//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tokoh-Tokoh Buddhis  (Read 51218 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #15 on: 02 October 2008, 05:26:32 PM »

12. Bhikkhu Bodhi

Bhikkhu Bodhi adalah seorang bhikkhu yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau dilahirkan dengan nama Jeffrey Block di New York City pada tahun 1944. Ia menerima gelar ahli filsafatnya (baca: Doktor ilmu filsafat) dari sekolah Claremont Graduate pada tahun 1972 dan pada tahun yang sama ia bergabung di Buddhist Order-Srilangka sebagai samanera, yang pada tahun 1973. Beliau diupasampada menjadi seorang bhikkhu di bawah bimbingan Bhikkhu Balangoda Ananda Maitreya Mahanayaka Thera.


Pada tahun 1977, Bhikkhu Bodhi kembali ke Amerika Serikat dan melewati waktu hampir dua tahun di Biara Geshe Wangyal dan tiga tahun di Washington Buddhist Vihâra. Ia kembali ke Srilanka pada tahun 1982 dan pada tahun 1984, setelah masa periode pelatihan meditasi di Mitirigala Nissarana Vanaya, ia menerima jabatan redaktur di Buddhist Publication Society (n.b: lembaga penerbitan buku-buku Buddhist International). Ia telah menterjemahkan banyak kitab Tipitaka ke dalam bahasa Inggris, diantaranya adalah The Connected Discourses of the Buddha-Samyutta Nikâya. Kemudian mengedit dan meninjau kembali terjemahan Bhikkhu Ñânamoli akan kitab Majjhima Nikâya.Kedua buku ini dipublikasikan oleh Wisdom


Bhikkhu Bodhi adalah juga seorang penulis dari beberapa karya penting mengenai Ajaran Sang Buddha (Theravâda) dan juga selama beberapa waktu (hingga tahun kemarin) memegang tanggung jawab sebagai ketua/presiden, peninjau, pengamat (editor) dari Buddhist Publication Society (BPS), yang berlokasi di 54, Sañgharaja Mawatha, P.O. Box 61 Kandy-Srilanka di mana pada tempat ini telah banyak sekali menerbitkan baik berupa buklet ataupun buku-buku mengenai Buddhisme dengan berbagai topik dari berbagai pengarang yang telah memiliki pengalaman dan pendidikan murni dari Dhamma, sebuah ajaran yang murni, yang dilaksanakan dan dipelajari sejak 2546 tahun yang lalu hingga sekarang, yang diturunkan melalui para Thera hingga sekarang. BPS juga telah mempublikasikan buku-buku maupun buklet yang berisi Buddha Dhamma dengan bebas biaya, dan juga menerima sumbangan dari para umat/donatur yang ingin menyebarkan Buddha Dhamma, diantaranya termasuk juga karya-karya tulis Bhikkhu Bodhi, sebagai berikut:

A Comprehensive Manual of Abhidhamma,
Dâna; The Practice of Giving ( buku ini telah di terjemahkan di Indonesia oleh Wisma Sambodhi-Klaten),
The Discourse On the All-Embracing Net of Views; The Brahmajala Sutta and Its Commentaries,
The Discourse On Root of Existence; The Mulapariyaya Sutta and Its Commentaries,
The Great Discourse on Causation; The Mahânidana Sutta and Its Commentaries,
Mâha Kaccana; Master of Doctrinal Exposition,
The Noble Eightfold Path, Nourishing the Roots, dan karya-karya lainnya.
Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #16 on: 02 October 2008, 05:29:39 PM »

13. Bhikkhu Ñânatiloka

Bhikkhu Ñânatiloka lahir pada tanggal 19 Februari 1878 di kota Wiesbaden, Jerman. Beliau diberi nama Anton Walter Florus Gueth oleh orangtuanya. Tempat kelahiran Beliau adalah sebuah kota yang terkenal di Jerman Barat. Ayah beliau seorang profesor dan saat itu menjabat sebagai kepala sekolah di College anak-anak kota (Realgymnasium). Orangtua Anton adalah umat ka****k Roma, tetapi bukanlah umat yang menjalankan ibadah ketat. Kecintaan ayahnya terhadap kesunyian dan ketenangan alam sekitar yang terpelihara mempengaruhi jiwa Gueth muda untuk hidup menyepi di dalam biara.

Pada tahun 1897, kemantapan hati Gueth membuatnya meninggalkan rumah secara diam-diam, berjalan di atas tumpukan salju sepanjang perjalanan menuju Biara Benedictine yang terkenal. Tetapi kekakuan peraturan bukanlah kesukaannya dan segera ia pulang kembali ke rumah. Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1896, Gueth muda mempelajari pelajaran bidang musik dengan perhatian yang besar, pertama dengan uang kuliah sendiri dan tahun 1898 di School of Music (Konservatorium; Sekolah musik; Red.) di Frankfort, kemudian dari tahun 1900 - 1902, ia belajar komposisi di Paris, di bawah maestro terkenal, Charles Marie Widor.

Ketika berada di Frankfort, untuk pertama kalinya ia menghadiri perbincangan mengenai agama Buddha di Theosophical Society setempat. Ceramahnya itu meningkatkan minat antusiasnya di dalam Buddha Dhamma yang telah ada sebelumnya dengan mempelajari karya-karya filosofi Schopenhauer yang belakangan ini telah menjadi pendukung di dalam membukakan pintu menuju Buddha - Dhamma bagi para pembaca Jerman.

