//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: PANCASILA DAN ATTHANGASILA  (Read 12293 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« on: 15 June 2010, 12:28:26 AM »
“Ia yang memiliki Sila yang kuat dan mantap, memiliki kebijaksanaan dan konsentrasi, serta bersemangat dan rajin, akan dapat menyeberangi arus yang sukar diseberangi.” ( Samyutta Nikaya i.53 )

“Dengan perbuatan, pengertian, dan kebajikan, dengan Sila serta hidup suci – Dengan cara inilah orang-orang menjadi suci, dan bukan karena keturunan dan harta kekayaan” ( Majjhima Nikaya iii.262 )

“Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi Brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi Brahmana.”

( Vasala-Sutta ( Khotbah tentang “Manusia-Sampah (Spiritual)” ; Sutta-Nipata, Sutta ke-7 )

___________________________________________________________

“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa“

( tikkhattum (3X) )

Namatthu Buddhassa,

Dhamma indah pada permulaan, pada pertengahan, dan indah pada pengakhirannya ; demikian seringkali dinyatakan. Apa yang indah pada permulaan adalah moralitas ( Sila );  apa yang indah pada pertengahan adalah ketenangan ( samatha ) dan pandangan-terang ( vipassana ) serta Jalan ( Magga ) ; dan apa yang indah pada pengakhirannya adalah Buah ( Phala ) serta Nibbana .

Dalam Visuddhi-Magga karya Bhadantacariya Buddhaghosa disebutkan ada sembilan (9) manfaat dan kegunaan dari SILA :

   1. Serangkai “Tiga-Latihan”, Sila menunjang Samadhi ; dan Samadhi yang ditunjang Sila, akan menghasilkan akhir yang indah : Panna ( Kebijaksanaan Penembusan ).
   2. Disebutkan bahwa Sila menunjukkan manfaat awal dari Dhamma. Ada disebutkan ; “Dan apakah awal dari hal-hal yang bermanfaat ? Sila yang benar-benar murni” (Samyutta Nikaya v.143 ), “Tidak melakukan kejahatan” (Dhammapada 183 ) adalah Sila yang merupakan awal dari Ajaran. Dan itu adalah baik, sebab ia menghasilkan kualitas istimewa, yakni ketidak menyesalan ( Seseorang yang ber-Sila tidak akan menyesal ).
   3. Syarat-syarat yang diperlukan untuk tiga macam pengetahuan-batin (tevijja) ditunjukkan oleh Sila ; Karena ditunjang oleh Sila yang sempurna, seseorang mencapai tiga macam pengetahuan-batin ( Tevijjo ; 1). Pubbenivasanussati-nana : mengetahui kehidupan-kehidupannya yang lampau (tumimbal-lahir) , 2). Cutupapata-nana : mengetahui tumimbal lahir dari semua makhluk hidup, darimana sebelum dilahirkan dan akan terlahir kemana setelah kematiannya, 3). Asavakhaya-nana : mengetahui jalan melenyapkan nafsu kekotoran batin ) .
   4. Sila juga bermanfaat untuk penghindaran terhadap ekstrem pemuasan nafsu-nafsu keinginan.
   5. Demikian pula cara-cara untuk mengatasi keadaan yang merugikan ditunjukkan dengan Sila.
   6. Penglepasan kekotoran batin, dengan menggantikannya dengan sifat-sifat yang berlawanan dari kekotoran batin ditunjukkan dengan Sila.
   7. Pencegahan terhadap pelanggaran yang disebabkan oleh kekotoran batin, ditunjukkan dengan Sila.
   8. Pembersihan dari kekotoran tingkah-laku ditunjukkan dengan Sila.
   9. Demikian pula, syarat-syarat untuk tercapainya tingkat “Pemasuk-Arus” ( Sotapatti ) dan tingkat “Yang-Kembali-Sekali-Lagi” ( Sakadagami ) ditunjukkan dengan Sila.  Seorang “Pemasuk-Arus” ( Sotapanna ) disebut sebagai yang “Telah Sempurna dalam Sila”, demikian pula dengan “Yang-Kembali-Sekali-Lagi” ( Sakadagami ).  Tetapi bagi “Yang-Tidak-Kembali-Lagi” ( Anagami ) disebut “Telah Sempurna dalam Konsentrasi” ; dan Arahat disebut “Telah Sempurna dalam Kebijaksanaan”.

Ajaran Buddha adalah ajaran tentang pengakhiran penderitaan samsara melalui sebuah “Jalan” yang indah pada permulaan, pertengahan, dan pengakhirannya sebagaimana tersebut diatas.  Inilah “Tiga-Rangkaian-Latihan” : SILA -> SAMADHI -> PANNA. Dan pada kesempatan ini, kita akan membahas mengenai “SILA” , atau praktik latihan pemurnian-moralitas , yang merupakan awal dari sebuah kehidupan-suci.

PRAKTIK LATIHAN MORALITAS ( SILA ) DALAM SEJARAH BUDDHIS

Ajaran tentang praktik Sila ini diucapkan oleh Sang Buddha, pertama kalinya ketika Sang Buddha membabarkan Empat-Kesunyataan-Mulia pada kelima petapa :   Assaji, Vappa, Bhadiya, Kondanna dan Mahanama. Khotbah ini adalah khotbah pertama Sang Buddha setelah mencapai pencerahan-sempurna, dan khotbah ini kemudian dikenal sebagai “Dhammacakkapavatthana-Sutta”. Dalam Khotbah inilah Sang Buddha menyebutkan adanya Jalan untuk menuju berakhirnya Dukkha, ialah “Ariya-Atthangika-Magga” ( Jalan Ariya Beruas Delapan ), yang didalamnya terdapat ruas-ruas : Ucapan-Benar (Samma-Vaca), Perbuatan-Benar (Samma-Kamanta), Mata-Pencaharian-Benar (Samma-Ajiva) yang menunjuk pada “SILA”.

Meskipun demikian, sesungguhnya praktik “Sila” ini sudah dikenal sejak jaman para Buddha yang terdahulu, sebelum Sang Buddha Gotama. Di dalam Jataka ( kisah-kisah kehidupan lampau Siddhatta Gotama ) banyak sekali disebutkan kisah mengenai praktik “PANCASILA” ( Lima Aturan Moralitas )  dan “ATTHANGASILA” ( Delapan Aturan Moralitas ) pada saat hari Uposattha ; yang keduanya (Pancasila dan Atthangasila) ditujukan untuk dilatih oleh ummat awam. Sehingga, setidaknya praktik “PANCASILA” dan “ATTHANGASILA” ini telah dikenal dalam dunia Buddhis sejak empat (4) Asankkheyya-Kappa + seratus ribu ( 100.000 ) Kappa yang lampau  ( Sejak masa Buddha Dipankara, Buddha yang pertama kali yang tercatat  dalam khasanah Buddhisme ); dalam masa yang sangat jauh / lama sekali sebelum Siddhatta-Gotama terlahir kembali sebagai manusia sebagai Pangeran Kapilavatthu dan kemudian merealisasi ke-Buddha-an. Hal ini adalah wajar, sebab memang ajaran semua Buddha adalah sama, tiada beda.

Dalam “Jalan Ariya Beruas Delapan” ( Ariya Atthangika Magga ), “SILA” ini merupakan ruas dari : Ucapan-Benar (Samma-Vaca), Perbuatan-Benar (Samma-Kamanta), Mata-Pencaharian-Benar (Samma-Ajiva) . Dalam Cullavedala-Sutta dinyatakan :

-          Ucapan Benar (Samma-Vaca) yang manapun, Perbuatan Benar ( Samma-Kamanta) yang manapun, dan Mata Pencaharian Benar ( Samma-Ajiva ) yang manapun, kesemuanya disusun dalam kelompok Aturan Moralitas (Sila ).

-          Usaha Benar ( Samma- Vayama ) yang manapun, Perhatian Benar ( Samma-Sati ) yang manapun, dan Konsentrasi ( Samma-Samadhi ) yang manapun, kesemuanya disusun dalam kelompok Semedi ( Samadhi ).

-          Pengertian Benar (Samma-Ditthi ) yang manapun dan Pikiran Benar ( Samma-Sankappa ) yang manapun, kesemuanya disusun dalam kelompok Kebijaksanaan ( Panna ).

Dalam Visuddhi-Magga, Acariya Buddhaghosa menerangkan “Tujuh-Tingkat-Pemurnian” ( Satta-Visuddhi ). Sejalan dengan pencapaian masing-masing tingkat ini, berbagai pengetahuan pandangan-cerah / insight ( Nyana ) akan berkembang, menuju tingkat Pembebasan / Kesucian Tertinggi.  Tahap pemurnian yang pertama adalah “Pemurnian-Perilaku” atau “Pemurnian-Moralitas” ( Sila-Visuddhi ).

Lebih lanjut Acariya Buddhaghosa mendeskripsikan “Aturan-Moralitas-Buddhis” sebagai berikut :

-          Menunjukkan sikap batin atau kehendak.

-          Menunjukkan penghindaran  yang merupakan unsur batin.

-          Menunjukkan pengendalian diri.

-          Menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan.

MANFAAT DARI PRAKTIK “SILA”

Mengapa “SILA” ini merupakan awal dari tiga-rangkaian-latihan ( Sila -> Samadhi -> Panna ) ? Karena, Sila ini bermanfaat memberikan “Ketiadaan-Rasa-Sesal”. Dengan begitu, batin menjadi tenang, damai, karena terkondisikan dalam perbuatan-perbuatan yang bajik, benar, lurus, dan oleh karenanya tiada lagi penyesalan atas tindakan-tindakan salah ( sebab telah dihindari / tidak dilakukan ).

