//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua  (Read 39877 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
95 Canki Sutta
« Reply #60 on: 15 September 2010, 11:08:04 AM »
95 Cankī Sutta
Bersama Cankī

[164] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah desa brahmana Kosala bernama Opasāda. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Para Dewa,  Hutan Pohon-Sāla di utara Opāsada.

2. Pada saat itu Brahmana Cankī adalah penguasa Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah, kaya akan padang rumput, hutan, sungai, dan sawah, suatu anugerah kerajaan, pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala.

3. Para brahmana perumah tangga di Opasāda mendengar: “Petapa Gotama … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

4. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla.

5. Pada saat itu Brahmana Cankī telah naik ke lantai atas istananya untuk beristirahat siang. Kemudian ia melihat para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla. Ketika ia melihat mereka, ia bertanya kepada menterinya: “Menteriku, mengapakah brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla?”

6. “Tuan, ada Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, yang sedang mengembara di negeri Kosala … (seperti Sutta 91, §3) … Mereka pergi menemui Guru Gotama.”

“Kalau begitu, menteriku, temui para brahmana perumah tangga itu dan katakan: ‘Tuan-tuan, Brahmana Cankī berkata sebagai berikut: “Mohon Tuan-tuan menunggu sebentar. Brahmana Cankī juga akan pergi menemui Petapa Gotama”’”

“Baik, Tuan,” menteri itu menjawab, [165] dan ia menjumpai para brahmana perumah tangga dari Opasāda dan menyampaikan pesannya.

7. Pada saat itu lima ratus brahmana dari berbagai wilayah sedang menetap di Opasāda untuk suatu urusan. Mereka mendengar: “Brahmana Cankī, dikatakan, akan menemui Petapa Gotama.” Kemudian mereka mendatangi Brahmana Canki dan bertanya kepadanya: “Tuan, benarkah bahwa engkau akan menemui Petapa Gotama?”

“Demikianlah, Tuan-tuan. Aku akan menemui Petapa Gotama.”

8. “Tuan, jangan pegi menemui Petapa Gotama. Tidaklah selayaknya, Guru Cankī, bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama; sebaliknya, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Karena engkau, Tuan, terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Engkau, Tuan, kaya, dengan kekayaan berlimpah dan banyak kepemilikan. Engkau, Tuan, adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Engkau, Tuan, tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Engkau, Tuan, bermoral, matang dalam moralitas, memiliki moralitas yang matang. Engkau, Tuan, adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; [166] engkau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Engkau, Tuan, mengajarkan guru-guru dari banyak orang, dan engkau mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Brahmana Pokkharasāti.  Engkau, Tuan, menguasai Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah … pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada para brahmana itu: “Sekarang, Tuan-tuan, dengarkanlah dariku mengapa selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama, dan mengapa tidak selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku. Tuan-tuan, Petapa Gotama terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemuiku, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dengan melepaskan banyak emas dan perak yang tersimpan dalam gudang dan lumbung. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupannya. Tuan-tuan, Petapa Gotama mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah walaupun ibu dan ayahnya menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah berlinang air mata. Tuan-tuan, Petapa Gotama tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, [167] dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bermoral, dengan moralitas mulia, dengan moralitas bermanfaat, memiliki moralitas yang bermanfaat. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; Beliau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah guru bagi guru-guru dari banyak orang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bebas dari nafsu indria dan tidak membanggakan diri. Tuan-tuan, Petapa Gotama menganut doktrin efektivitas tindakan bermoral, doktrin efektivitas perbuatan bermoral; Beliau tidak berniat mencelakai silsilah para brahmana. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kerajaan, dari salah satu keluarga mulia yang asli. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kaya, dari keluarga dengan kekayaan berlimpah dan kepemilikan berlimpah. Tuan-tuan, orang-orang datang dari kerajaan-kerajaan yang jauh dan daerah-daerah yang jauh untuk bertanya kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, ribuan dewa telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, berita baik sehubungan dengan Petapa Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Tercerahkan, terberkahi.’ Tuan-tuan, Petapa Gotama memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa. Tuan-tuan, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Raja Pasenadi dari Kosala dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Brahmana Pokkharasāti dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama telah tiba di Opasāda dan menetap di Opasāda di Hutan Para Dewa, di Hutan Pohon Sāla di utara Opasāda. Sekarang setiap petapa atau brahmana yang datang ke pemukiman kita adalah tamu kita, dan tamu seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. Karena Petapa Gotama telah tiba di Opasāda, maka Beliau adalah tamu kita, dan karena tamu kita seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. [168] Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama.

“Tuan-tuan, sebanyak ini pujian atas Guru Gotama yang telah kuketahui, tetapi pujian atas Guru Gotama tidak terbatas pada itu, karena pujian atas Guru Gotama adalah tidak terbatas. Karena Guru Gotama memiliki masing-masing dari faktor-faktor ini, maka tidaklah selayaknya bagi Beliau untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Oleh karena itu, Tuan-tuan, marilah kita semuanya pergi menemui Petapa Gotama.”

10. Kemudian Brahmana Cankī, bersama dengan sejumlah besar brahmana, pergi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi.

11. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk dan beramah-tamah dengan beberapa brahmana yang sangat senior. Ketika itu, duduk dalam kumpulan itu, seorang murid brahmana bernama Kāpaṭhika. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Sementara para brahmana yang sangat senior sedang berbincang-bincang dengan Sang Bhagavā, ia berulang-ulang menyela pembicaraan mereka. Kemudian Sang Bhagavā menegur murid brahmana Kāpaṭhika sebagai berikut: “Mohon Yang Mulia Bhāradvāja tidak menyela pembicaraan para brahmana senior ketika mereka sedang berbicara. Mohon Yang Mulia Bhāradvāja menunggu hingga pembicaraan selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mohon Guru Gotama tidak menegur murid brahmana Kāpaṭhika. Murid brahmana Kāpaṭhika adalah seorang anggota keluarga, ia sangat terpelajar, ia adalah penyampai ajaran yang baik, ia bijaksana; ia mampu mengambil bagian dalam diskusi dengan Guru Gotama.”

12. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tentu saja, [169] karena para brahmana menghormatinya demikian, murid brahmana Kāpaṭhika pasti mahir dalam kitab-kitab Tiga Veda.”

Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Ketika Petapa Gotama melihatku, aku akan mengajukan pertanyaan kepada Beliau.”

Kemudian, mengetahui pikiran murid brahmana Kāpaṭhika dengan pikiran Beliau sendiri, Sang Bhagavā berpaling kepadanya. Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Petapa Gotama telah berpaling kepadaku. Bagaimana jika aku mengajukan sebuah pertanyaan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmanis kuno yang diturunkan melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

13. “Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang brahamana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangi – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu  - apakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – [170] “Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Bhāradvāja, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Bagaimana menurutmu, Bhāradvaja, oleh karena itu, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti tidak berdasar?”

14. “Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan, Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.”

 “Bhāradvāja, pertama-tama engkau berpegang pada keyakinan, sekarang engkau mengatakan tradisi lisan. Ada lima hal, Bhāradvāja, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan.  Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Sekarang sesuatu mungkin sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. Kemudian, [171] sesuatu mungkin sepenuhnya disetujui … disampaikan dengan baik … dinalar dengan baik … direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. [Dalam kondisi-kondisi ini] adalah tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’”

------------
Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 12:22:32 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
95 Canki Sutta (Lanjutan)
« Reply #61 on: 15 September 2010, 11:09:10 AM »
Lanjutan Canki Sutta
-----------------------

15. “Tetapi, Guru Gotama, dengan cara bagaimanakah pelestarian kebenaran itu?  Bagaimanakah seseorang melestarikan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran.”

“Jika seseorang memiliki keyakinan, Bhāradvāja, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Keyakinanku adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kseimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara inilah ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.

“Jika seseorang menyetujui sesuatu … jika ia menerima penyampaian tradisi lisan … jika ia [sampai pada kesimpulan yang berdasarkan pada] penalaran … jika ia memperoleh penerimaan pandangan melalui perenungan, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Penerimaanku atas suatu pandangan setelah merenungkan adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kseimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini juga, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.”

16. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara itu seseorang melestarikan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui pelestarian kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, penemuan kebenaran itu? Dengan cara bagaimanakah seseorang menemukan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran.”

17. “Di sini, Bhāradvāja, seorang bhikkhu mungkin hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman.  Kemudian seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mendatanginya dan menyelidikinya sehubungan dengan tiga jenis kondisi: [172] sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, dan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada keserakahan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut, walaupun tidak mengetahui ia akan mengatakan, “Aku tahu,” atau walaupun tidak melihat ia akan mengatakan “Aku melihat,” atau ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh keserakahan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya melalui logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh keserakahan.’

18. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebencian sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebencian. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’

19. Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebodohan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebodohan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’

20. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia mendengarkan; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna maknanya, ia memperoleh penerimaan atas ajaran-ajran itu melalui perenungan; ketika ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki;  setelah menyelidiki, ia berusaha;  karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.  Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran.”

21. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara itu seseorang menemukan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui penemuan kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran? Dengan cara bagaimanakah seseorang akhirnya sampai pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran.” [174]

“Kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja, terletak pada pengulangan, pengembangan, dan pelatihan hal-hal yang sama itu. Dengan cara inilah, Bhāradvāja, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara ini seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan kedatangan akhir pada kebenaran.”

22. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara itu seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui kedatangan akhir pada kebenaran. Tetapi dengan cara apakah, Guru Gotama, hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

“Usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak berusaha, maka ia tidak akan pada akhirnya sampai pada kebenaran; tetapi karena ia berusaha, maka ia akhirnya sampai pada kebenaran. Itulah sebabnya mengapa usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

23. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi usaha? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi usaha.”

“Penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menyelidiki, maka ia tidak akan berusaha; tetapi karena ia menyelidiki, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha.”

24. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penyelidikan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penyelidikan.”

“Pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengerahkan tekadnya, maka ia tidak akan menyelidiki; tetapi karena ia mengerahkan tekadnya, maka ia menyelidiki. Itulah sebabnya mengapa pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan.”

25. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi pengerahan tekad? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

“Semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak membangkitkan semangat, maka ia tidak akan mengerahkan tekadnya; tetapi karena ia membangkitkan semangat, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

26. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi semangat? [175] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi semangat.”

“Penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat tidak akan muncul; tetapi karena ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat muncul. Itulah sebabnya mengapa penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat.”

27. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

“Penelitian makna adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak meneliti makna-maknanya, maka ia tidak akan memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran; tetapi karena ia meneliti makna-maknanya, maka ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa penelitian adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

28. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penelitian makna? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penelitian makna.”

“Penghafalan ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi penelitian makna, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghafalkan ajaran, maka ia tidak akan meneliti maknanya; tetapi karena ia menghafalkan ajaran, maka ia meneliti maknanya.”

29. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

“Mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mendengarkan Dhamma, maka ia tidak akan menghafalkan ajaran-ajaran; tetapi karena ia mendengarkan Dhamma, maka ia menghafalkan ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

30. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

“Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma, Bhāradvāja. [176] Jika seseorang tidak mendengar, maka ia tidak akan mendengarkan Dhamma; tetapi karena ia mendengar, maka ia mendengarkan Dhamma. Itulah sebabnya mengapa Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mendengar? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mendengar.”

“Memberikan penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghormat, maka ia tidak akan mendengar; tetapi karena ia menghormat, maka ia mendengar. Itulah sebabnya mengapa memberi penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar.”

32. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam memberi penghormatan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

“Mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengunjungi [seorang guru], maka ia tidak akan memberi penghormatan; tetapi karena ia mengunjungi [seorang guru], maka ia memberi penghormatan. Itulah sebabnya mengapa mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mengunjungi? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mengunjungi.”

“Keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi, Bhāradvāja. Jika keyakinan [pada seorang guru] tidak muncul, maka ia tidak akan mengunjunginya; tetapi karena keyakinan [pada seorang guru] muncul, maka ia mengunjunginya. Itulah sebabnya mengapa keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi.”

34. “Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang pelestarian kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang penemuan kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. [177] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Apapun yang kami tanyakan kepada Guru Gotama, Beliau telah menjawab kami; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Sebelumnya, Guru Gotama, kami biasanya berpikir: ‘Siapakah petapa berkepala gundul ini, keturunan rendah dan gelap dari kaki Leluhur, sehingga mereka dapat memahami Dhamma?’  Tetapi Guru Gotama sungguh telah menginspirasiku dalam cinta kasih kepada para petapa, keyakinan pada para petapa, hormat pada para petapa.

35. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama, … (seperti Sutta 91, §38) … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:23:15 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
96 Esukari Sutta
« Reply #62 on: 15 September 2010, 11:10:09 AM »
96 Esukārī Sutta
Kepada Esukārī

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Esukāri mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

3. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat tingkat pelayanan. Mereka menetapkan tingkat pelayanan kepada seorang brahmana, tingkat pelayanan kepada seorang mulia, tingkat pelayanan kepada seorang pedagang, tingkat pelayanan kepada seorang pekerja. Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang brahmana: seorang brahmana boleh melayani seorang brahmana, seorang mulia boleh melayani seorang brahmana, seorang pedagang boleh melayani seorang brahmana, dan seorang pekerja boleh melayani seorang brahmana. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang brahmana [178] yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang mulia: seorang mulia boleh melayani seorang mulia, seorang pedagang boleh melayani seorang mulia, dan seorang pekerja boleh melayani seorang mulia. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pedagang: seorang pedagang boleh melayani seorang pedagang, dan seorang pekerja boleh melayani seorang pedagang. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pekerja: hanya seorang pekerja yang boleh melayani seorang pekerja; karena siapakah orang lainnya yang akan melayani seorang pekerja? Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

4. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat tingkat pelayanan ini?” – “Tidak, Guru Gotama.” – “Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat tingkat pelayanan itu.

5. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak dilayani. Dan jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.

6. “Jika mereka bertanya kepada seorang mulia sebagai berikut: ‘Siapakah di antara orang-orang ini yang seharusnya engkau layani – seorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya, atau seorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya: [179] jika menjawab dengan benar, seorang mulia akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

“Jika mereka bertanya kepada seorang brahmana … bertanya kepada seorang pedagang … bertanya kepada seorang pekerja … jika menjawab dengan benar, seorang pekerja akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

7. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia kaya, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia kaya.

8. “Karena di sini, Brahmana, seseorang yang berasal dari keluarga bangsawan mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi juga, Brahmana, seseorang dari keluarga bangsawan mungkin menghindari membunuh mangkuk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, menghindari mengucapkan ucapan jahat, menghindari gosip, tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat-buruk, dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan.

“Di sini, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan … karena ia kaya. Tetapi juga, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya … mungkin menghindari membunuh mangkuk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu [180] Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan … karena ia kaya.

9. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaannya bertambah dalam pelayanannya, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.”

10. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat jenis kekayaan. Mereka menetapkan kekayaan seorang brahmana, kekayaan seorang mulia, kekayaan seorang pedagang, dan kekayaan seorang pekerja.

“Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang brahmana – mengembara mengumpulkan dana makanan;  seorang brahmana yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu mengembara mengumpulkan dana makanan, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang brahmana yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang mulia – busur dan tempat anak panah; seorang mulia yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu busur dan tempat anak panah, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pedagang – bercocok-tanam dan mengembang-biakkan ternak;  seorang pedagang yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu bercocok-tanam dan mengembang-biakkan ternak, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pekerja – sabit dan galah pengangkut beban; seorang pekerja yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu sabit dan galah pengangkut beban, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

11. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat jenis kekayaan ini?” – [181] “Tidak, Guru Gotama.” – “Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat jenis kekayaan itu.

12. “Aku, Brahmana, menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang.  Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut darimana ia terlahir kembali.  Jika ia terlahir kembali dalam kasta mulia, maka ia diakui sebagai seorang mulia; jika ia terlahir kembali dalam kasta brahmana, maka ia diakui sebagai seorang brahmana; jika ia terlahir kembali dalam kasta pedagang, maka ia diakui sebagai seorang pedagang; jika ia terlahir kembali dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja. Seperti halnya api diakui melalui kondisi tertentu yang bergantung pada apa api itu membakar – jika api membakar dengan bergantung pada kayu batang, maka api itu dikenal sebagai api kayu batang; jika api membakar dengan bergantung pada kayu ranting, maka api itu dikenal sebagai api kayu ranting; jika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka api itu dikenal sebagai api rumput; jika api membakar dengan bergantung pada kotoran-sapi, maka api itu dikenal sebagai api kotoran-sapi – demikian pula, Brahmana, Aku menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang. Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut darimana ia terlahir kembali. Jika ia terlahir kembali … dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja.

13. “Jika, Brahmana, seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh mangkuk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gossip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. [182]

Jika, Brahmana, seseorang dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh mangkuk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

14. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulamgi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

15. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulamgi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

16. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda” ... (seperti Sutta 93,  §11) [184] … “Karena semua api memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulamgi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

17. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:24:36 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
97 Dhananjani Sutta
« Reply #63 on: 15 September 2010, 11:11:43 AM »
97 Dhānañjāni Sutta
Kepada Dhānañjāni

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang mengembara di Gunung Selatan bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Kemudian seorang [185] bhikkhu yang telah melewatkan masa Vassa di Rājagaha mendatangi Yang Mulia Sariputta di Gunung Selatan dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta bertanya kepadanya: “Apakah Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman?”

“Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah Sangha para bhikkhu sehat dan kuat, Teman?”

“Sangha para bhikkhu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Teman, ada seorang brahmana bernama Dhānañjāni yang menetap di Taṇḍulapāla. Apakah Brahmana Dhānañjāni itu sehat dan kuat?”

“Brahmana Dhānañjāni itu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah ia tekun, Teman?”

“Bagaimana mungkin ia tekun, Teman? Ia merampas para brahmana perumah tangga atas nama raja, dan ia merampas raja atas nama para brahmana perumah tangga. Istrinya, yang berkeyakinan dan berasal dari suku yang berkeyakinan, telah meninggal dunia dan ia telah memperistri perempuan lain yang tidak berkeyakinan dan berasal dari suku yang tidak berkeyakinan.”

“Ini adalah berita buruk yang kami dengar, Teman. Ini sungguh berita buruk yang kami dengar bahwa Brahmana Dhānanñjāni telah menjadi lengah. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Brahmana Dhānañjāni dan berbincang-bincang dengannya.”

3. Kemudian, setelah menetap di Gunung Selatan selama yang ia kehendaki, Yang Mulia Sāriputta melakukan pengembaraan menuju Rājagaha. Dengan mengembara secara bertahap akhirnya ia tiba di Rājagaha, dan di sana ia menetap di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

4. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. [186] Pada saat itu Brahmana Dhānañjāni sedang memerah susu di sebuah kandang sapi di luar kota. Maka ketika Yang Mulia Sāriputta telah menerima dana makanan di Rājagaha dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia mendatangi Brahmana Dhānañjāni. Dari kejauhan Brahmana Dhānañjāni melihat kedatangan Yang Mulia Sāriputta, dan ia menyambutnya dan berkata: “Minumlah susu segar ini, Guru Sāriputta, hingga waktunya makan.”

