Pak Hudoyo yang baik,
ini memang fabian pak , bapak mengatakan ada poin ke 3,4 dan 5, muncul aku berada di dalam objek, tolong jelaskan kepada teman-teman netter bagaimana bahasa palinya untuk poin ke 3? adakah dikatakan "muncul aku" disana?
setahu saya menurut pengalaman meditasi, berpikir di dalam objek bukan berarti muncul aku, tetapi berpikir dalam objek adalah masuk kedalam objek pikiran. sehingga perhatian terlibat di dalam objek dan beranggapan bahwa ia adalah bagian dari objek.
mohon dijelaskan poin ke 3.
demikian juga poin ke 4, aku terpisah dari objek: "berpikir dari objek", setahu saya tak ada kata "aku terpisah dari objek" disana.
ke 5, saya tidak melihat bahwa di mula Pariyaya sutta ada pernyataan "aku berhubungan dengan obyek: "berpikir obyek untukku"
yang ke enam aku "bersenang hati dengan obyek". Lagi lagi tak ada kata aku disana, yang ada adalah kata ia bersenang hati dengan objek (he delights in... )
Untuk jelasnya bagi teman-teman netter, baiklah saya copy paste-kan dari access to insight mengenai Mulapariyaya sutta mengenai acuan pak Hudoyo ini:
The Blessed One said: "There is the case, monks, where an uninstructed run-of-the-mill person — who has no regard for noble ones, is not well-versed or disciplined in their Dhamma; who has no regard for men of integrity, is not well-versed or disciplined in their Dhamma — perceives earth as earth. Perceiving earth as earth, he conceives [things] about earth, he conceives [things] in earth, he conceives [things] coming out of earth, ' he delights in earth. Why is that? Because he has not comprehended it, I tell you.
jadi jelas disini Sang Buddha mengatakan earth (tanah) atau boleh juga diartikan sebagai objek yang kita perhatikan. Coba katakan adakah Sang Buddha mengatakan aku disitu? mengenai aku muncul dan sebagainya?
Pengertian yang benar adalah ia menganggap tanah (objek sebagai milikku / he conceives earth as 'mine'), dan (ia menyukai tanah / he delights in earth).
Sekali lagi pak Hudoyo berusaha mencampur adukkan ajaran Sang Buddha dengan ajaran JK dengan menambh-nambahkan sendiri pemikiran pak Hudoyo.
terima kasih
sukhi hotu
fabian.
Rekan Fabian,
Terjemahan Thanissaro:
(1) perceives earth as earth.
(2) he conceives [things] about earth,
(3) he conceives [things] in earth,
(4) he conceives [things] coming out of earth,
(5) he conceives earth as 'mine,'
(6) he delights in earth.
Terjemahan dengan penambahan "things" ini tidak dapat dipahami (incomprehensible). ... Apalagi kalau obyek 'earth' digantikan dengan obyek-obyek lain yang disebut di sutta itu, sampai 'nibbana'.
Terjemahan lain dari
www.metta.lk lebih lagi incomprehensible:
(1) perceives earth,
(2) thinking it's earth,
(3) becomes earth,
(5) thinks it is mine,
(6) delights.
Demikianlah banyak terjemahan harafiah dari Mulapariyaya-sutta yang tidak bisa dipahami. ...
Ada satu uraian yang bisa dipahami, dari
R.G. de S. Wettimuny &
YM Nanavira Thera -- lihat buku:
"The Buddha's Teaching and the Ambiguity of Experience". ... Di bawah ini saya terjemahkan bagi rekan-rekan di sini bagian dari Bab IV
"Struktur-Akar dari Pengalaman Refleksif Puthujjana":
"Di dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha mengungkapkan struktur-akar dari pengalaman refleksif(*) dari puthujjana, sekha dan arahat berturut-turut, di mana struktur ini muncul dari pengalaman-seketika (immediate experience) yang mereka peroleh dari setiap persepsi. ...
---(*)pengalaman refleksif = pengalaman perenungan
Sesungguhnya, Sutta ini mencakup segala obyek persepsi yang mungkin, entah konkrit --seperti tanah, air ... dsb-- entah abstrak (keesaan, keanekaan dsb). Tetapi struktur-akar dari pengalaman itu selalu sama, apa pun yang dipersepsikannya.
Sang Buddha mengajarkan di dalam sutta ini, ketika puthujjana mempunyai pengalaman-seketika akan tanah (atau kepadatan), misalnya, maka struktur-akar dari pengalamannya terwujud sebagai berikut:
"Para bhikkhu ... puthujjana (1) melihat tanah sebagai tanah. Dengan melihat tanah sebagai tanah, (2) ia mengkonsepkan tanah, (3) ia mengkonsepkan di dalam tanah, (4) ia mengkonsepkan dari tanah, (5) ia mengkonsepkan 'tanah untukku', (6) ia bersenang hati dengan tanah."Nah, #2 sampai #6 di atas mewakili kelima tahap yang progresif dalam KEEKSPLISITAN dari struktur-akar pengalaman refleksif yang bersangkutan, yang menjadi ciri dari pengalaman refleksif mendasar dari puthujjana. Tahap yang mengikuti selalu lebih eksplisit daripada tahap sebelumnya; dengan kata lain, tahap itu lebih mudah terlihat atau diketahui daripada tahap sebelumnya.
