Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi => Mahayana => Chan atau Zen => Topic started by: dilbert on 05 November 2008, 05:19:24 PM

Title: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 05 November 2008, 05:19:24 PM
Bagian Pertama

Spirit Chan

Kata Pengantar

Sebagai sebuah jendela tentang dunia Zen Cina (Chan), buklet ini merupakan ringkasan pemikiran Buddhist Chan dari bahan bahan ajaran Master Sheng Yen, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum. Ini diterbitkan dengan harapan bisa memberi kepada para pemula dan masyarakat umum suatu perspektif baru yang segar tentang pengertian-pengertian : "diri", "pikiran", hubungan antara pribadi serta interaksi-interaksi kita di dunia. Pelajar dari penganut aliran spiritual atau dari tradisi Buddhist lain akan memperoleh sebuah pedoman yang bermanfaat guna memahami ide dasar dan metode metode Chan.
Spirit Chan adalah sebuah kupasan singkat padat tentang asal usul dan perkembangan Buddhisme Chan; merupakan pula suatu pengantar untuk prinsip prinsip serta perspekt if pokok dari teori dari praktek Buddhist Chan. Dua metode meditasi khusus Chan yang berasal dari tradisi Caodong dan Linji diterangkan secara jelas dan inspiratif, beserta pula sebuah metode sehari hari yang berguna untuk merilekskan tubuh dan pikiran kita.

Master Sheng-yen, penulis buku ini, adalah mutiara hidup di dunia Buddhist kontemporer. Disamping pengetahuannya yang sangat luas tentang kitab-kitab, pengalamannya sendiri dalam kebijaksanaan (wisdom) sang Buddha, konsistensinya pada Sila, usahanya memajukan pendidikan Buddhist, serta ikrar dan dedikasinya untuk "membangun dunia ini menjadi sebuah tanah Sukhavati., menggambarkan karakternya yang unik dan penting. Beliau adalah salah satu master (guru) generasi terakhir yang datang dari Timur untuk mengajarkan Buddhisme di Barat.

Kata-katanya yang jernih telah menyentuh dan membantu banyak orang di seluruh penjuru dunia. Demi kepentingan mereka semua yang ingin mulai menapaki jalan pencerahan - semoga buklet ini bisa mempersembahkan terang serta petunjuk arah.
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 05 November 2008, 05:20:34 PM
1. Mimpi, Tidur dan Terjaga

Sang Buddha menggambarkan hidup ini bagaikan sebuah mimpi. Untuk menerima hal ini mungkin sangatlah sulit, terutama jika kelihatan begitu mulus, menjanjikan kepuasan dan kesenangan. Tak ada orang yang suka dibangunkan dari mimpi indah, apalagi untuk diberitahu bahwa hidup mereka ternyata tak lebih hanya sebuah ilusi.

Tetapi bagaimana kita bisa membedakan antara mimpi dan terjaga? Menurut Sang Buddha, pada saat kita tidur kita mengalami mimpi-mimpi pendek - namun hidup adalah sebuah mimpi yang panjang. Anda mungkin tersadar sejenak bahwa anda hidup dalam sebuah mimpi, tetapi kemudian anda jatuh balik ke dalam mimpi itu lagi.

Di Buddhisme, terbangun dari mimpi kehidupan yang panjang itu berarti menyadari (realisasi) hakekat diri anda. Makhluk hidup yang tak mengalami realisasi ini, tinggal selamanya terjebak dalam mimpi.
Segala sesuatu muncul dan berlalu, segala sesuatu tidak riil. Kita berpikir bahwa mimpi mimpi kita itu tidak nyata dan percaya bahwa saat saat kita terjaga adalah kenyataan. Tetapi tatkala kita mengenali sifat ilusif dari tubuh, dunia, hidup dan mati, maka kita akan paham bahwa keduanya - tidur dan terjaga - sama sama sekedar bak mimpi.

Seorang fotografer Cina yang terkenal, Lang Jing Shan, mengambil potret potret pemandangan di daerah sekitar Sungai Kuning dan Sungai Yangtze, lalu menyusun hasilnya jadi mirip lukisan lukisan Cina "gunung dan air". Secara keseluruhan gambar tersebut mengesankan terbentuk dari fragment-fragment (potongan-potongan). Ya seperti itulah (sebetulnya) cara kerja pikiran kita. Pengalaman-pengalaman tersimpan sebagai fragment-fragment di dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind). Kita tak pernah ingat pengalaman kita secara utuh, namun hanya berupa kejap kejap serta serpihan tak lengkap. Di suatu tempat atau waktu tertentu, potongan-potongan ingatan itu terkadang muncul kembali di pikiran sadar (consciousness); dan begitu pula halnya ketika kita bermimpi.

Barangkali anda mengalami deja vu tatkala melihat atau membaca sesuatu yang anda pikir pernah anda saksikan atau baca. Kita semua mempunyai bermacam pengalaman serta pemikiran yang (bisa) memicu terbitnya perasaan atau respon-respon tertentu dalam pikiran. Tapi ibarat foto impresionistik, respon-respon ini hanyalah berupa fragment-fragment - pantulan ilusif dari pengalaman, pemikiran, serta fantasi-fantasi kita.

Sangat sedikit orang ngerti kala mereka sedang bermimpi; lebih sedikit lagi orang yang ingin bangun - begitu mereka tahu bahwa mereka bermimpi. Orang yang belum menyadari hakekat dirinya (self nature) menyangka; dia sungguh terjaga banget, bahwa hidup ini riil, dan bahwa dia tidak menderita. Baru ketika dia memahami hakekat ilusifnya "diri" - dia sadar bahwa selama ini dia menjalani sebuah mimpi panjang, dan sungguh bercirikan sifat tak memuaskan. Tetapi relatif amat sedikit orang yang paham bahwa untuk mengenali hakekat ketidakkekalan serta sifat ilusifnya kehidupan ini - musti memerlukan latihan harian yang serius. Tak cukup dengan sekedar mendengar kata kata saya, membaca buku ataupun dengan mencapai pemahaman secara intelektual tentang konsep tersebut. Banyak yang telah mendengar tentang praktek, namun cuma sedikit yang sungguh mau commit dengannya. Lebih langka lagi adalah orang yang berpraktek, terbangun dari mimpi, dan bukannya jatuh balik ke dalam mimpi, namun - sampai merealisasi hakekat dirinya.

Ada cerita rakyat Cina populer: "Mimpi bubur cereal", berkisah tentang seorang pemuda yang berkelana ke ibukota guna mengikuti ujian negara untuk menjadi pegawai negeri. Di jalan dia bertemu dengan seorang tua yang sedang memasak bubur cereal. Ia lalu singgah sebentar. Orang tua itu melihat anak muda itu begitu lelah sehingga dia memberinya bantal untuk istirahat. Anak muda itu berbaring-tertidur dan segera tenggelam dalam mimpi yang panjang.

Dia bermimpi bahwa ia mendapat nilai yang paling tinggi dalam ujian. Kemudian ia menikahi putri raja dan menjadi perdana menteri kerajaan. Dia memiliki banyak selir dan saat mencapai usia seratus tahun ia memiliki anak yang tak terhitung jumlahnya. Ia sangat menikmati hidupnya yang panjang dan bahkan di usianya yang telah senja dia tak ingin mati. Namun ketika waktunya tiba, ia tak dapat mengelak, seperti juga yang pasti terjadi pada setiap orang, ia meninggal dunia. Setelah mati, dua demon (hantu) mengiringnya ke neraka karena dia sebelumnya menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki dan menggelapkan uang negara. Dia dihukum oleh raja neraka untuk mendaki gunung berpisau dan setelah itu dicemplungkan ke dalam tungku berisi minyak mendidih. Ia merasa kesakitan luar biasa lalu berteriak sekeras-kerasnya. Pada saat itu pula, si orang tua membangunkannya serta mengatakan bahwa bubur cerealnya sudah siap.

Untuk membuat cereal hanya dibutuhkan waktu sekitar dua jam, tetapi di dalam mimpinya, anak muda itu (serasa benar-benar) mengalami kehidupan sepanjang seratus tahun. Waktu berjalan begitu cepat adalah pengalaman yang sering kita rasakan. Waktu berjalan begitu cepat adalah pengalaman yang sering kita rasakan, tak hanya dalam mimpi, tetapi juga dalam kehidupan sehari hari. Kadang kita mengalami mimpi yang tampaknya begitu lama tetapi sesungguhnya hanya memakan waktu beberapa menit saja dihitung waktu terjaga. Persepsi yang berbeda-beda juga terjadi sewaktuy kita duduk meditasi. Bilamana kaki anda kesakitan dan anda tidak dapat berkonsentrasi - waktu rasanya merambat lambat; apabila kaki anda oke dan konsentrasi lancar tak masalah - waktu melayang begitu cepat.

