//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52289 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #30 on: 22 July 2010, 08:48:18 PM »
26  Ariyapariyesanā Sutta
Pencarian Mulia

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Teman Ānanda, telah lama sejak kami mendengar Dhamma dari mulut Sang Bhagavā. Baik sekali jika kami dapat mendengar khotbah demikian, teman Ānanda.” – ‘Kalau begitu, silahkan para mulia pergi ke pertapaan brahmana Rammaka. Mungkin kalian akan mendengarkan khotbah Dhamma dari mulut Sang Bhagavā sendiri.” – “Baik, teman,” mereka menjawab.

3. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Taman Timur, ke Istana ibunya Migāra, untuk melewatkan hari.” – “Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. [161] Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Taman Timur, Istana ibunya Migāra, untuk melewatkan hari.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Pemandian Timur untuk mandi.” – “Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Pemandian Timur untuk mandi. Ketika Beliau telah selesai, Beliau keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah mengeringkan badanNya. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, pertapaan Brahmana Rammaka ada di dekat sini. Pertapaan itu indah dan menyenangkan. Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā pergi ke sana demi belas kasihNya.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju pertapaan Brahmana Rammaka. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang duduk bersama di pertapaan itu mendiskusikan Dhamma. Sang Bhagavā berdiri di luar pintu menunggu diskusi mereka berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa diskusi itu telah berakhir, Beliau berdehem dan mengetuk, dan para bhikkhu membuka pintu untuk Beliau. Sang Bhagavā masuk, duduk di tempat duduk yang telah disediakan, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah yang kalian diskusikan saat kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan apakah yang sedang kalian diskusikan yang terhenti?”

“Yang Mulia, diskusi kami yang terhenti adalah tentang Sang Bhagavā sendiri. Kemudian Sang Bhagavā datang.”

“Bagus, para bhikkhu. Adalah selayaknya bagi kalian para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama dan mendiskusikan Dhamma. Ketika kalian berkumpul bersama, para bhikkhu, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal ini: berdiskusi Dhamma atau berdiam dalam keheningan mulia.

(DUA JENIS PENCARIAN)

5. “Para bhikkhu, ada dua jenis pencarian ini: pencarian mulia dan pencarian tidak mulia. Dan apakah pencarian tidak mulia? Di sini seorang yang tunduk pada kelahiran mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan dirinya tunduk pada penuaan, [162] ia mencari apa yang juga tunduk pada penuaan; dengan dirinya tunduk pada penyakit, ia mencari apa yang juga tunduk pada penyakit; dengan dirinya tunduk pada kematian, ia mencari apa yang juga tunduk pada kematian; dengan dirinya tunduk pada dukacita, ia mencari apa yang juga tunduk pada dukacita; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, ia mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran.

6. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kelahiran? Istri dan anak-anak tunduk pada kelahiran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kelahiran. Perolehan-perolehan ini  tunduk pada kelahiran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran.

7. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penuaan? Istri dan anak-anak tunduk pada penuaan, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada penuaan. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penuaan; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penuaan, mencari apa yang juga tunduk pada penuaan.

8. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penyakit? Istri dan anak-anak tunduk pada penyakit, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada penyakit. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penyakit; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penyakit, mencari apa yang juga tunduk pada penyakit.

9. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kematian? Istri dan anak-anak tunduk pada kematian, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada kematian. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kematian; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kematian, mencari apa yang juga tunduk pada kematian.

10. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada dukacita? Istri dan anak-anak tunduk pada dukacita, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada dukacita. Perolehan-perolehan ini tunduk pada dukacita; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada dukacita, mencari apa yang juga tunduk pada dukacita.

11. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kekotoran? Istri dan anak-anak tunduk pada kekotoran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kekotoran. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kekotoran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kekotoran, mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran. Ini adalah pencarian tidak mulia.

12. “Dan apakah pencarian mulia? Di sini seseorang yang tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, [163] mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penuaan, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penyakit, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kematian, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada dukacita, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Ini adalah pencarian mulia.

(PENCARIAN PENCERAHAN)

13. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga, dengan diriKu yang tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan diriKu yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran. Kemudian Aku merenungkan: ‘Mengapa, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran? Mengapa, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran? Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna. Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Nibbāna.’

14. “Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap kehidupan utama, walaupun ibu dan ayahku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

15. “Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, dalam mencari apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana [164] dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan kekosongan.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. [165] Dan Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guruKu, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, tidak menuntun menuju lenyapnya, tidak menuntun menuju kedamaian, tidak menuntun menuju pengetahuan langsung, tidak menuntun menuju Nibbāna, tetapi hanya menuntun menuju kemunculan kembali dalam landasan kekosongan.’  Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

16. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’  Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, [166] kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, temanKu dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju Nibbāna, tetapi hanya menuju kemunculan kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

17. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mengembara secara bertahap melewati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Senānigama di dekat Uruvelā. [167] di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha.’ Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’
« Last Edit: 01 May 2012, 02:59:57 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #31 on: 22 July 2010, 08:51:12 PM »
(PENCERAHAN)

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada dukacita, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘KebebasanKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’

19. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan pemikiran logis, halus, untuk dialami oleh para bijaksana.  Tetapi generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian.  Adalah sulit bagi generasi demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, kemunculan bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. [168] Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahamiKu, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagiKu.’ Setelah itu muncullah padaKu secara spontan syair-syair ini yang tidak pernah didengar sebelumnya:

‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma
   Yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai;
   Karena tidak akan pernah dilihat
   Oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.

   Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
   Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini
   Yang mengalir melawan arus duniawi.
   Halus, dalam, dan sulit dilihat.’

Dengan pertimbangan demikian, batinKu lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.

20. “Kemudian, para bhikkhu, Brahmā Sahampati dengan pikirannya mengetahui pikiranKu dan ia mempertimbangkan: ‘Dunia akan musnah, dunia akan binasa, karena pikiran Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, lebih condong pada tidak berbuat apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.’ Kemudian secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapanKu. Ia merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepadaKu, dan berkata: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mengajarkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma.’ Brahmā Sahampati berkata demikian, dan kemudian ia berkata lebih lanjut:

   ‘Di Magadha telah muncul hingga sekarang
   Ajaran tidak murni yang diajarkan oleh mereka yang masih ternoda.
   Bukalah pintu menuju Keabadian! Biarkan mereka mendengar
   Dhamma yang ditemukan oleh Yang Tanpa Noda.

   Bagaikan seseorang yang berdiri di sebuah puncak gunung
   Dapat melihat ke bawah, orang-orang di segala penjuru,
   Maka, O Yang Bijaksana, Yang Maha-Melihat,
   Naiklah ke istana Dhamma
   Sudilah Yang Tanpa Dukacita mengamati keturunan manusia ini,
   Diliputi oleh dukacita, dikuasai oleh kelahiran dan usia tua. [169]

   Bangkitlah, pahlawan pemenang, pemimpin pengembara,
   Yang tanpa kewajiban, dan mengembaralah di dunia.
   Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma,
   Akan ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.’

