//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua  (Read 40082 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
62 Maharahulovada Sutta
« Reply #15 on: 30 August 2010, 12:27:14 PM »
62  Mahārāhulovāda Sutta
Khotbah Panjang
Nasihat kepada Rāhula



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Yang Mulia Rāhula juga [421] merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

3. Kemudian Sang Bhagavā melihat ke belakang dan berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:  “Rāhula, segala jenis bentuk materi apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya sengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan milikku.’”

‘Hanya bentuk materi, Bhagavā? Hanya bentuk materi, Yang Sempurna?’

“Bentuk materi, Rāhula, dan perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran.”

4. Kemudian Yang Mulia Rāhula merenungkan sebagai berikut: “Siapakah yang ingin pergi ke pemukiman hari ini ketika secara pribadi dinasihati oleh Sang Bhagavā?” Demikianlah ia berbalik dan duduk di bawah sebatang pohon, duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya.

5. Yang Mulia Sāriputta melihatnya duduk di sana dan berkata kepadanya sebagai berikut: “Rāhula, kembangkanlah perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar.”

6. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Rahula bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagaā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Yang Mulia, bagaimanakah perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?”

(EMPAT UNSUR UTAMA)
8. “Rāhula,  apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati, yaitu, rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, atau apapun yang lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, memadati, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ [422] Ketika seseorang melihatnya demikian sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, maka ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan pada unsur tanah itu.

9. “Apakah, Rahula, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal.  Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

10. “Apakah, Rāhula, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

11. “Apakah, Rāhula, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ [423] Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur angin dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

12. “Apakah, Rāhula, unsur ruang?  Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

13. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.  seperti halnya orang-orang membuang benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan tanah tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti tanah; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti tanah, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

14. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana. seperti halnya orang-orang mencuci benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah ke tanah, dan air tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, [424] Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti air; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti air, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

15. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana. seperti halnya orang-orang membakar benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan api tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti api; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti api, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

16. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana. seperti halnya udara meniup benda-benda yang bersih dan benda-benda yang kotor, tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah, dan udara tidak menolak, malu, dan jijik karena hal itu, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti udara; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti udara, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

17. “Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana. seperti halnya ruang tidak terbentuk dimanapun juga, demikian pula, Rāhula, kembangkanlah meditasi yang seperti ruang; karena jika engkau mengembangkan meditasi yang seperti ruang, maka kontak-kontak yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang telah muncul tidak akan menyerbu batinmu dan menetap di sana.

18. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada cinta kasih; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada cinta kasih, maka segala niat buruk akan ditinggalkan.

19. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada belas kasihan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada belas kasihan, maka segala kekejaman akan ditinggalkan.

20. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kegembiraan altruistik; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kegembiraan altruistik, maka segala ketidak-puasan akan ditinggalkan.

21. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada keseimbangan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada keseimbangan, maka segala ketidak-senangan akan ditinggalkan.

22. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada kejijikan; karena jika engkau mengembangkan meditasi pada kejijikan, maka segala nafsu akan ditinggalkan.

23. “Rāhula, kembangkanlah meditasi pada persepsi ketidak-kekalan; [425] karena jika engkau mengembangkan meditasi pada persepsi ketidak-kekalan, maka keangkuhan ‘aku’ akan ditinggalkan.

24. “Rāhula, kembangkanlah meditasi perhatian pada pernafasan. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka itu akan berbuah besar dan bermanfaat besar. Dan bagaimanakah perhatian pada pernafasan itu dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

25. “Di sini, Rāhula, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

26. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

27. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kegembiraan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kegembiraan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami kenikmatan; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami kenikmatan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami bentukan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan pikiran; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan pikiran.’

28. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menggembirakan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menggembirakan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengkonsentrasikan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan membebaskan pikiran’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan membebaskan pikiran.’

29. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan ketidak-kekalan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan ketidak-kekalan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan peluruhan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan peluruhan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan lenyapnya’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan lenyapnya.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan merenungkan pelepasan’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan merenungkan pelepasan.’

30. “Rāhula, itu adalah bagaimana perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, [426] maka bahkan nafas masuk dan nafas keluar terakhir dapat diketahui pada saat lenyapnya, bukan tidak diketahui.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puasa dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
63 Culamalunkya Sutta
« Reply #16 on: 30 August 2010, 11:56:15 PM »
63  Cūḷamālunkya Sutta
Khotbah Pendek kepada
Mālunkyāputta




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Mālunkyāputta sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya:

“Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā, dikesampingkan dan ditolak oleh Beliau, yaitu: ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’; ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’; ‘jiwa adalah sama dengan badan’ dan ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’; dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian.’ Sang Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, dan aku tidak menyetujui dan menerima fakta bahwa Beliau tidak menyatakan ini kepadaku, maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepadanya makna dari hal ini. Jika ia menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’ … atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Beliau; jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah.” [427]

3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mālunkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā … jika ia tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah abadi’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi.’ Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka adalah suatu keterus-terangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’

“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ [428] … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ … Jika Sang Bhagavā mengetahui  ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku;  jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi.’ Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka adalah suatu keterus-terangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’

4. “Bagaimanakah, Mālunkyāputta, pernahkah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Mālunkyāutta, jalanilah kehidupan suci di bawahKu dan Aku akan menyatakan kepadamu “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Pernahkah engkau mengatakan kepadaKu: ‘Aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā akan menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Kalau begitu, orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” [429] hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’ Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau coklat atau keemasan; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa; … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang; … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau buluh atau urat atau rami atau kulit kayu; … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkan – apakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung; … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikat – apakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet; … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaiku – apakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak.’ [430]

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Mālunkyāputta, jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,” hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati.

6. “Mālunkyāputta, jika ada pandangan ‘dunia adalah abadi,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah pandangan ‘dunia adalah abadi’ atau pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’ ada atau tidak ada, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani … [431] jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan suci tidak dapat dijalani. Apakah ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tetap ada, yang hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

7. “Oleh karena itu, Mālunkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan. Dan apakah yang Kubiarkan tidak dinyatakan? ‘dunia adalah abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Jiwa adalah sama dengan badan’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ’Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan.  ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan.

8. “Mengapakah Aku membiarkan tidak dinyatakan? Karena tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku membiarkan tidak dinyatakan.

9. “Dan apakah yang telah Kunyatakan? ‘Ini adalah penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan.

10. “Mengapakah Aku menyatakannya? Karena bermanfaat, menjadi bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya.

“Oleh karena itu, Mālunkyāputta, [432]ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mālunkyāputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
64 Mahamalunkya Sutta
« Reply #17 on: 30 August 2010, 11:57:12 PM »
64  Mahāmālunkya Sutta
Khotbah Panjang kepada
Mālunkyāputta



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” – mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mālunkyāutta menjawab: “Yang Mulia, aku ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Tetapi, Mālunkyāutta, dalam cara bagaimanakah engkau mengingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

“Yang Mulia, Aku ingat pandangan identitas sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keragu-raguan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keinginan indria sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat niat buruk sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.

3. “Mālunkyāputta, dari siapakah engkau mengingat bahwa Aku telah mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah dalam cara itu?  Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi? Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘identitas,’ [433] jadi bagaimana mungkin pandangan identitas muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas terdapat dalam dirinya.  Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ajaran,’  jadi bagaimana mungkin keragu-raguan terhadap ajaran muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘peraturan,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada peraturan dan pelaksanaan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indria,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada keinginan indria muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘makhluk-makhluk,’ jadi bagaimana mungkin niat buruk terhadap makhluk-makhluk muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada niat buruk terdapat dalam dirinya. Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi?”

4. Kemudian, Yang Mulia Ānanda berkata: “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, untuk Sang Bhagavā mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Ānanda, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh pandangan identitas, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul; dan ketika pandangan identitas itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah. Ia berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan .. oleh nafsu indria [434] … oleh niat buruk, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul; dan ketika niat buruk itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah.

