//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN  (Read 11799 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN
« on: 16 January 2009, 11:45:04 PM »
AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN

Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu Paedagogus yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak ke sekolah serta menjaga anak agar bertingkah laku susial dan disiplin. Perbuatan mendidik disebut paedagogi, sedangkan pendidik disebut paedagog dan ilmu pendidikan disebut paedagogiek.

Menurut Prof.Dr.M.J Langerveld, Paedagogiek/ilmu mendidik adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk mengetahui keadaan/hakiki obyek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak.

Menurut Prof.Dr.N.Driyarkara, ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah tentang realitas yang disebut mendidik dan dididik. Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis dan sistematis.

DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN

Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang). Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243).

Belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang” (Dhp. 152).

Makna dan Tujuan Pendidikan

Selaras dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat (Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).

Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).

Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi - kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh – tidak didasarkan pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir – Nirvana (A Peng: 1990: 7).

Kebenaran terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk mengantar ke tujuan. sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan dalam Alagaddupama Sutta (M.I,22) dengan mengumpamakan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang.

Paradigma Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III,100). Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta brahmana memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan masyarakat.

Sang Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang yang akan diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, raja, serta dewa sekalipun. Sang Buddha memberikan semua ajarannya tanpa merahasiakan sedikitpun yang telah ia dapat sehingga banyak murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu relatif singkat.

Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar tidak segera percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak menginginkan adanya ketergantungan kepada diri-Nya, dan tidak menunjuk pengganti sebagai pemegang otoritas setelah Ia parinibbana (D.II.100).

Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko, artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285). Karena pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses. Suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab dan akibat. “Seseorang yang melihat sebab akibat, melihat Dharma” (M.I,191).

DASAR PSIKOLOGIS PENDIDIKAN

Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan akibat dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia.

Teori-teori pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda karena mereka memandang pendidikan dari berbagai sudut pandang. Teori pendidikan, kaitannya dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas:

Teori Empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat diatur dan dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir bagaikan kertas putih bersih (Tabula rasa). Teori ini kurang sesuai dengan pandangan Buddhis, anak yang lahir tidak bagaikan kertas putih karena mereka telah membawa benih-benih karma lampau.

Teori Nativisme atau Pesimisme (Schopenhauer), berpendapat bahwa anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan buruk, sehingga lingkungan tak berdaya mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini jelas berbeda dengan Buddhisme, karena akibat dari karma lampau dapat diubah dengan karma sekarang. Jadi, pembawaan seorang anak tetap dapat diubah.

Teori Naturalisme atau Negativisme (J.J Rousseau) melihat semua manusia lahir dengan pembawaan baik, tetapi menjadi buruk karena pendidikan yang diberikan oleh manusia, sehingga sebaiknya proses pendidikan diserahkan saja pada alam. Menurut Buddhisme, manusia lahir tidak hanya dengan pembawaan baik, tetapi juga pembawaan buruk. Jadi hal ini bertentangan dengan Buddhisme. Selain itu alam juga tidak berkuasa mutlak dalam mengubah seseorang, kehendak dari orang itu sendiri yang dapat mengubahnya.

Teori Konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak. Teori Konvergensi ini mendekati pandangan Buddhis. Hasil pendidikan bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Buddha lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat buruk karma lampau.

Keunikan Individu

Setiap manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda, walaupun memiliki kesamaan dalam sifat-sifat umum. Tidak ada manusia yang persis sama di dunia, sekalipun anak kembar. Kesamaan harkat tidak meniadakan perbedaan individual setiap manusia yang memiliki karma masing-masing. Karma membagi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada yang menjadi anak orang kaya, ada yang miskin; ada yang sehat, ada yang cacat atau sakit-sakitan; ada yang cantik, ada yang buruk rupa; dan sebagainya (M.III.202-203). Setiap orang bersifat unik, berbeda pembawaan atau bakat. Dengan sendirinya berbeda pula kemampuan, kecerdasan dan kecenderungan atau minatnya. Dengan demikian pendidikan harus mampu menerima keunikan dari setiap individu tersebut.

Perkembangan Individu

Pendidikan diberikan dengan memperhatikan tingkat perkembangan manusia. Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam empat golongan (A.II,135). Yang pertama, jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Yang kedua, intelektual (vipacitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bungan teratai yang agak jauh di di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Yang keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air.

