retreat, 400 orang datang pulang-pergi, plus 60 anggota Sangha yang didatangkan dari Plum Village. Ini memang retreat skala besar. Hampir 900 orang berkumpul di dalam aula setiap harinya. Suasana riuh dan tempo cepat yang membungkus kami seketika bertransformasi seusai Thich Nhat Hanh muncul dan memberi orientasi tentang “Five Mindfulness Trainings” yang akan kami jalankan selama retreat. Tidak hanya dalam bentuk penjelasan tapi juga pengalaman langsung yang akan dijalankan lewat meditasi berjalan, meditasi duduk, makan, minum teh, bicara secukupnya, dibantu oleh energi kolektif Sangha yang hadir membaur dengan para peserta.

900 orang lalu mulai bergerak dalam keheningan, dalam tempo lambat, dengan bungkukan hormat dan tangan berpose anjali, diiringi bunyi bel yang sesekali digaungkan untuk mengingatkan semua orang berhenti beraktivitas dan pulang pada irama napasnya. Lambat laun saya mulai memahami mengapa saya memilih pergi.

Sungguh, tidak ada kegiatan “luar biasa” yang saya lakukan di sana. Kami sarapan, bermeditasi duduk dan berjalan, mendengarkan ceramah, makan siang, istirahat, berdiskusi dalam kelompok kecil saat sore, makan malam, tidur. Namun hidup seolah-olah ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap hari adalah ritual kesadaran. Dan kita telah melewatkan kegiatan-kegiatan sederhana ini bagai angin ribut yang menyapu padang bunga. Angin yang berlomba menuju ruang kosong tanpa tahu banyaknya keindahan yang gugur di bawah sana. Dan selama lima hari kami dilatih untuk menahan laju angin badai ini, kembali menjadi udara yang bergerak semilir agar sempat memetiki bunga-bunga cantik yang selama ini tumbuh tanpa disadari di padang hidup kita.

Pemamahan itu pun terus membulat dari hari ke hari. Mulai saya mengerti mengapa guru saya menyuruh saya pergi. Pada bulan Maret, beberapa hari sebelum info tentang retreat tersebut tiba, saya terlibat percakapan dengannya, dan Sang Guru berkata: Remember that nature isn’t just about drives and impulses. Reality shouldn’t be perceived as all restriction or compromise, but as a pathway to ensure your safety towards your highest purpose. And as the middle path walker you should be aware of the dynamic between your inside and the outside world. To walk safely and respectfully means you take both realms in consideration. Dan ketika saya bertanya balik, koridor apa yang harus saya pakai, jawabannya singkat saja: five precepts.

Lima Sila ini telah digaungkan Sang Buddha sejak 2500 tahun lalu, sekilas pintas tak jauh berbeda dengan Ten Commandments, atau bahkan nasihat standar orang tua: Jangan membunuh. Jangan mencuri. Jangan berbohong. Jangan berbuat asusila. Jangan mengonsumsi apa pun yang melemahkan kesadaran. Dan terkadang, dengan konteks zaman yang jauh berubah, pola pikir yang memodern dan kian canggih, sungguh tidak mudah mengerti kedalaman perintah-perintah singkat itu, bahkan terasa naif dan tidak realistis.

Kita sering lupa, bahwa penderitaan dalam kehidupan manusia, begitu juga kebahagiaan yang didamba semua manusia tetap sama, terlepas dari zaman Abraham manusia naik unta dan sekarang manusia terbang dengan Boeing. Lebih riskan lagi, terkadang kita terjebak dalam pencerahan sebagai momentum. Kita lupa bahwa menjadi tercerahkan melibatkan disiplin dan praktek yang dijalankan seumur hidup. Kita tersesat dalam “spiritual” sebagai konsep tinggal telan, dan mengabaikan aspek “spirit” yang tak lepas dari “ritual”.

2500 tahun telah berlalu, guru-guru yang merupakan emanasi dari kebijaksanaan Sang Buddha telah hadir dan pergi, dan saya bersyukur dapat bertemu dan berpraktek langsung dengan salah seorang guru yang berhasil menerjemahkan Lima Sila ke dalam pengertian modern. “Five Mindfulness Trainings” yang dirumuskan Thich Nhat Hanh tak lain adalah penerapan Lima Sila dalam konteks zaman sekarang, sebagaimana bernamaskara dijembataninya menjadi ritual bersyukur pada bumi, orang tua, dan leluhur. Triratna dijembataninya menjadi ajaran cinta kasih, pemahaman benar, dan komunitas yang harmonis. Pada saat itu baru saya mampu mengapresiasi apa yang telah dilakukan Thich Nhat Hanh selama ini. Beliau mampu menghidangkan kemurnian ajaran Dharma dalam kemasan masa kini, tanpa mengintimidasi, tanpa kehilangan otentisitas.