Ternyata profesornya, di sekolah musik, juga tertarik dengan agama Buddha dan mempersembahkan Gueth sebuah kopian dari naskah "Buddhist Catechism" (kitab pelajaran keagamaan singkat dalam bentuk tanya-jawab; red) di dalam bahasa Jerman karya Bhikkhu Subhadra, merupakan buku pertama yang Gueth Muda baca mengenai agama Buddha. Si Profesor juga merekomendasikan karya-karya profesional lainnya, dan dengan setengah bercanda ia berkata pada Gueth, "Tapi jangan jadi gila dan menjadi bhikkhu."

Keinginannya menjadi semakin kuat dalam batinnya. Setelah dua tahun di Paris, ia memutuskan pergi ke India, dan percaya kalau India masih merupakan sebuah negara Buddhis. Ia salah menduga bahwa perjalanan ke India akan memakan biaya yang sangat mahal, oleh karena itu satu-satunya jalan yang terbuka buatnya adalah tiba di India dalam pentas-pentas panggung. Jadi pada bulan Mei 1902, ia pertama kali menerima kontrak sebagai pemain biola di Saloniki, yang kemudian tiba di Bombay pada tahun 1903.

Di India ia diberitahu bahwa untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu ia harus pergi ke Srilangka, dan iapun segera ke sana pada bulan Juli 1903. Di kota Kandy ia mengunjungi vihâra yang terkenal yaitu Vihâra Malvatte di mana ahli pustakawannya, Y.M. Silananda Thera, menyatakan kesediaannya untuk mentahbiskannya. Tetapi ia mendengar bahwa seorang bhikkhu dari Skotlandia, Bhikkhu Ananda Maitreya, tinggal di Myanmar dan ia waktu itu berpikir bahwa melalui perantara bahasa Inggris beliau, pelajaran-pelajaran Dhamma akan menjadi lebih mudah untuk dipelajari dan dimengerti daripada di Srilangka.

Beliau mendapatkan alamat Bhikkhu Ananda Maitreya dari proktor (pengawas mahasiswa; red) Richard Perera, ayah dari Dr. Cassius A. Perera (yang belakangan menjadi bhikkhu juga, dengan nama Kassapa), kemudian berangkat menuju Myanmar. Saat tiba di Rangoon, beliau tinggal di rumah keluarga Hla Oung selama dua minggu pertama, yang mendukungnya dengan tulus. Ny. Hla Oung adalah seorang wanita Buddhis terkemuka di Myanmar dan istri dari bendaharawan India, Tuan Hla Oung.

Pada bulan September 1903, beliau mengikuti pabbajja yang dibimbing oleh U Asabha Thera di vihâra dekat Pagoda Ngada Khi, dan selama satu bulan beliau tinggal bersama dengan Bhikkhu Ananda Maitreya di satu kuti. Beliau lalu pindah ke tempat yang lebih tenang dan tidak ramai, Vihâra Kyundaw Kyamng, tidak jauh dari Pagoda Shwe Dagon.

Di sana beliau diupasampada pada bulan Februari 1904, dengan nama Ñânatiloka. Segera beliau mulai belajar bahasa Pâli. Setelah enam bulan, beliau mampu berbincang dengan bhikkhu-bhikkhu lainnya dengan bahasa Pâli dan juga telah belajar sebuah karya pengetahuan dalam bahasa Myanmar percakapan sehari-hari.

Menjelang akhir tahun 1904, beliau dan Bhikkhu Kosambi Dhammananda dari India, pergi ke daerah perbukitan Myanmar, ke gua meditasi Sagaing yang terkenal, untuk berlatih Samatha Bhâvanâ dan Vipassanâ Bhâvanâ, di bawah bimbingan seorang bhikkhu yang dianggap telah mencapai Arahat.

Bhikkhu Ñânatiloka kembali ke Srilangka (1905), di mana beliau melanjutkan kesungguhan hatinya belajar bahasa Pâli dan naskah-naskah resmi religius. Waktu itu beliau mulai menerjemahkan Añguttara Nikâya dalam bahasa Jerman, dan akhirnya diterbitkan di Jerman (1907). Ketika berada di Srilangka (1906), beliau bertemu dengan Pangeran Siamese (Prisdang Chomsey) yang untuk alasan politis harus meninggalkan negaranya dan telah ditahbiskan di Srilangka dengan nama Bhikkhu Jinavaravamsa.

Waktu itu beliau adalah pemegang jabatan dari vihâra terkenal Dipaduttarama di Kotahena, Kolombo-Srilangka. Dengan disertai beliau, Bhikkhu Ñânatiloka hidup di sebuah pulau terpencil, di pinggiran pantai, dekat Matara. (dahulu: Galgodiyâna, tetapi Jinaravamsa menyebutnya Cûla-Lañgkâ, yaitu "Langka kecil"). Di sana mereka tinggal di dalam sebuah kuti.

Pada tahun 1906, seorang bhikkhu berkebangsaan Belanda, bernama Bergendahl (Bhikkhu Suñño) tiba untuk pertama kalinya di pulau itu. Kemudian disusul oleh Fritz Stange (Bhikkhu Sumano) beserta seorang samanera. Keduanya ditahbiskan di Matara. Bhikkhu Sumano memiliki kesungguhan dan dedikasi yang besar, yang memberikan pernyataan yang menggemparkan melalui pemikirannya dalam buku kecil yang berjudul "Pabbajja, Der gang in die Heimatlosigkeit (1910), dalam bahasa Jerman. Ia meninggal dalam usia muda pada tahun 1910 di Bandarawela, di sebuah bukit desa di Srilangka.