Seperti dikatakan [dalam bab] sebelumnya, pengalaman refleksif ini merupakan bangunan (superstructure) yang terbentuk di atas pengalaman-seketika. Pengalaman-seketika, yang tidak disebutkan dalam Sutta itu ialah puthujjana melihat/mempersepsikan 'obyek'. Dan seperti sebuah bangunan dibangun setelah pondasinya dibangun lebih dulu, begitu pula pengalaman refleksif yang berkaitan dengan pengetahuan dan pendeskripsian timbul setelah persepsi. [...]
***
Tahap #1 menunjukkan sekadar kesadaran (awareness) akan adanya persepsi, di mana persepsi itu dikenali sebagai persepsi akan 'obyek' semata-mata.
Selanjutnya tetrad tahap #2-#5 menggambarkan struktur-akar dari fenomena yang disebut 'APROPRIASI' (PENGAMBILAN, PERAUPAN), persepsi 'BERADA DALAM PENGENDALIAN (SUBJECTION)'; fenomena INILAH yang menjadi ciri dari pengalaman refleksif puthujjana. Ini berarti bahwa sifat paling mendasar dari pengalaman refleksif puthujjana adalah suatu 'apropriasi', di mana pengalaman-seketika diraup dan dikendalikan; dan di dalam langkah #2 - #5, suatu tetrad pengkonsepsian, terdapat empat tahap keeksplisitan dari struktur-akar peraupan ini. Tahap-tahap ini tidak boleh dilihat sebagai urutan yang di situ satu tahap muncul setelah tahap yang sebelumnya berakhir. Yang diuraikan di sini adalah sebuah struktur tunggal yang bertahap, yang semuanya terlibat pada saat kini. Namun, tidak perlu dikatakan, bahwa beberapa di antara tahap-tahap itu, karena bersifat implisit, sangat sukar terlihat. Tetapi kita selalu bisa mencoba.
***
Pada tahap #2 --"dengan melihat obyek sebagai obyek, ia mengkonsepkan obyek"-- 'apropriasi' itu begitu halus, sehingga hampir-hampir tidak lebih dari TERSIRAT dalam katakerja 'mengkonsepkan' (ma~n~nati).
'Mengkonsepkan' (ma~n~nanaa) mengandung arti mengkonsepkan KESUBYEKTIFAN. Dan ungkapan "dengan melihat obyek sebagai obyek, ia mengkonsepkan obyek" menunjukkan bahwa, ketika puthujjana telah melihat obyek sebagai obyek, batinnya MEMPUNYAI POTENSI untuk mengendalikan atau meraup obyek yang terlihat dalam pengalaman-seketika. Lebih tepat dikatakan, ketika ia sadar bahwa ia melihat obyek, ia juga mempunyai potensi dengan rasa-keakuan (maana) 'aku', dan bersama itu dengan hubungan bahwa obyek--yang terlihat dalam pengalaman-seketika--ADALAH YANG MENJADI PERHATIAN 'aku'. (Obyek yang terlihat dalam pengalaman-seketika itu disebut 'NAMA-RUPA', lihat Bab 6.)
Kata Pali 'maana', yang diterjemahkan menjadi 'rasa-keakuan', harus dipahami sebagai paduan antara 'konsep' dan 'kebanggaan'. Itu tidak begitu kering seperti 'konsep', dalam arti kata 'konsep' tidak membawa nuansa kesubyektifan (seperti istilah 'rasa-keakuan'); tetapi, di lain pihak, tidak sekasar 'kebanggaan'.
***
Dalam tahap #3 --"ia mengkonsepkan di dalam obyek"-- obyek itu DILIPUTI rasa-keakuan (konsep) 'aku'. Dengan terliputi ini, 'aku' bukan lagi sekadar konsep; ia menjadi konsep yang MEMPUNYAI ACUAN. Itu berarti, 'aku' bukan lagi sekadar ide, sekadar konsep, atau sekadar nama seperti dianggap oleh mereka yang memandang enteng ajaran Sang Buddha; melainkan itu adalah sebuah konsep (rasa-keakuan) yang mengacu pada sesuatu yang konkrit, dan sesuatu yang konkrit ITULAH 'aku'.