Praktik “SILA” juga merupakan cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik atau merupakan usaha untuk membebaskan diri dari lobha (keserakahan/nafsu-indriya), dosa (kemarahan/kebencian), moha (kebodohan-batin).

Dalam Mahaparinibbana-Sutta ( Diggha-Nikaya ) , Sang Buddha bersabda pada ummat perumah-tangga mengenai manfaat yang akan diperoleh dari dilaksanakannya praktik latihan moralitas ( Sila ) :

-          Menyebabkan seseorang memiliki harta kekayaan yang melimpah.

-          Mendatangkan nama baik.

-          Menimbulkan rasa percaya diri dalam lingkungan pergaulan dengan golongan sosial manapun.

-          Menyebabkan kelahiran-kembali ke alam-alam surga.

DASAR TIMBULNYA PRAKTIK “SILA”

Munculnya “SILA” ini didasari adanya :

-          Hiri : Rasa malu untuk berbuat jahat.

-          Otappa : Rasa takut akan akibat perbuatan jahat.

Hiri dan Ottapa ini disebut sebagai “pelindung-dunia” ( Lokapaladhamma ). Tanpa adanya “Hiri” dan “Otappa” , maka dunia ini akan dicengkeram kejahatan, para makhluk menjadi “tidak-aman” untuk berdiam dalam bumi ini ; karena manusia akan bertindak tanpa merenungkan konsekuensi dari tindakannya. “Hiri” dan “Otappa” ini pula yang akan digunakan oleh seseorang untuk melindungi praktik Sila-nya.

PRAKTIK PENSUCIAN-SILA : AKAR KEHIDUPAN SUCI

Matara Sri Nanarama Mahathera, dalam bukunya “Tujuh Tingkat Kesucian & Pengertian Langsung” (Yayasan Penerbit Karaniya, Juli 2003 ) menyatakan, yang paling pertama dan paling mendasar dari kehidupan meditasi adalah “Kesucian-Sila” yang terdiri dari pengertian dan mempertahankan pengendalian, yaitu :

   1. Mematuhi janji pelaksanaan Sila yang telah diucapkan dan melindunginya seperti melindungi kehidupannya sendiri.
   2. Menjaga enam pintu indera dan tidak membiarkan timbulnya noda.
   3. Mempertahankan kehidupan yang benar.
   4. Menggunakan keperluan hidup dengan bijaksana.

Seorang yogi yang hidup menuruti keempat cara pengendalian tersebut akan memperoleh ketidakterikatan terhadap sesuatu atau pun penolakan terhadap sesuatu. Dengan demikian yogi tersebut memiliki kehidupan yang “Terang”, ringan jasmani dan puas dalam batin, bebas dari beban kepemilikian apa pun juga di dunia ini.

Setiap siswa Sang Buddha hendaknya memiliki Sila yang baku yang ditujukan pada realisasi Nibbana. Bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang diberikan dalam dua disiplin moral sesuai dengan tanggung jawab mereka dalam Patimokkha. Samanera dan Samaneri harus memperhatikan “DASASILA” sebagai standar Sila mereka.

Sedangkan bagi para upasaka dan upasika hendaknya memegang teguh PANCASILA sebagai standar Sila mereka dalam kehidupan sehari-hari ; dan ATTHANGASILA ( Delapan Sila ) dianjurkan sebagai Sila khusus untuk hari-hari Uposatha.

Seorang Upasaka / sika yang tertarik untuk lebih memperdalam spiritualitas dan semakin dalam melepaskan kemelekatan-kemelekatan, dapat menjadi seorang ANAGARIKA / ANAGARINI yang memegang teguh praktik ATTHANGASILA ( Delapan Sila ), atau pun juga mempraktekkan DASASILA dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupannya bermasyarakat.

Lebih lanjut, Matara Sri Nanarama Mahathera, dalam bukunya “Tujuh Tingkat Kesucian & Pengertian Langsung” (Yayasan Penerbit Karaniya, Juli 2003 ) menyatakan, untuk mencapai Jalan Suci ( Magga ) dan Buahnya ( Phala ), baik Bhikkhu maupun ummat awam keduanya harus mengembangkan Sila pengendalian indera. Sila pengendalian indera ini adalah menjaga dengan penuh perhatian keenam pintu indera : mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran. Dengan penuh kesadaran ia harus mencegah munculnya noda-noda yang dicetuskan dari kesan-kesan indera – semua bentuk keinginan – keruwetan yang kecil maupun yang besar, atau pun juga kesombongan yang sangat halus, yang berakar pada “kepalsuan-diri” , dan kebodohan. “Kepalsuan-diri” ( Atta ) adalah sesuatu yang sangat sukar dipahami. Tetapi dengan penuh kesadaran, seseorang mencatat dalam batin setiap objek yang “muncul” pada keenam indera, maka orang tersebut akan dapat membembaskan diri dari “kepalsuan-diri” ( atta ). Ketidaktahuan mengenai yang seharusnya diketahui adalah sama dengan pengertian yang salah mengenai diri ( atta ).

Bila gagal untuk mencatat dalam batin atas timbulnya suatu perasaan yang menyenangkan maka hal itu akan memberi kesempatan bagi keserakahan ( lobha ) untuk muncul. Kegagalan mencatat dalam batin terhadap perasaan yang tidak menyenangkan dapat menjadi kesempatan bagi timbulnya kebencian (dosa), sedangkan kegagalan mencatat dalam batin terhadap perasaan yang bukan-menyenangkan-maupun-bukan-tidak-menyenangkan memberikan kesempatan bagi kepalsuan, pengertian yang salah, atau pun kebodohan untuk muncul. Karena itu latihan untuk mencatat dalam batin terhadap setiap objek yang muncul pada keenam indera akan sangat menolong dalam mengusir kecenderungan terhadap kebodohan yang sudah ada secara laten.

Sang Buddha bersabda, “ Dalam hal perasaan yang menyenangkan, Visakha, kecenderungan laten dari kemelekatan (lobha) harus dihancurkan. Dalam hal perasaan yang menyakitkan, kecenderungan laten dari kebencian (dosa) harus dihancurkan. Dalam hal perasaan yang bukan-menyenangkan-maupun-tidak-menyenangkan, kecenderungan laten dari kebodohan (moha) harus dihancurkan.” ( M.I 303 ; Culavedalla Sutta ).
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« Reply #1 on: 15 June 2010, 12:29:15 AM »
I. PANCASILA

Dibawah ini adalah kelima Sila dari Pancasila yang telah dijalankan oleh ummat Buddha setidaknya sejak jaman Sang Buddha Gotama ( kurang lebih 600 tahun sebelum Masehi ) :

1. Pāņatipātā veramaņī sikkhāpadam samadiyami

( Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup )

2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami

( Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan )

3. Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami

( Aku bertekad meatih diri menghindari perbuatan asusila, tindakan sexual yang tidak benar )

4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami

( Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan tidak-benar / dusta )

5. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami

( Aku bertekad melatih diri menghindari meminum minuman keras, mengkonsumsi barang madat hasil peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran )

Dalam pelaksanaan latihan moralitas / Sila tidak ada unsur paksaan, karena itulah semua Sila tersebut senantiasa diawali dengan kalimat “ Aku bertekad melatih diri…dst.”. Aturan moralitas ini bukanlah “Perintah-Tuhan” ; namun sebuah praktik yang didasari atas kesadaran dan kehendak baik yang telah timbul di dalam diri seorang siswa Sang Buddha. Dengan didasari kesadaran dan kehendak baik inilah, maka pelaksanaan Sila ini diliputi dengan kebijaksanaan, dan seorang siswa Sang Buddha yang telah menyadari pentingnya praktek latihan Sila ini, tidak akan melanggar latihan ini, sebab mengetahui bahwa setiap bentuk pelanggaran atas masing-masing Sila ini memiliki akibat / konsekuensi bagi dirinya sendiri berupa vipaka ( buah-karma ).

1. SILA PERTAMA PANCASILA BUDDHIST

“Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami”. Kata “Panatipata” terdiri dari dua kata : Pana dan atipata. Kata “Pana” dalam bahasa Pali secara tegas berarti “kehidupan batin-jasmani mengenai keberadaan makhluk tertentu”, sedangkan “atipata” secara harafiah berarti “berakhir” atau “lepas dengan cepat”. Penghancuran secara kejam dari kekuatan kehidupan ini, tanpa mengijinkannya untuk bergerak sesuai dengan waktu hidupnya sendiri, itulah makna dari “Panatipata”.

“ Makhluk Hidup “ disini berarti termasuk dunia hewan, tetapi tanaman tidak termasuk karena mereka tidak mempunyai pikiran, perasaan, persepsi, dan kesadaran apapun ( “ jiwa “ ). Namun meskipun demikian, para Bhikkhu, diharuskan untuk tidak menghancurkan kehidupan tanam-tanaman sekalipun. Hukum ini tidak ditujukan untuk orang biasa yang hidup berumah-tangga.

Dasar dari Sila Pertama dari Pancasila Buddhis ini adalah praktik Kesempurnaan Cinta-Kasih ( Metta-Parami ) dan Kesempurnaan Kasih-Sayang ( Karuna-Parami ).

Sang Buddha pernah bersabda :

“Meletakkan senjata kekerasan, berhenti membunuh makhluk apa pun, berhenti menyebabkan orang lain membunuh makhluk apa pun ; inilah arti “Brahmana”.” (629) [Vasettha-Sutta ; Sutta-Nipata , Bab III : Bab-Besar, Sutta ke-9 ]

“Dia yang tidak menunjukkan kemarahan terhadap mereka yang marah, yang damai terhadap mereka yang menggunakan kekerasan, yang tidak tamak di antara mereka yang cenderung tamak, adalah orang yang kusebut Brahmana.” (630). [Vasettha-Sutta; Sutta-Nipata, Bab III : Bab-Besar, Sutta ke-9]

Lima keadaan dibawah ini diperlukan untuk terjadinya kejahatan membunuh :

   1. Makhluk hidup,
   2. Pengetahuan bahwa ia makhluk hidup,
   3. Kehendak untuk membunuh,
   4. Usaha untuk membunuh,
   5. Adanya kematian.

