Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press
Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
Yi FanG:
43 Mahāvedalla Sutta
Rangkaian panjang Tanya-Jawab
[292] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
“Kemudian, pada malam hari, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Sāriputta, dan saling bertukar sapa dengannya. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:
(KEBIJAKSANAAN)
2. “’Seorang yang tidak bijaksana, seorang yang tidak bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang tidak bijaksana’?”
“’Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami’, Teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana’. Dan apakah yang seseorang tidak dengan bijaksana memahami? Ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’. ‘Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami’, teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana’.
Dengan mengatakan “Bagus, Teman’, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:
3. “’Seorang yang bijaksana, seorang yang bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang bijaksana’?”
“’Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana’. Dan apakah yang seseorang dengan bijaksana memahami? Ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’. ‘Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami’, teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana’.
(KESADARAN)
4. “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”
“’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari’, teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan. [ ]Apakah yang dikenali? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan’.; “’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari’, teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.
5. “Kebijaksanaan dan kesadaran, teman—apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya?”
“Kebijaksanaan dan kesadaran, teman—kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya. Karena apa yang seseorang pahami dengan bijaksana, maka itulah yang ia sadari, dan apa yang ia sadari, maka itulah yang ia pahami dengan bijaksana. [293] Itulah mengapa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya.”
6. “Apakah perbedaannya, Teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, bahwa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan terpisah?”
“Perbedaannya, Teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, bahwa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan terpisah, adalah: kebijaksanaan harus dikembangkan, kesadaran harus dipahami sepenuhnya.”
(PERASAAN)
7. “’Perasaan, perasaan’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘perasaan’ dikatakan?”
“’Perasaan merasakan, perasaan merasakan’, teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan. Apakah yang dirasakan? Perasaan merasakan kenikmatan, perasaan merasakan kesakitan, perasaan merasakan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan’. ’Perasaan merasakan, perasaan merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan.
(PERSEPSI)
8. “Persepsi, persepsi dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘persepsi’ dikatakan?”
“Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan. Apakah yang dipersepsikan? Persepsi mempersepsikan biru, persepsi mempersepsikan kuning, persepsi mempersepsikan merah, dan persepsi mempersepsikan putih. ’Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan’, teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan.
9. “Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman—apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya?”
“Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman—kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya.”
(MENGETAHUI HANYA MELALUI PIKIRAN)
10. “Teman, apakah yang dapat diketahui oleh kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria?”
“Teman, melalui kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria, maka landasan ruang tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Ruang adalah tanpa batas’; landasan kesadaran tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Kesadaran adalah tanpa batas’; dan landasan kekosongan dapat diketahui sebagai berikut: ‘Tidak ada apa-apa’.”
11. “Teman, dengan apakah seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui?”
“Teman, seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui dengan mata kebijaksanaan.”
12. “Teman, apakah kegunaan kebijaksanaan?”
“Kegunaan kebijaksanaan, Teman, adalah pengetahuan langsung, gunanya adalah pemahaman sepenuhnya, gunanya adalah melepaskan.”
(PANDANGAN BENAR)
[294] 13. “Teman, berapakah kondisi bagi munculnya pandangan benar?”
“Teman, ada dua kondisi bagi munculnya pandangan benar: kata-kata orang lain dan perhatian bijaksana. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan benar.”
14. [ ]“Teman, oleh berapakah faktor pandangan benar dibantu ketika memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya?”
“Teman, pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Di sini, Teman, pandangan benar dibantu oleh moralitas, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”
(PENJELMAAN)
15. “Teman, berapakah jenis penjelmaan?”
“Ada tiga jenis penjelmaan ini, teman: penjelmaan alam-indria, penjelmaan alam-berbentuk, dan penjelmaan alam-tanpa-bentuk.”
16. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan dihasilkan?”
“Teman, penjelmaan baru di masa depan dihasilkan melalui kegembiraan dalam ini dan itu di pihak makhluk-makhluk yang dirintangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan.”
17. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan?”
“Teman, dengan meluruhnya kebodohan, dengan munculnya pengetahuan sejati, dan dengan lenyapnya keinginan, maka penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan.”
(JHĀNA PERTAMA)
18. “Teman, apakah jhāna pertama?”
“Di sini, Teman, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraaan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.”
19. “Teman, berapakah faktor yang dimiliki jhāna pertama?”
“Teman, jhāna pertama memiliki lima faktor. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana jhāna pertama memiliki lima faktor.”