Mimpi mimpi pada hakekatnya ilusif dan segera lewat berlalu, kesadaran kita akan waktu dan realita juga berlalu seperti mimpi. Namun keliru kalau mengira bahwa tindakan-tindakan kita kala (terjaga) di kehidupan sehari hari tak membawa konsekuensi layaknya dalam mimpi-mimpi. Boleh jadi kita tidak perlu menanggung akibat dari tindakan yang di dalam mimpi, tapi kita tak bisa menghindari konsekuensi dari tindakan-tindakan di hidup sehari-hari kala terjaga. Tindakan serta kata-kata akan menelurkan efek-efek kuat yang membekas lama, tidak bisa hilang begitu saja seperti kalau mimpi. Ini adalah prinsip sebab dan akibat.

Kebanyakan orang mengira bahwa mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan pemikiran pemikiran mereka - sejauh ini hanya berupa pemikiran dan mereka tidak melakukannya. Kita semua memiliki pemikiran-pemikiran buruk yang tidak (sempat) kita perbuat; menginginkan apa saja yang terlihat, hasrat untuk menyakiti orang yang tidak kita sukai, dan seterusnya. Bahkan seorang ibu yang sangat baikpun kadang kita berpikir tentang membunuh anaknya sendiri ketika si anak menangis terlalu keras. Sebagian besar, kita tak percaya bahwa pemikiran ini melanggar Sila Buddhist untuk tidak; berbohong, membunuh, bertindak asusila, dan mencuri. Tetapi bagi penempuh Jalan Bodhisatva, meladeni pemikiran-pemikiran macam demikian sudah serupa dengan pelanggaran Sila. Mungkin hanya sedikit orang berpikir tentang memukul atau membunuh seseorang - saat mereka duduk meditasi. Namun dalam mimpi kala tidur serta di sepanjang kehidupan sehari-hari, pemikiran-pemikiran kasar dan kejam barangkali cukup sering muncul. Seseorang yang berlatih secara teratur, yang mengadopsi sikap bodhisatva, perlu meninggalkan-lepas semua gagasan (buruk) tersebut baik di dalam mimpi maupun kehidupan sehari-hari.

Pada waktu bermimpi, orang mungkin mempunyai pemikiran pemikiran yang tidak bajik atau bahkan melakukan perbuatan buruk. Hal ini karena pemikiran pemikiran tersebut masih tinggal terendap di pikiran mereka. Namun praktisi sejati tingkat lanjut takkan mimpi bertindak salah seperti itu - sebagaimana halnya mereka tak melanggar Sila kala terjaga. Ini disebut sebagai kesesuaian antara pemikiran dan tindakan. Sebaliknya, ketidaksesuaian, menunjukkan seseorang tidak melanggar Sila di waktu jaga, tetapi masih memiliki pemikiran buruk sewaktu bermimpi. Sebuah anekdot dari pengalaman mengajar saya memberikan analogi yang bermanfaat tentang hal ketidaksesuaian.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya sedang mengajar - tiba tiba lampunya padam sehingga kelas jadi gelap gulita. Semua murid lalu mulai berteriak dan tertawa keras. Mengapa ? Pikiran mereka yang tadinya bersembunyi - muncul keluar. Sebelumnya mereka memperlihatkan kontrol-diri yang baik tatkala dalam keadaan terang., tetapi ternyata dalam keadaan gelap (karena merasa leluasa) mereka lepas kontrol.

Kendati kita menyadari bahwa hidup ini kosong, tak nyata dan bagaikan mimpi, kita tetap mempunyai tanggung jawab terhadap mimpi tidur dan jaga ini. Seperti juga aktivitas tubuh menciptakan karma, demikian juga aktivitas pikiran. Sebagai contoh, kalau anda tidak tahu ada seseorang di belakang anda, anda mungkin tanpa sengaja menginjak kaki-nya dan kemudian minta maaf. Dalam kasus ini anda bisa jadi tidak akan merasa telah melakukan sesuatu yang salah. Demikian pula, dari sudut pandang bodhisatva, perbuatan yang dilakukan oleh tubuh tak begitu serius akibatnya - dibanding perbuatan yang dilakukan oleh pikiran.

Karena jalan bodhisatva adalah berdasarkan pencapaian realisasi-mental, kita harus mengerti bahwa karma yang disebabkan oleh tubuh artinya lebih kecil dibanding karma yang ditimbulkan oleh pikiran. Maka, kita harus memperhatikan serius gerak perilaku mental kita dan bertanggungjawab untuk itu. Kita harus membuat pikiran kita simpel, tenang, dan penuh kedamaian. Latihan yang sungguh-sungguh serta rajin akan membantu kita menenangkan tubuh dan pikiran, yang mana kemudian, dari hari-hari - akan mengurangi halangan karma kita.
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 05 November 2008, 05:21:21 PM
2. Spirit Chan

Barangkali sebagian dari pembaca pernah mendengar ungkapan bahwa "Chan tidak dibangun berdasarkan kata kata dan bahasa" dan "Chan adalah suatu transmisi di luar ajaran ajaran konvensional." Tetapi jika Chan tidak bersandar pada kata-kata, mengapa orang mau membaca sebuah buku tentang Chan? Bukankah itu merupakan kontradiksi ? Walaupun tidak dibangun berdasarkan kata-kata, di antara berbagai sekte Buddhisme di Cina, justru Chan adalah yang telahmenghasilkan paling banyak karya karya tulis. Namun, tujuan utama dari tulisan tulisan ini adalah untuk menunjukkan atau mengajarkan kepada anda bahwa "Chan tidak dibangun berdasarkan kata kata tau bahasa" dan bahwa "Chan adalah suatu transmisi di luar ajaran ajaran konvensional. Jadi demikian ada alasan kuat bagi anda untuk membaca buku semacam ini.

Kata "Chan" dapat berarti pencerahan, dan pencerahan dapat diartikan sebagai memahami "makna yang utama", atau "kebenaran ultimit (pamungkas)". Dalam Chan, ada pula yang disebut "makna sekunder" atau "kebenaran konvensional". Kebenaran konvensional bisa diungkapkan dengan kata-kata serta konsep-konsep, tetapi kebenaran utama atau ultimit dari Chan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dalam tradisi Chan, kadang kebenaran pamungkas diibaratkan dengan bulan, dan kebenaran konvensional diibaratkan dengan jari yang menunjuk bulan tersebut. Seseorang yang sudah melihat bulan menunjuk dengan jari untuk menunjukkannya kepada orang yang belum melihatnya. Apabila mereka melihat jari tersebut, bukan bulannya, berarti mereka belum memahaminya. Jari bukanlah bulan. Kata-kata, bahasa, ide-ide serta konsep-konsep adalah ibarat jari dan hanya bisa mengungkapkan kebenaran konvensional. Kebenaran ultimit dapat disebut "pikiran" (mind), sifat asli (original nature), atau sifat hakekat kebuddhaan (buddha nature). Ini adalah sesuatu yang harus dan hanya bisa dialami sendiri oleh setiap individu. Kebenaran ultimit takkan pernah dapat dideskripsikan secara penuh.
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 05 November 2008, 05:22:56 PM
3. Asal Usul Chan

Darimanakah sumber dari Chan ? Menurut cerita turun-temurun, rahib Bodhidharma membawa Chan dari India ke Cina sekitar tahun 500 SM, lebih dari seribu tahun setelah wafatnya Sakyamuni Buddha. Tetapi sejarah India hanya memuat sedikit catatan tentang periode diantara kedua peristiwa tersebut, jadi kita relatif tahu sedikit saja tentang asal usul latihan Chan.

Namun kita mengenal kisah kisah dan legenda-legenda yang menerangkan asal-usul Chan. Yang paling tersohor adalah cerita tentang transmisi Dharma kepada Mahakassapa, salah seorang murid utama Sang Buddha, yang menjadi Patriakh Pertama pada garis silsilah Chan. Ceritanya demikian : suatu hari saat berkhotbah di puncak Hering, Sakyamuni Buddha memegang sekuntum bunga ditangannya di depan sekumpulan muridnya dan beliau tidak berbicara sepatah katapun. Tampaknya tak seorangpun tahu apa arti sikap ini, tetapi kemudian Mahakassapa tersenyum. Sang Buddha lalu berkata, "Harta Karun inti dari Dharma sejati, pikiran nirvana yang menakjubkan - hanya Mahakassapa yang paham." Peristiwa ini menandai awal dari garis silsilah Chan dan transmisi (penerusan) guru ke murid yang berlanjut sampai kini. Semula cerita ini tidak dikenal di sejarah Buddhis sampai pada masa dinasti Song abad ke sepuluh. Tetapi kebenaran harafiah dari cerita tersebut tidaklah sepenting pesan yang dikandungnya tentang hakikat dari Chan.