Ciri dari makhluk hidup yang dimaksudkan disini adalah :

   1. Memiliki pikiran dan atau kesadaran.
   2. Memerlukan makanan.
   3. Dapat bergerak.
   4. Dapat melakukan suatu kegiatan atau perbuatan.
   5. Terlihat oleh mata.

Objek dari pembunuhan makhluk hidup yang dimaksud dibedakan menjadi :

1.   Manusia
2.   Binatang

   1. Binatang yang berguna
   2. Binatang yang tidak berguna
   3. Binatang yang merugikan
   4. Binatang yang tidak merugikan

Faktor Kehendak (Cetana) yang berperan dalam pembunuhan tersebut dibedakan menjadi :

1.   Direncanakan/disengaja/dikehendaki . Contoh dari hal ini adalah pembunuhan berencana yang dilandasi kebencian / pembalasan dendam ( seperti misalnya yang dilakukan oleh gerombolan teroris, kawanan perampok, atau perorangan yang memendam kebencian/rasa dendam terhadap orang/kelompok orang lainnya ).

2.   Tidak di kehendaki

   1. Dorongan sesaat (mendadak) , misalnya kemarahan seorang ayah terhadap anaknya ketika si anak melakukan sesuatu hal yang membuat ayah tersebut naik-pitam dan tanpa disadari kemarahan ayahnya yang meledak itu akhirnya menyebabkan tewasnya si anak tersebut. Demikian sebaliknya ; dan juga berlaku untuk kasus-kasus serupa lainnya.
   2. Mempertahankan diri, misalnya suatu negara diserang oleh negara lainnya dalam peperangan. Tak bisa dihindari, maka tentara dan rakyat negara tersebut yang terlibat dalam upaya mempertahankan kedaulatan akan sangat mungkin melakukan pembunuhan terhadap pasukan negara asing yang menyerang.
   3. Kecelakaan, misalnya seorang pengendara motor yang  mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan seseorang yang diboncengkan olehnya meninggal dunia.

Faktor Usaha yang berperan dalam pembunuhan tersebut dibedakan menjadi :
1.   Secara Langsung, yaitu misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh orang tersebut dengan tangannya sendiri.
2.   Secara tidak Langsung, yaitu misalnya seseorang yang berniat membunuh orang lain dengan cara menyuruh atau menyewa orang yang lain lagi untuk melakukan pembunuhan tersebut atas nama si penyuruh dan atas persetujuan si penyuruh.

Secara luas, makna dari Sila I Pancasila Buddhis “Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami” ini mencakup tekad diri sendiri untuk menghindari penyiksaan dan atau penganiyayaan terhadap makhluk hidup seperti misalnya :

1.   Membiarkan manusia dan binatang kelaparan
2.   Mencambuk/memukul / menyakiti bagian tubuh manusia dan binatang
3.   Menganggu/mengusik manusia dan binatang yg tidak bersalah
4.   Mengadu manusia dan binatang untuk kesenangan
5.   Menjadikan binatang sebagai umpan untuk menangkap binatang lainnya

Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.

Buah karma buruk dari membunuh adalah :

   1. Umur pendek,
   2. Kesehatan yang buruk,
   3. Selalu berduka karena perpisahan dari mereka yang dicintai, dan,
   4. Selalu ketakutan.

Tindakan pembunuhan dan atau penganiayaan ini merupakan kelompok kamma yang disebut dengan “akusala-kaya-kamma” ; perbuatan buruk yang akan masak di alam keindriyaan (kamadhatu) yang dilakukan melalui tindakan jasmani.  Akusala-kaya-kamma ini dalam kategorisasi kamma termask dalam kategori “kamma berdasarkan kedudukannya” ( Pakatthanacatukka ).

Ada pula pembunuhan dan atau penganiyayaan yang berakibat sangat berat, yaitu yang termasuk dalam golongan “Garuka-Kamma” ( kamma yang berat/serius ), yaitu :


1). Membunuh ibu,

2). Membunuh ayah,

3). Membunuh Orang Suci, Yang Tercerahkan,

4). Melukai Seorang Buddha,

5).Menimbulkan perpecahan dalam persaudaraan para suci / Sangha.

Jika, seandainya seseorang mengembangkan Jhana dan kemudian melakukan salah satu dari kebengisan tersebut, kamma baiknya akan dihapuskan oleh kamma jahat yang sangat kuat itu. Kelahiran berikutnya akan terbentuk oleh kamma jahat walaupun sebelumnya ia sudah mencapai Jhana.

Garukakamma merupakan bentuk kejahatan yang paling berat. Janganlah melakukannya dalam keadaan apapun. Ini akan menghalangi seseorang mencapai Nirvana ( Anguttara Nikaya III,146 ).
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« Reply #2 on: 15 June 2010, 12:30:01 AM »
Kasus-Kasus tertentu yang tidak Melanggar Sila I Pancasila Buddhis

Ada beberapa kasus yang tidak dianggap melanggar Sila I Pancasila Buddhis.

1. Kasus Perebusan Air untuk diminum

Dalam kasus perebusan air untuk diminum, hal ini bagi ummat awam dianggap tidak melanggar Sila I Pancasila Buddhis. Sebab, bakteri yang terdapat dalam air tersebut tidak terlihat oleh mata manusia awam yang membutuhkan air untuk diminum tersebut ( ingat ciri-ciri makhluk hidup tersebut diatas, salah satunya “terlihat-oleh-mata” ). Namun, meskipun demikian, dianjurkan ( dan dipraktekkan bagi para Bhikkhu ), bahwa sebelum meminum air, maka air tersebut haruslah disaring terlebih dahulu dan dipastikan tidak ada makhluk hidup apapun juga yang terlihat oleh mata di dalam air tersebut sebelum meminum / merebusnya. Sehingga, bila ternyata setelah diteliti melalui uji laboratorium dan mikroskopik terdapat bakteri-bakteri disana, maka tetaplah tidak ada karma buruk yang akan berbuah. Ingat, bahwa faktor utama sesuatu tindakan dapat disebut sebagai “Kamma” adalah adanya niat/kehendak ( Cetana ) ; Sang Buddha pernah bersabda, “O, para Bhikkhu, Cetana itulah yang Aku sebut Kamma.”

2. Penggunaan obat-obatan untuk menyembuhkan orang sakit

Tidak terhindarkan, semua manusia pasti mengalami sakit-penyakit. Dalam hal ini, maka kita diperbolehkan menggunakan obat-obatan untuk menyembuhkan derita sakit jasmani yang kita alami, baik berupa obat luar, maupun berupa obat dalam. Sang Buddha sendiri, pernah suatu ketika mengalami sakit jasmani, kemudian mengijinkan tabib-Nya yang bernama Jivakakomarabhaca untuk menggunakan obat luar dan obat dalam dalam rangka membantu kesembuhan Sang Buddha.

Secara alamiah , banyak bakteri dan virus yang masuk kedalam tubuh manusia, dan tubuh manusia akan secara defensif membuat antibodi untuk melawannya. Sehingga, dalam hal ini, usaha-usaha yang dilakukan untuk mengobati tubuh manusia yang menderita akibat serangan bakteri/virus dianggap sama dengan reaksi alami tubuh manusia ketika membuat antibodi untuk melawannya. Lagipula, upaya mengkonsumsi obat untuk kesembuhan diri dilandasi niat untuk pemulihan dan kesehatan, bukan niat untuk melakukan “pembunuhan-massal”.

Kasus Bunuh Diri : Contoh Lain dari Pembunuhan Makhluk Hidup

Tindakan bunuh diri didasari oleh adanya kebodohan-batin (Moha).  Seseorang yang melakukan tindakan bunuh-diri tidak mengerti, bahwa tindakannya itu tidak mengakhiri masalah / penderitaan yang dialaminya, karena setelah tubuh fisiknya mati, ia akan melanjutkan kehidupannya (tumimbal-lahir) dalam bentuk dan alam yang lainnya lagi sesuai kamma-kamma-nya sendiri.

Berbeda dengan kasus pembunuhan yang dilakukan tanpa sengaja ( seperti misalnya ketika merebus air, berjalan menginjak semut atau binatang2 kecil lainnya, dan lain-lain ), maka kasus bunuh-diri ini jelas melanggar Sila I Pancasila Buddhis.

Penganiayaan dan Pembunuhan terhadap Hewan

Banyak orang beranggapan, bahwa melakukan penganiyayaan dan pembunuhan terhadap binatang tidaklah merupakan suatu bentuk kekejaman. Bahkan bagi orang-orang tertentu dengan suatu kepercayaan tertentu, melakukan pembunuhan massal terhadap beberapa jenis binatang sebagai bagian dari perangkat kepercayaannya. Bagi orang-orang ini, binatang “diciptakan” untuk dikuasai oleh manusia, dan diperlakukan sesuai kehendak manusia.