Sejak lama saya menerima dan menyepakati ajaran Sang Buddha. Namun Mindfulness Retreat menjadi titik balik bagi saya. “Five Mindfulness Trainings” bukan kesaktian atau momen tunggal pencerahan yang sekonyong-konyong menghajar kesadaran, melainkan komitmen harian dan kode etik yang, jika dijalankan dengan setia, niscaya akan membuahkan mental yang bersahaja, bermakna, dan peka. Sesuatu yang masuk akal dan konkret untuk mewujudkan hidup damai yang didamba semua makhluk—terlepas apa pun bentuk dan keyakinannya. Bagi saya, koridor tersebut relevan untuk konteks hari ini dan relevan pada setiap masa.

Hari terakhir retreat. Sejak pukul setengah enam pagi semua peserta berkumpul dalam aula. Kami, yang memilih untuk berkomitmen pada lima praktek kesadaran, duduk berlutut. Dan saat saya bernamaskara, mengucapkan komitmen saya, hati sayalah yang sesungguhnya bersujud mensyukuri setidaknya tiga hal. Pertama, saya berkesempatan terlahir menjadi manusia. Kedua, saya berkesempatan mengenal ajaran kebenaran dan kasih. Ketiga, saya berkesempatan untuk meniti jalan tersebut.

Kita dapat berdiri jauh dari jalan itu, membayangkan untuk meraihnya satu hari tanpa menggerakkan satu pun kaki. Kita dapat berdiri begitu dekat dari mulut jalan, tapi kabut tebal menghalangi pandangan hingga kita berdiam lama tanpa berbuat apa-apa. Kita dapat melancong ke tepi jalan itu, berfoto sejenak, lalu pergi untuk menambah koleksi tempat-tempat wisata kita. Dan kita dapat pergi ke jalan itu, menitinya perlahan, langkah demi langkah, tanpa terbebani iming-iming yang menanti di ujung sana, dan hanya mengapresiasi komitmen dan upaya kecil kita setiap hari. Memetiki bunga-bunga mungil yang selama ini terabaikan, menahan laju angin badai yang senantiasa menggusur kaki ini keluar dari koridor. Jalan Tengah dicari bukan hanya demi filosofi, tapi bukti untuk dijalani.

Teks “Five Mindfulness Trainings” saya renungkan berkali-kali selama retreat, bahkan saya menangis jika perlu. Ada keindahan yang tak tertampung tubuh ketika pemahaman ini mengutuh. Perjalanan hidup saya… pertemuan saya dengan sahabat sekaligus guru saya… hingga selembar tiket elektronik yang menerbangkan saya ke Hongkong… tampak sebagai rangkaian penggalian untuk kembali menemukan apa yang telah tertimbun oleh debu batin dan waktu: vajra—permata yang bersemayam dalam diri. Terakhir, saya bernamaskara bagi mereka, bagi kalian, bagi kita, bagi semua makhluk, yang dengan caranya masing-masing telah menjadi guru terbaik saya.

* Teks lengkap dari “Five Mindfulness Trainings” dapat dilihat di situs resmi Plum Village: www.plumvillage.org

By: Dewi Lestari (Penulis adalah seorang artis dan sastrawati)

Sumber

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #4 on: 12 October 2010, 11:56:16 AM »
kenapa dee yaa...
bukannyaumedho benny gituh.. kayaknya gue lebih percaya sama yg ini..

Sharing Sumedho Benny (Retreat Thich Nhat Hanh)
Samma Vayama

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Thich Nhat Hanh, Five Mindfulness Training
« Reply #5 on: 12 October 2010, 12:35:20 PM »
Notes: pada dasarnya Five Mindfulness Training (Lima Latihan Berkesadaran) adalah sama dengan Pancasila Buddhist. Hanya saja dibuat lebih rinci.

First Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by the destruction of life, I am committed to cultivating compassion, and learning ways to protect the lives of people, animals, plants, and minerals. I am determined not to kill, not to let others kill, and not to support any act of killing in the world, in my thinking, and in my way of life.

Dengan menyadari penderitaan yang disebabkan oleh pembunuhan, saya berkomitmen untuk mengembangkan belas kasih, dan belajar cara melindungi hidup manusia, binatang, tumbuhan, dan mineral (sumber daya bumi). Saya memutuskan untuk tidak membunuh, tidak membiarkan orang lain membunuh, dan tidak mendukung segala bentuk pembunuhan di dunia ini, baik dalam pikiran maupun dalam jalan hidup saya.