Sistem pendidikan formal massal dimungkinkan dengan memperhatikan penggolongan tingkat pendidikan formal perkembangan peserta didik. Bilamana terdapat sejumlah peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama kebutuhan dan minatnya, perlakuan yang sama bagi semua muridpun menjadi cukup beralasan. Perlakuan yang istimewa perlu diberikan kepada mereka yang istimewa pula. Perlakuan khusus diberikan kepada anak yang jenius agar mereka berkembang optimal. Sedangkan bagi mereka yang tertinggal juga diberi perhatian khusus sesuai dengan kebutuhannya.

Individualitas Bukan Individualisme

Peserta didik bukanlah obyek dalam pendidikan, bukan gudang kosong yang diisi tergantung dari gurunya. Mereka adalah obyek sekaligus subyek yang harus berusaha sendiri dan mampu mandiri. Ia subyek yang aktif dan bertanggung jawab atas karma atau perbuatannya. Setiap orang adalah pelindung bagi dirinya sendiri dan mempunyai arah tujuannya sendiri (Dhp.380). Ia harus menjadi dan mewujudkan dirinya sendiri, serta dapat menolong dirinya sendiri.

PRINSIP-PRINSIP BELAJAR

Pengertian belajar menurut beberapa ahli, yaitu:

   1. Menurut R. Gagne, belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan manusia yang bertahan dalam waktu yang lama dan tidak berasal dari proses pertumbuhan.
   2. Menurut Bigge, belajar adalah perubahan yang berlangsung terus menerus pada individu yang tidak disebabkan oleh genetika.
   3. Menurut Wolf Wook Nicholick, belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
   4. Menurut Berliner, belajar adalah perubahan tingkah laku ‘individu’ sebagai hasil dari pengalaman, perubahan ini terjadi pada perilaku dan bukan pada jasmani.
   5. Menurut Muh. Surya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.

Belajar adalah suatu proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol oleh diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan belajar tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang lain” (Dhp.165).

Belajar bersifat individual dan unik. Setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri. Para siswa Buddha melatih diri dan mencapai pencerahan dengan berbagai cara. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha: “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri” (M.III, 203).

Secara psikologis, belajar adalah proses intelektual, emosi, spiritual dan sosial yang dikembangkan dalam ranah kognitif (pemikiran), afektif (perasaan, sikap dan nilai) dan psikomotor (ketrampilan). Sedangkan Sang Buddha melihat bahwa: “Segala keadaan batin didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran” (Dhp.1). jadi, keberhasilan dalam belajar adalah adanya kehendak dan bagaimana mengendalikan, melatih, mengembangkan dan menggunakan pikiran.

STRATEGI DAN METODE

Kegiatan belajar dan pembelajaran dalam dunia pendidikan memerlukan strategi-strategi dan metode-metode tertentu agar tercapai tujuan dari pendidikan. Buddhapun memilih suatu strategi khusus, yaitu dengan mendahulukan orang-orang dengan kaulitas batin yang baik sehingga mampu menangkap ajarannya dan terjamin dapat mencapai pencerahan dalam waktu singkat. Untuk memulai suatu pengajaran harus didahului dengan perencanaan yang baik.

Perencanaan

Perencanaan yang baik harus mencakup beberapa faktor. Faktor-faktor dalam perencanaan pengajaran, adalah:

1. Tujuan, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha adalah pembebasan.

2. Metode, yaitu salah satu alat untuk menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan praktek-praktek nyata, dan sebagainya.

3. Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih mengefisienkan pencapaian tujuan.

4. Materi pelajaran, yaitu sarana untuk mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).

5. Strategi, yaitu kegiatan yang terpilih yang dapat memberikan bantuan siswa dalam menuju tercapainya tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan diajar.

6. Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek dalam pengajaran.

7. Situasi, dalam perencanaan pengajaran harus didasarkan pada situasi yang ada untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi belajar mempengaruhi keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya, latihan meditasi memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah disebutkan bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik untuk melatih diri (Dhp.99).

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN
« Reply #1 on: 16 January 2009, 11:45:35 PM »
Strategi Pendekatan

Salah satu strategi dalam pengajaran adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA sebagai sitilah yang sama maknanya dengan ‘Student Active Learning (SAL). CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu merubah dirinya secara lebih efektif dan efisien (Ahmad Rohani, 1991: 56).

Menurut Arya Tjahdjadi, dalam Buddha Cakkhu Magha 2534 (1991: 11), Sang Buddha dari kacamata pendidik ternyata menggunakan pendekatan yang sangat ilmiah dalam mengajar Dhamma. Bila para Dharma duta menyadari dan memanfaatkan metode-metode ini maka niscaya pewarisan Buddha Dhamma melalui bangku sekolah akan lebih berhasil guna.