“Cukup, Brahmana, aku telah selesai makan hari ini. Aku akan berada di bawah pohon itu untuk melewatkan hari. Engkau boleh datang ke sana.”

“Baik, Tuan,” ia mejawab.

5. Dan kemudian, setelah ia makan pagi, Brahmana Dhānañjāni mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya: “Apakah engkau tekun, Dhānañjāni?”

“Bagaimana mungkin kami dapat tekun, Guru Sāriputta, ketika kami harus menyokong orangtua kami, istri dan anak-anak kami, dan budak-budak, pelayan, dan pekerja kami; ketika kami harus melakukan tugas-tugas kami terhadap teman-teman dan sahabat kami, terhadap sanak-saudara dan kerabat kami, terhadap tamu-tamu kami, terhadap para leluhur kami yang telah meninggal dunia, terhadap para dewa, dan terhadap raja; dan ketika jasmani ini juga harus diistirahatkan dan dipelihara?”

6. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi orangtuanya, dan kemudian karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] “Adalah demi orangtuaku maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? [187] Atau dapatkah orangtuanya [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: “Adalah demi kami maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

7-15. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi istri dan anak-anaknya … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … [188] demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini, karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] “Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? Atau dapatkah orang lain [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: “Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

16. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik Seorang yang demi orangtuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi orangtuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi orangtuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi orangtuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orangtuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.
 
17-25. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik Seorang yang demi istri dan anak-anaknya … [189] … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … [190] … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … [191] … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orangtuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.”

26. Kemudian Brahmana Dhānañjāni, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta, bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Belakangan Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, [192] temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.’” Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

28. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Brahmana Dhānañjāni, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Brahmana Dhānañjāni: “Aku harap engkau lebih baik, Brahmana, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

29. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah [193] seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah arang panas membara, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.

30. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baik – neraka atau alam binatang?” – “Alam binatang, Guru Sāriputta.” – “Yang manakah yang lebih baik – alam binatang atau alam hantu?” – “Alam hantu, Guru Sāriputta.” – “Yang manakah yang lebih baik – alam hantu atau manusia?” – “Manusia, Guru Sāriputta.” [194] – “Yang manakah yang lebih baik – manusia atau para dewa di surga Empat Raja Dewa?” – “Para dewa di alam Empat Raja Dewa, Guru Sāriputta.” – “Yang manakah yang lebih baik – para dewa di surga Empat Raja Dewa atau para dewa di surga Tiga Puluh Tiga?” – “Para dewa di surga Tiga Puluh Tiga, Guru Sāriputta.” – “Yang manakah yang lebih baik - para dewa di surga Tiga Puluh Tiga atau para dewa Yāma?” – “Para dewa Yāma, Guru Sāriputta.” – “Yang manakah yang lebih baik – para dewa Yāma atau para dewa di surga Tusita?” – “Para dewa di surga Tusita, Guru Sāriputta.” - Yang manakah yang lebih baik – para dewa di surga Tusita atau  para dewa yang bergembira dalam penciptaan?” – “Para dewa yang bergembira dalam penciptaan, Guru Sāriputta.” - Yang manakah yang lebih baik – para dewa yang bergembira dalam penciptaan atau para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain?” – “Para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain, Guru Sāriputta.”

31. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baik - para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain atau alam Brahma?” – “Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahma.’ Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahma.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahma. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā?” [Dan ia berkata:] “Dhānañjāni, aku akan mengajarkan kepadamu jalan menuju alam Brahmā. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakana.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. [195] Yang Mulia berkata sebagai berikut:

32. “Apakah jalan menuju alam Brahmā? Di sini, Dhānañjāni, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini adalah jalan menuju alam Brahmā.

33-35. “Kemudian, Dhānañjāni,  seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini juga adalah jalan menuju alam Brahmā.

36. “Kalau begitu, Guru Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta, setelah mengokohkan Brahmana Dhānañjāni di dalam alam-Brahma yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan.  Segera setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, Brahmana Dhānañjāni meninggal dunia dan muncul kembali di alam-Brahma.

37. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, Sāriputta, setelah mengokohkan Brahmana Dhānañjāni di alam-Brahma yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan.”

38. Kemudian Yang Mulia Sāriputta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.”

“Sāriputta, setelah mengokohkan Brahmana Dhānañjāni [196] di alam-Brahma yang rendah, mengapa engkau bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan?”

“Yang Mulia, aku berpikir bahwa: ‘Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahma. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā.’”

“Sāriputta, Brahmana Dhānañjāni telah meninggal dunia dan telah muncul kembali di alam-Brahma.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:25:44 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
98 Vasettha Sutta
« Reply #64 on: 15 September 2010, 11:12:26 AM »
98 Vāseṭṭha Sutta
Kepada Vāseṭṭha

[115] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala.

2. Pada saat itu sejumlah brahmana kaya dan terkenal sedang menetap di Icchānangala, yaitu, Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇussoṇi, Brahmana Todeyya, dan para brahmana kaya dan terkenal lainnya.

3. Kemudian, sewaktu murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga, diskusi berikut ini terjadi antara mereka: “Bagaimanakah seseorang disebut seorang brahmana?” murid brahmana Bhāradvāja berkata: “Jika ia berasal dari kelahiran baik pada kedua pihak, keturunan dari ibu dan ayah yang murni hingga tujuh generasi sebelumnya, tidak dapat dibantah dan tanpa cela dalam hal kelahiran, maka ia adalah seorang brahmana.” Murid brahmana Vāseṭṭha berkata: “Jika ia bermoral dan mematuhi peraturan-peraturan, maka ia adalah seorang brahmana.”

4. Tetapi murid brahmana Bhāradvāja tidak dapat [116] meyakinkan murid brahmana Vāseṭṭha, juga murid brahmana Vāseṭṭha tidak dapat meyakinkan murid brahmana Bhāradvāja.

5. Kemudian murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada murid brahmana Bhāradvāja: “Tuan, Petapa Gotama, putera Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Marilah, Bhāradvāja, kita pergi menemui Petapa Gotama dan menanyakan kepadanya sehubungan dengan persoalan ini. Sebagaimana Beliau menjawabnya, demikianlah kita akan mengingatnya.” – “Baik, Tuan,” murid brahmana Bhāradvāja menjawab.

6. Kemudian kedua murid brahmana itu, Vāseṭṭha dan Bhāradvāja, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

7. Vāseṭṭha
   1. “Kami berdua diakui memiliki
   Pengetahuan Tiga Veda,
   Karena aku adalah murid Pokkharasāti
   Dan ia adalah murid Tārukkha.

   2. Kami telah mencapai penguasaan penuh
   Atas segala yang diajarkan oleh para ahli Veda;
   Mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa
   Kami setara dengan guru-guru kami dalam hal pembacaan. [117]

   3. Perselisihan muncul di antara kami, Gotama,
   Sehubungan dengan pertanyaan tentang kelahiran dan kasta:
   Bhāradvāja mengatakan seseorang adalah brahmana melalui kelahiran,
   Sedangkan aku mengatakan seseorang adalah brahmana melalui perbuatan.
   Ketahuilah hal ini, O Petapa, sebagai perdebatan kami.

   4. Karena kami tidak bisa saling meyakinkan satu sama lain,
   Atau membuatnya melihat sudut pandang yang lain,
   Kami telah mendatangiMu, Tuan,
   Yang termasyhur sebagai seorang Buddha.

   5. Seperti halnya orang-orang merangkapkan tangannya
   Menyembah bulan ketika bulan mulai mengembang,
   Demikian pula di dunia ini mereka memuliakan Engkau
   Dan menyembah Engkau, Gotama.

   6. Maka sekarang kami bertanya kepadaMu, Gotama,
   Pembuka mata di dunia ini:
   Apakah seseorang menjadi brahmana melalui kelahiran atau perbuatan?
   Jelaskanlah kepada kami yang tidak mengetahui
   Bagaimana kami seharusnya mengenali seorang brahmana.”

8. Buddha
   7. “Aku akan mengajarkan engkau secara berurutan sebagaimana adanya,
   Vāseṭṭha,” Sang Bhagavā berkata,
   “Pengelompokan umum makhluk-makhluk hidup;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   8. Pertama-tama ketahuilah rumput dan pepohonan:
   Walaupun tidak memiliki kesadaran-diri,
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   9. Berikutnya adalah ngengat dan kupu-kupu
   Dan seterusnya hingga semut dan rayap:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   10. Kemudian ketahuilah jenis-jenis binatang kaki empat
   [dari berbagai jenisnya] baik kecil maupun besar:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   11. Ketahuilah binatang-binatang yang perutnya adalah kakinya,
   Yaitu, kelompok ular berbadan panjang:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   12. Ketahui juga ikan-ikan yang berdiam di air
   Habitatnya adalah alam cair:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   13. Berikutnya ketahuilah burung-burung yang mengepakkan sayapnya
   Ketika terbang di angkasa raya:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

9.
   14. “Sementara dalam kelahiran-kelahiran ini perbedaan-perbedaan
   Kelahiran menjadi tanda khususnya,
   Pada manusia tidak ada perbedaan kelahiran
   Yang menjadi tanda khususnya.
   
   15. Tidak di rambut juga tidak di kepala
   Tidak di telinga juga tidak di mata   
   Tidak di mulut juga tidak di hidung
   Tidak di bibir juga tidak di kening;

   16. Juga tidak di bahu atau di leher
   Juga tidak di perut atau di punggung
   Juga tidak di pantat atau di dada
   Juga tidak di organ kelamin atau cara berhubungan seksual

   17. Tidak di tangan juga tidak di kaki
   Juga tidak di jari tangan atau di kuku
   Tidak di lutut juga tidak di paha
   Juga tidak dalam warna kulit atau dalam suara
   Di sini kelahiran tidak memiliki tanda khusus
   Seperti halnya dengan jenis kelahiran lainnya. [119]

   18. Pada tubuh manusia
   Tidak ada tanda khusus dapat ditemukan
   Perbedaan di antara manusia
   Hanyalah sebutan verbal

10.   
   19. “Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui pertanian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang petani, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

   20. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui berbagai keahlian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang ahli, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   21. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui barang-barang dagangan, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pedagang, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   22. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan melayani orang-orang lain, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pelayan, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   23. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan mencuri, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang perampok, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   24. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan memanah, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang prajurit, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   25. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan religius, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pandita, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   26. Siapa pun juga yang memerintah di antara manusia
   Pemukiman dan kerajaan, engkau seharusnya mengetahui
   Di sebut seorang penguasa, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

11.
   27. “Aku menyebutnya bukan seorang brahmana
   Karena asal-usul dan silsilahnya
   Jika rintangan masih bersembunyi dalam dirinya,
   Ia hanyalah seorang yang mengatakan ‘Tuan.’
   Siapa pun yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

   28. Yang telah memotong semua belenggu
   Dan tidak lagi terguncang oleh kesedihan,
   Yang telah mengatasi segala ikatan, terlepas:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [120]

29. Yang telah memotong tali pengikat
Juga tali kendali dan tali kekang,
Yang palangnya telah dicabut, yang tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

30. Yang menahankan tanpa jejak kebencian
Hinaan, kekerasan, dan juga penindasan.
Dengan kekuatan kesabaran tertata baik:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

31. Yang tidak terbakar oleh kemarahan,
Patuh, bermoral, dan rendah-hati,
Lembut, membawa jasmani terakhirnya:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

32. Siapa pun juga, yang bagaikan hujan di atas daun teratai,
Atau biji mostar di atas ujung jarum,
Sama sekali tidak melekat pada kenikmatan indria
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

33. Yang mengetahui di sini di dalam dirinya sendiri
Hancurnya segala penderitaan
Dengan beban di turunkan, dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

34. Yang dengan pemahaman mendalam, bijaksana,
Dapat mengetahui sang jalan dan bukan sang jalan
Dan telah mencapai tujuan tertinggi:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

35. Jauh dari para perumah tangga
Dan mereka yang menjalani kehidupan tanpa rumah,
Yang mengembara tanpa rumah atau keinginan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

36. Yang telah menyingkirkan tongkat pemukul
Terhadap semua makhluk lemah ataupun kuat,
Yang tidak membunuh atau menyebabkan makhluk lain terbunuh:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

37. Yang tidak melawan di antara para lawannya.
Damai di antara mereka yang melakukan kekerasan,
Yang tidak melekat di antara mereka yang melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

38. Yang telah menjatuhkan segala nafsu dan kebencian,
Menjatuhkan keangkuhan dan celaan,
Bagaikan biji mostar di ujung jarum:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [121]

39. Yang mengucapkan kata-kata yang bebas dari kekasaran,
Penuh makna, senantiasa jujur,
Yang tidak menghina siapa pun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

40. Yang di dunia ini tidak akan pernah mengambil
Apa yang tidak diberikan, panjang atau pendek,
Kecil atau besar atau indah atau menjijikkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

41. Yang tidak lagi memiliki kerinduan
Sehubungan dengan alam ini dan alam mendatang,
Yang hidup tanpa kerinduan dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

42. Yang tidak lagi memiliki kegemaran
Tidak lagi kebingungan karena ia mengetahui;
Yang telah memperoleh pijakan kokoh dalam Keabadian:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

43. Yang telah melampaui segala ikatan di sini
Dari perbuatan baik dan buruk,
Tanpa kesedihan, tanpa noda, dan murni:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

44.  Yang, murni bagaikan bulan tanpa noda,
Bersih dan jernih, dan yang padanya
Kegembiraan dan penjelmaan telah dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

45. Yang telah menyeberangi rawa,
Lumpur, saṁsāra, segala kebodohan,
Yang telah menyeberang ke pantai seberang
Dan bermeditasi dalam jhāna-jhāna,
Tidak terganggu dan tidak bingung,
Mencapai Nibbāna melalui ketidak-melekatan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

46. Yang telah meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan indria dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

47. Yang juga telah meninggalkan keinginan,
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan rendah dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

48. Yang meninggalkan semua belenggu manusia
Dan telah melepaskan belenggu surgawi,
Terlepas dari segala belenggu di manapun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

49. Yang meninggalkan kesenangan dan ketidak-puasan,
Yang sejuk dan tanpa perolehan,
Pahlawan yang telah melampaui seluruh alam:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [122]

50. Yang mengetahui bagaimana makhluk-makhluk meninggal dunia
Untuk muncul kembali dalam banyak cara,
Ia tidak mencengkeram, mulia, sadar:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

51. Yang tujuannya tidak diketahui
Oleh para dewa, hantu, dan manusia,
Seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

52. Yang tanpa rintangan sama sekali,
Di depan, di belakang, atau di tengah,
Yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

53. Pemimpin kelompok, pahlawan sempurna,
Petapa besar yang kemenangannya telah diraih,
Tanpa gangguan, dimurnikan, tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

54. Yang mengetahui banyak kehidupan lampaunya
Dan melihat alam-alam surga dan alam sengsara,
Yang telah mencapai hancurnya kelahiran:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

12.
   55. “Karena nama dan kasta diberikan
   Sebagai sekadar sebutan di dunia ini;
   Berasal-mula dari konvensi,
   Yang diberikan di sana-sini.

   56. Bagi mereka yang tidak mengetahui fakta ini,
   Pandangan salah telah lama bersembunyi dalam batin mereka;
   Tanpa mengetahui, mereka mengatakan kepada kita:
   ‘Ia adalah seorang brahmana melalui kelahiran.’

   57. Seseorang bukanlah seorang brahmana melalui kelahiran,
   Juga bukan melalui kelahiran seseorang menjadi bukan-brahmana
   Seseorang menjadi brahmana melalui perbuatan,
   Seseorang menjadi bukan-brahmana melalui perbuatan.

   58. Karena orang-orang menjadi petani melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi orang-orang ahli;
   Dan orang-orang menjadi pedagang melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi pelayan.

   59. Dan orang-orang menjadi perampok melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi prajurit;
   Dan orang-orang menjadi pandita melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi penguasa. [123]

13.
   60. “Maka demikianlah bagaimana yang sungguh bijaksana
   Melihat perbuatan sebagaimana adanya,
   Yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan,
   Terampil dalam perbuatan dan akibatnya.

61. Perbuatan menyebabkan dunia berputar,
Perbuatan menyebabkan generasi berganti.
Makhluk-makhluk hidup terikat oleh perbuatan
Bagaikan roda kereta terikat oleh porosnya.

62. Pertapaan, kehidupan suci,
Pengendalian-diri dan latihan batin –
Dengan ini seseorang menjadi brahmana,
Terletak dalam kebrahmanaan tertinggi ini.

63. Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan,
Dmai, dengan segala penjelmaan dihancurkan:
Kenalilah ia demikian, O Vāseṭṭha,
Sebagai Brahmā dan Sakka bagi mereka yang tidak memahami.”

14. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingat kami sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:26:46 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
99 Subha Sutta
« Reply #65 on: 15 September 2010, 11:13:13 AM »
99 Subha Sutta
Kepada Subha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu murid brahmana Subha, putera Todeyya, sedang menetap di rumah seorang perumah tangga di Sāvatthī untuk suatu urusan.  Kemudian murid brahmana Subha, putera Todeyya, bertanya kepada si perumah tangga yang menjadi tuan rumahnya: “Perumah tangga, aku mendengar bahwa Sāvatthī tidak kosong dari para Arahant. Petapa atau brahmana manakah yang dapat kami kunjungi hari ini untuk memberikan penghormatan?”

“Tuan, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Engkau boleh memberikan penghormatan kepada Sang Bhagavā itu, Tuan.” [197]

3. Kemudian, setelah menyetujui saran si perumah tangga, murid brahmana Subha, putera Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Perumah tangga menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Seorang yang meninggalkan keduniawian [dan menjalani kehidupan tanpa rumah] tidak meyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis;  aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Aku tidak memuji jalan praktik yang salah baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang salah, karena jalan praktiknya yang salah, maka ia tidak menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Aku memuji jalan praktik yang benar baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang benar, karena jalan praktiknya yang benar, maka ia menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.”

5. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Karena pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, maka berbuah besar. Karena pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, maka berbuah kecil.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Sekali lagi, murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis; aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar.

6. “Apakah, [198] murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil. Dan apakah, murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar. Dan apakah, murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil.  Dan apakah, murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar.

7. “Seperti halnya pertanian, murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … tetapi berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, tetapi berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya pertanian yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … dan berbuah besar jika berhasil, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan dan berbuah besar jika berhasil. Seperti halnya perdagangan, murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … dan berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, dan berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya perdagangan yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … tetapi berbuah besar jika berhasil, demikian pula  [199] pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan,tetapi berbuah besar jika berhasil.”

8. “Guru Goatama, para brahmana menetapkan lima hal bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Jika tidak menyusahkan engkau, murid, silahkan sebutkan pada kumpulan ini kelima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Tidak menyusahkan bagiku, Guru Gotama, ketika Yang Mulia seperti Engkau dan yang lainnya sedang duduk [dalam kumpulan ini].”

“Maka sebutkanlah, murid.”

