V I R A T T I
( Sumber :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,418.0.html )
Sampatti Viratti ( Pantangan seketika ) :
Pantangan mendadak, tanpa suatu rencana yang telah dibuat terlebih dahulu.
Samapatti viratti adalah pantangan untuk melanggar Pancasila meskipun mempunyai banyak kesmepatan untuk melakukannya.
Hal demikian dapat terjadi karena seseorang mempunyai anggapan bahwa perbuatan tersebut tidak pantas bagi seseorang dengan kelahiran, pangkat atau kedudukan seperti dirinya. Walaupun kelihatannya tidak begitu mantap, jenis pantangan ini cukup baik daripada melalaikannya – melanggar sila.
Samadana viratti ( pantangan karena janji ) :
Pantangan yang di rencanakan terlebih dahulu, biasanya di awali dengan suatu janji keagamaan.
Pantangan jenis ini dapat dilakukan dengan melalui :
1. Pentahbisan, contoh : Samanera/samaneri, Bhikkhu/Bhikkhuni
2. Pengambilan keputusan/bertekad, baik di hadapan orang lain maupun pada diri sendiri, baik untuk jangka waktu tertentu saja maupun untuk selamanya
Samuccheda Viratti :
Pantangan secara mutlak, yang di pertahankan tanpa syarat dan setiap saat.
Samuccheda Viratti adalah pantangan melalui penghancuran semua sebab yg akan membawa pada pelanggaran sila.
Pantangan secara mutlak ini hanya dimiliki oleh seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna, seperti para Arahat & Buddha.
KEMURNIAN BUKAN DARI MAKANAN-VEGETARIAN, TAPI DARI PRAKTIK MORALITAS (SILA)
Dalam “Amagandha-Sutta” [ Sutta-Nipata, Bab II : Bab Minor ; Sutta ke-2 ], terdapat dialog antara Buddha Kassapa dengan Petapa-Tissa. Petapa-Tissa mengkritik Buddha-Kassapa yang tidak mempraktikkan vegetarianisme dan memakan makanan jenis apapun ( baik sayuran maupun daging-dagingan ) yang disediakan oleh para ummat-awam dan karena itu menurut petapa Tissa, Buddha Kasapa memakan bau-busuk, setelah sebelumnya ia memuji praktek vegetarianisme yang akan membuat seseorang tidak berbohong karena kesenangan indera.
Buddha Kassapa kemudian menjelaskan, bahwa “bau-busuk” bukan berasal dari makanan ( daging-dagingan ) , tetapi berasal dari perbuatan yang tidak bermoral. Lebih jauh, Buddha Kassapa juga menyatakan, bahwa praktik ritual keagamaan seperti upacara kurban binatang, puasa musiman, dan lain-lain, hanyalah bermanfaat bagi orang-orang yang belum mengatasi keragu-raguannya. Berikut ini adalah kisah selengkapnya :
Petapa-Tissa berkata kepada Buddha Kassapa :
1. Orang bajik yang makan padi-padian, buncis dan kacang-kacangan, dedaunan dan akar-akaran yang dapat dimakan, serta buah dari tanaman rambat apa pun yang diperoleh dengan benar, tidak akan berbohong karena kesenangan indera.
2. O, Kassapa, engkau makan makanan apa pun yang diberikan orang lain, yang disiapkan dengan baik, diatur dengan indah, bersih dan menarik; dia yang menikmati makanan seperti itu, yang terbuat dari nasi, berarti makan [daging yang membusuk, yang mengeluarkan]bau busuk.
3. O, Brahmana, walaupun engkau mengatakan bahwa serangan bau busuk itu tidak berlaku bagimu sementara kamu makan nasi dengan unggas yang disiapkan dengan baik, tetapi aku bertanya padamu apa arti ini : “Seperti apa yang Kau sebut bau busuk itu?”
Buddha Kassapa [menjawab] :
1. Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
2. Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
3. Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apa pun kepada siapa pun, inilah bau busuk. Bukan makan daging.
4. Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral ; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
5. Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang didunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
6. Mereka yang didunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
7. Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
8. Menjauhkan diri dari ikan dan daging, bugil, mencukur kepala, berambut gembel, melumuri diri dengan abu, memakai kulit rusa yang kasar, menjaga api kurban; tak satu pun dari berbagai penebusan dosa di dunia yang dilakukan untuk tujuan yang tidak sehat – termasuk jampi-jampi, persembahan keagamaan, pemberian korban maupun puasa musiman—akan menyucikan seseorang yang belum mengatasi keragu-raguannya [ terhadap Buddha-Dhamma-Sangha].
9. Dia yang hidup dengan indera yang terjaga dan terkendali, serta telah mantap di dalam Dhamma, akan bergembira dengan kehidupan yang lurus dan lemah-lembut; yang sudah melampaui kemelekatan dan mengatasi kesengsaraan; orang bijaksana itu tidak melekat pada apa yang dilihat dan didengar.
Demikianlah Buddha Kassapa mengkhotbahkan hal ini berulang-ulang. Petapa yang pandai dalam syair-syair (Veda) itu memahaminya. Orang suci yang telah terbebas dari kekotoran batin, tidak melekat dan sulit diikuti, menyampaikan (khotbah) ini dalam bait-bait yang indah.
Maka, setelah mendengarkan kata-kata indah yang mengakhiri semua penderitaan, yang diucapkan oleh Sang Buddha yang telah terbebas dari kekotoran batin, dia (petapa-Tissa) memuja Sang Tathagata dengan segala kerendahan hati dan memohon untuk diterima masuk ke dalam Sangha di tempat itu juga.
MANUSIA SAMPAH
Dalam “Vasala-Sutta” [ Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; Suta ke-7 ] terdapat sebuah kisah menarik ketika Sang Buddha masih hidup. Pada saat itu, Sang Buddha berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta di vihara Anathapindika. Ketika hari menjelang siang, setelah mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, Sang Buddha pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Pada waktu itu, di rumah Brahmana pemuja-api yang bernama Aggika-Bharadvaja, api dinyalakan dan benda-benda untuk kurban telah disiapkan.
Kemudian Sang Buddha, yang berjalan dari rumah ke rumah, sampai ke tempat tinggal Brahmana itu. Melihat Sang Buddha mendekat, dia berteriak : “Berhentilah di situ, hai petapa Gundul! Berhentilah disitu, hai petapa. Berhentilah disitu, hai manusia sampah!”
Sang Buddha [dengan tenang menjawab] : “O, Brahmana, dapatkah engkau mengenali manusia sampah ? Dapatkah engkau mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah ? “
“ Memang tidak, O Tuan Gotama, saya tidak dapat mengenali manusia sampah, dan saya tidak mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah. Karena itu, Tuan Gotama, akan amat bagus bila engkaui menjelaskan padaku mengenai hal ini.”
Sang Buddha [meneruskan] : “Baiklah, wahai Brahmana, dengarkan baik-baik dan camkanlah kata-kata-Ku ini :
1. Siapapun yang marah, yang memiliki niat-buruk, yang berpikiran jahat dan iri hati; yang berpandangan-salah, yang penuh tipu muslihat, dialah yang disebut sampah.”
2. Siapapun yang menghancurkan kehidupan, baik burung atau binatang, serangga atau ikan, yang tidak memiliki kasih sayang terhadap kehidupan, dialah yang disebut manusia sampah.
3. Siapapun yang merusak atau agressif (suka-menyerang) di kota dan di desa dan dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam, dialah yang disebut manusia sampah.
4. Siapapun yang mencuri apa yang dianggap milik orang lain, baik yang ada di desa atau hutan, dialah yang disebut manusia sampah.
5. Siapapun yang setelah berhutang lalu menyangkal ketika ditaguh, dan menjawab pedas : “Aku tidak berhutang padamu!” , dialah yang disebut manusia sampah.