Namun dalam ajaran Buddha, manusia hendaknya tidak melakukan kekerasan, penganiyayaan dan atau pembunuhan terhadap makhluk-hidup apapun juga, termasuk binatang. Binatang, entah bagaimanapun manusia umumnya memandang, sesungguhnya memiliki “perasaan” sebagaimana manusia memilikinya. Binatangpun bisa berpikir hingga batas-batas tertentu. Binatang pun memiliki kesadaran sebagaimana manusia memilikinya. Binatang juga tidak rela jika hak hidupnya dirampas. Hewan-hewan yang akan disembelih, seringkali meneteskan air mata dengan menghiba. Karena memiliki pikiran, perasaan, pencerapan, dan kesadaran, maka binatang dalam Buddhisme dikelompokkan sebagai makhluk-hidup, dan penganiayayan serta pembunuhan terhadap binatang, akan mengakibatkan buah-kamma ( vipaka ) buruk di kemudian hari.

Penganiyayaan dan pembunuhan terhadap binatang, akan memiliki dampak psikologis bagi si pelaku penganiyayaan / pembunuhan. Dan, negara pun mempunyai hukum-hukum yang jelas berkaitan dengan penganiyayaan dan pembunuhan binatang tersebut.

Rekan saya pernah bercerita. Di negeri Belanda, bahkan mengangkut ayam menggunakan kendaraan pun harus dilakukan dengan penuh welas-asih : tidak boleh seenaknya, tidak boleh kepalanya terbalik / tergantung. Ayam yang diangkut dengan kendaraan harus didudukkan dengan benar, atau menggunakan kandang. Jika seseorang tertangkap mata membawa ayam dengan posisi seenaknya, ia akah dikenakan hukuman. Kata salah seorang teman saya dari negeri Belanda, hal ini didasari alasan bahwa ayam itu sudah menderita sebab hendak disembelih, sehingga seyogyanya ketika mengangkutnya dari peternakan ke tempat penyembelihan tidaklah dilakukan dengan kasar dan seenaknya, untuk menghargai arti sebuah kehidupan bagi ayam tersebut.

2. SILA KEDUA PANCASILA BUDDHIST

Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami. Kata “Adinnadana” dalam bahasa Pali berasal dari kata “A”, “Dinna”, dan “Adana”. Kata “A” berarti tidak. Kata “Dinna” berarti barang yang diberikan oleh pemiliknya. Dan, kata “Adana” bearti mengambil barang atau merampas.  Sehingga, makna dari “Adinnadana” adalah mengambil barang yang tidak diberikan ; atau dalam bahasa umumnya disebut dengan mencuri.

Lima ( 5 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan mencuri, yaitu :

i. Harta milik orang lain,

ii. Pengetahuan bahwa harta itu memang milik orang lain,

iii. Kehendak untuk mencuri,

iv. Usaha untuk mencuri,

v. Pemindahan yang sesungguhnya.

Buah karma buruk dari mencuri adalah :

   1. Kemiskinan,
   2. Penderitaan,
   3. Kekecewaan,
   4. Kehidupan yang bergantung pada pihak lain.

Objek dari tindak pencurian adalah :

   1. Segala harta benda milik orang lain
   2. Segala harta benda / fasilitas milik umum / masyarakat.

Pencurian, dibagi menjadi :

   1. Pencurian secara langsung a. Mencuri

Contoh-contoh dari tindakan mencuri sangat banyak. Seorang karyawan yang mengambil aktiva perusahaan dengan diam-diam dan tanpa seijin pemilik, kemudian untuk digunakan bagi kepentingan pribadinya, ini juga merupakan salah satu contoh tindakan mencuri. Perumah-tangga yang mengambil tambahan tegangan listrik dengan cara men-setting aliran listrik perumahan, ini juga merupakan contoh tindakan mencuri. Seorang maling yang masuk ke rumah orang dan mengambil barang-barang berharga milik pemilik rumah, juga merupakan contoh tindakan mencuri. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

b. Merampas / Merampok

Mengambil dengan paksa, dengan atau tanpa melukai pemilik harta-benda tersebut, ini disebut merampas dan atau / merampok. Bila pemilik harta-benda melawan, maka bisa terjadi kemungkinan perampas/perampok melukai pemilik harta-benda tersebut.

c. Memeras

Pungutan liar yang diambil oleh oknum-oknum pemerintah pada masyarakat, atau yang dilakukan oleh preman jalanan, atau juga yang dilakukan seorang penculik anak-anak terhadap orang tua dari anak-anak yang diculiknya, ini semua mreupakan contoh dari memeras.

d. Menipu

Pedagang yang mengatur timbangannya untuk menunjukkan berat-timbangan yang tidak sesuai  dengan berat aslinya, ini adalah contoh mencuri dengan cara menipu.

e. Memalsukan

Memalsukan check, atau memalsukan tanda-tangan, memalsukan produk-produk dagangan tertentu, ini semua merupakan contoh dari memalsukan.

f. Korupsi

Pejabat yang mengambil uang-negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, ini contoh dari tindak korupsi.

g. Mengingkari janji

Peminjam barang yang mengingkari janjinya untuk mengembalikan barang tersebut tepat-pada waktunya, merupakan contoh mencuri melalui mengingkari-janji.

h. Menukar barang

Seorang penjual yang menukar barang pembeli, misal dari kualitas A namun ketika diserahkan digantikan dengan kualitas B, ini juga merupakan contoh mencuri dengan cara menukar barang.

i. Menyelundupkan barang

Memindahkan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan sembunyi-sembunyi, dengan tujuan menghindari pengenaan pajak, ini merupakan contoh dari mencuri dengan cara menyelundupkan barang.

2. Pencurian secara tidak langsung

a. Menjadi tukang tadah

Membantu para pencuri dengan menjadi tukang tadah curiannya, menyimpankannya, kemudian menjualkan barang-barang hasil curian tersebut, ini adalah contoh dari mencuri dengan cara menjadi tukang tadah.

b. Merayu

Hal ini bisa ditemukan dalam pasangan yang kasmaran yang didasari oleh niat buruk untuk menguras kekayaan pasangannya. Misalkan , seorang perempuan cantik mendekati laki-laki yang kaya raya, kemudian merayu dan memikatnya, lalu mulai menguras harta-benda dari laki-laki tersebut, setelah tercukupi/terpuaskan, perempuan cantik tersebut pergi meninggalkan laki-laki kaya itu. Inilah salah satu contoh mencuri dengan merayu.

c. Mempengaruhi orang lain untuk menipu orang yang lainnya

Meskipun tindakan penipuan ini melalui perantara, namun tetaplah merupakan tindakan pencurian melalui penipuan.  Selain merugikan orang lain (pihak ketiga) yang ditipu, kita juga telah memaksa seseorang ( pihak kedua ) untuk melakukan tindak penipuan.

d. Menerima suap

Seorang hakim yang menerima suap dari seorang terdakwa demi membebaskan sang terdakwa dari hukuman negara, ini merupakan salah satu contoh tindakan mencuri dengan cara menerima suap.
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« Reply #3 on: 15 June 2010, 12:30:54 AM »
Perbuatan Tidak Terpuji Lainnya yang Setara dengan Pencurian


   1. Menghancurkan barang milik orang lain dengan sengaja

Tindakan ini merugikan, karena barang milik orang lain yang rusak dan hancur, adalah sama dengan menghilangkan barang milik orang tersebut. Semisal seseorang dengan sengaja menghancurkan komputer milik orang lain, maka si pemilik tidak lagi bisa menikmati fasilitas komputer yang dimilikinya.

2. Menggunakan barang yang bukan miliknya sendiri dengan seenaknya / tanpa tanggung-jawab

Contohnya adalah seseorang yang meminjam sepeda motor milik orang lain, namun menggunakannya dengan tanpa kehati-hatian, tanpa tanggung-jawab, sehingga menyebabkan beberapa komponen sepeda motor itu rusak, dan ia mengembalikan sepeda motor itu dalam kondisi yang buruk / tidak seperti sediakala ketika ia meminjamnya.

Mencuri dengan berbagai variannya , seperti yang sudah dicontohkan dan diterangkan diatas, adalah merupakan tindakan buruk.  Mencuri, dalam kategorisasi kamma termasuk dalam tindakan-jahat yang dilakukan melalui tubuh ( akusala-kaya-kamma ). Buah dari kamma buruk jenis ini akan masak di alam keindriyaan ( kamadhatu ).

Oleh karena itulah, Sang Buddha mengajarkan para siswa-Nya untuk ber-Mata-Pencaharian-Benar ( Samma-Ajiva ), tidak melalui cara-cara pencurian dan segala tindakan-jahat untuk memperoleh nafkah.  Ada kebahagiaan yang akan diperoleh oleh seseorang yang mencari nafkah dengan benar, yaitu :

   1. Rasa bangga karena memiliki harta-kekayaan secara sah.
   2. Bebas dari rasa takut/khawatir, dan akan merasa aman untuk pergi kemanapun juga.
   3. Dapat menggunakan harta yang dimiliki dengan tanpa kerisauan / segala bentuk tekanan batin ; karena harta tersebut diperoleh dengan benar dan sah, sehingga tidak ada perasaan bersalah dalam batinnya.
   4. Memperkuat kemampuan dalam menghindari perbuatan-perbuatan jahat.

Berat ringannya buah kamma yang didapatkan seorang pencuri, tergantung pada :

   1. Jenis barang yang dicuri beserta nilai barang tersebut
   2. Motif pencurian tersebut
   3. Usaha yang dilakukan

Umumnya mencuri dilandasi motif keserakahan (lobha), namun tak jarang pula pencurian dilandasi oleh motif kebencian (dosa). Menurut hukum kamma, tindakan yang dilandasi kebencian (dosa) memiliki buah kamma buruk yang lebih berat dibandingkan tindakan yang dilandasi oleh keserakahan (lobha). Contohnya, pencurian yang dilandasi kebencian adalah dengan menghancurkan berbagai asset dari seseorang yang dibencinya, bahkan bisa hingga disertai pembunuhan terhadap seseorang yang dibencinya tersebut. Tentu buah kamma buruk ini jauh lebih berat bila dibandingkan dengan seorang pencuri yang hanya mencuri barang-barang saja tanpa dengan tindakan penghancuran dan pembunuhan.

