//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)  (Read 37284 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
113 Sappurisa Sutta
« Reply #15 on: 08 October 2010, 06:34:29 PM »
113  Sappurisa Sutta
Manusia Sejati




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang karakter seorang manusia sejati dan karakter seorang bukan manusia sejati.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, bagaimanakah karakter seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga bangsawan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, [38] dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang manusia sejati.

4-6. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga besar … dari keluarga kaya … dari keluarga berpengaruh mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga yang berpengaruh maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

7. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terkenal dan termasyhur mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku terkenal dan termasyhur; tetapi para bhikkhu ini tidak terkenal dan tidak termasyhur.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena kemasyhuran maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak terkenal dan tidak termasyhur, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati. [39]

8. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dengan mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh benda-benda ini.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena perolehannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena perolehan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak memperoleh apa pun, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena perolehan. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

9-20. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terpelajar … yang ahli dalam Disiplin … [40] … yang adalah seorang pembabar Dhamma … yang adalah seorang yang menetap di hutan … yang adalah seorang pemakai jubah bertambalan … [41] … yang adalah pemakan makanan yang didanakan … yang adalah seorang yang menetap di bawah pohon … [42] … yang adalah seorang yang menetap di tanah pekuburan  … yang adalah seorang yang menetap di ruang terbuka … yang adalah seorang yang terus-menerus duduk … yang adalah seorang pengguna alas tidur apa saja … yang adalah seorang yang makan satu kali sehari mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku adalah seorang yang makan satu kali sehari; tetapi para bhikkhu ini bukanlah orang-orang yang makan satu kali sehari.’  Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena ia adalah seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang bukanlahh seorang yang makan satu kali sehari, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

21. “Terlebih lagi, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian jhāna pertama; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian jhāna pertama.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi dengan pencapaian jhāna pertama yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’  [43] Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

22-24. “Terlebih lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdian dalam jhāna ke empat ...

25. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberragaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas ...

26. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas ... [44] ...

27. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan ...

28. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi dengan pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’ Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

29. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang manusia sejati masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.  Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatan dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini tidak menganggap apapun, ia tidak menganggap sehubungan dengan apapun, ia tidak menganggap dalam cara bagaimananpun.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
114 Sevitabbasevitabba Sutta
« Reply #16 on: 08 October 2010, 06:39:41 PM »
114  Sevitabbāsevitabba Sutta
Yang Harus Dilatih dan Tidak Boleh Dilatih




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang apa yang harus dilatih dan apa yang tidak boleh dilatih. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(PEMBABARAN PERTAMA)

3. “Para bhikkhu,  Perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.  Perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya. Perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya. Kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan Kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya. [46] Perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya. Perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya. Perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.”

(PENJELASAN PERTAMA)

4. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, sebagai berikut:

5. “Para bhikkhu, perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku jasmani yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku jasmani yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku jasmani yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang membunuh makhluk hidup; ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Ia mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Ia melakukan perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, dan bahkan dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Perilaku-perilaku jasmani demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku jasmani yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; ia tidak mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Dengan meninggalkan perbuatan salah dalam kenikmatan indria, ia menghindari perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, atau dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Perilaku-perilaku jasmani demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.’

6. “’Para bhikkhu, perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku ucapan yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku ucapan yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku ucapan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang mengucapkan kebohongan; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, [48] atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat’; dengan penuh kesadaran ia mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ia mengucapkan kata-kata fitnah; ia mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, atau ia mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang rukun, seorang pembuat perpecahan, yang menikmati perselisihan, bergembira dalam perselisihan, bersukacita dalam perselisihan, pengucap kata-kata yang menciptakan perselisihan. Ia berkata kasar; ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakiti orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang konsentrasi. Ia adalah seorang penggosip; ia berbicara di waktu yang salah, mengatakan apa yang tidak benar, mengatakan hal yang tidak berguna, mengatakan yang berlawanan dengan Dhamma dan Disiplin; pada waktu yang salah ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, melampaui batas, dan tidak bermanfaat. Perilaku-perilaku ucapan demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku ucapan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang, dengan meninggalkan kebohongan, menghindari ucapan salah; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat’; [49] ia tidak dengan penuh kesadaran mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Dengan meninggalkan kata-kata fitnah, ia menghindari kata-kata fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menciptakan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat. Perilaku-perilaku ucapan demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya.’

7. “’Perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang bersifat tamak; ia tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Atau ia memiliki pikiran berniat buruk dan niat membenci [50] sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh dan disembelih, semoga mereka dipotong, musnah, atau dibasmi!’ Perilaku-perilaku pikiran demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang tidak tamak; ia tidak tamak terhadap kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Pikirannya tanpa niat buruk dan ia memiliki kehendak yang bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari pemusuhan, penderitaan, dan ketakutan! Semoga mereka hidup berbahagia!’ Perilaku-perilaku pikiran demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’

8. “Kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, kecenderungan pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat [51] dalam diri seseorang yang melatihnya adalah kecenderungan yang tidak boleh dilatih. Tetapi kecenderungan pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah kecenderungan yang harus dilatih.

“Dan kecenderungan pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang  tamak dan berdiam dengan pikiran penuh ketamakan; ia memiliki niat buruk dan berdiam dengan pikiran penuh niat buruk; ia kejam dan berdiam dengan pikiran penuh kekejaman.  Kecenderungan pikiran demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan kecenderungan pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang  tidak tamak dan berdiam dengan pikiran terlepas dari ketamakan; ia tidak memiliki niat buruk dan berdiam dengan pikiran terlepas dari niat buruk; ia tidak kejam dan berdiam dengan pikiran terlepas dari kekejaman. Kecenderungan pikiran demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’

9. “Perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perolehan persepsi yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan persepsi yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan persepsi yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang  tamak dan berdiam dengan persepsi penuh ketamakan; ia memiliki niat buruk dan berdiam dengan persepsi penuh niat buruk; ia kejam dan berdiam dengan persepsi penuh kekejaman. Perolehan persepsi demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perolehan persepsi yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang  tidak tamak dan berdiam dengan persepsi terlepas dari ketamakan; ia tidak memiliki niat buruk dan berdiam dengan persepsi terlepas dari niat buruk; ia tidak kejam dan berdiam dengan persepsi terlepas dari kekejaman. Perolehan persepsi demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya.’ [52]


-----------------------
*** Bersambung

« Last Edit: 29 January 2012, 11:00:52 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
114 Sevitabbasevitabba Sutta (Lanjutan)
« Reply #17 on: 08 October 2010, 06:41:07 PM »
Lanjutann 114  Sevitabbāsevitabba Sutta
-----------------------------------------------------


10. “Perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perolehan pandangan yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan persepsi yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan pandangan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Perolehan pandangan demikian adalah penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perolehan pandangan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang menganut pandangan sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan ada dunia lain; ada ibu dan ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Perolehan pandangan demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya.’

11. “Perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan:  yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, [53] perolehan kepribadian yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan kepribadian yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan kepribadian yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Ketika seseorang membentuk suatu perolehan kepribadian yang tunduk pada penderitaan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang dalam dirinya, menghalanginya dari pencapaian kesempurnaan.