6. Siapapun yang berkeinginan mencuri walaupun benda tidak berharga, lalu mengambil barang itu setelah membunuh orang dijalan, dialah yang disebut manusia sampah.
7. Siapapun yang memberikan sumpah palsu untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk mendapat keuntungan, dialah yang disebut manusia sampah.
8. Siapapun yang mempunyai hubungan gelap dengan istri famili atau temannya, baik dengan paksaan atau karena suka sama suka, dialah yang disebut manusia sampah.
9. Siapapun yang tidak menyokong ayah-ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan, dialah yang disebut manusia sampah.
10. Siapapun yang menyerang atau mencaci-maki ayah, ibu, saudara kandung, atau ibu-mertua, dialah yang disebut manusia sampah.
11. Siapapun yang dimintai nasehat yang baik tetapi malah mengajarkan apa yang menyesatkan atau berbicara dengan tidak jelas, dialah yang disebut manusia sampah.
12. Siapapun yang munafik, yang setelah melakukan pelanggaran kemudian ingin menyembunyikan dari orang-orang lain, dialah yang disebut manusia sampah.
13. Siapapun yang setelah berkunjung kerumah orang lain dan menerima keramah-tamahan disana, tidak membalasnya dengan sikap serupa, dialah yang disebut manusia sampah.
14. Siapapun yang menipu petapa, bhikkhu atau guru spiritual lain, dialah yang disebut manusia sampah.
15. Siapapun yang mencaci-maki dan tidak melayani petapa atau Bhikkhu yang datang untuk makan, dialah yang disebut manusia sampah.
16. Siapapun, yang karena terperangkap di dalam kebodohan, memberikan ramalan yang tidak benar demi keuntungan yang sebenarnya tidak berharga, dialah yang disebut manusia sampah.
17. Siapapun yang meninggikan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain, pongah dalam kesombongannya, dialah yang disebut manusia sampah.
18. Siapapun yang suka memicu pertengkaran, yang kikir, memiliki keinginan-keinginan jahat, iri hati, tidak tahu malu dan tidak menyesal kalau melakukan kejahatan, dialah yang disebut manusia sampah.
19. Siapapun yang menghina Sang Buddha atau siswa-siswa-Nya, baik yang telah meninggalkan keduniawian maupun perumah-tangga biasa, dialah yang disebut manusia sampah.
20. Siapapun yang berpura-pura Arahat padahal sebenarnya bukan, dia benar-benar penipu hina terbesar di dunia ini, sampah terendah dari semuanya. Demikian telah Kujelaskan siapa yang merupakan sampah.
21. Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi Brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi Brahmana.
Demikianlah, saudara-saudari, uraian mengenai praktik latihan moralitas (Sila ) sebagai langkah awal dalam mempraktikkan kehidupan suci. Marilah, kita memperteguh diri kita masing-masing dalam praktik “Tiga-Serangkai-Latihan” : SILA –> SAMADHI –> PANNA , hingga berhasil merealisasi pencerahan dan pembebasan-sempurna dari samsara.
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”
( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing )
RATANA-KUMARO
Semarang-Barat,Minggu, 30 Agustus 2009
______________________________________
Sumber Pustaka :
1. Bhadantacariya Buddhaghosa, Visuddhi-Magga ; terjemahan dari bahasa Pali oleh Nanamoli.
2. Sutta-Nipata ; terjemahan dari bahasa Pali oleh H.Saddhatissa
3. Majjhima Nikaya ; terjemahan Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi
4. Diggha-Nikaya ; Dhammacitta.press 2009
5. Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian & Pengertian Langsung ; Yayasan Penerbit Karaniya Juli 2003.
6. Dhammavuddho Maha Thera, Bhikkhu , Message of The Buddha ; cetakan pertama Maret 2008
7. Ronald Satya Surya, Lima Aturan Moralitas Buddhis ; Insight Vidyasena Production 2009