3. SILA KETIGA PANCASILA BUDDHIS

Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami. Kata “Kamesumicchacara” dalam bahasa Pali berasal dari tiga suku kata : Kama, miccha, dan cara.

“Kamesu” dalam bahasa Pali merupakan bentuk jamak dari kata “kama” yang berarti kesenangan indriya, atau nafsu-seksualitas. Hasrat indriya ini berlandaskan kelima indriya ( penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, perasa ) dan satu indra pikiran.

“Miccha” artinya adalah : Salah , ini merupakan lawan dari kata “Samma” yang artinya : Benar.

“Cara” artinya adalah pelaksanaan atau tingkah-laku.

Sehingga, kamesumicchacara diartikan sebagai “perbuatan/perilaku sex yang tidak benar”.

Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan pelanggaran susila :

   1. Pikiran untuk menikmati,
   2. Usaha ke arah itu,
   3. Cara untuk memuaskan,
   4. Pemuasan.

Buah karma buruk dari pelanggaran susila  yang tak dapat dielakkan yaitu :

   1. Mempunyai banyak musuh,
   2. Mendapat suami atau istri yang tidak diinginkan,
   3. Lahir sebagai perempuan; orang kasim ; banci atau /  waria.

Objek yang merupakan pelanggaran Sila III Pancasila Buddhist bagi seorang laki-laki adalah :

1. Wanita yang telah menikah atau akan menikah

Yang dimaksudkan adalah semua wanita yang telah menikah dan atau akan menikah dengan orang lain tanpa memandang latar belakang status sosial dan motivasi pernikahannya.

   1. Wanita yang sudah bertunangan
   2. Wanita yang sudah dibeli atau digadaikan oleh orang-tuanya
   3. Wanita yang tinggal dengan lelaki yang dicintainya
   4. Wanita yang sudah menikah menurut adat-istiadat dan tradisi agama tertentu
   5. Wanita yang dinikahi oleh laki-laki dalam jangka waktu tertentu ( misalnya dalam kasus kawin kontrak )

2. Wanita yang masih dalam Pengawasan Keluarga atau Asuhan Wali

Meliputi semua wanita yang belum menikah yang masih dalam pengawasan keluarga dan atau asuhan wali. Pelanggaran terhadap hal ini biasanya berupa kawin-lari.

3. Wanita yang dilarang untuk disetubuhi menurut adat-istiadat, aturan agama atau peraturan negara.

a. Wanita yang masih dalam satu garis keturunan ; artinya wanita yang masih dalam hubungan keluarga / kekerabatan. Contoh pelanggaran misalnya adalah seorang kakak laki-laki yang menyetubuhi adik perempuannya sendiri ; atau perkawinan inses. Hubungan sedarah telah terbukti menghasilkan keturunan yang lemah, baik secara biologis maupun mental, bahkan hingga bersifat mematikan.

b. Wanita yang dalam perlindungan Dhamma ; contohnya adalah para Upasika Atthasila ( Anagarini ), para Samaneri, dan para Bhikkhuni.

c. Wanita yang menjadi selir raja atau orang yang berkuasa ; ini menjadi terlarang karena adanya hukum kerajaan yang berlaku.

Objek yang merupakan pelanggaran Sila III Pancasila Buddhist bagi seorang perempuan adalah :

   1. Laki-laki yang telah menikah.
   2. Laki-laki yang dilarang untuk disetubuhi karena peraturan agama , misalnya : Upasaka Atthasila ( Anagarika ), Samanera, dan Bhikkhu.

Terjadinya pelanggaran Sila III Pancasila Buddhis adalah ketika :

   1. Seorang wanita/alki-laki yang berbuat asusila dengan laki-laki/wanita yang terlarang baginya, telah melakukan perzinahan
   2. Seorang wanita yg masih di bawah asuhan melakukan perbuatan asusila dengan laki-laki yang tidak merupakan objek terlarang baginya, tidak melanggar sila ini. Tetapi, wanita tersebut dapat dikatakan melanggar Dhamma karena menodai dirinya sendiri, dan menjatuhkan nama baiknya dalam masyarakat.

Hal-hal lain yang dikategorikan pelanggaran sila ketiga yang harus juga kita hindari :

1.   Berzinah (melakukan hubungan kelamin bukan dengan suami/istrinya)
2.   Berciuman dengan lain jenis kelamin yang disertai nafsu birahi
3.   Menyenggol, mencolek & sejenisnya yang disertai nafsu birahi

Catatan :
Tujuan sila ketiga ini adalah untuk mencegah perceraian, dan membina keharmonisan serta kepercayaan timbale balik antara suami istri
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« Reply #4 on: 15 June 2010, 12:31:31 AM »
 SILA KEEMPAT PANCASILA BUDDHIS

Musavada veramani sikkhapadam samadiyami. Kata Musavada terdiri dari dua kosakata, yaitu “Musa” dan “Vada”. Kata “Musa” berarti sesuatu yang tidak benar, sedangkan kata “Vada” berarti ucapan. Jadi, arti dari “Musavada” adalah ucapan yang tidak benar ; biasanya diartikan sebagai berbohong ataupun berdusta, meskipun makna yang sesungguhnya dari ucapan tidak benar adalah  lebih luas daripada sekedar berbohong / berdusta.

Mengenai ucapan-benar ( samma-vaca ) ini Sang Buddha bersabda :

“Tetapi jika secara alami dia terlalu banyak bicara, dan senang menyakiti yang lain secara kasar, kehidupan orang seperti ini menjadi tidak bermanfaat dan kekotoran batinnya meningkat.” (275) [Dhammacariya-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab II : Bab Minor , Sutta ke-6 ]

“Hendaklah bhikkhu itu menghindari fitnah dan meninggalkan kemarahan dan keserakahan. Dan setelah terbebas dari keterikatan dan penolakan, dia akan menjalani kehidupan tak-berumah secara benar.” (362) [ Sammaparibbajaniya-Sutta ; Sutta-Nipata Bab II : Bab Minor, Sutta ke-13]

“Menjadi orang yang tidak memusuhi siapa pun, yang baik lewat kata-kata, pikiran maupun perbuatan, yang memahami Ajaran dengan benar, yang bercita-cita mencapai keadaan Nibbana, dia akan menjalani kehidupan tak-berumah secara benar.” (365) [ Sammaparibbajaniya-Sutta;Sutta-Nipata Bab II : Bab Minor, Sutta ke-13 ]

“Ucapan yang memiliki empat ciri adalah ucapan yang disampaikan dengan baik, tidak salah dan tidak dicela oleh para bijaksana; yaitu ucapan seorang bhikkhu yang berbicara hanya yang bermanfaat dan bukan yang tidak bermanfaat, yang berbicara hanya yang berharga dan bukan yang tidak berharga, yang berbicara hanya yang menyenangkan dan bukan yang tidak menyenangkan, yang berbicara hanya yang benar dan bukan yang tidak benar. Ucapan yang bercirikan empat faktor ini adalah ucapan benar dan bukan ucapan buruk, tidak salah dan tidak dicela oleh para bijaksana”… [ Subhasita-Sutta ; Sutta-Nipata Bab III : Bab Besar, Sutta ke-3 ].

Dia yang mengucapkan kata-kata yang tidak kasar, kata-kata yang benar serta penuh makna, kata-kata yang tidak menyebabkan kemarahan orang lain, adalah orang yang kusebut Brahmana. [ Vasettha Sutta ; Sutta-Nipata Bab III ; Bab-Besar, Sutta ke-9 ]

Suatu ucapan bisa disebut sebagai ucapan benar bila memenuhi keempat syarat :

   1. Ucapan itu BENAR
   2. Ucapan itu BERALASAN
   3. Ucapan itu BERFAEDAH
   4. Ucapan itu TEPAT PADA WAKTUNYA.

Ucapan-Benar (Samma-Vaca) ini merupakan ruas ketiga dari “Jalan Ariya Beruas Delapan” (Ariya Atthangika Magga ). Vaca secara sederhana  berarti ucapan atau ungkapan dalam suatu pengertian yang cukup literal, sedangkan samma, tidak hanya berarti “Benar” sebagai lawan dari “Salah” – seperti dalam terjemahan umumnya – tetapi benar yang bersifat menyeluruh, lengkap, integral, berkembang sepenuhnya, sempurna. Karena itu, Samma-vaca adalah perkataan benar, perkataan yang sesungguhnya, perkataan yang sungguh berarti, perkataan sempurna.

Kata-kata adalah komunikasi verbal yang mau tak mau kita sebagai manusia harus terlibat didalamnya. Anda bisa saja menghindari samadhi, bermalas-malasan dalam bersamadhi, tapi jika tiba gilirannya untuk berkata-kata, sukarlah bagi anda untuk menghindarinya. Suka atau tidak suka, dalam setiap hari-hari yang anda jalani, anda harus berbicara, berkomunikasi. Anda tidak bisa diam terus meskipun anda menghendakinya. Dalam banyak kasus bahkan kita pada umumnya tidak mau diam untuk waktu yang lama. Karenanya tak terhindarkan bahwa masalah ‘perkataan’ harus mendapat perhatian yang sistematis dalam latihan dan budaya spiritual. Perkataan / ucapan harus diletakkan dibawah pengaruh atau kendali kehidupan spiritual sehingga harus mendapatkan tempat dan perhatian.