6. “Seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh pandangan identitas; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul, dan pandangan identitas bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas ditinggalkan olehnya.  Ia berdiam dengan pikiran tidak terpengaruh dan tidak diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan … oleh nafsu indria … oleh niat buruk; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, dan niat buruk bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada niat buruk ditinggalkan olehnya.

7. “Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; bahwa siapa pun tanpa mengandalkan jalan itu, tanpa mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, tidaklah mungkin bagi siapapun untuk dapat memotong inti kayunya tanpa memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini adalah tidak mungkin.

“Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; [435] bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan itu, dengan mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, adalah mungkin bagi siapapun untuk dapat memotong inti kayunya dengan memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini  adalah mungkin.

8. “Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; namun ia tidak mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang lemah itu.

“Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; dan ia mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang kuat itu.

9. “Dan apakah, Ānanda, jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu? Di sini, dengan terasing dari perolehan,  dengan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dengan sepenuhnya menenangkan kelambanan jasmani, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri.  Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut [436] dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.’  Jika ia kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu,  maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

10-12. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu ... masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

13.  Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran,  ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal ... sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian ... Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

15. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai malapetaka, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur keabadian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bengukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.’ Jika ia kokoh di dalam itu, [437] maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

16.  “Yang Mulia, jika ini adalah jalan, cara untuk meninggalkjan kelima belenggu yang lebih rendah, maka bagaimanakah beberapa bhikkhu di sini [dikatakan] mencapai kebebasan pikiran dan beberapa [dikatakan] mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan?”

“Perbedaannya di sini, Ānanda, adalah dalam indria-indria mereka, Aku katakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
65 Bhaddali Sutta
« Reply #18 on: 30 August 2010, 11:59:17 PM »
65  Bhaddāli Sutta
Kepada Bhaddāli



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” – mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku makan satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.  Marilah, para bhikkhu, makanlah satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Bhaddāli berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Aku tidak mau makan satu kali sehari; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

“Kalau begitu, Bhaddāli, makanlah pada satu bagian di sana di mana engkau diundang dan bawalah satu bagian untuk dimakan. Dengan memakan demikian, [438] engkau akan memelihara tubuhmu.”

“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

4. Kemudian, ketika aturan latihan ini ditetapkan oleh Sang Bhagavā,  ketika Sangha para bhikkhu sedang menjalani latihan, Yang Mulia Bhaddāli menyatakan penolakannya [untuk menuruti peraturan]. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama tiga bulan [masa vassa], seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

5. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang terlibat dalam pembuatan jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan.”

6. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu itu dan saling bertukar sapa dengan mereka, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, mereka berkata kepadanya: “Teman Bhaddāli, jubah ini dibuat untuk Sang Bhagavā. Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”

7. “Baik, teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

8. “Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu [untuk menuruti peraturan].

9. “Bhaddāli, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, dan Sang Bhagavā akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak [439] bhikkhu telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak bhikkhunī telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak umat awam laki-laki ... banyak umat awam perempuan sedang menetap di Sāvatthī, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak petapa dan brahmana sekte lain telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini, seorang siswa senior dari Petapa Gotama adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

10. “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk menuruti peraturan.

11. “Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara,  dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri,  atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan ... seorang penglihat-jasmani ... seorang yang-mencapai-pandangan ... seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan ... seorang pengkut-Dhamma ... seorang pengikut-keyakinan, dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri, atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

12. “Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Apakah engkau pada saat itu adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara atau [440] seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan atau seorang penglihat-jasmani atau seorang yang-mencapai-pandangan atau seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan atau seorang pengkut-Dhamma atau seorang pengikut-keyakinan?”

“Bukan, Yang Mulia.”

“Bhaddāli, pada saat itu tidakkah engkau kosong, hampa, dan keliru?”

13. “Benar, Yang Mulia. Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku [untuk menuruti peraturan]. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk menuruti peraturan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu seperti demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau; karena adalah kemajuan dalam Disiplin Yang Mulia ketika seseorang melihat pelanggaran seperti demikian dan melakukan pelanggaran sesuai Dhamma dengan menjalani pengendalian di masa depan.

14. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami – mungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan mencelanya, para dewa mencelanya, dan ia mencela dirinya sendiri. Karena dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia tidak mencapai kondisi melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

15. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, [441] ruang terbuka, tumpukan jerami – mungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru tidak mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan tidak mencelanya, para dewa tidak mencelanya, dan ia tidak mencela dirinya sendiri. Karena tidak dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia mencapai kondisi melampaui manusia, mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

16. “Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

17. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga  ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

18. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau ... (seperti pada Sutta 51, §24) ... Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Mengapakah? Itu adalah bagaimana [442] seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.


19 “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah ... mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti pada Sutta 51, §25) ... Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

20. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah … mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti pada Sutta 51, §26) ... ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

21. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

22. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli bertanya: “Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya?”

23. “Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, menunjukkan gangguan, kebencian, dan ketidak-nyamanan; ia tidak melanjutkan dengan benar, ia tidak menurut, ia tidak membersihkan diri, ia tidak mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ [443] Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.

24. “Tetapi di sini seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengalihkan pembicaraan, dan tidak menunjukkan gangguan, kebencian, dan ketidak-nyamanan; ia melanjutkan dengan benar, ia menurut, ia membersihkan diri, ia mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.

25. “Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar …(ulangi bagian §23 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian [444] sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak terselesaikan terlalu cepat.

-------------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
65 Bhaddali Sutta (Lanjutan)
« Reply #19 on: 31 August 2010, 12:01:06 AM »
Lanjutan 65  Bhaddāli Sutta
-----------------------------------

26. “Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar …(ulangi bagian §24 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya terselesaikan dengan cepat.

27. “Di sini seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih.  Dalam hal ini para bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Teman-teman, bhikkhu ini maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih. Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.’ Misalkan seseorang hanya memiliki satu mata; maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjaga matanya, dengan berpikir: ‘Jangan sampai ia kehilangan mata satu-satunya.’ Demikian pula, seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih … Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.

28. “Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan terhadap para bhikkhu di sini dengan dengan berulang-ulang menegurnya. Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya.”

29. “Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sebelumnya terdapat [445] lebih sedikit aturan latihan dan lebih banyak bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sekarang terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir?”

30. “Demikianlah, Bhaddāli. Ketika makhluk-makhluk merosot dan Dhamma sejati memudar, maka terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir. Sang Guru tidak menetapkan aturan latihan untuk para siswa hingga hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda terbentuk di sini di dalam Sangha;  tetapi ketika hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda telah terbentuk di sini di dalam Sangha, maka Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

31. “Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah membesar; tetapi ketika Sangha telah membesar, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda untuk terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda. Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah mencapai puncak perolehan duniawi ... puncak kemasyhuran ... banyak belajar ... kemasyhuran karena telah lama berdiri; tetapi ketika Sangha telah mencapai kemasyhuran karena telah lama berdiri, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda untuk terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

32. “Ada beberapa di antara kalian, Bhaddāli, ketika Aku mengajarkan penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Ingatkah engkau akan hal itu, Bhaddāli?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Karena alasan apakah?”

“Yang Mulia, aku telah lama menjadi seorang yang tidak memenuhi latihan di dalam Pengajaran Sang Guru.”