Selama kunjungan singkat ke Myanmar tahun 1906, Bhikkhu Ñânatiloka mentahbiskan samanera pada Scotsman, I.F. McKechnie, dan diupasampada menjadi bhikkhu dengan nama Sîlacara. Bhikkhu Sîlacara di kemudian hari menjadi seorang penulis unggul dan menghasilkan banyak karya mengenai Buddha Dhamma.

Ketika Samanera Sasanavamsa menerjemahkan buku dari bahasa Jerman, karya sastra pertama Bhikkhu Ñânatiloka, "The Word of the Buddha" (Sabda Sang Buddha, edisi pertama berbahasa Inggris; Rangoon, 1907). Selain Sasanavamsa, Walter Markgraf dari Jerman juga ditahbiskan menjadi samanera dengan nama Dhammanusari. Setelah ditahbiskan menjadi samanera, ia segera kembali ke Jerman di mana pada waktu itu ia merintis sebuah perusahaan penerbitan buku-buku Buddhis yang telah banyak menerbitkan buku, diantaranya buku terjemahan Bhikkhu Ñânatiloka.

Setelah menerima saran dari Markgraf untuk mendirikan vihâra di Swiss Selatan, Bhikkhu Ñânatiloka meninggalkan Eropa. Di kota Lugano, beliau bertemu Enrico Bignani (baca: Enriko Binyani), redaksi majalah "Coenobium", yang mendirikan sebuah pondok indah di daerah pegunungan Alpen, di kaki pegunungan Monteloma, dekat Novaggio (baca: Novajio), tidak jauh dari Lugano. Beliau bervassa di sana selama musim dingin yang menyengat, menerjemahan German-Pâli Grammarnya dari "Puggala-Paññatti"(bagian dari Abhidhamma Pitaka). Ketika perencanaan untuk vihâra di Swiss tidak tercapai, pencarian tempat lainnya menuntun Bhikkhu Ñânatiloka, untuk pertama kalinya menuju Turino dan kemudian Afrika Utara (Tunis, Gabes), dan akhirnya kembali ke Swiss.

Di sana beliau tinggal di sebuah "Buddhist House" yang sederhana di kota Lausanne, bernama "Vihâra Charitas", yang dibangun oleh seorang insinyur berkebangsaan Swiss, Tuan Bergier. Di depan temboknya, ayat-ayat Buddhis dalam bahasa Perancis, diukir dalam warna merah dan emas, dan dengan jelas dapat dibaca oleh mereka yang lewat. Di tempat itu, Bhikkhu Ñânatiloka mentahbiskan samanera untuk pertama kalinya di tanah Eropa, kepada seorang pelukis Jerman Bertel Bauer, dan akhirnya diupasampada menjadi bhikkhu dengan nama Kondañño.

Bhikkhu Ñânatiloka pergi ke Srilangka pada tahun 1911 bersama Ludwig Stolz dan dua orang umat. Pada tahun yang sama, Stolz ditahbiskan sebagai samanera di kota Galle, Srilangka Selatan, dengan nama Vappo. Ia kemudian diupasampada di Myanmar (1914), dan meninggal dunia di Srilangka (1960) dalam usia 86 tahun.

Bhikkhu Kondañño membantu menemukan sebuah pulau kecil di pinggir laut dekat desa Dodanduwa, yang bernama "Pulau Pertapaan" (Island Hermitage) di Singhalase (Sailan Polgasduva). Pulau tersebut menjadi terkenal sebagai sebuah pusat agama Buddha dan vihâra untuk para bhikkhu Barat.

Ketika Bhikkhu Ñânatiloka diberitahukan oleh Bhikkhu Kondañño yang telah menemukan tempat itu, hal ini membuat beliau senang. Pada tanggal 9 juli 1911, di pulau itu dibangun lima pondok sederhana yang terbuat dari kayu.

Pondok-pondok tersebut dibangun oleh umat yang mendukung perkembangan Buddha-Dhamma. Pada tahun 1914 "Island Hermitage" resmi menjadi milik Sañgha, karena dibeli dan didanakan oleh Mr Bergier.

Sebuah pulau kecil (Pulau Matiduva, artinya pulau lempung) juga menyediakan akomodasi untuk kegiatan pabbajja maupun upasampada bhikkhu. Setelah Perang Dunia II, tempat itu dimiliki oleh Lady Evadne de Silva dan dipersembahkan kepada Sañgha

Pada awal 1914, Bhikkhu Ñânatiloka berkeliling ke daerah Sikkim, Tibet sebagai tujuannya. Tetapi beliau dan rekannya hanya tiba di Tumlong, dekat perbatasan Tibet di mana mereka mengunjungi Ny. Alexandra David-Neel. Ketika melewati daerah pegunungan yang dipenuhi salju, simpanan bekal mereka hampir habis, sehingga mereka harus segera kembali ke Srilangka. Begitulah akhir dari perjalanan mereka di Tibet. Pada tahun yang sama, dua anak muda dari Tibet, pelajar bersaudara dari Kaji Sandup tiba di "Island Hermitage" dan diupasampada di sana. Bhikkhu Mahinda yang lebih muda menetap di Srilangka, di kemudian hari menjadi penyair terkenal dalam bahasa Srilangka, dengan puisi-puisinya yang dia simpulkan dalam buku-buku sekolah Sinhalase (warga Srilangka).