9. “Guru Gotama, kebenaran adalah hal pertama yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Pertapaan adalah hal ke dua … Kehidupan selibat adalah hal ke tiga … Belajar adalah hal ke empat … Kedermawanan adalah hal ke lima yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Ini adalah lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Bagaimanakah, murid,  di antara para brahmana adakah bahkan seorang brahamana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, murid, di antara para brahmana adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”  – “Tidak, Guru Gotama.” [200]

“Bagaimanakah, murid, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangi – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu - apakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, murid, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, murid, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat.”

10. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putera Todeyya, menjadi marah dan tidak senang dengan perumpamaan sebaris orang buta itu, dan ia mencaci, menghina, dan mencela Sang Bhagavā, dengan mengatakan: “Petapa Gotama akan dikalahkan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti dari suku Upamaññā, penguasa Hutan Subhaga, berkata sebagai berikut:  ‘Beberapa petapa dan brahmana di sini mengaku telah mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Tetapi apa yang mereka katakan [201] terbukti menggelikan; terbukti hanya sekadar kata-kata, kosong dan hampa. Karena bagaimana mungkin seorang manusia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia? Itu adalah tidak mungkin.’”

11. “Bagaimanakah, murid, Brahmana Pokkharasāti memahami pikiran semua petapa dan brahmana, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri?”

“Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti bahkan tidak memahami pikiran budak perempuannya Puṇṇikā, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri, jadi bagaimana mungkin ia memahami pikiran semua petapa dan brahmana itu?”

12. “Murid, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin berkata sebagai berikut: ‘Tidak ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, tidak ada yang dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang; tidak ada bentuk-bentuk yang berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, tidak ada yang rata dan tidak rata; tidak ada bintang-bintang dan tidak ada matahari dan bulan, dan tidak ada yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu hal-hal ini tidak ada.’ Dengan berkata demikian, murid, apakah ia mengatakan yang sebenarnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, dan ada orang-orang yang melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … ada bintang-bintang dan ada matahari dan bulan, dan ada orang-orang yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. [202] Dengan mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu hal-hal ini tidak ada,’ maka ia tidak mengatakan yang sebenarnya.”

13. “Demikian pula, murid, Brahmana Pokkharasāti adalah buta dan tidak berpenglihatan. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia – ini adalah tidak mungkin. Bagaimana menurutmu, murid? Apakah yang lebih baik bagi para brahmana kaya dari Kosala seperti Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇusonni, atau ayahmu, Brahmana Todeyya – bahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi?” – “Bahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi, Guru Gotama.”

“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyatan mereka adalah penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?” – “Penuh pertimbangan, Guru Gotama.” – “Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa mereka membuat pernyataan setelah merenungkan atau tanpa perenungan?” – “Setelah merenungkan, Guru Gotama.” – “Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyataan yang mereka buat adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” – “Bermanfaat, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, murid? Kalau begitu, apakah pernyataan yang dibuat oleh Brahmana Pokkharasāti selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi? – “pernyataaannya melawan konvensi duniawi, Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan itu dibuat dengan penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?” – “Tanpa pertimbangan, Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan itu dibuat setelah direnungkan atau tanpa perenungan?” – “Tanpa perenungan, Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan yang dibuat itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Guru Gotama.” [203]

--------------
Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 12:28:23 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
99 Subha Sutta (Lanjutan)
« Reply #66 on: 15 September 2010, 11:14:11 AM »
Lanjutan 99 Subha Sutta
---------------------------

15. Sekarang ada lima rintangan ini, murid. Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah lima rintangan. Brahmana Pokkharasāti terhalangi, terintangi, terganjal, dan terselubung oleh kelima rintangan ini. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia – ini adalah tidak mungkin.

16. Sekarang ada lima utas kenikmatan indria ini, murid. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Brahmana Pokkharasāti terikat pada kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila padanya dan sepenuhnya menjalaninya; ia menikmatinya tanpa melihat bahwa di dalamnya atau memahami jalan membebaskan diri darinya. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia – ini adalah tidak mungkin.

17. “Bagaimana menurutmu, murid? Yang manakah dari kedua api ini yang memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik] – api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu, atau api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu?”

“Jika memungkinkan, Guru Gotama, bagi api untuk menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, maka api itu akan memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik].”

“Adalah tidak mungkin, murid, tidak dapat terjadi api menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu kecuali dengan [pengerahan] kekuatan batin. Yang seperti api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan [204] yang bergantung pada kelima utas kenikmatan indria. Yang seperti api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Dan apakah, murid, kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

18. “Dari kelima hal itu, murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, yang manakah dari kelima itu yang mereka tetapkan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat?”

“Dari kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, mereka menetapkan kedermawanan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

19. “Bagaimana menurutmu, murid? Di sini seorang brahmana mungkin sedang mengadakan upacara pengorbanan besar, dan dua brahmana lainnya pergi ke sana dengan pikiran untuk berpartisipasi dalam upacar besar tersebut. Salah satu brahmana itu berpikir: ‘Oh, semoga hanya aku yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan; semoga tidak ada brahmana lain yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan!’ Dan adalah mungkin bahwa brahmana lainnya, bukan brahmana itu, mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan. Karena memikirkan hal ini, [205] brahmana pertama menjadi marah dan tidak senang. Jenis akibat apakah yang dijelaskan oleh para brahmana untuk hal ini?”

“Guru Gotama, para brahmana tidak memberikan persembahan dengan cara itu, dengan berpikir: ‘Semoga orang lain menjadi marah dan tidak senang karena hal ini.’ Sebaliknya, para brahmana memberikan persembahan karena didorong oleh belas kasihan.”

“Oleh karena itu, murid, tidakkah ini menjadi landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan?”

“Oleh karena itu, Guru Gotama, ini adalah landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan.”

20. “Kelima hal itu, murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat – di manakah engkau lebih sering melihat kelima hal tersebut, pada para perumah tangga atau pada mereka yang meninggalkan keduniawian?”

“Kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga. Karena perumah tangga memiliki banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan: ia tidak secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, atau menekuni kedermawanan. Tetapi seseorang yang meninggalkan keduniawian memiliki sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan: ia secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, dan menekuni kedermawanan. Kelima hal itu, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga.”

21. “Kelima hal itu, murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, [206] Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Di sini, murid, seorang bhikkhu adalah seorang yang mengatakan kebenaran. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang mengatakan kebenaran,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Di sini, murid, seorang bhikkhu adalah seorang petapa … seorang yang menjalani kehidupan selibat … seorang yang menekuni pelajaran … seorang yang menekuni kedermawanan. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang menekuni kedermawanan,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Demikianlah Kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

22. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putera Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengetahui jalan menuju alam-Brahma.”

“Bagaimana menurutmu, murid? Apakah desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini?”

“Ya, Tuan, desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini.”

“Bagaimana menurutmu, murid? Misalkan ada seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa Naḷakāra, dan segera setelah ia meninggalkan Naḷakāra mereka menanyalan kepadanya tentang jalan menuju desa itu. Apakah orang itu akan lambat atau ragu-ragu dalam menjawabnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena orang itu dilahirkan dan dibesarkan di Naḷakāra, dan mengenal dengan baik semua jalan menuju desa itu.”

“Bagaimanapun juga, seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa Naḷakāra [207] mungkin saja lambat atau ragu-ragu dalam menjawab ketika ditanya tentang jalan menuju desa itu, tetapi seorang Tathāgata, ketika ditanya tentang alam-Brahma atau jalan menuju alam-Brahma, tidak akan pernah lambat atau ragu-ragu dalam menjawab. Aku memahami, Brahmā, murid, dan Aku memahami alam-Brahma, dan Aku memahami jalan menuju alam-Brahma, dan Aku memahami bagaimana seseorang belatih agar muncul kembali di alam-Brahma.”

23. “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengajarkan jalan menuju alam Brahma. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan kepadaku jalan menuju alam-Brahmā.”

“Maka, murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

24. “Apakah, murid, jalan menuju alam-Brahmā? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup terumpet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana.  Ini adalah jalan menuju alam-Brahmā.

25-27. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, [208] tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup terumpet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Ini juga adalah jalan menuju alam-Brahmā.

28. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putera Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

29. “Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

“Silahkan engkau pergi, murid.”

Kemudian murid brahmana Subha, putera Todeyya, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

30. Pada saat itu Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang seluruhnya berwarna putih yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih.  Dari kejauhan ia melihat kedatangan si murid brahmana Subha, putera Todeyya dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Bhāradvāja datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Bhāradvāja sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?” [209]

“Tuan, Siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Bhāradvāja memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia. Tuan, kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Petapa Gotama menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini: “Suatu keuntungan bagi Raja Pasenadi dari Kosala, sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di kerajaannya.”
« Last Edit: 21 September 2010, 02:29:48 PM by Hendra Susanto »

Offline Hendra Susanto

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
100 Sangarava Sutta
« Reply #67 on: 21 September 2010, 02:30:08 PM »
100  Sangārava Sutta
Kepada Sangārava

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Pada saat itu seorang brahmana perempuan bernama Dhānañjāni sedang menetap di Caṇḍalakappa, memiliki keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.  Suatu ketika ia tersandung, dan [ketika mengembalikan keseimbangannya] menyerukan tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna [210] dan tercerahkan sempurna!”

3. Pada saat itu seorang murid brahmana bernama Sangārava sedang menetap di Caṇḍalakappa. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Setelah mendengar brahmana perempuan Dhānañjāni mengucapkan kata-kata itu, ia berkata kepadanya: “Brahmana perempuan Dhānañjāni harus dipermalukan dan direndahkan, karena ketika ada para brahmana di sekitar sini ia justru memuji petapa gundul itu.”

[Ia menjawab:] “Tuan, engkau tidak mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā. Jika engkau mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā, Tuan, engkau tidak akan pernah berpikir untuk menghina dan mencacinya.”

“Kalau begitu, Nyonya, beritahu aku jika Petapa Gotama datang ke Caṇḍalakappa.”

“Baik, Tuan,” brahman perempuan Dhānañjāni menjawab.

4. Kemudian, setelah mengembara secara bertahap di negeri Kosala, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Caṇḍalakappa. Di Caṇḍalakappa Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya.

5. Brahmana perempuan Dhānañjāni mendengar bahwa Sang Bhagavā telah tiba, maka ia mendatangi murid brahmana Sangārava dan memberitahunya: “Tuan, Sang Bhagavā telah tiba di Caṇḍalakappa dan Beliau menetap di sini di Caṇḍalakappa di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya. Sekarang, Tuan, silahkan engkau pergi.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini [211] berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

6. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini.  Di manakah posisi Guru Gotama di antara para petapa dan brahmana ini?”

7. ‘Bhāradvāja, Aku katakan bahwa ada keberagaman di antara para petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Ada beberapa petapa dan brahmana yang tradisionalis, yang dengan berdasarkan pada tradisi lisan mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para brahmana Tiga Veda. Ada beberapa petapa dan brahmana yang, sepenuhnya hanya berdasarkan pada keyakinan, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para pemikir logis dan penyelidik.  Ada beberapa petapa dan brahmana yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri  di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini.

8. “Aku, Bhāradvāja, adalah salah satu di antara para petapa dan brahmana itu yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Sehubungan dengan bagaimana Aku menjadi salah satu di antara para petapa dan brahmana itu, hal ini dapat dipahami dengan cara sebagai berikut:

9. “Di sini, Bhāradvāja, sebelum pencerahanKu, sewaktu aku masih menjadi hanya seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

10-13. “Belakangan, Bhāradvāja, [212] selagi aku masih muda ... (seperti Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

14-30. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-33; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§17-22 – bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36 – kalimat ”Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usahaNya dan kembali ke kemewahan.’

31-41. “Sekarang ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat … (seperti Sutta 36, §§34-44; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§36, 38, dan 41 – bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44  dari Sutta 36 – kalimat ”Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh.”

42. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Usaha Guru Gotama tidak tergoyahkan, usaha Guru Gotama adalah usaha seorang manusia sejati, seperti seharusnya bagi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, apakah ada para dewa?”

“Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

“Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, bahwa ketika Engkau ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ engkau mengatakan: ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa’? Kalau begitu, bukankah apa yang Engkau katakan adalah kosong dan keliru?”

“Bhāradvāja, ketika seseorang ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ [213] apakah ia menjawab, ‘Ada para dewa,’ atau ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa,’ seorang bijaksana dapat menarik kesimpulan pasti bahwa ada para dewa.”

“Tetapi mengapa Guru Gotama tidak menjawab dengan cara pertama?”

“Telah diterima secara umum di dunia, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

43. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 02:34:02 PM by Hendra Susanto »

Offline Hendra Susanto

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua
« Reply #68 on: 21 September 2010, 02:34:12 PM »
Majjhima Nikaya, Bagian II (Lima puluh khotbah Ke dua).

SELESAI

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #69 on: 18 October 2010, 10:01:40 AM »
SUTTA 51

538) Dari perbedaan cara mereka dalam menyapa Sang Buddha terlihat bahwa Pessa adalah seorang pengikut Sang Buddha, sedangkan Kandaraka – terlepas dari penghormatan dan kekagumannya – adalah pengikut dari komunitas kepercayaan lain.

539) MA: Demi menghormati Sang Buddha dan karena latihan mereka, para bhikkhu tidak saling berdebat satu sama lain, mereka bahkan juga tidak berdehem. Dengan tidak menggerakkan badan, dengan tidak kacau dalam pikiran, mreka duduk mengelilingi Sang Bhagavā bagaikan awan kemerahan mengelilingi puncak Gunung Sineru. Kandaraka pasti secara diam-diam membandingkan kumpulan para bhikkhu itu dengan kumpulan para pengembara seperti digambarkan pada MN 76.4

540) MA menjelaskan bahwa Kandaraka tidak memiliki pengetahuan langsung atas para Buddha di masa lampau dan masa depan. Ia mengucapkan pernyataan ini sebagai suatu cara mengungkapkan kekagumannya terhadap Sangha para bhikkhu yang terlatih baik, disiplin, dan tenang. Akan tetapi, Sang Buddha mengkonfirmasi ini atas dasar pengetahuan langsung.

541) MA: Empat landasan perhatian disebutkan untuk menunjukkan penyebab pembawaan Sangha yang tenang. Tentang empat landasan perhatian, baca MN 10.

542) MA mengemas: “Kami juga, ketika kami memiliki kesempatan, dari waktu ke waktu memperhatikan ini; kami juga adalah para praktisi, kami tidak sepenuhnya mengabaikan meditasi.”

543) Inti dari pernyataan ini adalah bahwa muslihat dan tipu daya binatang adalah sangat terbatas, sedangkan muslihat manusia tidak habis-habisnya.

544) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan sebagai lanjutan dari pernyataan Pessa bahwa Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya dari makhluk-makhluk; karena Sang Buddha menunjukkan bahwa tiga jenis orang pertama mempraktikkan jalan yang mencelakai, sedangkan jenis ke empat mempraktikkan jalan yang bermanfaat. Paragraf ini juga dapat dihubungkan dengan pujian Kandaraka kepada Sangha; karena Sang Buddha akan menunjukkan tiga jalan yang tidak Beliau ajarkan kepada Sangha dan satu jalan yang semua Buddha di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan ajarkan kepada Sangha mereka.

545) Sukhapaṭisaṁvedi brahmabhūtena attanā. MA: Ia mengalami kebahagiaan jhāna, jalan, buah, dan Nibbāna. “Brahma” di sini harus dipahami dalam makna suci atau mulia (seṭṭha). Mungkin ada suatu sindiran di sini pada tema utama Upanishad, identitas ātman sebagai Brahman.

546) MA: Pessa mungkin akan mencapai buah memasuki-arus, namun ia bangkit dari duduknya dan pergi sebelum Sang Buddha menyelesaikan khotbahNya. Manfaat yang terima ada dua: ia memperoleh keyakinan yang lebih mendalam pada Sangha, dan ia memunculkan metode baru untuk memahami landasan-landasan perhatian.

547) Paragraf ini menjelaskan praktik keras yang dijalankan oleh banyak pertapaan pada masa Sang Buddha, juga oleh Sang Bodhisatta sendiri selama masa berjuang untuk mencapai pencerahan. Baca MN 12.45.

548) Paragraf ini menunjukkan praktik dari seseorang yang menyiksa dirinya dengan berharap memperoleh jasa dan kemudian memberikan pengorbanan yang melibatkan pembantaian banyak binatang dan penindasan pada para pekerjanya.

549) Ini adalah Arahant. Untuk menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak menyiksa dirinya sendiri dan juga makhluk lain, berikutnya Sang Buddha menjelaskan jalan praktik yang dengannya Beliau sampai pada Kearahatan.


SUTTA 52

550) Semua ungkapan ini adalah gambaran Kearahatan

551) Abhisankhataṁ abhisañcetayitaṁ. Kedua kata ini sering digunakan secara majemuk untuk menunjukkan keterkondisian yang mana kehendak (cetanā) merupakan faktor pengondisi yang paling menonjol.

552) Paragraf ini menjelaskan metode pengembangan “pandangan terang yang didahului oleh ketenangan” (samathapubbangamā vipassanā; baca AN 4:170/ii.157). setelah mencapai jhāna pertama, si meditator keluar dari sana dan merenungkan kondisi yang dimunculkan oleh kondisi-kondisi, khususnya kehendak. Dengan berdasarkan pada ini, ia menegaskan ketidak-kekalannya, dan kemudian merenungkan jhāna dengan pandangan terang ke dalam ketiga corak ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri. Baca juga MN 64.9-15 untuk suatu pendekatan yang agak berbeda untuk mengembangkan pandangan terang dengan berdasarkan pada jhāna-jhāna.

553) Dhammarāgena dhammanandiyā. MA: kedua kata ini menyiratkan keinginan dan kemelekatan (chandarāga) sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang. Jika ia mampu melenyapkan semua keinginan dan kemelekatan sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang, maka ia menjadi seorang Arahant; jika ia tidak mampu melenyapnya, ia menjadi seorang yang-tidak-kembali dan terlahir kembali di Alam Murni.

554) Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan karena merupakan faktor yang terlalu halus untuk dijadikan sebagai obyek perenungan pandangan terang.

555) Sebelas “pintu menuju Keabadian” adalah empat jhāna, empat brahmavihāra, dan tiga pertama pencapaian tanpa materi yang digunakan sebagai landasan untuk pengembangan pandangan terang dan pencapaian Kearahatan.

556) Ini adalah lima ratus khāpaṇa yang merupakan mata uang standard pada masa itu.


SUTTA 53

557) Ini dipercaya sebagai sumber jasa kebajikan bagi mereka yang membangun sebuha tempat tinggal baru untuk mengundang seirang individu religius yang terkemuka untuk menetap di dalamnya bahkan selama hanya satu malam sebelum mereka sendiri menempatinya. Kepercayaan ini masih berlaku di negeri-negeri Buddhis hingga saat ini, dan orang-orang yang telah membangun sebuah rumah baru sering kalii mengundang para bhikkhu untuk melakukan pembacaan sutta-sutta paritta (perlindungan) di rumah baru mereka sebelum mereka menempatinya.

558) Sekho pāṭipado. Mengenai sekha, baca n.21.

559) Mengenai perbedaan antara rasa malu (hiri) dan rasa takut akan pelanggaran (ottappa), baca n.416.