Tidak ada ilmu yang dapat dikembangkan di bumi ini bila hanya berlandaskan pada “percaya saja”. Sang Buddha tidak pernah menginginkan agar siswa-Nya percaya kepada-Nya secara membabi buta, atau tunduk tanpa pengertian. Belaiu selalu menganjurkan untuk mmenguji, membandingkan, menimbang, merenungkan dan menyelidiki secara mendalam dengan logika yang tajam segala sesuatu yang diajarkan beliau, seperti yang diajarkan Sang Buddha kepada suku Kalama.

Jauh sebelum ilmu pengetahuan menggariskan ketentuan dalam meneliti, Sang Buddha telah menerapak metodologi dalam menerangkan Dhamma. Untuk menganalisa serta memecahkan masalah, baik sains maupun ilmu sosial, biasanya digunakan metode “WH Question” (What, Why, When, How). 2500 tahun yang lampau telah mengajarkan tentang Cattari Ariya Saccani dengan metode ini, yaitu: What (Hidup adalah dukkha); Why (Dukkha disebabkan oleh tanha); When (Kebahagiaan timbul bila tanha lenyap); dan How (Cara mengatasi dukkha).

Sistematika pemecahan masalah dibidang ilmiah yang lazim dikenal sebagai “Anlysis of Situation” juga menjadi cara pendekatan Dhamma Sang Buddha. Analisa situasi ala Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah Dukhha,lalu untuk mencapai tujuan (aims) yaitu Nibbana, maka kita harus melakukan aksi (Action) yaitu Magga, kemudian melakukan Penilaian (Assessment) yaitu Ehipassiko, dan Penyesuaian (Adjustment) dilakukan terhadap diri sendiri.

Metode Pengajaran

Dunia pendidikan mengenal banyak ragam metode pengajaran. Namun secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengajaran individual dan metode pengajaran kelompok/klasikal. Macam-macam metode itu antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, latihan siap, problem solving, eksperimen, demonstrasi, karya wisata, kerja kelompok, dan lain-lain (Ahmad Rohani, 1991: 113).

Salah satu cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para siswanya adalah dengan metode ceramah (kotbah). Kotbah ini bahkan menjadi kegiatan utama dalam mempertahankan Buddha sasana, yaitu doktrin yang berupa pengetahuan. Sang Buddha adalah seorang pengkotbah ulung. Cara yang digunakan Sang Buddha tersebut adalah:

    *
      Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
    *
      Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
    *
      Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)

Vidhurdhammabhorn Mahathera dalam Buddha Cakkhu Asadha 2533 (1989: 9) menjelaskan bahwa seseorang yang memberikan ceramah/ kotbah Dhamma hendaknya:

   1.
      Menerangkan Dhamma selangkah demi selangkah dan secara berurutan, tidak menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti.
   2.
      Memberikan alasan-alasan yang sesuai sehingga para pendengarnya menjadi kian mengerti.
   3.
      Memiliki Metta di dalam hatinya serta mengharapkan para pendengarnya memperoleh manfaat dari kotbah Dhamma itu.
   4.
      Tidak mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
   5.
      Tidak mengajarkan Dhamma dengan maksud untuk menyerang orang lain. Dengan kata lain tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.

Metode-metode lain yang dipakai oleh Sang Buddha, misalnya: cerita (Jataka), syair-syair, debat/dialog/diskusi, pertunjukan kekuatan batin dan lain-lain. Semua metode itu dipilih oleh Sang Buddha secara bijaksana sesuai dengan kemampuan orang yang hendak diajar.


PERAN ORANG TUA, GURU DAN MURID

Pendidikan tidak hanya mencakup subyek guru dan murid. Pendidikan berkaitan erat dengan masyarakat dan terutama keluarga (orang tua murid). Masyarakat sebagai pendukung berlangsungnya pendidikan sekaligus sebagai penilai keberhasilan pendidikan. Sedangkan orang tua, selain kedudukannya sebagai ayah dan ibu, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan bagi anak.

Kedudukan Orang Tua dan Guru

Salah satu peran orang tua adalah sebagai guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Sang Buddha menjelaskan dalam Ittivuttaka IV, 106, bahwa ayah dan ibu disebut juga ‘guru-guru awal’, karena ayah dan ibu adalah orang yang banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anaknya dan membesarkan serta mengajar tentang dunia.

Orang tua adalah guru yang pertama. Sedangkan guru-guru di sekolah adalah orang tua kedua. Seorang guru harus memperlakukan muridnya seperti terhadap anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri (Vin.I, 45).

