Sambungan dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah
Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa
tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan
tekadnya mendapat restu dari orang tuanya dan saudara.
Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin
dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante
Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, "Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi
seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma.”
Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang
Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di
Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:S. Jinasuryabhumi (U.P.
Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu :
Aggajinamitto). S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari
1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20
Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.S. Dhammasushiyo (Sunardi), lahir
Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo. S. Djumadi, lahir Jumat 19
Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.
Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang
mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa
sekarang Sangha Raja. 2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \
Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta). 3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma
Sobhana) 4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia) 6.Upa. Saksi (Ven.
Subhato/Indonesia)
Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan
berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya
upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore. Belajar ke
Wat Bovoranives Vihara Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris
(hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu
Jinadhammo) kemudian berangkat ke “Negara Gajah Putih” Muanthai.
Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan
guru-guru beliau.
Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih
meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar
di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang
terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari
kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang
dipimpin oleh Ajahn Buah, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wan Ban Tad
(Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini
merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat
Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad.
Ajahn Buah adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan
abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Buah melakukan gerakan
“Rakyat Menyelematkan Negara”. Beliau berkampanye mengumpulkan
sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai
berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Buah. Sudah milyaran dolar Amerika
(dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn buah kepada
pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air
hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu,
Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)
Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan
para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima
dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima
nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah
“daging kodok rebus” atau “ulat kelapa” (orang Jawa
bilang : Gendon)
Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat
termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu
hanya menerima makanan dari daging apabila :
1.Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2.Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3.Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk
dirinya.
Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin
dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante
Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.
Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha
dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil
“Om Yan” oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng
Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal
di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun
mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin.
Bhante Jin belum tidur waktu itu. “Ada apa Om Yan ? Tengah malam kok
ngintip-ngintip ?” tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa
terbahak-bahak.
“Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di
gubuk.”
Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di
sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah
kamar “aneh” untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak
batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin
menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.
Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. “Apakah Bhante merasa
tenang tinggal di vihara ini ?” tanya Om Yan. “Tenang. Tenang
sekali.” Jawab Bhante Jin. “Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya
Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. “Oh ... bisa... bisa.” Jawab
Bhante Jin. “Kenapa rupanya ?” tanya Bhante Jin kembali. “Ah,
tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum
mencurigakan.
Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa.
Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar
senyap.
Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang
rada-rada “aneh”. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau
jika diajak tidur di kamar berlantai “aneh” tempat Bhante Jin.
“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan
bertanya tentang kesehatan Bhante. “Apa Bhante sehat-sehat saja ?”
tanya Om Yan sambil tersenyum. “Sehat !” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ?” tanya Om
Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar
itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ?”
“Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai.
Bhante tahu batu apa itu ?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat
?” “Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya
lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan. “Oh !
Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ?”
“Ha... ha ... ha... Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak
diberitahu.” Jawab Om Yan gembira.
Bertugas di Sumatera Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian
menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera
Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.
Beliau memperdalam ilmunya bukan
hanya di dalam negeri tetapi Beliau juga melangkahkan kakinya ke Negara Thailan
selama 3 vassa. Dan pada kesempatan yang baik itu pula Beliau tidak pernah
menyia-nyiakan waktunya, selain belajar Beliau juga mengunjungi desa-desa untuk
mengetahui dan mempelajari secara langsung kehidupan apra Bhikkhu di Negeri
Buddhis tersebut. Beliau telah menjalani 30 vassa hingga kini, 3 vassa
di luar negeri dan 27 vassa di dalam negeri hingga sekarang Beliau banyak
melakukan kegiatannya terutama untuk umat Buddha di Indonesia khususnya di
Sumatera Utara. Dalam hal ini banyak sudah penghargaan yang Beliau miliki bahkan
sebagian besar jasanya tidak dapat ternilai. Beliau merupakan Sangha tertua
dalam menjalani vassa saat ini di Sumatera Utara, dan Beliau dikenal ramah,
sederhana dan kadang-kadang dapat dikatakan aneh/antik sebab sebagian besar
pengarahannya dilakukan melalui banyak perumpamaan yang kadang-kadang tidak
dimengerti oleh orang yang diarahkan, sehingga orang tersebut harus benar-benar
merenungkan dan menilai sendiri apa yang diucapkan Beliau.