560) Di sini teks menjelaskan sati, perhatian, dengan merujuk pada makna aslinya yaitu ingatan. Hubungan antara kedua makna sati – ingatan dan perhatian – dapat diformulasikan sebagai berikut: perhatian tajam pada masa sekarang membentuk landasan bagi ingatan akurat masa lampau. MA menganggap penyebutan sati di sini menyiratkan seluruh tujuh faktor pencerahan, yang di antaranya terdapat pada urutan pertama.

561) MA: Ini adalah kebijaksanaan pandangan terang dan sang jalan, mampu menembus timbul dan tenggelamnya kelima kelompok unsur kehidupan. Kebijaksanaan sang jalan disebut “menembus” (nibbedhika) karena menembus dan melenyapkan kumpulan keserakahan, kebencian, dan kebodohan’ kebijaksanaan pandangan terang disebut menembus karena menembus secara sementara dank arena menuntun menuju penembusan melalui sang jalan.

562) Seperti pada MN 16.26.

563) Ini merujuk pada jhāna ke empat, yang menjadi landasan bagi ketiga pengetahuan berikutnya.

564) Pada titik ini ia berhenti menjadi seorang sekha dan menjadi seorang Arahant

565) Ini merupakan daftar tradisional dari lima belas faktor yang membentuk perilaku (caraṇa), yang sering digabungkan dengan ketiga jenis pengetahuan berikutnya dalam perjalanan latihan yang lengkap. Kedua ini bersama-sama menjadi gelar umum bagi Sang Buddha dan para Arahant, vijjācaraṇasampanna, “sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati.” Baca Vsm VII, 30-31.

566) Syair ini disetujui oleh Sang Buddha dalam DN 3.1.28/i.99. Brahmā Sanankumāra, “muda selamanya,” menurut MA adalah seorang pemuda yang mencapai jhāna, meninggal dunia, dan terlahir kembali di alam Brahmā, mempertahankan ketampanan yang sama yang ia miliki di alam manusia. Baca DN 18.17-19/ii.2100218.


SUTTA 54

567) Masing-masing dari kedua kata ini yang dihubungkan dalam kata sambung majemuk ini, dan dalam kedua berikutnya, adalah serupa.

568) MA: Walaupun pembunuhan makhluk-makhluk hidup tidak termasuk dalam sepuluh belenggu dan lima rintangan, namun dapat disebut belenggu dalam makna mengikat seseorang pada lingkaran kelahiran kembali dan rintangan dalam makna merintangi kesejahteraan sejati seseorang.

569) MA: Membunuh dan mengambil apa yang tidak diberikan harus ditinggalkan melalui moralitas jasmani; ucapan salah dan ucapan jahat, melalui moralitas ucapan; keserakahan suka merampas, keputus-asaan dengan kemarahan, dan kesombongan, melalui moralitas pikiran. Cacian dengki (yang dapat termasuk pembalasan dendam yang ganas) harus ditinggalkan melalui moralitas jasmani dan ucapan.

570) Perumpamaan bagi bahaya dalam kenikmatan indria ini merujuk pada MN 22.3, walaupun sutta ini tidak menjelaskan ketiga perumpamaan terakhir yang disebutkan di sana.

571) Menurut MA, “keseimbangan yang berdasarkan pada keberagaman” adalah keseimbangan (yaitu, ketida-pedulian, tidak membeda-bedakan) yang berhubungan dengan kelima utas kenikmatan indria; “keseimbangan yang berdasarkan pada keterpusatan” adalah keseimbangan jhāna ke empat.

572) Dalam Ms, Ñm telah mengikuti kemasan MA dalam menerjemahkan ājānīya sebagai “mereka yang mengetahui” (menganggap kata itu sebagai turunan dari ājānāti); akan tetapi, jauh lebih disukai, untuk memahami kata ini di sini sebagai “keturunan murni.” Baca MN 65.32 untuk kata assājāniya, “kuda muda jantan berketurunan murni,” dan untuk kata purisājāniya, “manusia berketurunan murni” (yaitu, seorang Arahant), baca AN 9:10/v,324.


SUTTA 55

573) Jivaka adalah anak yang ditelantarkan oleh seorang pelacur. Ditemukan dan dibesarkan oleh Pangeran Abhaya, ia mempelajari ilmu pengobatan di Takkasilā dan belakangan ditunjuk sebagai tabib pribadi Sang Buddha, ia menjadi seorang pemasuk-arus setelah mendengarkan Sang Buddha mengajarkan Dhamma.

574) Paragraf ini menyebutkan dengan jelas dan secara eksplisit aturan-aturan sehubungan dengan memakan daging yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada Sangha. Perhatikan bahwa Sang Buddha tidak menuntut agar para bhikkhu menjalankan pola makan vegetarian, melainkan memperbolehkan mereka memakan daging jika mereka yakin bahwa binatang itu tidak disembelih secara khusus untuk mereka makan. Daging seperti itu disebut tikoṭiparisuddha, “murni dalam tiga aspek,” karena tidak terlihat, tidak terdengar, atau tidak dicurigai berasal dari binatang yang disembelih khusus untuk bhikkhu tersebut. Peraturan untuk umat awam Buddhis menghindari pembunuhan juga melarangnya membunuh demi makanan. Tetapi tidak melarang membeli daging yang berasal dari binatang yang telah mati. Untuk lebih jelas mengenai hal ini baca Vin Mv Kh 6/i.237-38, dan I.B. Horner, Early Buddhism and the Taking of Life, pp.20-26.

575) Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa ia tidak sekadar berdiam dalam cinta kasih dengan menekan niat buruk melalui jhāna yang berdasarkan pada cinta kasih, seperti yang dilakukan oleh dewa Brahmā, melainkan telah melenyapkan akar niat buruk melalui pencapaian Kearahatan.

576) Kekejaman, ketidak-puasan, dan ketidak-senangan (vihesā, arati, paṭigha) adalah berturut-turut lawan dari belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan.

577) Sangat mengherankan bahwa Jivaka di sini menyatakan dirinya sebagai umat awam seolah-olah untuk pertama kalinya padahal ia telah mencapai tingkat memasuki-arus. Mungkin formula ini digunakan sebagai cara untuk menegaskan pengabdian seseorang pada Tiga Permata dan bukan terbatas pada pernyataan berlindung pertama kali.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #70 on: 18 October 2010, 10:02:47 AM »

SUTTA 56

578) Ini berarti “Petapa Tinggi”, nama yang diberikan kepadanya karena tinggi badannya.

579) Daṇḍa, aslinya berarti potongan kayu atau batang, memperoleh makna tongkat sebagai alat penghukum, dan selanjutnya menjadi bermakna hukuman atau penderitaan itu sendiri, bahkan tanpa merujuk pada suatu alat. Penggunaannya di sini menyiratkan bahwa para Jain menganggap aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran sebagai alat-alat yang dengannya seseorang menyengsarakan dirinya sendiri dengan memperlama belenggunya dalam saṁsāra dan menyengsarakan makhluk lain dengan menimbulkan kemalangan pada mereka.

580) MA: Para Nigaṇṭha menganut bahwa kedua “tongkat” pertama menghasilkan kamma secara tidak bergantung pada keterlibatan pikiran (acittaka) seperti halnya, ketika angin bertiup, dahan-dahan berayun dan dedaunan bergemerisik tanpa adanya inisiatif pikiran.

581) Sang Buddha mengatakan hal ini karena dalam ajaranNya kehendak (cetanā), suatu faktor batin, adalah unsur kamma yang paling penting, dan dengan ketiadaannya – yaitu, dalam kasus aktivitas jasmani atau ucapan yang tidak disengaja – tidak ada kamma yang dihasilkan. Akan tetapi, MA berpendapat bahwa Sang Buddha mengatakan hal ini dengan merujuk pada pandangan salah dengan akibat pasti (niyatā micchā diṭṭhi), dan mengutip AN 1:18.3/i.33 sebagai dukungan: “Para bhikkhu, Aku tidak melihat apapun yang begitu tercela sebagai pandangan salah. Pandangan salah adalah yang paling tercela dari segala hal.” Jenis-jenis pandangan salah ini dijelaskan dalam MN 60.5, 13 dan 21.

582) Seperti pada MN 35.5

583) Penambahan dalam kurung pada paragraf sebelumnya, disisipkan oleh Ñm, bersumber dari MA. Ñm, dalam Ms, menyimpulkan argumen ini sebagai berikut: Para Nigaṇṭha tidak diperbolehkan menggunakan air dingin (karena mereka menganggapnya mengandung makhluk hidup). Dengan menolak air dingin melalui jasmani dan ucapan ia menjaga perilaku jasmani dan ucapannya tetap murni, tetapi jika dalam pikirannya ia menginginkan air dingin maka perilaku pikirannya tidak murni, dan dengan denikian ia terlahir kembali di antara “para dewa dengan pikiran-terikat” (manosattā devā).

584) Pada §15 Upāli mengakui bahwa pada titik ini ia telah berkeyakinan pada Sang Buddha. Akan tetapi, ia terus membantahNya karena ia ingin mendengarkan berbagai solusi dari Sang Buddha atas persoalan itu.

585) Pernyataan ini, pada DN 2.29/i.57, dianggap berasal dari Nigaṇṭha Nātaputta sendiri sebagai formula doktrin Jain. Ñm menunjukkan dalam Ms bahwa ini melibatkan permainan kata pada vāri, yang dapat bermakna “air” juga bermakna “mengekang” (dari vāreti, menghalau). Dalam terjemahan saya atas Sāmaññaphala Sutta, The Discourse on the Fruits of recluseship, p.24. Saya menerjemahkannya dengan berdasarkan pada komentar Dīgha sebagai berikut: “Seorang Nigaṇṭha terkendali sehubungan dengan segala jenis air; ia memiliki penghindaran segala kejahatan; ia dibersihkan oleh penghindaran segala kejahatan; ia diliputi dengan penghindaran segala kejahatan.” Walaupun pernyataan ini menyampaikan sesuatu mengenai kemurnian morak, namun penekannya berbeda dengan ajaran Buddha.

586) Sang Buddha menunjukkan suatu kontradiksi antara ajaran-ajaran Jain bahwa, bahkan dengan tidak adanya kehendak, “tongkat jasmani” merupakan yang paling tercela dibandingkan dengan yang lainnya, dan penegasan mereka bahwa adanya kehendak banyak mengubah karakter moral dari suatu perbuatan.

587) Baca Jāt iii.463, v.133ff., 267;  v.144;  vi.389; v.267; v.114, 267; Miln 130.

588) MA: penglihatan Dhamma (dhammacakkhu) adalah jalan memasuki-arus. Frasa “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.” Menunjukkan modus yang mana sang jalan muncul. Sang jalan menggunakan lenyapnya (Nibbāna) sebagai obyeknya, tetapi fungsinya adalah menembus segala kondisi yang terkondisi sebagai tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.

589) “Dhamma” yang dirujuk di sini adalah Empat Kebenaran Mulia. Setelah melihat kebenaran-kebenaran ini untuk dirinya sendiri; ia telah memotong belenggu keragu-raguan dan sekarang memiliki “pandangan yang mulia dan membebaskan dan (yang) menuntun seseorang yang mempraktikkan dengan selaras dengannya menuju kehancuran total penderitaan” (MN 48.7).

590) MA: Upāli mengatakan hal ini dengan merujuk pada jalan memasuki-arus yang telah ia tembus sebelumnya.

591) Baca MN 16.3-7.

592) PTS dan SBJ menuliskan vessantarassa; edisi BBS dari teks ini dan MA menuliskan vesamantarassa; MṬ mendukung tulisan pertama. MA menjelaskan: “Beliau telah melampaui ketidak-bajikan (visama) dari nafsu, dan seterusnya.”

593) Monapattassa. “Keheningan” adalah kebijaksanaan, berhubungan dengan muni, sang bijaksana hening.

594) “Panji” adalah keangkuhan “aku.” Baca MN 22.35.

595) Nippapañcassa. Baca n.229.

596) Isisattamassa. MA menginterpretasikan ini sebagai bermakna “petapa ke tujuh” – selaras dengan konsepsi tujuh resi dalam konsepsi brahmanis – dan menganggapnya sebagai merujuk pada status Gotama sebagai Buddha ke tujuh setelah Vipassī (baca DN 14.1.4/ii.2). akan tetapi, lebih masuk akal, bahwa sattama di sini adalah bentuk superlatif dari kata sad, dan dengan demikian kata majemuk itu berarti “yang terbaik di antara para petapa.” Kata isisattama muncul pada Sn 356, dan komentar atas syair itu memperbolehkan kedua interpretasi ini, memberikan uttama sebagai suatu kemasan dari sattama.

597) Ini merujuk pada tidak adanya keterikatan dan penolakan.

598) Ñm menerjemahkan dari Bahasa Thai v.1. appabhītassa, menunjukkan bahwa appahinassa dari PTS tidak tepat di sini.

599) MA: dukacita yang berat muncul dalam dirinya karena kehilangan penyokong awamnya, dan ini menghasilkan gangguan pada jasmaninya yang mengakibatkan ia memuntahkan darah panas. Setelah memuntahkan darah panas, hanya sedikit makhluk yang dapat bertahan hidup. Demikianlah mereka membawanya ke Pāvā dengan menggunakan tandu, dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.


SUTTA 57

600) MA: Puṇṇa memasangkan tanduk di kepalanya, mengikatkan ekor di bagian belakangnya, dan bepergian dengan memakan rumput bersama dengan sapi-sapi. Seniya melakukan semua perbuatan yang khas anjing.

601) Harus dipahami bahwa praktik pertapaan yang salah memiliki akibat buruk yang lebih ringan daripada jika disertai dengan pandangan salah. Walaupun di masa kini sangat sedikit yang menjalani praktik berperilaku anjing, namun banyak gaya hidup menyimpang yang telah menyebar, dan sejauh bahwa hal-hal ini didorong oleh pandangan salah, maka akibatnya menjadi jauh lebih berat.

602) Sabyābajjhaṁ kāyasankhāraṁ (vacīsankhāraṁ, manosankhāraṁ) abhisankharoti. Di sini suatu “bentukan jasmani yang menyakitkan” dapat dipahami sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat; suatu “bentukan ucapan yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas empat perbuatan yang tidak bermanfaat; dan suatu “bentukan pikiran yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan pikiran yang tidak bermanfaat. Baca MN 9.4.

603) Ia terlahir lagi di salah satu dari alam-alam sengsara – neraka, alam binatang, atau alam hantu.

604) Bhūta bhūtassa upapatti hoti. MA: makhluk-makhluk terlahir kembali melalui perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan dan dalam cara-cara yang sesuai dengan perbuatan-perbuatan itu. Implikasi dari ajaran ini dijelaskan dengan lengkap dalam MN 135 dan MN 136.

605) Di sini yang dimaksudkan adalah kehendak-kehendak bertanggung jawab atas sepuluh perbuatan bermanfaat, bersama dengan kehendak-kehendak jhāna.

606) Ia terlahir kembali di alam surga.

607) Sesungguhnya, tidak ada perbuatan kehendak yang secara bersamaan adalah bermanfaat dan sekaligus tidak bermanfaat, karena kehendak yang bertanggung jawab atas perbuatan itu pasti adalah salah satu dari itu. Dengan denikian di sini kita harus memahami bahwa makhluk itu terlibat dalam rangkaian perbuatan bermanfaat dan tidak bermanfaat, tanpa ada yang lebih dominant secara khusus.

608) MA: Ini adalah kehendak atas empat jalan lokuttara yang memuncak pada Kearahatan. Walaupun Arahant melakukan perbuatan, namun perbuatannya tidak lagi memiliki potensi kamma untuk menghasilkan kehidupan baru atau menghasilkan akibat dalam kehidupan sekarang.

609) MA menjelaskan bahwa pabbajjā, pelepasan keduniawian, disebutkan di sini hanya dalam bentuk gaya bahasa. Dalam kenyataannya, ia menerima pelepasan keduniawian sebelum masa percobaan dan kemudian menjalani masa percobaan selama empat bulan sebelum berhak menerima upasampadā, penahbisan penuh ke dalam Sangha.

610) MA: Sang Buddha dapat menentukan: “Orang ini harus menjalani masa percobaan, orang ini tidak perlu menjalani masa percobaan.”


SUTTA 58

611) Pangeran Abhaya adalah putera Raja Bimbisara dari Magadha, walaupun bukan pewaris tahta.

612) Kedua tanduk persoalan yang serba salah ini direncanakan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dengan menduga bahwa Sang Buddha akan memberikan jawaban satu-sisi. Sekarang bahwa jawaban satu sisi itu telah ditolak, maka persoalan itu menjadi tidak berlaku.

613) Sang Buddha tidak segan menegur dan menasihati para siswaNya jika Beliau melihat bahwa ucapan itu akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

614) MA mengatakan bahwa dhammadhātu (“unsur-unsur dari segala sesuatu”) merujuk pada pengetahuan kemaha-tahuan Sang Buddha. Dhammadhātu di sini tidak sama dengan kata yang sama dengan yang digunakan untuk menyiratkan unsur obyek-obyek pikiran di antara delapan belas unsur, juga bukan bermakna suatu prinsip kosmis yang mencakup segalanya seperti kata yang dipahami dalam Buddhisme Mahayana.


SUTTA 59

615) Pañcakanga, tukang kayu bagi Raja Pasenadi dari Kosala, adalah seorang pengikut Sang Buddha yang berbakti. Ia muncul kembali dalam MN 78 dan MN 127.

616) Dua jenis perasaan adalah perasaan jasmani dan batin, atau (yang lebih jarang disebutkan adalah) kedua jenis yang disebutkan oleh Pañcakanga dalam §3. Tiga jenis perasaan adalah tiga yang disebutkan oleh Udāyin dalam §3. Lima jenis adalah kemampuan kenikmatan (jasmani), kegembiraan (batin), kesakitan (jasmani), kesedihan (batin), dan keseimbangan. Enam jenis adalah perasaan yang muncul dari kontak melalui enam organ indria. Delapan belas jenis adalah delapan belas jenis penjelajahan batin – menjelajahi enam obyek indria yang menghasilkan kegembiraan, menghasilkan kesedihan, dan menghasilkan keseimbangan (baca MN 137.8). Tiga puluh enam jenis adalah tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk – enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan masing-masing berdasarkan pada kehidupan rumah tangga atau pada pelepasan keduniawian (baca MN 137.9-15). Seratus delapan jenis adalah tiga puluh enam sebelumnya yang merujuk pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

617) MA menunjukkan bahwa dengan perasaan bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dari jhāna ke empat sebagai satu jenis kenikmatan, Sang Buddha secara tidak langsung menegaskan pandangan yang dikemukakan oleh Pañcakanga.

618) MA: Baik kenikmatan yang dirasakan maupun kenikmatan yang tidak dirasakan ditemukan (kenikmatan yang tidak dirasakan adalah kenikmatan yang berhubungan dengan pencapaian lenyapnya.) Sang Tathāgata menggambarkan keduanya sebagai kenikmatan dalam makna bahwa keduanya adalah tanpa penderitaan (niddukkhabhāva).


SUTTA 60

619) MA: Sang Buddha memulai dengan menanyakan pertanyaan ini karena desa Sālā terletak di mulut hutan, dan banyak petapa dan brahmana dari berbagai sekte bermalam di sana, membabarkan pandangan mereka dan menjatuhkan pandangan dari lawan mereka. Hal ini membuat para penduduk desa menjadi bingung, tidak mampu menerima suatu ajaran tertentu.