Bagaimanakah ucapan yang benar itu ? Untuk memahami bagaimanakah ucapan yang benar itu, maka kita harus tahu bagaimanakah pembicaraan yang tidak benar. Bicara yang tidak benar, contoh konkritnya yaitu : 1). Bicara bohong untuk menipu orang lain, 2). Mengucapkan kata-kata kasar untuk menyakiti hati orang lain, 3). Bicara yang bersifat memfitnah dan menyerang orang lain dari belakang, 4). Omong-omong yang tidak berguna, bergosip. Semua itu adalah bicara yang tidak benar. Jika kita tidak melakukan hal-hal tersebut, maka yang tersisa dalam diri kita adalah : BICARA BENAR.

Jujur, bisa dipercaya, tidak berbohong, tidak memfitnah, selalu membicarakan kebaikan-kebaikan orang lain, bukan keburukannya, tidak mencela dan memecah-belah sesamanya, berbicara indah dan menyenangkan untuk didengarkan, inilah yang disebut : BICARA BENAR.

Ucapan tidak benar ( Musavada ) ini termasuk Perbuatan buruk yang akan masak di alam keindriyaan ( Akusala-Kamma ) , tepatnya adalah perbuatan buruk yang dilakukan melalui ucapan ( Akusala Vadi Kamma ) :

   1. Berbohong ( musavada ),
   2. Memfitnah ( pisunavaca ),
   3. Kata-kata kasar ( pharusavaca ), dan,
   4. Bergunjing ( samphappalapa ).

a. Berbohong ( Musavada )

Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan berbohong, yaitu : i. Sesuatu yang tidak benar, ii. Kehendak untuk berbohong, iii. Pengungkapan, iv. Penipuan yang sesungguhnya.

Buah karma buruk dari berbohong yang tak dapat dielakkan yaitu : i. Menjadi sasaran caci maki dan fitnah, ii. Tidak dipercaya, dan, iii. Mulut yang berbau.

b. Memfitnah ( pisunavaca )

Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan memfitnah, yaitu : i. Orang-orang yang akan dipisahkan, ii. Kehendak untuk memisahkan mereka atau keinginan untuk mendekatkan diri sendiri kepada orang lain, iii. Usaha ke arah itu, iv. Penyampaian.

Buah karma buruk dari memfitnah yang tak dapat dielakkan adalah pecahnya persahabatan tanpa sebab apapun yang memadai.

c. Kata-Kata Kasar ( pharusavaca )

Tiga ( 3 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kata-kata kasar, yaitu : i. Seseorang untuk dimaki, ii. Pikiran yang marah, dan, iii. Makian yang sesungguhnya.

Buah karma buruk dari kata-kata kasar yang tak dapat dielakkan yaitu : i. Dibenci oleh pihak lain walaupun mutlak tak bersalah, dan, ii. Memiliki suara parau.

d. Pergunjingan ( Samphappalapa )

Dua ( 2 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya pergunjingan, yaitu : i. Keinginan untuk bergunjing, ii. Penyampaian hal itu.

Buah karma buruk dari bergunjing adalah : i. Cacat alat tubuh, ii. Pembicaraan yang tidak masuk akal.

5. Sila Kelima Pancasila Buddhist

Surā-meraya Majja-pamādaţţhānā veramaņī sikkhapadam samadiyami. Kata “Surameraya majjapamadatthana” terdiri dari empat kosakata , yaitu : Sura, Meraya, Majja, dan Pamadatthana.

“Meraya” mengacu pada minuman keras yang diperoleh dari bahan yang diragikan dan dapat menyebabkan orang yang meminumnya tak sadarkan diri, bila kadarnya tinggi maka disebut “Sura” yaitu hasil penyulingan yang mempunyai kekuatan untuk membius. Kata “majja” dapat diartikan berbagai jenis ganja, morfin, heroin, dan lain sebagainya.

“Pamadatthana” terdiri dari dua kata yaitu “Pamado” yang berarti kelengahan, kecerobohan, kelalaian, dan “tthana” yang berarti landasan atau basis.  Sehingga “pamadatthana” berarti yang menjadi dasar/landasan timbulnya kelengahan, kecerobohan, kelalaian.

Dari pengertian masing-masing kosakata tersebut, maka kata “Surā-meraya Majja-pamādaţţhānā” berarti mengkonsumsi atau memakai/menggunakan sesuatu ( khususnya minuman keras dan obat-obatan terlarang ) yang dapat memabukkan dan membuat tidak sadarkan diri yang menjadi dasar/landasan timbulnya kelengahan, kecerobohan, kelalaian.

Banyak fakta menunjukkan, orang-orang yang mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang menjadi tidak sadarkan diri, sehingga menjadi lengah hingga dapat melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran Sila kelima ini :

1.   Ada sesuatu yang merupakan “Sura”, “Meraya” atau “majja” yaitu sesuatu yang membuat nekat, mabuk, tak sadarkan diri, yang menjadi dasar dari kelengahan dan kecerobohan
2.   Mempunyai keinginan untuk menggunakannya.
3.   Menggunakannya
4.   Timbul gejala mabuk atau sudah menggunakannya (meminumnya) hingga masuk melalui tenggorokan

Tujuan dari aturan moralitas ini adalah untuk menjaga kondisi batin supaya terhindar dari ketidaksadaran diri yang memabukkan sehingga menjadi landasan bagi segala bentuk kelalaian, kelengahan yang menyebabkan timbulnya berbagai kejahatan ; juga lebih jauh lagi, dengan menjalankan aturan moralitas ini, kita dapat selalu menjaga konsentrasi-benar ( samma-samadhi ) dan perhatian-benar ( samma-sati ).

Objek yang dapat menyebabkan pelanggaran Sila kelima Pancasila Buddhis ini adalah :

   1. Semua jenis minuman yang memabukkan
   2. Barang cair, padat maupun gas yang bila digunakan/dimasukkan ke dalam tubuh bisa membuat lemahnya kesadaran, dan yang bisa menimbulkan ketagihan

II. ATTHANGASILA

Selain “Pancasila”, Sang Buddha juga mengajarkan pelaksanaan “Atthangasila” bagi ummat non-Bhikkhu.  Dalam Atthangasila, Sila ketiga Pancasila diubah menjadi “menghindari perbuatan tidak suci (sexual)”. Lebih lengkapnya, Atthangasila tersebut adalah :

1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup )

2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan )

3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci )

4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan bohon )

5. Sura-meraya-majja-pamadatthana veramani sikkhapaadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran )

6. Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari )

7. Naccagita-vadita-visukadassana malagandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami .

(Aku bertekad melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukan; memakai, berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik tubuh)

8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami.

( Aku bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah) )

Didalam “Dhammika-Sutta” ( Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; Sutta ke-14 ), Sang Buddha menjelaskan mengenai pelaksanaan praktik latihan “Delapan-Sila-Yang-Agung” ( Atthanga-Sila ). Sabda Sang Buddha tersebut adalah sebagai berikut :

Sekarang akan kuberitahukan peraturan perilaku untuk perumah tangga. Jika menjalaninya, dia akan menjadi siswa yang baik. Jika ada kewajiban kebhikkhuan yang harus dijalankan, kewajiban itu tidak akan dapat dipenuhi oleh dia yang memiliki kekayaan rumah tangga. (393)

Hendaknya dia tidak menghancurkan kehidupan, jangan pula dia menyebabkan orang lain menghancurkan kehidupan ataupun menyetujui pembunuhan yang dilakukan orang lain. Hendaknya ia menjauhkan diri dari perbuatan menindas semua makhluk hidup di dunia ini, baik yang kuat maupun lemah. (394)

Kemudian, karena mengetahui bahwa itu milik orang lain, maka mencuri apa pun dari mana pun harus dihindari. Janganlah dia menyebabkan pencurian, jangan juga menyetujui orang lain mencuri. Semua pencurian harus dihindari. (395)

Orang bijaksana harus menghindari kehidupan tidak selibat, seolah-olah kehidupan semacam itu adalah lubang bara api yang menganga. Jika dia tidak mampu menjalani kehidupan selibat total, janganlah dia berselingkuh dengan orang lain. (396)

Apakah dia di tengah pertemuan atau di tempat umum, janganlah dia menceritakan kebohongan kepada yang lain. Janganlah dia menyebabkan orang lain berbohong maupun menyetujui orang lain berbohong. (397)

Perumahtangga yang bergembira dalam mengendalikan diri, karena mengetahui bahwa meneguk minuman keras atau mengkonsumsi segala yang bersifat meracuni adalah merugikan, tidak akan memanjakan diri dalam minuman keras dan lain-lain. Tidak juga dia menyebabkan orang lain meminumnya atau menyetujui orang lain melakukan itu. (398)

Orang-orang dungu melakukan tindakan-tindakan jahat karena mabuk. Dia juga menyebabkan orang lain – yang lengah – ikut bertindak seperti itu. Orang harus menghindari lingkup perbuatan jahat ini, kegilaan ini, kebodohan batin ini, yang merupakan kesenangan-kesenangan orang dungu. (399)

(i) Manusia seharusnya tidak menghancurkan kehidupan ;

(ii) Seharusnya tidak mengambil apa yang tidak diberikan;

(iii) Seharusnya tidak berbohong;

(iv) Seharusnya tidak menjadi peminum;

(v) Seharusnya menjauhi segala ketidak murnian;

(vi) Seharusnya tidak makan di malam hari pada saat yang tidak tepat. (400)

(vii) Manusia seharusnya tidak memakai hiasan, tidak juga menggunakan wangi-wangian;

(viii) Seharusnya berbaring di tikar yang dibentangkan di atas tanah. Inilah yang disebut menjalani “Delapan-Sila-Yang-Agung” , yang dijelaskan oleh Buddha yang datang untuk mengakhiri kesedihan. (401)

Dengan pikiran yang bahagia, orang harus menjalani keluhuran “Delapan-Sila” pada hari ke-14, ke-15, dan ke-8 setiap masa dua minggu perhitungan bulan [ dan selama Patihariyapakkha – tiga bulan musim hujan bersama dengan bulan-bulan sebelumnya dan sesudah musim ini, jadi seluruhnya lima bulan ]. ( 402)

Kemudian pada pagi berikutnya, orang bijaksana yang telah menjalankan Delapan-Sila ini dengan gembira harus menyediakan makanan dan minuman bagi Bhikkhu Sangha dengan cara yang sesuai. (403)

Hendaknya dia menyokong ayah dan ibunya dengan sepantasnya, serta memiliki pekerjaan yang tak tercela. Perumahtangga yang menjalankan kewajiban-kewajiban ini dengan rajin, akan terlahir di alam makhluk “bersinar”. (404)

Menurut Bhikkhu Dhammavuddho Maha Thera dalam bukunya “Message of the Buddha”, Atthangasila ini dilaksanakan setiap tanggal 8, 15, 23, dan hari terakhir penanggalan Lunar, yakni kira-kira sekali dalam seminggu. Pelaksanaan Atthangasila ini membawakan banyak berkah yang dapat menyebabkan kelahiran kembali di alam-alam surga.