Demikian pula pada tahun 1914, seorang anak muda dari Rajasinghe - Srilangka, ditahbiskan sebagai samanera dengan nama Ñânaloka, terus berlanjut hingga diupasampada menjadi bhikkhu. Ternyata bhikkhu ini memiliki karakter kemuliaan sejati. Ia sangat berjasa dan sangat taat pada gurunya (Bhikkhu Ñânatiloka) yang sangat ia hormati. Ia merawatnya di saat-saat beliau sakit, hadir untuk semua tugas yang meliputi penetapan tujuan, cara-cara penyelenggaraan pembinaan kegiatan religius dan juga mengenai pengalokasian Island Hermitage serta membimbing langkah-langkah pertama dalam kehidupan kebhikkuan dari peserta pemuda barat ke dalam vinaya yang disebutnya sebagai "Induk Sañgha" mereka, setelah gurunya (Bhikkhu Ñânatiloka) meninggal, Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera adalah pimpinan dari Island Hermitage hingga akhir hidupnya (1976).

Pada saat pecahnya Perang Dunia I (1914), bhikkhu-bhikkhu Jerman pada awalnya diijinkan untuk tinggal di Island Hermitage, dengan pengawasan yang ketat. Setelah empat bulan kemudian mereka dibawa ke tempat pengasingan sipil, pertama di daerah Ragama dan Diyatalawa, Srilangka, dan kemudian di Australia, yang membawa banyak kesulitan. Pada tahun 1916, anggota kependetaan dari semua agama dibebaskan dari tempat pengasingan. Disebabkan tidak adanya ijin yang diberikan untuk kembali ke Srilangka atau untuk memasuki negara lain yang berada di bawah persemakmuran Inggris, Bhikkhu Ñânatiloka pergi ke Cina, dan ini juga menjadi suatu masa keadaan yang menyakitkan dan kesulitan yang besar. Keinginan beliau untuk tiba di Cina (melalui Yunan) guna mengunjungi arama-arama warga Myanmar yang berada di daerah perbatasan tidaklah tercapai.

Ketika Cina mendeklarasikan perang melawan Jerman, Bhikkhu Ñânatiloka harus mengalami pengasingan lagi di penjara polisi Hanchow. Ketika berada di sana, beliau kembali menerjemahkan Añguttara Nikâya ke dalam bahasa Jerman. Akhirnya di awal tahun 1919, ia kembali ke Jerman karena warga Jerman yang berada di Cina diwajibkan untuk kembali ke negara asal. Inilah kunjungan terakhirnya ke negara tempat kelahirannya.

Bahkan setelah perang usai, Srilangka tetap tertutup bagi warga Jerman hingga bertahun-tahun lamanya. Karena masih didorong oleh keinginannya yang kuat untuk kembali, beliau dan Bhikkhu Vappo melanjutkan perjalanan ke Srilangka (1920). Dalam perjalanan ini mereka diikuti oleh seorang upasaka berkebangsaan Jerman, Else Buchholts. Pada tahun 1926, upasaka ini menjalani kehidupan pertapaan di Srilangka dengan nama Uppalavanna.

Upasaka Else Buchholts telah mendukung Bhikkhu Ñânatiloka selama berada di Jerman dan membiayai semua biaya perjalanan yang mereka lakukan menuju Srilangka, namun pada saat mereka tiba di pelabuhan Kolombo (ibu kota Srilangka), mereka tidak bisa mendapatkan ijin pendaratan, meskipun semua usaha telah dibuat oleh teman-teman di Srilangka. Lalu mereka kemudian memutuskan untuk pergi ke Jepang di mana Bhikkhu Ñânatiloka mengajar di sekolah tinggi dan berbagai universitas selama lima tahun di sana. Akhirnya pada tahun 1926, setelah absen 12 tahun, beliau baru bisa kembali ke Srilangka.

Di Island Hermitage, beliau menemukan banyak gedung dalam kondisi rusak, tetapi segera dibangun pondok-pondok baru untuk para pendatang. Dalam waktu yang singkat, para pendatang mulai berdatangan untuk belajar dan mendalami Buddha-Dhamma serta kehidupan religius. Mereka yang berasal dari berbagai negara di dunia, khususnya dari Barat.

Pada tahun 1928, E.L. Hoffmann (Acarya Anagarika Govinda) tinggal untuk beberapa waktu di Island Hermitage mempelajari bahasa Pâli. Belakangan ini ia menetap di tempat yang bertentangan dengan Bhikkhu Ñânatiloka di Bukit Wariyagoda, Srilangka, di mana setelah Perang Dunia II, Uppalavanna juga tinggal di sana.

Berikut ini adalah beberapa bhikkhu yang tinggal di Island Hermitage pada dua periode Perang Dunia adalah Bhikkhu Ñânadhara dari Jerman. Beliau adalah seorang bhikkhu yang sangat didedikasikan, meninggal di Myanmar pada tahun 1935. Beliau dirawat oleh Bhikkhu Ñânatiloka pada saat beliau sudah tidak bisa bangun lagi dari tempat tidurnya. Berita sakitnya Bhikkhu Ñânadhara mempercepat beliau tiba di Myanmar. Bhikkhu lainnya yang sungguh-sungguh berusaha keras adalah Bhikkhu Ñânasisi dari Jerman, ditahbiskan menjadi samanera pada tahun 1936 dan diupasampada pada tahun 1937. Ia meninggal pada tahun 1950, segera setelah mengadakan suatu kunjungan ke saudara laki-lakinya Georg Krauskopf, seorang penulis Buddhis yang cakap.

Pada saat Perang Dunia II, Bhikkhu Ñânatiloka dan siswa-siswanya dari Jerman harus menukar kedamaian Island Hermitage menjadi kehidupan di kamp pengasingan sipil. Setelah dua tahun dalam sebuah kamp di Diyatalawa - Srilangka, semua tawanan dikirim ke India Utara, ke sebuah pusat camp pengasingan di daerah Dehra Dun, dekat bukit Himalaya. Di sana Bhikkhu Ñânatiloka beserta bhikkhu lainnya menghabiskan waktu lima tahun di belakang kawat berduri hingga musim gugur 1946, mereka baru diijinkan untuk kembali ke Srilangka.

Pada saat kembali ke Srilangka, beliau menemukan Island Hermitage dalam keadaan terpelihara serta kondisinya yang baik. Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera telah merawat Island Hermitage dengan baik, meskipun mengalami banyak kesulitan selama Perang Dunia yang begitu lama. Bagi Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera, periode kedua dari tempat pengasingan itu membuktikan ternyata lebih banyak menguntungkan dari yang pertama. Pelayanan dan kondisi kehidupan di camp lebih baik, mengijinkan untuk menggunakan waktunya secara luas untuk menerjemahkan kitab suci serta karya tulisnya.

Setelah mengalami banyak pengalaman dalam dua periode Perang Dunia, pada tahun 1950, Bhikkhu Ñânatiloka menyambut gembira menerima kewarganegaraan Srilangka. Negara kelahirannya (Jerman) juga mengenang pekerjaan seumur hidupnya yang terkemuka sebagai seorang pelajar Buddhis. Pada tahun 1955, beliau ditunjuk sebagai seorang anggota kehormatan dari sebuah perkumpulan akademik bergengsi untuk pelajar-pelajar Timur. Dass Deutsche Morgenlandische Gesellschaft, Surat penunjukkan sebagai anggota kehormatan dipersembahkan untuk beliau oleh Duta Besar Republik Federal Jerman yang dijabat oleh Dr. Georg Ahrens.

Dengan pelepasan sejati dari "hidup tanpa rumah", seorang warga dari empat belahan dunia, ia mengerti akan tidak adanya cinta tunggal (exclusive love) untuk suatu negara. Tetapi dengan keharusan secara emosi beliau merasa sangat bahagia di antara orang Srilangka yang dikenal, dan jalan hidup yang telah dibentuknya sendiri di negara ini. Tetapi beliau juga merasakan sebuah rasa kekeluargaan dan kekaguman terhadap mereka, bangsa Buddhis yang besar dari Myanmar, tanah tempat beliau diupasampada.

Beliau mengunjungi Myanmar sekitar delapan kali pada tahun 1951. Beliau dan siswanya (Bhikkhu Ñânaponika) diundang ke Myanmar sebagai tamu kenegaraan untuk berkonsultasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan konferensi Buddhist ke-6 (Chattha Sañgayana). Kunjungan terakhirnya ke Myanmar pada tahun 1954, di mana Bhikkhu Ñânatiloka dan Bhikkhu Ñânaponika ikut bergabung dalam pembukaan sesi Konferensi tersebut yang begitu hikmat.

Sejak tahun 1952, Bhikkhu Ñânatiloka melewati waktunya di forest Hermitage dekat kota Kandy, di sebuah pondok kecil nan sederhana bernuansa kehutanan di perbukitan tinggi di atas kota Kandy.


Pada pertengahan tahun 1954, beliau jatuh sakit. Setelah lama tinggal dan dirawat di R.S. Kandy, ia menjalani operasi di Kolombo pada bulan Januari 1955. Sekembalinya beliau ke Kandy, dilakukanlah perawatan kesehatan hingga beberapa bulan berikutnya. Tetapi pada waktu itu beliau berkata kepada Bhikkhu Ñânaponika, "Saya tidak akan mencapai usia 80." Ketika menjelang akhir 1955, kesehatan fisiknya mulai menurun, beliau pergi ke Kolombo di mana perawatan dan perhatian dokter lebih mudah didapatkan daripada di daerah pedalaman.

Para utusan dari "German Dhammaduta Society" datang mengunjugi beliau, waktu itu beliau tinggal di kuti dari tempat perkumpulan, di mana ia dirawat dengan penuh intensif. Di tempat inilah beliau melewati vassa terakhir dalam hidupnya. Walaupun pengobatan diberikan dengan baik, namun kesehatannya berlanjut menurun, dan pada tanggal 28 Mei 1957 beliau meninggal dengan tenang, sekitar 3 bulan setelah ulang tahunnya yang ke 79 tahun.

Upacara kremasi dilakukan pada tanggal 2 Juni 1957, di Independence Square, Colombo, sebagai pusat pemakaman negara yang diberikan dalam penghormatan dan penghargaan kepada seorang bhikkhu besar dan contoh suri teladan besar Dhamma terhadap Barat. Banyak sekali orang yang berkumpul pada peristiwa ini, di antaranya Ñânasatta Thera, Perdana Menteri Srilangka Mr. S.W.D. Bandaranaike, dan duta besar Jerman. Perabuannya dibawa ke Island Hermitage, Dodanduwa, dan diletakkan di dekat pondok di mana dulu beliau pernah menetap.

Sebuah monumen didirikan, yang mana bait Dhamma yang terkenal, dari Bhikkhu Assaji yang telah menuntun Petapa Sariputta ke dalam Dhamma, diukir dalam empat bahasa yaitu Pâli, Sinhala, Jerman, dan Inggris.

"Of things that proceed from a cause,
their cause the Tathâgata proclaimed;
and also their cessation.
Thus taught the Great Sage."

("Semua benda timbul kerena satu 'sebab',
sebabnya telah diberitahukan oleh Sang Tathâgata;
dan juga lenyapnya kembali.
Itulah yang diajarkan oleh Sang Petapa Agung.")