620) Apaṇṇakadhamma. MA menjelaskan ini sebagai suatu ajaran yang tidak dapat dipertentangkan, bebas dari ambiguitas, pasti dapat diterima (aviraddho advejjhagāmi ekaṁsagāhiko). Kata ini juga muncul dalam AN 3:16/i.113 dan AN 4:71/ii.76.

621) Tiga pandangan yang dibahas pada §§5, 13 dan 21 disebut pandangan salah dengan akibat buruk yang pasti (niyatā micchā diṭṭhi). Terikat pada pandangan-pandangan itu dengan keyakinan kuat menutup peluang untuk terlahir kembali di alam surga dan pencapaian kebebasan. Untuk pembahasan lebih lengkap baca Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship, pp.79-83.

Peninjauan atas pandangan-pandangan ini diungkapkan menurut pola berikut ini: Sang Buddha mengungkapkan pandangan salah A dan lawannya B. pertama membahas A, dalam A.i Beliau menunjukkan akibat buruk dari pandangan ini pada perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran. Dalam A.ii Beliau melanjutkan dari penilaian bahwa pandangan ini sesungguhnya adalah salah dan memunculkan akibat negatif tambahan karena menganut pandangan ini. Kemudian dalam A.iii Beliau menunjukkan bagaimana seorang bijaksana menyimpulkan bahwa apakah pandangan itu benar atau salah, ia tetap menolaknya.

Selanjutnya dibahas posisi B. dalam B.i Sang Buddha menggambarkan pengaruh bermanfaat dari pandangan ini dalam perilaku. Dalam B.ii Beliau memunculkan akibat postitif tambahan karena menganut pandangan itu. Dan dalam B.iii Beliau menunjukkan bagaimana seorang bijaksana menyimpulkan bahwa, tidak peduli kebenaran sesungguhnya, ia berusasa untuk berperilaku seolah-olah pandangan itu benar.

622) Baca n.425 untuk menjelaskan beberapa ungkapan yang digunakan di sini dalam formulasi pandangan ini.

623) Kata-kata Pali untuk ini adalah susīlya dan dusilya. Karena “moralitas buruk” terdengar kontradiktif pada kata itu sendiri, Dalam terjemahan saya digunakan “perilaku” dalam ungkapan “perilaku buruk.” Ñm menggunakan “ketidak-bermoralan.”

624) Ia telah membuat dirinya aman (sotthi) dalam makna bahwa ia tidak akan mengalami kesengsaraan dalam kehidupan mendatang. Akan tetapi, ia masih dapat mengalami jenis-jenis penderitaan dalam kehidupan ini, yang sedang dijelaskan oleh Sang Buddha.

625) Natthikavāda, lit. “doktrin ketiadaan,” disebut demikian karena menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma.

626) Penerimaannya akan ajaran yang tidak dapat dibantah “hanya sejauh satu sisi” dalam makna bahwa ia membuat dirinya aman sehubungan dengan kehidupan berikut hanya atas dugaan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, sementara jika ada kehidupan setelah kematian maka ia kalah dalam kedua sisi.

627) Atthikavāda: Penegasan pada keberadaan kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma.

628) Penerimaannya “mencakup kedua sisi” karena ia memperoleh manfaat dari pandangannya dengan menegaskan kehidupan setelah kematian tidak peduli apakah kehidupan setelah kematian ada atau tidak ada.

629) Doktrin tidak berbuat (akiriyavāda), dalam Sāmaññaphala Sutta (DN 2.17/i.52-53), dihubungkan dengan Pūraṇa Kassapa. Walaupun pada pertemuan pertama pandangan ini sepertinya bersandar pada anggapan-anggapan materialis, seperti halnya pandangan nihilistis sebelumnya, namun terdapat bukti kanonis bahwa Pūraṇa Kassapa menganut doktrin fatalistis. Dengan demikian keyakinan moralnya mungkin mengikuti dari pandangan bahwa segala perbuatan ditakdirkan dalam berbagai cara yang membatalkan tanggung jawab moral si pelakunya. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivijas, p.84.

630) Ini adalah doktrin non-kausalitas (ahetukavāda) yang dianut oleh Makkhali Gosāla pemimpin Ājivaka, disebut dalam Sāmaññaphala Sutta sebagai doktrin pemurnian oleh Saṁsāra (saṁsārasuddhi, DN 2.21/i.54). filosofi dari Makkhali Gosāla telah dibahas secara terperinci oleh Basham, History and Doctrines of the Ājivikas, Bab 12 dan 13. Sebuah terjemahan atas Komentar Digha atas doktrin ini dapat ditemukan dalam Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship,  pp.70-77.

631) Niyati, takdir atau nasib, adalah prinsip penjelasan utama dari filosofi Makkhali, “situasi dan alam” (sangatibhāva) sepertinya adalah modus operasi dari peristiwa-peristiwa eksternal dan keadaan jasmani individu secara berturut-turut. Enam kelompok (abhijāti) adalah enam gradasi manusia menurut tingkat pengembangan spiritual mereka, yang tertinggi diperuntukkan bagi ketiga guru Ājivaka yang disebutkan pada MN 36.5. mengenai enam kelompok ini, baca Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship, `pp.73-75. juga AN 6:57/iii.383-84.

632) Ini adalah penyangkalan pada empat alam kehidupan tanpa-bentuk, pasangan obyektif dari empat pencapaian meditatif tanpa materi.

633) Ini adalah para dewa dari alam yang bersesuaian dengan empat jhāna. Mereka memiliki jasmani dengan materi yang halus, tidak seperti pada dewa dari alam tanpa materi yang terdiri dari hanya batin tanpa adanya campuran materi.

634) MA: Walaupun orang bijaksana yang dibahas di sini memiliki keragu-raguan mengenai kehidupan alam tanpa materi, namun ia mencapai jhāna ke empat, dan dengan berdasarkan pada itu ia berusaha untuk mencapai pencerapan tanpa materi. Jika ia gagal maka ia pasti terlahir kembali di alam bermateri halus, tetapi jika ia berhasil maka ia akan terlahir kembali di alam tanpa materi. Demikianlah baginya taruhan ini adalah suatu “ajaran yang tidak dapat dibantah.”

635) MA: Lenyapnya penjelmaan (bhavanirodha) di sini adalah Nibbāna.

636) MA: Walaupun orang ini memiliki keragu-raguan sehubungan dengan Nibbāna, namun ia mencapai delapan pencapaian meditatif, dan kemudian, dengan menggunakan salah satu dari pencapaian itu sebagai landasan, ia mengembangkan pandangan terang, dengan pikiran: “Jika ada lenyapnya, maka aku akan mencapai Kearahatan dan mencapai Nibbāna.” Jika ia gagal maka ia pasti terlahir kembali di alam tanpa materi, tetapi jika ia berhasil maka ia mencapai Kearahatan dan mencapai Nibbāna.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #71 on: 18 October 2010, 10:03:36 AM »
SUTTA 61

637) Rāhula adalah  putera tunggal Sang Buddha, dilahirkan pada hari yang sama ketika ayahnya meninggalkan istana untuk mencari pencerahan. Pada usia tujuh tahun ia ditahbiskam menjadi seorang samaṇera oleh YM. Sāriputta pada peristiwa kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu setelah pencerahanNya. Sang Buddha menyatakannya sebagai siswa terunggul di antara para siswa yang menyukai latihan. Menurut MA, khotbah ini diajarkan kepada Rāhula ketika ia berumur tujuh tahun, dengan demikian tidak lama setelah penahbisannya. Pada MN 147 ia mencapai Kearahatan setelah mendengarkan khotbah dari Sang Buddha tentang pengembangan pandangan terang.

638) Mengakui perbuatan salah demikian dan menjalankan pengendalian di masa depan mengarah pada perkembangan dalam disiplin Para Mulia. Baca MN 65.13

639) Akan tetapi, pada bagian ini, frasa “maka engkau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu ... dan menceritakannya” diganti menjadi: “maka engkau harus merasa terpukul, malu, dan jijik oleh perbuatan pikiran itu. Setelah menjadi terpukul, malu, dan jijik oleh perbuatan pikiran itu ...” Penggantian ini dibuat karena pikiran-pikiran tidak bermanfaat, tidak seperti pelanggaran jasmani dan ucapan, tidak memerlukan pengakuan sebagai cara untuk terbebas dari kesalahan. Baik Horner dalam MLS maupun Ñm dalam Ms tidak memasukkan variasi ini.


SUTTA 62

640) Menurut MA, khotbah ini diajarkan kepada Rāhula ketika ia berumur delapan belas tahun, dengan tujuan untuk menghalau keinginan yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Khotbah pendek nasihat kepada Rāhula adalah MN 147.

641) MA: Sewaktu Rāhula mengikuti Sang Buddha, ia memperhatikan dengan penuh kekaguman pada kesempurnaan fisik Sang Guru dan berpikir bahwa ia sendiri juga berpenampilan serupa, dengan pikiran: “Aku juga tampan seperti ayahku Sang Bhagavā. Bentuk Sang Buddha sungguh indah dan demikian pula denganku.” Sang Buddha membaca pikiran Rāhula dan memutuskan untuk menasihatinya seketika, sebelum pikiran-pikiran tidak berguna itu mengarahkannya pada kesulitan yang lebih jauh lagi. Demikianlah Sang Buddha membingkai nasihatnya dalam hal perenungan jasmani sebagai bukan diri juga tidak memiliki diri.

642) MA: YM. Sāriputta, guru Rāhula, memberikan nasihat ini kepada Rāhula tanpa menyadari bahwa Rāhula telah diberikan instruksi meditasi berbeda oleh Sang Buddha. Ia terkecoh oleh posisi Rāhula yang duduk bersila dan berpikir bahwa Rāhula sedang berlatih perhatian pada pernafasan.

643) MA: Sang Buddha di sini menjelaskan meditasi pada empat unsur utama dan bukannya perhatian pada pernafasan dengan tujuan untuk menghalau kemelekatan Rāhula pada jasmani, yang belum dilenyapkan melalui instruksi singkat tentang ketanpa-akuan bentuk materi. Baca n.329 untuk penjelasan kata yang memerlukan komentar.

644) Ruang (ākāsa) bukanlah unsur materi utama tetapi dikelompokkan dalam bentuk materi turunan (upādā-rūpa).

645) MA: Paragraf ini (§13-17) diajarkan untuk menunjukkan kualitas ketidak-membeda-bedakan (tādibhāva).

646) Untuk penjelasan atas kata yang tidak jelas dalam empat tetrad pertama tentang perhatian pada pernafasan ini (§26), baca nn.140-142. Kata-kata yang memerlukan penjelasan dalam tiga tetrad berikutnya akan dijelaskan dalam catatan pada MN 118, Ānāpānasati Sutta.

647) Yaitu, meditator meninggal dunia dengan tenang, dengan penuh perhatian dan sadar.


SUTTA 63

648) Mereka yang selalu bertanya-tanya tentang nasib bhikkhu yang nyaris meninggalkan Sang Buddha demi memuaskan keingin-tahuan metafisikanya akan gembira setelah mengetahui bahwa dalam usia tuanya Mālunkyāutta menerima khotbah singkat tentang enam landasan indria dari Sang Buddha, pergi memasuki keterasingan meditasi, dan mencapai Kearahatan. Baca SN 35:95/iv.72-76. Syair-syairnya terdapat pada Thag 399-404 dan 794-817.


SUTTA 64

649) Kelima belenggu yang lebih rendah (orambhāgiyāni saṁyojanāni) disebut demikian karena mengarah menuju kelahiran kembali di alam indria. Belenggu-belenggu ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan yang-tidak-kembali.

650) MA: Akan muncul pertanyaan: “Ketika Sang Buddha bertanya tentang belenggu-belenggu dan Bhikkhu itu menjawab dalam hal belenggu-belenggu, mengapa Sang Buddha mengkritik jawabannya?”Alasannya adalah karena Mālunkyāputta menganut pandangan bahwa seseorang terbelenggu oleh kekotoran hanya pada saat ketika kekotoran itu menyerangnya, sementara pada saat lainnya tidak terbelenggu oleh kekotoran. Sang Buddha mengatakan itu untuk menunjukkan kesalahan dalam pandangannya.

651) Anuseti tve’ assa sakkāyadiṭṭhānusayo. Mengenai anusaya atau kecenderungan tersembunyi, baca n.473. Dalam komentar kekotoran dibedakan saat muncul di tiga tingkat: tingkat anusaya, di mana kekotoran menetap hanya sebagai watak tersembunyi dalam batin; tingkat pariyaṭṭhāna, di mana kekotoran muncul untuk menguasai dan memperbudak pikiran (dirujuk dalam §5 dari khotbah ini); dan tingkat vitikkama, di mana kekotoran memotivasi perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak bermanfaat. Inti dari kritikan Sang Buddha adalah bahwa belenggu-belenggu, bahkan ketika tidak muncul secara aktif, namun terus ada pada tingkat anusaya selama belum dilenyapkan melalui jalan lokuttara.

652) Dhamma. Ini juga dapat diterjemahkan “segala sesuatu.”

653) MA: Belenggu dan kecenderungan tersembunyi secara prinsip bukanlah hal yang berbeda; sebaliknya, adalah kekotoran yang sama yang disebut belenggu dalam makna mengikat, dan kecenderungan tersembunyi dalam makna belum ditinggalkan.

654) Upadhivivekā. MA mengemas upadhi di sini sebagai lima utas kenikmatan indria. Walaupun ketiga klausul pertama dari pernyataan ini sepertinya mengungkapkan gagasan yang sama dengan dua klausul berikutnya, MṬ menunjukkan bahwa ini dimaksudkan untuk menunjukkan cara untuk mendapatkan kondisi “dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat.”

655) Paragraf ini menunjukkan pengembangan pandangan terang (vipassanā) yang berdasarkan pada ketenangan (samatha), menggunakan jhāna yang dengannya praktik pandangan terang didasarkan sebagai obyek perenungan pandangan terang. Baca MN 52.4 dan n.552. Di sini dua kata – tidak kekal dan kehancuran – menunjukkan karakteristik ketidak-kekalan; tiga kata – makhluk asing, kehampaan, dan bukan-diri – menunjukkan karakteristik tanpa-diri; enam kata lainnya menunjukkan karakteristik penderitaan.

656) MA: Ia “mengalihkan pikirannya” dari kelima kelompok unsur kehidupan yang termasuk dalam jhāna, yang telah ia lihat dengan ditandai ketiga karakteristik. “Unsur keabadian” (amatā dhātu) adalah Nibbāna. Pertama “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan kesadaran pandangan terang, setelah mendengarnya dipuji dan digambarkan sebagai “damai dan luhur,” dan seterusnya. Kemudian, dengan jalan lokuttara, “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan menjadikannya sebagai obyek dan menembusnya sebagai yang damai dan luhur, dan seterusnya.

657) Baca n.553

658) Mengenai penghilangan pencapaian tanpa-materi yang ke empat, baca n.554.

659) MA: Di antara mereka yang maju melalui ketenangan, seorang bhikkhu menekankan keterpusatan pikiran – ia dikatakan mencapai kebebasan pikiran; yang lain menekankan kebijaksanaan – ia dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan. Di antara mereka yang maju melalui pandangan terang, satu menekankan kebijaksanaan – ia dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan, yang lain menekankan keterpusatan pikiran - ia dikatakan mencapai kebebasan pikiran. Kedua siswa utama mencapai Kearahatan dengan menekankan pada ketenangan dan pandangan terang, tetapi YM. Sāriputta menjadi seorang yang mencapai kebebasan pikiran. Demikianlah alasan (bagi perbedaan sebutan) adalah perbedaan dalam indria-indria mereka, yaitu, antara keunggulan indria konsentrasi dan indria kebijaksanaan.

SUTTA 65
660) Ini merujuk pada praktik Sang Buddha dalam hal makan satu kali sehari hanya sebelum siang. Menurut Pātimokkha, para bhikkhu dilarang makan dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya, walaupun praktik makan satu kali sehari dianjurkan namun bukan keharusan.

661) MA: Ia menjadi cemas dan khawatir apakah ia mampu menjalani kehidupan suci selama seumur hidupnya

662) Kecemasannya tetap ada karena ia masih harus menyelesaikan makanan yang tersisa sebelum tengah hari.

663) Ini adalah peraturan yang melarang makan di luar batas waktu yang selayaknya. Baca Vin Pāc 37/iv.35.

664) Ketujuh kata yang digunakan dalam bagian ini mewakili tujuh kelompok individu mulia. Dijelaskan pada MN 70.14-21.

665) Baik Ñm maupun Horner menganggap sankameyya di sini berarti bahwa bhikkhu itu membuat dirinya menjadi papan, yaitu, berbaring di atas lumpur. Akan tetapi, ini berlawanan dengan jawaban negatif Bhaddāli. Dengan demikian sepertinya lebih tepat menganggap kata kerja ini berarti bahwa ia menyeberang sendiri (seperti makna literal kata kerja itu), dalam mengabaikan perintah Sang Buddha. MA menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak akan pernah memberikan perintah seperti itu kepada para siswaNya, tetapi hanya mengatakan ini untuk menekankan sikap keras kepala Bhaddāli.

666) MA: Ia memelihara dirinya dengan keyakinan duniawi dan cinta kasih duniawi terhadap penahbis dan gurunya. Karena para bhikkhu lain membantunya, ia bertahan dalam kehidupan tanpa rumah dan mungkin akhirnya menjadi seorang bhikkhu besar yang mencapai pengetahuan langsung.

667) Paragraf ini merujuk pada prinsip pasti bahwa Sang Buddha tidak menetapkan aturan latihan hingga sebuah kasus muncul yang memerlukan penetapan aturan latihan yang sesuai. Baca Vin Pār 1/iii.9-10.

668) Tasmiṁ ṭhāne parinibbāyati. Kata kerja yang digunakan di sini adalah bentuk verbal dari parinibbāna, dan mungkin secara literal, walaupun salah, diterjemahkan, “Ia mencapai Nibbāna akhir dalam perbuatan itu.”

669) “Seorang yang melampaui latihan” (asekha) adalah seorang Arahant. MA menjelaskann kesepuluh faktor ini adalah unsur-unsur dari buah Kearahatan.

670) Pengetahuan benar (sammā ñāṇa) adalah pengetahuan yang berhubungan dengan buah Kearahatan, kebebasan benar (sammā vimutti) adalah kebebasan Arahant dari segala kekotoran.


SUTTA 66

671) Dari paragraf ini dan paragraf berikutnya, sepertinya Sang Buddha membatasi waktu makan yang diperbolehkan bagi para bhikkhu dalam dua tahap berturut-turut, pertama melarang hanya makan sore dan memperbolehkan makan malam. Akan tetapi, dalam kisah latar belakang dalam Vinaya dari Pāc 37 (Vin iv.85) tidak disebutkan larangan berturut-turut ini. Sebaliknya, teks sepertinya menganggapnya sebagai suatu pengetahuan umum bahwa para bhikkhu tidak boleh mengkonsumsi makanan setelah lewat tengah hari, dan ini menunjukkan bahwa Sang Buddha menetapkan peraturan makan yang tidak pada waktunya dengan satu kelompok pernyataan yang berlaku untuk semua makanan setelah lewat tengah hari.