21. “Kemudian Aku mendengarkan permohonan Brahmā, dan demi belas kasihan kepada makhluk-makhluk Aku memeriksa dunia dengan mata Buddha. Dengan memeriksa dunia dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Bagaikan dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai lahir dan tumbuh dalam air berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan beberapa teratai lain lahir dan berkembang dalam air dan berdiam di permukaan air, dan beberapa teratai lainnya lahir dan berkembang dalam air keluar dari air dan berdiri dengan bersih, tidak dibasahi oleh air; demikian pula, dengan memeriksa dunia ini dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Kemudian Aku menjawab Brahmā Sahampati dalam syair ini:

‘Terbukalah bagi mereka pintu menuju Keabadian,
Semoga mereka yang memiliki telinga menunjukkan keyakinan mereka.
Karena berpikir akan menyusahkan, O Brahmā,
Aku tidak membabarkan Dhamma yang halus dan luhur.’

Kemudian Brahmā Sahampati berpikir: ‘Sang Bhagavā telah memenuhi permohonanku untuk mengajarkan Dhamma.’ Dan setelah memberi hormat kepadaKu, dengan aku tetap di sisi kanannya, ia seketika lenyap dari sana.

22. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku [170] mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

23. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Uddaka Rāmaputta bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Uddaka Rāmaputta. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Uddaka Rāmaputta sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

24. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Para bhikkhu dari kelompok lima yang melayaniKu sewaktu aku menjalani usahaku telah sangat membantu.  Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada mereka.’ Kemudian Aku berpikir: ‘Di manakah para bhikkhu dari kelompok lima itu menetap?’ Dan dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa mereka sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:01:30 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #32 on: 22 July 2010, 08:53:25 PM »
(PENGAJARAN DHAMMA)

25. “Kemudian, para bhikkhu, ketika Aku telah menetap di Uruvelā selama yang Aku inginkan, Aku melakukan perjalanan secara bertahap menuju Benares. Antara Gayā dan tempat pencerahan, Ājīvaka Upaka melihatKu dalam perjalanan itu dan berkata: ‘Teman, indriaMu cerah, warna kulitMu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, teman? Siapakah guruMu? Dhamma siapakah yang Engkau [171] anut? Aku menjawab Ājīvaka Upaka dalam syair:

   ‘Aku adalah seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya,
   Tidak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya,
   Terbebaskan dalam lenyapnya keinginan. Setelah mengetahui semua ini
   Bagi diriKu, siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?

   Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara denganKu
   Tidak ada di segala alam
   Bersama dengan semua dewanya, karena Aku tidak memiliki
   Siapapun yang dapat menandingiKu.

   Aku adalah Yang Sempurna di dunia ini,
   Aku adalah Guru Tertinggi.
   Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
   Yang api-apinya telah padam.

   Aku pergi sekarang menuju kota Kāsi
   Untuk memutar Roda Dhamma.
   Dalam dunia yang telah buta
   Aku pergi untuk menabuh tambur Keabadian.’

   ‘Dengan pengakuanMu, teman, engkau pasti adalah Pemenang Segalanya.’

   ‘Para pemenang adalah mereka yang sepertiKu
   Yang telah memenangkan penghancuran noda-noda.
   Aku telah menaklukkan segala kondisi jahat,
   Oleh karena itu, Upaka, Aku adalah pemenang.’

“Ketika ini dikatakan, Ājīvaka Upaka berkata: ‘Semoga demikian, teman.’ Dengan menggelengkan kepala, ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi.

26. “Kemudian, para bhikkhu, dengan berjalan secara bertahap, Aku akhirnya sampai di Benares, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati para bhikkhu dari kelompok lima. Dari jauh Para bhikkhu melihatKu mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usahaNya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepadanya atau bangkit menyambutnya atau menerima mangkuk dan jubah luarNya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untukNya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk.’ Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambutKu dan mengambil mangkuk dan jubah luarKu, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kakiKu; akan tetapi mereka menyapaKu dengan nama dan sebagai ‘teman.’

27. “Kemudian Aku memberitahu mereka: ‘Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.” Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, [172] seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

“Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu dari kelompok lima itu menjawabKu sebagai berikut: ‘Teman Gotama, dengan perilaku, praktik, dan pelaksanaan pertapaan keras yang Engkau jalani, Engkau tidak mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.  Karena sekarang Engkau hidup dalam kemewahan, telah meninggalkan usahaMu dan kembali kepada kemewahan, bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu mereka: ‘Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan, juga tidak meninggalkan usahaNya dan tidak kembali kepada kemewahan. Sang Tathāgata adalah Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai ... dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

“Untuk ke dua kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Untuk ke dua kalinya Aku memberitahu mereka: Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan ... dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Untuk ke tiga kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’

28. “Ketika hal ini dikatakan Aku bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya?’ – ‘Tidak, Yang Mulia.’  – ‘Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ [173]

29. “Aku berhasil meyakinkan para bhikkhu dari kelompok lima.  Kemudian Aku kadang-kadang memberikan instruksi kepada dua bhikkhu sementara tiga lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh ketiga bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan. kadang-kadang Aku memberikan instruksi kepada tiga bhikkhu sementara dua lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

30. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, setelah diajari dan diberikan instruksi olehKu, dengan diri mereka sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; dengan diri mereka sendiri tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna, mereka mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada mereka: ‘Kebebasan kami tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran kami yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’

(KENIKMATAN INDRIA)

31. “Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini.  Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

32. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya tanpa melihat bahaya di dalam hal-hal ini atau tidak memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’ Misalkan seekor rusa hutan yang terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia telah menemui bencana, ia telah menemui kemalangan, pemburu dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang rusa itu tidak mampu pergi ke manapun yang ia inginkan.’ Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’

33. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tidak tergila-gila pada hal-hal ini, dan tidak menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya dengan melihat bahaya di dalam hal-hal ini dan memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, [174] dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’  Misalkan seekor rusa hutan yang tidak terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia tidak menemui bencana, ia tidak menemui kemalangan, pemburu tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang rusa itu mampu pergi ke manapun yang ia inginkan.’ Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’

34. “Misalkan seekor rusa hutan sedang mengembara di hutan belantara: ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan pemburu. Demikian pula, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

35. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

36. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

37. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

38. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

39. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

40. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

41. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [175] seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

42. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan pada dunia.  Ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan si Jahat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:02:28 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #33 on: 22 July 2010, 08:54:17 PM »
27  Cūḷahatthipadopama Sutta
Khotbah pendek tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang putih seluruhnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. Dari jauh ia melihat pengembara Pilotika datang dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Vacchāyana datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Vacchāyana sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?”