“Dan perolehan kepribadian yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Ketika seseorang membentuk suatu perolehan kepribadian yang bebas dari penderitaan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah dalam dirinya, memungkinkannya pencapaian kemuliaan.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.’

12. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN PERTAMA)

13. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

14-20. [54,55] (Dalam paragraf-paragraf ini Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§5-11, dengan menggantikan “Yang Mulia” menjadi “Sāriputta” dan oleh “oleh Sang Bhagavā” menjadi “olehKu.”)

21. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PEMBABARAN KE DUA)

22. “Sariputta, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.  Suara-suara yang dikenali oleh telinga ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Bau-bauan yang dikenali oleh hidung ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.”

(PENJELASAN KE DUA)

23. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, sebagai berikut:

24. “Sāriputta, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

25. “Suara-suara yang dikenali oleh telinga ada dua jenis, Aku katakan’ …

26. “Bau-bauan yang dikenali oleh hidung ada dua jenis, Aku katakan’ … [57]

25. “Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ada dua jenis, Aku katakan’ …

25. “Obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan ada dua jenis, Aku katakan’ …

26. “Obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

30. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN KE DUA)

13. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

14-20. (Dalam paragraf-paragraf ini Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§24-29, dengan penggantian kata seperlunya.)

21. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PEMBABARAN KE TIGA)

39. “Sāriputta, jubah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Makanan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Tempat tinggal ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Desa ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Pemukiman ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Kota ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Wilayah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.” [59]

40. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, sebagai berikut:

41. “’Sāriputta, jubah ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, jubah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi jubah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: jubah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

42. “’Makanan ada dua jenis, Aku katakan’ …

43. “’Tempat tinggal ada dua jenis, Aku katakan’ …

44. “’Desa ada dua jenis, Aku katakan’ …

45. “’Pemukiman ada dua jenis, Aku katakan’ …

46. “’Kota ada dua jenis, Aku katakan’ …

47. “’Wilayah ada dua jenis, Aku katakan’ …

48. “’Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, [pergaulan dengan] orang-orang yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi [pergaulan dengan] orang-orang yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

49. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terprinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN KE TIGA)

50. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

51-58. (Dalam paragraf-paragraf ini Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§41-48, dengan penggantian kata seperlunya.) [60]

59. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PENUTUP)

60.  “Sariputta, jika seluruh para mulia memahami makna secara terperinci demikian dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.  Jika seluruh para brahmana … seluruh para pedagang … seluruh para pekerja memahami makna secara terperinci demikian dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, raja-raja dan rakyatnya, memahami makna secara terperinci demikian dari ucapanKu, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia ini untuk waktu yang lama.” [61]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
115 Bahudhatuka Sutta
« Reply #18 on: 08 October 2010, 06:50:36 PM »
115  Bahudhātuka Sutta
Banyak Jenis Unsur




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketakutan apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; kesulitan apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; bencana apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Seperti halnya sebuah lumbung yang terbuat dari rumpun gelagah atau rerumputan akan membakar bahkan rumah-rumah beratap lancip, dengan dinding yang diplester luar dan dalam, yang tertutup, terkunci dengan palang, dengan jendela berpenutup; demikian pula, para bhikkhu, ketakutan apapun yang muncul … semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Demikianlah si dungu membawa ketakutan, si bijaksana tidak membawa ketakutan; si dungu membawa kesulitan, si bijaksana tidak membawa kesulitan; si dungu membawa bencana, si bijaksana tidak membawa bencana. Tidak ada ketakutan yang datang dari si bijaksana, tidak ada kesulitan yang datang dari si bijaksana, tidak ada bencana yang datang dari si bijaksana. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus menjadi orang bijaksana, kami harus menjadi penyelidik.’” [62]

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dengan cara bagaimanakah, Yang Mulia, seorang bhikkhu dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik?”

“Ketika, Ānanda, seorang bhikkhu terampil dalam unsur-unsur, terampil dalam landasan-landasan, terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan, terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin, dengan cara itulah ia dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik.”

(UNSUR-UNSUR)

4. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Terdapat, Ānanda, delapan belas unsur ini: unsur mata, unsur bentuk, unsur kesadaran-mata; unsur telinga, unsur suara, unsur kesadaran-telinga; unsur hidung, unsur bau-bauan, unsur kesadaran-hidung; unsur lidah, unsur rasa kecapan, unsur kesadaran-lidah; unsur badan, unsur obyek sentuhan, unsur kesadaran-badan; unsur pikiran, unsur obyek-pikiran, unsur kesadaran-pikiran. Ketika ia mengetahui dan melihat kedelapan belas unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

5. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

6. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur kenikmatan, unsur kesakitan, unsur kegembiraan, unsur kesedihan, unsur keseimbangan, dan unsur kebodohan. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

7. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur keinginan indria, unsur pelepasan keduniawian, unsur niat buruk, unsur tanpa niat buruk, [63] unsur kekejaman, dan unsur tanpa-kekejaman. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

8. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, tiga unsur ini: unsur alam-indria, unsur materi halus, dan unsur tanpa materi. Ketika ia mengetahui dan melihat ketiga unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

9. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, dua unsur ini: unsur terkondisi dan unsur tidak terkondisi. Ketika ia mengetahui dan melihat kedua unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

(LANDASAN-LANDASAN)

10. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan?”

“Terdapat, Ānanda, enam landasan indria internal dan eksternal ini: mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan obyek-obyek sentuhan, pikiran dan obyek-obyek pikiran.  Ketika ia mengetahui dan melihat keenam landasan internal dan eksternal ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan.”

(SEBAB-AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN)

11. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengetahui sebagai berikut: “Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [terjadi]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka [64] penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan terjadi. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan.

(YANG MUNGKIN DAN YANG TIDAK MUNGKIN)

12. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apa pun sebagai kekal – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap bentukan apa pun sebagai kekal – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apa pun sebagai menyenangkan – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap bentukan apa pun sebagai menyenangkan – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap apa pun sebagai diri – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap sesuatu sebagai diri – ada kemungkinan seperti itu.’

13. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ibunya – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ibunya – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahant – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahant – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat melukai seorang Tathāgata hingga berdarah – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat melukai seorang Tathāgata hingga berdarah – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru lain  – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru lain – ada kemungkinan seperti itu.’

14. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul  dalam satu sistem dunia – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul dalam satu sistem dunia – ada kemungkinan seperti itu.’

15. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang  laki-laki dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Sakka [66] … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Brahmā – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang laki-laki dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Sakka … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Brahmā – ada kemungkinan seperti itu.’

16. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salah - tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salah - ada kemungkinan seperti itu.’

17. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik… perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baik - tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik … perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baik - ada kemungkinan seperti itu.’

18. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … [67] menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga – tidak ada kemungkinan seperti itu.’  Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – ada kemungkinan seperti itu.’

19. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan benar dalam jasmani … [67] menekuni perbuatan benar dalam ucapan … menekuni perbuatan benar dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga – ada kemungkinan seperti itu.’

“Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.”