672) Ucapan ini adalah dalam bentuk yang sepertinya percakapan Pali. MA menjelaskan: jika ibu dan ayah seseorang masih hidup, mereka akan memberikan berbagai makanan kepada putera mereka dan memberikan tempat untuk tidur, dan dengan demikian ia tidak perlu berkeliling mencari makanan di malam hari.

673) MA: Sang Buddha mengangkat ajaran ini untuk menganalisa orang yang meninggalkan apa yang telah diberitahukan untuk ditinggalkan (§9) ke dalam empat jenis individu berbeda.

674) Upadhi. MA mengemas: Untuk meninggalkan empat jenis upadhi – kelompok-kelompok unsur kehidupan, kekotoran-kekotoran, bentukan-bentukan kehendak, dan utas-utas kenikmatan indria (khandh’ upadhi kiles’upadhi abhisankhār’upadhi kāmaguṇ’upadhi).

675) MA: Orang biasa, pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali dapat termasuk dalam kelompok pertama (§14), yang-tidak-kembali karena keinginan akan penjelmaan masih ada dalam dirinya dan dengan demikian kadang-kadang ia dapat menikmati pikiran-pikiran kenikmatan duniawi. Orang biasa yang sama dapat termasuk dalam kelompok ke dua (§15), orang biasa karena ia mungkin dapat menekan kekotoran yang telah muncul, membangkitkan kegigihan, mengembangkan pandangan terang, dan melenyapkan kekotoran dengan mencapai jalan lokuttara.

676) Jenis ini dibedakan dengan jenis sebelumnya hanya oleh kelambanannya dalam membangkitkan perhatian untuk meninggalkan kekotoran yang telah muncul.

677) Ini adalah Arahant, yang telah melenyapkan segala belenggu.

678) Di sini saya berbeda dengan Ñm dalam menerjemahkan sukha sebagai “kebahagiaan” dan bukan sebagai “kenikmatan” untuk menghindari frasa-frasa yang terdengar janggal yang dapat diakibatkan dari konsistensi yang kaku. MA menjelaskan jhāna-jhāna sebagai nekkhammasukha karena menghasilkan kebahagiaan dari meninggalkan kenikmatan indria; sebagai pavivekasukha karena menghasilkan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan dari keramaian dan dari kekotoran; sebagai upasamasukha karena kebahagiaannya adalah bertujuan untuk menenangkan kekotoran; dan sebagai sambodhasukha karena kebahagiaannya adalah bertujuan untuk mencapai pencerahan. Jhāna-jhāna itu sendiri, tentu saja, bukanlah kondisi-kondisi pencerahan.

679) Semua kondisi pikiran di bawah jhāna ke empat dikelompokkan sebagai “yang dapat terganggu” (iñjita). Jhāna ke empat dan semua kondisi yang lebih tinggi disebut “yang tidak dapat terganggu” (aniñjita). Baca n.1000.

680) MA: Tidaklah selayaknya untuk melekatinya dengan keinginan, dan seseorang seharusnya tidak berhenti pada titik ini.

681) Lenyapnya persepsi dan perasaan bukan hanya sekadar satu pencapaian yang lebih tinggi dalam skala konsentrasi, melainkan di sini menyiratkan pengembangan pandangan terang penuh yang membawa menuju puncaknya dalam Kearahatan.


SUTTA 67

682) Kevaṭṭā maññe macchavilope. MA memberikan dua penjelasan: yang satu sesuai dengan terjemahan ini, yang lain menyarankan “nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

683) Ini adalah Brahmā Sahampati yang memohon kepada Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk mengajarkan Dhamma kepada dunia. Baca MN 26.20.

684) MA: Dalam hal ini YM. Sāriputta bersalah karena tidak menyadari tanggung jawabnya, karena Sangha adalah tanggung jawab kedua siswa utama. Demikianlah Sang Buddha menegurnya tetapi memuji YM. Moggallāna, yang menyadari tanggung jawabnya.

685) MA: Sang Buddha mengangkat ajaran ini untuk menunjukkan bahwa terdapat empat ketakutan (atau bahaya, bhaya) dalam Pengajaran ini. Mereka yang mampu mengatasi empat ketakutan ini akan maju dalam Pengajaran ini, yang lainnya tidak akan maju.

686) Pali menggunakan dua kata yang berbeda untuk menunjukkan jenis-jenis makanan yang berbeda: khādaniya, “makanan untuk dikonsumsi,” termasuk semua jenis sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, umbi-umbian, dan sebagainya; bhojanīya, “makanan untuk dimakan,” termasuk makanan yang terbuat dari padi, daging, dan ikan. Makanan-makanan untuk dikecap (sāyitabba) termasuk kudapan ringan.

687) Batas waktu selayaknya adalah dari fajar hingga tengah hari, di luar itu hanya cairan yang boleh diminum.
« Last Edit: 18 October 2010, 10:06:26 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #72 on: 18 October 2010, 10:05:10 AM »
SUTTA 68

688) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria” menyiratkan jhāna pertama dan ke dua, “Sesuatu yang lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi dan empat jalan.

689) Baca MN 2.4. Ini adalah praktik yang dijalankan oleh seseorang yang dalam latihan untuk mencegah munculnya noda-noda tersembunyi yang belum ditinggalkan.

690) Ini merujuk pada kemampuan Sang Buddha untuk menemukan melalui mata-batin kondisi-kondisi di mana para siswaNya telah terlahir kembali.

691) Aññā: Pengetahuan yang dicapai oleh Arahant. Harus diperhatikan bahwa sementara pengumuman pencapaian oleh para bhikkhu dan bhikkhunī dimulai dari Kearahatan, pencapaian oleh umat awam laki-laki dan perempuan dimulai dengan yang-tidak-kembali (dalam §18, §21). Walaupun Buddhisme awal mengakui kemungkinan umat awam mencapai Kearahatan. Dalam semua kasus yang terdapat dalam Nikāya, mereka mencapainya menjelang kematian atau persis sebelum memohon penahbisan ke dalam Sangha.

SUTTA 69

692) Ini dilarang dalam Pāc 46 (Vin iv.98-100). Seorang bhikkhu boleh mengunjungi keluarga-keluarga hanya pada saat-saat ia telah memberitahukan kepada bhikkhu lain dalam vihara sehubungan dengan niatnya, kecuali selama masa pembuatan dan persembahan jubah.

693) Abhidhamma Abhivinaya. MA mengatakan bahwa ia harus tekun mempelajari teks dan komentar Abhidhamma Piṭaka dan Vinaya Piṭaka. Ini jelas tidak sesuai pada masa itu. Mengenai Abhidhamma dalam konteks sutta-sutta, baca n.362. Walaupun tidak ada batang tubuh literatur yang disebut “Abhivinaya,” sepertinya mungkin kata itu merujuk pada suatu pendekatan sistematis dan analitis untuk mempelajari Vinaya, mungkin ditambahkan dalam Suttavibhanga dari Vinaya Piṭaka.

694) MA: Ini merujuk pada delapan pencapaian meditatif. Minimal ia harus menguasai tahap persiapan dari satu obyek meditasi, misalnya kasiṇa.

695) MA: Ini merujuk pada semua kondisi-kondisi lokuttara. Minimal ia harus menguasai satu pendekatan untuk mengembangkan pandangan terang hingga Kearahatan.

SUTTA 70

696) Baca n.671. Selaras dengan MN 66.6, MA menjelaskan bahwa Sang Buddha pertama-tama melarang makan sore dan kemudian belakangan melarang makan malam. Beliau melakukan hal ini karena peduli dengan para bhikkhu yang lemah dalam Sangha, karena mereka akan menjadi terlalu cepat lelah jika kedua waktu makan ini dilarang pada saat bersamaan.

697) Dalam Vinaya Piṭaka, para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka digambarkan sebagai para bhikkhu yang “ceroboh dan tidak bermoral” dan ditunjukkan melakukan berbagai perbuatan buruk yang merusak umat awam. Di Kīṭāgiri suatu tindakan pengucilan dinyatakan terhadap mereka, dan penolakan mereka untuk patuh melatar-belakangi penetapan Sanghādisesa 13 (Vin iii.179-84)

698) MA: Pernyataan ini dibuat dengan merujuk pada kenikmatan yang dialami dalam makan malam, yang tidak mendukung praktik tugas-tugas seorang bhikkhu.

699) MA: Jenis pertama perasaan yang menyenangkan adalah kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, dan jenis berikutnya adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Demikian pula, kedua kalimat berikutnya yang merujuk pada kesakitan dan kenetralan berdasarkan, berturut-turut, pada kehidupan rumah tangga dan berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

700) §§8-10 berfungsi untuk memberikan, berdasarkan pada pemahaman sempurna Sang Buddha, landasan bagi perintah untuk meninggalkan segala perasaan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan mengembangkan perasaan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

701) Di sini mengikuti tujuh pengelompokan individu mulia yang mengelompokkan mereka bukan hanya berdasarkan pada jalan dan buah pencapaian mereka – tetapi menurut indria yang lebih unggul. Definisi alternatif dari ketujuh ini diberikan oleh Pug 1:30-36/14-15.

702) Ubhatobhāgavimutta. MA: Ia adalah “yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara” karena ia terbebaskan dari tubuh fisik melalui pencapaian tanpa materi dan dari tubuh batin melalui jalan (Kearahatan). Definisi Pug tertulis: “Ia menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam delapan kebebasan, dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatan dengan kebijaksanaan.” MA mengatakan bahwa ubhatobhāgavimutta termasuk mereka yang mencapai Kearahatan setelah keluar dari salah satu dari empat pencapaian tanpa materi dan ia yang mencapainya setelah keluar dari pencapaian lenyapnya.

703) Paññāvimutta. MA: Ini termasuk mereka yang mencapai Kearahatan apakah sebagai meditator pandangan terang tanpa jhāna (sukkha-vipassaka) atau setelah keluar dari salah satu jhāna. Definisi Pug sekadar menggantikan ‘kebebasan-kebebasan itu … melampaui bentuk-bentuk’ menjadi delapan kebebasan.

704) Kāyasakkhim. MA: jenis ini memasukkan enam jenis individu – dari seorang yang mencapai buah memasuki-arus hingga seorang yang berada dalam jalan Kearahatan – yang pertama menyentuh jhāna-jhāna (tanpa materi) dan selanjutnya mencapai Nibbāna. MṬ menekankan bahwa salah satu pencapaian jhāna tanpa materi terrmasuk pencapaian lenyapnya diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai kāyasakkhin. Defenisi Pug hanya sekadar menggantikan delapan kebebasan.

705) Diṭṭhipatta: MA mengatakan bahwa jenis ini juga memasukkan enam individu yang sama yang termasuk dalam kāyasakkhin – dari seorang pemasuk-arus hingga seorang yang berada dalam jalan Kearahatan – tetapi tidak memiliki pencapaian-pencapaian tanpa materi. Pug mendefinisikannya sebagai seorang yang telah memahami Empat Kebenaran Mulia dan yang telah meninjau dan memeriksa dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.

706) Saddhāvimutta. MA mengatakan bahwa jenis ini juga memasukkan enam yang sama. Pug mendefinisikannya dengan cara yang sama dengan definisi diṭṭhipatta, tetapi menambahkan bahwa ia belum meninjau dan memeriksa ajaran-ajaran dengan kebijaksanaan dalam jangkauan yang sama dengan diṭṭhipatta.

707) MA mengatakan bahwa jenis ini, dhammānusārin, dan yang berikutnya, saddhānusārin, adalah individu-individu yang berada dalam jalan memasuki-arus, yang pertama lebih unggul dalam kebijaksanaan, dan yang ke dua lebih unggul dalam keyakinan. Untuk kedua jenis ini, baca n.273.

708) MA: Dengan tubuh batin ia mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi, dan ia menembusnya dengan kebijaksanaan yang berhubungan dengan jalan lokuttara.

709) Yaitu, para bhikkhu ini belum memperoleh keyakinan yang diperlukan untuk menjalani latihan yang ditetapkan untuk mereka oleh Sang Bhagavā.

710) MA mengatakan bahwa “pernyataan berfrasa empat” (catuppadaṁ veyyākaraṇaṁ) adalah ajaran Empat Kebenaran Mulia. Akan tetapi, di sini tidak disebutkan tentang empat kebenaran. Mungkin “pernyataan berfrasa empat” adalah tekad pada upaya yang terdapat persis di bawah, dengan masing-masing klausa dihitung sebagai satu frasa (klausa kondisional dianggap sebagai dua frasa).

711) MA: Dengan ini Sang Buddha menunjukkan bahwa siswa ideal memprakikkan dengan membangkitkan kegigihannya dan bertekad: “Aku tidak akan bangkit selama aku belum mencapai Kearahatan.”

SUTTA 71

712) Sutta ini dan dua sutta berikutnya sepertinya menyajikan kisah kronologis atas evolusi spiritual Vacchagotta. Dalam Saṁyutta Nikāya terdapat satu bagian penuh yang menceritakan diskusi antara Sang Buddha dengan Vacchagotta, SN 33/iii.257-62. baca juga SN 44:7-11/iv.391-402.

713) Ini adalah jenis kemaha-tahuan yang diakui dimiliki oleh guru Jain, Nigaṇṭha Nātaputta pada MN 14.17 …

714) MA menjelaskan bahwa walaupun sebagian pernyataan ini beanr, namun Sang Buddha menolak keseluruhan pernyataan karena porsinya tidak benar. Bagian pernyataan yang benar adalah penegasan bahwa Sang Buddha adalah maha-tahu dan maha-melihat; bagian yang berlebih-lebihan dalam pernyataan itu adalah bahwa pengetahuan dan penglihatan terus-menerus ada padaNya. Menurut tradisi penafsiran Theravāda Sang Buddha adalah maha-tahu dalam makna bahwa semua hal-hal yang dapat diketahui adalah terjangkau olehNya. Akan tetapi, Beliau tidak dapat, mengetahui segala sesuatu pada saat bersamaan dan harus mengarahkannya pada apapun yang Beliau ingin ketahui. Pada MN 90.8 Sang Buddha mengatakan bahwa adalah mungkin untuk mengetahui dan melihat segala sesuatu, walaupun tidak pada saat bersamaan. Dan pada AN 4:24/ii.24 Beliau mengaku mengetahui segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Ini dipahami oleh para komentator Theravada sebagai suatu penegasan kemaha-tahuan dalam makna yang memenuhi syarat. Sehubungan dengan hal ini, baca juga Miln 102-7.

715) MA menjelaskan “belenggu kerumah-tanggaan” (gihisaṁyojana) sebagai kemelekatan pada kebutuhan-kebutuhan seorang rumah tangga, yang diperinci oleh MṬ sebagai tanah, hiasan-hiasan, kekayaan, hasil panen, dan sebagainya. MA mengatakan bahwa bahlan walaupun teks menyebutkan beberapa individu yang mencapai Kearahatan sebagai seorang awam, melalui jalan Kearahatan mereka menghancurkan segala kemelekatan pada hal-hal duniawi dan dengan demikian mereka akan meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu atau segera meninggal dunia setelah pencapaian mereka. Pertanyaan mengenai para Arahant awam dibahas pada Miln 264.

716) Mengenai para Ājivaka baca n.73.

717) Karena Ajivaka ini percaya pada efektifitas perbuatan bermoral, maka Beliau tidak dapat menyetujui filosofi fatalisme ortodoks dari para Ājivaka yang menyangkal efektifitas peran kamma dan perbuatan-perbuatan kehendak dalam mengubah takdir manusia. MA mengidentifikasikan Ājivaka ini sebagai Sang Bodhisatta dalam kehidupan sebelumnya.

SUTTA 72

718) Pandangan bahwa jiwa (jiva) dan badan adalah sama merupakan pandangan materialisme, yang memperkecil jiwa ke dalam badan. Pandangan berikutnya bahwa jiwa dan badan adalah berbeda merupakan pandangan eternalis, yang menganggap jiwa sebagai suatu prinsip spiritual yang terus ada dengan tidak bergantung pada badan.

719) Pandangan bahwa Seorang Tathāgata ada setelah kematian adalah suatu bentuk eternalisme yang menganggap Sang Tathāgata, atau individu yang sempurna secara spiritual, sebagai memiliki diri yang mencapai kebebasan abadi setelah kematian jasmani. Pandangan bahwa seorang Tathāgata tidak ada setelah kematian juga menyiratkan Sang Tathāgata sebagai diri, tetapi menganut bahwa diri ini musnah pada saat kematian jasmani. Pandangan ke tiga mencoba menggabungkan kedua pandangan ini, yang ditolak oleh Sang Buddha karena kedua komponen itu melibatkan pandangan salah. Pandangan ke empat sepertinya merupakan suatu usaha skeptis untuk menolak kedua alternatif atau menghindari pendirian yang pasti.

720) Dalam Pali suatu permainan kata terlibat antara diṭṭhigata, “pandangan spekulatif,” yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata, dan diṭṭha, apa yang telah “terlihat” oleh Sang Tathāgata dengan pengetahuan langsung, yaitu, timbul dan tenggelamnya kelima kelompok unsur kehidupan.

721) MA mengatakan bahwa “tidak muncul kembali” sebenarnya berlaku, dalam makna bahwa Arahant tidak mengalami penjelmaan baru. Tetapi jika Vacchagotta mendengar hal ini maka ia akan salah memahaminya sebagai nihilisme, dan karena itu Sang Buddha membantah bahwa itu berlaku dalam makna bahwa nihilisme bukanlah posisi yang dapat dipertahankan.

722) MA mengatakan ini adalah bentuk materi yang dengannya seseorang dapat menggambarkan Sang Tathāgata sebagai makhluk (atau diri) yang memiliki bentuk materi. MṬ menambahkan bahwa bentuk materi telah ditinggalkan melalui ditinggalkannya belenggu-belenggu yang berhubungan dengannya, dan dengan demikian telah menjadi tidak dapat muncul lagi di masa depan.

723) Paragraf ini harus dihubungakan dengan perumpamaan padamnya api. Seperti halnya padamnya api tidak dapat digambarkan sebagai pergi ke arah manapun, demikian pula Sang Tathāgata yang telah mencapai Nibbāna akhir tidak dapat digambarkan dalam hal empat alternatif. Perumpaan itu hanya berkaitan dengan legitimasi penggunaan konseptual dan bahasa dan bukan dimaksudkan untuk menyiratkan, seperti yang dianut oleh beberapa terpelajar, bahwa Sang” Tathāgata mencapai suatu pencerapan mistis dalam Yang  Mutlak. Kata-kata  “dalam, tidak terbatas, sulit diukur” menunjukkan dimensi transenden dari kebebasan yang dicapai oleh Yang Sempurna, ketidak-terjangkauannya oleh pikiran yang berkeliaran.

Sepertinya bahwa pada titik ini dalam percakapan itu, Sang Buddha menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan apa yang tidak dapat disampaikan oleh konsep-konsep. Kedua perumpamaan – padamnya api dan samudera dalam – dengan sendirinya membentuk ketegangan dialektika, dan dengan demikian keduanya harus diperhitungkan untuk menghindari pandangan-pandangan satu sisi. Perumpamaan padamnya api, secara berdiri sendiri, berbelok ke arah pemadaman total, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan samudera; Perumpamaan samudera, secara berdiri sendiri, menyiratkan  beberapa modus penjelmaan abadi, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan padamnya api. Selanjutnya, kebenaran terletak di tengah-tengah yang melampaui kedua ekstrim yang tidak dapat dipertahankan.