“Tuan, Siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Vacchāyana memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

“Apakah alasan yang Guru Vacchāyana lihat hingga ia memiliki keyakinan demikian pada Petapa Gotama?”

3. “Tuan, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu [176] jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia akan berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah yang besar.’ Demikian pula, ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Apakah empat ini?

4. “Tuan, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, memiliki pengetahuan tentang ajaran-ajaran lain, setajam para penembak pembelah rambut; mereka mengembara, sebagaimana seharusnya, meruntuhkan pandangan-pandangan lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa-desa atau kota itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan menemui Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan ini kepada Beliau. Jika ia ditanya seperti ini, maka Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan menbantah ajarannya dengan cara ini; dan jika ia ditanya seperti itu, maka Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan menbantah ajarannya dengan cara itu.’

“Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama telah datang mengunjungi desa atau kota itu.’ Mereka pergi menemui Petapa Gotama, dan Petapa Gotama memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorong mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Petapa Gotama dengan khotbah Dhamma, mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki pertama Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

5. “Kemudian, aku telah melihat para brahmana terpelajar tertentu yang cerdas ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke dua Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’

6. “Kemudian, aku telah melihat para perumah tangga terpelajar tertentu yang cerdas ... [177] ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke tiga Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’

7. “Kemudian, aku telah melihat para petapa terpelajar tertentu yang cerdas ... mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah memohon agar Petapa Gotama mengizinkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan tanpa rumah menuju kehidupan rumah tangga. Mereka berkata sebagai berikut: ‘Kami hampir saja musnah, kami hampir saja binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ketika aku melihat jejak kaki ke empat Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...

“Ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’”

8. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan itu tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat atau di saat lainnya [178] kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berbincang-bincang dengan Beliau.”

9. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang seluruh percakapannya dengan Pengembara Pilotika. Setelah itu Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Pada titik ini, brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu belum sepenuhnya selesai secara terperinci. Sehubungan dengan bagaimana menyelesaikannya secara terperinci, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – ‘Baik, Yang Mulia,” Brahmana Jāṇussoṇi menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

10. “Brahmana, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina kecil yang meninggalkan jejak kaki yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gigi yang panjang dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gading dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa geuratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading, dan dahan-dahan yang patah. Dan ia melihat gajah jantan itu di bawah sebatang pohon atau di tempat terbuka, berjalan, duduk, atau berbaring. Ia sampai pada kesimpulan: ‘Ini adalah gajah jantan besar itu.’

11. “Demikian pula, [179] Brahmana, di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau menyatakan pada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, pada generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

12.  “Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga atau seseorang yang terlahir dalam salah satu kasta lainnya mendengar Dhamma itu. Setelah mendengar Dhamma ia memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam rumah, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna seperti kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’  Kemudian pada kesempatan lainnya, dengan meninggalkan keuntungan kecil atau besar, dengan meninggalkan lingkaran keluarga kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

13. “Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil hanya apa yang diberikan, menerima hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri ia berdiam dalam kemurnian. Meninggalkan kehidupan tidak-selibat, ia melaksanakan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik vulgar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan fitnah, ia menghindari ucapan fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam pikiran, sopan, disukai banyak orang [180] dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian siang hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya.  Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah. Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:07:03 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #34 on: 22 July 2010, 08:55:20 PM »
14. “Ia puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Bagaikan seekor burung, ke manapun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula bhikkhu itu puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

15. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata.  Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu obyek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, [181] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian mulia akan indria-indria ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

16. “Ia menjadi seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju maupun mundur; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan maupun ke belakang; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika menunduk maupun menegakkan badan; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar maupun buang air kecil; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

17. “Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, dan pengendalian mulia atas indria-indria ini, dan memiliki perhatian mulia dan kewaspadaan mulia ini, ia mencari tempat tinggal yang terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

18.  “Setelah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badannya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan.  Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan bagi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan, seorang yang mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa kegelisahan dengan pikiran yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan akan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

19. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

20. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia [182] belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

21. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

22. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

23. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’ [183]

24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka … (seperti Sutta 4, §29) …  Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’ … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Tetapi, ia masih dalam proses menuju pada kesimpulan ini.

26. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, [184] bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’  Dan pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu selesai secara terperinci.

27. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:07:30 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #35 on: 22 July 2010, 08:56:26 PM »
28  Mahāhatthipadopama Sutta
Khotbah panjang tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: ‘Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman.” Mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, bagaikan jejak kaki makhluk hidup apapun juga yang berjalan dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan dengan demikian jejak kaki gajah dinyatakan sebagai pemimpinnya karena ukurannya yang besar; demikian pula, semua kondisi-kondisi bermanfaat dalam dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia.  Dalam empat apakah? Dalam kebenaran mulia tentang penderitaan, [185] dalam kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan, dalam kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, dan dalam kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan.

3. “Dan apakah kebenaran mulia tentang penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

4. “Dan apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan.

5. “Dan apakah kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Dan apakah empat unsur utama ini? Yaitu unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.

(UNSUR TANAH)

6. “Apakah, teman, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sum-sum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, kotoran, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal.  Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah.  Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur tanah.

7. “Sekarang ada saatnya ketika unsur tanah itu terganggu dan kemudian unsur tanah eksternal lenyap.  Jika bahkan unsur tanah eksternal ini, yang begitu dahsyat, terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

8. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami:  ‘Perasaan menyakitkan ini yang muncul dari kontak-telinga telah muncul padaku. Yang bergantung, bukan tidak bergantung. Bergantung pada apakah? [186] Bergantung pada kontak.’  Kemudian ia melihat bahwa kontak adalah tidak kekal, bahwa perasaan adalah tidak kekal, dan bahwa kesadaran adalah tidak kekal. Dan pikirannya, setelah menjadikan suatu unsur sebagai obyek pendukungnya, masuk ke dalam [obyek pendukung yang baru itu] dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan.

9. “Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: ‘Jasmani ini memiliki sifat bahwa kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerangnya.  Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam “nasihat tentang perumpamaan gergaji”: “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu.”  Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana ajaran para Buddha dipraktikkan.’

10. “Ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan sebagai berikut: ‘Adalah kerugian bagiku, bukan keberuntungan, adalah keburukan bagiku, bukan kebaikan, bahwa ketika aku merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam diriku.’  Seperti halnya ketika seorang menantu-perempuan melihat ayah mertuanya, ia membangkitkan dorongan [untuk menyenangkannya], demikian pula, ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan. Tetapi jika, ketika ia merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat  terbentuk dalam dirinya, [187] maka ia menjadi puas dengannya. Pada titik ini, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR AIR)

11. “Apakah, teman, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan pikirannya bosan terhadap unsur air.