(PENUTUP)

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini, Ānanda, sebagai ‘Banyak Jenis Unsur’ dan sebagai ‘Empat Putaran’  dan sebagai ‘Cermin Dhamma’ dan sebagai ‘Tambur Keabadian’ dan sebagai ‘Kemenangan Tertinggi dalam Peperangan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
116 Isigili Sutta
« Reply #19 on: 11 October 2010, 02:00:37 AM »
116  Isigili Sutta
Isigili: Kerongkongan Para Petapa




[68] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Rājagaha, di Isigili – Kerongkongan Para Petapa. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat Gunung Vebhāra itu?”  – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vebhāra itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Paṇḍava itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Paṇḍava itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Vepulla itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vepulla itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Gijjhakuṭa itu – Puncak Nasar itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Gijjhakuṭa itu – Puncak Nasar itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Isigili itu – Kerongkongan Para petapa?” – “Ya, Yang Mulia.”

3. “Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Isigili – Kerongkongan Para Petapa itu. karena di masa lalu lima ratus paccekabuddha  menetap lama di gunung ini, Kerongkongan Para Petapa ini. Mereka terlihat memasuki bukit ini; begitu masuk, mereka tidak terlihat lagi. Orang-orang yang menyaksikan ini berkata: ‘Gunung ini menelan para petapa ini.’  Dan oleh karena itulah maka dinamakan ‘Kerongkongan Para Petapa.’ Aku akan memberitahu kalian, para bhikkhu, nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan menyampaikan kepada kalian nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan mengajarkan kepada kalian [69] nama-nama para paccekabuddha ini. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Paccekabuddha Ariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Upariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Tagarasikhin  … Yasassin … Sudassana … Piyadassin … Gandhāra … Piṇḍola … Upāsabha … Nītha … Tatha … Sutavā … Bhāvitatta menetap lama di Gunung Isigili.

5.    “Makhluk-makhluk suci ini, tanpa keinginan, bebas dari penderitaan,
   Yang masing-masing mencapai pencerahan oleh dirinya sendiri –
   Dengarkanlah Aku mengucapkan nama-nama orang-orang ini, Yang Termulia
   Di antara manusia, yang telah mencabut anak panah [kesakitan].

   Ariṭṭha, Upariṭṭha, Tagarasikhin, Yasassin,
   Sudassana, dan Piyadassin yang tercerahkan,
   Gandhāra, Piṇḍola, serta Upāsabha,
   Nītha, Tathā, Sutava, Bhāvitatta. [70]

6.    “Sumbha, Subha, Methula, dan Aṭṭhama,
   Kemudian Assumegha, Anīgha, Sudāṭha –
   Dan Hingū, dan Hinga, yang sangat perkasa,
   Para paccekabuddha yang telah menghancurkan saluran menuju penjelmaan.

   Dua bijaksana bernama Jāli, dan Aṭṭhaka,
   Kemudian Kosala yang tercerahkan, kemudian Subāhu,
   Upanemi, dan Nemi, dan Santacitta
   Baik dan benar, bersih dan bijaksana.

   Kāḷa, Upakāḷa, Vijita, dan Jita;
   Anga, dan panga, dan Gutijjita juga;
   Passin menaklukkan perolehan, akar penderitaan;
   Aparājita menaklukkan kekuatan Māra.

   Satthar, Pavattar, Sarabhanga, Lomahaṁsa,
   Uccangamāya, Asita, Anāsava,
   Manomaya, dan Bhandumant yang bebas dari kebanggaan,
   Tadādhimuta tanpa noda dan gemilang;

   Ketumbarāga, Mātanga, dan Ariya,
   Kemudian Accuta, Accutagāma, Byāmaka,
   Sumangala, Dabbila, Supatiṭṭhita,
   Asayha, Khemābhirata, dan Sorata,

   Durannaya, Sangha, dan kemudian Ujjaya;
   Sang bijaksana lainnya, pejuang mulia.
   Dan dua belas di antaranya – para Ānanda, Nanda, dan Upananda –
   Dan Bhāradvāja yang membawa jasmani terakhirnya;

   Kemudian Bodhi, Mahānāma yang tertinggi,
   Bhāradvāja dengan kepala berambut indah;
   Tisa dan Upatissa yang tidak terikat pada penjelmaan;
Upasīdarin, dan Sidarin, yang bebas dari keinginan.

   Mangala yang tercerahkan, bebas dari nafsu;
   Usabha memotong jaring, akar penderitaan.
   Upanita mencapai kondisi kedamaian,
   Murni, unggul, dinamai dengan benar.

   Jeta, Jayanta, Paduma, dan Uppala,
   Padumuttara, Rakkhita, dan pabbata, [71]
   Mānatthaddha yang agung, Vītarāga
   Dan Kaṇha yang tercerahkan dengan pikiran terbebaskan.

7.   “Orang-orang ini dan juga para paccekabuddha lainnya yang mulia dan perkasa
   Yang tidak lagi mengarah menuju penjelmaan –
   Hormatilah para bijaksana ini yang, setelah menyeberangi segala ikatan,
   Telah mencapai Nibbāna akhir, melampaui segala ukuran.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
117 Mahacattarisaka Sutta
« Reply #20 on: 11 October 2010, 02:01:53 AM »
117  Mahācattarisaka Sutta
Empat Puluh Besar



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang konsentrasi benar yang mulia dan pendukung serta perlengkapannya.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung serta perlengkapannya, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan perhatian benar? Keterpusatan pikiran yang dilengkapi dengan ketujuh faktor ini disebut konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung serta perlengkapannya.

(PANDANGAN)

4. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama.  Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

5. “Dan apakah, para bhikkhu, pandangan salah? ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada [72] para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah pandangan salah.

6. “Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pandangan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan;  dan ada pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

7. “Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

8. “Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Kebijaksanaan, indria kebijaksanaan, kekuatan kebijaksanaan, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, faktor sang jalan pandangan benar dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia:  ini adalah pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan,

9. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan pandangan salah dan memasuki pandangan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam pandangan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling pandangan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(KEHENDAK)

10. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami kehendak salah sebagai kehendak salah dan kehendak benar sebagai kehendak benar: ini adalah [73] pandangan benar seseorang.

11. “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak salah? Kehendak keinginan indria, kehendak niat buruk, dan kehendak kekejaman: ini adalah kehendak salah.

12. “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar? Kehendak benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan dan ada kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

13. “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa kekejaman:  ini adalah kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda ... matang dalam perolehan.

14. “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemikiran, pikiran, kehendak, pencerapan pikiran, ketetapan pikiran, pengarahan pikiran, bentukan ucapan dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia:  ini adalah kehendak benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

15. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan kehendak salah dan memasuki kehendak benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan kehendak salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam kehendak benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling kehendak benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(UCAPAN)

16. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami ucapan salah sebagai ucapan salah dan ucapan benar sebagai ucapan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

17, “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan salah? Kebohongan, ucapan jahat, ucapan kasar, dan gossip: ini adalah ucapan salah.

18. “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar? Ucapan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan dan ada [74] ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

19. “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip: ini adalah ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

20. “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari empat jenis perilaku ucapan yang salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku ucapan yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia:  ini adalah ucapan benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

21. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan ucapan salah dan memasuki ucapan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan ucapan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam ucapan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling ucapan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(PERBUATAN)

22. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami perbuatan salah sebagai perbuatan salah dan perbuatan benar sebagai perbuatan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

23, “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan salah? Membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan salah.