Sakyamuni Buddha mempunyai dua murid lain, yang satu sangat cerdas dan satunya lagi sangat tumpul. Murid pertama, Ananda mempunyai daya ingat dan daya pikir yang sangat kuat. Akan tetapi, ia tidak pernah mencapai pencerahan (enlightment) di semasa hidup Sakyamuni. Ananda mengira bahwa Sang Buddha akan dapat menghadiahi kecerdasannya dengan pencerahan. Hal ini tidak pernah terjadi. Setelah sang Buddha wafat memasuki parinirvana, Ananda ganti berharap MahaKassapa akan membantunya.

Setelah wafatnya Buddha, Mahakassapa berusaha mengumpulkan 500 murid yang telah tercerahkan untuk menghimpun dan mencatat ajaran ajaran Sang Buddha. Ternyata ia hanya bisa menemukan 499 orang. Beberapa orang lalu mengusulkan agar ia mengundang pula Ananda, tetapi Mahakassapa menjawab bahwa Ananda belumlah mencapai pencerahan dan karenanya tidak memenuhi syarat untuk menghadiri perhimpunan tersebut. Ia mengatakan bahwa lebih baik penyelenggaraan pertemuan itu batal saja daripada harus mengijinkan kehadiran Ananda.

Namun kemudian Ananda bersikeras ingin ikut datang. Mahakassapa mengusirnya sampai tiga kali. Ananda berkata memohon, "Sang Buddha telah memasuki parinirvana. Sekarang hanya engkau yang dapat membantuku mencapai pencerahan !". Mahakassapa menjawab dengan ketus :"Aku sangat sibuk. Aku tidak dapat membantu. Hanya kamulah yang bisa membantu dirimu." Akhirnya, Ananda menyadari bahwa ia harus bersandar sepenuhnya pada usahanya sendiri jika ia ingin mencapai pencerahan. Ia lalu pergi ke sebuah tempat yang sunyi dan menyendiri. Baru saja ia hendak duduk bermeditasi, ia mencapai pencerahan!. Mengapa ? Karena pada saat itu, Anda tidak lagi bersandar pada siapapun dari luruhlah semua kemelekatnnya (attachments).

Sebuah cerita lain menggambarkan sebuah murid yang kurang cerdas bernama Suddhipanthaka, atau Si Jalan Kecil. Semua murid lain, kecuali si Jalan Kecil, mampu menghapal ajaran ajaran sang Buddha; jika dia berusaha mengingat kata pertama dari sepotong kalimat, dia lupa kata keduanya, dan sebaliknya. Sang Buddha hanya memberinya tugas menyapu pelataran, karena ia nampaknya tidak cocok untuk mengerjakan tugas lain apapun.

Setelah bekerja menyapu latar untuk masa yang amat lama, si Jalan Kecil bertanya-tanya pada diri sendiri : "Latar ini bersih, tetapi apakah latar pikiranku bersih ?" Pada saat itulah segala sesuatunya luruh dari pikirannya. Ia pergi menemui Sang Buddha, yang sangat senang dengan pencapaiannya dan mengkonfirmasikan bahwa si Jalan Kecil telah tercerahkan.

Cerita-cerita ini tercatat dalam naskah naskah kuno sebagai kisah nyata, tetapi maknanya jauh melebihi konteks aslinya. Cerita pertama mengilustrasikan bahwa dalam berpraktek, pengetahuan dan kecerdasan tidaklah selalu menjamin tercapainya pencerahan, dan cerita kedua menunjukkan bahwa bahkan seseorang yang lambat pikirpun dapat mencapai pencerahan. Walaupun Sakyamuni Buddha. Mahakassapa, dan Sariputra adalah orang-orang yang berpengetahuan tinggi - sebenarnya Chan tidak terlalu berurusan dengan pengetahuan tinggi namun lebih berhubungan dengan problem dari pikiran yang dipenuhi oleh kemelekatan. Pencerahan dapat dicapai hanya ketika pikiran seseorang bebas dari kemelekatan-kemelekatan.

* * *

Dikatakan bahwa ada dua puluh delapan generasi transmisi (penerusan) sejak jaman Mahakassapa sampai jamannya Bodhidharma - yang kemudian ia lalu dianggap sebagai Patriakh pertama Chan Cina. Ajaran-ajarannya diteruskan lewat jalur tunggal selama lima generasi sampai masa Patriakh Keenam, Hui Neng (638-713). Ia mempunyai banyak murid yang kemudian mendirikan banyak cabang, sebagian diantaranya masih berdiri sampai sekarang. Penulis adalah pewaris garis silsilah Chan ke-62 dari Hui Neng dan generasi ke-57 dalam tradisi Linji (810-866). Dalam garis silsilah Caodong, penulis adalah keturunan generasi ke-50 dari salah seorang pendirinya, Master Dongshan (807-869).

Persisnya, sebenarnya Chan bukanlah Buddhisme yang dibawa oleh Bodhidharma dari India, namun Bodhidharma memasukkan wawasan-wawasan tertentu ke Cina, dan tradisi Chan berkaitan dengan hal hal ini. Ia mengajarkan : bahwa segala sesuatu itu berasal dari pikiran (mind), bahwa hakekat dasar dari pikiran adalah sifat ke-buddha-an (buddha nature), bahwa sifat ke-buddha-an itu inheren (sudah bawaan) ada pada setiap makhluk hidup; dan bahwa metode pokok untuk mencapai pemahaman sifat sejati (original nature) adalah dengan cara mengamati pikiran itu sendiri. Ide ide ini menjadi kontroversial ketika pertama kali dikemukakan di Cina, karena seolah-olah nampak bertentangan dengan filosofi dan latihan-latihan mahzab Buddhis lain yang lebih kompleks - tetapi sesungguhnya justru inilah Buddhisme yang paling mendasar, yang telah dikupas sampai ke inti-sarinya.

Ada sebuah cerita terkenal tentang pencerahan seorang murid Bodhidharma, Hui Ke, yang mengilustrasikan inti semangat Chan Bodhidharma. Hui Ke datang menemui Bodhidharma dan berkata ,"Guru, dapatkah engkau menentramkan pikiranku ?" Bodhidharma menjawab ,"Serahkan pikiranmu dan aku akan menentramkannya untukmu." Hui Ke memeriksa ke-"dalam" dan kemudian menyatakan kepada Bodhidharma bahwa ia tidak dapat menemukan pikirannya. Bodhidharma kemudian berkata ,"Nah, aku telah menentramkan pikiranmu." Inilah cerita tentang pencerahan Hui Ke. Kalau mengikuti kisah tersebut, kalian yang mengikuti retreat dan banyak menderita kesakitan pada kaki karena duduk meditasi lama - sepertinya tidak perlu harus susah-susah melakukan semua ini. Namun sayang, anda bukan Hui Ke dan anda tidak ketemu Bodhidharma.
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: Edward on 06 November 2008, 12:15:14 AM
Nice post bro Dilbert... :jempol:
Ditunggu postingan lainnya mengenai chan...
Untuk sementara, gw nyicil dulu nih bacanya, lumayan panjang soalnya...
Title: Chan : Metode praktek spiritual
Post by: dilbert on 06 November 2008, 04:22:21 PM
4. Apakah Chan itu ?[/u]
Sakyamuni Buddha mendirikan Buddhisme, dan Buddhisme telah diabadikan lewat Dhamma, atau ajaran ajaran Buddha dan Sangha ; komunitas para praktisi bhiksu dan bhiksuni. Namun apakah Chan itu ? Chan adalah segala fenomena

a. Chan : Metode praktek spiritual

Chan, bila dipahami sebagai sebuah praktek spiritual, ialah sebuah mahzab Buddhisme yang berkembang di China dari Buddhisme yang berkembang di China dari Buddhisme dhyana India, yang diperkenalkan oleh para guru India ke China sejak abad ke tiga. Displin mental serta praktek spiritual dhyana, yang bertujuan mencapai suatu keadaan pikiran yang khusyuk melalui konsentrasi, adalah praktek yang umum pada semua agama India, termasuk Hinduisme dan Buddhisme, serta masih digunakan dalam yoga sampai sekarang/ Di China, dhyana dilafalkan sebagai “chan”, dan teknik-teknik meditasinya dipelajari dengan penuh semangat oleh orang Cina. Akan tetapi, seiring jalannya waktu, Chan mengembangkan penekanan yang berbeda dari dhyana yang ada di India waktu itu. Chan kemudian menyebar ke bagian bagian Asia lainnya, dan disebut Zen di Jepang, Son di Korea dan Thien di Vietnam.