12. “Sekarang ada saatnya ketika unsur air eksternal terganggu. Air menghanyutkan desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya ketika air di samudera surut seratus liga, dua ratus liga, tiga ratus liga, empat ratus liga, lima ratus liga, enam ratus liga, tujuh ratus liga. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … sedalam dua pohon palem, hanya sedalam satu pohon palem. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam tujuh depa, sedalam enam depa … sedalam dua depa, hanya sedalam satu depa. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam setengah depa, hanya setinggi pinggang, hanya selutut, hanya semata kaki. Ada saatnya ketika air di samudera tidak mencukupi bahkan hanya untuk membasahi sendi jari tangan. Ketika bahkan unsur air eksternal ini, yang begitu dahsyat, [188] terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

13-15. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR API)

16. “Apakah, teman, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur api.

17. “Sekarang ada saatnya ketika unsur api eksternal terganggu. Api membakar desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Api itu padam karena habisnya bahan bakar hanya ketika api itu mencapai rumput hijau, atau jalan, atau batu, atau air, atau ruang terbuka. Ada saatnya ketika mereka menyalakan api bahkan dengan bulu ayam dan kulit kupasan buah. Ketika bahkan unsur api eksternal ini, yang begitu dahsyat,  terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

18-20. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR UDARA)

21. “Apakah, teman, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur udara. [189]

22. “Sekarang ada saatnya ketika unsur udara eksternal terganggu. Angin menyapu desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya di bulan terakhir musim panas ketika mereka membuat angin dengan menggunakan kipas atau tiupan dan bahkan rumbai jerami di tepi atap jerami tidak bergerak. Ketika bahkan unsur udara eksternal ini, yang begitu dahsyat,  terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

23-25. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … [190] (ulangi §§8-10) … Pada titik ini, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

26. “Teman-teman, seperti halnya ketika suatu ruang dikelilingi oleh kayu dan tanaman menjalar, rumput, dan tanah liat, maka itu disebut ‘rumah,’ demikian pula, ketika suatu ruang dikelilingi oleh tulang dan urat, daging dan kulit, maka itu disebut ‘bentuk materi.’

27. “Jika, teman-teman, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Jika, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. Tetapi jika secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi , maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

28. “Bentuk materi dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan.  Perasaan dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulnya hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini. Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat [191] kemunculan bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma.”  Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan.  Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

29-30. “Jika, teman-teman, secara internal telinga dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada suara-suara dalam jangkauan pendengaran (seperti pada §§27-28) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

31-32. “Jika, teman-teman, secara internal hidung dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bau-bauan dalam jangkauan penciuman … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

33-34. “Jika, teman-teman, secara internal lidah dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada rasa kecapan dalam jangkauan pengecapan … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

35-36. “Jika, teman-teman, secara internal badan dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada obyek-obyek sentuhan dalam jangkauan sentuhan … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

37. “Jika, teman-teman, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Jika, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Tetapi jika secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

38. “Bentuk materi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Perasaan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulnya hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini.’ Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma.” Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.

« Last Edit: 01 May 2012, 03:08:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #36 on: 22 July 2010, 08:57:28 PM »
29  Mahāsāropama Sutta
Khotbah panjang tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama setelah Devadatta pergi.  Di sana, dengan merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… [193] … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa ranting dan dedaunan kehidupan suci dan berhenti di sana.

3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… ia hidup dalam penderitaan. [194] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. [195] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan.  Ia senang dengan pengetahuan dan penglihatan tersebut dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Ia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ [196] Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kayu lunak kehidupan suci dan berhenti di sana.

6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [197] ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … Karena ia rajin, maka ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan pikiran  yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:10:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #37 on: 23 July 2010, 01:59:36 PM »
30  Cūḷasāropama Sutta
Khotbah pendek tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[198] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Pingalakoccha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, ada para petapa dan brahmana, masing-masing adalah pemimpin suatu aliran, pemimpin kelompok, guru kelompok, pendiri yang terkenal dan termasyhur dari suatu sekte yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci – seperti, Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambalin, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhiputta, dan Nigaṇṭha Nātaputta.  Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorangpun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki?”

“Cukup, Brahmana! Biarlah demikian! – ‘Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorangpun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu, Brahmana. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Brahmana Pingalakoccha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Misalkan, Brahmana, seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

4. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya [199] dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

5. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

6. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

7. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, [200] ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’

8. “Demikian pula, Brahmana, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia enggan untuk maju dan mengendur.  Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

9. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; [201] ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

10. ‘Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

11. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, [202] korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian pengetahuan dan penglihatan dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

12. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, [203] ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur.

“Tetapi apakah, Brahmana, kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan?

13. “Di sini, Brahmana, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

14. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

15. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini adalah [204] juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

16. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

21. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

22. “Aku katakan bahwa orang ini, Brahmana, adalah seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, yang sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’

23. “Demikian pula kehidupan suci ini, Brahmana, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan [205] kebebasan pikiran  yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Pingalakoccha berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:11:36 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #38 on: 23 July 2010, 02:00:49 PM »
31  Cūḷagosinga Sutta
Khotbah Pendek di Gosinga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nandikā di Rumah Bata.

2. Pada saat itu Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga.

3. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan pergi ke Taman Hutan pohon Sāla Gosinga. Dari jauh penjaga taman melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Jangan memasuki taman ini, Petapa. Ada tiga anggota keluarga di sini mencari kebaikan mereka. Jangan mengganggu mereka.”

4. Yang Mulia Anuruddha mendengar penjaga taman itu berbicara dengan Sang Bhagavā dan memberitahunya: “Teman penjaga taman, jangan membiarkan Sang Bhagavā di luar. Beliau adalah Guru kami, Sang Bhagavā, yang telah datang.” Kemudian Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila dan berkata: “Keluarlah, Yang Mulia, keluarlah! Guru kita, [206] Sang Bhagavā, telah datang.”

5. Kemudian ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luarNya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kakiNya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya cukup nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Kami dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, kami cukup nyaman, dan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

6. “Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

7. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi.  Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa Aku tidak [207] mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, Yang Mulia, tetapi kami satu dalam pikiran.”

Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila masing-masing mengatakan hal yang sama, dan menambahkan: “Itu adalah bagaimana, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

8. “Bagus, bagus, Anuruddha. Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

9. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, siapapun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapapun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apapun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia menyimpan tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seorang lainnya dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat kami terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

10. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi ketika kalian berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh demikian, apakah kalian telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, suatu kediaman yang menyenangkan?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, kami masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Yang Mulia, ini adalah kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kami capai ketika berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

11-13. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, [208] dengan meredakan kediaman itu?”
 