“Itu bukan sebab satu-satunya atau alasan satu-satunya. Tetapi, dengan pikiranKu melingkupi pikiranmu, aku telah tahu sejak lama sebagai berikut: ‘Ketika Aku sedang mengajarkan Dhamma, orang sesat ini tidak peduli, tidak memperhatikan, tidak mencurahkan segenap pikirannya, tidak mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.’ Namun, Bhaddāli, Aku akan tetap mengajarkan kepadamu penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Dengarkan dan perhatikanlah [446] pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia.” Yang Mulia Bhaddāli menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

33. “Bhaddāli, misalkan seorang pelatih kuda yang cerdas memperoleh seekor kuda muda dari keturunan murni yang baik. Pertama-tama ia membuatnya terbiasa mengenakan tali kekang. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan tali kekang, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terbiasa mengenakan perlengkapan kuda. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan perlengkapan kuda, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terlatih dalam melangkah, dalam berlari berputar, dalam menderap, dalam menyerang, dalam kualitas-kualitas kerajaan, dalam budaya kerajaan, dalam kecepatan tertinggi, dalam ketangkasan tertinggi. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan melakukan hal-hal ini, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan-tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh menghadiahinya dengan pijatan dan perawatan. Ketika seekor kuda muda jantan dari keturunan murni memiliki sepuluh faktor ini, ia layak menjadi milik raja, layak melayani raja, dan dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja.

34. “Demikian pula, Bhaddāli, ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia. Apakah sepuluh ini? Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar seorang yang melampaui latihan,  kehendak benar seorang yang melampaui latihan, ucapan benar seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar seorang yang melampaui latihan, usaha benar seorang yang melampaui latihan, [447] perhatian benar seorang yang melampaui latihan, konsentrasi benar seorang yang melampaui latihan, pengetahuan beanr seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar seorang yang melampaui latihan.  Ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Bhaddāli merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 31 August 2010, 12:03:14 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
66 Latukikopama Sutta
« Reply #20 on: 02 September 2010, 06:52:19 PM »
66  Laṭukikopama Sutta
Perumpamaan Burung Puyuh




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri orang-orang Anguttarāpa di mana terdapat sebuah pemukiman bernama Āpaṇa.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

3. Pada pagi hari itu, Yang Mulia Udāyin merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia juga pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia pergi ke hutan yang sama untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

4. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Udāyin sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami ! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!”

5. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Udāyin bangkit dari meditasinya, pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi [448] dan berkata kepada Beliau:

6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”

7. “Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ Dan mereka tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.

8. “Misalkan, Udāyin, seekor burung puyuh  terjebak oleh tanaman rambat kering dan karenanya dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tanaman rambat kering yang menjebak burung puyuh itu yang dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena bagi burung puyuh itu tanaman rambat kering yang mengikatnya dan dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan  gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ ... tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.

9. “Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, [450] ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal kecil dan remeh seperti ini, Sang Bhagavā memberitahukan kepada kita untuk meninggalkan, Yang Sempurna memberitahukan kepada kita untuk melepaskan.’ Namun mereka meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

10. “Misalkan, Udāyin, seekor gajah besar dengan gading sepanjang tiang kereta, dewasa, dari keturunan yang baik, dan terbiasa dalam pertempuran, terikat dengan tali kulit yang kuat, tetapi hanya dengan sedikit menggerakkan badannya ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi kemanapun yang ia sukai. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu ... baginya adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan  gandar yang tebal.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu, yang hanya dengan sedikit menggerakkan badannya ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi kemanapun yang ia sukai, baginya adalah tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang,  ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

11. “Misalkan, Udāyin, ada seseorang yang miskin, melarat, tidak punya uang, dan ia memiliki sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, [451] dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang kurus, bukan jenis terbaik. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah!’ Tetapi karena tidak mampu meninggalkan sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah – baginya adalah adalah tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah – baginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan  gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ ... tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.
 
12. “Misalkan, Udāyin, ada seorang perumah tangga kaya atau putera perumah tangga kaya, [452] dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak batangan emas, banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki-laki dan perempuan. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah!’ dan karena mampu meninggalkan banyak batangan emasnya, banyak lumbungnya, banyak ladangnya, banyak tanahnya, banyak istrinya, dan banyak budaknya laki-laki dan perempuan, maka ia mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah – baginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan  gandar yang tebal.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah – baginya hal-hal tersebut adalah tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.’

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapku dan terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. [453] Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [terasing] seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

13. “Udāyin, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini. Apakah empat ini?

14. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan.  Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerbunya. Ia menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Orang demikian Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

15. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerbunya. Ia tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

16. “Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan kadang-kadang menyerbunya karena lemahnya perhatian. Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya.  Seperti halnya seseorang meneteskan dua atau tiga tetes air di atas lempengan besi yang dipanaskan sepanjang hari, jatuhnya tetesan air itu mungkin lambat namun air itu akan dengan cepat menguap dan lenyap. Demikian pula, di sini seseorang mempraktikkan jalan … Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. [454] Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.
 
17. “Di sini, Udāyin, seseorang, setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, melepaskan dirinya dari perolehan dan terbebaskan dalam hancurnya perolehan. Orang demikian Kusebut tidak terbelenggu, bukan terbelenggu.  Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman indria tertentu dalam diri orang ini.

18. “Ada, Udāyin, lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

19. “Sekarang, Udāyin, kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria – kenikmatan yang kotor, kenikmatan yang kasar, kenikmatan yang tidak mulia. Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya ditakuti.

20. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …



-----------------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
66 Latukikopama Sutta (Lanjutan)
« Reply #21 on: 02 September 2010, 06:53:27 PM »
Lanjutan 66  Latukikopama Sutta
------------------------------------------



21. “Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan.  Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini harus dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini harus dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini harus dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya tidak ditakuti.

22. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu.  Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? Awal pikiran dan kelangsungan pikiran yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

23. “Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? Kegembiraan dan kenikmatan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

24. “Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya kegembiraan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat terganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu? [455] Kenikmatan keseimbangan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat terganggu.

25. “Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang tidak dapat terganggu.

26. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Itu, Aku katakan, belum cukup.  Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

27. “Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

28. “Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya kegembiraan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

29. “Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

30. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

31. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

32. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

33. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. [456] Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

34. “Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.  Itu melampaui sebelumnya. Demikianlah Aku mengatakan tentang meninggalkan bahkan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Apakah engkau melihat, Udāyin, belenggu apapun , kecil atau besar, yang pelepasannya tidak Aku katakan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
67 Catuma Sutta
« Reply #22 on: 02 September 2010, 06:54:42 PM »
67  Cātumā Sutta
Di Cātumā



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Cātumā di hutan kemloko (myrobalan).

2. Pada saat itu lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Sewaktu para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar mereka, mereka sangat ribut dan berisik.

3. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda sebagai berikut: “Ānanda, siapakah orang-orang yang ribut dan berisik ini? Seseorang akan menganggap mereka adalah para nelayan yang sedang menjajakan ikan.”

“Yang Mulia, mereka adalah lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Dan sewaktu para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar mereka, mereka sangat ribut dan berisik.”

4. “Kalau begitu, Ānanda, beritahu para bhikkhu itu atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil para mulia itu.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi para bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, teman,” mereka [457] menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Ketika mereka telah melakukan itu, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Para bhikkhu, mengapa kalian begitu ribut dan berisik? Seseorang akan menganggap kalian adalah para nelayan yang sedang menjajakan ikan.”

“Yang Mulia, kami adalah lima ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Moggallāna datang ke Cātumā untuk menemui Sang Bhagavā. Dan sewaktu kami, para bhikkhu tamu saling bertukar sapa dengan para bhikkhu tuan rumah, dan sedang mempersiapkan tempat-tempat tinggal dan menyimpan mangkuk-mangkuk dan jubah luar kami, kami sangat ribut dan berisik.”

5. “Pergilah, para bhikkhu, Aku membubarkan kalian. Kalian tidak boleh menetap di dekatKu.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan mereka bangkit dari duduk mereka, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanan mereka, mereka meletakkan barang-barang di tempat tinggal, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar, mereka pergi.

6. Pada saat itu para Sakya di Cātumā sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untu suatu urusan. Dari jauh melihat kedatangan para bhikkhu, mereka mendatang para bhikkhu itu dan bertanya: “Kemana kalian akan pergi, Para Mulia?”

“Teman-teman, Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā.”

“Kalau begitu silahkan para mulia duduk sebentar. Mungkin kami mampu mengembalikan kepercayaanNya.”

“Baik, teman-teman,” mereka menjawab.

