“Tidak benar, Mahāmati, bahwa daging adalah makanan yang tepat dan diizinkan bagi para Śrāvaka apabila tidak dibunuh oleh dirinya sendiri, ia tidak memerintahkan orang lain membunuhnya, atau tidak secara khusus dimaksudkan bagi dirinya. Lagipula, Mahāmati, akan banyak orang yang tidak cakap di masa mendatang, yang akan meninggalkan kehidupan berumah-tangga sesuai Ajaran-Ku, dikenali sebagai putra-putra Śākya, dan mengenakan jubah kāṣāya sebagai tanda, namun jahat dalam pikirannya karena terpengaruh kesimpulan yang salah. Mereka akan membahas berbagai pembedaan yang mereka buat dalam latihan moral karena melekat pada pandangan tentang adanya jiwa. Di bawah pengaruh kehausan akan rasa [daging], dalam berbagai cara mereka akan merangkai alasan-alasan yang ‘masuk akal’ untuk mempertahankan makan daging. Mereka mengira bahwa mereka dapat memfitnah-Ku dengan fitnah yang belum pernah ada sebelumnya, sewaktu mereka melakukan pembedaan dan menyatakan fakta-fakta yang memungkinkan aneka penafsiran. Dengan menganggap bahwa fakta anu dapat ditafsirkan begini, [mereka menyimpulkan] bahwa Sang Bhagavan mengizinkan daging sebagai makanan yang tepat, bahwa daging disebutkan di antara makanan-makanan yang diizinkan, dan mungkin Tathāgata sendiri memakannya. Akan tetapi, Mahāmati, tiada satu pun rujukan di dalam sūtra bahwa daging dibolehkan untuk dinikmati, atau sebagai salah satu makanan yang tepat yang disebutkan [bagi pengikut Buddha].
“Jika seandainya, Mahāmati, Aku pernah berpikiran untuk membolehkan [makan daging], atau berkata bahwa adalah tepat bagi para Śrāvaka [untuk makan daging], tentunya Aku takkan pernah melarang, takkan melarang makan daging bagi para Yogi, yakni putra dan putri berbudi dari keluarga baik-baik, yang — karena berkeinginan menganggap semua makhluk sebagai anak tunggalnya — mengembangkan kasih sayang, mempraktekkan kontemplasi, pengekangan diri, dan melangkah dalam Mahāyāna. Dan, Mahāmati, larangan memakan daging apa pun ditujukan kepada semua putra dan putri berbudi dari keluarga baik-baik, baik mereka yang melakukan pertapaan dengan tinggal di pekuburan atau di hutan, maupun para Yogi yang mempraktekkan latihan — apabila mereka berhasrat akan Dharma dan melangkah untuk menguasai yāna mana pun — dengan mengembangkan kasih sayang, menganggap semua makhluk sebagai anak tunggalnya demi menyempurnakan latihannya.
“Dalam teks-teks kanonik tertentu, proses latihan dikembangkan bertahap seperti tangga yang menanjak tingkat demi tingkat, dan terhubung dengan proses lainnya secara teratur dan metodis; setelah menerangkan tiap-tiap pokok, daging, yang diperoleh dalam keadaan khusus demikian, tidak dilarang. Selain itu, sehubungan dengan daging binatang yang mati secara alami, telah diberikan sepuluh larangan. Tetapi, dalam sūtra ini, [makan daging] dalam bentuk apa pun, dalam cara apa pun, dan di tempat mana pun, tanpa kecuali dan berlaku bagi semua, adalah terlarang. Maka, Mahāmati, Aku tidak pernah mengizinkan, tidak mengizinkan, dan tidak akan mengizinkan makan daging bagi siapa pun. Makan daging — Kuberitahukan kepadamu, Mahāmati — adalah tidak layak bagi bhikṣu yang telah meninggalkan rumah-tangga. Mungkin ada beberapa orang, Mahāmati, yang mengatakan bahwa Tathāgata memakan daging, karena mengira ini dapat memfitnah-Nya. Orang-orang yang tidak cakap ini, Mahāmati, akan mengikuti jalan jahat dari rintangan karmanya, dan akan jatuh ke daerah di mana malam panjang berlalu tanpa keuntungan dan kebahagiaan. Mahāmati, para Śrāvaka yang mulia tidaklah memakan makanan yang [umumnya] dimakan orang biasa, apalagi makanan yang berasal dari daging dan darah yang seluruhnya tidak tepat. Mahāmati, makanan bagi para Śrāvaka, Pratyekabuddha, dan Bodhisattva-Ku adalah Dharma dan bukan daging; apalagi bagi Tathāgata! Tathāgata adalah Dharmakāya, Mahāmati; Ia berdiam dalam Dharma sebagai makanan; tubuh-Nya tidaklah diumpani dengan daging; Ia tidak memakan makanan dari daging. Ia telah menyingkirkan energi-kebiasaan dari kehausan dan keinginan yang mendasari segala eksistensi; Ia telah menyingkirkan energi-kebiasaan semua nafsu jahat; Ia Maha Tahu; Ia Maha Melihat; Ia menganggap semua makhluk sebagai anak tunggal-Nya tanpa kecuali; Ia adalah Hati Kasih Sayang Agung. Mahāmati, dengan anggapan semua makhluk adalah anak tunggal-Ku, bagaimana mungkin Aku memberi izin — untuk makan daging anak sendiri — kepada para Śrāvaka, sebagaimana Aku sendiri? Apalagi hingga memakannya! Bahwa Aku, wahai Mahāmati, mengizinkan para Śrāvaka, sebagaimana Aku sendiri, [untuk makan daging] adalah tidak berdasar.