“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua  … Dengan meluruhnya kegembiraan … kami masuk dan berdiam dalam jhāṅa ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

14. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia … yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ [209] kami masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

15-17. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ kami masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ kami masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, kami masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia … yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

18. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, kami masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-noda kami dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu. Dan, Yang Mulia, kami tidak melihat ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

“Bagus, bagus, Anuruddha. Tidak ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

19. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila dengan khotbah Dhamma, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

20. Setelah mereka menyertai Sang Bhagavā, hingga jarak tertentu dan kembali lagi, Yang Mulia [210] Nandiya dan Yang Mulia Kimbila bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: “Pernahkah kami melaporkan kepada Yang Mulia Anuruddha bahwa kami telah mencapai kediaman dan pencapaian itu yang oleh Yang Mulia Anuruddha, di hadapan Sang Bhagavā, katakan berasal dari kami hingga pada hancurnya noda-noda?”

“Para Mulia tidak pernah melaporkan kepadaku bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Namun dengan melingkupi pikiran para mulia dengan pikiranku, Aku mengetahui bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Dan dewa juga telah melaporkan kepadaku: ‘Para mulia ini telah mencapai kediaman dan pencapaian itu.’ Maka aku mengatakannya ketika secara langsung ditanya oleh Sang Bhagavā.”

21. Kemudian Yakkha Dīgha Parajana  mendatangi Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” mendengar seruan Yakkha Dīgha Parajana, para dewa bumi berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” mendengar seruan para dewa bumi, para dewa dari alam surga Empat Raja Dewa … para dewa dari alam surga Tiga Puluh Tiga … para dewa Yāma … para dewa dari alam surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain … para dewa pengikut Brahmā berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” Demikianlah dalam sekejap, pada saat itu, para mulia itu dikenal hingga ke alam Brahmā.

22. [Sang Bhagavā berkata:] “Demikianlah, Dīgha, demikianlah! Dan jika suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan suku itu untuk waktu yang lama. Dan jika para pengikut suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian [211] … desa dari mana mereka meninggalkan keduniawian … pemukiman dari mana mereka meninggalkan keduniawian … kota dari mana mereka meninggalkan keduniawian … negeri dari mana mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan negeri itu untuk waktu yang lama. Jika semua para mulia mengingat ketiga orang ini dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan para mulia itu untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … semua pedagang … semua pekerja mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan para pekerja itu untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā dan orang-orangnya, generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia untuk waktu yang lama. Lihatlah, Dīgha, bagaimana ketiga orang ini berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang, demi belas kasih pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yakkha Dīgha Parajana merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:12:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #39 on: 23 July 2010, 02:02:49 PM »
32  Mahāgosinga Sutta
Khotbah Panjang di Gosinga

[212] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga bersama dengan sejumlah siswa terkenal – Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa terkenal lainnya.

2. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mahā Moggallāna bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Mahā Kassapa, dan berkata kepadanya: “Teman, Kassapa, mari kita mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.” – “Baik, teman,” Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, dan Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

3. Yang Mulia Ānanda melihat mereka mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Revata dan berkata kepadanya: “Teman Revata, orang-orang mulia itu mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Mari kita juga mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.” – “Baik, teman,” Yang Mulia Revata menjawab. Kemudian Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

4. Dari jauh Yang Mulia Sāriputta melihat kedatangan Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Silahkan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda, pelayan Sang Bhagavā, yang selalu mendampingi Sang Bhagavā. Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman [213] Sāriputta, seorang bhikkhu yang telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengokohkan kehidupan suci yang murni dan sempurna – ajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan kalimat-kalimat dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Revata: “Teman Revata, Yang Mulia Ānanda telah mengungkapkan sesuai inspirasinya.  Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Revata: teman Revata, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Revata, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing dan senang dalam meditasi terasing; ia menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

6.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Teman Anuruddha, Yang Mulia Revata telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: teman Anuruddha, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Anuruddha, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia. Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan yang baik, ketika ia naik ke kamar atas istana, dapat mengamati seribu roda kereta, demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

7.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: “Teman Kassapa, Yang Mulia Anuruddha telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: teman Kassapa, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Kassapa, [214] yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sariputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan; ia adalah seorang yang memakan makanan yang didanakan dan memuji perbuatan memakan makanan yang didanakan; ia adalah seorang pemakai jubah dari kain yang dibuang dan memuji perbuatan mengenakan jubah dari kain yang dibuang; ia adalah seorang yang mengenakan tiga jubah dan memuji perbuatan mengenakan tiga jubah;  ia memiliki keinginan yang sedikit dan memuji keinginan yang sedikit; ia merasa puas dan memuji kepuasan; ia mengasingkan diri dan memuji keterasingan; ia jauh dari pergaulan dan memuji perbuatan menjauhi pergaulan; ia bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat: ia telah mencapai moralitas dan memuji pencapaian moralitas; ia telah mencapai konsentrasi dan memuji pencapaian konsentrasi; ia telah mencapai kebijaksanaan dan memuji pencapaian kebijaksanaan; ia telah mencapai kebebasan dan memuji pencapaian pkebebasan; ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan pkebebasan. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

8. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: “Teman Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: teman Moggallāna, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Moggallāna, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi  dan saling mempertanyakan satu sama lain, dan masing-masing ditanya oleh jawaban pihak lain tanpa menjatuhkan, dan pembicaraan mereka berlanjut sesuai dengan Dhamma. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, kami semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kami. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: teman Sāriputta, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Sāriputta, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia [215] diami selama pagi hari; di siang hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari. Misalkan seorang raja atau menteri raja memiliki selemari penuh pakaian beraneka warna. Di pagi hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di pagi hari; di siang hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di siang hari; di malam hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di malam hari. Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari … di siang hari … di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

10. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para mulia itu: “Teman-teman, kita semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kita. Mari kita menghadap Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Sebagaimana Sang Bhagavā menjawab, demikianlah kita harus mengingatnya.” – “Baik, teman,” mereka menjawab. Kemudian para mulia itu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā.

11. “Yang Mulia, Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangiku untuk mendengarkan Dhamma. Dari jauh aku melihat mereka datang dan [216] berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Silahkan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda … Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ ketika ditanya demikian, Yang Mulia, Yang Mulia Ānanda menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu telah banyak belajar … (seperti pada §4) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Ānanda memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Ānanda telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengokohkan kehidupan suci yang murni dan sempurna – ajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan kalimat-kalimat dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi.”

12. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Revata: ‘Teman Revata … Bhikkhu seperti apakah, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Revata menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing … (seperti pada §5) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Revata memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Revata bergembira dalam meditasi terasing, senang dalam meditasi terasing, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong.” [217]

13. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Teman Anuruddha … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Anuruddha menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa … (seperti pada §6) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Anuruddha memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Anuruddha mengamati seribu dunia.”

14. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: ‘Teman Kassapa … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan … (seperti pada §7) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’” [218]

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Kassapa memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Kassapa adalah seorang penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan … ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan.”

15. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: ‘Teman Moggallāna … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Mahā Moggallāna menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi … (seperti pada §8) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Moggallāna memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Moggallāna adalah seorang yang membicarakan Dhamma.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna memberitahu Sang Bhagavā: “Kemudian, Yang Mulia, aku berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Teman Sāriputta … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Sāriputta menjawab: ‘Di sini, teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya … [219] (seperti pada §9) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Moggallāna. Sesungguhnya, Sāriputta memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Sāriputta menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya memguasainya. Di pagi hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama pagi hari; di siang hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari.”

17. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, yang manakah di antara kami yang telah berkata dengan benar?”

“Kalian semua telah berkata dengan benar, Sāriputta, masing-masing dengan caranya masing-masing. Dengarkanlah juga dariKu bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga. Di sini, Sāriputta, ketika seorang bhikkhu telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya, bertekad: ‘Aku tidak akan bangkit dari posisi duduk ini hingga batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.’ Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para mulia itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:14:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #40 on: 23 July 2010, 02:04:10 PM »
33  Mahāgopālaka Sutta
Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi

[220] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini seorang penggembala sapi tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui penyeberangan sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui penyeberangan sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

4. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apapun terdiri dari empat unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk.

5. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik.

6. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul,  seorang bhikkhu menerimanya; [221] ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat.

7. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria mata, ia tidak menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, ia menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria pikiran, ia tidak menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal merawat luka.

8. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu tidak mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang.

9. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui penyeberangan sungai? Di sini seorang bhikkhu tidak dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan,  dan ia tidak mempertanyakan dan tidak mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini?’ para mulia ini tidak mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, tidak menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, atau tidak melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui sungai.

10. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu tidak memperoleh inspirasi dalam makna, tidak memperoleh inspirasi dalam Dhamma, tidak memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.  Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan.

11. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan.

12. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana [222] seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput.

13. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu tidak mengetahui jumlah yang cukup dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memerah susu sampai kering

14.  “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini seorang bhikkhu tidak menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia tidak menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia tidak menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

15. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini seorang penggembala sapi memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui penyeberangan sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

16. “Demikian pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui penyeberangan sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

17. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apapun terdiri dari empat [223] unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk.

18. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik.

19. “Bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat.

20. “Bagaimanakah seorang bhikkhu merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu merawat luka.

21. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengasapi kandang.

22. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui penyeberangan sungai? Di sini seorang bhikkhu dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan, dan ia mempertanyakan dan mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini?’ para mulia ini mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, dan melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui sungai.

23. “Bagaimanakah [224] seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.  Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan.

24. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui jalan.

25. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput? Di sini seorang bhikkhu memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput.

26. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu mengetahui jumlah secukupnya dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering

27.  “Bagaimanakah seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini seorang bhikkhu menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.
 
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:15:55 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #41 on: 23 July 2010, 02:06:45 PM »
34  Cūḷagopālaka Sutta
Khotbah Pendek tentang Penggembala Sapi

[225] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Vajji di Ukkācelā di tepi sungai Gangga. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang dungu yang, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan. Kemudian sapi-sapi itu terjebak dalam arus di tengah sungai Gangga, dan sapi-sapi itu menemui kemalangan dan bencana. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang dungu itu, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang tidak terampil dalam dunia ini dan dunia lain, tidak terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, tidak terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian – itu akan menuntun menuju bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana yang, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan. Ia menggiring sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu, masuk ke air pertama kali, dan mereka menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring sapi-sapi muda jantan dan betina, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Pada saat itu terdapat seekor bayi sapi yang baru dilahirkan, dan dengan didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana itu, [226] pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan.

5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang  terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian – itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

6. “Para bhikkhu, seperti halnya sapi-sapi jantan, para ayah dan pemimpin kelompok, menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan akhir, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – dengan menyongsong arus Māra mereka telah dengan selamat sampai di pantai seberang.

7. “Bagaikan sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu - dengan menyongsong arus Māra mereka akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

8. “Bagaikan sapi-sapi muda jantan dan betina menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan lemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, adalah yang-kembali-sekali, dengan kembali satu kali lagi ke alam ini akan mengakhiri penderitaan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

9. “Bagaikan anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

10. “Bagaikan bayi sapi yang baru dilahirkan, didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, adalah para pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

11. “Para bhikkhu, Aku [227] terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan Aku dan berkeyakinan padaKu.”

12. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Baik dunia ini maupun dunia lain
   Telah dijelaskan dengan baik oleh Beliau yang mengetahui,
   Dan apa yang masih dalam jangkauan Māra
   Dan apa yang di luar jangkauan Kematian.
 
   Secara langsung mengetahui semua dunia,
   Yang Tercerahkan yang memahami
   Membuka pintu menuju kondisi tanpa-kematian
   Yang melalui pintu itu Nibbāna dapat dicapai dengan selamat;

   Karena arus Māra telah disongsong sekarang,
   Arusnya dihentikan, buluh-buluhnya disingkirkan;
   Bergembiralah, para bhikkhu, dengan bersemangat
   Dan kokohkan pikiran kalian di mana keamanan berada.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:16:23 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #42 on: 23 July 2010, 02:07:44 PM »
35  Cūḷasaccaka Sutta
Khotbah Pendek kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu Saccaka putera Nigaṇṭha sedang menetap Di Vesālī, seorang pendebat dan pembicara cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci.  ia membuat pernyataan di hadapan kumpulan orang-orang Vesālī: “Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?”

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Assaji merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.  Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah raga di Vesālī, [228] dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Assaji dan mendatanginya dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, Saccaka putera Nigaṇṭha berdiri di satu sisi dan berkata kepadanya:

4. “Guru Assaji, bagaimanakah Petapa Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Petapa Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”

“Beginilah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, Aggivessana, dan beginilah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri.;  demikianlah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, dan demikianlah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya.”

“Jika itu adalah apa yang Petapa Gotama tegaskan, kami sungguh telah mendengar apa yang tidak menyenangkan. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berdiskusi dengan Beliau. Mungkin kami dapat melepaskanNya dari pandangan sesat itu.”

5. Pada saat itu lima ratus Licchavi berkumpul di dalam sebuah aula pertemuan untuk suatu urusan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi mereka dan berkata: “Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama. Jika Petapa Gotama mempertahankan di depanku apa yang telah dipertahankan di depanku oleh salah satu siswa terkenalNya, bhikkhu bernama Assaji, maka bagaikan seorang kuat dapat mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah panci minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu ujungnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat [229] dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan mengguncangnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke atas dan mengguncang Beliau ke bawah dan mengguncang Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama.  Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama.”

6. Kemudian beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Petapa Gotama yang mampu membantah pernyataan Saccaka putera Nigaṇṭha? Sebaliknya, Saccaka putera Nigaṇṭha akan membantah pernyataan Petapa Gotama.” Dan beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Saccaka putera Nigaṇṭha yang mampu membantah pernyataan Petapa Gotama? Sebaliknya, Petapa Gotama akan membantah pernyataan Saccaka putera Nigaṇṭha.” Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha pergi dengan lima ratus Licchavi menuju Aula Beratap Lancip.

7. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama menetap saat ini, tuan-tuan? Kami ingin bertemu dengan Guru Gotama.”

“Sang Bhagavā telah pergi ke Hutan Besar, Aggivessana, dan sedang duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

8. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha, bersama dengan banyak pengikut dari Licchavi, memasuki Hutan Besar dan menjumpai Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Beberapa Licchavi bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan terhadap Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

9. Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Guru Gotama berkenan menjawab pertanyaan ini.”

“Tanyakanlah apa yang engkau ingin tanyakan, Aggivessana.” [230]

“Bagaimanakah Guru Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Guru Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”

“Beginilah Aku mendisiplinkan para siswaKu, Aggivessana, dan beginilah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri; demikianlah Aku mendisiplinkan para siswaKu, dan demikianlah instruksiKu  biasanya disampaikan kepada para siswaKu.”

10. “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Aggivessana,” Sang Bhagavā berkata.

“Seperti halnya ketika benih dan tanaman, apapun jenisnya, tumbuh, berkembang, dan matang, semuanya terjadi dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah; dan seperti halnya pekerjaan keras, apapun jenisnya, yang dilakukan, semua dilakukan dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah – demikian pula, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk materi sebagai diri, dan berlandaskan pada bentuk materi itu ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki perasaan sebagai diri, dan berlandaskan pada perasaan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki persepsi sebagai diri, dan berlandaskan pada persepsi ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki bentukan=bentukan sebagai diri, dan berlandaskan pada bentukan-bentukan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki kesadaran sebagai diri, dan berlandaskan pada kesadaran ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan.”

11. “Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’

“Aku mengatakan demikian, Guru Gotama: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’ Dan demikian pula dengan banyak orang ini?”

“Apakah hubungannya banyak orang ini denganmu, Aggivessana? Mohon batasi pernyataanmu hanya pada dirimu sendiri.”

“Kalau begitu, Guru Gotama, aku mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”

12. “Maka, Aggivessana, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. [231] Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah seorang raja agung yang sah – misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha – akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir?”

“Guru Gotama, seorang raja agung yang sah – misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha – akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir. Karena bahkan komunitas [oligarki]  seperti para Vajji ini para Malla menjalankan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir; apalagi raja mulia yang sah seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha. Ia akan menjalankannya, Guru Gotama, dan ia selayaknya menjalankannya.”

13. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?”  ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke dua kalinya Saccaka putera Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang bukan waktunya untuk berdiam diri. Jika siapapun, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.”

14. Pada saat itu sesosok makhluk bersenjatakan halilintar memegang sebuah halilintar besi yang terbakar, menyala dan berpijar, muncul di udara di atas Saccaka putera Nigaṇṭha, dengan berpikir: “Jika Saccaka putera Nigaṇṭha ini, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Bhagavā sampai tiga kali, masih tidak menjawab, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping di sini dan saat ini.”  Sang Bhagavā melihat makhluk bersenjatakan halilintar itu dan demikian pula dengan Saccaka putera Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha ketakutan, gelisah, dan ngeri. [232] Untuk mencari naungan, suaka, dan perlindungan dari Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”

15. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

16. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Perasaan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas perasaan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah perasaanku seperti demikian; biarlah perasaanku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

17. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Persepsi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas persepsi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah persepsiku seperti demikian; biarlah persepsiku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

18. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentukan-bentukan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentukan-bentukan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukan-bentukanku seperti demikian; biarlah bentukan-bentukanku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

19. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Kesadaran adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas kesadaran itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah kesadaranku seperti demikian; biarlah kesadaranku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

20. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana, apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Guru Gotama.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Guru Gotama.” – “Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, [233] ini diriku’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah perasaan kekal atau tidak kekal? ... Apakah persepsi kekal atau tidak kekal? ... Apakah bentukan-bentukan kekal atau tidak kekal? ... Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Guru Gotama.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Guru Gotama.” – “Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

21. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika seseorang terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Dapatkah ia sepenuhnya memahami penderitaan oleh dirinya sendiri atau berdiam dengan penderitaan yang dihancurkan secara total?”

“Bagaimana mungkin, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”

*“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Kalau begitu, apakah engkau tidak terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’

“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”*

22. “Ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan, dan di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, muda, tanpa tandan buah. Kemudian ia menebangnya pada akarnya, memotong pucuknya, dan mengelupas pelepah daunnya; tetapi ketika ia terus mengelupasi pelepah daunnya, ia tidak menemukan bahkan kayu lunaknya, apalagi inti kayu. Demikian pula, Aggivessana, ketika engkau ditekan, ditanya, dan didebat olehKu mengenai pernyataanmu sendiri, engkau terbukti, kosong, hampa, dan keliru. Tetapi adalah engkau yang membuat pernyataan ini di depan para penduduk Vesālī: ‘Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?’ sekarang ada butiran keringat di keningmu dan keringat itu telah membasahi jubah atasmu dan menetes ke tanah. Tetapi tidak ada keringat pada tubuhKu saat ini.” Dan Sang Bhagavā membuka tubuhnya yang berwarna keemasan di depan kelompok itu. [234] Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha duduk diam, dengan bahu terkulai dan kepala tertunduk, muram, dan tanpa reaksi.

23. Kemudian Dummukha, putera Licchavi, melihat Saccaka putera Nigaṇṭha dalam keadaan demikian, berkata kepada Sang Bhagavā: “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Dummukha.”

“Misalkan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam dengan seekor kepiting di dalamnya. Dan kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan pergi dari pemukiman atau desa itu menuju kolam tersebut, masuk ke air, dan menarik kepiting itu keluar dari air dan meletakkannya di atas tanah kering. Dan ketika kepiting itu menjulurkan kakinya, mereka memotongnya, mematahkannya, dan memukulnya dengan tongkat dan batu, sehingga kepiting itu dengan semua kakinya putus, patah, dan hancur, tidak mampu kembali ke kolam seperti sebelumnya. Demikian pula, semua dalih, geliat, dan kebimbangan Saccaka putera Nigaṇṭha telah diputuskan, dipatahkan, dan dihancurkan oleh Sang Bhagavā, dan sekarang ia tidak mampu berada di dekat Sang Bhagavā lagi untuk berdebat.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukha, tunggu! Kami tidak berbicara denganmu, di sini kami sedang berbicara dengan Guru Gotama.”