Second Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by exploitation, social injustice, stealing, and oppression, I am committed to cultivating loving kindness and learning ways to work for the well-being of people, animals, plants, and minerals. I will practice generosity by sharing time, energy, and material resources with those who are in real need, I am determined not to steal and not to possess anything that should be belong to others, I will respect the property of others, but I will prevent others from profiting from human suffering or the suffering of other species on earth.

Dengan menyadari penderitaan yang disebabkan oleh eksploitasi, ketidakadilan sosial, pencurian, dan penindasan, saya berkomitmen untuk mengembangkan cinta kasih dan belajar cara untuk bekerja demi kesejahteraan manusia, binatang, tumbuhan, dan mineral (sumber daya bumi). Saya akan mempraktikkan kemurahan hati dengan berbagi waktu, energi, dan materi, bersama mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya memutuskan untuk tidak mencuri dan tidak mengambil apapun yang menjadi milik orang lain, saya akan menghormati kepemilikan orang lain. Saya akan mencegah orang lain mengambil keuntungan dari penderitaan manusia atau penderitaan spesies lain di bumi.


Third Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by sexual misconduct, I am committed to cultivating responsibility and learning ways to protect the safety and integrity of individuals, couples, families, and society. I am determined not to engage in sexual relations without love and a long-term commitment. To preserve the happiness of myself and others, I am determined to respect my commitment and the commitment of others. I will do everything in my power to protect children from sexual abuse and to prevent couples and families from being broken by sexual misconduct.

Dengan menyadari penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan asusila, saya berkomitmen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab dan belajar cara melindungi keamanan dan integritas dari individu, pasangan, keluarga, dan masyarakat. Saya memutuskan untuk tidak  melakukan hubungan seks tanpa cinta dan komitmen jangka panjang. Untuk mempertahankan kebahagiaan saya dan orang lain, saya memutuskan untuk menghormati komitmen saya dan komitmen orang lain. Saya akan melakukan segalanya semampu saya untuk melindungi anak-anak dari pelecehan seksual dan mencegah pasangan dan keluarga dari kehancuran yang disebabkan oleh tindakan asusila.


Fourth Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by unmindful speech and inability to listen to others, I am committed to cultivating loving speech and deep listening in other to bring joy and happiness to others and relieve others of their suffering. Knowing that words can create happiness or suffering, I am determined to speak truthfully, with words that inspire self confidence, joy, and hope, I will not spread news that I do not know to be certain and will not criticize or condemn things of which I am not sure, I will refrain from uttering words  that can cause division or discord, or that can cause the family or community to break, I am determined to make all efforts to reconcile and resolve all conflicts, however small.

Dengan menyadari penderitaan yang disebabkan oleh ucapan salah dan ketidakmampuan mendengarkan orang lain, saya berkomitmen untuk mengembangkan ucapan penuh cinta kasih dan mendengar orang lain dengan sungguh-sungguh, untuk memberi kebahagiaan serta membebaskan orang lain dari penderitaan mereka. Dengan mengetahui bahwa kata-kata dapat menyebabkan kebahagiaan maupun penderitaan, saya memutuskan untuk berbicara sesuai kebenaran, dengan kata-kata yang menumbuhkan kepercayaan diri, kebahagiaan, dan harapan. Saya tidak akan menyebarkan berita yang tidak saya ketahui secara pasti dan saya tidak akan mengkritik atau menyalahkan seseorang yang saya sendiri tidak yakin, saya akan  mengendalikan diri dari ucapan yang bisa menimbulkan perpecahan atau perselisihan, atau ucapan yang bisa menyebabkan hancurnya keluarga atau komunitas. Saya memutuskan untuk berusaha mendamaikan dan menyelesaikan konflik, betapapun kecilnya.


Fifth Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by unmindful consumption, I am committed to cultivating good health, both physical and mental, for myself, my family, and my society by practicing mindful eating, drinking, and consuming. I will ingest only item that preserve peace, well-being, and joy in my body, in my consciousness, and in the collective body and consciousness of my family and society, I am determined not to use alcohol or any other intoxicant or to ingest foods or other items that contain toxin, such as certain TV programs, magazines, books, films, and conversation. I am aware that to damage my body or my consciousness with these poisons is to betray my ancestors, my parents, my society, and my future generations. I will work to transform violence, fear, anger, and confusion in myself and in society by practicing a diet for myself and for society. I understand that a proper diet is crucial for self-transformation and for the transformation of society.

