sdr.petrus... untuk memberikan semacam jawaban tentang konsep An-ATTA di dalam ajaran buddhis, berikut ini dilampirkan salah satu Jawaban BUDDHA tentang ATTA kepada Uruvella Kassapa...
Jawaban Buddha atas pertanyaan Uruvela Kassapa tentang ATTA !!
--------------------------------------------------------------------------------
Suatu siang, kala Buddha dan Kassapa sedang berdiri di tepi sungai Neranjara, Kassapa berkata, "Gotama, di hari sebelumnya engkau menyebutkan tentang memeditasikan tubuh, perasaan-perasaan, persepsi persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Aku telah melatih meditasi itu, dan mulai dapat memahami betapa berbagai perasaan dan persepsi seseorang menentukan kualitas kehidupannya. Aku juga melihat tidak adanya elemen kekal abadi yang dapat diketemukan di dalam salah satu dari kelima sungai itu. Aku bahkan dapat melihat bahwa keyakinan akan suatu diri yang terpisah keliru adanya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa seseorang menelusuri jalur spiritual jika tanpa adanya diri ? Siapakah yang akan menjadi terbebaskan ?
Buddha bertanya, "Kassapa, apakah engkau setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran ?"
"Ya Gotama, aku setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran".
"Apakah engkau setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"
"Ya, aku setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"
"Kassapa, ketika sebab sebab penderitaan hadir, maka penderitaan juga hadir. Ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, maka penderitaan pun hilang."
"Ya, aku melihat ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, penderitaan itu sendiri akan hilang."
"Penyebab penderitaan adalah kebodohan bathin, suatu cara yang keliru untuk melihat realita. Berpikir bahwa yang tidak kekal sebagai kekal merupakan kebodohan bathin. Berpikir ada diri sementara tak ada yang disebut diri merupakan kebodohan bathin. Dari kebodohan bathin lahirlah keserakahan, ketakutan, iri hati, dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Jalan menuju pembebasan adalah jalan untuk melihat segala sesuatu secara mendalam agar benar benar mampu memahami sifat dasar ketidak kekalan (Anicca), tiada diri yang terpisah (An-atta), akan saling ketergantungan dari segala sesuatu (Pattica Samupada). Jalan ini adalah jalan untuk mengatasi kebodohan bathin. Setelah kebodohan bathin di atasi, penderitaan pun terlampaui. Itulah pembebasan sejati. Tak perlu ada suatu diri di sana untuk dibebaskan."
sdr dilbert, sebenarnya penderitaan seperti apa yang ingin dihilangkan oleh Siddharta pada waktu itu ?
sebagian besar orang India yang menderita pada waktu itu adalah orang-orang miskin yang dilihat dari kacamata seorang keturunan raja. Kemiskinan mereka disebabkan sistem monarkhi absolut dan adanya diskriminasi berdasarkan kasta.
Yang saya herankan mengapa Keinginan (termasuk keinginan baik) yang harus dihilangkan untuk menghilangkan derita ?
Seandainya ajaran ini berhasil diterapkan ke semua manusia, apa yang akan terjadi ?
Dunia pasti kosong tidak berpenduduk karena keinginan sex sudah tidak ada lagi, tidak adalagi keinginan untuk berusaha, belajar, berprestasi dll. (bahkan keinginan menjadi arahat pun seharusnya dilarang )
Belum lagi akibat dari menghilang AKU, identitas diri sudah tidak ada lagi, manusia tidak punya harga diri sebagai manusia.
Padahal kita lihat bahwa penderitaan yang dialami oleh orang India tsb juga dialami oleh bangsa lain dan mereka bisa menghilangkan sebagian besar penderitaan tsb dengan kemajuan berpikir dan ilmu serta pemerintahan yang membuat rakyat bisa hidup lebih baik dan sehat tanpa menghilangkan harga diri sebagai manusia. Malahan sekarang hak-hak pribadi/aku dilindungi oleh undang-undang di hampir semua negara (kecuali komunis).
Bagaimana ?
Siddhattha Gotama saat itu melihat dunia ini penuh dengan penderitaan. Sakit, tua, mati, ratap-tangis, berpisah dari orang yg disayangi, sistem kasta, ego manusia yg menyerempet tatanan sosial, kondisi duniawi serba tidak memuaskan. Saya berani memastikan Sdr. Petrus pernah atau akan mengalami semua hal tadi yg saya sebutkan di kalimat sebelumnya, dan hal itu juga berlaku bagi semua orang.