SUTTA 73

724) Pertanyaan ini dan pertanyaan berikutnya merujuk pada Kearahatan, yang mana (menurut MA) Vacchagotta menganggapnya sebagai keistimewaan eksklusif Sang Buddha.

725) Pertanyaan ini merujuk pada yang-tidak-kembali. Bahkan walaupun seorang yang-tidak-kembali masih dapat menjalani kehidupan awam, namun ia harus menjalani kehidupan selibat karena ia telah memotong belenggu keinginan indria.

726) Pertanyaan ini merujuk pada pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali, yang masih menikmati kenikmatan indria jika mereka masih menjalani kehidupan awam.

727) MA: Ia telah mencapai buah yang-tidak-kembali dan datang untuk bertanya kepada Sang Buddha mengenai praktik pandangan terang untuk mencapai jalan Kearahatan. Akan tetapi, Sang Buddha melihat bahwa ia memiliki kondisi yang mendukung bagi enam pengetahuan langsung. Maka demikianlah Beliau mengajarkan kepadanya ketenangan untuk menghasilkan lima pengetahuan langsung lokiya dan pandangan terang untuk mencapai Kearahatan.

728) Landasan yang sesuai (āyatana) adalah jhāna ke empat untuk lima pengetahuan langsung dan pandangan terang untuk Kearahatan.

729) Pariciṇṇo me Bhagavā, pariciṇṇo me Sugato. Ini adalah cara tidak langsung untuk memberitahukan kepada Sang Buddha mengenai pencapaian Kearahatan olehnya. Para bhikkhu tidak memahami hal ini, dan oleh karena itu Sang Buddha menjelaskan maknanya kepada mereka.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #73 on: 18 October 2010, 10:09:06 AM »
SUTTA 74

  Dīghanakha adalah keponakan YM. Sāriputta. Pada saat ia mendatangi Sang Buddha, Sariputta baru menjadi bhikkhu selama dua minggu dan masih menjadi seorang pemasuk-arus.

731) MA berpendapat bahwa Dīghanakha adalah seoerang nihilis (ucchedavādin) dan menjelaskan penegasan ini sebagai berarti: “Tidak ada [cara] kelahiran kembali yang dapat diterima olehku.” Akan tetapi, teks tidak memberikan bukti nyata yang mendukung interpretasi ini. Sepertinya lebih mungkin bahwa pernyataan Dīghanakha, “Tidak ada yang dapat diterima olehku” (sabbaṁ me na khamati), dimaksudkan untuk secara khusus ditujukan keapda pandangan-pandangan filosofis lainnya, dan dengan demikian Dīghanakha sebagai seorang skeptis radikal dari kelompok yang dikarakteristikkan secara sindiran dalam MN 76.30 sebagai “geliat-belut”. Penegasannya serupa dengan penolakan umum atas semua pandangan  filosofis.

732) Jawaban ini, seperti diinterpretasikan oleh MA dan MṬ, harus dipahami sebagai berikut: Dengan pertanyaan ini Sang Buddha menyiratkan bahwa pernyataan Dīghanakha mengandung suatu kontradiksi. Karena ia tidak dapat menolak segala sesuatu tanpa menolak pandangannya sendiri, dan ini menuntut suatu posisi yang berlawanan, yaitu, bahwa sesuatu dapat diterima olehnya. Akan tetapi, walaupun Dīghanakha menyadari implikasi dari pertanyaan Sang Buddha, namun ia mempertahankan pandangannya bahwa tidak ada yang dapat diterima olehnya.

733) MA mengatakan bahwa kalimat pertama merujuk pada mereka yang awalnya menganut pandangan eternalis atau nihilis dasar dan kemudian mengadopsi variasi sekunder atas pandangan itu; kalimat ke dua merujuk pada mereka yang meninggalkan pandangan dasar mereka tanpa mengadopsi pandangan alternatif. Tetapi jika, yang sepertinya masuk akal, Dīghanakha adalah seorang skeptis radikal, maka pernyataan Sang Buddha dapat dipahami sebagai menunjukkan suatu ketidak-puasan yang terdapat dalam posisi skeptis: adalah secara psikologis tidak nyaman untuk terus-menerus berada dalam kegelapan. Demikianlah kebanyakan para skeptis, sambil mengakui penolakan atas semua pandangan, diam-diam mengadopsi beberapa pandangan pasti, sementara sebagian kecil dari mereka meninggalkan keraguan mereka untuk mencari jalan menuju pengetahuan pribadi.

734) MA mengidentifikasikan ketiga pandangan di sini sebagai eternalisme, nihilisme, dan eternalisme sebagian. Pandangan eternalis adalah dekat pada nafsu (sārāgāya santike), dan seterusnya, karena menegaskan dan bergembira dalam kehidupan dalam bentuk yang bagaimanapun halusnya; nihilisme adalah dekat pada tanpa-nafsu, dan seterusnya, karena, walaupun melibatkan konsepsi kelliru sehubungan dengan diri, namun mengarah menuju kekcewaan terhadap kehidupan. Jika pandangan ke dua dipahami sebagai dekat pada tanpa-nafsu dalam hal bahwa pandangan itu mengungkapkan kekecewaan dengan usaha untuk menopang kemelekatan pada kehidupan dengan landasan teoritis dan dengan demikian menyajikan suatu langkah yang bersifat sementara, walaupun keliru, ke arah kebosanan.

735) MA: Ajaran ini dibabarkan untuk menunjukkan kepada Dīghanakha akan bahaya dalam pandangannya dan karenanya mendorongnya untuk melepaskannya.

736) MA: Pada titik ini Dīghanakha telah melepaskan pandangan nihilisnya. Demikianlah Sang Buddha sekarang mengajarkan meditasi pandangan terang kepadanya, pertama-tama melalui ketidak-kekalan jasmani dan kemudian melalui ketidak-kekalan faktor-faktor batin dalam kelompok perasaan.

737) MA mengutip suatu syair yang mengatakan bahwa seorang Arahant mungkin menggunakan kata “aku” dan “milikku” tanpa membangkitkan keangkuhan atau konsepsi salah sebagai merujuk pada diri atau ego (SN 1:5/i.14). Baca DN 9.53/i.202, di mana Sang Buddha mengatakan ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata “diri”: “Ini hanyalah nama-nama, ungkapan-ungkapan, gaya bahasa, sebutan-sebutan dalam penggunaan umum di dunia, yang mana Sang Tathāgata menggunakannya tanpa salah memahaminya.”

738) MA: Setelah merenungkan khotbah yang dibabarkan kepada keponakannya, YM. Sariputta mengembangkan pandangan terang dan mencapai Kearahatan. Dīghanakha mencapai buah memasuki-arus.

739) Baca nn.588-89.


SUTTA 75

  Bhūnahuno. Dalam Ms, Ñm menerjemahkan ungkapan tersamar ini sebagai “penghancur makhluk.” Saya mengikuti Horner dalam menerjemahkan kemasan komentar hatavaḍḍhino mariyādakārakassa. MA menjelaskan bahwa ia menganut pandangan bahwa “kemajuan” harus dicapai dalam enam indria dengan mengalami obyek indria apapun yang belum pernah dialami sebelumnya tanpa melekat pada apa yang telah dikenali. Dengan demikian pandangannya sepertinya dekat pada sikap umum pada masa itu bahwa intensitas dan variasi pengalaman adalah kebaikan tertinggi dan harus dikejar tanpa rintangan dan batasan. Alasan penolakannya atas Sang Buddha akan menjadi jelas pada §8.

741) MA mengemas kata nippurisa, lit. “bukan laki-laki,” sebagai berarti bahwa mereka semua adalah perempuan. Bukan hanya para musisi, tetapi semua posisi dalam istana, termasuk para penjaga pintu, terdiri dari para perempuan. Ayahnya, sang raja, memberikan kepadanya tiga istana dan para pengiring perempuan dengan harapan untuk mempertahankannya dalam kehidupan awam dan mengalihkannya dari pikiran meninggalkan keduniawian.

742) MA: Ini dikatakan dengan merujuk pada pencapaian buah Kearahatan yang berdasarkan pada jhāna ke empat.

743) Ungkapan viparitasaññā menyinggung pada “persepsi keliru” (saññāvipallāsa) dengan melihat kenikmatan dalam apa yang sesungguhnya adalah menyakitkan. MṬ mengatakan bahwa kenikmatan indria adalah menyakitkan karena membangkitkan kekotoran-kekotoran yang menyakitkan dan karena menghasilkan buah yang menyakitkan di masa depan. Horner tidak menangkap maksudnya dengan menerjemahkan kalimat “(Mereka dapat) menerima suatu perubahan sensasi dan menganggapnya menyenangkan” (MLS 2:187).

744) Māgandiya jelas memahami syair yang selaras dengan lima puluh delapan pandangan salah dari Brahmajāla Sutta: “Ketika diri ini, lengkap dengan kelima helai kenikmatan indria, bersenang-senang di dalamnya – pada titik ini diri itu mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” (DN 1.3.20/i.36).

745) MA: syair lengkap telah diucapkan oleh para Buddha sebelumnya ketika duduk di tengah-tengah empat kelompok. Banyak orang mempelajarinya sebagai “syair yang berhubungan dengan kebaikan.” Setelah kematian Buddha terakhir, syair ini menyebar di antara para pengembara, yang hanya mampu melestarikan dua baris pertama dalam kitab-kitab mereka.

746) Penekanan yeva, “hanya,” menyiratkan bahwa ia melekat pada bantuk materi, perasaan, dan seterusnya, secara keliru menganggapnya sebagai “aku,” “milikku,” dan “diriku.” Dengan munculnya penglihatan – ungkapan metafora untuk jalan memasuki-arus – pandangan identitas dilenyapkan dan ia memahami bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan hanya sebagai fenomena kosong yang hampa dari diri yang ia hubungkan dengannya sebelumnya.

747) “Ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan.


SUTTA 76

748) Tiracchānakathā. Banyak penerjemah menerjemahkan kata ini sebagai “percakapan binatang.” Akan tetapi, tiracchāna secara literal berarti “berjalan secara horizontal,” dan walaupun kata ini digunakan sebagai sebutan bagi binatang, namun MA menjelaskan bahwa dalam konteks sekarang ini berarti percakapan yang berjalan “secara horizontal” atau “tegak lurus” terhadap jalan menuju alam surga atau kebebasan.

749) “Empat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci” (abrahmacariyavāsā, lit. “cara-cara yang bukan merupakan praktik kehidupan suci”) adalah ajaran-ajaran yang secara prinsip meniadakan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual. Seperti yang akan ditunjukkan oleh sutta ini, para praktisinya – secara tidak konsisten dengan prinsip-prinsip mereka sendiri – juga melaksanakan kehidupan selibat dan mempraktikkan pertapaan keras. “Empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan” (anassāsikāni brahmacariyāni) tidak mengurangi prinsip-prinsip kehidupan suci, namn gagal memberikan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual.

750) Paragraf berikut ini menjelaskan premis materialis dari pandangan nihilis yang telah dijelaskan pada MN 60.7. Sāmaññaphala Sutta menganggap pandangan ini berasal dari Ajita Kesakambalin (DN 2.23/i.55).

751) Intinya sepertinya adalah bahwa bahkan jika seseorang tidak menjalani kehidupan suci, ia pada akhirnya akan memperoleh  imbalan yang sama seperti seseorang yang menjalaninya, seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dari paragraf tersebut.

752) Dalam Sāmaññaphala Sutta pandangan berikutnya, hingga “ruang di antara ketujuh badan,” diduga berasal dari Pakudha Kaccāyana (DN 2.26/i.56). Akan tetapi, dalam sutta itu paragraf berikutnya tentang sistem pengelompokan terperinci, hingga kalimat “si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan,”  dihubungkan dengan pandangan non-kausalitas dan persis setelah pernyataan tentang doktron non-kausalitas yang dikemukakan dalam sutta ini pada §13. keseluruhan pandangan di sana berasal dari makkhali Gosāla. Karena terdapat hubungan nyata antara doktrin non-kausalitas dan butir-butir dalam sistem pengelompokan (yaitu, rujukan pada “enam kelompok”), dan karena keduanya diketahui memiliki ciri khas gerakan Ājivaka yang dipimpin oleh Makkhali Gosāla, maka sepertinya bahwa sistem pengelompokkan ini yang dimasukkan ke dalam doktrin tujuh badan terjadi melalui suatu kesalahan dalam penyampaian secara lisan. Dengan demikian versi yang benar adalah yang dilestarikan oleh Dīgha Nikāya. Untuk komentar tentang sistem pengelompokan, baca Bodhi, The Discourse on the Fruits of Recluseship, pp.72-77.

753) Ini adalah pengakuan yang dibuat oleh guru Jain bernama Nigāṇṭha Nātaputta pada MN 14.17, dan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dan Pūraṇa Kassapa pada AN 9:38/iv.428-29. fakta bahwa ia membuat penilaian buruk itu dan harus mengajukan pertanyaan membantah pengakuannya sebagai maha-tahu.
.
754) Sama seperti BBS dan SBJ kita harus membaca sussutaṁ dan dussutaṁ. sussataṁ dan dussataṁ dalam PTS jelas adalah kekeliruan.

755) MA: Posisi ini disebut geliat-belut (amarāvikkhepa) karena doktrinnya menggeliat kesana kemari seperti belut yang menyelam masuk dan keluar dari air, dan dengan demikian adalah mustahil untuk memegangnya. Dalam Sāmaññaphala Sutta posisi ini dianggap berasal dari Sañjaya Belaṭṭhiputta (DN 2.32/1.58-59). Cukup masuk akal bahwa para “geliat-belut” adalah suatu kelompok skeptis radikal yang mempertanyakan keseluruhan prospek pengetahuan yang tidak dapat dibantah sehubungan dengan isu-isu tertinggi.

756) MA: Ia tidak mampu menyimpan perbekalan makanan dan benda-benda kenikmatan lainnya untuk dinikmati kemudian.

757) Pada DN 29.26/iii.133 empat hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh para Arahant disebutkan: ia tidak dapat melakukan perbuatan salah karena keinginan, kebencian, ketakutan, atau kebodohan.

758) Terjemahan paragraf ini mengikuti SBJ dan PTS. Versi BBS lebih lengkap.

759) Niyyātāro: Ñm menerjemahkan ini sebagai “para penuntun,” Horner menerjemahkan sebagai “para pemimpin besar.” Jelas keduanya mengikuti PED, yang menganggap niyyātar sebagai kata benda pelaku yang berhubungan dengan niyyāma(ka), pilot atau pengemudi. Tetapi niyyātar seharusnya adalah kata benda pelaku dari kata kerja niyyāti, “keluar (menuju pembebasan),” dan dengan demikian di sini diterjemahkan sebagai “yang terbebaskan.” Ini mungkin adalah satu-satunya tempat dalam Nikāya-Nikāya di mana kata ini muncul.

760) Mengenai ketiga guru para Ājivaka, baca MN 36.5 dan n.383. MA menjelaskan frasa puttamatāya puttā, “putera-putera mati dari para ibu,” dengan demikian: gagasan ini muncul padanya, “para Ājivaka telah mati; ibu mereka memiliki putera yang mati.”


SUTTA 77

761) Anāgataṁ vādapathaṁ. Ñm menerjemahkan “konsekuensi logis di masa depan dari suatu pernyataan.” Maknanya sepertinya adalah bahwa Sang Buddha memahami segala implikasi yang tidak diungkapkan  dari doktrin-doktrinNya juga doktrin-doktrin lawanNya.

762) Dijelaskan secara lengkap dalam MN 10. ketujuh kelompok pertama “kondisi-kondisi yang bermanfaat” (§§15-21) membentuk ketiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).

763) Abhiññavosānapāramippatta. MA menjelaskan sebagai pencapaian Kearahatan. Ini mungkin adalah makna satu-satunya dari kata pārami dalam keempat Nikāya. Dalam literatur Theravāda belakangan, dimulai mungkin dari karya-karya seperti Buddhavaṁsa, kata ini bermakna kualitas sempurna yang harus dipenuhi oleh seorang Bodhisatta dalam banyak kehidupan untuk mencapai Kebuddhaan. Dalam konteks tersebut bersesuaian dengan pāramitā dari literatur Mahāyāna, walaupun daftar kualitas hanya bersesuaian sebagian.

764) MA menjelaskan pembebasan (vimokkha) di sini sebagai bermakna pikiran yang sepenuhnya (tetapi sementara) terbebas dari kondisi-kondisi yang berlawanan dan sepenuhnya (tetapi sementara) terbebaskan melalui kegembiraan dalam obyek. Kebebasan pertama adalah pencapaian empat jhāna menggunakan suatu kasiṇa (baca §24 dan n.768) yang diturunkan dari obyek warna dalam tubuh diri sendiri; ke dua adalah pencapaian jhāna-jhāna menggunakan kasiṇa yang diturunkan dari obyek eksternal; ke tiga dapat dipahami sebagai pencapaian jhāna-jhāna melalui kasiṇa warna yang sangat murni dan indah atau empat brahmavihāra. Kebebasan selanjutnya adalah pencapaian tanpa materi dan pencapaian lenyapnya.

765) MA menjelaskan bahwa ini disebut landasan-landasan keunggulan (abhibhūyatana) karena mengungguli (abhibhavati, mengatasi) kondisi-kondisi berlawanan dan obyek-obyeknya, mengungguli kondisi-kondisi berlawanan dengan penerapan penawar yang sesuai, mengungguli obyek-obyeknya melalui munculnya pengetahuan.

766) MA: Meditator melakukan pekerjaan persiapan atas suatu bentuk internal – misalnya, mata yang biru untuk kasiṇa-biru, kulit untuk kasiṇa-kuning, darah untuk kasiṇa-merah, gigi untuk kasiṇa-putih – tetapi gambaran konsentrasi (nimitta) muncul secara eksternal. “Mengungguli” bentuk-bentuk adalah pencapaian pencerapan bersama dengan munculnya gambaran. Persepsi “aku mengetahui, aku melihat” adalah perhatian (ābhoga) yang muncul setelah ia keluar dari pencapaian itu, bukan di dalam pencapaian. Landasan keunggulan ke dua berbeda dengan yang pertama hanya pada perluasan gambaran dari terbatas menjadi dimensi tanpa batas.

767) MA: landasan ke tiga dan ke empat melibatkan pekerjaan persiapan yang dilakukan atas suatu bentuk eksternal dan munculnya gambaran secara eksternal. Landasan ke lima hingga ke delapan berbeda dengan yang ke tiga dan ke empat dalam hal kemurnian dan kecemerlangan yang lebih tinggi pada warna-warnanya.

768) Kasiṇa adalah suatu obyek meditasi yang diturunkan dari suatu alat fisik yang memberikan dukungan untuk memperoleh gambaran visual dalam batin. Demikianlah, misalnya, sebuah piringan yang terbuat dari tanah liat dapat digunakan sebagai obyek permulaan untuk melatih kasiṇa-tanah, semangkuk air untuk melatih kasiṇa-air. kasiṇa-kasiṇa dijelaskan secara terperinci dalam Vsm IV dan V. Akan tetapi, di sana, kasiṇa-ruang dibatasi pada ruang terbatas, dan kasiṇa-kesadaran digantikan dengan kasiṇa-cahaya.

