//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka  (Read 22714 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« on: 15 October 2008, 12:21:13 PM »
Bhavaviveka : Tentang Makan Daging

Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran dalam Mahayana pernah menulis dalam karyanya Madhyamaka-hrdaya-karika tentang makan daging sebagai berikut:

Na mansa bhaksanam bhoktum bhujyate papa karanat
Ksut pratikara hetutvad yad rcchagata bhaktavat


133. “Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.”

Asucitvad abahksyam cen mansam kayo pi cintyatam
Bija sthanad upastambhad asuci vitkrimir yatha


134. “Larangan memakan daging dengan alasan ketidaksucian itu tidak dapat diterapkan. Tubuh kita sendiri dilahirkan dengan tidak suci dan terus menerus tidak suci, tidak peduli apakah seseorang makan daging ataupun tidak. Tubuh manusia ini tidak suci, seperti cacing di tumpukan kotoran.”

Sukradi sambhavad eva matsya mansam vigarhitam
Tam ghrta ksiradir hetoh syad evam vyabhicarita


135. "Larangan memakan ikan dengan alasan bahwa ikan adalah gabungan dari sperma dan darah tidak dapat diterapkan. Ketika ikan dilarang untuk dimakan, kenapa ghee dan susu, yang merupakan produk dari penyatuan sperma dan darah, tidak dilarang?”

Mansadah prani ghati cet tan nimittatvato matah
Ajinadi dharair hetoh syad evam vyabhicarita


136. “Larangan memakan daging dengan alasan mengambil kehidupan hewan tidak dapat diterapkan. Jika seoarng petapa tidak memakai bulu dan kulit binatang, seekor rusa Sarabha akan selamat. Hidup seekor hewan yang diambil, tidak hanya dengan tujuan memakan dagingnya.”

Na mansa bhaksanam dustam tadanim prany aduhkhanat
Mukta barhi kalapadi tandulambupayogavat


137. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa ketakutan dan penderitaan makhluk tidak dapat diterapkan. Ketika dimakan, hewan tersebut telah dipukul sampai mati. Tindakan memakan daging bukanlah sebuah tindakan yang negatif seperti halnya tindakan memakan beras dan meminum air bukan tindakan yang negatif. Hewan tersebut tidak tersiksa oleh tindakan memakan daging mereka, sama seperti merak yang tidak menderita apabila bulunya diambil. Sama seperti gajah yang tidak meninggal karena gadingnya dicabut. Sama seperti ibu kerang yang tidak menderita dan mati oleh karena mutiaranya diambil. Jika hal memakan daging [yang telah mati] adalah berdosa, mengapa kremasi tubuh yang telah mati tidak berdosa [membuat karma buruk]?"

Samkalpa jatvad ragasya na hetur [mansa bhaksanam]
[tad]vinapi tad utpatter gavam iva trnasinam


138. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan nafsu seksual tidak dapat diterapkan. Meskipun merupakan seekor hewan pemakan tumbuhan (herbivora), seekor lembu atau kuda di sini diketahui memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu.”

Bhavaviveka, selaku pakar Mahayana mengizinkan makan daging dan menganjurkan Tri-koti-suddha-mamsa bagi para Buddhis yaitu untuk tidak memakan daging di mana kita melihat, mendengar dan mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan oleh kita.

Bhavaviveka ditahbiskan sendiri oleh YA Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika. Menurut tradisi Vajrayana, Bhavaviveka merupakan salah satu dari 17 Maha Pandita.

Bhavaviveka juga mengetahui keberadaan Hastikaksya Sutra, Mahamegha sutra, Lankavatara Sutra dan Angulimaliya sutra, yang merupakan sutra-sutra Mahayana yang berisi anjuran vegetarian. Hal ini dapat diketahui lewat Tarkajvala yang ditulis Bhavaviveka.

Hal ini sekaligus membenarkan isi artikel yang ditulis oleh surya Wijaya dan diposting oleh bro. Hikoza:
"Dalam teks nya yang berjudul Esensi dari Jalan Tengah (Madhyamaka-hrdayakarika), Bhaviveka --seorang Guru Besar Mahayana dari India-- mengajukan permasalahan apakah vegetarian itu penting dalam cara hidup seorang Buddhis. Beliau mengemukakan alasan bahwa karena pada saat memakan daging, binatang tersebut telah mati, tindakan memakan daging tersebut tidak menyebabkan rasa sakit secara langsung terhadap binatang tersebut. Yang secara khusus dilarang adalah memakan daging dari binatang yang anda perintahkan untuk dibunuh, atau anda curiga, mendengar, atau melihat bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk anda. Daging tersebut tidak seharusnya kita makan. (Syarat ini jelas sama dengan yang tercantum dalam ajaran Theravada)"