Biasanya, ada juga ummat yang menjalankan Atthangasila ini sebagai Sila-nya yang bersifat permanen, sehingga ia hidup selibat ( tidak menikah dan menghindari perbuatan sexual ).

Sang Buddha memuji kehidupan Brhamacariya seperti ini. “Orang yang memiliki kekuatan kebijaksanaan, yang terlahir dari peraturan-peraturan moralitas serta pengendalian diri, yang tenang pikirannya dan bergembira di dalam meditasi,  yang penuh perhatian, bebas dari kemelekatan, bebas dari pikiran yang tak terlatih, dan bebas dari apa yang meracuni, disebut orang suci oleh para bijaksana.” (212) [ Muni-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; Suta ke-12 ]

“Orang yang memiliki pengendalian diri dan tidak melakukan kejahatan, orang bijaksana seperti itu, tak peduli apakah masih muda atau setengah baya, yang pikirannya terkendali dengan baik, yang tidak tergoda dan tidak menggoda yang lain, disebut orang suci oleh para bijaksana.” (216) [Muni-Sutta; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; Sutta ke-12 ]

“Orang bijak yang berkelana sendiri, yang tidak melakukan keintiman sexual, yang bahkan pada masa mudanya tidak terikat pada apa pun, yang telah menjauhkan diri dari kesombongan dan kemalasan, disebut orang suci oleh para bijaksana.” (218) [Muni-Sutta;Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; Sutta ke-12]

“Setelah meninggalkan tindakan yang merugikan makhluk-hidup, serta tidak menyiksa bahkan satu makhluk hidup pun, biarlah orang tidak menginginkan anak, apalagi teman! Hendaknya orang hidup sendiri bagaikan sebuah cula Unicorn.”  ( Khaggavisana-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; sutta ke-3; ayat/paragraf ke-1  ).

“Bagaikan rusa hutan yang tidak terbelenggu berkelana dan makan dengan santai, biarlah orang bijaksana menjunjung tinggi kebebasannya hidup sendiri bagaikan sebuah cula Unicorn.” ( Khaggavisana-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; sutta ke-3; ayat/paragraf ke-5  ).

“Orang yang tidak menyukai olah-raga, hiburan dan kesenangan-kesenangan duniawi, yang menghindari kehidupan yang mengagungkan diri, yang berbicara kebenaran, hendaknya orang hidup sendiri bagaikan sebuah cula Unicorn.” ( Khaggavisana-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; sutta ke-3; ayat/paragraf ke-25 ).

“ Kemelekatan terhadap benda merupakan belenggu. Dalam hal semacam itu, kebahagiaan yang ada hanyalah sementara dan penderitaannya lebih besar sedangkan kenikmatannya lebih sedikit. Orang bijaksana yang mengetahui bahwa hal ini seperti kait pancing di tenggorokan, akan hidup sendiri bagaikan sebuah cula Unicorn.”  ( Khaggavisana-Sutta ; Sutta-Nipata, sutta ke-3; ayat/paragraf ke-27 ).

“Bagaikan singa yang tidak takut oleh suara, bagaikan angin yang tidak tertangkap jaring, bagaikan teratai yang tidak terkotori oleh air,  hendaknya orang hidup sendiri bagaikan sebuah cula Unicorn.” ( Khaggavisana-Sutta ; Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ; sutta ke-3; ayat/paragraf ke-37 ).

“Dia yang walaupun kaya namun tidak menyokong ayah ibunya yang sudah tua dan lemah – inilah penyebab keruntuhan seseorang.” ( Parabhava-Sutta; Sutta-Nipata, sutta ke-6 )

“Setelah meneguk manisnya kesendirian dan juga manisnya ketenangan, orang menjadi terbebas dari rasa takut dan tindakan yang salah, dan sekaligus dia menikmati manisnya suka cita kebenaran.” (257) [Hiri-Sutta ; Sutta-Nipata , Bab II :  Bab Minor, Sutta ke-3]


MANFAAT MENJALANKAN SILA

Jasa kebajikan dari menjalankan Sila tergantung kepada tingkat pemurnian kepada tingkat pemurnian dari latihan kita. Sang Buddha menjabarkan lima manfaat dari menjalankan Sila ( Anguttara Nikaya 5.213 ) :

(i)                  Kekayaan terjaga

Seseorang yang tidak menjalankan Sila, besar kemungkinan akan menghabiskan kekayaannya dengan sering mengunjungi klub malam dan tempat pelacuran, berjudi, mabuk-mabukan, dll., yang tidak akan dilakukan oleh seseorang yang bermoral.

(ii)                Reputasi Baik

Seseorang yang bermoral yang tidak membunuh, mencuri, berasusila, berbohong dan mabuk maka secara nyata akan dihargai orang lain.

(iii)               Berani berhadapan dengan orang ramai

Seseorang yang bermoral tidak mempunyai alasan untuk merasa malu atau bersalah dan tidak akan memiliki rasa takut ketika dipanggil untuk berhadapan atau bersapa dengan orang ramai.

(iv)              Meninggal dengan pikiran jernih

Menjelang saat kematian, seseorang yang bermoral tidak takut karena pikirannya yang murni memberinya kepercayaan diri yang besar dan kegembiraan.

Akan tetapi, banyak orang meninggal dengan ketakutan yang besar dan teror karena telah menjalani kehidupan yang tidak bermoral, terutama mereka yang melanggar salah satu dari sila-sila dalam tingkatan yang cukup berat seperti seorang penjagal.

(v)                Kelahiran kembali yang baik

Seseorang yang telah menjalankan Sila telah menjalani kehidupan yang tidak membahayakan makhluk dan pasti memperoleh kelahiran kembali yang baik.

Sang Buddha berkata bahwa seseorang yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, Sangha ( Ti-Ratana, pen- ) , yang bajik, terkendali dalam Sila ; dapat menyatakan dengan pasti bahwa dia telah memenangkan tahap “Pemasuk-Arus”, yang pasti menuju pencerahan. Dia tidak akan pernah jatuh lagi ke alam kelahiran kembali yang menyedihkan yakni alam hantu, binatang, dan neraka [ Samyutta Nikaya 55.2 ] .

thx to:
hxxp://ratnakumara.wordpress.com/2009/08/30/pancasila-dan-atthangasila/
« Last Edit: 15 June 2010, 12:33:27 AM by No Pain No Gain »
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: PANCASILA DAN ATTHANGASILA
« Reply #5 on: 15 June 2010, 12:32:20 AM »
V I R A T T I

( Sumber :  http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,418.0.html )

Sampatti Viratti ( Pantangan seketika ) :

Pantangan mendadak, tanpa suatu rencana yang telah dibuat terlebih dahulu.
Samapatti viratti adalah pantangan untuk melanggar Pancasila meskipun mempunyai banyak kesmepatan untuk melakukannya.

Hal demikian dapat terjadi karena seseorang mempunyai anggapan bahwa perbuatan tersebut tidak pantas bagi seseorang dengan kelahiran, pangkat atau kedudukan seperti dirinya. Walaupun kelihatannya tidak begitu mantap, jenis pantangan ini cukup baik daripada melalaikannya – melanggar sila.

Samadana viratti ( pantangan karena janji ) :

Pantangan yang di rencanakan terlebih dahulu, biasanya di awali dengan suatu janji keagamaan.
Pantangan jenis ini dapat dilakukan dengan melalui :

1.   Pentahbisan, contoh : Samanera/samaneri, Bhikkhu/Bhikkhuni
2.   Pengambilan  keputusan/bertekad, baik di hadapan orang lain maupun pada diri sendiri, baik untuk jangka waktu tertentu saja maupun untuk selamanya

Samuccheda Viratti :

Pantangan secara mutlak, yang di pertahankan tanpa syarat dan setiap saat.
Samuccheda Viratti adalah pantangan melalui penghancuran semua sebab yg akan membawa pada pelanggaran sila.

Pantangan secara mutlak ini hanya dimiliki oleh seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna, seperti para Arahat & Buddha.

KEMURNIAN BUKAN DARI MAKANAN-VEGETARIAN, TAPI DARI PRAKTIK MORALITAS (SILA)

Dalam “Amagandha-Sutta” [ Sutta-Nipata, Bab II : Bab Minor ; Sutta ke-2 ], terdapat dialog antara Buddha Kassapa dengan Petapa-Tissa. Petapa-Tissa mengkritik Buddha-Kassapa yang tidak mempraktikkan vegetarianisme dan memakan makanan jenis apapun ( baik sayuran maupun daging-dagingan ) yang disediakan oleh para ummat-awam dan karena itu menurut petapa Tissa, Buddha Kasapa memakan bau-busuk, setelah sebelumnya ia memuji praktek vegetarianisme yang akan membuat seseorang tidak berbohong karena kesenangan indera.