Agama-agama India mengajarkan metode meditasi dan konsentrasi dhyana untuk memungkinkan orang membebaskan dirinya dari kondisi spiritual mereka yang tidak memuaskan : aflikasi (gangguan-emosi), beban, serta masalah-masalah dalam pikiran manusia. Gangguan kekesalan-kekesalan ini disebabkan oleh hasrat-hasrat kita; kondisi pemikiran kita yang terpencar-pencar membuat kita sulit untuk melihat dan memahami hal ini. Seseorang yang memulai latihan Chan perlu menggunakan teknik teknik konsentrasi dasar untuk menenangkan dan menyatukai pada pikiran. Teknik-teknik ini mencakup konsentrasi pada nafas, pada tubuh (misalnya pada gerakan gerakan dan kekotaran tubuh), dan pada suara suara seperti misalnya air yang mengalir.

Tujuan dari teknik teknik konsentrasi tersebut adalah untuk membawa pikiran – dari keadaan pemikiran terpencar serta perasaan-perasaan yang kacau dan keterbelengguan, mula mula keadaan konsentrasi dan kemudian ke keadaan dimana pemisahan antara yang eksternal dan internal lenyap. Tetapi ini barulah tahap pertama dalam praktek Chan. Chan tidak tergantung pada, dan melampaui, teknik teknik konsentrasi dhyana.

Teknik teknik para Patriakh yang fleksibel

Kita bisa menjumpai instruksi metode metode Chan sebagai praktek spiritual dalam ajaran para patriakh, para master yang diakui dan dihormati dari masa lampau. Master Shandou (480-560) mengajarkan metode dhyana persis seperti yang ditransmisikan dari India. Salah satu metodenya adalah Empat Fondasi Mindfullness. Pertama-tama sang praktisi memeditasikan (sifat) ketidakbersihan atau kekotoran tubuh, misalnya proses pencernaan. Berikutnya, ia memeditasikan tentang sensasi, serta hakekat sifat sensasi yang secara esensialnya adalah penderitaan, tak memuaskan. Sensasi pada dasarnya adlaah tak-memuaskan (dukkha), atau tidak mampu untuk benar benar memberikan kepuasan sempurna, sebabnya sederhana saja – karena bahkan sensasi-sensasi yang menyenangkanpun kondisional dan (pasti) akan berlalu. Sebagai contoh : kebahagiaan kita tergantung pada kesehatan kita dan kesehatan keluarga kita, pekerjaan kita, apakah negara kita sedang damai atau tidak, dan seterusnya. Semua hal ini tidak permanen. Sebagian pengalaman-pengalaman secara inheren (bawaan) memang menyakiitkan, dan bahkan hal hal yang kita nikmati pun akan menyebabkan kita menderita ketika kita kehilangan hal hal itu.

Selanjutnya, sang praktisi memeditasikan tentang sifat ketakpermanenan pikiran dan ketiadaan suatu “diri” yang sejati atau permanen sebagai pusat dari keberadaan psikofisik seseorang.

Meditasi keempat adalah tentang sifat ketidak permanenan semua dharma, artinya semua fenomena. Ini mencakup ketiga praktek minfulness (perhatian penuh) sebelumnya.

Patriakh Chan keempat, DaoXin (580-651) mengajarkan teknik teknik meditasi dhyana dalam metode metode praktis essensial untuk memurnikan pikiran. Ia menyarankan para praktisi untuk memurnikan pikiran. Ia menyarankan para praktisi untuk memulai praktek Chan dengan sekedar mengamati pikiran. Ia menyuruh untuk duduk (meditasi) sendiri di sebuah tempat yang tenang, tegak lurus, dengan pakaian longgar sehingga anda tidak terkekang. Biarkan tubuh dan pikiran anda dan rileks sepenuhnya, dan kemudian gosok pijatilah diri anda sendiri dari kepala sampai kaki beberapa kali. Selaraskan tubuh dan pikiran anda, dan amatilah pemikiran dan perasaan anda tanpa menjadi terlibat dengannya.

Daoxin juga mendeskripsikan keadaan keadaan konsentrasi yang semakin mendalam yang bisa dilalui seorang praktisi. Pertama, sang praktisi mengalamai dunia luar maupun dalam sebagai kosong dan murni. Ia menempuh keadaan keadaan konsentrasi yang semakin mendalam sampai semua pemikiran lenyap, dan bahkan pemikiran untuk mengkonsentrasikan pikiranpun tidak ada. Akhirnya, sang praktisi melampaui semua alam mental “mengalami” dan bergerak melewati keadaan konsentrasi menuju penyatuan antara yang yang di luar dan yang di dalam (diri). Semua perbedaan lenyap.

Di setiap jaman dan setiap tempat, banyak metode praktek yang telah digunakan. Teknik-teknik Chan itu fleksibel dan mudah diadaptasikan. Karena situasi yang terus berubah dan tipe orang yang berbeda-beda, seorang guru menggunakan metode yang berlainan untuk menuntun setiap orang ke arah pencerahan.

Pernah seorang awam bertanya kepada Patriakh keenam, Hui Neng, “Bukankah berpraktek meditasi dan samadhi untuk mendapatkan pembebasan itu perlu ?”

Patriakh Keenam menjawab, “Tidak. Jalan ini (sifat dasar realitas yang hakiki) direalisasi oleh pikiran. Bagaimana ia bisa eksis dalam tindakan duduk ?”

Metode hanyalah cara yang berguna untuk menjernihnkan pikiran. Karena itu metode harus digunakan harus luwes.

Dalam periode Tang (618-907), banyak master terkenal menggunakan teknik-teknik yang tidak lumrah untuk menuntun orang menuju pencerahan. Master Deshan Xuanjian (dalam bahasa Jepang Tokusan, 781-867) terkenal karena memukul para muridnya dengan tongkat. Ia mula mula adalah seorang cendekiawan Buddhis dan seorang pakar dalam bidang Sutra Intan, yang merupakan salah satu naskah terpenting dalam Chan. Sesudah seorang perempuan tua awam dengan hanya sebuah pertanyaan tunggalnya saja telah membuat Deshan Xuanjian mengerti bahwa – ia sesungguhnya belum memahami makna yang lebih dalam dari Sutra Intan tersebut, ia lalu pergi ke biara – mendedikasikan dirinya untuk menginvestigasi Chan. Pada akhirnya ia menjadi kepala biara di Gunung Deshan, dan bila ia mengajukan pertanyaan kepada para muridnya, apakah mereka menjawab ataupun diam, ia akan memukul mereka. Ia bukanlah sekedar ketokan ringan tetapi kadang berupa hantaman yang sangat keras.

Linji YiXuan (Rinzai, ? – 866) pendiri sekte Linji dari Chan, membantu para muridnya dengan berteriak kepada mereka. Zhaozhou (Joshu) hanya menyuruh para muridnya untuk pergi dan mengambil secangkir the. Master Shigun dari abad ke delapan menjawab ,”Perhatikan aku menembakkan panah ini” pada semua pertanyaan tentang Buddhisme.

Para master Chan ini menjadi terkenal karena metode metode mereka yang luar biasa, tetapi mereka tidak menggunakan metode yang sama secara mekanis kepada setiap orang. Deshan tidak memukul seseorang yang belum siap memetik manfaat dari pukulannya, dan Linji tidak berteriak pada seseorang yang belum siap untuk memetik manfaat dari sebuah teriakan. Jikalau seorang master Chan sedemikian kaku dalam metode metode pengajarannya, kita harus menganggapnya agak gila.

Pertimbangkan master dari abad ke sembilan, Huangbo Xiyun (Obaku Kiun, ? – 850), yang tulisan tulisannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Huangbo menyuruh para rahibnya untuk makan sepanjang hari tetapi jangan pernah menggigit sebutir nasipun, dan berjalan sepanjang hari tetapi jangan pernah menginjak seinchi tanahpun. Yang ia maksudkan ialah bahwa kita tak pernah boleh memisahkan diri kita dari urusan urusan kehidupan biasa, tetapi kita juga jangan membiarkan diri kita dikendalikan oleh lingkungan atau kondisi eksternal kita. Apabila kita bisa melakukan hal ini, kita tidak lagi melekat pada diri, dan tidak lagi berpegang pada konsep bahwa diri dan orang lain itu beda. Hanya orang yang hidup dengan cara ini yang benar benar bebas dan ringan. Seseorang yang bebas dari kemelekatan pada diri akan terlibat secara positif dengan kehidupan namun tak bereaksi secara kacau, cemas atau menderita terhadap berbagai peristiwa, orang lain atau lingkungan sekitar.

Huangbo menekankan bahwa anda dapat menjalankan praktek spiritual dalam situasi apapun. Anda tidak harus meninggalkan masyarakat atau menjadi rahib. Inilah yang menjadi kenyataan dalam Chan. Bilamana kita dapat mencapai keadaan pikiran yang dideskripsikannya, maka kita akan menjadi orang yang telah tercerahkan secara mendalam – layak menjadi great Chan master.
Title: Chan : Kebijaksanaan yang menakjubkan, subtil, dan tak-terjelaskan
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:24:03 PM
b. Chan : Kebijaksanaan yang menakjubkan, subtil, dan tak-terjelaskan.