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 October 2008, 03:34:10 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #1 on: 15 October 2008, 02:33:32 PM »
[at] atas

wout???

ga salah tuh?

sadis jg ya, bukan nya sangat budha berpesan agar menghargai segala bentuk kehidupan, walau sekecil apapun.

ga bisa diterima,
objection ur honour,
objection....

navis tunjuk tangan

;D

bisa2 tar gw jg dimakan lg....
« Last Edit: 15 October 2008, 02:40:47 PM by naviscope »
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #2 on: 15 October 2008, 03:17:48 PM »
[at] atas

wout???

ga salah tuh?

sadis jg ya, bukan nya sangat budha berpesan agar menghargai segala bentuk kehidupan, walau sekecil apapun.

ga bisa diterima,
objection ur honour,
objection....

navis tunjuk tangan

;D

bisa2 tar gw jg dimakan lg....

Wah........ tapi yang dimaksud Bhavaviveka sebagai daging yang pantas dimakan adalah apabila kita: tidak melihat, tidak mendengar dan tidak mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan dagingnya oleh kita.

Yap, benar sekali Sang Buddha mengajarkan pada kita untuk menghargai setiap bentuk kehidupan. Demikian juga dengan YA Bhavaviveka (Bhavya).

Dan Sang Buddha sendirilah yang juga mengajarkan pada kita tiga syarat daging yang pantas dimakan.

Bahkan Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) juga pernah berkata:
"Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan."
(Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)

Jadi kaum Mahayana tidak menolak tiga syarat daging yang diajukan kaum Theravada.

Ada 2 option ketika seseorang berpraktek Bodhisattva dalam Mahayana:
1. Tidak makan daging (vegetarian)
2. Makan daging sesuai tiga syarat yang ditetapkan Sang Buddha (boleh beli daging hewan mati di pasar)

Nah misal kalau di Tibet udara sangat dingin dan susah ditanami sayur mayur, sehingga para Lama di sana memang benar-benar butuh makan daging, maka dalam hal ini diizinkan seseorang mengonsumsi daging, seperti apa yang dikatakan oleh Bhavaviveka:

“Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.”

Tidak heran kalau para Lama di Tibet tidak vegetarian. Walaupun mereka makan daging, tapi ini dengan tujuan untuk melangsungkan hidup. Mereka tidak melanggar Sila Bodhisattva.

_/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 October 2008, 03:29:03 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #3 on: 15 October 2008, 07:43:53 PM »
terima kasih....mulai kini saya tidak takut lagi untuk makan daging, hore deh, besok2 boleh mulai menikmati sate ayam, bebek beijing, pizza hut, kentucky fried chickeen, hehehe
mubazirrr banget bila kita vegetarian dan tidak mau menikmati daging mereka... terima kasih deh...
CMIIW.FMIIW.

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #4 on: 15 October 2008, 07:46:39 PM »
gw belajar vegetarian gara-gara aliran maitreya tuh...
buat gw jadi gak dapat menikmati daging mereka selama ini...
CMIIW.FMIIW.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #5 on: 15 October 2008, 09:14:30 PM »
terima kasih....mulai kini saya tidak takut lagi untuk makan daging, hore deh, besok2 boleh mulai menikmati sate ayam, bebek beijing, pizza hut, kentucky fried chickeen, hehehe
mubazirrr banget bila kita vegetarian dan tidak mau menikmati daging mereka... terima kasih deh...

Hehe.... walaupun makan daging [dengan tiga syarat] dalam Mahayana diizinkan, tetapi vegetarian sangat sangat dianjurkan dalam Mahayana.

Jadi tidak ada salahnya vegetarian. Kalau boleh dibilang malah baik! Kalau motivasi makan daging hanya kerena ingin menikmati daging tersebut, maka YA Bhavaviveka pun saya yakin tidak akan setuju dengan anda.

Jelas Bhavaviveka mengatakan:
"Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.”

Jadi di sini Bhavaviveka mengatakan bahwa kita boleh mengonsumsi daging atas dasar alasan kesehatan, bukan kenikmatan daging.

Maksud dari "pemulih kelaparan" di sini bukan sekedar lapar terus makan daging, tetapi ini merujuk pada kondisi di mana terjadi bencana kelaparan, maka daging diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka yang tertimpa bencana kelaparan tersebut.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #6 on: 15 October 2008, 09:35:14 PM »
Ada teks lengkapnya nggak? Saya boleh minta?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #7 on: 15 October 2008, 09:37:39 PM »
Sebenarnya dalam Theravada yang vinaya-nya lebih kaku perdebatan tentang apakah Buddhis boleh makan daging atau tidak juga terjadi. Berikut ini artikel yang membahas tentang diijinkannya Buddhis untuk makan daging. Bahkan di dalamnya dikutip kata-kata Sang buddha sendiri:

Buddhism & Vegetarianism, Sayadaw U Nandamala
Penyadur: Yulianti, B.Dh. (Diploma), Penyunting: Handaka Vijjananda

Ajaran Buddha sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.

Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:
1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.

Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."

Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:
1. Dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh;
2. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa;
3. Perintah untuk membunuh binatang itu;
4. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh;
5. Ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:
1. Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
2. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
3. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
4. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, *******, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
5. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.

Yangon, Januari 2003
 
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #8 on: 15 October 2008, 09:42:37 PM »
Ya, thanks
sejak masuk Islam, sy memang  sudah mulai memakan ikan2an, hanya masih takut makan daging ayam, bebek, sapi, dsb. Walau itu halal dalam Islam, tapi masi teringat sisa2 ajaran aliran maitreya, seperti gak tega makan paha ayam, jadi terbayang ajaran mld.
Dngan membaca artikel ini membuat gw jadi gak ragu lg memakan daging mereka, Thanks.

Alhamdulillah.
CMIIW.FMIIW.

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #9 on: 15 October 2008, 11:31:21 PM »
 [at] atas: tp jangan sampai timbul, apa yah semacam keinginan buruk untuk memakan daging.
mis: haha.. waktunya balas dendam.. atas ajaran dulu.. now sekarang ai makan daging.. nyam..nyam...
Btw, bukankah vegetarian pertama kali digulirkan oleh devadata?
jadi yg vege pengikut devadata yak?
Samma Vayama

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #10 on: 16 October 2008, 03:19:53 PM »
JHONSON itu orang Maitreya ya?? Keliatannya begitu :))  Kalau mau vegetarian terus nggak pa-pa koq. Nggak perlu nyidir. Buddha tidak melarang seseorang memakan daging ataupun menjadi vegetarian koq. Tapi jadi vegetarian itu jelas-jelas bukan keharusan. Paham yang mengharuskan vegetarian ketat dimulai oleh Jaina Mahavira yang terkenal dengan ajaran Ahimsa

Tumbuhan juga adalah makhluk hidup, menjadi vegetarian tidak membuat seseorang bebas dari karma membunuh makhluk hidup lainnya. Banyak orang  vegetarian kemudian merasa tumbuhan bukan makhluk hidup, kemudian seenaknya merusak tumbuhan... Oleh karena itu, apapun yang dimakan yang penting sseorang tidak melekat denganny rasanya




Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline only4u

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 8
  • Reputasi: 2
Makan Daging
« Reply #11 on: 17 October 2008, 12:15:28 PM »
Dearest all,

Menurut saya tentang makan daging sebagai umat Buddha. Saya bingung dan marah mendengar ajaran2 para bikkhu yang boleh makan daging hanya karena kita lapar bukan utk nutrisi, atau sakit dll. Dan juga cerita2 dulu dari kitab2 dulu yang di-interpretasikan orang2 jaman sekarang seperti kita2 ini. Beda kepala beda pandangan.

Saya mau meng-share pandangan saya sebagai orang yang tidak makan daging (skr sedang mencoba tidak makan/minum hasil peternakan)

Pendapat saya untuk tidak makan daging (mau dari hasil apa pun atau karena apa pun):



*) Semua pendapat memperbolehkan makan daging adalah karena nafsu badan mereka lagi (self-indulgence).

Permasalahan: Karena rasa lapar atau untuk kembali sehat, kita berpikir bahwa kita boleh makan untuk hidup (survive) -> akar dari ini adalah nafsu lapar. Sehingga kita seolah2 "memaafkan" diri sendiri untuk makan. Jelas ini rantai sebab akibat secara tidak langsung yang membuat orang membunuh mahluk hidup.

Kalo kita tidak punya rasa kasih (compassionate) tentu kita akan bisa menerima. Lama2 generasi ke generasi akan menghilang (alias menjadi kebal atau dg kata lain sedikit rasa kasih tersebut) dan generasi muda (cucu/cicit) akan kembali tidak mengikuti ajaran Sang Buddha (maksudnya membuat mahluk hidup terbunuh karena tidak ada rasa kasihan terhadap penderitaan sesama mahluk hidup). Ini bahaya untuk dirinya karena terjerat rantai karma.

Jadi kesungguhan hati (niat baik) anda sekalian yang tidak mau makan daging dan terus mengasah rasa compassionate ini, dan mencoba dirinya menghindari sekecil mungkin dari rantai karma ini:
1. dengan makan2 makanan organik.
2. atau jalan dengan hati2 supaya tidak menginjak binatang2 kecil
3. atau juga tidak membunuh nyamuk walaupun dia telah menghisap darah

dan lain2nya, niscaya, binatang kecil itu lambat laun tidak akan menggigit anda (anda pikir tidak masuk akal bukan), ini niat anda dari sekarang sampai akhir hayat anda tetap percaya, maka saya percaya, di saat "pengadilan diatas" itu akan meringankan dosa/karma anda.