Di dunia ini, reaksi adalah hal yg tidak bisa dihapus ketika kita membuat aksi. Namun konsepnya berbeda bila kita adalah 'si aksi'. kalau kita berbuat atas dasar keinginan / kehendak (cetana), kita akan menerima akibatnya, baik atau buruk. Akibat ini akan dibawa sampai ke kehidupan mendatang. Semua kekuatan di dunia ini adalah hasil dari pengulangan (repetisi). Mobil Anda dapat berjalan karena ada kinerja mesin yg berulangkali memutar tuas roda, sehingga roda dan ban Anda terus berputar yg menyebabkan mobil Anda dapat berjalan. Ini adalah contoh simpelnya. Semua ilmu eksak, seperti Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia menjurus pada satu aspek yg sama, yaitu "pengulangan adalah sumber energi / tenaga". Kehidupan pun berulang! Dari satu bentuk kehidupan ke kehidupan lainnya. Dan yg menyebabkan semua orang terseret pada kelahiran berulang adalah buah kamma. Kalau kita tidak membuat kamma baru (ingat kamma itu perbuatan yg berkehendak / berkeinginan), kita tinggal menerima buah kamma terdahulu sampai habis, dan tidak ada buah kamma selanjutnya yg menyeret kita ke kehidupan berikutnya.
Ketika menjadi seseorang yg tak terkungkung oleh keinginan, bukan berarti tidak lagi 'berbuat' baik. Justru perbuatan baik adalah fondasi awal untuk merasakan kebahagiaan tulus di duniawi ini, satu proyek dasar untuk menyucikan diri menuju ke pembebasan.
Kalau Anda melihat dunia ini yg sebenarnya mengidap penyakit kronis berupa fatamorgana dan ilusi kebahagiaan, Anda pasti setuju bahwa kebahgiaan sejati bukanlah di dunia fana. Ingat, agama Anda juga memberikan dogma bahwa alangkah lebih baik tidak ada manusia di dunia ini, dan nantinya Tuhan akan menjemput semua orang ke akhirat. Artinya? Pandangan Agama Anda juga setuju bahwa dunia ini hanya fatamorgana. Tapi di Agama Anda, dianjurkan untuk menikmati duniawi terlbih dahulu dan 'nanti' baru menikmati kebahagiaan sejati (Surga). Buddhisme itu adalah ajaran yg bisa langsung dibuktikan saat ini, tidak perlu menunggu 'nanti' sampai kita mati. Memangnya ada jaminan setelah mati kita akan menerima keadaan seperti yg sudah dijelaskan di Kitab Suci yg berada di dunia fana? Buddhisme mengundang orang bijak untuk menyelami kebenaran sesuai apa yg diperbuat.
Namun ada masalah kongkrit yang masih belum banyak orang pahami. Sang Buddha membabarkan Dhamma dengan tujuan untuk menlong semua makhluk. Namun tidak semua orang memiliki kematangan spiritual yg sama, oleh karena itu ada yg menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-Bhikkhuni, ada pula yg menjadi Upasaka-Upasaki (umat awam). Sistem kesinambungan adalah yg berlaku di dunia ini. Artinya umat awam menyokong Bhikkhu, dan sekiranya umat awam itu kelak menjadi Bhikkhu, selanjutnya umat awam yg lain menyokongnya.
Identitas diri tidak pernah hilang wahai Saudaraku Petrus yg baik...
Yg dianjurkan Sang Buddha adalah menghilangkan pandangan keliru akan adanya AKU (AKU yang akan hidup abadi di akhirat setelah mati di duniawi, atau AKU yang akan musnah setelah mati di duniawi). Semua solusi orang lain untuk mengakhiri penderitaan adalah OBAT BIUS. Tentunya Anda pernah menghadapi problema yg cukup berat bukan? Lalu apakah Anda pernah melupakannya sejenak dan malah pergi ke tempat rekreasi atau
having fun? Sekilas nampaknya Anda bahagia, tidak terikat oleh masalah lagi. Namun alam bawah sadar Anda sangat menderita. Siddhattha Gotama bahkan sangat sedih sampai tidak bersemangat hidup ketika menyadari bahwa semua orang yg disayanginya akan menderita penyakit, penuaan (terlihat buruk rupa), dan kematian. Coba tanyakan pada diri Anda. Anda sudah tahu bahwa semua orang (orang yg Anda cintai) akan sakit, tua dan mati. Namun Anda tidak peduli bukan? Dan ketika Anda berpisah dengan orang yg Anda cintai, Anda malah menangis. Kenapa Anda tidak menangis sejak awal ketika Anda sadar bahwa hal itu pasti akan terjadi? KENAPAAAA....??
Sekali lagi, menghilangkan konsep keakuan bukan tidak mengakui HAM. Buktinya sistem kasta di Tanah India dihapus oleh Sang Buddha lewat jalan demokrasi cinta-kasih. Konflik antar negara diselesaikan tanpa setetes darah pun. Anda bisa membacanya di referensi buku2 sejarah! Mana ada orang lain yg bisa sedemikian hebatnya seperti Sang Buddha. Ini berarti Sang Buddha mengakui hak manusia (bahkan semua makhluk). Makanya juga Sang Buddha tidak pernah memaksa orang lain untuk memeluk pandangan-Nya. Coba tanya pada diri Anda, siapa yg datang ke hati orang lain lalu mengetuk pintu hati mereka untuk 'diberikan' pandangan yg berisi Kabar Baik? Siapa yg sekiranya kurang mengakui hak untuk menjalani hidup orang?
Apakah Anda menghargai hak diri Anda sebagai orang yg pantas untuk tercerahkan dari postingan kali ini?