20. “Teman, berapakah faktor yang ditinggalkan dalam jhāna pertama dan berapakah faktor yang dimiliki?”
“Teman, dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, keinginan indria ditinggalkan, niat buruk ditinggalkan, kelambanan dan ketumpulan ditinggalkan, kekhawatiran dan penyesalan [295] ditinggalkan, dan keragu-raguan ditinggalkan; dan di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki.”
(LIMA INDRIA)
21. “Teman, lima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu: indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, apakah penentunya, apakah yang mengalami bidang dan wilayahnya?”
“Teman, kelima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu: indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, memiliki pikiran sebagai penentunya, dan pikiran mengalami bidang dan wilayahnya.”
22. “Teman, sehubungan dengan kelima indria ini—yaitu: indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan—bergantung pada apakah kelima indria ini berdiri?”
“Teman, sehubungan dengan kelima indria ini—yaitu: indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan—kelima indria ini berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”
“Teman, bergantung pada apakah vitalitas berdiri?”
“Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas.”
“Teman, bergantung pada apakah panas berdiri?”
“Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”
“Tadi, Teman, kami memahami Yang Mulia Sāriputta mengatakan: ‘Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas’.; dan sekarang kami memahami ia mengatakan: ‘Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas’. Bagaimanakah makna dari kedua pernyataan ini dipahami?”
“Dalam hal ini, Teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana di sini memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan. Seperti halnya ketika sebuah lampu minyak menyala, cahayanya terlihat dengan bergantung pada apinya dan apinya terlihat dengan bergantung pada cahayanya; demikian pula, vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas dan panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”
Yi FanG:
(BENTUKAN-BENTUKAN VITAL)
23. “Teman, apakah bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan atau apakah bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya?” [296]
“Bentukan-bentukan vital, teman, bukanlah kondisi perasaan. [ ]Jika bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak terlihat keluar dari sana. Karena bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya, ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia dapat terlihat keluar dari sana.”
24. “Teman, ketika jasmani ini kehilangan berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu?”
“Teman, ketika jasmani ini kehilangan tiga kondisi—vitalitas, panas, dan kesadaran—maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu.”
25. “Teman, apakah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?”
“Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, [ ]bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih. [ ]Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan.”
(KEBEBASAN PIKIRAN)
26. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman, ada empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan: di sini, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
27. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran?”
“Teman, ada dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran: tanpa-perhatian pada segala gambaran dan perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran.”
28. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang terus-menerus?”
“Teman, ada dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang terus-menerus: [297] tanpa-perhatian pada segala gambaran, perhatian pada unsur tanpa-gambaran, dan tekad sebelumnya [atas lamanya]. Ini adalah ada tiga kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang terus-menerus.”
29. “Teman, berapakah kondisi untuk keluar dari kebebasan pikiran tanpa gambaran?”
“Teman, ada dua kondisi untuk keluar dari pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran: perhatian pada segala gambaran dan tanpa-perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah kondisi untuk keluar dari [ ]kebebasan pikiran tanpa gambaran.”
30. “Teman, kebebasan pikiran tanpa batas, kebebasan pikiran melalui kekosongan, kebebasan pikiran melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran: apakah kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, atau bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan?”
“Teman, kebebasan pikiran tanpa batas, kebebasan pikiran melalui kekosongan, kebebasan pikiran melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran: ada cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, dan ada cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama [ ]dan hanya berbeda dalam sebutan.
31. “Apakah, Teman, cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan? Di sini seorang bhikkhu meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut kebebasan pikiran tanpa batas.
32. “Dan apakah, Teman, kebebasan pikiran melalui kekosongan?” Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini disebut kebebasan pikiran melalui kekosongan.
33. “Dan apakah, Teman, kebebasan pikiran melalui kehampaan? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Ini hampa dari diri atau apa yang menjadi milik diri’. [298] Ini disebut kebebasan pikiran melalui kehampaan.
34. “Dan apakah, Teman, kebebasan pikiran tanpa gambaran? Di sini, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa-gambaran. Ini disebut kebebasan pikiran tanpa gambaran. [ ]Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan.
35. “Dan apakah, Teman, cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan? Nafsu adalah pembuat penilaian, kebencian adalah pembuat penilaian, kebodohan adalah pembuat penilaian. [ ]Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran tanpa batas, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. Sekarang kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.
36. “Nafsu adalah satu hal, kebencian adalah satu hal, kebodohan adalah satu hal. [ ]Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran melalui kekosongan, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. [ ]Sekarang kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.