24. “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar? Perbuatan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

25. “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

26. “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari tiga jenis perilaku jasmani yang salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku jasmani yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah perbuatan  benar [75] yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.
 
27. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan memasuki perbuatan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan perbuatan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam perbuatan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling perbuatan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(PENGHIDUPAN)

28. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami penghidupan salah sebagai penghidupan salah dan penghidupan benar sebagai penghidupan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

29, “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan salah? Menipu, membujuk, mengisyaratkan, merendahkan, mengejar keuntungan dengan keuntungan: ini adalah penghidupan salah.

30. “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar? penghidupan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

31. “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia meninggalkan penghidupan salah dan memperoleh penghidupannya melalui penghidupan benar: ini adalah penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda ... matang dalam perolehan.

32. “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari penghidupan salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari penghidupan salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah penghidupan benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

33. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan penghidupan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam penghidupan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling penghidupan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(EMPAT PULUH BESAR)

34. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? [76] Pada seorang yang memiliki pandangan benar, muncul kehendak benar;  pada seorang yang memiliki kehendak benar, muncul ucapan benar; pada seorang yang memiliki ucapan benar, muncul perbuatan benar; pada seorang yang memiliki perbuatan benar, muncul penghidupan benar; pada seorang yang memiliki penghidupan benar, muncul usaha benar; pada seorang yang memiliki usaha benar, muncul perhatian benar; pada seorang yang memiliki perhatian benar, muncul konsentrasi benar; pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, muncul pengetahuan benar; pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, muncul pembebasan benar. Demikianlah, para bhikkhu, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki delapan faktor, Arahant memiliki sepuluh faktor.

35. “Di sana, para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Pada seorang yang memiliki pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki kehendak benar, kehendak salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki ucapan benar, ucapan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perbuatan benar, perbuatan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki penghidupan benar, penghidupan salah dilenyapkan [77] … Pada seorang yang memiliki usaha benar, usaha salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perhatian benar, perhatian salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, konsentrasi salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, pengetahuan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pembebasan benar, pembebasan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

36. “Demikianlah, para bhikkhu, terdapat dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat, dan terdapat dua puluh faktor pada sisi bermanfaat.  Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini telah diputar dan tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā mana pun atau siapa pun di dunia.

37. “Para bhikkhu, jika petapa atau brahmana manapun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini. Jika yang mulia itu mencela pandangan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pandangan salah. Jika yang mulia itu mencela kehendak benar, [78] maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki kehendak salah. Jika yang mulia itu mencela ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar … pengetahuan benar … pembebasan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pembebasan salah. jika petapa atau brahmana manapun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini.

38. “Para bhikkhu, bahkan para guru dari Okkala, Vassa dan Bhañña,  yang menganut doktrin non-kausaliotas, doktrin tidak-berbuat, dan doktrin nihilisme, tidak akan berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak. Mengapakah? Karena takut disalahkan, diserang, dan dibantah.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
118 Anapanasati Sutta
« Reply #21 on: 11 October 2010, 02:03:33 AM »
118  Ānāpānasati Sutta
Perhatian pada Pernafasan



(BAGIAN PENDAHULUAN)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra, bersama dengan banyak siswa senior terkenal – Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Mahā Kaccāna, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita, Yang Mulia Mahā Kappina, Yang Mulia Mahā Cunda, [79] Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa senior terkenal lainnya.

2. Pada saat itu para bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, telah mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

3. Pada saat itu – hari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama dalam upacara Pavāraṇā  - Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Aku puas dengan kemajuan ini. PikiranKu puas dengan kemajuan ini. Maka bangkitkanlah lebih banyak kegigihan lagi untuk mencapai yang belum tercapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk menembus apa yang belum ditembus. Aku akan tetap berada di sini di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.”

5. Para bhikkhu dari luar kota mendengar: “Sang Bhagavā akan tetap berada di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.” Dan para bhikkhu dari luar kota datang ke Sāvatthī untuk menemui Sang Bhagavā.

6. Dan para bhikkhu senior semakin intensif mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, [80] mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

7. Pada saat itu – hari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama Komudi di bulan ke empat - Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

8. “Para bhikkhu, kelompok ini bebas dari obrolan, kelompok ini bebas dari para pengoceh. Murni terdiri dari inti kayu. Demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang demikian adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia ini – demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga pemberian kecil yang diberikan kepada kelompok itu akan menjadi besar dan pemberian besar menjadi lebih besar – demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga jarang terlihat di dunia ini – demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga layak menempuh perjalan sejauh banyak liga dengan membawa tas perjalanan untuk menemuinya – demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini.

9. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

10. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

11. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan dengan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, telah menjadi yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke alam ini [81] untuk mengakhiri penderitaan - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

12. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi jatuh ke dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahan - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

13. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan empat landasan perhatian - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni empat jenis usaha benar … empat landasan kekuatan batin … lima indria … lima kekuatan … tujuh faktor pencerahan … Jalan Mulia Berunsur Delapan - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

14. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan cinta-kasih [82] … belas kasihan … kegembiraan altruistik … keseimbangan … meditasi kejijikan … persepsi ketidak-kekalan - para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan perhatian pada pernafasan.

(PERHATIAN PADA PERNAFASAN)

15. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi empat landasan perhatian. Ketika empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka hakl itu memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.

16. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

17. “Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

18. “Menarik nafas panjang, ia memahami:  ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami seluruh tubuh [nafas]’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami seluruh tubuh [nafas].’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

19. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kegembiraan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan.’  Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kenikmatan’; [83] ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kenikmatan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami bentukan batin; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami bentukan batin.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan batin; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan batin.’

20. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menggembirakan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menggembirakan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan membebaskan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan membebaskan pikiran.’

21. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan ketidak-kekalan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan ketidak-kekalan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan peluruhan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan peluruhan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lenyapnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lenyapnya.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lepasnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lepasnya.’

22. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar.

(MEMENUHI EMPAT LANDASAN PERHATIAN)

23. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, perhatian pada pernafasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian?

24. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu, dengan menarik nafas panjang, memahami: ‘Aku menarik nafas panjang,’ atau dengan mengembuskan nafas panjang, memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang’; dengan menarik nafas pendek, memahami: ‘Aku menarik nafas pendek,’ atau dengan mengembuskan nafas pendek, memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami seluruh tubuh [nafas]; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami seluruh tubuh [nafas]’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’ – pada saat itu ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu tubuh tertentu di antara tubuh-tubuh, yaitu nafas-masuk dan nafas-keluar.  Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

25. “Para bhikkhu, kapan pun [84] seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas panjang dengan mengalami kegembiraan’’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kegembiraan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami bentukan batin; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami bentukan batin;  berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan batin; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan batin  – pada saat itu ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu perasaan tertentu di antara perasaan-perasaan, yaitu mengamati dengan saksama pada nafas-masuk dan nafas-keluar.  Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

26. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas panjang dengan mengalami pikiran’’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami pikiran’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menggembirakan pikiran’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menggembirakan pikiran’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’;  berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan membebaskan pikiran’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan membebaskan pikiran’  – pada saat itu ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku tidak mengatakan bahwa ada pengembangan perhatian pada pernafasan pada seseorang yang lengah, yang tidak penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

27. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas panjang dengan merenungkan ketidak-kekalan’’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan ketidak-kekalan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan peluruhan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan peluruhan’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lenyapnya’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lenyapnya’;  berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lepasnya’; berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lepasnya’  – pada saat itu ia berdiam dengan merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Setelah melihat dengan kebijaksanaan pada ditinggalkannya ketamakan dan kesedihan, [85] ia mengamati secara saksama dengan keseimbangan.  Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

28. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernafasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian.


----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
118 Anapanasati Sutta (Lanjutan)
« Reply #22 on: 11 October 2010, 02:04:23 AM »
Lanjutan 118  Ānāpānasati Sutta
------------------------------------------


(MEMENUHI TUJUH FAKTOR PENCERAHAN)

29. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan?

30. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia -  pada saat itu perhatian yang tanpa mengendur kokoh dalam dirinya. Kapan pun perhatian yang tanpa mengendur kokoh dalam diri seorang bhikkhu – pada saat itu faktor pencerahan perhatian muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

31. “Dengan berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya. Kapan pun, dengan  berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya - pada saat itu faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

32. “Dalam diri seseorang yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya, maka kegigihan tanpa lelah dibangkitkan. Kapan pun kegigihan tanpa lelah dibangkitkan dalam diri seorang bhikkhu yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya - pada saat itu faktor pencerahan kegigihan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

33. “Dalam diri seseorang yang memiliki kegigihan yang terbangkitkan, kegembiraan yang bukan duniawi muncul. Kapan pun kegembiraan yang bukan duniawi muncul dalam diri seorang bhikkhu yang telah membangkitkan kegigihan – [86] pada saat itu faktor pencerahan kegembiraan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

34. “Dalam diri seseorang yang gembira, jasmani dan pikiran menjadi tenang. Kapan pun jasmani dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang gembira - pada saat itu faktor pencerahan ketenangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

35. “Dalam diri seseorang yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kapan pun pikiran terkonsentrasi dalam diri seorang bhikkhu yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatan - pada saat itu faktor pencerahan konsentrasi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

36. “Ia secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapan pun seorang bhikkhu secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian - pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

37. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

38. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

39. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … [87] … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

40. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan.  [88]

(MEMENUHI PENGETAHUAN DAN PEMBEBASAN SEJATI)

41. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati?

42. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.  Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.

43. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
119 Kayagatasati Sutta
« Reply #23 on: 11 October 2010, 02:06:03 AM »
119  Kāyagatāsati Sutta
Perhatian pada Jasmani



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Saat itu sejumlah bhikkhu sedang duduk di dalam aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.”

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasiNya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?” [89]

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.’ Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

3. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, perhatian pada jasmani dikembangkan dan dilatih agar berbuah besar dan bermanfaat besar?

(PERHATIAN PADA PERNAFASAN)

4. “Di sini seorang bhikkhu,  pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami seluruh tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami seluruh tubuh.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan; dengan ditinggalkannya hal-hal itu pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(EMPAT POSTUR)

5. “Kemudian, para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘aku sedang berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘aku sedang duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘aku sedang berbaring’; atau ia memahami bagaimana pun posisi tubuhnya. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [90]

(KEWASPADAAN PENUH)

6. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju dan mundur; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan dan ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menekuk dan meregangkan anggota-anggota badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar atau buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(KEJIJIKAN – BAGIAN-BAGIAN TUBUH)

7. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’ Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:’ Ini adalah beras-gunung, Ini adalah beras-merah, Ini adalah kacang, Ini adalah kacang polong, Ini adalah padi-padian, ini adalah beras putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [91]

(UNSUR-UNSUR)

8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(PERENUNGAN SEMBILAN TANAH PEKUBURAN)

9. “Kemudian, para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan,   satu, dua atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

10. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [92]

11-14. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arah – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorak - seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

15-17. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, tulang-belulang yang lebih dari setahun …, tulang-belulangnya hancur dan remuk menjadi debu, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(JHĀNA-JHĀNA)

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian  menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu [93] basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

19. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

20. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, [94] dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

21. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.


------------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
119 Kayagatasati Sutta (Lanjutan)
« Reply #24 on: 11 October 2010, 02:06:59 AM »
Lanjutan 119  Kāyagatāsati Sutta
-------------------------------------------




(KEMAJUAN MELALUI PERHATIAN PADA JASMANI)

22. “Para bhikkhu, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apapun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati.  Seperti halnya siapa pun juga yang memperluas pikirannya menjangkau samudera raya telah memasukkan dalam pikirannya sungai-sungai apapun juga yang mengalir ke samudera; demikian pula, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apapun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati.

23. “Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebongkah bola batu berat ke atas gundukan tanah liat yang basah. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah bola berat itu akan masuk ke dalam gundukan tanah liat basah itu?” – “Benar, Yang Mulia.” – [95] “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

24. “Misalkan terdapat sepotong kayu kering tanpa getah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan sepotong kayu kering tanpa getah itu dengan kayu api sebelah atas?” – “Dapat, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

25. “Misalkan terdapat sebuah kendi air yang kosong di letakkan di atas sebuah bidang, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?” - “Dapat, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

26. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebuah bola benang yang ringan pada sebidang daun pintu yang terbuat dari inti kayu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah bola benang yang ringan itu dapat masuk menembus daun pintu yang terbuat dari inti kayu itu?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.
 
27. “Misalkan terdapat sepotong kayu basah bergetah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ [96] Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkannya dengan  sepotong kayu basah bergetah itu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

28. “Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?” - “Tidak, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

29. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apapun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apapun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai. Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Jika seorang kuat menepuknya, apakah air itu akan memercik keluar?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apapun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apapun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

30. “Misalkan terdapat sebuah kolam persegi empat di atas tanah datar, dikelilingi oleh dinding, penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Ketika seorang kuat melepaskan dindingnya, apakah airnya akan keluar?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apapun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

31. “Misalkan terdapat sebuah kereta di atas tanah datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda dari keturunan murni, menunggu dengan tongkat kendali siap digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang di tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, mengendarainya ke sana kemari melalui jalan-jalan yang ia pilih. “Demikian pula, para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apapun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

(MANFAAT DARI PERHATIAN PADA JASMANI)

32. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan. Apakah sepuluh ini?

33. (i) “Seseorang menjadi penakluk ketidak-puasan dan kesenangan, dan ketidak-puasan tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketidak-puasan pada saat munculnya.

34. (ii) “Seseorang menjadi penakluk ketakutan dan kekhawatiran, dan ketakutan dan kekhawatiran tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketakutan dan kekhawatiran pada saat munculnya.

35. (iii) “Seseorang menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, dan kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan ucapan-kasar, kata-kata yang tidak menyenangkan dan perasaan jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, menyiksan, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan.

36. (iv) “Seseorang sesuai kehendaknya dan tanpa kesulitan atau kesusahan memperolah empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan [98] memberikan kediaman yang nyaman di sini dan saat ini.

37. (v) “Seseorang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … (seperti Sutta 108, §18) … ia mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma.

38. (vi) “Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengarkan kedua jenis suata, surgawi dan manusia, suara-suara yang jauh maupun dekat.

39. (vii) “Seseorang memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu … (seperti Sutta 108, §20) … pikiran tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.

40. (viii) “Seseorang mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, [99] satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampaunya.

41. (ix) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk-rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka.

42. (x) “Dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

43. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para Bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
120 Sankharupapatti Sutta
« Reply #25 on: 11 October 2010, 02:08:23 AM »
120  Sankhārupapatti Sutta
Kemunculan Kembali Melalui Aspirasi



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kemunculan kembali sesuai dengan aspirasi seseorang.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia.” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para mulia kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. [100] Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

4-5. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para brahmana kaya! … di tengah-tengah para perumah tangga kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Empat Raja Dewa berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga … para Yāma … para dewa di alam surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan [101] … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana.  bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan sebutir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. bhikkhu itu berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

13-16. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Dua Ribu … Brahmā Tiga Ribu … Brahmā Empat Ribu … Brahmā Lima Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia lima ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan lima butir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia Lima Ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. bhikkhu itu berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Lima Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Sepuluh Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi [102] satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Sepuluh Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seratus Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebuah perhiasan terbuat dari emas terbaik, yang dengan sangat terampil ditempa di atas tungku oleh seorang pengrajin emas yang cerdas, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seratus Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

19-32. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa Bercahaya  … para dewa dengan Cahaya Terbatas … para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas … para dewa dengan Cahaya Gemilang … para Dewa Agung … para dewa dengan Keagungan Terbatas … para dewa dengan Keagungan Tanpa Batas … para dewa dengan Keagungan Gemilang … [103] … para dewa dengan Buah Besar … para dewa Aviha … para dewa Atappa … para dewa Sudassa … para dewa Sudassī … para dewa Akaniṭṭha berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa Akaniṭṭha!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

33-36. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam landasan ruang tanpa batas … para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas … para dewa di alam landasan kekosongan … para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi Ia berpikir: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

37. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘Oh, bahwa dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, aku di sini dan saat ini dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ dan dengan menembusnya dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Para bhikkhu, bhikkhu ini sama sekali tidak muncul kembali di manapun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
 

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
121 Culasunnata Sutta
« Reply #26 on: 15 October 2010, 05:40:09 PM »
121  Cūḷasuññata Sutta
Khotbah Pendek tentang Kekosongan



[104] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya, mendatangi Sang Bhagavā, setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Yang Mulia, pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Nagaraka. Di sana, Yang Mulia, aku mendengar dan mempelajari hal ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sekarang, Ānanda, Aku sering berdiam dalam kekosongan.’  Apakah aku mendengar dengan benar, Yang Mulia, apakah aku mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar?”

“Tentu saja, Ānanda, engkau mendengar hal itu dengan benar, mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar. Seperti sebelumnya, Ānanda, demikian pula sekarang aku juga sering berdiam dalam kekosongan.

4. “Ānanda, seperti halnya istana Ibunya Migāra ini kosong dari gajah-gajah, sapi-sapi, kuda-kuda jantan, dan kuda-kuda betina, kosong dari emas dan perak, kosong dari kumpulan laki-laki dan perempuan, dan hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada Sangha para bhikkhu; demikian pula, seorang bhikkhu – dengan tidak memperhatikan persepsi desa, tidak memperhatikan persepsi orang-orang – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.  Pikirannya memasuki persepsi hutan itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi desa, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’  Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi desa; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa [105] yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

5. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi orang-orang, tidak memperhatikan persepsi hutan – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.  Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Seperti halnya kulit seekor sapi jantan menjadi bebas dari lipatan jika direntangkan dengan seratus pasak; demikian pula, seorang bhikkhu – dengan tidak memperhatikan perbukitan dan cekungan di tanah ini, tidak memperhatikan sungai-sungai dan jurang, bidang bertunggul dan berduri, pegunungan dan tempat-tempat yang tidak datar – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah. Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

6. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi hutan, tidak memperhatikan persepsi tanah – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.  Pikirannya memasuki persepsi landasan ruang tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga [106] yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

7. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi tanah, tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batas – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Pikirannya memasuki persepsi landasan kesadaran tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

8. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batas – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan. Pikirannya memasuki persepsi landasan kekosongan itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas; [107] bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

9. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan – memperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Pikirannya memasuki persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

10. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak memperhatikan persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi – memperhatikan ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran.  Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan [108] dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

11. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhu - dengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak menuruti persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi – menuruti ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan tekad. Ia memahami: ‘Konsentrasi pikiran tanpa gambaran ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun hjuga yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’  Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

12. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apapun juga yang bergantung pada noda keinginan indria, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apapun juga yang bergantung pada noda penjelmaan; Gangguan apapun juga yang bergantung pada noda kebodohan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari noda keinginan indria; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda penjelmaan; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda kebodohan. Hanya ada ketidak-kosongan ini, yaitu, yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, [109] tidak menyimpang, dan murni, yang mulia dan tidak terlampaui

13. “Ānanda, para petapa dan brahmana manapun di masa lampau yang telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. para petapa dan brahmana manapun di masa depan yang akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. para petapa dan brahmana manapun di masa sekarang yang masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Oleh karena itu, Ānanda, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
122 Mahasunnata Sutta
« Reply #27 on: 15 October 2010, 05:41:08 PM »
122  Mahāsuññata Sutta
Khotbah Panjang tentang Kekosongan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi untuk melewatkan hari ke kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Pada saat itu terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya.  Ketika Sang Bhagavā melihat ini, [110] Beliau berpikir: “Ada banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda, bersama dengan banyak bhikkhu, sedang sibuk membuat jubah di Ghāṭā kediaman Sakya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan pergi ke Ghāṭā kediaman Sakya. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda.

“Ānanda, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

“Yang Mulia, banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Aada banyak bhikkhu menetap di sana. ini adalah waktunya bagi kami untuk membuat jubah, Yang Mulia.”

3. “Ānanda, seorang bhikkhu tidak bersinar dengan menyenangkan teman-teman, dengan bergembira bersama teman-teman, dengan menekuni kegembiraan bersama teman-teman; dengan menyenangkan perkumpulan, dengan bergembira bersama perkumpulan, dengan menekuni kegembiraan bersama perkumpulan; sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan, akan tanpa kesulitan atau kesusahan,  jika ia menghendaki, dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan.  Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, jika ia menghendaki maka ia akan dapat, tanpa kesulitan atau kesusahan, memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan.

4. “Sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan.  Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, maka ia akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [111]

5. “Aku tidak melihat bahkan satu jenis bentuk pun, Ānanda, yang dari perubahannya tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menggemarinya dan bergembira di dalamnya.