769) Perumpamaan bagi jhāna-jhāna ini juga muncul dalam MN 39, seperti juga perumpamaan bagi ketiga jenis terakhir pengetahuan pada §§34-36.

770) §§ 29-36 menggambarkan delapan variasi dari pengetahuan yang lebih tinggi yang dalam Sāmaññaphala Sutta, disebutkan sebagai buah pertapaan yang tinggi.

UTTA 78

771) MA: Taman itu dibangun oleh Ratu Mallikā, istri Raja Pasenadi dari Kosala, dan diperindah dengan pohon bunga-bungaan dan buah-buahan. Pada awalnya, hanya satu aula dibangun, yang menjelaskan asal namanya, tetapi setelah itu banyak aula di bangun. Banyak para brahmana dan pengembara berkumpul di sini untuk menjelaskan dan mendiskusikan ajaran-ajaran mereka.

772) MA: Pertama-tama Sang Buddha menunjukkan bidang Arahant, seorang yang melampaui latihan (yaitu, dengan menyebutkan sepuluh kualitas), kemudian Beliau menjelaskan garis besar yang berlaku untuk sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi. Kata yang diterjemahkan sebagai “kebiasaan-kebiasaan” adalah sīla, yang dalam beberapa konteks dapat bermakna lebih luas daripada “moralitas.”

773) MA menjelaskan bahwa ini merujuk pada buah memasuki-arus, karena pada titik ini moralitas pengendalian melalui Pātimokjha terpenuhi (dan, bagi seorang umat awam Buddhis, pelaksanaan Lima Aturan). MA juga menjelaskan paragraf berikutnya dengan merujuk pada jalan dan buah lokuttara lainnya. Walaupun teks sutta tidak secara langsung menyebutkan pencapaian-pencapaian ini, namun interpretasi komentar sepertinya dapat dibenarkan dengan frasa “lenyap tanpa sisa” (aparisesā nirujjhanti), karena hanya dengan pencapaian jalan dan buah itu berturut-turut maka lenyapnya kekotoran tertentu sepenuhnya dapat terjadi. Pandangan komentar lebih jauh lagi didukung oleh puncak keseluruhan khotbah ini dalam sosok seorang Arahant.

774) MA: Sejauh jalan memasuki-arus, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah memasuki-arus, kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

775) Paragraf ini menujukkan Arahant, yang mempertahankan perilaku bermoral tetapi tidak mengidentifikasikan diri dengan moralitasnya dengan menganggapnya sebagai “aku” dan “milikku.” Karena kebiasaan-kebiasaan bermoralnya tidak lagi menghasilkan kamma, maka kebiasaan-kebiasaan itu dapat digambarkan sebagai “bermanfaat.”

776) MA: Sejauh jalan Kearahatan, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah Kearahatan, kebiasaan-kebiasaan bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

777) MA: Ini merujuk pada jhāna pertama yang berhubunagn dengan buah yang-tidak-kembali, jalan yang-tidak-kembali melenyapkan keinginan indria dan niat buruk, dan dengan demikian mencegah munculnya ketiga kehendak tidak bermanfaat di masa depan – yaitu kehendak keinginan indria, niat buruk, dan kekejaman.

778) MA: Sejauh jalan yang-tidak-kembali ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah yang-tidak-kembali, kehendak-kehendak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap.

779) MA: Ini merujuk pada jhāna ke dua yang berhubungan dengan buah Kearahatan.

780) MA: Sejauh jalan Kearahatan, ia dikatakan mempraktikkan pelenyapannya; ketika ia telah mencapai buah Kearahatan, kehendak-kehendak bermanfaat itu dikatakan telah lenyap. Kehendak-kehendak bermoral dari Arahant tidak digambarkan sebagai “bermanfaat.”

781) Baca MN 65.34



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #74 on: 18 October 2010, 10:10:26 AM »
SUTTA 79

782) Baca n.408

783) Evaṁvaṇṇo attā hoti arogo param maraṇā. Kata arogo,  biasanya berarti sehat, di sini harus dipahami sebagai berarti kekal. MA mengatakan bahwa ia berbicara dengan merujuk pada kelahiran kembali di alam surga dengan Keagungan Gemilang, padanan dari jhāna ke tiga, yang pernah didengarnya tanpa benar-benar pernah mencapainya. Pandangannya sepertinya termasuk dalam kelompok yang digambarkan pada MN 102.3.

784) Para penerjemah sebelumnya sepertinya dibingungkan oleh kata kerja anassāma. Demikianlah Ñm dalam Ms menerjemahkan kalimat ini: “Kami tidak meninggalkan doktrin guru-guru kami karena alasan ini.” Dan Horner: “Kami telah mendengar sampai di sini dari guru-guru kami.” Tetapi anassāma adalah bentuk jamak aoris orang pertama dari nassati, “musnah, hilang.” Bentuk yang sama muncul pada MN 27.7. MA menjelaskan bahwa mereka mengetahui bahwa di masa lalu para meditator akan melakukan pekerjaan persiapan pada kasiṇa, mencapai jhāna ke tiga, dan terlahir kembali di alam Keagungan Gemilang. Tetapi dengan berlalunya waktu, pekerjaan persiapan pada kasiṇa tidak lagi dipahami dan para meditator tidak mampu mencapai jhāna ke tiga. Para pengembara hanya mendengar bahwa “alam yang sungguh-sungguh menyenangkan” ada dan kelima kualitas yang disebutkan pada §21 adalah “cara praktis” untuk mencapainya. Mereka tidak mengetahui adanya alam yang lebih tinggi daripada jhāna ke tiga, dan tidak mengetahui adanya cara praktis yang lebih dari kelima kualitas tersebut.

785) MA: Setelah mencapai jhāna ke empat, dengan kekuatan batinnya ia pergi ke alam Keagungan Gemilang dan berbincang-bincang dengan para dewa di sana.

786) MA menjelaskan bahwa dalam kehidupan sebelumnya, sebagai seorang bhikkhu pada masa Buddha Kassapa, ia telah membujuk seorang bhikkhu lain untuk kembali ke kehidupan awam untuk mendapatkan jubah dan mangkuknya, dan kamma penghalang ini mencegahnya melepaskan keduniawian di bawah Sang Buddha dalam kehidupan ini. Tetapi Sang Buddha mengajarkan kepadanya dua sutta panjang untuk memberikan kondisi untuknya bagi pencapaian di masa depan. Pada masa kekuasaan Raja Asoka ia mencapai Kearahatan sebagai Bhikkhu Assagutta, yang unggul dalam praktik cinta-kasih.


SUTTA 80

787) MA mengidentifikasikan Vekhanassa sebagai guru Sakuludāyin.

788) MA: Bahkan walaupun ia adalah seorang pengembara, namun ia menekuni kenikmatan indria. Sang Buddha membabarkan ajaran ini untuk membuatnya mengenali kegemarannya pada kenikmatan indria, dan dengan demikian khotbah ini akan bermanfaat baginya.

789) Dalam Pali kalimat ini berbentuk teka-taki, dan terjemahan di sini bersifat dugaan. MA menjelaskan bahwa “kenikmatan pada puncak indria” (atau “kenikmatan indria tertinggi,” kāmaggasukhaṁ) adalah Nibbāna.


SUTTA 81

790) Di akhir Sutta ini Sang Buddha akan menyebutkan bahwa Beliau adalah Jotipāla. Pada SN 1:50/I,35-36 Dewa Ghaṭīkāra mengunjungi Sang Buddha Gotama dan mengingat persahabatan lampau mereka.

791) Ini sepertinya telah menjadi ungkapan menghina yang umum digunakan oleh para brahmana perumah tangga dengan merujuk pada mereka yang menjalani kehidupan pelepasan keduniawian seumur hidup, berlawanan dengan idealisme mereka mempertahankan silsilah keluarga.

792) Di Timur dianggap, dalam situasi normal, sebagai pelanggaran etika serius bagi seorang yang berasal dari kelahiran rendah menyentuh kepala seseorang yang berasal dari kelahiran tinggi. MA menjelaskan bahwa Ghaṭīkāra telah siap dengan pelanggaran itu untuk membujuk Jotipāla agar mau menemui Sang Buddha.

793) MA menyebutkan bahwa para Bodhisatta melepaskan keduniawian di bawah para Buddha, memurnikan moralitas, mempelajari ajaran Budddha, mempraktikkan kehidupan meditatif, dan mengembangkan pandangan terang hingga pengetahuan adaptasi (anulomañāṇa). Tetapi mereka tidak berusaha untuk mencapai jalan dan buah (yang dapat menghentikan karir Bodhisatta mereka).

794) Sebagai seorang yang masih menjalani kehidupan rumah tangga, perilakunya sangat mendekati perilaku seorang bhikkhu. MA menjelaskan bahwa ia tidak memperdagangkan tembikar yang ia buat melainkan hanya terlibat dalam pertukaran jasa secara bebas dengan para tetangganya.

795) MA menjelaskan bahwa ia menolak karena ia memiliki sedikit keinginan (appicchatā). Ia menyadari bahwa raja telah mengirimkan bahan-bahan makanan karena ia telah mendengar laporan Sang Buddha tentang moralitasnya, tetapi ia berpikir: “Aku tidak memerlukan ini. Dengan apa yang kuperoleh dari pekerjaanku aku mampu menyokong orangtuaku dan memberikan persembahan kepada Sang Buddha.


SUTTA 82

796) Karena ia siap menerima resiko kematian untuk memperoleh izin dari orangtuanya untuk meninggalkan keduniawian, kelak ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan. Syair-syairnya terdapat pada Thag 769-93.

797) Di sini saya menghilangkan kalimat yang dimulai dengan ehi tvaṁ Raṭṭhapāla, yang terdapat dalam Sbj tetapi dituliskan dalam kurung dalam PTS dan dalam sebuah catatan oleh BBS, kalimat ini sepertinya lebih sesuai jika dimasukkan dalam §8 di bawah, dengan kata kerja uṭṭhehi menggantikan ehi.

798) Walaupun frasa umum “tidak lama” digunakan di sini, MA mengatakan bahwa perlu waktu selama dua belas tahun bagi Raṭṭhapāla untuk mencapai Kearahatan. Pernyataan ini sepertinya benar dengan memandang fakta bahwa ketika ia kembali ke rumah orangtuanya, ayahnya tidak seketika mengenalinya.

799) MA menjelaskan bahwa ayahnya bermaksud mengatakan: “Raṭṭhapāla, anakku, ada harta kekayaan kita – kita tidak dapat disebut miskin – namun engkau duduk di tempat seperti ini memakan bubur basi!” Akan tetapi, perumah tangga itu dirundung kesedihan sehingga tidak mampu menyelesaikan kata-katanya.

800) Syair-syair ini jelas merujuk pada mantan istri-istrinya, yang dihias untuk menggodanya agar kembali ke kehidupan awam. Anehnya, tidak disebutkan mengenai istri-istri ini dalam bagian sutta mengenai hari-hari sebelum penahbisannya.

801) MA: Dengan mengingat bhikkhu ini, raja akan memujinya di tengah-tengah bala tentaranya atau haremnya: “Anak muda itu telah melakukan hal yang sulit – setelah meninggalkan harta kekayaannya, ia meninggalkan keduniawian tanpa berbalik atau melihat ke belakang.”

802) Upaniyati loko addhuvo. MA: terhanyut ke arah penuaan dan kematian.

803) Attāṇo loko anabhissaro. MA: Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan naungan atau menghiburnya dengan perlindungan. Pernyataan ini, tentu saja, tidak membantah perlindungan dari dunia, yang merupakan apa yang diberikan oleh Dhamma.

804) Assako loko sabbaṁ pahāya gamanīyaṁ.

805) Ūno loko atitto taṇhādāso.


SUTTA 83

806) Baca Makhādeva Jātaka (No. 9 ) dan Nimi Jataka (No.541). Raja Makhādeva dan Raja Nimi adalah kelahiran-kelahiran lampau Buddha Gotama.

807) Hutan itu awalnya ditanam oleh Makhādeva dan kemudian di beri nama sesuai dengan namanya.

808) MA: ia mantap dalam sepuluh perbuatan bermanfaat.

809) Uposatha adalah hari pelaksanaan religius di India Kuno, juga diserap seperti apa adanya dalam Buddhisme, baca n.59.

810) Menurut Kosmologi Buddhis, umur kehidupan manusia berfluktuasi antara minimum 10 tahun dan maksimum hingga ribuan tahun. Makhādeva hidup pada masa umur kehidupan pada batas maksimum rentang tersebut.

811) Mengenai “utusan surgawi” – pertanda usia tua, penyakit, dan kematian – baca MN 130.

812) MA: Mātali membawanya pertama-tama melalui neraka-neraka, kemudian kembali dan membawanya melalui alam surga.

813) MA: Praktik baik ini diputus oleh seorang bhikkhu yang baik jika berpikir, “Aku tidak dapat mencapai Kearahatan” dan tidak mengerahkan kegigihan. Diputus oleh bhikkhu jahat. Praktik baik ini dilanjutkan oleh tujuh sekha. Telah dilanjutkan oleh Arahant.


SUTTA 84

814) Baca n.230

815) Dari paragraf ini sepertinya terlepas dari kecenderungan pada kekakuan, sistem kasta India pada masa itu termasuk lebih elastis daripada sistem kasta belakangan yang berevolusi dari sana.


SUTTA 85

816) Pangeran Bodhi adalah putera Raja Udena dari Kosambi, ibunya adalah puteri Raja Caṇḍappajjota dari Avanti. Bagian sutta dari §2 hingga §8 juga terdapat pada Vin Cv Kh 5/ii.127-29, yang melatar-belakangi penetapan peraturan yang disebutkan pada catatan berikutnya.

817) MA menjelaskan bahwa Pangeran Bodhi tidak memiliki anak dan menginginkan seorang anak. Ia mendengar bahwa orang-orang dapat memenuhi keinginan mereka dengan memberikan persembahan khusus kepada Sang Buddha, maka ia menghamparkan kain putih dengan gagasan: “Jika aku akan memiliki anak, maka Sang Buddha akan menginjak kain ini; jika aku tidak akan memiliki anak, maka Beliau tidak akan menginjak kain ini.” Sang Buddha mengetahui hal tersebut sebagai akibat dari kamma masa lampaunya, ia dan istrinya ditakdirkan untuk tidak memiliki anak. Karena itu Beliau tidak menginjak kain tersebut. Belakangan Beliau menetapkan peraturan disiplin yang melarang bhikkhu menginjak kain putih, tetapi kemudian mengubah peraturan itu dengan memperbolehkan bhikkhu menginjak kain putih sebagai berkah kepada perumah tangga.

818) Pacchimaṁ janataṁ Tathāgato apaloketi. Versi Vin di sini menuliskan anukampati, “memiliki belas kasihan,” yang lebih tepat. MA menjelaskan bahwa YM. Ānanda mengatakan ini dengan pikiran: “kelak orang-orang akan menganggap penghormatan kepada para bhikkhu sebagai cara untuk memenuhi keinginan duniawi mereka dan akan mengurangi keyakinan mereka terhadap Sangha jika penghormatan mereka tidak memenuhi keinginan mereka.”

819) Ini adalah prinsip dasar para Jain, seperti pada MN 14.20.


SUTTA 86

  Nama “Angulimāla” adalah julukan yang berarti “si kalung (mālā) jari (anguli)”. Ia adalah putera Brahmana Bhaggava, seorang penasehat Raja Pasenadi Kosala. Nama aslinya adalah Ahiṁsaka, yang berarti “yang tidak berbahaya.” Ia belajar di Takkasila, di mana ia menjadi murid kesayangan gurunya. Teman-teman murid lainnya, karena iri padanya, melaporkan kepada sang guru bahwa Ahiṁsaka telah berselingkuh dengan istrinya. Sang guru, berniat untuk menghancurkan Ahiṁsaka, memerintahkannya untuk membawakan seribu jari tangan kanan manusia sebagai upah. Ahiṁsaka menetap di hutan Jālini, menyerang para pejalan kaki, memotong satu jari mereka, dan mengalungkannya di lehernya. Pada saat dimulainya Sutta, ia kekurangan  satu dari seribu dan ia bertekad untuk membunuh orang berikutnya yang datang. Sang Buddha melihat bahwa ibu Angulimāla sedang dalam perjalanan untuk mengunjunginya, dan mengetahui bahwa Angulimāla memiliki kondisi pendukung untuk mencapai kesucian Arahant, Beliau mencegatnya sesaat sebelum ibunya tiba. Membunuh ibu adalah satu dari lima kejahatan berat yang mengakibatkan kelahiran di alam neraka. Demikianlah Sang Buddha menyela untuk mencegah Angulimāla melakukan kejahatan ini.

821) MA menjelaskan bahwa Angulimāla baru menyadari bahwa bhikkhu di hadapannya adalah Sang Buddha sendiri dan bahwa Beliau datang ke hutan itu untuk menyadarkannya.

822) MṬ menjelaskan ungkapan mūḷhagabbha untuk menggambarkan bahwa janin itu terbalik dan hanya sebagian berada di dalam rahim dan keluar secara horizontal, sehingga jalan keluarnya terhalang. MA mengatakan bahwa walaupun Angulimāla telah membunuh hampir seribu orang, ia tidak pernah memunculkan pikiran belas kasihan. Tetapi sekarang, melalui kekuatan penahbisan, belas kasihan muncul dalam dirinya segera setelah ia melihat perempuan yang melahirkan dengan penuh kesakitan itu.

823) Bahkan hingga hari ini, kalimat ini sering diucapkan oleh para bhikkhu sebagai paritta perlindungan bagi perempuan hamil menjelang melahirkan.

824) MA menjelaskan bahwa setiap perbuatan kehendak (kamma) adalah mampu menghasilkan tiga jenis akibat: akibat yang dialami di sini dan saat ini, yaitu, dalam kehidupan yang sama dengan perbuatan yang dilakukan, akibat yang dialami dalam kehidupan berikut; dan akibat yang dialami dalam kehidupan manapun setelah kehidupan berikutnya, selama seseorang masih mengembara dalam saṁsāra. Karena ia telah mencapai kesucian Arahant, Angulimāla telah melepaskan diri dari dua jenis akibat yang terakhir tetapi tidak jenis yang pertama, karena bahkan para Arahant masih dapat mengalami akibat dalam kehidupan sekarang dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan sebelum mencapai kesucian Arahant.

825) Beberapa syair berikut juga muncul dalam Dhammapada. Syair Angulimāla juga ditemukan secara lengkap dlam Thag 866-91

826) Walaupun MA mengatakan bahwa Ahiṁsaka, “Tanpa-bahaya” adalah nama asli Angulimāla, komentar Theragāthā  mengatakan bahwa nama aslinya adalah Hiṁsaka, artinya “Berbahaya.”

827) Sementara para bhikkhu bermoral yang masih belum Arahant dikatakan memakan dana makanan sebagai warisan dari Sang Buddha, para Arahant dikatakan memakan makanan yang “bebas dari hutang” karena ia telah membuat dirinya sepenuhnya layak menerima persembahan. Baca Vsm I, 125-27.