Mungkin contoh berikut dapat membantu untuk memahami apa yang dimaksud: saya melihat (mempersepsikan) seonggok benda di depan saya SEBAGAI onggok TERTENTU (dengan warna, bentuk tertentu dsb) dan bukan sebagai sesuatu yang lain -- (tahap #1); sekarang, selagi persepsi itu masih ada, saya mengkonsepkan 'kursi' -- (tahap #2); lalu menerapkan konsep itu pada onggok benda yang terlihat dalam pengalaman-seketika tadi -- (tahap #3). Pada tahap ini dari kesadaran akan onggok benda tadi, konsep 'kursi' tertambat pada kesadaran itu--menyadarinya SEBAGAI 'kursi'. Secara itu pula, pada tahap ini dari kesadaran akan obyek, rasa keakuan (konsep) 'aku' tertambat pada kesadaran itu--menyadarinya SEBAGAI 'aku'. Itulah sebabnya dikatakan "di dalam obyek"; dan ini benar-benar berarti menjadi satu, tak terpisahkan, dari pengalaman kesadaran (akan obyek) pada tahap atau tingkatan kesadaran ini.
Seperti akan dijelaskan nanti, tahap #3 ini adalah tahap yang sangat penting. Tetapi tahap ini tidak gampang terlihat.
***
Tahap #4 --"ia mengkonsepkan dari obyek"--adalah tahap di mana timbul PEMUNCULAN bahwa 'aku' adalah sesuatu yang TERPISAH dari obyek. Ini menunjukkan bahwa di tahap ini perhatian lebih ditujukan pada 'aku'.
***
Pada tahap #5 --"ia mengkonsepkan 'obyek untuk aku' "-- perpisahan itu sudah eksplisit. Dan hubungan yang terlihat antara 'aku' yang terlihat terpisah dengan obyek adalah bahwa obyek itu UNTUK 'aku'.
Dengan cara inilah, bagi puthujjana, apabila terjadi suatu pengalaman-seketika, pengalaman itu hadir secara EKSPLISIT di dalam pengalaman refleksifnya sebagai UNTUK AKU (Pali: 'me').
Pengalaman puthujjana itu bukan hanya tentang adanya sebuah obyek. Di dalam pengalamannya terdapat baik sebuah obyek yang hadir maupun sebuah SUBYEK YANG TAMPAK ADA, YANG KEPADANYA obyek itu hadir.
Jadi, ada sebuah obyek, dan TAMPAKNYA ada sebuah subyek--'aku'. Lebih jauh lagi, hubungan di antara keduanya ialah bahwa obyek MENJADI PERHATIAN subyek, atau MENJADI MILIK subyek. Subyek MENJADI TUAN dari obyek. Atau, obyek itu DIRAUP. Sehingga, pengalamannya adalah: "Obyek untuk aku", atau "Obyek milikku". ... Ini bukan berarti bahwa itulah pengalaman seutuhnya atau seluruhnya. Itu hanya berarti bahwa itu adalah bagian yang ESENSIAL atau PALING MENDASAR dari pengalaman itu. Kita dapat pula menyebutnya sebagai 'AKAR' (muula) dari pengalaman itu, dan yang dengan bertumpu padanya tegaklah faktor-faktor dominan lain dari pengalaman itu.
Sang Buddha mengajarkan bahwa kedua pengkonsepan 'aku' dan 'milikku' ini merupakan KECENDERUNGAN LATEN (anusaya). Keduanya dinamakan 'aha.nkaara-mama.nkaara-maanaanusaya' yang dapat diterjemahkan sebagai "kecenderungan laten pada rasa keakuan yang membentuk-'aku' dan membentuk-'milikku' " Itu berarti bahwa TIDAK ADA UPAYA DISENGAJA yang dilakukan untuk mengkonsepkan 'aku' dan 'milikku'. Tetapi sekalipun itu tanpa dikehendaki, tidak disengaja, namun--dalam arti kata yang ketat--termasuk kehendak (intentional). Dalam bahasa sehari-hari--tetapi dengan pembatasan tertentu--kita dapat mengacunya sebagai reaksi 'bawah sadar' puthujjana--artinya, puthujjana bereaksi terhadap berbagai hal secara ini TANPA DISENGAJA, dan tanpa SADAR bahwa ia bereaksi seperti itu (kecuali ia sudah diberitahu). Lebih jauh lagi, menggarap sesuatu (yakni pengalaman-seketika) sebagai 'aku' dan 'milikku' sama artinya dengan MEMBUAT sebuah 'aku' dan sebuah 'milikku'. Itu membuat-'aku' (aha.nkaara) dan membuat-'milikku' (maama.nkaara). Dengan kata lain, di situ terbuat 'aku' dan 'milikku'.
<bersambung di Kaskus>
Teman-teman pemeditasi vipassana yang ingin memahami
munculnya pikiran dan aku menurut ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta ini, silakan membaca lanjutan terjemahan ini di Kaskus. Semua yang dikatakan di sini akan terlihat jelas pada waktu Anda mengalami berhentinya pikiran dan aku.
Salam,
hudoyo