6. “Akan tetapi, Ānanda, ada kediaman ini yang telah ditemukan oleh Sang Tathāgata: untuk masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal dengan tidak memperhatikan segala gambaran.  Jika, sewaktu Sang Tathāgata sedang berdiam demikian, Beliau didatangi oleh para bhikkhu atau para bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki atau perempuan, oleh raja-raja atau menteri-menteri, oleh para penganut sekte lain atau murid-murid mereka, maka dengan pikiran yang bersandar pada keterasingan, cenderung dan condong pada keterasingan, menarik diri, gembira dalam pelepasan keduniawian, dan sama sekali menyingkirkan hal-hal yang menjadi landasan bagi noda-noda, Beliau tanpa mengecualikan berbicara kepada mereka dengan suatu cara yang dapat membubarkan mereka.

7. “Oleh karena itu, Ānanda, jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal,’ maka ia harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya. Dan bagaimanakah ia mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya?

8. “Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya. [112]

9. “Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal.  Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan.  Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

10. “Kemudian bhikkhu itu harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran konsentrasi yang sama itu seperti sebelumnya.  Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya masuk ke dalam kekosongan secara internal dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

11. “ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berjalan, maka ia berjalan, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berjalan demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ [113] Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. dan ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berdiri, maka ia berdiri … jika pikirannya condong untuk duduk, maka ia duduk … jika pikirannya condong untuk berbaring, maka ia berbaring, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berbaring demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

12. “ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berbicara, maka ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang para raja, para perampok, para menteri, para prajurit, bahaya-bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan-kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur-sumur, orang-orang mati, hal-hal sepele, asal-mula dunia, asal-mula lautan, apakah hal-hal itu adalah demikian atau tidak demikian: pembicaraan demikian tidak akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari menyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: pembicaraan demikian akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

13. “ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, [114] jika pikirannya condong untuk berpikir, maka ia berketetapan: ‘Pikiran demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pikiran keinginan indria, pikiran berniat buruk, dan pikiran kekejaman: pikiran demikian tidak akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pemikiran demikian adalah mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang melatihnya menuju pelenyapan penderitaan sepenuhnya, yaitu, pikiran pelepasan keduniawian, pikiran tanpa niat-buruk, dan pikiran tanpa-kekejaman: pikiran-pikiran demikian akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

14. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini.  Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidup ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

15. “Di sini seorang bhikkhu harus terus-menerus memeriksa npikirannya sebagai berikut: ‘Apakah ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku?’ jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini memang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Tetapi jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Tidak ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

16. “Ānanda, terdapat lima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan.  Sehubungan dengannya seorang bhikkhu harus berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah [115] munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya.’

17. “Ketika ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka keangkuhan ‘aku’ yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini ditinggalkan dari dalam dirinya. Ketika itu, bhikkhu itu memahami: ‘Keangkuhan “aku” yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

18. “Kondisi-kondisi ini adalah seluruhnya bermanfaat dan memiliki hasil bermanfaat; kondisi-kondisi ini mulia, melampaui duniawi, dan tidak terjangkau oleh Yang Jahat.

19. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Kebaikan apakah yang dilihat oleh seorang siswa sehingga ia ingin berdekatan dengan Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

20. “Ānanda, seorang siswa seharusnya tidak mendekati Sang Guru demi khotbah-khotbah, syair-syari, dan penjelasan-penjelasan. Mengapakah? Sejak lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, menghafalkannya, membacanya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran,m dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, dan yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari menyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi.

21. “Karena hal ini, Ānanda, kegagalan seorang guru dapat terjadi, kegagalam seorang murid dapat terjadi, dan kegagalan seorang yang menjalani kehidupan suci dapat terjadi.

22. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang guru terjadi? Di sini seorang guru mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, [116] belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Guru ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan guru. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan guru terjadi.

23. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang murid terjadi? Seorang murid dari guru itu, meniru keterasingan gurunya,  mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Murid ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan murid. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan murid terjadi.

24. “Dan bagaimanakah kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci terjadi? di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, namun ia tidak menjadi tersesat, atau menjadi dipenuhi dengan keinginan, tidak menyerah pada keinginan, dan tidak kembali kepada kemewahan. [117] Tetapi seorang murid dari guru ini, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Orang ini yang menjalani kehidupan suci dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Demikianlah terjadinya kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci memiliki akibat yang lebih menyakitkan, akibat yang lebih pahit, daripada kegagalan guru atau kegagalan murid, dan hal ini bahkan dapat mengarah menuju kesengsaraan.

25. “Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai musuh, bukan sebagai teman? Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini aadlah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya tidak ingin mendengarkan atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka melakukan kekeliruan dan berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai musuh, bukan sebagai teman.

26. “Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai teman, bukan sebagai musuh? Di sini, Ānanda. Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya ingin mendengar dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka tidak melakukan kekeliruan dan tidak berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai teman, bukan sebagai musuh. [118] Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.

27. “Aku tidak akan memperlakukan engkau seperti seorang pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat kasar yang basah. Berulang-ulang untuk mencegah kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Berulang-ulang untuk menegur kalian, Aku  akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Inti yang benar akan bertahan [terhadap pengujian].”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
123 Acchariya-abbhuta Sutta
« Reply #28 on: 15 October 2010, 05:42:35 PM »
123  Acchariya-abbhūta Sutta
Mengagumkan dan Menakjubkan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuam, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, betapa sakti dan berkuasanya Sang Tathāgata! Karena Beliau mampu mengetahui tentang para Buddha masa lampau – yang mencapai Nibbāna akhir, memotong [kekusutan] proliferasi, mematahkan siklus, mengakhiri lingkaran, dan mengatasi segala penderitaan – bahwa kelahiran para Bhagavā itu adalah seperti demikian, nama mereka adalah demikian, suku mereka adalah deikian, moralitas mereka adalah denikian, kondisi [konsentrasi] mereka adalah demikian, kebijaksanaan mereka adalah demikian, kediaman mereka [di dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasan mereka adalah demikian.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” [119]

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasiNya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?”

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan ... kebebasan mereka adalah demikian.’ Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada kami: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkaat kepada Yang Mulia Ānanad: “Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah dengan lebih lengkap tentang kualitas-kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata.”

3. “Aku mendengar dan mempelajari ini, Yang Mulia, dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita.’  Bahwa [120] dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita. Ini kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

4. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

5. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sepanjang umur kehidupan penuh Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

6. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

7. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibunya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya – cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana.  Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

8. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya, empat dewa muda datang untuk menjaganya di empat penjuru agar tidak ada manusia atau bukan-manusia atau siapapun dapat mencelakai Sang Bodhisatta atau ibunya.’  Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

9. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya, sang ibu menjadi sungguh-sungguh bermoral, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku salah dalam kenikmatan indria, kebohongan, dan anggur, meniman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan kelengahan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [121]

10. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya, tidak ada pikiran indriawi yang muncul pada ibunya sehubungan dengan laki-laki, dan ia tidak tersentuh oleh laki-laki manapun yang memiliki pikiran bernafsu.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

11. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya, sang ibu memperoleh kelima utas kenikmatan indria, dan memilikinya, ia menikmatinya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

12. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya, tidak ada penderitaan apapun yang muncul pada sang ibu; ia bahagia dan bebas dari kelelahan jasmani. Ia melihat Sang Bodhisatta di dalam rahimnya dengan seluruh bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan organ-organ indria. Misalkan terdapat seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, dan seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: “Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya.” Demikian pula, ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibunya ... lengkap dengan organ-organ indria.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [122]

13. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ’Tujuh hari setelah kelahiran Sang Bodhisatta, sang ibu meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.’  Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

14. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ’Para perempuan lain melahirkan setelah mengandung anaknya dalam rahim selama sembilan atau sepuluh bulan, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkanNya setelah mengandungNya selama tepat sepuluh bulan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

15. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ’Para perempuan lain melahirkan dalam posisi duduk atau berbaring, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkanNya dalam posisi berdiri.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

16. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, pertama-tama para dewa menerimaNya, kemudian manusia.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

17. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, Beliau tidak menyentuh tanah. Empat dewa muda menerimanya dan mengangkatnya di depan sang ibu dengan mengatakan: “Bergembiralah, O Ratu, seorang putera dengan kekuasaan luar biasa telah engkau lahirkan.”’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

18. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, Beliau keluar dalam keadaan bersih, tidak berlumuran [123] air atau cairan atau darah atau kotoran apapun juga, bersih, dan tanpa noda. Misalkan terdapat sebutir permata yang diletakkan di atas sehelai kain Kāsi, maak permata itu tidak mengotori kain atau kain mengotori permata. Mengapakah? Karena kemurnian keduanya. Demikian pula Sang Bodhisatta keluar ... bersih, dan tanpa noda.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

19. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, dua pancuran air memancar dari angkasa, satu sejuk dan satu hangat, untuk memandikan Sang Bodhisatta dan ibunya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

20. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Segera setelah Sang Bodhisatta lahir, Beliau berdiri tegak dengan kaki menginjak tanah; kemudian Beliau berjalan tujuh langkah ke arah utara, dan dengan payung putih memayungiNya, Beliau mengamati tiap-tiap penjuru dan mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok: “Akulah yang tertinggi di dunia; Akulah yang terbaik di dunia; Akulah yang terkemuka di dunia. Inilah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru bagiKu.”’  Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

21. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan bahkan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya – [124] cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana.’ Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa ... Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

22. “Karena itu, Ānanda, ingatlah ini juga sebagai kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata: Di sini, Ānanda, bagi Sang Tathāgata perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya.  Ingatlah ini juga, Ānanda, sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

23. “Yang Mulia, karena bagi Sang Bhagavā perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya - Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
124 Bakkula Sutta
« Reply #29 on: 15 October 2010, 05:43:21 PM »
124  Bakkula Sutta
Bakkula



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Bakkula sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Acela Kassapa, seorang teman dari Yang Mulia Bakkula dalam kehidupan awamnya, [125] mendatangi Yang Mulia Bakkula dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Bakkula:

3. “Teman Bakkula, sudah berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian?”

“Sudah delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, Teman.”

“Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini berapa kalikah engkau melakukan hubungan seksual?”

“Teman Kassapa, engkau seharusnya tidak menanyakan kepadaku pertanyaan demikian. Engkau seharusnya mengajukan pertanyaan seperti berikut: ‘Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini berapa kalikah persepsi-persepsi keinginan indria muncul padamu?”

“Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini berapa kalikah persepsi-persepsi keinginan indria muncul padamu?”

“Teman Kassapa, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat ada persepsi keinginan indria yang pernah muncul padaku.”

[Bahwa dalam delapan puluh tahun sejak meninggalkan keduniawian Yang Mulia Bakkula tidak ingat ada persepsi keinginan indria yang pernah muncul padanya – ini kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

4-5. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat ada persepsi niat buruk ... persepsi kekejaman yang pernah muncul padaku.”

[Bahwa dalam delapan puluh tahun sejak meninggalkan keduniawian Yang Mulia Bakkula tidak ingat ada persepsi niat buruk ... persepsi kekejaman yang pernah muncul padanya – ini kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

6. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat ada pikiran keinginan indria yang pernah muncul padaku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

7-8. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat ada pikiran niat buruk ... pikiran kekejaman yang pernah muncul padaku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.] [126]

9-15. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah menerima jubah yang diberikan oleh seorang perumah tangga  ... pernah mengenakan jubah yang diberikan oleh seorang perumah tangga ... pernah memotong jubah menggunakan pemotong ... pernah menjahit jubah menggunakan jarum ... pernah mewarnai jubah dengan mencelup ... pernah menjahit jubah pada waktu kaṭhina ... pernah bekerja membuat jubah untuk teman-teman dalam kehidupan suci.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

16-19. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah menerima undangan makan ... pernah memunculkan pikiran: ‘Oh, semoga seseorang mengundangku makan!’ ... pernah duduk di dalam rumah ... pernah makan di dalam rumah.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

20-25. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah menggenggam gambaran dan ciri-ciri seorang perempuan ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang perempuan, bahkan hanya sebanyak empat baris syair ... pernah mengunjungi kediaman para bhikkhunī ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhunī ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang perempuan yang sedang dalam masa percobaan ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang samaṇerī.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

26-29. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah memberikan pelepasan keduniawian ... pernah memberikan penahbisan penuh ... pernah memberikan ketergantungan ... pernah memiliki seorang samaṇera melayaniku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]


30-37. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah mandi di rumah pemandian ... pernah mandi dengan menggunakan bubuk mandi ... pernah memijat bagian-bagian tubuh temanku dalam kehidupan suci [127] ... pernah mengalami penderitaan bahkan selama waktu yang diperlukan untuk memerah susu sapi ... pernah membawa-bawa obat, bahkan yang sekecil sebutir biji kecil ... pernah menggunakan bantal ... pernah menyiapkan tempat tidur ... pernah memasuki tempat kediaman masa vassa di dalam tempat tinggal di sebuah desa.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

38. “Teman, selama tujuh hari setelah meninggalkan keduniawian aku memakan dana makanan dari desa sebagai seorang penghutang; pada hari ke delapan pengetahuan akhir muncul.”

[Bahwa selama tujuh hari Yang Mulia Bakkula memakan dana makanan dari desa sebagai seorang penghutang, adn pada hari ke delapan pengetahuan akhir muncul – ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

39. [Kemudian Acela Kassapa berkata:] “Aku ingin menerima pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin ini, aku ingin menerima penahbisan penuh.” Dan Acela Kassapa menerima pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin ini, ia menerima penahbisan penuh.  Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Kassapa, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya anggota-anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Kassapa menjadi salah satu di antara para Arahant.

40. Kemudian, pada kesempatan lain, Yang Mulia Bakkula mengambil kunci dan mendatangi satu kediaman ke kediaman lagi, dengan mengatakan: “Kemarilah, Para Mulia; Kemarilah, Para Mulia. Hari ini aku akan mencapai Nibbāna akhir.”

[Bahwa Yang Mulia Bakkula mengambil kunci dan mendatangi satu kediaman ke kediaman lagi, dengan mengatakan: “Kemarilah, Para Mulia; Kemarilah, Para Mulia. Hari ini aku akan mencapai Nibbāna akhir.” - ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.] [128]

41. Kemudian, sambil duduk di tengah-tengah Sangha para bhikkhu, Yang Mulia Bakkula mencapai Nibbāna akhir.

[Bahwa, sambil duduk di tengah-tengah Sangha para bhikkhu, Yang Mulia Bakkula mencapai Nibbāna akhir - ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

 

anything