Hubungan Guru dan Murid

Kegiatan pengajaran memerlukan interaksi antara guru dan murid yang bersifat edukatif. Suatu interaksi dikatakan bersifat edukatif bukan semata ditentukan oleh bentuknya melainkan oleh tujuan interaksi itu sendiri. Maka tidak selalu bentuk hubungan bersama antara guru dan murid bersifat edukatif. Dalam setiap bentuk interaksi edukatif akan senantiasa mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur normatif dan unsur teknis. (Ahmad Rohani, 1991: 88-89).

Sang Buddha menjelaskan kedudukan guru harus dipandang sebagai arah Selatan, yaitu:

    *
      Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat),
    *
      Dengan melayani mereka,
    *
      Dengan tekad baik untuk belajar,
    *
      Dengan memberikan persembahan kepada mereka,
    *
      Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.

Seorang guru memperlakukan muridnya dengan berbagai cara, yaitu:

    *
      Mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya,
    *
      Membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan,
    *
      mengajarnya secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian,
    *
      Berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya,
    *
      Memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.

(D.III, 30).


Kualifikasi Guru

Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Adapun kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran meliputi:

1. Kemampuan merencanakan PBM, terdiri dari: kemampuan merumuskan tujuan, memilih metode, merencanakan langkah-langkah pengajaran.

2. Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran, yaitu menyiapkan bahan yang sesuai dengan tujuan, mempersiapkan pengayaan dan bahan remidial.

    *
      Kemampuan merencanakan media dan sumber, yaitu memilih media dan sumber pengajaran yang tepat.
    *
      Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa, yaitu menyusun alat penilaian dan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian.

(Suryosubroto, 1997: 20).

Kriteria guru yang baik diantaranya bila guru itu tidak menyembunyikan ilmunya pada muridnya. Demikian pula Sang Buddha, mengajarkan Dhamma selama 45 tahun tanpa pamrih. Beberapa saat sebelum Parinibbana, Sang Buddha bersabda pada Ananda: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dari-Ku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membedakan ajaran umum dari ajaran rahasia (esoterik). Mengenai Dhamma, Ananda, tak ada satupun yang disembunyikan oleh diri-Ku sebagaimana dilakukan oleh seorang guru yang kikir” (D.II, 16).

Seorang guru tidak hanya pandai mengajar, tetapi ia juga harus melaksanakan apa yang ia ajarkan. ‘Sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri” (Dhp.159).

Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaiman seorang bhikkhu senior, yaitu: Ia menguasai analisis logika; menguasai analisis sebab akibat; menguasai tata bahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.III, 113).

EVALUASI BELAJAR

Aspek lain yang menjadi tugas pendidikan adalah melakukan penilaian (evaluasi). Evaluasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, evaluasi berfungsi sebagai umpan balik terhadap kegiatan yang telah dilakukan, tidak hanya pada hasil belajar siswa, tetapi juga pada proses pengajaran itu sendiri.

Evaluasi dilaksanakan dengan berpatokan pada prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip dalam evaluasi, yaitu: prinsip keterpaduan, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari program pengajaran; prinsip Cara Belajar Siswa Aktif, yaitu siswa sendiri yang mengukur kemampuan melalui evaluasi, guru hanya berfungsi untuk membantunya; prinsip kontinuitas, yaitu berlangsung selama proses kegiatan belajar-mengajar berjalan; dan prinsip koherensi, yaitu konsisten dengan tujuan dari pengajaran yang dilakukan; prinsip diskriminalitas, yaitu bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lain; prinsip keseluruhan/utuh terhadap semua aspek; prinsip paedagogis, yaitu harus bersifat mendidik, evaluasi harus dirasakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebagai hukuman bagi yang gagal; prinsip akuntabilitas, yaitu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri (Ahmad Rohani, 1991: 160).

Buddha memberikan kriteria keberhasilan belajar dan latihan dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: memahami maksud dan tujuan, mampu menjabarkan secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat; memahami intisari dan mampu meringkas, dan meneliti atau menunjukkan penyebab; cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat; kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak (A.II, 160).


Reference:

Ahmad Rohani, 1991, Pengelolaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta.

H. Saddatissa, 1999, Sutta Nipata, Vihara Bodhivamsa, Klaten.

John D. Ireland, 1998, Ittivuttaka, Lembaga Anagarini Indonesia, Bandung.

Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534, 1991, Dhammadipa Arama, Jakarta.

Materi Pelatihan Pandita Penatar/ MBI/2001.

Panjika, 1994, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta.

Tanpa nama, 1997, Dhammapada, Hanuman Sakti, Jakarta.

Teja S.M Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Bodhi, Jakarta.


sumber di SINI
« Last Edit: 16 January 2009, 11:49:38 PM by ryu »
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything