//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)  (Read 37250 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
125 Dantabhumi Sutta
« Reply #30 on: 15 October 2010, 05:44:47 PM »
125  Dantabhūmi Sutta
Tingkatan Kejinakan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu Samaṇera Aciravata sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pangeran Jayasena, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi Samaṇera Aciravata dan saling bertukar sapa dengannya.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Samaṇera Aciravata: “Guru Aggivessana, aku telah mendengar bahwa seorang bhikkhu yang berdiam di sini yang rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.”

“Demikianlah, Pangeran, demikianlah. Seorang bhikkhu yang berdiam di sini yang rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.”

3. “Baik sekali jika Guru Aggivessana dapat mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai.”

“Aku tidak dapat mengajarkan Dhamma kepadamu, Pangeran, seperti yang kudengar dan kukuasai. Karena jika aku mengajarkan Dhamma kepadamu seperti yang kudengar dan kukuasai, engkau tidak dapat memahami kata-kataku, dan hal itu akan melelahkan dan menyusahkan aku.” [129]

4. “Sudilah Guru Aggivessana mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai. Mungkin aku dapat memahami makna dari kata-katanya.”

“Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu, Pangeran, seperti yang kudengar dan kukuasai. Jika engkau dapat memahami makna dari kata-kataku, maka itu bagus. Tetapi jika engkau tidak dapat memahami maknanya, maka biarkanlah demikian dan jangan bertanya kepadaku lebih lanjut.”

“Sudilah Guru Aggivessana mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai. Jika aku dapat memahami makna dari kata-katanya, maka itu bagus. Tetapi jika aku tidak dapat memahami maknanya, maka aku akan membiarkannya demikian dan aku tidak akan bertanya kepadanya lebih lanjut.”

5. Kemudian Samaṇera Aciravata mengajarkan Dhamma kepada Pangeran Jayasena seperti yang ia dengar dan ia kuasai. Setelah ia selesai berbicara, Pangeran Jayasena berkata: “Mustahil, Guru Aggivessana, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.” Kemudian setelah menyatakan kepada Samaṇera Aciravata bahwa hal ini mustahil dan tidak mungkin terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.

6. Segera setelah Pangeran Jayasena pergi, Samaṇera Aciravata menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan melaporkan kepada Sang Bhagavā tentang keseluruhan percakapannya dengan Pangeran Jayasena. Ketika ia telah selesai, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

7. “Aggivessana, bagaimana mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria, menikmati kenikmatan indria, dimangsa oleh pikiran kenikmatan indria, ditelan oleh pikiran kenikmatan indria, cenderung mencari kenikmatan indria, [130] dapat mengetehahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian? Itu adalah tidak mungkin.

8. “Misalkan  terdapat dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, dan dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang tidak jinak dan tidak disiplin. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah kedua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, karena jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak?” -“Benar, Yang Mulia.” – “Tetapi Apakah kedua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang tidak jinak dan tidak disiplin, karena tidak jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak, seperti dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Demikian pula, Aggivessana, adalah tidak mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria ... dapat mengetehahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian.

9. “Misalkan, Aggivessana, terdapat sebuah gunung tinggi tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan dua sahabat meninggalkan desa atau pemukiman itu dan bersama-sama pergi mendatangi gunung itu. Setelah sampai di sana, salah satu sahabat tetap berada di kaki gunung sementara yang lainnya akan mendaki ke puncak gunung. Kemudian sahabat yang berada di kaki gunung akan berkata kepada sahabat yang berdiri di puncak gunung: ‘Sahabat, apakah yang engkau lihat, dengan berdiri di puncak gunung?’ dan yang lainnya menjawab: ‘Dengan berdiri di puncak gunung, Sahabat, aku melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian sahabat pertama berkata: ‘Mustahil, [131] Sahabat, tidak mungkin terjadi bahwa dengan berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’

“Kemudian sahabat ke dua turun ke kaki gunung, menarik tangan sahabatnya, dan mendaki ke puncak gunung. Setelah memberinya beberapa saat untuk menarik nafas, ia bertanya: ‘Baiklah, Sahabat, dengan berdiri di puncak gunung, apakah yang engkau lihat?’ dan sahabatnya menjawab: ‘Dengan berdiri di puncak gunung, Sahabat, aku melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian yang lain berkata: ‘Sahabat, barusan tadi kami mendengar engkau berkata: “Mustahil, Sahabat, tidak mungkin terjadi bahwa dengan berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman yang indah ... kolam-kolam yang indah.” Kemudian sahabat pertama menjawab: ‘Karena aku terhalang oleh gunung tinggi ini, aku tidak melihat apa yang terlihat di sana.’

10. “Demikian pula, Aggivessana, Pangeran Jayasena dihalangi, dirintangi, diblokir, dan diselimuti oleh kumpulan yang lebih besar daripada ini – kumpulan kebodohan. Dengan demikian adalah tidak mungkin adalah tidak mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria ... dapat mengetehahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian.

11. “Aggivessana, jika kedua perumpamaan ini telah terpikirkan olehmu [sehubungan] dengan Pangeran jayasena, maka ia akan secara spontan berkeyakinan padamu, dan karena berkeyakinan, maka ia akan memperlihatkan keyakinannya kepadamu.”

“Yang Mulia, bagaimana mungkin kedua perumpamaan ini terpikirkan olehku [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena seperti terpikirkan oleh Sang Bhagavā, karena kedua perumpamaan ini muncul secara spontan dan belum pernah terdengar sebelumnya?”

[132] 12. “Misalkan, Aggivessana, seorang raja mulia yang sah berkata kepada pemburu gajahnya sebagai berikut: ‘Pemburu gajah, tunggangilah gajah raja, pergilah ke hutan gajah, dan ketika engkau melihat seekor gajah hutan, ikatlah gajah itu di lehernya pada gajah raja. Setelah menjawab ‘Baik, Baginda,’ pemburu gajah itu menunggangi gajah raja, pergi ke hutan gajah, dan ketika ia melihat seekor gajah hutan, ia mengikat gajah itu di lehernya pada gajah raja. Gajah raja menuntunnya menuju ruang terbuka. Dengan cara inilah gajah hutan itu keluar ke ruang terbuka; karena gajah hutan itu melekat pada hutan gajah.

“Kemudian pemburu gajah itu memberitahu raja: ‘Baginda, gajah hutan telah keluar ke ruang terbuka.’ Raja memanggil penjinak gajah sebagai berikut: ‘Pergilah, Penjinak-gajah, jinakkan gajah hutan itu, tundukkanlah kebiasaan-kebiasaan hutannya, taklukkanlah ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak hutannya, hilangkanlah kesedihan, keletihan, dan demam karena meninggalkan hutan. Buatlah agar gajah itu senang di kota, tanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia.’ Setelah menjawab ‘Baik, Baginda,’ penjinak gajah itu menanam sebuah tiang besar di tanah dan mengikat gajah hutan itu pada tiang itu di lehernya untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaan hutannya ... dan untuk menanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia.

 “Kemudian  si penjinak gajah berkata kepada gajah itu dengan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Ketika gajah hutan itu [133] mendengar kata-kata demikian, ia mendengarkan, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami. Si penjinak gajah selanjutnya memberinya hadiah berupa makanan dan air. Ketika gajah hutan itu menerima makanan dan air darinya, penjinak gajah itu mengetahui: ‘Sekarang gajah raja ini akan hidup!’

“Kemudian si penjinak gajah melatih gajah itu lebih jauh lagi sebagai berikut: 'Berdiri, duduk!’ Ketika gajah raja itu mematuhi perintah si penjinaknya untuk berdiri dan duduk dan melaksanakan instruksinya, si penjinak gajah melatihnya lebih jauh sebagai berikut: ‘Maju, mundur!’ Ketika gajah raja itu mematuhi perintah si penjinaknya untuk berjalan maju dan mundur dan melaksanakan instruksinya, si penjinak gajah melatihnya lebih jauh dalam tugas yang disebut ketenangan. Ia mengikatkan sebilah papan besar pada belalainya; seorang laki-laki dengan tombak di tangan duduk di lehernya; orang-orang dengan tombak di tanagn mengelilinginya di segala sisi; dan si penjinak gajah berdiri di depannya dengan memegang tombang panjang. Ketika gajah itu sedang dilatih dalam tugas ketenangan, ia tidak menggerakkan kaki depan atau kaki belakangnya; ia tidak menggerakkan bagian tubuh depan atau belakangnya; ia tidak menggerakkan kepalanya, telinganya, gadingnya, ekornya, atau belalainya. Gajah raja itu mampu menahankan serangan tombak, serangan pedang, serangan anak panah, serangan dari makhluk lain, dan gelegar suara tambur, genderang dan terumpet. Karena bebas dari segala cacat dan kekurangan, bersih dari kerusakan, ia layak menjadi gajah raja, layak melayani raja, dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja. [134]

13-14. “Demikian pula,m Aggivessana, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-13) ... ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Adalah dengan cara ini seorang siswa mulia keluar ke ruang terbuka; karena para dewa dan manusia melekat pada kelima utas kenikmatan indria.

15. “Kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, jadilah bermoral, terkendali dengan pengendalian Pāṭimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tingkah laku, dan melihat dengan takut pada pelanggaran sekecil apapun, terlatih oleh peraturan-peraturan latihan.’

16. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menjadi bermoral ... dan melihat dengan takut pada pelanggaran sekecil apapun, terlatih oleh peraturan-peraturan latihan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, jagalah pintu-pintu indriamu. Ketika melihat bentuk dengan mata, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika engkau membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasaimu, latihlah jalan pengendaliannya, jagalah indria mata, jalankanlah pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika engkau membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasaimu, latihlah jalan pengendalian, jagalah indria pikiran, jalankanlah pengendalian indria pikiran.’

17. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menjaga pintu-pintu indrianya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, makanlah secukupnya. Dengan merenungkan dengan bijaksana, seorang siswa mulia memakan makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.”’

18. “Ketika, [135] Aggivessana, siswa mulia itu telah menjalani praktik makan secukupnya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, tekunilah kewaspadaan. Selama siang hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari engkau harus berbaring di sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikirannya waktu untuk bangun. Setelah terjaga, pada jaga ke tiga malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi.’

19. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menekuni kewaspadaan, secukupnya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, milikilah perhatian dan kewaspadaan penuh. Bertindaklah dengan penuh keaspadaan ketika berjalan maju dan mundur ... ketika melihat ke depan dan ke belakang ... ketika menekuk dan merentangkan bagian-bagian tubuh ... ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu ... ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap ... ketika buang air besar dan buang air kecil ... ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.’

20. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, datangilang tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.’


-----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
125 Dantabhumi Sutta (Lanjutan)
« Reply #31 on: 15 October 2010, 05:45:36 PM »
Lanjutan 125  Dantabhūmi Sutta
-----------------------------------------



21. “Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan ... tumpukan jerami. Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan terhadap dunia, ia berdiam dengan pikiran bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan demi kesejahteraan makhluk-makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan bebas dari kelambanan dan ketumpulan, memiliki persepsi cahaya, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambnanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa terganggu dengan pikiran yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. [136] Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

22. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran ini yang melemahkan kebijaksanaan, ia berdiam dengan merenungkan jasmani  sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan ... pikiran sebagai pikiran ... obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

23. “Seperti halnya, Aggivessana, penjinak gajah yang menanam sebuah tiang besar di tanah dan mengikatkan leher gajah hutan pada tiang itu untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaan hutannya ... dan untuk menanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia, demikian pula empat landasan perhatian ini adalah pengikat pikiran siswa mulia itu untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaannya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, untuk menaklukkan ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, untuk menghilangkan kesedihan, keletihan, dan demam yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, dan agar ia dapat mencapai jalan sejati dan mencapai Nibbāna.

24. Kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tetapi jangan memikirkan pikiran-pikiran keinginan indria. Berdiamlah dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan ... pikiran sebagai pikiran ... obyek-obyek pikiran sebagai obyel-obyek pikiran, tetapi jangan memikirkan pikiran-pikiran keinginan indria.’

25. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... jhāna ke tiga ... jhāna ke empat.

26-29. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni ... (seperti Sutta 51, §§24-27) ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

30. “Bhikkhu itu mampu menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, dan kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan ucapan-kasar, kata-kata yang tidak menyenangkan dan perasaan [137] jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, menyiksan, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan. Karena bebas dari segala nafsu, kebencian, dan kebodohan, bersih dari kerusakan, ia menjadi layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, suatu lahan menanam jasa yang tiada bandingnya di dunia.

31. “Jika, Aggivessana, gajah raja itu mati di usia tua dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah tua yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika gajah raja itu mati di usia pertengahan dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah pertengahan yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika gajah raja itu mati di usia muda dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah muda yang mengalami kematian yang tidak jinak. Demikian pula, Aggivessana, jika seorang bhikkhu tua mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu tua yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika seorang bhikkhu berstatus menengah mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu berstatus menengah yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan yang mengalami kematian yang tidak jinak.

32. “Jika, Aggivessana, gajah raja itu mati di usia tua dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah tua yang mengalami kematian yang jinak. Jika gajah raja itu mati di usia pertengahan dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah pertengahan yang mengalami kematian yang jinak. Jika gajah raja itu mati di usia muda dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah muda yang mengalami kematian yang jinak. Demikian pula, Aggivessana, jika seorang bhikkhu tua mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu tua yang mengalami kematian yang jinak. Jika seorang bhikkhu berstatus menengah mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu berstatus menengah yang mengalami kematian yang jinak. Jika seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan yang mengalami kematian yang jinak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Samaṇera Aciravata merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
126 Bhumija Sutta
« Reply #32 on: 15 October 2010, 05:46:33 PM »
126  Bhūmija Sutta
Bhūmija



[138] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Bhūmija merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mendatangi rumah Pangeran Jayasena dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

3. Kemudian Pangeran Jayasena menghadap Yang Mulia Bhūmija dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Bhūmija: “Guru Bhūmija, ada beberapa petapa dan brahmana yang membuat pernyataan dan menganut pandangan-pandangan sebagai berikut: “Jika seseorang beraspirasi  dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun.’ Apakah yang akan dikatakan oleh guru dari Yang Mulia Bhūmija di sini, apakah yang Beliau nyatakan?”

4. “Aku belum pernah mendengar dan mempelajari hal itu dari mulut Sang Bhagavā, Pangeran. Tetapi adalah mungkin bahwa Sang Bhagavā akan mengatakan seperti ini: ‘Jika seseorang beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijsakana, maka ia tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijsakana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijsakana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijsakana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Akan tetapi, Jika seseorang beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijsakana, maka ia akan dapat memperoleh buah; [139] Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijsakana, maka ia juga akan dapat memperoleh buah; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijsakana, maka ia juga akan dapat memperoleh buah; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijsakana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah.

5. “Jika guru dari Guru Bhūmija berkata demikian, jika Beliau menyatakan demikian, maka tentu saja guru dari Yang Mulia Bhūmija berdiri di depan dari semua para petapa dan brahmana biasa itu.”

6. Kemudian Pangeran Jayasena melani Yang Mulia Bhūmija dari piring nasi susunya sendiri.

7. “Kemudian, ketika Yang Mulia Bhūmija telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang telah terjadi, dengan menambahkan: “Yang Mulia, kuharap bahwa ketika aku ditanya demikian dan menjawab demikian, aku telah mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Kuharap aku telah menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataanku.” [140]

8. “Tentu saja, Bhūmija, ketika engkau ditanya demikian dan menjawab demikian, engkau telah mengatakan apa yang dikatakan olehKu dan tidak salah memahamiKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataanmu.”

9. “Petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah, jika mereka beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci; maka mereka tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika mereka tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika mereka beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun; Jika mereka bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

10. “Misalkan seseorang memerlukan minyak, mencari minyak, berkeliling mencari minyak, menumpuk kerikil di dalam bak mandi, menyiramnya dengan air, dan memerasnya. Kemudian, jika ia beraspirasi dan melakukan demikian, ia tidak akan dapat memperoleh minyak apapun; jika ia tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apapun; jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apapun; jika ia bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apapun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh minyak. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? [141] Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

11. “Misalkan seseorang memerlukan susu, mencari susu, berkeliling mencari susu, menarik tanduk seekor sapi yang baru melahirkan. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh susu apapun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh susu. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

12. “Misalkan seseorang memerlukan mentega, mencari mentega, berkeliling mencari mentega, menuangkan air ke dalam gentong susu dan mengaduknya dengan pengaduk susu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh mentega apapun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh mentega. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

13. “Misalkan seseorang memerlukan api, mencari api, berkeliling mencari api, mengambil [142] kayu-api sebelah atas dan menggosok sepotong kayu bergetah yang basah dengan kayu api itu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh api apapun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh api. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

14. “Petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, jika mereka beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci; mereka akan dapat memperoleh buah apapun; Jika mereka tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah; Jika mereka beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah; Jika mereka bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

15. “Misalkan seseorang memerlukan minyak, mencari minyak, berkeliling mencari minyak, menumpuk tepung wijen di dalam bak mandi, menyiramnya dengan air, dan memerasnya. Kemudian, jika ia beraspirasi dan melakukan demikian, ia akan dapat memperoleh minyak; jika ia tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak; jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak; jika ia bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh minyak. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan benar [143] ... mereka juga akan dapat memperoleh buah  Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

16. “Misalkan seseorang memerlukan susu, mencari susu, berkeliling mencari susu, menarik ambing seekor sapi yang baru melahirkan. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh susu. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh susu. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

17. “Misalkan seseorang memerlukan mentega, mencari mentega, berkeliling mencari mentega, menuangkan dadih ke dalam gentong susu dan mengaduknya dengan pengaduk susu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh mentega. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh mentega. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah apapun. Mengapakah? Karena [jalan benar] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

18. “Misalkan seseorang memerlukan api, mencari susu, berkeliling mencari api, mengambil [142] kayu-api sebelah atas dan menggosok sepotong kayu tanpa getah yang kering dengan kayu api itu. Kemudian, jika ia beraspirasi … [144] jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh api. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh api. Demikian pula petapa dan brahmana manapun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

19. “Bhūmija, jika keempat perumpamaan ini telah terpikirkan olehmu [sehubungan] dengan Pangeran jayasena, maka ia akan secara spontan berkeyakinan padamu, dan karena berkeyakinan, maka ia akan memperlihatkan keyakinannya kepadamu.”

“Yang Mulia, bagaimana mungkin keempat perumpamaan ini terpikirkan olehku [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena seperti terpikirkan oleh Sang Bhagavā, karena kedua perumpamaan ini muncul secara spontan dan belum pernah terdengar sebelumnya?”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Bhūmija merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
127 Anuruddha Sutta
« Reply #33 on: 15 October 2010, 05:47:43 PM »
127  Anuruddha Sutta
Anuruddha




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Tukang Kayu Pañcakanga berkata kepada seseorang sebagai berikut: “Pergilah, Sahabat, temui Yang Mulia Anuruddha, [145] bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Tukang Kayu Pañcakanga bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Anuruddha dan katakan: “Yang Mulia, sudilah Yang Mulia Anuruddha bersama tiga orang lainnya menerima dana makanan dari Tukang Kayu Pañcakanga besok; dan mohon Yang Mulia Anuruddha datang tepat waktu karena Tukang Kayu Pañcakangan sangat sibuk dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk raja.”’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Anuruddha. Setelah bersujud kepada Yang Mulia Anuruddha, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Yang Mulia Anuruddha menerima dengan berdiam diri.

3. Kemudian, ketika malam berlalu, pada pagi harinya, Yang Mulia Anuruddha merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi menuju rumah Pañcakanga dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Tukang Kayu Pañcakanga melayani Yang Mulia Anuruddha dengan berbagai jenis makanan baik. Kemudian, ketika Yang Mulia Anuruddha telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke sampung. Tukang Kayu Pañcakanga mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Anuruddha.

4. “Di sini, Yang Mulia, para bhikkhu senior telah mendatangiku dan berkata: ‘Perumah tangga, kembangkanlah kebebasan pikiran yang tanpa batas’; dan beberapa bhikkhu senior mengatakan: ‘Perumah tangga, kembangkanlah kebebasan pikiran yang luhur.’ Yang Mulia, kebebasan pikiran yang Tanpa Batas dan kebebasan pikiran yang luhur  -apakah kedua kondisi ini berbeda dalam makna dan [146] berbeda dalam kata, atau apakah kedua itu bermakna sama dan hanya berbeda dalam kata?”

5. “Jelaskanlah sesuai pemahamanmu, perumah tangga. Selanjutnya hal itu akan dijelaskan kepadamu.”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: kebebasan pikiran yang tanpa batas dan kebebasan pikiran yang luhur – kondisi-kondisi ini adalah bermakna sama dan hanya berbeda dalam kata.”

6. “Perumah tangga, kebebasan pikiran yang tanpa batas dan kebebasan pikiran yang luhur – kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata. Dan bagaimana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata harus dipahami sebagai berikut.

7. “Apakah, perumah tangga, kebebasan pikiran yang tanpa batas? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula dengan arah ke dua, arah ke tiga, arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan ... berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut kebebasan pikiran yang tanpa batas.

8. “Dan apakah, perumah tangga, kebebasan pikiran yang luhur? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon, meliputinya sebagai luhur: ini disebut kebebasan pikiran yang luhur.  Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah dua atau tiga batang pohon, meliputinya sebagai luhur: ini juga disebut kebebasan pikiran yang luhur. Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas satu desa, meliputinya sebagai luhur … [147] … suatu wilayah seluas dua atau tiga desa … suatu wilayah seluas satu kerajaan besar … suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar … suatu wilayah seluas seluruh daratan yang dibatasi oleh lautan, meliputinya sebagai luhur: ini juga disebut kebebasan pikiran yang luhur. Dengan cara inilah, perumah tangga, bahwa hal ini dapat dipahami bagaimana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata.

9. “Ada, perumah tangga, empat jenis kemunculan kembali dari suatu makhluk [di masa depan.]  Apakah empat ini? Di sini seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya terbatas’; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Terbatas. Di sini seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya tanpa batas; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas. Di sini seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya ternoda; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Ternoda. Di sini seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya murni; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Murni. Ini adalah empat jenis kemunculan kembali dari suatu makhluk [di masa depan.]

10. “Pernah terjadi, perumah tangga, ketika para dewa itu berkumpul di suatu tempat. Ketika mereka telah berkumpul di suatu tempat, perbedaan pada warna mereka dapat terlihat tetapi tidak ada perbedaan pada cahaya mereka. Seperti halnya, jika seseorang membawa beberapa lampu minyak ke dalam sebuah rumah, perbedaan kobaran api dari lampu itu dapat terlihat tetapi tidak ada perbedaan pada cahayanya; demikian pula, pernah terjadi ketika para dewa itu berkumpul di suatu tempat [148] … tetapi tidak ada perbedaan pada cahaya mereka.

11. “Pernah terjadi, perumah tangga, ketika para dewa itu membubarkan diri dari sana. ketika mereka telah pergi, perbedaan pada warna mereka dapat terlihat dan juga perbedaan pada cahaya mereka. Seperti halnya, jika seseorang mengeluarkan beberapa lampu minyak dari rumah itu, perbedaan pada kobaran api dapat terlihat dan juga perbedaan pada cahayanya; demikian pula, pernah terjadi ketika para dewa itu membubarkan diri dari sana … dan juga perbedaan pada cahaya mereka.

12. “Para dewa itu tidak berpikir: ‘[Kehidupan] kami ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi,’ namun di manapun para dewa itu berada, mereka menemukan kesenangan. Seperti halnya, ketika lalat-lalat dibawa dengan sebuah galah pemikul atau dengan sebuah keranjang, lalat-lalat itu tidak berrpikir: ‘[Kehidupan] kami ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi,’ namun di manapun lalat-lalat itu berada, mereka menemukan kesenangan; demikian pula, para dewa itu tidak berpikir … namun di manapun para dewa itu berada, mereka menemukan kesenangan.

13. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Bagus, Yang Mulia Anuruddha, namun aku memiliki pertanyaan lebih lanjut: Apakah semua para dewa bercahaya itu memiliki Cahaya Terbatas, atau apakah beberapa dari mereka adalah para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas?”

“Dengan alasan faktor [yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali], Teman Kaccāna, maka beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, dan beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas.”

14. “Yang Mulia Anuruddha, apakah sebab dan alasan mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, [149] beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas?”

“Sehubungan dengan hal itu, Teman Kaccāna, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Teman Kaccāna? Ketika seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon, meliputinya sebagai luhur, dan seorang bhikkhu lainnya bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah dua atau tiga batang pohon, meliputinya sebagai luhur – yang manakah dari kedua pengembangan pikiran ini yang lebih luhur?” – “Yang ke dua, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Teman Kaccāna? Ketika seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas dua atau tiga pohon, meliputinya sebagai luhur, dan seorang bhikkhu lainnya berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas satu desa dan meliputinya sebagai luhur … suatu wilayah seluas satu desa dan suatu wilayah seluas dua atau tiga desa … suatu wilayah seluas dua atau tiga desa [150] dan suatu wilayah seluas satu kerajaan besar … suatu silayah seluas satu kerajaan besar dan suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar … suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar dan suatu wilayah seluas seluruh daratan yang dibatasi oleh lautan, meliputinya sebagai luhur - yang manakah dari kedua pengembangan pikiran ini yang lebih luhur?” – “Yang ke dua, Yang Mulia.”

“Ini adalah sebab dan alasan, Teman Kaccāna, mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas.”

15. “Bagus, Yang Mulia Anuruddha, namun aku memiliki pertanyaan lebih lanjut: Apakah semua para dewa bercahaya itu memiliki Cahaya Ternoda, atau apakah beberapa dari mereka adalah para dewa dengan Cahaya Murni?” [151]

“Dengan alasan faktor [yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali], Teman Kaccāna, maka beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, dan beberapa dewa memiliki Cahaya Murni.”

16. “Yang Mulia Anuruddha, apakah sebab dan alasan mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, beberapa dewa memiliki Cahaya Murni?”

“Sehubungan dengan hal itu, Teman Kaccāna, aku akan memberikan perumpamaan, karena seorang bijaksana di sini memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan sebuah lampu minyak menyala dari minyak yang tidak murni dan sumbu yang tidak murni; karena ketidak-murnian minyak dan sumbunya lampu itu menyala dengan suram. Demikian pula, di sini seoramg bhikkhu berdiam dengan melingkupi dan meliputi [suatu wilayah dengan] cahaya ternoda. Kelembaman jasmaninya tidak sepenuhnya sirna, ketumpulan dan kelambanannya tidak sepenuhnya dilenyapkan, kegelisahan dan penyesalannya tidak sepenuhnya tersingkirkan; karena hal-hal ini, maka ia bermeditasi, seperti sewajarnya, dengan suram.  Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Ternoda.

“Misalkan sebuah lampu minyak menyala dari minyak yang  murni dan sumbu yang murni; karena kemurnian minyak dan sumbunya lampu itu menyala dengan tidak suram. Demikian pula, di sini seoramg bhikkhu berdiam dengan melingkupi dan meliputi [suatu wilayah dengan] cahaya murni. Kelembaman jasmaninya sepenuhnya sirna, ketumpulan dan kelambanannya sepenuhnya dilenyapkan, kegelisahan dan penyesalannya sepenuhnya tersingkirkan; karena hal-hal ini, maka ia bermeditasi, seperti sewajarnya, dengan terang. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Murni. [152]

“Ini adalah sebab dan alasan, Teman Kaccāna, mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, beberapa dewa memiliki Cahaya Murni.”

17. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Bagus, Yang Mulia Anuruddha. Yang Mulia Anuruddha tidak mengatakan: ‘Demikianlah yang kudengar’ atau ‘Semestinya demikian.’ Melainkan, Yang Mulia Anuruddha mengatakan: ‘Para dewa ini adalah seeprti ini dan para dewa itu adalah seperti itu.’ aku berpikir, Yang Mulia, bahwa Yang Mulia Anuruddha pasti sebelumnya telah bergaul dengan para dewa itu dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.”

“Tentu saja, Teman Kaccāna, kata-katamu menyinggung dan tidak sopan, tetapi aku tetap akan menjawabmu. Sejak lama aku telah bergaul dengan para dewa itu dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.”

18. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Tukang Kayu Pañcakanga: “Suatu keberuntungan bagimu, Perumah tangga, suatu keberuntungan besar bagimu bahwa engkau telah meninggalkan keragu-raguanmu dan telah berkesempatan mendengarkan khotbah Dhamma ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
128 Upakkilesa Sutta
« Reply #34 on: 15 October 2010, 05:48:36 PM »
128  Upakkilesa Sutta
Ketidak-sempurnaan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita.

2. Pada saat itu para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan.

3. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, [153] dan setelah bersujud kepada Beliau, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, para bhikkhu di sini di Kosambi sedang bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi para bhikkhu itu demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Yang Mulia, mohon Sang Bhagavā, Raja Dhamma, hidup dengan tenang menekuni kediaman yang nyaman di sini dan saat ini. Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Untuk ke dua kalinya ... untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Untuk ke tiga kalinya bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Yang Mulia ... Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

5. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kosambi dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau merapikan tempat tinggalNya, membawa mangkuk dan jubah luarnya, dan sambil berdiri mengucapkan syair-syair ini: [154]

6.    “Ketika banyak suara berteriak sekaligus
   Tidak ada yang menganggap dirinya sendiri sebagai seorang dungu;
   Walaupun Sangha sedang terpecah
   Tidak ada yang merasa dirinya bersalah.

   Mereka telah melupakan ucapan bijaksana,
   Mereka berbicara dengan hanya dikuasai oleh kata-kata.
   Dengan mulut tidak terkekang, mereka berteriak sesukanya;
   Tidak ada yang mengetahui apa yang membuat mereka bertindak demikian.

   ‘Ia melecehkanku, ia memukulku,
   Ia mengalahkanku, ia merampasku –
   Pada mereka yang memendam pikiran-pikiran seperti ini
   Kebencian tidak akan pernah sirna.

   ‘Ia melecehkanku, ia memukulku,
   Ia mengalahkanku, ia merampasku –
   Pada mereka yang tidak memendam pikiran-pikiran seperti ini
   Kebencian telah siap untuk disingkirkan.

   Karena di dunia ini kebencian tidak akan pernah
   Disingkirkan melalui kebencian lebih lanjut.
   Kebencian disingkirkan oleh ketidak-bencian:
   Ini adalah hukum yang pasti dan abadi.

   Mereka tidak mengetahui
   Bahwa di sini kita harus mengendalikan diri sendiri.
   Tetapi mereka yang bijaksana yang menyadari ini
   Seketika menakhiri segala permusuhan mereka.

   Para penghancur tulang-belulang dan para pembunuh,
   Mereka yang mencuri ternak, kuda, dan harta kekayaan,
   Mereka yang menjarah seluruh negeri –
   Bahkan orang-orang ini dapat bertindak bersama
   Mengapa kalian tidak dapat melakukan demikian juga?

   Jika seseorang dapat menemukan teman yang layak
   Seorang teman yang bermoral dan setia,
   Maka dengan mengatasi segala ancaman bahaya
   Dan berjalan bersamanya dengan puas dan penuh perhatian.

   Tetapi jika seseorang tidak menemukan teman yang layak,
   Tidak ada teman yang bermoral dan setia,
   Maka bagaikan seorang raja meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya
   Berjalanlah sendirian bagaikan gajah di hutan.

   Lebih baik berjalan sendirian,
   Tidak berteman dengan orang-orang dungu.
   Berjalan sendirian dan tidak melakukan kejahatan,
   Santai bagaikan gajah di hutan.

7. Kemudian, setelah mengucapkan syair-syair ini sambil berdiri, Sang Bhagavā pergi menuju desa Bālakaloṇakāra. Pada saat itu [155] Yang Mulia Bhagu sedang menetap di desa Bālakaloṇakāra. Ketika dari kejauhan Yang Mulia Bhagu melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia mempersiapkan tempat duduk dan air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kakinya. Yang Mulia Bhāgu bersujdu kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Kuharap engkau dalam keadaan baik, Bhikkhu, Kuharap engkau cukup nyaman, Kuharap engkau tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh dana makanan.”

“Aku dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, aku cukup nyaman, aku tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh dana makanan.”

Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Yang Mulia Bhagu dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari dudukNya dan pergi menuju Hutan Bambu Timur.

8. Pada saat itu Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Hutan Bambu Timur.  Dari jauh penjaga taman melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Jangan memasuki taman ini, Petapa. Ada tiga anggota keluarga di sini mencari kebaikan mereka. Jangan mengganggu mereka.”

9. Yang Mulia Anuruddha mendengar penjaga taman itu berbicara dengan Sang Bhagavā dan memberitahunya: “Teman penjaga taman, jangan membiarkan Sang Bhagavā di luar. Beliau adalah Guru kami, Sang Bhagavā, yang telah datang.” Kemudian Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila dan berkata: “Keluarlah, Yang Mulia, keluarlah! Guru kita, Sang Bhagavā, telah datang.”

10. Kemudian ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luarNya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kakiNya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.” [156]

“Kami baik-baik, Sang Bhagavā, kami nyaman, dan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

11. “Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

12. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa Aku tidak mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, Yang Mulia, tetapi kami satu pikiran.”

Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila masing-masing mengatakan hal yang sama, dan menambahkan: “Itu adalah bagaimana, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

13. “Bagus, bagus, Anuruddha. Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.” [157]

“Tentu saja, Yang Mulia, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

14. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, siapapun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapapun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apapun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia mencuci tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seseorang lain dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

10. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi ketika kalian berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh demikian, apakah kalian telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, suatu kediaman yang menyenangkan?”

“Yang Mulia, ketika kami berdiam di sini rajin, tekun, dan teguh, kami melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk.  Segera setelahnya cahaya dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap, tetapi kami belum mengetahui penyebab dari hal itu.”

16. “Kalian seharusnya menemukan penyebab dari hal itu,  Anuruddha. Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk. Segera setelahnya cahaya [158] dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi mengapa cahaya dan penampakan bentuk-bentuk ini lenyap?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Keragu-raguan muncul dalam diriKu, dan karena keragu-raguan maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

17. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk. Segera setelahnya cahaya dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi mengapa cahaya dan penampakan bentuk-bentuk ini lenyap?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kurangnya perhatian muncul dalam diriKu, dan karena kurangnya perhatian itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian tidak muncul dalam diriKu lagi.’

18. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kelambanan dan ketumpulan muncul dalam diriKu, dan karena kelambanan dan ketumpulan itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian dan kelambanan dan ketumpulan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

19. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketakutan muncul dalam diriKu, dan karena ketakutan itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang melakukan perjalanan dan para pembunuh melompat keluar dari kedua sisinya; kemudian ketakutan akan muncul dalam dirinya. Demikian pula, ketakutan muncul dalam diriKu … cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan [159] agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian dan kelambanan dan ketumpulan dan ketakutan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

20. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegembiraan muncul dalam diriKu, dan karena kegembiraan itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencari pintu masuk menuju harta karun sampai pada lima pintu masuk menuju harta karun;  maka kegembiraan muncul dalam diriku karena hal itu. Demikian pula, kegembiraan muncul dalam diriKu … cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan ketakutan dan kegembiraan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

21. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kelembaman muncul dalam diriKu, dan karena kelembaman itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegembiraan dan kelembaman tidak muncul dalam diriKu lagi.’

22. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegigihan yang berlebihan muncul dalam diriKu, dan karena kegigihan yang berlebihan itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencengkeram seekor burung puyuh erat-erat dengan kedua tangannya; burung puyuh itu akan mati di tempat itu dan pada saat itu juga. Demikian pula, kegigihan berlebihan muncul dalam diriKu ... cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kelembaman dan kegigihan yang berlebihan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

23. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegigihan lemah muncul dalam diriKu, [160] dan karena kegigihan lemah itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencengkeram seekor burung puyuh dengan longgar; burung puyuh itu akan terbang keluar dari tangan orang itu. Demikian pula, kegigihan lemah muncul dalam diriKu ... cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegigihan yang berlebihan dan kegigihan lemah tidak muncul dalam diriKu lagi.’

24. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kerinduan muncul dalam diriKu, dan karena kerinduan itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegigihan lemah dan kerinduan tidak muncul dalam diriKu lagi.’

25. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Persepsi keberagaman muncul dalam diriKu,  dan karena persepsi keberagaman itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kerinduan dan persepsi keberagaman tidak muncul dalam diriKu lagi.’

26. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk muncul dalam diriKu,  dan karena meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk itu maka konsentrasiKu jatuh; ketika konsentrasiKu jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan persepsi keberagaman dan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk tidak muncul dalam diriKu lagi.’

27. “Ketika, Anuruddha, aku memahami bahwa keragu-raguan adalah suatu ketidak-sempurnaan pikiran,  aku meninggalkan keragu-raguan, suatu ketidak-sempurnaan pikiran. Ketika Aku memahami bahwa kurangnya perhatian ... kelambanan dan ketumpulan ... ketakutan ... kegembiraan ... kelembaman ... kegigihan yang berlebihan ... kegigihan lemah ... kerinduan ... persepsi keberagaman ... meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk [161] adalah suatu ketidak-sempurnaan pikiran, aku meninggalkan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk, suatu ketidak-sempurnaan pikiran.

28. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaya tetapi Aku tidak melihat bentuk-bentuk; Aku melihat bentuk-bentuk tetapi Aku tidak melihat cahaya, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi untuk hal ini?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Pada saat Aku tidak memperhatikan gambaran bentuk-bentuk tetapi memperhatikan gambaran cahaya, maka Aku melihat cahaya tetapi tidak melihat bentuk-bentuk. Pada saat Aku tidak memperhatikan gambaran cahaya tetapi memperhatikan gambaran bentuk-bentuk, maka Aku melihat bentuk-bentuk tetapi tidak melihat cahaya, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam.’

29. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaay terbatas dan melihat bentuk-bentuk terbatas; Aku melihat cahaya tanpa batas dan melihat bentuk-bentuk tanpa batas, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi untuk hal ini?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Pada saat konsentrasi terbatas, maka penglihatan juga terbatas, dan dengan penglihatan terbatas Aku melihat cahaya terbatas dan bentuk-bentuk terbatas. Tetapi pada saat konsentrasi adalah tanpa batas, maka penglihatan juga tanpa batas, dan dengan penglihatan tanpa batas Aku melihat cahaya tanpa batas dan bentuk-bentuk tanpa batas, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam.’

30. “Ketika, [162] Anuruddha, Aku memahami bahwa keragu-raguan adalah suatu ketidak-sempurnaan pikiran dan telah meninggalkan keragu-raguan, suatu ketidak-sempurnaan pikiran; ketika Aku memahami bahwa kurangnya perhatian adalah suatu ketidak-sempurnaan pikiran dan telah meninggalkan kurangnya perjatian ... meninggalkan kelambanan dan ketumpulan ... meninggalkan ketakutan ... meninggalkan kegembiraan ... meninggalkan kelembaman ... meninggalkan kegigihan yang berlebihan ... meninggalkan kegigihan lemah ... meninggalkan kerinduan ... meninggalkan persepsi keberagaman ... meninggalkan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk, suatu ketidak-sempurnaan pikiran; kemudian aku berpikir: ‘Aku telah meninggalkan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan pikiran itu. Sekarang Aku akan mengembangkan konsentrasi dalam tiga cara.’

31. “Selanjutnya, Anuruddha, Aku mengembangkan konsentrasi dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa awal pikiran tetapi hanya dengan kelangsungan pikiran saja; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran; Aku mengembangkan konsentrasi dengan kegembiraan; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa kegembiraan; Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan; Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

32. “Ketika Anuruddha, Aku telah Aku mengembangkan konsentrasi dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran … ketika Aku telah Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan, pengetahuan dan pemglihatan muncul dalam diriKu: ‘KebebasanKu adalah tidak tergoyahkan; ini adalah kelarihanKu yang terakhir; tidak ada penjelmaan menjadi majkhluk yang baru.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Anuruddha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
129 Balapandita Sutta
« Reply #35 on: 15 October 2010, 05:51:24 PM »
129  Bālapaṇḍita Sutta
Orang Dungu dan Orang Bijaksana



[163] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SI DUNGU)

2. “Bhikkhu, ada tiga karakteristik dari seorang dungu ini, tanda-tanda seorang dungu, sifat-sifat seorang dungu. Apakah tiga ini? Di sini seorang dungu adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk, mengucapkan kata-kata buruk, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Jika seorang dungu tidak demikian, bagaimana mungkin para bijaksana dapat mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang bukan manusia sejati’? Tetapi karena seorang dungu adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk, mengucapkan kata-kata buruk, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, maka para bijaksana mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang bukan manusia sejati.’

3. “Seorang dungu merasakan kesakitan dan kesedihan di sini dan asat ini dalam tiga cara. Jika seorang dungu duduk dalam suatu pertemuan atau berada di jalan atau di suatu lapangan dan orang-orang di sana sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan, maka, jika si dungu itu adalah seorang yang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalan kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan, ia berpikir: “Orang-orang ini sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan; hal-hal ini terdapat dalam diriku, dan aku terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis pertama kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

4. “Kemudian, seorang penjahat perampok tertangkap, seorang dungu menyaksikan raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya:  [164] setelah menderanya dengan cambukan, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan pemukul; setelah memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; dikenai siksaan ‘panci bubur,’ ‘bentuk kulit kerang yang halus,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’;  dan mereka disiram dengan minyak mendidih, danm mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang. Kemudian si dungu berpikir:  ‘Karena perbuatan-perbuatan jahat demikian, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya: mereka menderanya dengan cambukan ... dan memenggal kepalanya dengan pedang. hal-hal ini terdapat dalam diriku, dan aku terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis ke dua kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

5. “Kemudian, ketika seorang dungu sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan di masa lalu – perilaku salah secara jasmani, ucapan dan pikiran – meliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Bagaikan bayangan sebuah puncak gunung besar di malam hari meliputi, menyelimuti, dan membungkus bumi ini, demikian pula, ketika seorang dungu sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, [165] kemudian perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan di masa lalu – perilaku salah secara jasmani, ucapan dan pikiran – meliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Kemudian si dungu berpikir: ‘Aku tidak pernah melakukan apa yang baik, aku tidak pernah melakukan apa yang bermanfaat, aku tidak pernah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan. Aku telah melakukan apa yang buruk, aku telah melakukan apa yang kejam, aku telah melakukan apa yang jahat.’ Ia berdukacita, sedih, dan meratap, ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ini adalah jenis ke tiga kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

6. “Seorang dungu yang telah menyerahkan diri kepada perilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali dalam kondisi kesengsaraan, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, bahkan di neraka.

(NERAKA)

7. “Jika dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Sungguh tidak diharapkan, sungguh tidak diinginkan, sungguh tidak menyenangkan,’ adalah tentang neraka yang, dengan benar dikatakan ini, sedemikian sehingga sulit menemukan perumpamaan bagi penderitaan di neraka.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Yang Mulia, dapatkah suatu perumpamaan diberikan?”

8. “Dapat, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata.  “Para bhikkhu, misalkan beberapa orang menangkap seorang penjahat perampok dan membawanya ke hadapan raja, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah seorang penjahat perampok. Perintahkanlah hukuman apapun yang engkau inginkan atas dirinya.’ Kemudian raja berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di pagi hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di pagi hari dengan seratus tombak. Kemudian di siang hari raja bertanya: ‘Bagaimana orang itu?’ – ‘Baginda, ia masih hidup.’ Kemudian ia berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di siang hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di siang hari dengan seratus tombak. Kemudian di malam hari raja bertanya: ‘Bagaimana orang itu?’ – ‘Baginda, ia masih hidup.’ Kemudian ia berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di malam hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di malam hari dengan seratus tombak. [166] Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah orang itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditusuk dengan tiga ratus tombak?”

“Yang Mulia, orang itu akan mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditusuk bahkan hanya dengan satu tombak, apa lagi tiga ratus.”

9. Kemudian, dengan mengambil sebutir batu berukuran sekepalan tanganNya, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih besar, batu kecil yang kuambil ini, yang berukuran sekepalan tanganKu, atau Himalaya, raja pegunungan?”

“Yang Mulia, batu kecil yang telah Sang Bhagavā ambil itu, yang berukuran sekepalan tangan Beliau, tidak berarti dibandingkan Himalaya, raja pegunungan; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, kesakitan dan kesedihan yang orang itu alami karena ditusuk dengan tiga ratus tombak adalah tidak berarti dibandingkan penderitaan neraka; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.

10. “Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus perutnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

11. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

12. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

13. “Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar. [167] Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

14. “Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan arang yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

15. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadangn ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

16. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang sehubungan dengan Neraka Besar, para bhikkhu:

   Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun
   Dengan empat pintu, satu di setiap sisinya,
   Berdinding ke atas dan ke sekeliling terbuat dari besi
   Dan ditutup dengan atap besi.
   Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus liga
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

17. “Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang neraka.  Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di neraka.

(ALAM BINATANG)

18. “Para bhikkhu, ada binatang-binatang yang memakan rumput. Binatang-binatang itu makan dengan mengunyah rumput-rumput segar atau kering dengan giginya. Dan binatang-binatang apakah yang memakan rumput? Kuda, sapi, keledai, kambing, dan rusa, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang pemakan rumput itu.

19. “Ada binatang-binatang yang memakan kotoran. Binatang-binatang itu mencium bau kotoran dari kejauhan dan mendatanginya, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan, kami bisa makan!’ Seperti halnya para brahmana yang mendatangi aroma suatu pengorbanan, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan di sini, kami bisa makan di sini!’ demikian pula binatang-binatang yang memakan kotoran ini [168] mencium kotoran dari kejauhan dan mendatanginya, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan di sini, kami bisa makan di sini!’ Dan binatang-binatang apakah yang memakan kotoran? Unggas, babi, anjing, dan serigala, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang pemakan kotoran itu.

20. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan? Ngengat, belatung, dan cacing tanah, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan.

21. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air? Ikan, kura-kura, dan buaya, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air.

22. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan? Binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam ikan busuk atau dalam mayat busuk atau dalam bubur basi atau dalam jamban atau dalam saluran air kotor. [169] Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan.

23. “Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang alam binatang. Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di alam binatang.

24. “Misalkan seseorang melemparkan sebuah gandar berlubang satu ke laut, dan angin timur meniupnya ke barat, dan angin barat meniupnya ke timur, dan angin utara meniupnya ke selatan, dan angin selatan meniupnya ke utara. Misalkan ada seekor kura-kura buta yang muncul ke permukaan setiap satu abad sekali. Bagaimana menurutmu, Para bhikkhu? Dapatkah kura-kura buta itu memasukkan lehernya ke dalam gandar berlubang satu itu?”

“Dapat, Yang Mulia, pada suatu saat atau diakhir suatu masa yang lama.”

“Para bhikkhu, kura-kura buta itu dapat memasukkan lehernya ke dalam gandar berlubang satu itu lebih cepat daripada seorang dungu, yang begitu terlahir di alam sengsara, dapat memperoleh kondisi manusianya kembali, Aku katakan. Mengapakah? Karena tidak ada praktik Dhamma di sana, tidak ada praktik kebenaran, tidak melakukan apa yang bermanfaat, tidak ada pelaksanaan kebajikan. Di sana hanya ada saling memangsa, dan pembantaian pada yang lemah.

25. “Jika pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama. Si dungu itu terlahir kembali menjadi manusia, adalah di dalam keluarga rendah ia terlahir kembali – dalam keluarga buangan atau pemburu atau pengrajin bambu atau pengrajin kereta atau pemungut sampah – yang miskin dan kekurangan makanan dan minuman, yang bertahan hidup dengan kesulitan, di mana ia sulit memperoleh makanan dan pakaian; dan ia buruk rupa, tidak indah dilihat, dan cacat, berpenyakit, buta, dengan tangan dan kaki yang timpang, atau lumpuh; ia tidak memperoleh makanan, minuman, dan pakaian, [170] kendaraan, kalung-bunga, wangi-wangian dan salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan cahaya; ia berperilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan setelah melakukan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

26. “Para bhikkhu, misalkan seorang penjudi pada lemparan pertamanya yang tidak beruntung kehilangan anak dan istrinya dan seluruh hartanya dan lebih jauh lagi ia akhirnya diperbudak, namun suatu lemparan tidak beruntung seperti itu adalah tidak berarti; adalah lemparan yang jauh lebih tidak beruntung ketika seorang dungu berperilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ini adalah kesempurnaan penuh dari tingkatan si dungu.



------------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
129 Balapandita Sutta (Lanjutan)
« Reply #36 on: 15 October 2010, 05:52:15 PM »
Lanjutan 129  Bālapaṇḍita Sutta
----------------------------------------



(ORANG BIJAKSANA)

27. “Bhikkhu, ada tiga karakteristik dari seorang bijaksana ini, tanda-tanda seorang bijaksana, sifat-sifat seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Di sini seorang bijaksana adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran baik, mengucapkan kata-kata baik, dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika seorang bijaksana tidak demikian, bagaimana mungkin seorang bijaksana dapat mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang manusia sejati’? Tetapi karena seorang bijaksana adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran baik, mengucapkan kata-kata baik, dan melakukan perbuatan-perbuatan  baik, maka para bijaksana mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang manusia sejati.’

28. “Seorang dungu merasakan kenikmatan dan kegembiraan di sini dan asat ini dalam tiga cara. Jika seorang bijaksana duduk dalam suatu pertemuan atau berada di jalan atau di suatu lapangan dan orang-orang di sana sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan, maka, jika si bijaksana itu adalah seorang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari berperilaku salah dalan kenikmatan indria, [171] menghindari kebohongan, menghindari meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan, ia berpikir: “Orang-orang ini sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan; hal-hal ini tidak terdapat dalam diriku, dan aku tidak terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’  Ini adalah jenis pertama kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang bijaksana di sini dan saat ini.

29. “Kemudian, seorang penjahat perampok tertangkap, seorang bijaksana menyaksikan raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya ... (seperti pada §4) ... Kemudian si bijaksana berpikir:  ‘Karena perbuatan-perbuatan jahat demikian, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya. Hal-hal ini tidak terdapat dalam diriku, dan aku tidak terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis ke dua kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang bijaksana di sini dan saat ini.

30. “Kemudian, ketika seorang bijaksana sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan di masa lalu – perilaku baik secara jasmani, ucapan dan pikiran – meliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Bagaikan bayangan sebuah puncak gunung besar di malam hari meliputi, menyelimuti, dan membungkus bumi ini, demikian pula, ketika seorang bijaksana sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan di masa lalu – perilaku baik secara jasmani, ucapan dan pikiran – meliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Kemudian si bijaksana berpikir: ‘Aku tidak pernah melakukan apa yang buruk, aku tidak pernah melakukan apa yang kejam, aku tidak pernah melakukan apa yang jahat. Aku telah melakukan apa yang baik, aku telah melakukan apa yang bermanfaat, aku telah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan. Ketika aku meninggal dunia, Aku akan pergi menuju alam tujuan kelahiran dari mereka yang tidak pernah melakukan apa yang jahat ... yang telah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan’ Ia tidak berdukacita, sedih, dan meratap, ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ini adalah jenis ke tiga kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

31. “Seorang bijaksana yang telah menyerahkan diri kepada perilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, [172] ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali dai alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga.

(SURGA)

32. “Jika dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Sungguh sangat diharapkan, sungguh sangat diinginkan, sungguh sangat menyenangkan,’ adalah tentang surga yang, dengan benar dikatakan ini, sedemikian sehingga sulit menemukan perumpamaan bagi kebahagiaan di alam surga.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Yang Mulia, dapatkah suatu perumpamaan diberikan?”

33. “Dapat, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Para bhikkhu, misalkan bahwa seorang Raja Pemutar-Roda  memiliki tujuh pusaka dan empat jenis keberhasilan, dan karena hal itu mengalami kenikmatan dan kegembiraan.

34. “Apakah ketujuh pusaka ini? Di sini, ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari Uposatha hari ke lima belas  dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan Uposatha, di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam setiap aspek. Ketika melihatnya, raja mulia yang sah itu berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari Uposatha hari ke lima belas dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan Uposatha, dan di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam setiap aspek, maka raja itu menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Apakah aku adalah seorang Raja Pemutar-Roda?’

35. “Kemudian raja mulia yang sah itu bangkit dari duduknya, dan dengan membawa sekendi air di tangan kirinya, ia memercikkan pusaka-roda itu dengan kanannya, dengan berkata: ‘Berputarlah maju, pusaka-roda yang baik; menanglah, pusaka-roda yang baik!’ Kemudian pusaka-roda itu berputar maju ke arah timur dan Sang Raja Pemutar Roda mengikutinya bersama dengan empat barisan bala tentaranya. Sekarang di wilayah mana pun pusaka-roda itu berhenti, di sana Sang Raja Pemutar-Roda berdiam bersama keempat barisan bala tentaranya. Dan [173] para raja lawan di arah timur mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Datanglah, Raja Agung; selamat datang, Raja Agung; perintahlah, Raja Agung; nasihatilah, Raja Agung.’ Sang Raja Pemutar-Roda berkata sebagai berikut: ‘Kalian tidak boleh membunuh makhluk-makhluk hidup; kalian tidak boleh mengambil apa yang tidak diberikan; kalian tidak boleh berperilaku salah dalam kenikmatan indria; kalian tidak boleh mengucapkan kebohongan; kalian tidak boleh meminum minuman memabukkan; kalian seharusnya memakan apa yang biasanya kalian makan.’ Dan para raja lawan di arah timur mematuhi Raja Pemutar-Roda.

“Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera timur dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah selatan ... Dan para raja lawan di arah selatan mematuhi Raja Pemutar-Roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera selatan dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah barat ... Dan para raja lawan di arah barat mematuhi Raja Pemutar-Roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera barat dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah utara ... Dan para raja lawan di arah utara mematuhi Raja Pemutar-Roda.

“Sekarang ketika pusaka-roda telah memenangkan seluruh bumi hingga ke batas samudera, pusaka-roda itu kembali ke ibukota dan berdiam seolah-olah terpasang pada porosnya di gerbang istana dalam si Raja pemutar-Roda, sebagai penghias gerbang menuju istana dalamnya. Demikianlah pusaka-roda yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

36. “Kemudian, pusaka-gajah muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, berwarna putih, dengan tujuh sikap berdiri, dengan kekuatan gaib, terbang melalui angkasa, raja gajah bernama ‘Uposatha.’ Ketika melihatnya, pikiran Sang Raja Pemutar-Roda berkeyakinan sebagai berikut: ‘Akan menakjubkan sekali menunggang gajah ini, jika ia dapat dijinakkan!’ Kemudian pusaka-gajah itu [174] dijinakkan seperti seekor gajah dari keturunan murni yang baik yang telah dijinakkan dengan baik untuk waktu yang lama. Dan demikianlah yang terjadi pada Raja Pemutar-Roda, ketika mencoba pusaka-gajahnya, menungganginya di pagi hari, dan setelah melewati seluruh permukaan bumi hingga ke batas samudera, ia kembali ke ibukota kerajaan untuk sarapan pagi. Demikianlah pusaka-gajah yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

37. “Kemudian, pusaka-kuda muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, berwarna putih, dengan kepala sehitam burung gagak, dengan bulu temgkuk seperti rumput muñja, dengan kekuatan gaib, terbang melalui angkasa, raja kuda bernama ‘Valāhaka’ [‘Awan petir’]. Ketika melihatnya, pikiran Sang Raja Pemutar-Roda berkeyakinan sebagai berikut: ‘Akan menakjubkan sekali menunggang kuda ini, jika ia dapat dijinakkan!’ Kemudian pusaka-kuda itu dijinakkan seperti seekor kuda dari keturunan murni yang baik yang telah dijinakkan dengan baik untuk waktu yang lama. Dan demikianlah yang terjadi pada Raja Pemutar-Roda, ketika mencoba pusaka-kudanya, menungganginya di pagi hari, dan setelah melewati seluruh permukaan bumi hingga ke batas samudera, ia kembali ke ibukota kerajaan untuk sarapan pagi. Demikianlah pusaka-kuda yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

38. “Kemudian, pusaka-permata muncul untuk si Raja Pemutar-Roda. Permata itu adalah sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik. Sekarang cahaya dari pusaka-permata itu bersinar sejauh satu liga. Dan demikianlah yang terjadi ketika Sang Raja Pemutar-Roda mencoba pusaka-permatanya, ia membariskan keempat barisan bala tentaranya, dan menaikkan permata itu di atas benderanya, ia berjalan di dalam kegelapan dan kekelaman malam. Kemudian semua [penduduk] desa di dekatnya mulai bekerja dengan penerangan dari permata itu, menganggap bahwa hari telah siang. Demikianlah pusaka-permata yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

39. “Kemudian, pusaka-perempuan muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, cantik, menarik dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, [175] tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah, melampaui kecantikan manusia tanpa menyaingi kecantikan surgawi. Sentuhan pusaka-perempuan adalah seperti sentuhan segumpal kapok atau segumpal kapas. Ketika cuaca dingin, tubuhnya hangat; ketika cuaca hangat, tubuhnya dingin. Dari tubuhnya menguar aroma cendana, dan dari mulutnya menguar aroma teratai. Ia bangun sebelum Sang Raja dan tidur setelah Sang Raja. Ia suka melayani, berperilaku menyenangkan, dan bertutur-kata manis. Karena ia tidak pernah berkhianat pada Sang Raja Pemutar-Roda bahkan dalam pikiran, bagaimana mungkin ia melakukannya secara jasmani? Demikianlah pusaka-perempuan yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

40. “Kemudian, pusaka-pelayan muncul untuk si Raja Pemutar-Roda. Mata dewa yang muncul karena perbuatan masa lampau muncul dalam dirinya sehingga ia mampu melihat harta-hara karun tersembunyi baik yang ada pemiliknya maupun yang tidak ada pemiliknya. Ia mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Baginda, silahkan engkau bersantai. Aku akan mengatur urusan keuanganmu.’ Dan demikianlah yang terjadi ketika Sang Raja Pemutar-Roda mencoba pusaka-pelayannya, ia menaiki perahu, dan melayarkannya ke sungai Gangga, di tengah sungai ia berkata kepada pusaka-pelayan: ‘Aku memerlukan emas dan perak, pelayan.’ – Kalau begitu, Baginda, silahkan perahu ini menepi ke satu sisi.’ – ‘Pelayan, sebenarnya aku memerlukan emas dan perak itu di sini.’ Maka pusaka-pelayan itu mencelupkan tangannya ke air dan menarik sekendi penuh emas dan perak, dan ia berkata kepada Raja Pemutar-Roda: ‘Apakah ini cukup, Baginda? Cukupkah yang telah dilakukan, cukupkah yang telah dipersembahkan?’ – ‘Ini cukup, Pelayan, apa yang dilakukan telah mencukupi, apa yang dipersembahkan telah mencukupi.’ Demikianlah pusaka-pelayan yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

41. “Kemudian, pusaka-penasihat muncul [176] untuk si Raja Pemutar-Roda, bijaksana, cerdas, dan cerdik, mampu menyarankan Sang Raja Pemutar-Roda untuk memajukan apa yang seharusnya dimajukan, untuk menolak apa yang seharusnya ditolak, dan untuk menegakkan apa yang seharusnya ditegakkan. Ia mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Baginda, silahkan engkau bersantai. Aku akan memerintah.’ Demikianlah pusaka-penasihat yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

“Ini adalah ketujuh pusaka yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

42. “Apakah keempat jenis keberhasilan? Di sini seorang Raja Pemutar-Roda tampan, menarik dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan pertama yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

43. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda berumur panjang dan bertahan lama, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan ke dua yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

44. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda bebas dari penyakit dan penderitaan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan ke tiga yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

45. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda disayangi dan menyenangkan bagi para brahmana dan para perumah tangga. Seperti halnya seorang ayah disayangi dan menyenangkan bagi anak-anaknya, demikian pula seorang Raja Pemutar-Roda disayangi dan menyenangkan bagi para brahmana dan para perumah tangga. Para brahmana dan para perumah tangga, juga, disayangi dan menyenangkan bagi Sang Raja Pemutar-Roda. Seperti halnya anak-anak disayang dan menyenangkan bagi seorang ayah, demikian pula para brahmana dan para perumah tangga, juga, disayangi dan menyenangkan bagi Sang Raja Pemutar-Roda. Suatu ketika seorang Raja Pemutar-Roda sedang berkendara di Taman Rekreasi bersama dengan keempat barisan bala-tentaranya. Kemudian para brahmana dan para perumah tangga mendatanginya dan berkata: ‘Baginda, berjalanlah lebih lambat agar kami dapat melihatmu lebih lama.’ Dan demikianlah ia memerintahkan kusirnya: [177] ‘Kusir, berjalanlah lebih lambat agar aku dapat melihat para brahmana dan para perumah tangga ini lebih lama.’ Ini adalah keberhasilan ke empat yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

“Ini adalah keempat jenis keberhasilan yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

46. “Bagaimana menurut kalian, Para Bhikkhu? Apakah seorang Raja Pemutar-Roda mengalami kenikmatan dan kegembiraan karena memiliki ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan ini?”

“Yang Mulia, seorang Raja Pemutar-Roda mengalami kenikmatan dan kegembiraan karena memiliki bahkan hanya satu pusaka, apalagi ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan ini.”

47. Kemudian, dengan mengambil sebutir batu berukuran sekepalan tanganNya, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih besar, batu kecil yang kuambil ini, yang berukuran sekepalan tanganKu, atau Himalaya, raja pegunungan?”

“Yang Mulia, batu kecil yang telah Sang Bhagavā ambil itu, yang berukuran sekepalan tangan Beliau, tidak berarti dibandingkan Himalaya, raja pegunungan; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, kenikmatan dan kegembiraan yang dialami oleh seorang Raja Pemutar-Roda karena memiliki ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan adalah tidak berarti dibandingkan penderitaan neraka; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.

48. “Jika pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama. Si bijaksana itu terlahir kembali menjadi manusia, adalah di dalam keluarga makmur ia terlahir kembali – dalam keluarga mulia kaya, atau keluarga brahmana kaya, atau keluarga perumah tangga kaya – yang kaya, memiliki banyak harta kekayaan, memiliki banyak kepemilikan, dengan emas dan perak berlimpah, dan aset dan harta berlimpah, dan dengan uang dan hasil panen berlimpa. Ia tampan, menarik, dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah. Ia  mendapatkan makanan dan minuman, pakaian, kendaraan, kalung-bunga, wangi-wangian dan salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan cahaya. [178] Ia berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan setelah melakukan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga.

49. “Para bhikkhu, misalkan seorang penjudi pada lemparan pertamanya yang beruntung memenangkan harta besar, namun suatu lemparan beruntung seperti itu adalah tidak berarti; adalah lemparan yang jauh lebih beruntung ketika seorang bijaksana yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga.  Ini adalah kesempurnaan penuh dari tingkatan si bijaksana.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 15 October 2010, 06:06:53 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
130 Devaduta Sutta
« Reply #37 on: 15 October 2010, 05:53:10 PM »
130  Devadūta Sutta
Utusan Surgawi




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, misalkan terdapat dua rumah berpintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang masuk dan keluar dan berlalu-lalang. Demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Atau Makhluk-makhluk mulia ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan [179] pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam manusia. Tetapi makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam hantu. Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk …  ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam binatang.  Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk … ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka.’

3. “Sekarang para penjaga neraka menangkap makhluk itu pada kedua lengannya dan membawanya ke hadapan Raja Yama,  dengan berkata: ‘Baginda, orang ini telah memperlakukan ibunya dengan buruk, memperlakukan ayahnya dengan buruk, memperlakukan para petapa dengan buruk, memperlakukan para brahmana dengan buruk; ia tidak menghormati para tetua sukunya. Silahkan Raja menjatuhkan hukuman.’

4. “Kemudian Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama muncul di dunia?’  ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang bayi lembut yang berbaring telungkup, kotor dengan kotoran dan air kencingnya sendiri?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada kelahiran, aku tidak terbebas dari kelahiran: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu atau ayahmu, [180] atau oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, atau oleh teman-teman dan sahabatmu, atau oleh sanak saudara dan kerabatmu, atau oleh para petapa dan brahmana, atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

5. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti rusuk atap, terlipat dua, berjalan dengan ditopang oleh tongkat, terhuyung-huyung, lemah, tiada kemudaan, gigi tanggal, rambut memutih, rambut berguguran, botal, keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

6. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga: [181] ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – yang sakit, menderita, dan sakit parah, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’


“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

7. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya: setelah menderanya dengan cambukan ... (seperti Sutta 129, §4) ... dan kepala mereka dipenggal dengan pedang?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Mereka yang melakukan perbuatan jahat akan mengalami berbagai jenis siksaan di sini dan saat ini; [182] apa lagi setelah kematian? tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

8. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – satu hari setelah mati, dua hari setelah mati, tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan meneteskan cairan?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada lematian, aku tidak terbebas dari kematian: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

9. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima, Raja Yama berdiam diri.

10. “Kemudian para penjaga neraka [183] menyiksanya dengan lima tusukan.  Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus perutnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

11. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

12. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

13. “Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

14. “Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan arang yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

15. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadangn ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

16. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang sehubungan dengan Neraka Besar, para bhikkhu:

   Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun
   Dengan empat pintu, satu di setiap sisinya,
   Berdinding ke atas dan ke sekeliling terbuat dari besi
   Dan ditutup dengan atap besi.
   Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus liga
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

17. “Sekarang lidah api yang menyambar dari tembok timur mengenai tembok barat. Lidah api yang menyambar dari tembok barat mengenai [184] tembok timur. Lidah api yang menyambar dari tembok utara mengenai tembok selatan. Lidah api yang menyambar dari tembok selatan mengenai tembok utara. Lidah api yang menyambar dari lantai mengenai atap. Lidah api yang menyambar dari atap mengenai lantai. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

18. Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

“Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu barat Neraka Besar itu terbuka ... pintu utara Neraka Besar itu terbuka ... pintu selatan Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat ... Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

19. “Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ia keluar melalui pintu itu.

20. “Persis di sebelah Neraka Besar [185] adalah Neraka Kotoran yang luas. Ia terjatuh ke dalam neraka itu. Di dalam Neraka Kotoran itu makhluk-makhluk bermulut jarum mengebor kulit luarnya dan mengebor kulit dalamnya dan mengebor dagingnya dan mengebor uratnya dan mengebor tulangnya dan melahap sumsumnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

21. “Persis di sebelah Neraka Kotoran adalah Neraka Bara Api Panas yang luas. Ia terjatuh di sana. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

22. “Persis di sebelah Neraka Bara Api Panas adalah Hutan Pepohonan Simbali yang luas, tingginya satu liga, berduri dengan duri-duri sepanjang enam belas lebar jari, yang terbakar, menyala, dan berpijar. Mereka menyuruhnya memanjat pepohonan itu naik dan turun. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

23. “Persis di sebelah Hutan Pepohonan Simbali adalah Hutan Daun-pedang yang luas. Ia masuk ke sana. Dedaunannya, digerakkan oleh angin, memotong tangannya dan memotong kakinya dan memotong tngan dan kakinya; memotong telinganya dan memotong hidungnya dan memotong telinga dan hidungnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

24. “Persis di sebelah Hutan Daun-pedang adalah sungai besar berair tajam. Ia terjatuh di sana. di sana ia tersapu mengikuti arus dan melawan arus dan mengikuti-sekaligus-melawan arus. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

25. “Kemudian para penjaga neraka menariknya dengan kail, [186] dan menaikkannya ke atas tanah, mereka bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ Ia berkata: ‘Aku lapar, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka memasukkan bola besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya, bola besi itu membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

26. “Kemudian para penjaga bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ ia berkata: ‘Aku haus, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka menuangkan tembaga cair yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya. Tembaga itu membakar bibirnya, membakar mulutnya, membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

27. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya kembali ke dalam Neraka Besar.

28. “Pernah Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan yang dijatuhkan pada mereka. Oh, Semoga aku terlahir kembali menjadi manusia, semoga seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia, semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu, semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami Dhamma Sang Bhagavā itu!”

29. “Para bhikkhu, Aku mengatakan hal ini kepada kalian bukan sebagai sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain. Aku mengatakan hal ini kepada kalian sesbagai sesuatu yang sebenarnya diketahui, dilihat, dan ditemukan olehKu sendiri.” [187]

30. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah Yang Sempurna mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi,
   Banyak yang lalai,
   Dan orang-orang sungguh akan berdukacita dalam waktu yang lama
   Begitu pergi ke alam rendah.
   Tetapi ketika oleh para utusan surgawi
   Orang-orang baik di sini dalam kehidupan ini teringat,
   Mereka tidak berdiam dalam kelalaian
   Namun mempraktikkan Dhamma mulia dengan baik.
   Dengan takut mereka melihat kemelekatan
   Karena dapat mengakibatkan kelahiran dan kematian;
   Dan melalui ketidak-melekatan mereka terbebas
   Dalam hancurnya kelahiran dan kematian.
   Mereka berdiam dalam kebahagiaan karena mereka aman
   Dan mencapai Nibbāna di sini dan saat ini.
   Mereka melampaui segala ketakutan dan kebencian;
   Mereka telah membebaskan diri dari segala penderitaan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
131 Bhaddekaratta Sutta
« Reply #38 on: 17 October 2010, 02:09:28 PM »
131  Bhaddekaratta Sutta
Satu Malam Keramat




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat.’  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan kematian
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam –
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat. [188]

4. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’  Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

5. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang tidak menghidupan kembali masa lalu? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’  Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu.

6. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan!.’  Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan.’ Itu adalah bagaimana seseorang membangun harapan di masa depan.

7. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan!.’ Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan.’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak membangun harapan di masa depan.

8. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini?  Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri [189] … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

9. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

10.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.

11. “Demikianlah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari “Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat.”’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 May 2013, 08:18:39 AM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
132 Anandabhaddekaratta Sutta
« Reply #39 on: 17 October 2010, 02:10:43 PM »
132  Ānandabhaddekaratta Sutta
Ānanda dan
Satu Malam Keramat



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan [190] para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan. Ia sedang mengulangi ringkasan dan penjelasan dari “Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat.”

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, siapakah yang telah memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan? Siapakah yang telah mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’?”

“Ia adalah Yang Mulia Ānanda, Yang Mulia.”

Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, bagaimanakah engkau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat.’”

3-10. “Aku melakukannya sebagai berikut, Yang Mulia: [191]

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelunya, §3-10 hingga: )
   Yang telah melewati satu malam keramat.’

11. “Aku memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’ Seperti itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Bagus sekali bahwa engkau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’ Sebagai berikut:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelunya, §3-10 hingga: )
   Yang telah melewati satu malam keramat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


« Last Edit: 17 October 2010, 02:12:39 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
133 Mahakaccanabhaddekaratta Sutta
« Reply #40 on: 17 October 2010, 02:11:58 PM »
133  Mahākaccānabhaddekaratta Sutta
Mahā Kaccāna dan
Satu Malam Keramat



[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Taman Mata Air Panas. Kemudian, menjelang fajar, Yang Mulia Samiddhi pergi ke mata air panas untuk mandi. Setelah mandi ia keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah, mengeringkan tubuhnya. Kemudian, ketika malam hampir berlalu, sesosok dewa berpenampilan indah yang menerangi seluruh Mata Air Panas itu, mendekati Yang Mulia Samiddhi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu berkata:

2. “Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang setelah itu lenyap seketika.

3. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, [193] menceritakan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’”

4. “Kalau begitu, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulkia,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. Sang Bhagavā berkata:

5.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan kematian
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam –
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

6. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan itu, Yang Sempurna bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kediamanNya.

7.  Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir:  “Sekarang, teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” [194] Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

8. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

9. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [195] berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci; Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

10. “Tentu saja, teman Kaccāna, Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

11. “Maka dengarkanlah, teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kusampaikan.” – “Baiklah, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

12. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.”
 
aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

13. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? [196] Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, “Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’  Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, ‘Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan obyek-obyek sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan obyek-obyek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu. Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

14. “Bagaimanakah seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu? Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, “Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan obyek-obyel sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan obyek-obyek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

15. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

“Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan obyek-obyek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan [197] obyek-obyek pikiran seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

16. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

“Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan obyek-obyek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan obyek-obyek pikiran seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

17. “Bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan obyek-obyek sentuhan ... pikiran dan obyek-obyek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

18. “Bagaimanakah, seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan obyek-obyek sentuhan ... pikiran dan obyek-obyek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.”
 
aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: [199] “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepadaKu tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 May 2013, 08:19:20 AM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
134 Lomasakangiyabhaddekaratta Sutta
« Reply #41 on: 17 October 2010, 02:13:51 PM »
134  Lomasakangiyabhaddekaratta Sutta
Lomasakangiya dan
Satu Malam Keramat


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Lomasakangiya sedang menetap di negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada larut malam, Candana, dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Taman Nigrodha, mendekati Yang Mulia Lomasakangiya. Sambil berdiri di satu sisi, Candana si dewa muda berkata kepadanya:

“Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?” [200]

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’

“Tetapi, Teman, bagaimanakah syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ yang engkau ingat”?

“Bhikkhu, suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, di atas batu pualam merah di bawah pohon Pāricchattaka.  Di sana Sang Bhagavā membabarkan ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ kepada para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga:

3.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan kematian
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam –
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana yang damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

4. “Bhikkhu, aku ingat syair ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ seperti demikian. Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’ Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Candima si dewa muda, yang setelah itu lenyap seketika.

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Lomasakangiya merapikan tempat tinggalknya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī. Ia [201] akhirnya sampai di Sāvatthī, dan menghadap Sang Bhagavā di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, memberitahukan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat.’”

6. “Bhikkhu, apakah engkau mengenal dewa muda itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bhikkhu, dewa muda itu bernama Candana. Ia menekuni Dhamma, memperhatikan, menekuninya dengan seluruh pikirannya, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Maka, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Lomasakangiya menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7-14.   ‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelunya, §3-10 hingga: ) [202]
   Yang telah melewati satu malam keramat.’

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Lomasakangiya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 May 2013, 08:19:52 AM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
135 Culakammavibhanga Sutta
« Reply #42 on: 17 October 2010, 02:14:55 PM »
135  Cūḷakammavibhanga Sutta
Pembabaran Singkat tentang Perbuatan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian murid brahmana Subha, putera Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi mengapa manusia terlihat hina dan mulia? Orang-orang terlihat berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, cantik dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak berpengaruh, miskin dan kaya, berkelahiran rendah dan berkelahiran tinggi, bodoh dan [203] bijaksana. Apakah sebab dan kondisi, Guru Gotama, mengapa manusia terlihat hina dan mulia?”

4. “Murid, makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari penyataan Guru Gotama, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku agar aku dapat memahami secara terperinci makna dari pernyataan Guru Gotama.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” murid brahmana Subha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur pendek.  Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.

6. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur panjang.  Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup.

7. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berpenyakit. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada penyakit, yaitu, seseorang yang terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

8. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan sehat. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kesehatan, yaitu, seseorang yang tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

9. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan memiliki karakter pemarah dan mudah tersinggung; bahkan jika dikritik sedikit, ia menjadi tersinggung, menjadi marah, bermusuhan, dan membenci, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki rupa yang buruk. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada rupa yang buruk, yaitu, seseorang yang memiliki karakter pemarah … dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

10. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memiliki karakter pemarah dan tidak mudah tersinggung; bahkan jika banyak dikritik, ia tidak menjadi tersinggung, tidak menjadi marah, tidak bermusuhan, dan tidak membenci, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki rupa yang cantik. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada rupa yang cantik, yaitu, seseorang yang tidak memiliki karakter pemarah … dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

11. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan bersifat iri, seorang yang iri-hati, sakit hati, dan iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia tidak akan memiliki pengaruh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada ketiadaan pengaruh, yaitu, seseorang yang bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. [205]

12. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak bersifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak sakit hati, dan tidak iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan memiliki pengaruh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kepemilikan pengaruh, yaitu, seseorang yang tidak bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain.

13. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memberikan makanan, minuman, pakaian, kereta, kalung bunga, wangi-wangian, salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi miskin. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kemiskinan, yaitu, seseorang tidak memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

14. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi kaya. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kekayaan, yaitu, seseorang memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

15. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan keras kepala dan sombong; ia tidak memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, tidak bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, tidak memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan tidak memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berkelahiran rendah. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kelahiran rendah, yaitu, sifat keras kepala dan sombong … dan tidak memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

16. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak keras kepala dan tidak sombong; ia memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berkelahiran tinggi. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kelahiran tinggi, yaitu, sifat tidak  keras kepala dan tidak sombong … dan memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

17. “Di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? Apakah yang tidak bermanfaat? Apakah yang tercela? Apakah yang tidak tercela? Apakah yang harus dilatih? Apakah yang tidak boleh dilatih? Perbuatan apakah yang mengarah pada kerugian dan penderitaanku untuk waktu yang lama? Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi bodoh. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kebodohan, yaitu, seseorang tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian. [206]

18. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? … Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan menjadi bijaksana. Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada kebijaksanaan, yaitu, seseorang mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian.

19. “Demikianlah, murid, jalan yang mengarah pada umur yang pendek menyebabkan orang-orang menjadi berumur pendek, jalan yang mengarah pada umur yang panjang menyebabkan orang-orang menjadi berumur panjang; jalan yang mengarah pada penyakit menyebabkan orang-orang menjadi berpenyakit, jalan yang mengarah pada kesehatan menyebabkan orang-orang menjadi sehat; jalan yang mengarah pada rupa yang buruk menyebabkan orang-orang menjadi buruk rupa, jalan yang mengarah pada rupa yang cantik menyebabkan orang-orang menjadi cantik; jalan yang mengarah pada ketiadaan pengaruh menyebabkan orang-orang  menjadi tidak berpengaruh, jalan yang mengarah pada kepemilikan pengaruh menyebabkan orang-orang menjadi berpengaruh; jalan yang mengarah pada kemiskinan menyebabkan orang-orang menjadi miskin, jalan yang mengarah pada kekayaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi kaya; jalan yang mengarah pada kelahiran rendah menyebabkan orang-orang menjadi berkelahiran rendah, jalan yang mengarah pada kelahiran tinggi menyebabkan orang-orang menjadi menjadi berkelahiran tinggi; jalan yang mengarah pada kebodohan menyebabkan orang-orang menjadi bodoh, jalan yang mengarah pada kebijaksanaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi bijaksana.

20. “Makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

21. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putera Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 17 October 2010, 02:24:15 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
136 Mahakammavibhanga Sutta
« Reply #43 on: 17 October 2010, 02:18:11 PM »
136  Mahākammavibhanga Sutta
Pembabaran Panjang tentang Perbuatan




[207] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2.  Pada saat itu Yang Mulia Samiddhi sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pengembara Potaliputta, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi Yang Mulia Samiddhi dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi.

“Teman Samiddhi, aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Petapa Gotama sendiri: ‘Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Dan: ‘Ada pencapaian yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apapun sama sekali.’”

“Jangan berkata begitu, Teman Pataliputta, jangan berkata begitu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā, tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti ini: ;Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Tetapi, Teman, memang ada pencapaian itu yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apapun sama sekali.”

“Berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian, Teman Samiddhi?”

“Belum lama, Teman: tiga tahun.”

“Demikianlah, apa yang akan kami katakan kepada para bhikkhu senior ketika seorang bhikkhu muda berpikir bahwa Sang Guru harus dibela seperti demikian? Teman Samiddhi, setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, apakah yang dirasakan seseorang?”

“Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, seseorang merasakan penderitaan, Teman Potaliputta.”

Kemudian, dengan tidak menerima juga tidak menolak kata-kata Yang Mulia Samiddhi, Pengembara Potaliputta bangkit dari duduknya dan pergi.

3. Segera setelah Pengembara Potaliputta pergi, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Yang Mulia Ānanda [208] dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan melaporkan keseluruhan percakapannya dengan Pengembara Potaliputta kepada Yang Mulia Ānanda. Setelah ia selesai berbicara, Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya: “Sahabat Samiddhi, percakapan ini harus diberitahukan kepada Sang Bhagavā. Marilah, kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau mengenai hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.” – “Baik, Sahabat,” Yang Mulia Samiddhi menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Yang Mulia Samiddhi bersama-sama mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda melaporkan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Samiddhi dengan Pengembara Potaliputta kepada Sang Bhagavā.

5. Ketika ia selesai, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Aku bahkan tidak ingat pernah bertemu dengan Pengembara Potaliputta, jadi bagaimana mungkin pernah terjadi percakapan ini? Walaupun pertanyaan Pengembara Potaliputta seharusnya dianalisis terlebih dulu sebelum dijawab, namun orang sesat Samiddhi ini menjawabnya secara sepihak.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkin Yang Mulia Samiddhi berkata demikian dengan merujuk pada [prinsip]: ‘Apapun yang dirasakan adalah termasuk dalam penderitaan.’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Lihatlah, Ānanda, bagaimana orang sesat Udāyin ini menyimpulkan. Aku tahu, Ānanda, bahwa saat ini orang sesat Udāyin ini akan menyimpulkan dengan cara keliru. Sejak awal Pengembara Potaliputta menanyakan tentang ketiga jenis perasaan. Orang sesat Samiddhi ini [209] seharusnya menjawab Pengembara Potaliputta dengan benar jika, ketika ditanya demikian, ia menjelaskan: ‘Teman Potaliputta,  setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyenangkan, maka seseorang merasa senang. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyakitkan, maka seseorang merasa sakit. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka seseorang merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan.’ Tetapi siapakah orang-orang dungu ini, para pengembara bodoh dari sekte lain, yang dapat memahami penjelasan panjang dari Sang Tathāgata tentang perbuatan? Engkau harus mendengarkan Sang Tathāgata, Ānanda, sewaktu Beliau menjelaskan penjelasan panjang tentang perbuatan.”

7. “Sekaranglah waktunya, Sang Bhagavā, sekaranglah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk membabarkan penjelasan panjang tentang perbuatan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Ānanda,  ada empat jenis orang terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata fitnah, mengucapkan kata-kata kasar, bergosip; ia tamak, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Tetapi seseorang di sini membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan kebohongan, menghindari mengucapkan kata-kata fitnah, [210] menghindari mengucapkan kata-kata kasar, menghindari gosip; ia tidak tamak, memiliki pikiran tanpa buruk, dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

9. “Di sini, Ānanda, melalui semangat, usaha, kegigihan, ketekunan, dan perhatian benar, seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

10. “Tetapi di sini, Ānanda, [211] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

11. “Di sini, Ānanda, melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

12. “Tetapi di sini, Ānanda, [212] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

13. “Di sana, Ānanda,  ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

14. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ [213] Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

15. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagian, bahkan di alam surga,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.


-------------------------
*** Bersambung
« Last Edit: 29 January 2012, 11:01:50 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
136 Mahakammavibhanga Sutta (Lanjutan)
« Reply #44 on: 17 October 2010, 02:19:38 PM »
Lanjutan 136  Mahākammavibhanga Sutta
------------------------------------------------------



16. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: [214] ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

17. “Di sana, Ānanda,  sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah.  Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.  Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

18. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar.  Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.  Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

19. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.  Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup [215] … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

20. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.  Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

21. “Demikianlah, Ānanda, ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak tidak mampu; ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak mampu; ada perbuatan yang mampu dan tampak mampu; dan ada perbuatan yang mampu dan tampak tidak mampu.” 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.