Karya tulis Ven. Ñânatiloka

Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #17 on: 02 October 2008, 05:30:28 PM »
Sambungan dari Atas No. 13 Bhikkhu Ñânatiloka

Pada awal tahun 1905, beliau mulai menerjemahkan Añguttara Nikâya ke dalam bahasa Jerman (Angereihte Sammlung). Bagian pertama dari buku kesatu diterbitkan pada tahun 1907 oleh Percetakan Walter Markgraf Verlag), dan pada tahun berikutnya bagian lain diterjemahkan kembali dari buku keempat. Edisi pertama dipublikasikan pada tahun 1922 dalam lima seri oleh Oskar Schloss Verlag). Edisi barunya, direvisi oleh Bhikkhu Ñânaponika, yang diterbitkan pada tahun 1969 dalam lima seri.

Berikut ini adalah beberapa karya tulis yang telah disusun oleh beliau, yang terkenal di daratan Jerman dan negara-negara barat lainnya, yaitu:

1. "Dass Buch der Charaktere", The book of Character, 1910 (terjemahan dari Puggala Paññatti, Abhidhamma Pitaka).
2. A systematic Pâli Grammar (1911).
3. "Die Fragen des Koenigs Milindo", The Questions of King Milinda (bahasa Jerman) (Milinda Pañhâ; Vol.I: 1913/14; Vol. I/II: 1924).
4. A Pâli Anthology and Glosary, dalam bahasa Jerman, yang telah disusun pada tahun 1928. Edisi pertama dari Visuddhi Magga "Der Weg Zur Reinheit" (bahasa Jerman). "The path to Purity" yang terbit pertama kali pada tahun 1952, dan kedua, edisi yang telah direvisi diterbitkan pada tahun 1976, yang telah disusun pada tahun 1931.
5. Guide through the Abhidhamma Pitaka (bahasa Inggris), yang telah dicetak ulang pada tahun 1957 dan 1971 (Buddhist Publicaton Society / BPS, KandySrilangka), disusun pada 1938.
6. Fundamentals of Buddhism. Dhammadesana yang tersusun dalam 4 bagian (bahasa Inggris) yang disusun pada tahun 1949.
7. Kamma and Rebirth, dipublikasikan oleh BPS pada tahun 1964. Dua karya yang penting diterbitkan di Inggris pada tahun 1952.
8. Buddhist Dictionary. Sebuah buku pedoman dari istilah-istilah Buddhis dan Buddha Dhamma (edisi kedua diterbitkan di Colombo City (Kota Kolombo) pada tahun 1956; edisi ketiga yang telah direvisi dan diperluas oleh Ven. Ñânaponika (siswa Bhikkhu Ñânatiloka) pada tahun 1972. Versi bahasa Jerman pertama pada tahun 1953, kemudian edisi kedua diterbitkan pada 1976 oleh Verlag Christiani, Konstanz. Juga sebuah versi lainnya dalam bahasa Prancis, yang diterjemahkan oleh Suzanne Karpeles, yang diterbitkan oleh "Adyar" - Paris, tahun 1961dengan judul "Vocabulaire Bouddhique de Termes et Doctrines du Canon Pâli."
9. The Path to Deliverance (jalan menuju pembebasan), terbagi atas tiga bagian dan tujuh tingkat dari kemurnian, yang pada edisi kedua telah direvisi pada tahun 1959, versi Jerman diterbitkan pada tahun 1956 oleh Verlag Christiani. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia pada edisi kedua dilakukan di Surabaya pada tahun 1970. Di dalam buku ini dilengkapi dengan keterangan-keterangan antologi, dan dapat dipandang sebagai sebuah supplement lebih lanjut terhadap "Sabda Sang Buddha." Buku ini kaya akan pelajaran-pelajaran yang bersifat instruktif (penerangan dan pengarahan) dan tulisan-tulisan yang menginspirasikan kita.
Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #18 on: 02 October 2008, 05:32:01 PM »

14. Matthew Flickstein

Matthew Flickstein adalah seorang psychotherapist dan juga sebagai instruktur meditasi yang berpengalaman selama lebih dari 24 tahun. Beliau sangat ahli dalam bidangnya. Matthew banyak membantu orang-orang dan juga telah melatih ribuan orang. Beliau juga melakukan sertifikasi kepada para psychoterapist lain, untuk menangani pelatihan (workshop) manajemen stres dan pengembangan kepribadian kerja, yang merupakan kreasinya. Selama beberapa tahun, beliau merupakan seorang ahli terapi pribadi dengan spesialisasi intervensi atau penyembuhan intensif jangka waktu pendek.

Matthew mendapat gelar B.S dari Universitas Maryland, dan gelar M.S. dalam bidang penyuluhan dan psychotherapy dari Sekolah Tinggi Loylola, dan menyelesaikan Ph.D. di Institute Saybrook. Dia melakukan praktik di tempat penyuluhan dan penyakit jiwa (Counceling and Psychiatric) Johns Hopkins di Baltimore.

Pada tahun 1984, Matthew ikut mendirikan Lembaga Bhavana, sebuah pusat vihara umat Buddha di Virginia Barat, bersama Bhikkhu Henepola Gunaratana. Matthew adalah pendiri dan instruktur dari pusat latihan meditasi Forest Way di Blue Ridge Mountains, Virginia, yang latihan-nya dikhususkan pada retret jangka panjang untuk para praktisi awam.