Buddha Kassapa kemudian menjelaskan, bahwa “bau-busuk” bukan berasal dari makanan ( daging-dagingan ) , tetapi berasal dari perbuatan yang tidak bermoral. Lebih jauh, Buddha Kassapa juga menyatakan, bahwa praktik ritual keagamaan seperti upacara kurban binatang, puasa musiman, dan lain-lain, hanyalah bermanfaat bagi orang-orang yang belum mengatasi keragu-raguannya.  Berikut ini adalah kisah selengkapnya :

Petapa-Tissa berkata kepada Buddha Kassapa :

   1. Orang bajik yang makan padi-padian, buncis dan kacang-kacangan, dedaunan dan akar-akaran yang dapat dimakan, serta buah dari tanaman rambat apa pun yang diperoleh dengan benar, tidak akan berbohong karena kesenangan indera.
   2. O, Kassapa, engkau makan makanan apa pun yang diberikan orang lain, yang disiapkan dengan baik, diatur dengan indah, bersih dan menarik; dia yang menikmati makanan seperti itu, yang terbuat dari nasi, berarti makan [daging yang membusuk, yang mengeluarkan]bau busuk.
   3. O, Brahmana, walaupun engkau mengatakan bahwa serangan bau busuk itu tidak berlaku bagimu sementara kamu makan nasi dengan unggas yang disiapkan dengan baik, tetapi aku bertanya padamu apa arti ini : “Seperti apa yang Kau sebut bau busuk itu?”

Buddha Kassapa [menjawab] :

   1. Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   2. Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   3. Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apa pun kepada siapa pun, inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   4. Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral ; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   5. Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang didunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   6. Mereka yang didunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   7. Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk. Bukan makan daging.
   8. Menjauhkan diri dari ikan dan daging, bugil, mencukur kepala, berambut gembel, melumuri diri dengan abu, memakai kulit rusa yang kasar, menjaga api kurban; tak satu pun dari berbagai penebusan dosa di dunia yang dilakukan untuk tujuan yang tidak sehat – termasuk jampi-jampi, persembahan keagamaan, pemberian korban maupun puasa musiman—akan menyucikan seseorang yang belum mengatasi keragu-raguannya [ terhadap Buddha-Dhamma-Sangha].
   9. Dia yang hidup dengan indera yang terjaga dan terkendali, serta telah mantap di dalam Dhamma, akan bergembira dengan kehidupan yang lurus dan lemah-lembut; yang sudah melampaui kemelekatan dan mengatasi kesengsaraan; orang bijaksana itu tidak melekat pada apa yang dilihat dan didengar.


Demikianlah Buddha Kassapa mengkhotbahkan hal ini berulang-ulang. Petapa yang pandai dalam syair-syair (Veda) itu memahaminya. Orang suci yang telah terbebas dari kekotoran batin, tidak melekat dan sulit diikuti, menyampaikan (khotbah) ini dalam bait-bait yang indah.

Maka, setelah mendengarkan kata-kata indah yang mengakhiri semua penderitaan, yang diucapkan oleh Sang Buddha yang telah terbebas dari kekotoran batin, dia (petapa-Tissa) memuja Sang Tathagata dengan segala kerendahan hati dan memohon untuk diterima masuk ke dalam Sangha di tempat itu juga.


MANUSIA SAMPAH

Dalam “Vasala-Sutta” [ Sutta-Nipata, Bab I : Bab Tentang Ular ;  Suta ke-7 ] terdapat sebuah kisah menarik ketika Sang Buddha masih hidup. Pada saat itu, Sang Buddha berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta di vihara Anathapindika. Ketika hari menjelang siang, setelah mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, Sang Buddha pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Pada waktu itu, di rumah Brahmana pemuja-api yang bernama Aggika-Bharadvaja, api dinyalakan dan benda-benda untuk kurban telah disiapkan.

Kemudian Sang Buddha, yang berjalan dari rumah ke rumah, sampai ke tempat tinggal Brahmana itu. Melihat Sang Buddha mendekat, dia berteriak : “Berhentilah di situ, hai petapa Gundul! Berhentilah disitu, hai petapa. Berhentilah disitu, hai manusia sampah!”

Sang Buddha [dengan tenang menjawab] : “O, Brahmana, dapatkah engkau mengenali manusia sampah ? Dapatkah engkau mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah ? “

“ Memang tidak, O Tuan Gotama, saya tidak dapat mengenali manusia sampah, dan saya tidak mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah. Karena itu,  Tuan Gotama, akan amat bagus bila engkaui menjelaskan padaku mengenai hal ini.”

Sang Buddha [meneruskan] : “Baiklah, wahai Brahmana, dengarkan baik-baik dan camkanlah kata-kata-Ku ini :

   1. Siapapun yang marah, yang memiliki niat-buruk, yang berpikiran jahat dan iri hati; yang berpandangan-salah, yang penuh tipu muslihat, dialah yang disebut sampah.”
   2. Siapapun yang menghancurkan kehidupan, baik burung atau binatang, serangga atau ikan, yang tidak memiliki kasih sayang terhadap kehidupan, dialah yang disebut manusia sampah.
   3. Siapapun yang merusak atau agressif (suka-menyerang) di kota dan di desa dan dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam, dialah yang disebut manusia sampah.
   4. Siapapun yang mencuri apa yang dianggap milik orang lain, baik yang ada di desa atau hutan, dialah yang disebut manusia sampah.
   5. Siapapun yang setelah berhutang lalu menyangkal ketika ditaguh, dan menjawab pedas : “Aku tidak berhutang padamu!” , dialah yang disebut manusia sampah.
   6. Siapapun yang berkeinginan mencuri walaupun benda tidak berharga, lalu mengambil barang itu setelah membunuh orang dijalan, dialah yang disebut manusia sampah.
   7. Siapapun yang memberikan sumpah palsu untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk mendapat keuntungan, dialah yang disebut manusia sampah.
   8. Siapapun yang mempunyai hubungan gelap dengan istri famili atau temannya, baik dengan paksaan atau karena suka sama suka, dialah yang disebut manusia sampah.
   9. Siapapun yang tidak menyokong ayah-ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan, dialah yang disebut manusia sampah.
  10. Siapapun yang menyerang atau mencaci-maki ayah, ibu, saudara kandung, atau ibu-mertua, dialah yang disebut manusia sampah.
  11. Siapapun yang dimintai nasehat yang baik tetapi malah mengajarkan apa yang menyesatkan atau berbicara dengan tidak jelas, dialah yang disebut manusia sampah.
  12. Siapapun yang munafik, yang setelah melakukan pelanggaran kemudian ingin menyembunyikan dari orang-orang lain, dialah yang disebut manusia sampah.
  13. Siapapun yang setelah berkunjung kerumah orang lain dan menerima keramah-tamahan disana, tidak membalasnya dengan sikap serupa, dialah yang disebut manusia sampah.
  14. Siapapun yang menipu petapa, bhikkhu atau guru spiritual lain, dialah yang disebut manusia sampah.
  15. Siapapun yang mencaci-maki dan tidak melayani petapa atau Bhikkhu yang datang untuk makan, dialah yang disebut manusia sampah.
  16. Siapapun, yang karena terperangkap di dalam kebodohan, memberikan ramalan yang tidak benar demi keuntungan yang sebenarnya tidak berharga, dialah yang disebut manusia sampah.
  17. Siapapun yang meninggikan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain, pongah dalam kesombongannya, dialah yang disebut manusia sampah.
  18. Siapapun yang suka memicu pertengkaran, yang kikir, memiliki keinginan-keinginan jahat, iri hati, tidak tahu malu dan tidak menyesal kalau melakukan kejahatan, dialah yang disebut manusia sampah.
  19. Siapapun yang menghina Sang Buddha atau siswa-siswa-Nya, baik yang telah meninggalkan keduniawian maupun perumah-tangga biasa, dialah yang disebut manusia sampah.
  20. Siapapun yang berpura-pura Arahat padahal sebenarnya bukan, dia benar-benar penipu hina terbesar di dunia ini, sampah terendah dari semuanya. Demikian telah Kujelaskan siapa yang merupakan sampah.
  21. Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi Brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi Brahmana.

Demikianlah, saudara-saudari, uraian mengenai praktik latihan moralitas (Sila ) sebagai langkah awal dalam mempraktikkan kehidupan suci. Marilah, kita memperteguh diri kita masing-masing dalam praktik “Tiga-Serangkai-Latihan” : SILA –>  SAMADHI –>  PANNA , hingga berhasil merealisasi pencerahan dan pembebasan-sempurna dari samsara.

“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”

( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing )

RATANA-KUMARO

Semarang-Barat,Minggu, 30 Agustus  2009

______________________________________

Sumber  Pustaka :

   1. Bhadantacariya Buddhaghosa, Visuddhi-Magga ; terjemahan dari bahasa Pali oleh Nanamoli.
   2. Sutta-Nipata ; terjemahan dari bahasa Pali oleh H.Saddhatissa
   3. Majjhima Nikaya ; terjemahan Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi
   4. Diggha-Nikaya ; Dhammacitta.press 2009
   5. Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian & Pengertian Langsung ; Yayasan Penerbit Karaniya Juli 2003.
   6. Dhammavuddho Maha Thera, Bhikkhu , Message of The Buddha ; cetakan pertama Maret 2008
   7. Ronald Satya Surya, Lima Aturan Moralitas Buddhis ; Insight Vidyasena Production 2009
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

 

anything