Strategi Pendekatan
Salah satu strategi dalam pengajaran adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA sebagai sitilah yang sama maknanya dengan ‘Student Active Learning (SAL). CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu merubah dirinya secara lebih efektif dan efisien (Ahmad Rohani, 1991: 56).
Menurut Arya Tjahdjadi, dalam Buddha Cakkhu Magha 2534 (1991: 11), Sang Buddha dari kacamata pendidik ternyata menggunakan pendekatan yang sangat ilmiah dalam mengajar Dhamma. Bila para Dharma duta menyadari dan memanfaatkan metode-metode ini maka niscaya pewarisan Buddha Dhamma melalui bangku sekolah akan lebih berhasil guna.
Tidak ada ilmu yang dapat dikembangkan di bumi ini bila hanya berlandaskan pada “percaya saja”. Sang Buddha tidak pernah menginginkan agar siswa-Nya percaya kepada-Nya secara membabi buta, atau tunduk tanpa pengertian. Belaiu selalu menganjurkan untuk mmenguji, membandingkan, menimbang, merenungkan dan menyelidiki secara mendalam dengan logika yang tajam segala sesuatu yang diajarkan beliau, seperti yang diajarkan Sang Buddha kepada suku Kalama.
Jauh sebelum ilmu pengetahuan menggariskan ketentuan dalam meneliti, Sang Buddha telah menerapak metodologi dalam menerangkan Dhamma. Untuk menganalisa serta memecahkan masalah, baik sains maupun ilmu sosial, biasanya digunakan metode “WH Question” (What, Why, When, How). 2500 tahun yang lampau telah mengajarkan tentang Cattari Ariya Saccani dengan metode ini, yaitu: What (Hidup adalah dukkha); Why (Dukkha disebabkan oleh tanha); When (Kebahagiaan timbul bila tanha lenyap); dan How (Cara mengatasi dukkha).
Sistematika pemecahan masalah dibidang ilmiah yang lazim dikenal sebagai “Anlysis of Situation” juga menjadi cara pendekatan Dhamma Sang Buddha. Analisa situasi ala Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah Dukhha,lalu untuk mencapai tujuan (aims) yaitu Nibbana, maka kita harus melakukan aksi (Action) yaitu Magga, kemudian melakukan Penilaian (Assessment) yaitu Ehipassiko, dan Penyesuaian (Adjustment) dilakukan terhadap diri sendiri.
Metode Pengajaran
Dunia pendidikan mengenal banyak ragam metode pengajaran. Namun secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengajaran individual dan metode pengajaran kelompok/klasikal. Macam-macam metode itu antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, latihan siap, problem solving, eksperimen, demonstrasi, karya wisata, kerja kelompok, dan lain-lain (Ahmad Rohani, 1991: 113).
Salah satu cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para siswanya adalah dengan metode ceramah (kotbah). Kotbah ini bahkan menjadi kegiatan utama dalam mempertahankan Buddha sasana, yaitu doktrin yang berupa pengetahuan. Sang Buddha adalah seorang pengkotbah ulung. Cara yang digunakan Sang Buddha tersebut adalah:
*
Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
*
Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
*
Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)
Vidhurdhammabhorn Mahathera dalam Buddha Cakkhu Asadha 2533 (1989: 9) menjelaskan bahwa seseorang yang memberikan ceramah/ kotbah Dhamma hendaknya:
1.
Menerangkan Dhamma selangkah demi selangkah dan secara berurutan, tidak menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti.
2.
Memberikan alasan-alasan yang sesuai sehingga para pendengarnya menjadi kian mengerti.
3.
Memiliki Metta di dalam hatinya serta mengharapkan para pendengarnya memperoleh manfaat dari kotbah Dhamma itu.
4.
Tidak mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
5.
Tidak mengajarkan Dhamma dengan maksud untuk menyerang orang lain. Dengan kata lain tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Metode-metode lain yang dipakai oleh Sang Buddha, misalnya: cerita (Jataka), syair-syair, debat/dialog/diskusi, pertunjukan kekuatan batin dan lain-lain. Semua metode itu dipilih oleh Sang Buddha secara bijaksana sesuai dengan kemampuan orang yang hendak diajar.
PERAN ORANG TUA, GURU DAN MURID
Pendidikan tidak hanya mencakup subyek guru dan murid. Pendidikan berkaitan erat dengan masyarakat dan terutama keluarga (orang tua murid). Masyarakat sebagai pendukung berlangsungnya pendidikan sekaligus sebagai penilai keberhasilan pendidikan. Sedangkan orang tua, selain kedudukannya sebagai ayah dan ibu, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan bagi anak.
Kedudukan Orang Tua dan Guru
Salah satu peran orang tua adalah sebagai guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Sang Buddha menjelaskan dalam Ittivuttaka IV, 106, bahwa ayah dan ibu disebut juga ‘guru-guru awal’, karena ayah dan ibu adalah orang yang banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anaknya dan membesarkan serta mengajar tentang dunia.