Matthew juga menulis buku Journey to the Center: A meditation Workbook and Swallowing the River Ganges dengan editornya, yaitu Bhikkhu Gunaratana yang bukunya menjadi buku petunjuk meditasi yang terlaris dengan judul Mindfulness in Plain English. Beliau saat ini tinggal di Ruckersville, Virginia, Amerika Serikat.

Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #19 on: 02 October 2008, 05:34:16 PM »

15. Bhikkhu Gunaratana

Bhikkhu Gunaratana adalah seorang penulis dan instruktur meditasi internasional yang terkenal dengan ajarannya yang menggabungkan latihan meditasi dalam kehidupan sehari-hari dengan mendalami ajaran Buddha, dan hal itu diterapkan dalam latihannya. Beliau juga seorang psikolog di bidang filosofi lulusan Universitas Amerika di Washington, saat beliau masih menjadi seorang pendeta dan mengajar Buddha Dhamma ke seluruh dunia, khususnya di Amerika. Beliau rajin mempraktikkan Buddha Dhamma. Perpaduan latar belakang dan pengalaman Bhikkhu Gunaratana sangat cocok untuk memperkenalkan Buddha Dhamma di Barat.

Bhikkhu Gunaratana diupasampada di Kandy, Sri Lanka, pada tahun 1947. Dia mendapat pendidikannya di Sekolah Tinggi Vidyalankara dan Sekolah Tinggi Buddhist Missionary di Colombo. Pada kunjungannya di komunitas Sasana Sevaka. Bhikkhu Gunaratana datang ke Amerika pada tahun 1968 sebagai Hon. Sekretaris Jenderal di Vihara Buddhist Society di Washington, D.C. Pada tahun 1980 beliau diangkat menjadi President Buddhist Society. Selama beliau berada di vihara, beliau telah memberikan kursus tentang Ajaran Buddha, melakukan retret meditasi, dan mengajar secara luas di seluruh Amerika Serikat dan Kanada.

Beliau juga mendapatkan gelar sarjana dengan meraih B.A., M.A., dan Ph.D., di bidang filosofi di Universitas American. Buku-buku dan artikel-artikel beliau telah diterbitkan di Malaysia, India, Sri Lanka, Brazil, dan U.S.A. Bhikkhu Gunaratana telah menduduki posisi sebagai kepala pengajar di Universitas American sejak tahun 1973. Beliau benar-benar terlibat dengan usahanya dalam memperluas ajaran Buddha di seluruh Amerika Utara. 
Smile Forever :)

Offline hanes

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 379
  • Reputasi: 23
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #20 on: 02 October 2008, 06:29:19 PM »
kok gk ad tokoh dari indo seh ko lothar ?
Mukjizat terbesar adalah
perubahan orang yang gelap hati
menjadi orang yang bijaksana.

Offline thioboeki

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 122
  • Reputasi: 5
  • Dimana ada Kebahagian disitu ada Penderitaan,,
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #21 on: 02 October 2008, 07:35:13 PM »
sebenarny tokoh agama Buddha dari timur(cina) mungkin juga banyak.
Dimana ada Kebahagian disana ada Penderitaan,,

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #22 on: 02 October 2008, 07:48:09 PM »
Contekannya cuma ada nyang barat ;D
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Surya Kumari

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 248
  • Reputasi: 14
  • Gender: Female
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #23 on: 02 October 2008, 07:50:52 PM »
bro, kita boleh ikutan posting ga?
tapi harus liat contekan juga neh...

 _/\_
makan saat sedang makan..minum saat sedang minum..

Offline Jayadharo Anton

  • Sebelumnya: Balaviro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.300
  • Reputasi: 19
  • Gender: Male
  • Namatthu Buddhassa
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #24 on: 03 October 2008, 11:49:26 AM »
yang dari indonesia mana ya
"Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,kepercayaan adalah saudara paling baik,nibbana adalah kebahagiaan tertinggi" [DHAMMAPADA:204]

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #25 on: 03 October 2008, 11:52:56 AM »

16. Bhante Ashin Jinarakkhita

Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita
[Pelopor Kebangkitan agama Buddha Di Indonesia]


Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.

Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.

Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.

Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.

Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.

Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai menyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.

Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang).

Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya.
« Last Edit: 03 October 2008, 11:56:09 AM by LotharGuard »
Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #26 on: 03 October 2008, 11:56:58 AM »
Sambungan dari Bhante Ashin Jinarakkhita


Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.

Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.

Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Smile Forever :)

Offline hanes

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 379
  • Reputasi: 23
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #27 on: 03 October 2008, 11:57:57 AM »
ini nih yg d tunggu2 dari indo.
wkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
_/\_
Mukjizat terbesar adalah
perubahan orang yang gelap hati
menjadi orang yang bijaksana.

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #28 on: 03 October 2008, 12:03:27 PM »

17. Bhikkhu Jinadhammo Mahathera

Maha Thera Kelahiran dan Masa Remaja Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan
Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada
yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka
kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal akan menjadi seorang anggota
Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah.
Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain
keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak
memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai
negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu
berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang
penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan
yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada
waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut
disyukuri dan terasa sangat nikmat.
Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan
pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat,
Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok
kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjai topi dll, setidaknya dapat
menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di
kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang
dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang
menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu
orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk
mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya
merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau
sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat,
Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau
terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yangkeras.
Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran.
Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu
harus dekat dengan warung makanan. “Upahnya tak beli in kue,
habis...”, kenang Beliau sambil tertawa.

Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan.
“Bhante itu kalau mencukur cepat sekali,” aku salah seorang anggota
pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi
paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu
pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna,
tapi tak pernah melewatkan tokokh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada
acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam
melarut dan walaupun menjelang subuh.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi
Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut
banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding
candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah
pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya ? Untuk apa
bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa
menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah
berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah
Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia
yakni Islam, kr****n, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah
Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap
pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut
menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni
zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari
agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak
yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari
ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi
merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan,
membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang
(Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin
Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari
paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif
mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap
agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta
suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian
mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.

Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh
Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama
Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk
mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun,
Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi
upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti
suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan
disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2
minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice
cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia
membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak
peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal
dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut.
Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan
tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang
laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk
membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin
telah menggeledek : “Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, g****k !”
Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah
pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus
di antara sekian puluh orang peserta.

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang
patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian
tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang
bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah
dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an,
Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidka
heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang
menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit
sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota
Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang
tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk
segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang
sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi
samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata
pada pemuda Sunardi: “Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto ? Mengapa
Jenderal Sumantri ? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi
Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha ? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu ?
Itu karena saya membayar hutang.” Demikian pertanyaan yang dilontarkan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau
sendiri.
Smile Forever :)

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
« Reply #29 on: 03 October 2008, 12:04:43 PM »
Sambungan dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah
Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa
tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan
tekadnya mendapat restu dari orang tuanya dan saudara.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin
dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante
Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, "Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi
seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma.”
Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang
Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di
Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:S. Jinasuryabhumi (U.P.
Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu :
Aggajinamitto). S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari
1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20
Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.S. Dhammasushiyo (Sunardi), lahir
Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo. S. Djumadi, lahir Jumat 19
Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang
mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :

1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa
sekarang Sangha Raja. 2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \
Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta). 3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma
Sobhana) 4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia) 6.Upa. Saksi (Ven.
Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan
berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya
upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore. Belajar ke
Wat Bovoranives Vihara Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris
(hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu
Jinadhammo) kemudian berangkat ke “Negara Gajah Putih” Muanthai.
Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan
guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih
meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar
di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang
terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari
kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang
dipimpin oleh Ajahn Buah, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wan Ban Tad
(Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini
merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat
Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad.
Ajahn Buah adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan
abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Buah melakukan gerakan
“Rakyat Menyelematkan Negara”. Beliau berkampanye mengumpulkan
sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai
berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Buah. Sudah milyaran dolar Amerika
(dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn buah kepada
pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air
hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu,
Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan
para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima
dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima
nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah
“daging kodok rebus” atau “ulat kelapa” (orang Jawa
bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat
termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu
hanya menerima makanan dari daging apabila :
1.Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2.Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3.Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk
dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin
dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante
Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha
dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil
“Om Yan” oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng
Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal
di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun
mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin.
Bhante Jin belum tidur waktu itu. “Ada apa Om Yan ? Tengah malam kok
ngintip-ngintip ?” tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa
terbahak-bahak.

“Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di
gubuk.”

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di
sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah
kamar “aneh” untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak
batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin
menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.

Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. “Apakah Bhante merasa
tenang tinggal di vihara ini ?” tanya Om Yan. “Tenang. Tenang
sekali.” Jawab Bhante Jin. “Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya
Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. “Oh ... bisa... bisa.” Jawab
Bhante Jin. “Kenapa rupanya ?” tanya Bhante Jin kembali. “Ah,
tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum
mencurigakan.

Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa.
Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar
senyap.

Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang
rada-rada “aneh”. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau
jika diajak tidur di kamar berlantai “aneh” tempat Bhante Jin.

“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan
bertanya tentang kesehatan Bhante. “Apa Bhante sehat-sehat saja ?”
tanya Om Yan sambil tersenyum. “Sehat !” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ?” tanya Om
Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar
itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ?”
“Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai.
Bhante tahu batu apa itu ?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat
?” “Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya
lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan. “Oh !
Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ?”
“Ha... ha ... ha... Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak
diberitahu.” Jawab Om Yan gembira.

Bertugas di Sumatera Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian
menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera
Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.
Beliau memperdalam ilmunya bukan
hanya di dalam negeri tetapi Beliau juga melangkahkan kakinya ke Negara Thailan
selama 3 vassa. Dan pada kesempatan yang baik itu pula Beliau tidak pernah
menyia-nyiakan waktunya, selain belajar Beliau juga mengunjungi desa-desa untuk
mengetahui dan mempelajari secara langsung kehidupan apra Bhikkhu di Negeri
Buddhis tersebut. Beliau telah menjalani 30 vassa hingga kini, 3 vassa
di luar negeri dan 27 vassa di dalam negeri hingga sekarang Beliau banyak
melakukan kegiatannya terutama untuk umat Buddha di Indonesia khususnya di
Sumatera Utara. Dalam hal ini banyak sudah penghargaan yang Beliau miliki bahkan
sebagian besar jasanya tidak dapat ternilai. Beliau merupakan Sangha tertua
dalam menjalani vassa saat ini di Sumatera Utara, dan Beliau dikenal ramah,
sederhana dan kadang-kadang dapat dikatakan aneh/antik sebab sebagian besar
pengarahannya dilakukan melalui banyak perumpamaan yang kadang-kadang tidak
dimengerti oleh orang yang diarahkan, sehingga orang tersebut harus benar-benar
merenungkan dan menilai sendiri apa yang diucapkan Beliau.
« Last Edit: 03 October 2008, 12:07:20 PM by LotharGuard »
Smile Forever :)

 

anything