Dalam Chan, teknik-teknik dhyana untuk mengembangkan konsentrasi dan memasuki samadhi umumnya digunakan oleh para pemula. Seorang praktisi yang berpengalaman tak lagi membutuhkan teknik-teknik semacam itu. Chan sendiri pada akhirnya bukanlah teknik atau metode, tetapi lebih berupa jalan yang anda capai dengan penerapan metode metode praktek. Ini membawa kita ke definisi kedua Chan : Chan adalah kebijaksanaan yang menakjubkan, subtil dan tak terjelaskan.

Chan itu tak terjelaskan karena kita tidak bisa mengekspresikan, mendeskripsikan, atau menjelaskannya dengan kata kata, juga kita tidak bisa membayangkannya atau memahaminya dengan pikiran konseptual kita. Apapun yang dapat kita ekspresikan dalam bahasa, tak peduli betapapun bagusnya, bukanlah Chan.

Mari kita lihat beberapa contoh para master Chan yang menunukkan Chan, di dalam batasan-batasan bahas. Sutra Altar, salah satu teks China yang paling berpengaruh, mencatat kehidupan dan ajaran Patriakh Keenam Chan, Hui Neng. Setelah mencapai realisasinya akan Dharma, Hui Neng menerima jubah dan mangkuk sang Buddha dari Patriakh Chan Kelima. Ini menyimbolkan bahwa ia menjadi Patriakh Keenam, yang memberinya wewenang untuk mentransmisikan Dharma. Karena posisinya Cuma rendahan di biara tersebut, dan para bhiksu belum mengetahui bahwa ia telah mendapat suatu pencapaian, maka hal ini menjadi kontroversi besar. Hui Neng kemudian dinasehati oleh Patriakh Kelima untuk kabur dari biara sehingga yang lain-lainnya tidak dapat mencelakakannya karena cemburu. Ia pergi ke pegunungan di Cina Selatan, dimana ia berdiam selama sepuluh tahun.

Akan tetapi, beberapa bhiksu terus memburunya, termasuk Hui Ming, seorang mantan Jendral yang perkasa dan berkemauan kuat. Ketika Hui Ming berhasil mengejarnya, sang Patriakh Keenam menaruh jubah dan mangkuk Sang Buddha, simbol dari pentransmisian Dharma, di atas sebuah batu, dan berkata, “Ini, ambillah. Aku tak mau bertengkar denganmu karena benda benda ini.”

Hui Ming berusaha mengambilnya tetapi tidak bisa menggerakkannya. Terkejut dan terkesan, ia berkata,” Aku tidak datang untuk jubah dan mangkuk, aku datang untuk Dharma.”

Hui Neng kemudian menyampaikan ajaran pertamanya sebagai seorang master Dharma. Ia menanyai Hui Neng, “Tidak berpikir tentang kebaikan atau kejahatan, siapakah yang berdiri di hadapanku ini ?”. Ini masih menjadi pertanyaan bagus bagi kita sekarang ini. Dapatkah anda menjawabnya ?

Master BaiZhang Huaihai (Hyakujo, 720-814) menunjukkan Chan sebagai kebijaksanaan yang tak terjelaskan ketika ia berkata kepada seorang seorang bhiksu, “Katakanlah sesuatu tanpa menggunakan mulutmu, tenggorokanmu atau bibirmu.”

Baizhang mengekspresikan ide yang sama dengan cara yang berbeda ketika ia mengatakan bahwa kebijaksanaan sejati Buddha dicapai ketika anda tidak lagi terbatasi oleh segala macam konsep, termasuk : baik dan jahat, kekotoran dan kemurnian, teknik, metode, berkah spiritual dan urusan duniawi. Jika anda dapat meninggalkan semua kemelekatan pada konsep konsep, berarti anda telah mencapai kebijaksanaan sejati sang Buddha. Baizhang menyertakan fu, yang secara spesifik mengacu pada perolehan merit (karma baik/phala) dari perbuatan baik, ke dalam daftar konsep konsep yang harus pula kita lampaui. Kaum Buddhis China sering melekat pada sikap memburu pahala dari perbuatan baik, bahkan sampai masa sekarang ini sekalipun.
Title: Chan/Zen : Segala fenomena
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:25:06 PM
c. Chan : Segala fenomena.

Chan adalah suatu bentuk praktek spiritual, Chan adalah kebijaksanaan yang tak terjelaskan, tetapi Chan adalah juga segala fenomena. Tak ada sesuatupun yang bukan dia, dan tak ada tempat yang tak ada dia. Sakyamuni Buddha berkata bahwa semua Dharma adalah Buddhadharma. Kita bisa juga mengatakan bahwa, “Semua dharma adalah Dharma Chan.”. “Dharma” dengan d kecil berarti fenomena, termasuk orang, benda, kejadian, ide, waktu, ruang dsbnya. “Dharma” dengan D besar berarti hukum, dalam pengertian hukum alam, dan itu berarti ajaran sang Buddha. Walaupun Chan melampaui semua konsep, dan semua hal yang bisa kita pahami atau definisikan, Chan sama sekali tidak mengesampingkan apapun.

Zhaozhou (Joshu, 778-897 – ia hidup seratus tahun lebih) menunjukkan hal ini kepada kita dalam sebuah koan :

Suatu hari, seorang bhiksu yang sedang belajar di kuil Zhaozhou, datang kepada sang master dan berkata, “Saya bingung dan bodoh, tolong berilah suatu petunjuk dan ajaran.”

Zhaozhou bertanya, “kamu sudah makan buburmu ?”

Sang bhiksu menjawab, “Ya, sudah”.

Sang master berkata, “Maka pergilah dan cuci mangkukmu”. Setelah mendengar hal itu, sang Bhiksu merealisasi pencerahan.

Jika anda minum segelas susu dan saya berkata kepada anda, “Pergilah dan cuci gelasmu”, apakah anda pikir anda akan mendapat pengalaman pencerahan? Barangkali banyak orang tua di seluruh dunia yang mengatakan itu kepada anak mereka hari ini. Apakah anak-anak itu menjadi tercerahkan ? Kita harus ingat latar belakang dari cerita ini; bhiksu tersebut kemungkinan telah berpraktek untuk waktu yang lama. Pikiran seseorang yang telah berpraktek itu lurus dan sangat murni.

Apapun yang kita kerjakan bisa dianggap sebagai latihan Chan. Tak ada apapun yang kita kerjakan yang tidak termasuk praktek. Tetapi juga tidak sesederhana itu.

Dalam sebuah cerita lain seorang bhiksu bertanya kepada seorang master, “Apakah Chan itu ?”

Sang master menjawab, “Bila engkau lapar, makanlah; bila engkau lelah, tidurlah”.

Setelah menerima ajaran ini, sang Bhiksu berkata, “Setiap orang makan ketika lapar dan tidur ketika lelah. Apakah itu berarti setiap orang berada dalam keadaan Chan ?”

Sang master menjawab, “Ketika kamu sedang makan, apakah kamu makan dengan pikiran yang menyatu sepenuhnya ? Ketika kamu sedang tidur, bukankah kamu juga bermimpi aneka macam ?”

Dalam sebuah cerita terkenal lainnya, seorang bhiksu berkata kepada Master Zhaozhou, “Semua dharma (maksudnya segala sesuatu) kembali yang satu. Kemanakah yang satu tersebut kembali ?”. Kalimat “semua Dharma kembali ke yang Satu” mengacu langsung kepada praktek, dimana kita mengkonsentrasikan pikiran yang terpencar dan menacpai keadaan satu pikiran. Ketika kita bicara tentang kesatuan yang kembali ke sesuatu, itu kedengarannya mirip dengan konsep religius bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Tuhan.

Master Zhaozhou menjawab, “Ketika aku di propinsi Ching, kuminta dibuatkan sebuah jubah yang beratnya tujuh pound”. Ia ditanya suatu pertanyaan filosofis yang mendalam dan abstrak, tetapi ia memberikan jawaban biasa yang nampak kabur. Mungkin namapkanya pertanyaan itu tidak terjawab oleh jawabannya tersebut. Yang ia katakan adalah bahwa ia telah kembali dari Ching dengan sebuah jubah baru yang indah dan ia senang dengannya. Apapun yang ditanyakan siapapun, ia akan menjawab, “Aku baru saja minta dibuatkan jubah baru ini.”

