Sebenarnya Sang Buddha juga botak/gundul seperti pada bhikkhu lainnya karena dalam Majjhima Nikaya dikatakan bahwa saat meninggalkan istana, Pangeran Siddhattha memotong janggut dan rambutnya:
Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap kehidupan utama, walaupun ibu dan ayahku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambur dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. (Ariyapariyesana Sutta)
Kemudian dalam Nikaya yang sama (Sangarava Sutta) dikisahkan bahwa brahmana Sangarava menghina Sang Buddha sebagai "pertapa gundul" setelah mendengar seorang wanita brahmana yang berkeyakinan dalam Buddha, Dhamma, Sangha memuji Sang Bhagava:
Pada saat itu seorang brahmana perempuan bernama Dhānañjāni sedang menetap di Caṇḍalakappa, memiliki keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Suatu ketika ia tersandung, dan [ketika mengembalikan keseimbangannya] menyerukan tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna [210] dan tercerahkan sempurna!”
Pada saat itu seorang murid brahmana bernama Sangārava sedang menetap di Caṇḍalakappa. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Setelah mendengar brahmana perempuan Dhānañjāni mengucapkan kata-kata itu, ia berkata kepadanya: “Brahmana perempuan Dhānañjāni harus dipermalukan dan direndahkan, karena ketika ada para brahmana di sekitar sini ia justru memuji petapa gundul itu.”Dalam Samannaphala Sutta dikatakan bahwa Raja Ajatasattu tidak dapat mengenali Sang Buddha di antara para bhikkhu di hutan mangga milik tabib Jivaka sebelum sang tabib menunjukkan di mana Sang Buddha berada. Walaupun tidak dikatakan alasannya kenapa sang raja tidak dapat mengenali Sang Buddha, tetapi dapat dipastikan salah satunya karena Beliau juga berpenampilan layaknya para bhikkhu lainnya (gundul dan berjubah kuning).
Demikian juga dalam Mahapadana Sutta dikisahkan bahwa setelah melihat pertapa yang gundul, Bodhisatta Vipassi meninggalkan keduniawian dengan mencukur rambut dan janggutnya.
Hanya dalam komentar Pali seperti Nidanakatha (pendahuluan komentar Jataka) mengatakan bahwa setelah Pertapa Gotama memotong rambut dan janggut dengan menyisakan sedikit rambutnya (2 inchi), rambut tersebut tidak tumbuh lagi sepanjang hidup Beliau:
Then he thought, These locks of mine are not suited for a mendicant. Now it is right for any one else to cut the hair of a future Buddha, so I will cut them off myself with sword.' Then, taking his sword in his right hand, and holding the plaited tresses, together with the diadem on them, with his left, he cut them off. So his heir was thus reduced to two inches in length, and curling from the right, it lay close to his head. It remained that length as long as he lived, and the beard the same. There was no need at all to shave either hair or beard any more.
Kemungkinan gambaran Sang Buddha memiliki rambut berasal dari tradisi yang muncul kemudian, seperti yang terdapat dalam salah satu ciri manusia agung (Mahapurisa lakkhana) bahwa rambutnya menggulung ke arah kanan, yang juga terdapat dalam Lakkhana Sutta dari Digha Nikaya. Menurut Ramaprasad Chanda dalam artikelnya "The hair and the Usnisa on the head of the Buddha and the jinars":
So by the time when the sculptors of Mathura began to carve images of Gautama Buddha there were two rival traditions relating to hair on the Buddha's head: an older one now preserved in the Pali Nikayas represented Gautama as mundaka or shaven-headed monk; and another tradition preserved in the Mahavastu, the Lalitavistava and the Nidanakatha represented him as having cut his hair with his sword leaving part of it intact on the head. The shaven-headedd images of the Buddha found at Mathura, Mankuar and Sarnath represent the older tradition, and the images of the Buddha with hair on the head arranged in ringlets represent the other and more popular tradition, because it is found both in Sanskrit and Pali texts.
Sumber: http://ccbs.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-ENG/cha2.htm
Lihat juga pendapat bhikkhu S. Dhammika yang senada dengan hal ini dalam tulisan di blog beliau:
http://sdhammika.blogspot.com/2009/07/buddhas-hail.html