Untuk bahan renungan kita semua,
Keadaan kita sekarang ini sebenarnya hanya mengulang apa yang telah terjadi berabad-abad yang lalu, Mahayana menganggap lebih modern dari Theravada, disini terjadi distorsi seolah-olah bila seseorang mengikuti secara patuh petunjuk gurunya (Sang Buddha), dikatakan kuno, ortodox, mau menang sendiri, fanatik dll
Sebaliknya bila meragukan ajaran gurunya sendiri (Sang Buddha) dikatakan modern, jiwa besar, open minded dsbnya.
Saya rasa kesan seperti itu tidak perlu terjadi. Mahayana tidak pernah merasa dirinya "lebih modern" daripada Theravada, karena keduanya berkembang pada zaman yang sama. Mahayana hanya mengklaim bahwa pandangan mereka merupakan "koreksi", setidak-tidaknya "alternatif", bagi pandangan Theravada.
Sebenarnya setelah seorang pendiri suatu ajaran/agama telah meninggal apakah yang harus kita jadikan landasan? pendapat manakah yang dianggap sebagai otoritas tertinggi?
apakah pendapat berbagai komentator? atau kitab suci?
Ya, tergantung sudut pandang masing-masing tentunya. Kitab suci Theravada dan kitab suci Mahayana (Mahasanghika) berkembang berdampingan, diturunkan dari mulut ke mulut, dan dituliskan pada waktu yang hampir bersamaan. Kedua tradisi itu bersumber dari perpisahan yang terjadi lama sekali sebelumnya, sekitar 100-200 tahun setelah zaman Sang Buddha.
Ada kerangka berpikir yang aneh, seolah-olah bila pendapat Sang Buddha tidak bisa dibuktikan (karena kemampuan kita belum sampai disana) bahwa pernyataan kitab suci itu tidak benar dan kita mulai mendewa-dewakan orang yang meragukan hal tersebut dan menyorakinya sebagai orang yang logis dan benar.
sehingga orang yang mengikuti secara tulus kelihatan seperti orang dogmatis, dianggap sempit pikirannya.
Di sini Rekan Fabian memakai beberapa istilah yang kurang layak bagi sebuah tulisan yang intelektual. ... Saya rasa itu tidak perlu terjadi ... bila diskusi ini berlangsung dengan kepala dingin ...
Kecenderungan kedua kelompok manusia ini sudah menjadi ciri psikologis yang berbeda, dan yang
terdapat dalam semua agama/kepercayaan yang ada di dunia ini. ... Ada sebagian penganut yang bersifat
"yakin/percaya, saddha", menganut tanpa reserve apa yang tertulis dalam kitab suci ... Sebagian penganut lagi bersifat
"kritis-intelektual, panna" ... mengembangkan pemahaman-pemahaman yang kadang-kadang terdengar heterodoks. ... Saya rasa,
tidak ada yang lebih baik dan lebih buruk di antara kedua kelompok ini.Lantas bagaimana bila kita menemukan hal yang meragukan? kan Sang Buddha sudah katakan cocokkan dengan dhamma dan Vinaya. Dhamma dan Vinaya yang mana? Dhamma dan Vinaya menurut orang-orang tertentu, atau Dhamma dan Vinaya menurut Tipitaka?
Ya, tegantung termasuk kelompok mana Anda: kelompok 'saddha' atau kelompok 'panna' seperti saya uraikan di atas.
Yang lebih aneh lagi kadang orang yang memakai sutta yang berkenaan dengan pembuktian ini untuk mengecek ulang, bila sesuai dengan Tipitaka (Dhamma dan Vinaya) dikatakan mencari pembenaran dengan mengutip kitab-kitab suci, padahal orang itu sendiri mengutip sutta mengenai pembuktian ini untuk mencari pembenaran bagi dirinya sendiri padahal berdasarkan logikanya sendiri (seolah-olah para bhikkhu yang menyusun Tipitaka adalah orang orang yang tidak mengerti Dhamma - vinaya).
Sekali lagi, ini mencerminkan perbedaan psikologis di antara kelompok 'saddha' dan kelompok 'panna' tersebut di atas.
Dalam hal kitab suci Buddhis, perbedaan ini semakin menonjol disebabkan dua hal:
(1) Ada gap selama beberapa ratus tahun antara saat kitab suci sekte-sekte dituliskan dan masa hidup Sang Guru.
(2) Ada berbagai kitab suci yang berkembang secara independen satu dari yang lain karena perpecahan intelektual yang terjadi hampir sejak awal para bhikkhu ditinggalkan oleh Sang Guru ... perpecahan intelektual ini berlarut beratus tahun sehingga menghasilkan kitab-kitab suci yang sangat berbeda pendekatannya terhadap Dhamma/Kebenaran yang satu.
Seolah olah orang yang mencocokkan dengan kitab suci adalah orang yang dicocok hidungnya atau orang-orang dogmatis. Oleh karena itu Sang Buddha sudah tepat meramalkan hal ini,
Staying at Savatthi. "Monks, there once was a time when the Dasarahas had a large drum called 'Summoner.' Whenever Summoner was split, the Dasarahas inserted another peg in it, until the time came when Summoner's original wooden body had disappeared and only a conglomeration of pegs remained. 1
"In the same way, in the course of the future there will be monks who won't listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. They won't lend ear, won't set their hearts on knowing them, won't regard these teachings as worth grasping or mastering. But they will listen when discourses that are literary works — the works of poets, elegant in sound, elegant in rhetoric, the work of outsiders, words of disciples — are recited. They will lend ear and set their hearts on knowing them. They will regard these teachings as worth grasping & mastering.