Anda tidak arus menggunakan konsep konsep filosofis untuk menyelidiki kebenaran. Pertanyaan tentang kemanakah yang satu itu kembali tidaklah penting. Filsuf yang paling brilian maupun buruh paling tak terampilpun harus makan dan tidur dan ke kamar mandi. Mengapa kita cenderung berpikir ada sesuatu kebenaran yang hanya terbatas bagi sang filsuf brilian? Chan tidaklah menentang penyelidikan filosofis, atau kebrilianan, tetapi kita tak harus menggunakan konsep-konsep dan ide ide yang canggih untuk mencari kebenaran pamungkas. Kebenaran pamungkas ada disekeliling kita dan tepat dihadapan kita sepanjang waktu, dalam kehidupan biasa sehari hari kita.

Apakah makna dari contoh contoh ini? Apapun yang anda kerjakan, betapapun biasanya, apapun yang anda lihat di hadapan anda bukan lain adalah Chan. Tetapi tidak apapun yang secara sendirian merupakan Chan utuh.
Title: Pandangan hidup Chan/Zen
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:26:21 PM
5. Pandangan hidup Chan

Sampai titik ini kita telah meninjau Chan itu sendiri, tetapi apakah pandangan Chan tentang hidup kita dan tujuan dari hidup kita ?

Ada beberapa level pandangan atau pemahaman tentang hidup dalam Chan – karena Buddhisme mengetahui bahwa pandangan hidup setiap orang bergantung pada perspektif dan level perkembangannya. Jika anda melihat segala sesuatu secara mendalam, maka itulah pemahaman anda. Chan adalah segala fenomena. Dengan kata lain, semua hal besar dan kecil selaras dengan ajaran Chan. Ini adalah sebuah pandangan yang mendalam tentang hidup, dan hanya sedikit saja dari kita yang dapat memahaminya.

Apabila anda memandang hidup ini tidak punya sasaran atau tujuan, anda barangkali akan merasa bahwa hidup ini kosong dan tak berarti. Kalau hidup anda nampak tak punya arti, anga bisa bertanya-tanya, “Mengapa saya bersusah-susah untuk hidup ?” Anda bisa merasa bahwa anda tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan manfaat bumi ini.

Konfusius berkata, “Makanan dan seks, inilah insting manusia.” Maksudnya, hasrat untuk terus eksis dan dorongan untuk berketurunan merupakan sisi binatang dari hakekat manusia.. Inilah pandangan hidup manusia yang terendah, dan kita dapat menyebutnya pandangan hidup binatang. Hidup hanyalah suatu pencarian makanan, tempat tinggal, dan membuat keturunan, sebagaimana layaknya binatang. Tiada punya tujuan lain. Inikah sikap hidup anda ?

Sebuah variasi dari pandangan hidup adalah meyakini bahwa eksistensi manusia itu spontan, tanpa sebab dan tujuan. Orang dengan pandangan ini hanyut dan membiarkan situasi menentukan sendiri. Apakah anda kenal ada orang yang menjalani hidup mereka menurut pemahaman level binatang ini ?

Kita bisa menyebut sebuah pandangan hidup kedua sebagai perspektif “terdelusi” atau “tolol”. Ini adalah satu tahap sedikit di atas pandangan binatang. Orang dengan pandangan ini percaya bahwa yang penting adalah bertarung dan berjuang untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan. Mereka memupuk kekayaan dan memburu kekuasaan serta posisi untuk melindungi kesejahteraan mereka dan anak cucunya.

Pada jaman dahulu seorang pejabat penting pemerintahan mengunjungi seorang biksu luar biasa yang tinggal di sebuah pohon. Bukanlah aneh bagi seorang pejabat di jaman itu untuk meminta bimbingan dari seorang bhiksu. Para pejabat Cina dipilih melalui sistem ujian yang keras, dan kebanyakan mereka adalah orang orang yang berpendidikan serta berbudaya tinggi. Banyak bhiksu dan master Buddhis juga orang yang berpendidikan, dan mereka bijak, jadi ceramah dan petunjuknya menarik para pejabat. Bahkan para kaisarpun meminta bimbingan dari para master Chan.

Seperti yang saya katakan tadi, master ini tinggal di sebuah pohon yang tinggi. Sang pejabat berkata padanya ,”Master, anda berada dalam situasi yang sangat berbahaya.”

Sang master menjawab, “Aku tidak dalam bahaya apapun. Akan tetapi, kamulah yang berada dalam situasi yang berbahaya.”

Sang pejabat bertanya, “Bagaimana saya bisa berada dalam situasi yang berbahaya ?Saya kepala pemerintahan daeraha. Saya selalu dikawal dan dilindungi oleh banyak orang. Bagaimana kok bisa situasi saya berbahaya ?”

Sang master menjawab, “Bumi, air, api dan angin secara terus menerus mengesalkanmu (elemen-elemen yang diyakini oleh orang Cina pada masa itu menyusun semua fenomena fisik). Proses kelahiran, sakit, usia tua dan kematian dapat mempengaruhimu kapan saja. Ketamakan, kemarahan, kebodohan dan arogansi terus menyertaimu. Bagaimana kamu bisa mengklaim bahwa kamu tidak sedang dalam situasi yang berbahaya ?”

Sang pejabat itu cerdas dan mempunyai akar karma (potensi karma) yang baik untuk kebijaksanaan. Ia segera paham dan berkata, “Master, memang, saya berada dalam posisi yang jauh lebih buruk dari anda.”

Umat manusia terdelusi; di dunia ini, sebenarnya tidak ada tempat yang benar benar aman.

Seseorang yang pandangan hidupnya terdelusi adalah seperti seekor anjing yang mengejar ekornya sendiri, karena yakin bahwa itu adalah anjing yang lain. Ia mengejar ekornya memutari pohon, sambil berpikir, “Biar kutangkap anjing kotor itu !” Ia tidak akan pernah berhasil mengejar ekornya sendiri, sama seperti kekayaan, kekuasaan, kesuksesan, dan prestise tidak bakal pernah bisa menjamin keamanan hidup kita. Pada akhirnya anjing tersebut mati, sama seperti kita. Ketika anjing tersebut mati, ia tidak tahu apa arti hidup atau mengapa ia mati. Ia tidak sadar bahwa ia selama ini telah mengejar ekornya sendiri. Demikian juga pandangan hidup yang terdelusi, dan banyak sekali dari kita yang hidup dengan cara ini.

* * *
Jikalau pandangan bahwa tujuan dari hidup adalah berjuang untuk keamanan dan kesejahteraan itu dikatakan pandangan yang terdelusi, pandangan apa yang dipegang oleh seorang bijak ? Di sini kita bicara tentang kebijaksanaan duniawi, dan yang kita maksud adalah seseorang yang hidup mengikuti prinsip-prinsip ideal dan cita-cita. Kebanyakan dari kita cenderung percaya bahwa kita tergolong kategori ini.

Sebuah contoh seseorang yang memiliki kebijaksanaan duniawi adalah artis yang mencurahkan diri pada keindahan dan perwujudannya. Proses penciptaan sebuah karya seni bisa jadi menyakitkan, tetapi ketika karya tersebut selesai, melihat atau mendengarkannya bisa menjadi suatu pengalaman yang indah, baik bagi sang kreator maupun khalayak pemirsanya. Dalam prosesnya sang artis bisa diperindah, dan demikian juga dunia. Pengalaman keindahan internal sang artis bisa mentransformasikan lingkungan. Meskipun ia sedang bekerja, “dalam” dan “luar” tidak dialami sebagai terpisah. Sang artis mengenali bahwa seluruh semesta adalah suatu karya seni yang kreatif.

Sering dunia nampak indah bagi sang artis ketika ia sedang terlibat secara kreatif, tetapi tatkala ia harus menghadapi dunia biasa, hidup mungkin tidak nampak seindah itu lagi. Saya kenal seorang pelukis yang karyanya benar benar indah. Ia sangat berbahagia bilamana berbicara dengan orang lain mengenai lukisan dan seni. Tetapi ketika percakapan bergeser keluar dari topik seni; ia jadi mudah marah dan bertemperamen buruk. Ia membuat hidup menjadi sulit bagi istri serta teman-temannya.

Para artis bisa mengalami momen momen indah, momen momen ketakterpisahan antara diri dan non diri, tetapi ini bersifat sementara. Hidup biasanya tidak selalu indah; dan lebih sering aspek yang tak terlalu indah dari kehidupan inilah yang kita alami.

Beberapa scientist yang hidupnya dicurahkan untuk menganalisa dan mengamati dunia fisika, juga menunjukkan pandangan hidup yang bijak. Mereka mengalami ketak-terbatasan alam dan dari sana menarik satu kesimpulan tentang ketakterbatasan dari apa yang ada di dalam diri mereka. Walau mereka mungkin hanya mengamati materi, tetapi dengan pemahaman yang tajam mereka bisa melihat suatu totalitas yang tak terbatas. Dapatkah mereka menggunakan sains untuk menemukan makna kehidupan ? Itu tidak mungkin.