Orang tua adalah guru yang pertama. Sedangkan guru-guru di sekolah adalah orang tua kedua. Seorang guru harus memperlakukan muridnya seperti terhadap anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri (Vin.I, 45).
Hubungan Guru dan Murid
Kegiatan pengajaran memerlukan interaksi antara guru dan murid yang bersifat edukatif. Suatu interaksi dikatakan bersifat edukatif bukan semata ditentukan oleh bentuknya melainkan oleh tujuan interaksi itu sendiri. Maka tidak selalu bentuk hubungan bersama antara guru dan murid bersifat edukatif. Dalam setiap bentuk interaksi edukatif akan senantiasa mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur normatif dan unsur teknis. (Ahmad Rohani, 1991: 88-89).
Sang Buddha menjelaskan kedudukan guru harus dipandang sebagai arah Selatan, yaitu:
*
Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat),
*
Dengan melayani mereka,
*
Dengan tekad baik untuk belajar,
*
Dengan memberikan persembahan kepada mereka,
*
Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.
Seorang guru memperlakukan muridnya dengan berbagai cara, yaitu:
*
Mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya,
*
Membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan,
*
mengajarnya secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian,
*
Berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya,
*
Memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.
(D.III, 30).
Kualifikasi Guru
Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Adapun kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran meliputi:
1. Kemampuan merencanakan PBM, terdiri dari: kemampuan merumuskan tujuan, memilih metode, merencanakan langkah-langkah pengajaran.
2. Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran, yaitu menyiapkan bahan yang sesuai dengan tujuan, mempersiapkan pengayaan dan bahan remidial.
*
Kemampuan merencanakan media dan sumber, yaitu memilih media dan sumber pengajaran yang tepat.
*
Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa, yaitu menyusun alat penilaian dan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian.
(Suryosubroto, 1997: 20).
Kriteria guru yang baik diantaranya bila guru itu tidak menyembunyikan ilmunya pada muridnya. Demikian pula Sang Buddha, mengajarkan Dhamma selama 45 tahun tanpa pamrih. Beberapa saat sebelum Parinibbana, Sang Buddha bersabda pada Ananda: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dari-Ku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membedakan ajaran umum dari ajaran rahasia (esoterik). Mengenai Dhamma, Ananda, tak ada satupun yang disembunyikan oleh diri-Ku sebagaimana dilakukan oleh seorang guru yang kikir” (D.II, 16).
Seorang guru tidak hanya pandai mengajar, tetapi ia juga harus melaksanakan apa yang ia ajarkan. ‘Sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri” (Dhp.159).
Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaiman seorang bhikkhu senior, yaitu: Ia menguasai analisis logika; menguasai analisis sebab akibat; menguasai tata bahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.III, 113).
EVALUASI BELAJAR
Aspek lain yang menjadi tugas pendidikan adalah melakukan penilaian (evaluasi). Evaluasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, evaluasi berfungsi sebagai umpan balik terhadap kegiatan yang telah dilakukan, tidak hanya pada hasil belajar siswa, tetapi juga pada proses pengajaran itu sendiri.
Evaluasi dilaksanakan dengan berpatokan pada prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip dalam evaluasi, yaitu: prinsip keterpaduan, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari program pengajaran; prinsip Cara Belajar Siswa Aktif, yaitu siswa sendiri yang mengukur kemampuan melalui evaluasi, guru hanya berfungsi untuk membantunya; prinsip kontinuitas, yaitu berlangsung selama proses kegiatan belajar-mengajar berjalan; dan prinsip koherensi, yaitu konsisten dengan tujuan dari pengajaran yang dilakukan; prinsip diskriminalitas, yaitu bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lain; prinsip keseluruhan/utuh terhadap semua aspek; prinsip paedagogis, yaitu harus bersifat mendidik, evaluasi harus dirasakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebagai hukuman bagi yang gagal; prinsip akuntabilitas, yaitu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri (Ahmad Rohani, 1991: 160).
Buddha memberikan kriteria keberhasilan belajar dan latihan dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: memahami maksud dan tujuan, mampu menjabarkan secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat; memahami intisari dan mampu meringkas, dan meneliti atau menunjukkan penyebab; cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat; kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak (A.II, 160).
Reference:
Ahmad Rohani, 1991, Pengelolaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
H. Saddatissa, 1999, Sutta Nipata, Vihara Bodhivamsa, Klaten.
John D. Ireland, 1998, Ittivuttaka, Lembaga Anagarini Indonesia, Bandung.
Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534, 1991, Dhammadipa Arama, Jakarta.
Materi Pelatihan Pandita Penatar/ MBI/2001.
Panjika, 1994, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta.
Tanpa nama, 1997, Dhammapada, Hanuman Sakti, Jakarta.
Teja S.M Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Bodhi, Jakarta.
sumber di
SINI