37. “Nafsu adalah pembuat gambaran, kebencian adalah pembuat gambaran, kebodohan adalah pembuat gambaran. [ ]Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran tanpa gambaran, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. [ ]Sekarang kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan. Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Mahā Koṭṭhita merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Yi FanG:
44 Cūḷavedalla Sutta
Rangkaian pendek Tanya-Jawab
[299] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian umat awam Visākha mendatangi Bhikkhunī Dhammadinnā, [ ]dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya:
(IDENTITAS)
2. “Yang Mulia, ‘identitas, identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut identitas oleh Sang Bhagavā?
“Teman Visākha, kelima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan disebut sebagai identitas oleh Sang Bhagavā; yaitu: kelompok bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kelima kelompok unsur kehidupan ini disebut identitas oleh Sang Bhagavā.”
Dengan mengatakan, “Bagus sekali, Yang Mulia,” umat awam Visākha senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:
3. “Yang Mulia, ‘asal-mula identitas, asal-mula identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā?”
“Teman Visākha, adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan senang akan ini dan itu; yaitu: keinginan akan kenikmatan indria, keinginan akan penjelmaan, dan keinginan akan tanpa-penjelmaan. Ini disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā.”
4. “Yang Mulia, ‘lenyapnya identitas, lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”
“Teman Visākha, adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, menghentikan, melepaskan, melewatkan dan penolakan atas keinginan yang sama itu. Ini disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā.”
5. “Yang Mulia, ‘jalan menuju lenyapnya identitas, jalan menuju lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut jalan menuju lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”
“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”
6. “Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, atau kemelekatan adalah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan?”
“Teman Visākha, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan [300] juga kemelekatan bukan sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Adalah keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan yang menjadi kemelekatan di sana.”
(PANDANGAN ATAS IDENTITAS)
7. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas muncul?”
“Di sini, Teman Visākha, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas muncul.”
8. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas tidak muncul?”
“Di sini, Teman Visākha, seorang mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas tidak muncul”.
(JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN)
9. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan?”
“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”
10. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah terkondisi atau tidak terkondisi?”
“Teman, Visākha, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah [301] terkondisi.”
11. “Yang Mulia, apakah tiga kelompok termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, atau Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam tiga kelompok?”
“Tiga kelompok bukan termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, Teman Visākha, tetapi Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam ketiga kelompok. Ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar—kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok moralitas. Usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar—kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok konsentrasi. Pandangan benar dan kehendak benar—kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok kebijaksanaan.”
(KONSENTRASI)
12. “Yang Mulia, apakah konsentrasi? Apakah landasan konsentrasi? Apakah perlengkapan konsentrasi? Apakah pengembangan konsentrasi?”
“Keterpusatan pikiran, Teman Visākha, adalah konsentrasi; Empat Landasan Perhatian adalah landasan konsentrasi; Empat Usaha Benar adalah perlengkapan konsentrasi; pengulangan, pengembangan, dan pelatihan atas hal-hal ini adalah kondisi yang sama dengan pengembangan konsentrasi.”
(BENTUKAN-BENTUKAN)
13. “Yang Mulia, ada berapakah bentukan-bentukan itu?”
“Ada tiga bentukan ini, teman Visākha: bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran.”
14. “Tetapi, Yang Mulia, apakah bentukan jasmani? apakah bentukan ucapan? apakah bentukan pikiran?”
“Nafas-masuk dan nafas-keluar, teman Visākha, adalah bentukan jasmani; awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan; persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”
15. “Tetapi, Yang Mulia, mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani? Mengapa awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan? Mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran?
“Teman Visākha, nafas-masuk dan nafas-keluar adalah jasmani, kondisi-kondisi ini terikat dengan jasmani; itulah sebabnya mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani. Pertama-tama seseorang mulai berpikir dan mempertahankan pikiran, dan selanjutnya ia memgungkapkannya melalui ucapan; itulah sebabnya mengapa awal-pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan. Persepsi dan perasaan adalah pikiran, kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”
Yi FanG:
sambungan 44 Cūḷavedalla Sutta
(PENCAPAIAN LENYAPNYA)
16. “Yang Mulia, bagaimanakah pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan’, atau ‘Aku sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku telah mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.” [302]
17. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama lenyap dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan ucapan lenyap, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan pikiran.”
18. “Yang Mulia, bagaimanakah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan’, atau ‘Aku sedang keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan’, atau ‘Aku telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.”
19. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama muncul dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan pikiran muncul, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan ucapan.”
20. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ada berapakah kontak yang menyentuhnya?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, tiga jenis kontak menyentuhnya: kontak kehampaan, kontak tanpa-gambaran, kontak tanpa-keinginan.”
21. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kepada apakah pikirannya condong, kepada apakah pikirannya bersandar, kepada apakah pikirannya mengarah?”
“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pikirannya condong kepada keterasingan, bersandar pada keterasingan, mengarah pada keterasingan.”
(PERASAAN)
22. “Yang Mulia, ada berapakah jenis perasaan?”
“Teman Visākha, ada tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
23. “Tetapi, Yang Mulia, apakah perasaan menyenangkan? apakah perasaan menyakitkan? dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman Visākha, perasaan apa pun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyenangkan dan menyejukkan. Perasaan apa pun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyakitkan dan melukai. Perasaan apa pun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang tidak menyejukkan juga tidak melukai [303] adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
24. “Yang Mulia, apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? Apakah menyakitkan dan apakah menyenangkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? Apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?
“Teman Visākha, perasaan menyenangkan adalah menyenangkan selama perasaan itu berlangsung dan menyakitkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan menyakitkan adalah menyakitkan selama perasaan itu berlangsung dan menyenangkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan adalah menyenangkan jika ada pengetahuan [atas perasaan itu] dan menyakitkan jika tidak ada pengetahuan [atas perasaan itu].”
(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)
25. “Yang Mulia, kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyenangkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyakitkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
26. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
27. “Yang Mulia, apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
28. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.
“Di sini, Teman Visākha, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan itu ia meninggalkan nafsu, dan kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu.
“Di sini seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kapankah aku harus masuk dan berdiam dalam landasan yang dimasuki dan didiami oleh para mulia sekarang?’ Dalam diri seorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, [304] kesedihan muncul bersama kerinduan itu sebagai kondisi. Dengan itu ia meninggalkan kebencian, dan kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari itu.
“Di sini, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Dengan itu ia meninggalkan kebodohan, dan kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari itu.”
(PASANGAN)
29. “Yang Mulia, apakah pasangan dari perasaan menyenangkan?”
“Teman Visākha, perasaan menyakitkan adalah pasangan dari perasaan menyenangkan.”
“Apakah pasangan dari perasaan menyakitkan?”
“Perasaan menyenangkan adalah pasangan dari perasaan menyakitkan.”
“Apakah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Kebodohan adalah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
“Apakah pasangan dari kebodohan?”
“Pengetahuan sejati adalah pasangan dari kebodohan.”
“Apakah pasangan dari pengetahuan sejati?”
“Kebebasan adalah pasangan dari pengetahuan sejati.”
“Apakah pasangan dari kebebasan?”
“Nibbāna adalah pasangan dari kebebasan.”
“Yang Mulia, apakah pasangan dari Nibbāna?”
“Teman Visākha, engkau sudah mengajukan pertanyaan terlalu jauh, engkau tidak mampu menangkap batas pertanyaan-pertanyaan. [ ]Karena kehidupan suci, Teman Visākha, bergabung dalam Nibbāna, memuncak dalam Nibbāna, berakhir dalam Nibbāna. Jika engkau menghendaki, Teman Visākha, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau mengenai makna ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu, demikianlah engkau harus mengingatnya.”
(PENUTUP)
30. Kemudian umat awam Visākha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepadanya, dengan Bhikkhunī Dhammadinnā di sisi kanannya, ia pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā seluruh percakapannya dengan Bhikkhunī Dhammadinnā. Ketika ia selesai berbicara, Sang Bhagavā memberitahunya:
31. Bhikkhunī Dhammadinnā bijaksana, Visākha, Bhikkhunī Dhammadinna memiliki kebijaksanaan luas. Jika engkau menanyakan makna dari hal ini, Aku juga akan menjelaskan kepadamu [305] dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Bhikkhunī Dhammadinnā. Demikianlah maknanya, dan engkau harus mengingatnya.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Umat awam Visākha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Yumi:
Tambahan 41 Sāleyyaka Sutta
12. ia berdiam dengan berbelaskasihan kepada semua makhluk hidup
13. “Dan bagaimanakah, Para perumah tangga,
atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’;
14. “Dan bagaimanakah, Para perumah tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma,
Di sini, seseorang tidak bersifat iri-hati;
Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik
18-42. para dewa pengikut Brahmā ... para dewa bercahaya [’]
Navigation
[0] Message Index
[#] Next page
[*] Previous page
Go to full version