7. Kemudian para Sakya dari Cātumā mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata:

“Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā membantu Sangha para bhikkhu saat ini seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu. Yang Mulia, terdapat para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, seperti halnya sebatang tunas muda yang tidak mendapatkan air maka akan terjadi perubahan dan peralihan dalam dirinya, demikian pula, Yang Mulia, terdapat [458] para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, seperti halnya seekor anak sapi yang tidak melihat induknya maka akan terjadi perubahan dan peralihan dalam dirinya, demikian pula, Yang Mulia, terdapat para bhikkhu baru di sini, baru saja meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak berkesempatan untuk menemui Sang Bhagavā, maka mungkin akan terjadi perubahan atau peralihan dalam diri mereka. Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā membantu Sangha para bhikkhu saat ini seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu.”

8. Kemudian dengan pikirannya Brahmā Sahampati  mengetahui pikiran Sang Bhagavā, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, ia lenyap dari alam Brahma dan muncul di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian ia merapikian jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata:

9. “Yang Mulia, mohon Bhagavā bergembira di dalam Sangha para bhikkhu; Yang Mulia, mohon Bhagavā menyambut Sangha para bhikkhu; ... (seperti pada §7) ... [459] seperti yang biasa Beliau lakukan di masa lalu.”

10. Orang-orang Sakya dari Cātumā dan Brahmā Sahampati berhasil mengembalikan kepercayaan Sang Bhagavā dengan perumpamaan tunas dan anak sapi.

11. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Bangkitlah, teman-tean, ambil mangkuk dan jubah luar kalian. Kepercayaan Sang Bhagavā telah dipulihkan oleh orang-orang Sakya dari Cātumā dan Brahmā Sahampati dengan perumpamaan tunas dan anak sapi.”

12. “Baik, teman,” mereka menjawab dan, bangkit dari duduk mereka, dengan membawa mangkuk dan jubah luar, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Bagaimana menurutmu, Sāriputta, ketika Sangha para bhikkhu Kububarkan?”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: ‘Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini; dan kami juga sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.

“Hentikan, Sāriputta, hentikan! Jangan engkau memunculkan pikiran seperti itu lagi.”

13. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: “Bagaimana menurutmu, Moggallāna, ketika Sangha para bhikkhu Kububarkan?”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: ‘Sangha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sekarang akan berdiam dengan tidak melakukan apa-apa, menekuni kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini. Sekarang Yang Mulia Sāriputta dan aku akan mengasuh Sangha para bhikkhu.’”

“Bagus, bagus, Moggallāna! Apakah Aku yang mengasuh Sangha para bhikkhu atau Sāriputta dan Moggallāna yang melakukannya.”

14. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis ketakutan ini yang muncul pada mereka yang masuk ke air.  Apakah empat ini? Yaitu: takut ombak, takut buaya, takut pusaran air, dan takut hiu. Ini adalah empat jenis ketakutan yang muncul pada mereka yang masuk ke air.

15. “Demikian pula, para bhikkhu, ada empat jenis ketakutan ini yang muncul pada mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah [460] empat ini? Yaitu: takut ombak, takut buaya, takut pusaran air, dan takut hiu.

16. “Apakah, para bhikkhu, takut ombak? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihati dan memberikan instruksi kepadanya sebagai berikut: ‘Engkau harus berjalan maju dan mundur seperti ini; engkau harus melihat ke depan dan ke belakang seperti ini; engkau harus menekuk dan merentangkan bagian-bagian tubuh seperti ini; engkau harus mengenakan jubah luar bertambalan, mangkuk, dan jubah seperti ini.’ Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami menasihati dan memberikan instruksi kepada orang lain, dan sekarang [para bhikkhu] ini, yang sepertinya dapat menjadi putera atau cucu kami, berpikir bahwa mereka dapat menasihati dan memberikan instruksi kepada kami.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut ombak. Sekarang ‘takut ombak’ adalah sebutan bagi kemarahan dan kekesalan.

17. “Apakah, para bhikkhu, takut buaya? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya dalam kehidupan suci menasihati dan memberikan instruksi kepadanya sebagai berikut: ‘Ini boleh dikonsumsi olehmu, ini tidak boleh dikonsumsi olehmu; ini boleh dimakan olehmu, ini tidak boleh dimakan olehmu; ini boleh dikecap olehmu, ini tidak boleh dikecap olehmu; ini boleh diminum olehmu, ini tidak boleh diminum olehmu.  Engkau boleh mengkonsumsi apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh mengkonsumsi apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh memakan apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh memakan apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh mengecap apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh mengecap apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh meminum apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh meminum apa yang tidak diperbolehkan; engkau boleh makan dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh makan di luar batas waktu yang selayaknya; engkau boleh mengecap makanan dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh mengecap makanan di luar batas waktu yang selayaknya; engkau boleh minum dalam batas waktu yang selayaknya, engkau tidak boleh minum di luar batas waktu yang selayaknya.’  [461]

“Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami mengkonsumsi apa yang kami sukai dan tidak mengkonsumsi apa yang tidak kami sukai; kami memakan apa yang kami sukai dan tidak memakan apa yang tidak kami sukai; kami mengecap apa yang kami sukai dan tidak mengecap apa yang tidak kami sukai; kami meminum apa yang kami sukai dan tidak meminum apa yang tidak kami sukai. Kami mengkonsumsi apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami memakan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami mengecap apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan; kami meminum apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan. Kami mengkonsumsi makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami memakan makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami mengecap makanan di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya; kami minum di dalam batas waktu yang selayaknya dan di luar batas waktu yang selayaknya. Sekarang, ketika para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan kepada kami berbagai jenis makanan-makanan baik selama siang hari di luar batas waktu yang selayaknya, sepertinya [para bhikkhu] ini mengenakan berangus pada mulut kami.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut buaya. Sekarang ‘takut buaya’ adalah sebutan bagi kerakusan.

18. “Apakah, para bhikkhu, takut pusaran air? Di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmaninya tidak terjaga, dengan ucapannya tidak terjaga, dengan perhatian tidak ditegakkan, dan dengan organ-organ indria tidak terkendali. Ia melihat seorang perumah tangga atau putera perumah tangga yang  memiliki lima utas kenikmatan indria dan sedang menikmatinya. Kemudian ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika kami menjalani kehidupan rumah tangga, kami memiliki lima utas kenikmatan indria dan menikmatinya. Keluargaku kaya; aku dapat menikmati kekayaan dan melakukan kebajikan.’ Dan demikianlah ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut pusaran air. Sekarang ‘takut pusaran air’ adalah sebutan bagi kelima utas kenikmatan indria.

19. “Apakah, para bhikkhu, takut hiu? Di sini [462] seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Kemudian, setelah ia meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmaninya tidak terjaga, dengan ucapannya tidak terjaga, dengan perhatian tidak ditegakkan, dan dengan organ-organ indria tidak terkendali. Ia melihat seorang perempuan dengan kain yang minim, dengan pakaian yang minim. Ketika ia melihat seorang perempuan demikian, nafsu mempengaruhi pikirannya. Karena pikirannya telah terpengaruh nafsu, ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ia disebut seorang yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah karena ia takut hiu. Sekarang ‘takut hiu’ adalah sebutan bagi perempuan.

20. “Para bhikkhu, ini adalah keempat jenis ketakutan yang muncul pada mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
68 Nalakapana Sutta
« Reply #23 on: 02 September 2010, 06:55:39 PM »
68  Naḷakapāna Sutta
Di Naḷakapāna



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kosala di Naḷakapāna di Hutan Palāsa.

2. Pada saat itu banyak anggota keluarga terkenal telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Sang Bhagavā – Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila, Yang Mulia Bhagu, Yang Mulia Kuṇḍadhāna, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan anggota keluarga terkenal lainnya.

3. Pada saat itu Sang Bhagavā [463] duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, dengan merujuk pada anggota-anggota keluarga itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, anggota-anggota keluarga itu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawahKu – apakah mereka bergembira di dalam kehidupan suci?”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu itu berdiam diri.