Satu kunci adalah NIAT dan YAKIN bahwa rasa kasih (compassionate) ini merupakan tabungan anda nanti di akhir hayat, saya yakin alam (nature) akan berpihak kepada anda. Jadi jangan sampai hilang, dan juga di-ingat rasa COMPASSIONATE ada di dalam diri anda (diciptakan oleh anda) bukan untuk anda percaya bahwa anda akan mendapatkan hasil nyata dalam hidup atau keuntungan anda semata secara lgs atau tidak langsung, bila ya, niat anda belum tulus/bersih (karena anda mengharapkan sesuatu di dunia ini), mengakibatkan tabungan itu "bocor".

Sekarang ada permasalahan lain dalam hidup di dunia ini:
*) ada teman dulu bilang ke saya: makan daging aja, karena elo makan nasi juga membunuh cacing2 (walaupun organik apalagi yg ngga)
--> Dulu saya pikir ada makanan organik (atau jangan berpikir bahwa itu hasil dari pembunuhan mahluk hidup --> INI ADALAH IGNORANT!! saya ternyata SALAH BESAR!!), tapi saya liat tanamnya juga masih olah2 tanah yg mungkin cacing akan tidak sengaja mati terbunuh atau cacat dll. Saya hanya pasrah kepada Sang Budha dan terus NIAT dan mengurangi hal2 yang mengakibatkan sengsaranya mahluk lain dalam tindakan (jalan, ngomong - saya sedang belajar juga, bersih2 rumah, dll).

Karena Sang Budha tahu, bagaimana hidup di dunia sebagai manusia. Yang Sang Budha nilai hanya NIAT baik anda untuk tujuan akhir hayat anda bukan duniawi.

Jadi NIAT yg baik, adalah jangan membohongi diri anda akan apa yang anda telah lakukan (makan/minum/berjalan/bersih2/dll). Dan jangan tidak perduli, utk mengetahui apa yang anda tidak sengaja lakukan. Ini alasan mengapa ignorant di agama Buddha tidak diperbolehkan.

*) ada temen kasih comment: pohon juga mahluk hidup, pohon juga tumbuh ada jiwanya juga.
--> saya mau mencoba blg berbeda, karena struktur tubuh manusia dan hewan sama, hewan bisa nangis/takut akan mati, begitu juga manusia. Tapi menurut logika dan film2 barat dan artikel yg saya baca, ttg tumbuh2an yang diajak ngomong, dan bisa jalan. Saya tidak bisa ngomong apa2 lagi. Itu terserah dia, lah karma2 dia (saya tidak perlu mengajak2 orang utk mengikuti vegetarian, tapi disisi lain, ketidak-perdulian adalah salah dalam agama Budha dan saya agak mengerti akan hal ini, sulit dalam mempraktekkan ini karena kita hidup diantara orang2 berlainan culture, pandangan dll)

Ada juga yang saya mau sampaikan, hal2 yang saya tidak bisa jawab dengan logika/masuk akal, tapi saya serahkan kepada Sang Budha. Saya percaya Sang Budha yang akan memberikan saya pencerahan lebih dalam lagi.


Terima Kasih.
Namo Amitabha.
Semoga semua mahluk berbahagia sekarang dan selama2nya.


NB.
1. Mohon maaf bila ada kata2 yang tidak berkenan di hati para pembaca karena ini saya seorang manusia juga yg masih banyak kekurangan dalam melihat suatu hal secara keseluruhan.

2. Bila ada kalimat2 yang tidak masuk akal atau tidak jelas atau lainnya silakan kritik atau saran/ide.

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #12 on: 17 October 2008, 01:22:52 PM »
permasalahannya adalah apakah Buddha sendiri yang ngomong ke kamu mengenai makan daging boleh atau tidak? kenapa harus berada dalam jalan pro dan kontra...menggunakan kata Buddha sendiri sebagai tameng dalam berkata-kata adalah hal paling ga logis karena bukan berasal dari penyelaman pribadi.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #13 on: 17 October 2008, 04:38:58 PM »
Tumbuhan adalah benda mati.
CMIIW.FMIIW.

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« Reply #14 on: 17 October 2008, 04:48:41 PM »
anda juga adalah benda mati.hanya anda dilengkapi pikiran untuk bergerak.kalo tidak,anda tidak hanya lebih dari seonggok daging yang berjalan.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.