Seorang ilmuwan pernah berkata kepada saya, “Guru, sains dan Buddhisme mencapai kesimpulan yang sama, jadi jika saya memburu sains, tak ada perlunya lagi mempelajari buddhisme.”

Saya berkat, “Kesimpulan apa itu ?”

“Buddhisme”, katanya, “mengatakan bahwa tidak ada batas untuk fenomena. Sains juga telah sampai pada kesimpulan yang sama. Buddhisme berkata semua fenomena adalah kosong, dan sains, dengan analisisnya tentang materi pada level yang paling kecil, juga menemukan tak ada substansi yang permanen. Kesimpulan-kesimpulannya identik.”

Saya menjawab,” Tidak, keduanya sama sekali berbeda. Dapatkah sains menjelaskan mengapa anda lahir di dunia ini ?”

Ia berkata, “Oh, itu sederhana. Ibu saya yang melahirkan saya.”

Saya bertanya, “Mengapa ibu anda melahirkan anda dan bukan seseorang yang lain ?”

“Ibu saya melahirkan saya, dan itu cukup. Tidak perlu ia punya seorang anak lain.”

Saya bertanya,” lalu mengapa anda lahir dari ibu ini dan bukan yang lainnya ?” Ia tidak punya jawaban itu, jadi saya bilang ,”Ini menunjukkan bahwa anda tidak jelas tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental semacam itu: anda tidak punya jawabannya”. Akhirnya, saya bertanya,” Mengapa anda datang ke dunia ini dan dalam kehidupan ini? Kemana anda akan pergi dari sini?”

Sains bisa menunjukkan kepada kita bahwa fenomena adalah tak terbatas dan kosong, tetapi ia tidak bisa menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup manusia dan apa yang akan terjadi pada kita setelah mati. Itulah sebabnya banyak ilmuwan akhirnya mengadopsi suatu keyakinan religius atau percaya pada Tuhan atau suatu dewa lain. Bahkan Einstein pun religius. Di Taiwan, para ilmuwan sering menjadi Buddhis, karena sains tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia.

Para filsuf bisa juga bijak. Mereka hidup sesuai dengan ide ide yang dipahami dengan baik, dan mereka secara sadar berusaha menerapkan ide ide dan prinsip-prinsip mereka ke dalam kehidupan sehari hari.

Kaum religius merupakan sebuah kelompok lain yang mencari kebijaksanaan. Seseorang yang religius menjalani hidupnya menurut prinsip prinsip dan sasaran sasaran yang diakui, dan mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya. Makna kehidupannya didasarkan pada memathui hukum Tuhan dan para pengharapan bergabung dengan Tuhan dalam kerajaan surga-Nya setelah mati.

Sang individu dan Tuhan, di satu sisi, terhubung menjadi satu; di sisi lain, mereka independen. Ini memperbaiki kelemahan dari sang artis, ilmuwan, dan filsuf, yang beresiko kehilangan identitas mereka tatkala menyatu dengan seni, sains dan filosofi mereka. Kan tetapi, seseorang yang percaya pada Tuhan memandang dirinya sebagai mempunyai suatu identitas kekal yang independen, atau jiwa. Bagi banyak orang, pentinglah untuk mempunyai rasa identitas ini. Kalau tidak mereka merasa kosong.

* * *
Pandangan Chan tentang hidup berbeda dengan kebijaksanaan duniawi. Di dalam pandangan Chan, tujuan hidup adalah pencerahan – yakni ; pelepasan diri (the letting go of the self). Kita harus menempuh tiga tahap untuk sampai pada pembuyaran diri. Pertama, kita harus memperkokoh diri kita sendiri.; kedua, mematangkan diri; dan ketiga membuyarkan diri. Ini disebut pandangan realistik tentang hidup manusia, karena didasarkan pada realitas yang ultimit.
Title: Tahapan-Tahapan The Letting Go of the Self (Pelepasan diri)
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:28:45 PM
Tahapan-Tahapan The Letting Go of the Self (Pelepasan diri)

1.   Mengokohkan diri

Mengokohkan diri sendiri berarti mengokohkan tujuan, sasaran, makna, dan nilai dari hidup seseorang, dan mau melihat diri sendiri secara jujur dan jernih. Orang bertanya,” Mengapa kita lahir di dunia ini dan dalam kehidupan ini?” Pandanan buddhis adalah bahwa kita disini untuk menerima buah karma kita, dan juga untuk memenuhi cita cita atau ikrar kita.

Kita harus memahami bahwa dalam satu masa kehidupan, perbuatan-perbuatan kita, baik dan buruk (yang menciptakan buah karma), dan hasil dari perbuatan-perbuatan itu (buahnya) adalah relatif terbatas dibanding dengan beribu ribu kehidupan yang telah kita jalani. Apa yang kita kerjakan dan apa yang kita terima pada saat ini sering tidak sesuai. Sebagian orang nampak tidak berbuat banyak kebaikan, namun lahir dengan kekayaan atau mendapatkan kesuksesan dengan mudah. Sebagaian lainnya bekerja keras sepanjang hidupnya, namun hampir tidak bisa memberi makan dirinya sendiri. Mereka tidak mencapai apapun, hubungan-hubungan pribadinya tidak berhasil, dan nampaknya menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan.

Mengapa ada perbedaan-perbedaan semacam ini ? Untuk menjawab ini, kita harus memahami buah karma. Masa kehidupan yang sekarang ini didahulu oleh tak terhitung masa kehidupan sebelumnya, dimana kita melakukan beraneka ragam perbuatan berbeda. Konsekuensi dari perbuatan-perbuatan ini mencapai masa kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan di masa depan sampai semua hasil dari perbuatan-perbuatan itu muncul. Kemudian kita akan menerima buah karma penuh atas kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan. Salah satu alasan kita dilahirkan adalah untuk membayar utang karma kita dari masa masa kehidupan sebelumnya. Apa yang diteruskan dari satu masa kehidupan ke masa kehidupan berikutnya ? Benih benih karma yang telah kita tanam : perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan, baik dan buruk, yang belum melahirkan buah.

Saya sendiri lahir dengan banyak problem fisik dan sering sakit ketika kanak kanak. Saya bertanya pada diri sendiri, “ Mengapa kesehatan saya sedemikian buruk? Apakah ibu saya tidak adik, melahirkan saudara lelaki dan perempuan yang sehat, dan melahirkan saya dengan sakit sakitan begini? “. Sekarang saya mengerti bahwa ini bukanlah perbuatan ibu saya. Ia tidak punya pilihan. Tubuh saya saat lahir adalah hasil dari benih benih karma sebelumnya. Tetapi banyak dari kita merasa bahwa dimana dan kapan kita lahir, dan keseluruhan bagian kehidupan ini, adalah tidak adil.

Kita juga datang ke dunia ini untuk memenuhi cita cita dan ikrar kita. Sebuah “ikrar” dalam Buddhisme adalah janji atau sumpah terkuat yang bisa dibuat seseorang.

Masing-masing kita punya cita cita dan pernah membuat sumpah dan ikrar. Bukankah itu benar ? dan bukankah kita semua juga membuat banyak janji-janji yang tidak kita tepati ? Orang yang sedang dimabuk cinta menjanjikan segala macam hal, tetapi mereka sering melupakannya begitu mereka menikah. Setiap janji yang belum dipenuhi pada akhirnya harus dibayar. Kita datang ke dunia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kita dan membayar utang-utang kita.

Sejauh ini, saya bicara tentang mengokohkan diri. Setelah mengokohkan diri, kita harus mematangkan diri kita.


2.   Mematangkan diri

Proses pematangan mencakup meninggalkan fokus-kepedulian yang hanya pada diri sendiri serta meng-orientasikan diri anda sendiri kearah memikirkan kepentingan makhluk hidup lain. Maka akan siap untuk menanggung beban ketidaknyamanan, kesulitan dan penderitaan bagi orang lain. Menyelamatkan makhluk hidup dari penderitaan, sebagaimana yang diikrarkan kaum Buddhis, mengharuskan anda untuk memberikan apa yang dibutuhkan – waktu, uang, atau segala upaya anda. Ketika anda memberi, mungkin nampak bahwa anda kehilangan sesuatu, tetapi itu hanyalah pandangan egois. Seorang bodhisatva, seorang makhluk tercerahkan, tidak punya pemikiran untung atau rugi. Kesejahteraan makhluk hidup lainnya yang penting.

Secara sukarela meninggalkan keuntungan pribadi, secara aktif membantu dan, bila perlu, menderita demi makhluk hidup, adalah sikap yang tepat, atau “pandangan benar”. Bilamana perbuatan perbuatan kita demi kepentingan orang lain bersifat sukarela, penderitaan kita sendiri akan berkurang. Adalah ketika : penderitaan dan kekesalan terjadi di luar kemauan kita, maka segala penderitaan itu menjadi sulit ditanggung. Mereka yang ada di jalan Bodhisatva, walaupun masih di tahap permulaan, harus mengabaikan keuntungan pribadi mereka sendiri meski mungkin tidak enak. Dan apabila makhluk hidup yang kita bantu tidak menunjukkan terima kasih, kita jangan menyesal. Inilah kebijaksanaan dan belas kasih.