Dengan menyadari penderitaan yang disebabkan oleh konsumsi salah (tidak berhati-hati /  tanpa kesadaran), saya berkomitmen untuk menjaga kesehatan, baik fisik maupun mental, untuk diri saya sendiri, keluarga saya, dan masyarakat, melalui praktik makan, minum, dan konsumsi lainnya dengan berkesadaran (berhati-hati). Saya hanya akan mengkonsumsi segala sesuatu yang memelihara perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan, dalam tubuh saya, dalam kesadaran saya, maupun dalam kebersamaan tubuh dan kesadaran keluarga saya dan masyarakat, saya memutuskan untuk tidak mengkonsumsi alkohol atau minuman keras lain, atau mengkonsumsi makanan maupun hal-hal lain yang memberi pengaruh buruk, misalnya dalam program TV, majalah, buku-buku, film, dan percakapan. Saya menyadari bahwa dengan merusak tubuh maupun kesadaran saya dengan racun-racun ini adalah sama dengan mengkhianati leluhur saya, keluarga, masyakarat, dan keturunan saya. Saya akan berusaha mengubah kekerasan, ketakutan, kemarahan, dan kekacauan dalam diri saya dan masyarakat melalui pengendalian diri untuk kepentingan diri saya sendiri dan masyarakat. Saya memahami bahwa pengendalian diri yang tepat adalah penting untuk transformasi dalam diri saya dan dalam masyarakat.
« Last Edit: 12 October 2010, 12:41:53 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #6 on: 12 October 2010, 01:14:03 PM »
kenapa dee yaa...
bukannyaumedho benny gituh.. kayaknya gue lebih percaya sama yg ini..

Sharing Sumedho Benny (Retreat Thich Nhat Hanh)

Owh, ikut juga toh? sharing atuh... Btw, sy gak ikut retreat tapi ikut ceramahnya. Bagi yang sudah pernah baca bukunya, sebetulnya ceramahnya sih pengulangan saja (intinya sama). Tapi ada satu pembahasan yang lumayan berkesan (bagi sy), berikut ini.

"Thay menjelaskan tetang Deep Listening (mendengarkan dengan mendalam /  sungguh-sungguh). Awalnya saya berpikir bahwa Deep Listening adalah tentang mendengarkan orang lain. Ternyata Deep Listening adalah lebih dari itu. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mendengarkan diri sendiri, mendengarkan penderitaan dalam diri kita sendiri.

Pada umumnya orang tidak mau mendengarkan/merasakan penderitaan dalam dirinya. Kita selalu menutup mata dan melarikan diri ke makanan, TV, dst. Berbagai cara tersebut kita lakukan untuk menghindari/menolak penderitaan dalam diri kita. Kita tidak mau merasakannya. Di sinilah Deep Listening pertama kali harus dilakukan, yaitu di dalam diri sendiri. Ketika kita merasakan (mendengar) penderitaan kita, kita pun bisa melihat penderitaan yang sama dalam diri orang lain. Oleh karena itu, Deep Listening menimbulkan rasa belas kasih (compassion). Bila kita telah melakukan Deep Listening untuk diri sendiri, barulah bisa kita lakukan untuk orang lain. Bila kita memahami diri sendiri, kita bisa memahami orang lain.

Ketika ada orang yang memarahi kita, kita bisa melihatnya dengan rasa belas kasih. Kita menyadari bahwa orang itu tidak bisa mengatasi penderitaan dan kemarahan dalam dirinya. Kita pun tahu bagaimana rasanya menderita. Jadi untuk apa kita balas memarahinya?"
« Last Edit: 12 October 2010, 01:17:05 PM by Mayvise »

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #7 on: 12 October 2010, 01:32:47 PM »
he? aye kgk ikut gimana sharing ?
There is no place like 127.0.0.1

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #8 on: 12 October 2010, 01:42:12 PM »
 [at] Mai Phai seh
Judul seharusnya: Peace is every step.
appamadena sampadetha

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #9 on: 12 October 2010, 02:46:56 PM »
^ ^ ^ owh iya !  ;D

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #10 on: 12 October 2010, 03:02:30 PM »
saya lebih tertarik dengan konser musiknya, ada yg bisa memberikan ulasan?

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #11 on: 12 October 2010, 03:34:08 PM »
« Last Edit: 12 October 2010, 03:37:29 PM by Mayvise »

Offline heidy12

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 1
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #12 on: 01 February 2011, 04:40:01 PM »
halo, ...
Saya mengunjungi situs Anda dan seperti itu.
Terima kasih untuk berbagi seperti informasi yang bagus =P~
heidy

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Thich Nhat Hanh: ~peace in every step~
« Reply #13 on: 01 February 2011, 04:49:07 PM »
^ ^ ^ halo juga Heidy, kalo suka yang seperti ini (bacaan ringan tentang mindfulness) coba liat link berikut:

Living in the moment

 

anything