Untuk ke dua dan ke tiga kalinya, dengan merujuk pada anggota-anggota keluarga itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, anggota-anggota keluarga itu yang meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawahKu – apakah mereka bergembira di dalam kehidupan suci?”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya, para bhikkhu itu berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā mempertimbangkan sebagai berikut: “Bagaimana jika Aku bertanya kepada anggota-anggota keluarga itu?”

Kemudian Beliau berkata kepada Yang Mulia Anuruddha sebagai berikut: “Anuruddha, apakah engkau bergembira di dalam kehidupan suci?”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami bergembira di dalam kehidupan suci.”

5. “Bagus, bagus, Anuruddha! Adalah selayaknya bagi kalian anggota-anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah untuk bergenbira di dalam kehidupan suci. Karena kalian masih memiliki berkah kemudaan, pemuda-pemuda berambut hitam dalam masa utama kehidupan, kalian seharusnya dapat menikmati kenikmatan indria, namun kalian telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bukan karena didesak oleh raja maka kalian meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, atau karena kalian didesak oleh para penjahat, atau karena berhutang, takut, atau menginginkan penghidupan. Sebaliknya, bukankah kalian meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah setelah merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’?” – “Benar, Yang Mulia.”

6. “Apa yang harus dilakukan, Anuruddha, oleh seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian demikian? Selagi ia belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu,  ketamakan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, niat buruk menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kelambanan dan ketumpulan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kegelisahan dan penyesalan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, keragu-raguan menyerbu [464] pikirannya dan menetap di sana, ketidak-puasan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, kelesuan menyerbu pikirannya dan menetap di sana. Demikianlah selagi ia masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu. Ketika ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, ketamakan tidak menyerbu pikirannya dan menetap di sana, niat buruk … kelambanan dan ketumpulan … kegelisahan dan penyesalan … keragu-raguan … ketidak-puasan … kelesuan tidak menyerbu pikirannya dan menetap di sana. Demikianlah ketika ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu.

7. “Bagaimana, Anuruddha, apakah kalian semua berpikir tentang Aku sebagai berikut: ‘Sang Tathāgata belum meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itulah sebabnya mengapa Sang Tathāgata menggunakan sesuatu setelah merenungkan, mempertahankan sesuatu lainnya setelah merenungkan, menghindari sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan, dan melenyapkan sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan.’?”

“Tidak, Yang Mulia, kami berpikir tentang Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan manuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itulah sebabnya mengapa Sang Tathāgata menggunakan sesuatu setelah merenungkan, mempertahankan sesuatu lainnya setelah merenungkan, menghindari sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan, dan melenyapkan sesuatu lainnya lagi setelah merenungkan.’

“Bagus, bagus, Anuruddha! Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak lagi mampu tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori … telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.

8. “Bagaimana menurutmu, Anuruddha? Tujuan apakah yang dilihat oleh Sang Tathāgata sehinggga ketika seorang siswa meninggal dunia, Beliau menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu’?”  [465]

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā. dilindungi oleh Sang Bhagavā. Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

9. “Anuruddha, bukanlah dengan tujuan berkomplot untuk menipu orang atau dengan tujuan untuk menyanjung orang atau dengan tujuan untuk perolehan, kehormatan, atau kemasyhuran, atau dengan pikiran, ‘Biarlah orang-orang mengenalku demikian,’ maka ketika seorang siswa meninggal dunia, Sang Tathāgata menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu.’ Akan tetapi, adalah karena terdapat anggota-anggota keluarga yang berkeyakinan yang terinspirasi dan gembira oleh apa yang luhur, yang ketika mereka mendengar hal tersebut, mereka mengarahkan pikiran mereka pada kondisi demikian, dan itu menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.

10. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Ia mencapai pengetahuan akhir.”’”  Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang bhikkhu tersebut: ‘Moralitas bhikkhu itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

11. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.”’” Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

12. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.”’” Dan ia belum pernah bertemu ... [466] ia mengarahkan pikirannya  pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

13. “Di sini seorang bhikkhu mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’” Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya  pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhu memiliki kediaman yang nyaman.

14. “Di sini seorang bhikkhunī mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhu bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Ia mencapai pengetahuan akhir.”’” Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang bhikkhunī tersebut: ‘Moralitas bhikkhunī itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara inilah seorang bhikkhunī memiliki kediaman yang nyaman.

15. “Di sini seorang bhikkhunī mendengar sebagai berikut: ‘Bhikkhunī bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” ...

16. “’Beliau telah menyatakan tentang bhikkhunī itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

17. “’Beliau telah menyatakan tentang bhikkhunī itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ [467] Dan ia belum pernah bertemu ... ia mengarahkan pikirannya  pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang bhikkhunī memiliki kediaman yang nyaman.

18. “Di sini seorang umat awam laki-laki mendengar sebagai berikut: ‘Seorang umat awam laki-laki bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” ...

19. “’Beliau telah menyatakan tentang umat awam laki-laki itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

20. “’Beliau telah menyatakan tentang umat awam laki-laki itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang Yang Mulia tersebut: ‘Moralitas Yang Mulia itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang umat awam laki-laki memiliki kediaman yang nyaman.

21. “Di sini seorang umat awam perempuan mendengar sebagai berikut: ‘Seorang umat awam perempuan bernama itu telah meninggal dunia; Sang Bhagavā telah menyatakan tentang dirinya: “Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.” [468] ...

22. “’Beliau telah menyatakan tentang umat awam perempuan itu: “Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, ia telah menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali sekali lagi ke alam ini untuk mengakhiri penderitaan.” ...

23. “’Beliau telah menyatakan tentang umat awam perempuan itu: “Dengan hancurnya tiga belenggu, ia telah menjadi seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”’ Dan ia belum pernah bertemu atau mendengar tentang saudari tersebut: ‘Moralitas saudari itu adalah demikian, kondisi [konsentrasi]nya adalah demikian, kebijaksanaaannya adalah demikian, kediamannya [dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasannya adalah demikian.’ Dengan mengingat keyakinannya, moralitasnya, pembelajarannya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya, ia mengarahkan pikirannya pada kondisi demikian. Dengan cara ini juga seorang umat awam perempuan memiliki kediaman yang nyaman.

24. “Jadi, Anuruddha, bukanlah dengan tujuan berkomplot untuk menipu orang atau dengan tujuan untuk menyanjung orang atau dengan tujuan untuk perolehan, kehormatan, atau kemasyhuran, atau dengan pikiran, ‘Biarlah orang-orang mengenalku demikian,’ maka ketika seorang siswa meninggal dunia, Sang Tathāgata menyatakan kemunculannya kembali sebagai berikut: ‘Ia telah muncul kembali di alam ini; ia telah muncul kembali di alam itu.’ Akan tetapi, adalah karena terdapat anggota-anggota keluarga yang berkeyakinan yang terinspirasi dan gembira oleh apa yang luhur, yang ketika mereka mendengar hal tersebut, mereka mengarahkan pikiran mereka pada kondisi demikian, dan itu menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Anuruddha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.




Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
69 Gulissani Sutta
« Reply #24 on: 02 September 2010, 07:29:55 PM »
69  Gulissāni Sutta
Gulissāni




[469] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu seorang bhikkhu bernama Gulissāni, seorang penghuni hutan yang berperilaku lengah, telah datang berkunjung untuk menetap di tengah-tengah Sangha untuk suatu urusan. Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu dengan merujuk pada Bhikkhu Gulissāni sebagai berikut:

3. “Teman-teman, ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus menghormati dan menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci. Jika ia tidak menghormati dan tidak menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak menghormati dan tidak menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus menghormati dan menghargai teman-temannya dalam kehidupan suci.

4. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk sebagai berikut: ‘Aku akan duduk dengan cara sedemikian sehingga aku tidak mengganggu para bhikkhu senior dan tidak meniadakan tempat duduk para bhikkhu junior.’ Jika ia tidak terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia bahkan tidak tahu apa yang merupakan sikap yang baik?’ karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus terampil dalam sikap yang baik sehubungan dengan tempat-tempat duduk

5. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari. Jika ia memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh memasuki desa terlalu awal dan kembali terlambat di siang hari.

6. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, [470] ia tidak boleh pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga.  Jika ia pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga. maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, pasti ia terbiasa melakukan kunjungan pada waktu yang tidak tepat, karena ia bersikap demikian ketika ia datang mengunjungi Sangha.’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh pergi sebelum makan atau setelah makan untuk mengunjungi keluarga-keluarga.

7. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh sombong dan membanggakan diri. Jika ia sombong dan membanggakan diri, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, pasti ia biasanya sombong dan membanggakan diri, karena ia bersikap demikian ketika ia mengunjungi Sangha.’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh sombong dan membanggakan diri.

8. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia tidak boleh berkata kasar dan berbicara lepas. Jika ia berkata kasar dan berbicara lepas, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia berkata kasar dan berbicara lepas?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha tidak boleh berkata kasar dan berbicara lepas.

9. “Ketika seorang bhikkhu penghuni hutan mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha, ia harus mudah dikoreksi dan harus bergaul dengan tema-teman yang baik. Jika ia sulit dikoreksi dan bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia sulit dikoreksi dan bergaul dengan teman-teman yang buruk?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan yang telah datang mengunjungi Sangha dan menetap di dalam Sangha harus mudah dikoreksi dan harus bergaul dengan tema-teman yang baik.

10. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menjaga pintu-pintu indrianya. Jika ia tidak menjaga pintu-pintu indrianya, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena [471] ia tidak menjaga pintu-pintu indrianya?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menjaga pintu-pintu indrianya.

11. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus makan secukupnya. Jika ia makan berlebihan, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia makan berlebihan?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus makan secukupnya.

12. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kewaspadaan. Jika ia tidak menekuni kewaspadaan, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak menekuni kewaspadaan?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kewaspadaan.

13. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus bersemangat. Jika ia tidak bersemangat, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia malas?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus bersemangat.

14. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus penuh perhatian. Jika ia tidak penuh perhatian,  maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak penuh perhatian?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus penuh perhatian.

15. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus terkonsentrasi. Jika ia tidak terkonsentrasi, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak terkonsentrasi?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus terkonsentrasi.

16. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus bijaksana. Jika ia tidak bijaksana, maka akan ada [472] di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak bijaksana?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus bijaksana.

17. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi.  Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih tinggi dan Disiplin yang lebih tinggi.

18.  “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk.  Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk, ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk.

19. “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia. Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang kondisi melampaui manusia.  Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia bahkan tidak tahu untuk tujuan apa ia meninggalkan keduniawian?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni kondisi melampaui manusia.

20.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, apakah hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktikkan hanya oleh seorang bhikkhu penghuni hutan atau [473] oleh seorang yang menetap di dekat desa juga?”

“Teman Moggallāna, hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktikkan bahkan oleh seorang bhikkhu penghuni hutan, apalagi oleh seorang yang menetap di dekat desa.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
70 Kitagiri Sutta
« Reply #25 on: 02 September 2010, 07:33:09 PM »
70  Kīṭāgiri Sutta
Di Kīṭāgiri




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menegmbara di negeri Kāsi bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Di sana Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku menghindari makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, hindarilah makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab.

3. kemudian, ketika Sang Bhagavā mengembara secara bertahap di negeri Kāsi, akhirnya Beliau tiba di sebuah kota Kāsi bernama Kīṭāgiri. Di sana Beliau menetap di kota Kāsi ini, Kīṭāgiri.

4. Pada saat itu para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka sedang menetap di Kīṭāgiri.  Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi mereka dan memberitahukan: “Teman-teman, Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu sekarang menghindari makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, mereka bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan mereka menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, teman-teman, hindarilah makan di malam hari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.” [474] Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka memberitahu mereka: “Teman-teman, kami makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya. Dengan melakukan demikian, kami bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan kami menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Mengapa kami harus meninggalkan [manfaat] yang terlihat di sini dan saat ini untuk mengejar [manfaat yang harus dicapai di] masa depan? Kami akan makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya.”

5. Karena para bhikkhu itu tidak mampu meyakinkan para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka, maka mereka menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu meyakinkan para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, beritahu para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil mereka.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan ia mendatangi para bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji dan Punabbasuka dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil kalian, teman-teman.”

“Baik, Teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, benarkah bahwa ketika sejumlah bhikkhu mendatangi kalian dan memberitahukan: ‘Teman-teman, Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu sekarang menghindari makan di malam hari ... Marilah, teman-teman, hindarilah makan di malam hari [475] ...’ kalian memberitahu para bhikkhu itu: ‘Teman-teman, kami makan di malam hari ... Mengapa kami harus meninggalkan [manfaat] yang terlihat di sini dan saat ini untuk mengejar [manfaat yang harus dicapai di] masa depan? Kami akan makan di malam hari, di pagi hari, dan di siang hari, di luar batas waktu yang selayaknya.’?” – “Benar, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, pernahkan kalian mengetahui Aku mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut: ‘Perasaan apapun yang dialami orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah’?”  – “Tidak, Yang Mulia.”

7. “Para bhikkhu, pernahkah kalian mengetahui Aku mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah.  Di sini, seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Di sini, seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah’?” – “Benar, Yang Mulia.”

8. “Bagus, para bhikkhu.  Dan jika tidak diketahui olehKu, tidak dilihat, tidak ditemukan, tidak dicapai, tidak disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ apakah selayaknya bagiKu, dengan tidak mengetahui hal itu, mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyenangkan itu’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Tetapi karena hal ini diketahui olehku, dilihat, ditemukan, dicapai, disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyenangkan[476], maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyenangkan itu.’

Jika tidak diketahui olehKu, tidak dilihat, tidak ditemukan, tidak dicapai, tidak disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ apakah selayaknya bagiKu, dengan tidak mengetahui hal itu, mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyenangkan itu’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Tetapi karena hal ini diketahui olehKu, dilihat, ditemukan, dicapai, disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyenangkan itu.’

9. “Jika tidak diketahui olehKu ... Tetapi karena diketahui olehKu ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang menyakitkan itu.’

“Jika tidak diketahui olehKu ... Tetapi karena diketahui olehKu ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang menyakitkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang menyakitkan itu.’

10. “Jika tidak diketahui olehKu ... Tetapi karena diketahui olehKu ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan tertentu yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: ‘Tinggalkan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu.’

“Jika tidak diketahui olehKu ... Tetapi karena diketahui olehKu ... disentuh melalui kebijaksanaan sebagai berikut: ‘Di sini, ketika seseorang merasakan jenis perasaan lainnya yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah,’ maka oleh karena itu Aku mengatakan: [477] ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu.’

11. “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun; juga aku tidak mengatakan tentang semua bhikkhu bahwa mereka harus melakukan apapun lagi dengan tekun.

12. “Aku tidak mengatakan tentang para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Mereka telah melakukan tugas mereka dengan tekun; mereka tidak lagi mampu menjadi lalai.

13. “Aku mengatakan tentang para bhikkhu yang dalam latihan yang lebih tinggi, yang batinnya belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, bahwa mereka masih harus melakukan sesuatu dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika mereka menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka mereka dapat, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi para bhikkhu ini, Aku katakan bahwa mereka masih harus melakukan tugas dengan tekun.

14. “Para bhikkhu, terdapat tujuh jenis orang di dunia ini.  Apakah tujuh ini? Mereka adalah: seorang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara, seorang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan, seorang penglihat-jasmani, seorang yang-mencapai-pandangan, seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan, seorang pengikut-Dhamma, dan seorang pengikut-keyakinan.

15. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara? Di sini seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang yang-terbebaskan-dalam-kedua-cara.  Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugas mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

16. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan tidak berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang yang yang-terbebaskan-melalui-kebijaksanaan.  [478] Aku tidak mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Ia telah melakukan tugas mereka dengan tekun; ia tidak lagi mampu menjadi lalai.

17. “Orang jenis apakah yang adalah penglihat-jasmani? Di sini seseorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang penglihat-jasmani.  Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

18. “Orang jenis apakah yang-mencapai-pandangan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan ia meninjau kembali dan memeriksa dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-mencapai-pandangan.  Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

19. “Orang jenis apakah yang-terbebaskan-melalui-keyakinan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, tetapi beberapa nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, dan keyakinannya tertanam, berakar, dan kokoh di dalam Sang Tathāgata. Orang jenis ini disebut seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan.  Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu [479] ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

20. “Orang jenis apakah pengikut-Dhamma? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya tidak dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan, tetapi ajaran-ajaran itu yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata diterima olehnya setelah merenungkannya secukupnya dengan kebijaksanaan. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-Dhamma.  Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu ... menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.


----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
70 Kitagiri Sutta (Lanjutan)
« Reply #26 on: 02 September 2010, 07:34:03 PM »
Lanjutan 70  Kīṭāgiri Sutta
--------------------------------

21. “Orang jenis apakah pengikut-keyakinan? Di sini seseorang tidak menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi, melampaui bentuk-bentuk, dan noda-nodanya tidak dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan,  namun ia memiliki keyakinan yang mencukupi di dalam Sang Tathāgata dan cinta kasih kepada Sang Tathāgata. Lebih jauh lagi, ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Orang jenis ini disebut seorang pengikut-Keyakinan. Aku mengatakan tentang bhikkhu demikian bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun. Mengapakah? Karena ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat-tempat tinggal yang selayaknya dan bergaul dengan teman-teman baik dan memelihara indria-indria spiritual mereka, maka ia dapat, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan melihat buah ketekunan bagi seorang bhikkhu demikian, Aku katakan bahwa ia masih harus melakukan tugas dengan tekun.

22. “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan bahwa pengetahuan akhir dicapai seketika. Sebaliknya, pengetahuan akhir dicapai dengan latihan secara bertahap, dengan praktik secara bertahap, dengan kemajuan secara bertahap. [480]

23. “Dan bagaimanakah pengetahuan akhir itu dicapai dengan latihan secara bertahap, dengan praktik secara bertahap, dengan kemajuan secara bertahap? Di sini seseorang yang berkeyakinan [pada seorang guru] mengunjungi gurunya; ketika ia mengunjungi sang guru, ia memberi penghormatan kepadanya, ia mendengarkannya; seseorang yang mendengarkannya mendengarkan Dhamma; setelah mendengarkan Dhamma, ia menghafalkannya; ia memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia memeriksa makna ajaran-ajaran itu, ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu; ketika ia telah memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul dalam dirinya; ketika semangat telah muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; ia berupaya; dengan berupaya dengan kokoh; dengan tubuhnya ia mencapai  kebenaran tertinggi dan melihatnya dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.

24. “Jika belum ada keyakinan itu,  para bhikkhu, dan jika belum ada kunjungan itu, dan jika belum ada penghormatan itu, dan jika belum mendengarkan, dan jika belum mendengarkan Dhamma, dan jika belum menghafalkan Dhamma, dan jika belum memeriksa makna, dan jika belum ada penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, dan jika belum ada semangat itu, dan jika belum ada pengerahan tekad, dan jika belum ada penyelidikan, dan jika belum ada upaya itu. Para bhikkhu, maka kalian telah tersesat; para bhikkhu, kalian telah mempraktikkan jalan yang salah. Berapa jauhkah, para bhikkhu, orang-orang sesat ini menyimpang dari Doktrin dan Disiplin ini?

25. “Para bhikkhu, terdapat pernyataan berfrasa empat, dan jika diucapkan maka seorang bijaksana akan dengan cepat memahaminya.  Aku akan mengucapkannya untuk kalian, para bhikkhu, cobalah untuk memahaminya.”

“Yang Mulia, siapakah kami yang mampu memahami Dhamma itu?”

26. “Para bhikkhu, bahkan dengan seorang guru yang mengutamakan benda-benda materi, seorang pewaris dalam benda-benda materi, terikat pada benda-benda materi, tawar-menawar seperti ini [oleh para siswanya] adalah tidak selayaknya: ‘Jika kami mendapatkan ini, maka kami akan melakukannya; jika kami tidak mendapatkan ini, maka kami tidak akan melakukannya’; apalagi [jika sang guru adalah] Sang Tathāgata, yang sepenuhnya terlepas dari benda-benda materi?

27. “Para bhikkhu, bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, adalah sewajarnya ia bersikap sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah Guru, aku adalah seorang siswa; Sang Bhagavā mengetahui, aku tidak mengetahui.’ bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, Pengajaran Sang Guru adalah memelihara dan menyegarkan. Bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, adalah sewajarnya ia bersikap sebagai berikut: ‘Aku rela, biarpun hanya kulit, urat, dan tulang-belulangku yang tersisa, dan biarpun daging dan darahku mengering, namun kegigihanku tidak akan mengendur selama aku belum mencapai apa yang dapat dicapai oleh kekuatan manusia, tenaga manusia, dan kegigihan manusia.’  Bagi seorang siswa yang berkeyakinan yang sungguh-sungguh mempelajari Pengajaran Sang Guru, satu dari dua buah ini dapat diharapkan: pengetahaun akhir di sini dan saat ini atau, jika masih ada jejak kemelekatan yang tersisa, menjadi yang-tidak-kembali.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
71 Tevijjavacchagotta Sutta
« Reply #27 on: 04 September 2010, 12:47:46 PM »
71  Tevijjavacchagotta Sutta
Kepada Vacchagotta tentang
Tiga Pengetahuan Sejati



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu pengembara Vacchagotta sedang menetap di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Vesālī. Bagaimana jika Aku mendatangi pengembara Vacchagotta di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal.”

4. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi pengembara Vacchagotta di Taman Pengembara di Pohon Mangga Teratai Putih Tunggal. Dari jauh pengembara Vacchagotta melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepadanya: “Silahkan datang, Yang Mulia, selamat datang Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silahkan Sang bhagavā duduk; tempat duduk telah dipersiapkan.” Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan pengembara Vacchagotta [482] mengambil bangku yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

5. “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Petapa Gotama mengaku maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: “Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.”?  Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian telah mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahamiNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataan mereka?”

“Vaccha, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang dikatakan olehKu, melainkan salah memahamiKu dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.”

6. “Yang Mulia, Bagaimanakah seharusnya aku menjawan sehingga aku mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahamiNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Bagaimakah aku menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanku?”

“Vaccha, jika engkau menjawab sebagai berikut: ‘Petapa Gotama memiliki tiga pengetahuan sejati,’ maka engkau mengatakan apa yang dikatakan olehKu dan tidak salah memahamiKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Engkau akan menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanmu.

7. “Karena sejauh Aku menghendaki, Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... (seperti Sutta 51, §24) ... demikianlah dengan ciri-ciri dan aspek-aspeknya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

8. “Dan sejauh Aku menghendaki, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka ... (seperti Sutta 51, §25) ...

9. “Dan dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

10. “Jika engkau menjawab demikian: ‘Petapa Gotama memiliki tiga pengetahuan sejati,’ [483] maka engkau mengatakan apa yang dikatakan olehKu dan tidak salah memahamiKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Engkau akan menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataanmu.”

11. Ketika hal ini dikatakan, pengembara Vacchagotta bertanya kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”

“Vaccha, tidak ada perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”

12. “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”

“Vaccha, bukan hanya seratus atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga.”

13. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”

“Vaccha, tidak ada Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan.”

14. “Guru Gotama, adakah Ājivaka yang, pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga?”

“Ketika aku mengingat kembali hingga sembilan puluh satu kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani telah pergi ke alam surga, dengan satu pengecualian, dan ia menganut doktrin efektifitas perbuatan bermoral, doktrin efektifitas tindakan.””