[Kemudian ia berkata:] “Biarlah pembicaraan kita, Guru Gotama. Seperti halnya para petapa dan brahmana biasa, hanya sekadar obrolan santai, aku pikir. Tetapi bagaimanakah seorang siswa Petapa Gotama menjadi seorang yang melaksanakan instruksi Beliau, yang menanggapi nasihat Beliau, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswaKu melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ [235] Segala jenis perasaan apapun ... Segala jenis persepsi apapun ... Segala jenis bentukan-bentukan apapun ... Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswaKu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang siswaKu menjadi seorang yang melaksanakan instruksiKu, yang menanggapi nasihatKu, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

« Last Edit: 01 May 2012, 03:17:09 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #43 on: 24 July 2010, 01:43:44 PM »
25. “Guru Gotama, Bagaimanakah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu telah melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Segala jenis perasaan apapun ... Segala jenis persepsi apapun ... Segala jenis bentukan-bentukan apapun ... Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu telah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.

26. “Ketika pikiran seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui: penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui.  Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia masih menghormati, menghargai, dan memuliakan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai pencerahan. Sang Bhagavā telah jinak dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menjinakkan diri sendiri. Sang Bhagavā dalam kondisi damai dan Beliau mengajarkan Dhamma demi kedamaian. Sang Bhagavā telah menyeberang dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menyeberang. Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai Nibbāna.’”

27. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha [236] menjawab: “Guru Gotama, kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan. Seseorang dapat menyerang seekor gajah gila dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang kobaran api yang menyala-nyala dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang seekor ular berbisa yang mengerikan dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan.

“Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menyetujui untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

28. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, para Licchavi. Petapa gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apapun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”

29. Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara berupa nasi susu sebagai persembahan makanan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

30. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubahnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putera Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putera Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Saccaka putera Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, semoga jasa dan buah kebajikan dari persembahan ini adalah demi kebahagiaan si pemberi.”

“Aggivessana, apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkau – seorang yang belum terbebas dari nafsu, belum terbebas dari kebencian, belum terbebas dari kebodohan – [237] itu adalah untuk si pemberi. Dan apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Aku – seorang yang telah terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari kebodohan – itu adalah untuk engkau.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:17:40 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #44 on: 24 July 2010, 01:45:08 PM »
36  Mahāsaccaka Sutta
Khotbah Panjang kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, di pagi hari, Sang Bhagavā telah merapikan jubah dan telah mengambil mangkuk dan jubah luarnya, hendak memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.

3. Kemudian, ketika Saccaka putera Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah-raga, ia tiba di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar.  Dari jauh Yang Mulia Ānanda melihat kedatangannya dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Saccaka putera Nigaṇṭha, seorang pendebat dan pembicara yang cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, sedang datang ke sini. Ia ingin mendiskreditkan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Baik sekali jika Bhagavā sudi duduk sebentar demi belas kasihan.”  Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan jasmani, tetapi bukan pengembangan batin.  Mereka tersentuh oleh perasaan sakit jasmani. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit jasmani, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya batin tunduk pada jasmani, jasmani menguasai batin. Mengapakah? [238] Karena batin tidak dikembangkan. Tetapi terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani. Mereka tersentuh oleh perasaan sakit batin. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit batin, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya jasmani tunduk pada batin, batin menguasai jasmani. Mengapakah? Karena jasmani tidak dikembangkan. Guru Gotama, aku berpikir: ‘Para siswa Guru Gotama pasti berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani.’”

5. “Tetapi, Aggivessana, apakah yang telah engkau pelajari tentang pengembangan jasmani?”

“Ada, misalnya, Nanda Vaccha, Kisa Sankicca, Makkhali Gosāla.  Mereka bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; mereka tidak menerima makanan yang diserahkan atau tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; mereka tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.”

6. “Tetapi apakah mereka bertahan hidup dengan sedemikian sedikit, Aggivessana?”

“Tidak, Guru Gotama, kadang-kadang mereka memakan makanan padat yang baik, memakan makanan lunak yang baik, mengecap makanan-makanan lezat, meminum minuman-minuman yang baik. Karenanya mereka memperoleh kembali kesehatan mereka, memperkuat mereka, dan menjadi gemuk.”

“Apa yang mereka tinggalkan sebelumnya, Aggivessana, belakangan mereka kumpulkan lagi. Itu adalah bagaimana terdapat peningkatan dan penurunan dalam jasmani ini. Tetapi apakah engkau sudah mempelajari tentang pengembangan batin?” [239]

Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha ditanya oleh Sang Bhagavā tentang pengembangan batin, ia tidak mampu menjawab.

7. Kemudian Sang Bhagavā memberitahunya: “Apa yang baru saja engkau katakan sebagai pengembangan jasmani, Aggivessana, bukanlah pengembangan jasmani menurut Dhamma dalam Disiplin Yang Mulia. Karena engkau tidak mengetahui apakah pengembangan jasmani itu, bagaimana mungkin engkau mengetahui apakah pengembangan batin itu? Meskipun demikian, sehubungan dengan bagaimana seseorang tidak yang terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” Saccaka putera Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Bagaimanakah, Aggivessna, seorang yang tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang biasa yang tidak terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia menginginkan kesenangan itu dan terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang, demikianlah yang disebut tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin.

9. “Dan bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang siswa mulia yang terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia tidak menginginkan kesenangan itu atau tidak terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya  terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul [240] tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya terkembang, demikianlah yang disebut terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.”

10. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.’”

“Aggivessana, kata-katamu menyindir dan kasar, namun Aku akan tetap menjawabnya. Sejak Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah mungkin perasaan menyenangkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana atau perasaan menyakitkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana.”

11. “Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyenangkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? “

12. “Mengapa tidak, Aggivessana?  Di sini, Aggivessana, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang tidak tercerahkan, Aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi menjalani kehidupan rumah tangga, juga menjalankan kehidupan suci yang sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

13-16. “Kemudian, selagi masih mudah, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan ... (seperti pada Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

17. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di dalam air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di dalam air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, [241] dan terletak di dalam air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan pertama yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

18. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke dua muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, bahkan walaupun kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria,  tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke dua yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.

19. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke tiga muncul padaKu [242] secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu kering terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu kering yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Dapat, Guru Gotama. Mengapa? Karena kayu itu adalah kayu kering, dan kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi.  Ini adalah perumpamaan ke tiga yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ini adalah tiga perumpamaan yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

20.  “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika, dengan mengertakkan gigiku dan menekan lidahku ke langit-langit mulutku, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.’ Maka dengan gigiku dikertakkan dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Sewaktu aku melakukan demikian, keringat menetes dari ketiakKu. Bagaikan seorang kuat mampu mencengkeram seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahunya dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula, gigiku terkatup dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, dan keringat menetes dari ketiakKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan [243] dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

21. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui hidup dan telingaKu, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

22. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat memecahkan kepalaKu dengan pedang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Angin kencang menembus kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

23. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat [244] mengencangkan tali kulit di kepalaku sebagai ikat kepala, demikian pula, ketika Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

24. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

25. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memanggangnya di atas lubang membara, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:18:37 PM by ryu »

 

anything