"In this way the disappearance of the discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — will come about.
"Thus you should train yourselves: 'We will listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. We will lend ear, will set our hearts on knowing them, will regard these teachings as worth grasping & mastering.' That's how you should train yourselves."
(Samyutta Nikaya XX.7 Ani Sutta)
Mari kita renungkan dalam-dalam apa yang dikontraskan oleh Sang Buddha dalam kutipan ini:
(1) "kata-kata Sang Tathagata -- yang dalam, dalam maknanya, transenden, berkaitan dengan sunyata"
("suttantaa tathaagatabhaasitaa, gambhiiraa, gambhiratthaa, lokuttaraa, su~n~natapa.tisa.myuttaa")(2) "khotbah-khotbah yang merupakan karya sastra, karya penyair, anggun terdengar, anggun dalam retorika, karya orang luar, karya para siswa"
("suttantaa kavikataa kaaveyyaa cittakkharaa cittabya~njanaa baahirakaa saavakabhaasitaa")Nah, Rekan Fabian secara simplistik menggunakan sutta ini untuk membuat
dikotomi secara fisikal:
semua yang tercantum dalam Tipitaka termasuk golongan (1), dan
semua uraian modern termasuk golongan (2). ... Di sini
jelas sekali secara fisik, mana yang harus dipilih. ... Dengan kriteria seperti itu orang tidak perlu berpikir panjang, tidak perlu berpikir kritis, tinggal menelan saja apa yang disajikan dalam Tipitaka.
Saya pribadi tidak mau berpikir begitu simplistik. ... Pertama, saya yakin
tidak semua yang tercantum dalam Tipitaka berasal dari Sang Buddha ... ada bagian-bagian yang disisipkan ke dalam Tipitaka oleh para Tipitaka-dhara, bukan dengan tujuan jelek, melainkan dengan tujuan baik, yakni mengagungkan ajaran Sang Guru, tetapi di belakang hari menimbulkan tandatanya bagi orang-orang yang teliti dan kritis.
Kedua,
tidak semua karya-karya modern hanya sekadar berisi "karya sastra, anggun terdengar, anggun dalam retorika" semata-mata. ... Ada karya-karya modern yang justru mencoba menggali kembali kata-kata Tathagata yang
"dalam, transenden, berkaitan dengan sunyata" dari dalam timbunan kitab suci. ... Karya-karya bhikkhu-bhikkhu panutan seperti
YM Buddhadasa Mahathera,
YM Nanavira Thera patut disimak dengan seksama, dan tidak begitu saja secara kategorikal digolongkan dalam kategori #2 di atas.
Nah, kalau Rekan Fabian menyediakan
'kriteria fisik' ("Tipitaka atau bukan") untuk menskrin apakah suatu karya termasuk golongan #1 atau #2, sehingga orang tidak perlu berpikir panjang lagi, ... bagi saya pribadi masalah ini tidak sesederhana itu ... Justru dengan adanya tumpang tindih antara materi golongan #1 dan materi golongan #2 baik di dalam Tipitaka maupun dalam karya-karya modern, maka saya menyadari
tanggung jawab yang terletak di pundak saya untuk selalu mencermati dan menapis setiap materi yang saya baca, entah dari Tipitaka klasik entah dari karya modern, untuk bisa memilah antara kedua golongan materi di atas. ... Dan
Sang Guru telah membekali kita, para siswanya, dengan alat yang ampuh untuk melaksanakan tanggung jawab ini, yakni:
Kalama-sutta.
Haruskah kita mengecek suatu kebenaran berlandaskan Dhamma - Vinaya (kitab suci Tipitaka) atau berlandaskan pendapat seseorang seperti Bhikkhu Buddhadasa atau Stephen Bachelor atau siapapun?
bagaimana bila pandangan orang tersebut berbeda dengan Dhamma-Vinaya, yang manakah yang perlu kita ikuti? Apakah orang-orang itu lebih hebat daripada Bhikkhu-bhikkhu yang lampau?
Dengan secara eksplisit menyebut-nyebut kedua tokoh Buddhisme modern itu, Rekan Fabian cuma menampilkan pandangan yang
simplistik tentang mana yang ajaran Sang Buddha dan mana yang bukan ... Menurut saya pribadi, justru dalam karya-karya yang
heterodoks dari YM Buddhadasa Mahathera terkandung makna yang dalam, yang saya yakin merupakan
ajaran asli yang diajarkan oleh Sang Guru ... begitu pula dalam karya-karya
YM Nanavira Thera. ... Sedangkan karya
Stephen Batchelor saya nilai senafas dengan
semangat kritis dan menyelidik yang dimaksud Sang Buddha di dalam
Kalama-sutta.
perhatikan sutta berikut (saya kopi paste dari postingan teman-teman sendiri)
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
coba anda baca dengan jelas jika pendapat seorang bhikkhu mengatakan sesuatu, apakah Sang Buddha mengatakan cocokkan dengan Dhamma-vinaya atau cocokkan dengan logika bhikkhu terkenal atau logika anda?
mari kita renungkan terima kasih
Sukhi Hotu.
fabian
Tentang kutipan dari Mahaparinibbana-sutta ini telah saya bahas dalam Reply #628 (hal.42)
Salam,
hudoyo