15. Kalau begitu, Guru Gotama, banyak sekte lain itu bahkan kosong dari satu orang yang pergi ke alam surga.”

“Demikianlah, Vaccha, banyak sekte lain itu bahkan kosong dari satu orang yang pergi ke alam surga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Pengembara Vacchagotta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
72 Aggivacchagotta Sutta
« Reply #28 on: 04 September 2010, 12:49:07 PM »
72  Aggivacchagotta Sutta
Kepada Vacchagotta tentang Api


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā [484] dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

4. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

5. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

6. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

7. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

8. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

9. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

10. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

11. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?” [485]

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

12. “Kalau begitu Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

13. “Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama? Ketika Guru Gotama ditanya masing-masing dari sepuluh pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Aku tidak menganut pandangan itu.’ Bahaya apakah yang Guru Gotama lihat sehingga Beliau tidak menganut pandangan-pandangan spekulatif ini?”

14. “Vaccha, pandangan spekulatif bahwa dunia adalah abadi adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputus-asaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

‘Pandangan spekulatif bahwa dunia adalah tidak abadi ... bahwa dunia adalah terbatas ... bahwa dunia adalah tidak terbatas ... bahwa jiwa dan badan adalah sama ... bahwa jika adalah satu hal dan dunia adalah hal lainnya ... bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian [486]... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputus-asaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Melihat bahaya ini, Aku tidak menganut pandangan-pandangan ini.”

15. “Kalau begitu apakah Guru Gotama menganut suatu pandangan spekulatif tertentu?”

“Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ adalah sesuatu yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata. Karena Sang Tathāgata, Vaccha, telah melihat  ini: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya. Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidak-melekatan.”

16. “Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”

“Istilah ‘muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia tidak muncul kembhali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia muncul kembali juga tidak muncul kembhali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

17. “Ketika Guru Gotama ditanya empat pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Istilah “muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha; Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan [487] tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.’ Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”

18. “Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan mulia, tidak dapat dicapai hanya dengan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya jika engkau menganut pandangan lain, menerima ajaran lain, menyetujui ajaran lain, menekuni latihan yang berbeda, dan mengikuti guru yang berbeda. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan, Vacccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”

“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketija api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”

20. “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya;  Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.  Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.”

21. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vacchagotta berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, misalkan terdapat sebatang pohon sāla besar tidak jauh dari sebuah desa atau pemukinman, dan ketidak-kekalan menggerus dahan dan dedaunannya, kulit kayu dan kayu lunaknya, sehingga kemudian, karena dahan dan dedaunannya berguguran, kulit kayu dan kayu lunaknya mengelupas, maka pohon itu menjadi murni, hanya terdiri dari inti kayunya saja; demikian pula, khotbah Guru Gotama ini tanpa dahan dan dedaunan, tanpa kulit kayu dan kayu lunak, dan murni terdiri dari hanya inti kayu saja.

22. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan [489] agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 11:03:29 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
73 Mahavacchagotta Sutta
« Reply #29 on: 04 September 2010, 12:50:21 PM »
73  Mahāvacchagotta Sutta
Khotbah Panjang kepada Vacchagotta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Aku pernah berbincang-bincang dengan Guru Gotama lama sebelumnya. Baik sekali jika Guru Gotama mengajarkan kepadaku secara ringkas tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.”

“Aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas, dan aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara lengkap. Namun aku akan mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Vaccha, keserakahan adalah tidak bermanfaat, ketidak-serakahan adalah bermanfaat; kebencian adalah tidak bermanfaat, ketidak-bencian adalah bermanfaat; kebodohan adalah tidak bermanfaat, ketidak-bodohan adalah bermanfaat. Dengan cara ini ketiga hal adalah tidak bermanfaat dan ketiga hal lainnya adalah bermanfaat.

5. “Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah tidak bermanfaat, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah bermanfaat; ucapan salah adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan salah adalah bermanfaat; ucapan jahat [490] adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan jahat adalah bermanfaat; ucapan kasar adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan kasar adalah bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat, menghindari gosip adalah bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat, ketidak-tamakan adalah bermanfaat; niat-buruk adalah tidak bermanfaat, tanpa niat-buruk adalah bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat, pandangan benar adalah bermanfaat. Dengan cara ini sepuluh hal adalah tidak bermanfaat dan sepuluh hal lainnya adalah bermanfaat.

6. “Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan keinginan, memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan, maka bhikkhu itu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.”

7. “Selain dari Guru Gotama, adakah seorang bhikkhu lainnya, siswa Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, Vaccha, atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhu, para siswaKu, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

8. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu, adakah seorang bhikkhunī lainnya, siswi Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhunī, para siswiKu, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

9. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswaKu, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, [491] akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

10. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswaKu, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksiKu, menaati nasihatKu, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberaninan, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

11. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, adakah seorang umat awam perempuan, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswiKu, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

12. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat, adakah seorang umat awam perempuan lainnya, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberaninan, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswiKu, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksiKu, menaati nasihatKu, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberaninan, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

13. “Guru Gotama, jika hanya Guru Gotama yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhu yang sempurna, [492] maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama dan para bhikkhu sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. jika hanya Guru Gotama dan para bhikkhu yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhunī yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu dan para bhikkhunī sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, dan para bhikkhuni yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan umat awam laki-laki berpakaian putih … yang sempurna dalam Dhamma ini, tetapi tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih [493] yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih … dan para umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, para umat awam laki-laki berpakaian putih …dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan dan para umat awam perempuan berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu.

14. “Seperti halnya sungai Gangga yang condong ke lautan, miring ke arah lautan, mengalir menuju lautan, dan mencapai lautan, demikian pula kelompok Guru Gotama bersama dengan mereka yang tanpa rumah dan para perumah tangga condong ke Nibbāṅa, miring ke arah Nibbāna, mengalir menuju Nibbāna, dan mencapai Nibbāna.

15. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.” [494]

16. “Vaccha, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka akan memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.”

15. “Kemudian Pengembara Vacchagotta menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, setengah bulan setelah penahbisan penuh, Yang Mulia Vacchagotta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mencapai apa yang dapat dicapai melalui pengetahuan seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, melalui pengetahuan sejati seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan aku lebih jauh lagi.”

18. “Kalau begitu, Vaccha, kembangkanlah lebih jauh lagi kedua hal ini: ketenangan dan pandangan terang, jika kedua hal ini – ketenangan dan pandangan terang – dikembangkan lebih jauh lagi, maka itu akan menuntun menuju penembusan banyak unsur.

19. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku dapat menyelam masuk ke dalam dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; semoga aku dapat berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku dapat bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tanganku semoga aku dapat menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku dapat mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma’ – engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

20. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur mata dewa, [495] yang murni dan melampaui manusia, dapat mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat’ - engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

21. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi [35] dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’ - engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

22. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku mampu mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau’  - engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

23. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, …(seperti Sutta 51, §25) … dan semoga aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka’ - engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

24. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan menembus bagi diriku dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda’ - engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

25. Kemudian Yang Mulia Vacchagotta, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagava, dengan beliau di sisi kanannya, ia pergi.

26. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Vacchagotta, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Dan Yang Mulia Vacchagotta menjadi salah satu di antara para Arahant.

27. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Yang Mulia Vacchagotta melihat kedatangan mereka. Melihat mereka, ia mendatangi mereka dan bertanya kepada mereka: [497] “Kemanakah para mulia hendak pergi?”

“Kami pergi untuk menemui Sang Bhagavā, Teman.”

“Kalau begitu, sudilah para mulia bersujud atas namaku dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan mengatakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian katakan: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

“Baik, teman,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan ia berkata: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

28. “Para bhikkhu, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranku, Aku telah mengetahui tentang Bhikkhu Vacchagotta: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’ Dan para dewa juga memberitahukan kepadaKu hal ini: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:08:44 AM by Hendra Susanto »