3.   melampaui diri

terakhir, kita harus meng-transenden (melampaui) diri. Tahap perkembangan ketiga dan terakhir ini, menurut Chan, adalah kebebasan sempurna dari diri. Setelah kita sepenuhnya melepaskan diri, kita mengembalikan manfaat dari pencapaian kita pada masyarakat dan dunia. Kita mempersembahkan segalanya, apapun yang kita miliki dan apapun yang telah kita capai, kepada semua makhluk. Makhluk hidup bisa memetik keuntungan dari upaya upaya kita, tetapi kita tidak mengalami untung atau rugi. Inilah tiada-diri, tahap pencerahan yang dalam.

Jika anda mencapai pencerahan mendalam, anda tak perlu lagi mendengar saya bicara tentang pandangan hidup, karena anda tidak akan punya suatu pandangan hidup tertentu. Dalam Chan, pandangan hidup yang final dan transenden adalah tiada pandangan hidup sama sekali. Dengan demikian, apa yang masih bisa dikatakan ? Mempunyai suatu pandangan hidup adalah kondisi dari orang biasa. Meng-transenden konsep ini adalah kondisi dari orang yang tercerahkan secara mendalam. Orang semacam ini menjalankan apapun tugas yang dihadapi.

Ada banyak gong’an (dalam bahasa Jepang :koan) Chan yang mengilustrasikan poin ini. Salah satunya sebagai berikut : seorang bertanya, “Adakah tempat tak satu[un helai rumputpun tumbuh ?”

Sang master menjawab, “Bila engkau melangkah keluar pintu – setiap tempat penuh dengan rumput wangi”.

.... bersambung....
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: ZenMarco on 17 November 2008, 04:36:00 AM
Boleh kasih saran?

Untuk jaman sekarang, yang sudah serba maju dan teknologis, aku kira diperlukan suatu konsep yang praktis, iinformatif, dan logis. Rasanya sulit membicarakan suatu 'isu' yang sulit dicerna oleh orang-orang yang kebanyakan disibukkan kehidupan sehari-hari.

Akan lebih bagus bila bentuk-bentuknya wajar-wajar, normal, dan masuk akal daripada suatu 'isu' yang seolah-olah menceritakan suatu dongeng anak-anak sebelum waktu tidur malam. Dan ini akan membawa dampak 'negatif' di jangka panjangnya mengingat orang-orang akan semakin kritis, semakin informatif, semakin cuek, semakin sibuk, semakin mau serba mudah praktis yang menggampangkan banyak hal-hal, dst, karena diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan sehari-hari, sempitnya waktu, dikejar-kejar target, dst, yang semuanya itu seolah-olah bagai sebuah penjara bawah tanah (dungeon) di dalam diri dan pikiran mereka masing-masing.

Aku kira yang sederhana (bukan menggampangkan ya), adalah bentuk-bentuk penyampaian yang logis, wajar, sederhana, yang sesuai dan cocok untuk membantu kehidupan sehari-hari dimana hal ini akan lebih mudah dipraktekkan daripada sebuah 'isu' yang terdengar mengawang-awang tinggi di angkasa yang sulit dicapai oleh kebanyakan orang.

Dan seperti diketahui, memang banyak 'isu' yang membutuhkan suatu pengorbanan bagi yang bersangkutan bila ia memang mau sungguh-sungguh untuk mencari dan mengenalnya. Misalnya, makan daging atau sayuran? Arak atau air putih? Dst. Jelas isu ini sangat krusial yang bisa membawa banyak perubahan bagi dirinya. Namun, lepas dari kesungguhannya untuk terus mencari, sedikit banyak 'isu-isu' itu yang sudah praktis menjalar di banyak tempat dewasa ini akan memberi kepadanya dampak yang menyulitkannya untuk memilih yang terbaik bagi dirinya bila 'isu-isu' itu dilihatnya mulai banyak 'menghambat' aktifitas kehidupan sehari-harinya.

Pada kondisi demikian seseorang akan memilih suatu 'celah' untuk bisa meloloskan dirinya dari ikatan-ikatan spiritualnya entah itu dilakukan secara bertahap, pelan-pelan, yang akhirnya dia memilih pada posisi 'abu-abu' saja karena dia 'terhimpit' di antara 2 dunia yang sangat berbeda. Atau kasarnya, hipokrit.

Maaf bila ada kata yang kurang mengenakkan, hanya usul.
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 17 November 2008, 06:40:23 PM
Boleh kasih saran?

Untuk jaman sekarang, yang sudah serba maju dan teknologis, aku kira diperlukan suatu konsep yang praktis, iinformatif, dan logis. Rasanya sulit membicarakan suatu 'isu' yang sulit dicerna oleh orang-orang yang kebanyakan disibukkan kehidupan sehari-hari.

Akan lebih bagus bila bentuk-bentuknya wajar-wajar, normal, dan masuk akal daripada suatu 'isu' yang seolah-olah menceritakan suatu dongeng anak-anak sebelum waktu tidur malam. Dan ini akan membawa dampak 'negatif' di jangka panjangnya mengingat orang-orang akan semakin kritis, semakin informatif, semakin cuek, semakin sibuk, semakin mau serba mudah praktis yang menggampangkan banyak hal-hal, dst, karena diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan sehari-hari, sempitnya waktu, dikejar-kejar target, dst, yang semuanya itu seolah-olah bagai sebuah penjara bawah tanah (dungeon) di dalam diri dan pikiran mereka masing-masing.

Aku kira yang sederhana (bukan menggampangkan ya), adalah bentuk-bentuk penyampaian yang logis, wajar, sederhana, yang sesuai dan cocok untuk membantu kehidupan sehari-hari dimana hal ini akan lebih mudah dipraktekkan daripada sebuah 'isu' yang terdengar mengawang-awang tinggi di angkasa yang sulit dicapai oleh kebanyakan orang.

Dan seperti diketahui, memang banyak 'isu' yang membutuhkan suatu pengorbanan bagi yang bersangkutan bila ia memang mau sungguh-sungguh untuk mencari dan mengenalnya. Misalnya, makan daging atau sayuran? Arak atau air putih? Dst. Jelas isu ini sangat krusial yang bisa membawa banyak perubahan bagi dirinya. Namun, lepas dari kesungguhannya untuk terus mencari, sedikit banyak 'isu-isu' itu yang sudah praktis menjalar di banyak tempat dewasa ini akan memberi kepadanya dampak yang menyulitkannya untuk memilih yang terbaik bagi dirinya bila 'isu-isu' itu dilihatnya mulai banyak 'menghambat' aktifitas kehidupan sehari-harinya.

Pada kondisi demikian seseorang akan memilih suatu 'celah' untuk bisa meloloskan dirinya dari ikatan-ikatan spiritualnya entah itu dilakukan secara bertahap, pelan-pelan, yang akhirnya dia memilih pada posisi 'abu-abu' saja karena dia 'terhimpit' di antara 2 dunia yang sangat berbeda. Atau kasarnya, hipokrit.

Maaf bila ada kata yang kurang mengenakkan, hanya usul.

sarannya bro?? terus yang menjadi pokok permasalahan yang berkaitan dengan saran ??

Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: thioboeki on 02 December 2008, 01:26:01 PM
Judulnya "Gerbang Tanpa Gerbang" saja sudah membuat pikiran saya mumet, seperti ketika saya membayangkan kalo Alam Semesta ini Kosong belaka tanpa isi Segala Planet dan Bumi tempat saya berpijak juga tidak ada dan Saya tak pernah Ada bahkan Alam Semesta ini juga tak ada.

      Setiap orang memiliki karma yang tidak sama karena pemikiran setiap orang tidak sama, ada orang yang sangat rasional dan ada orang yang tidak rasional dan kita termasuk orang yang type apa?

     Ada yang mengatakan bila ada sekelompok orang yang gila didalamnya terdapat seorang yang tidak gila maka orang tersebutlah yang jadi orang gila.
     


      Apakah pemikiran Chan berdasarkan rasional atau tidak rasional?




   
 
Title: Re: Chan / Zen (Gerbang tanpa Gerbang) oleh Master Sheng Yen
Post by: dilbert on 02 December 2008, 03:27:54 PM
[at] atas..
Chan itu rasional. Tidak ada yg misterius di dalam chan. Karena chan itu adalah fenomena itu sendiri.

Ajaran yg bagaimanakah kata kata seperti dibawah ini.
"ketika anda lapar, makanlah! Ketika anda ngantuk, tidurlah!"