Demikian disebutkan:
[1]
Minuman keras, daging, dan bawang
haruslah dihindari, Mahāmati,
oleh para Bodhisattva Mahāsattva
dan para Pahlawan Pemenang.
[2]
Daging tidaklah berkenan pada para bijak;
baunya memualkan dan menyebabkan reputasi buruk,
itu adalah makanan makhluk karnivora;
Kukatakan, Mahāmati, itu tidak boleh dimakan.
[3]
Ada akibat berbahaya bagi yang memakannya,
dan kebaikan bagi yang tidak.
Mahāmati, engkau harus tahu bahwa pemakan daging
membawa akibat berbahaya bagi dirinya sendiri.
[4]
Hendaknya seorang Yogi menghindari makan daging
karena itu merupakan dirinya sendiri,
karena merupakan pelanggaran,
karena itu berasal dari air mani dan darah,
dan karena [membunuh] menyebabkan teror bagi makhluk lain.
[5]
Hendaknya para Yogi senantiasa menghindari
daging, bawang merah, aneka minuman keras,
bawang-bawangan, dan bawang putih.
[6]
Jangan mengurapi tubuh dengan minyak wijen,
jangan tidur di atas dipan yang dilubangi paku;
sebab makhluk hidup menemukan perlindungannya di liang-liang
dan tempat tanpa liang akan amat menakutkan.
[7]
Dari memakan [daging] muncul kesombongan,
dari kesombongan muncul khayalan keliru,
dari khayalan muncul keserakahan;
karena alasan ini, hindarilah memakan [daging].
[8]
Dari khayalan muncul keserakahan,
dan oleh keserakahan pikiran digelapkan;
bila ada kemelekatan pada kegelapan,
tiadalah pembebasan dari kelahiran [dan kematian].
[9]
Demi keuntungan, makhluk hidup dibinasakan.
Demi daging, uang dibayarkan.
Keduanya adalah pelaku kejahatan
dan [perbuatannya] akan masak di Neraka Raurava.
[10]
Orang yang memakan daging
melanggar Sabda sang Muni dan berpikiran jahat;
ia ditetapkan, menurut Ajaran Śākya,
sebagai perusak kesejahteraannya sendiri di dua dunia.
[11]
Pembuat kejahatan akan pergi
ke neraka yang paling menakutkan,
pemakan daging akan menerima akibat
di neraka yang mengerikan seperti Raurava, dsb.
[12]
Tiada daging yang dianggap murni
di dalam tiga cara:
tidak direncanakan, tidak diminta, dan tidak disuruh;
karenanya, hindarilah makan daging.
[13]
Hendaknya para Yogi tidak memakan daging,
hal ini dilarang oleh-Ku serta oleh para Buddha;
makhluk hidup yang saling memakan dirinya
akan terlahir di antara binatang karnivora.
[14]
[Pemakan daging] berbau busuk, dipandang hina,
dan akan terlahir tanpa kecerdasan;
ia akan terlahir lagi dan lagi
di antara keluarga Caṇḍāla, Pukkasa, dan Domba.
[15]
Dari rahim Ḍākinī ia akan terlahir kembali
di tengah keluarga pemakan daging,
lalu ke rahim seorang rākṣasī dan seekor kucing;
ia termasuk manusia dalam tingkatan terendah.
[16]
Makan daging telah Kularang
dalam sūtra seperti Hastikakṣya,
Mahāmegha dan Nirvāṇa,
Aṅgulimālika dan Laṅkāvatāra.
[17]
[Makan daging] dicela oleh para Buddha,
oleh para Bodhisattva dan Śrāvaka;
jika seseorang menginginkan [daging] tanpa malu,
ia akan selalu [terlahir] tanpa indra.
[18]
Orang yang menghindari daging, dsb.
akan terlahir, karena Kebenaran ini,
di tengah keluarga Brāhmaṇa atau Yogi,
diberkati dengan kecerdasan dan kekayaan.
[19]
Hendaklah seseorang menghindari makan daging
[walau apa pun yang orang lain katakan]
berdasarkan kesaksian, kabar, dan sangkaan;
orang lain yang berteori demikian tidaklah paham
sebab mereka sendiri lahir di tengah kaum pemakan daging.
[20]
Sebagaimana keserakahan
merupakan penghalang bagi Pembebasan,
demikian pula makan daging, minuman keras
merupakan penghalang.
[21]
Di masa mendatang akan ada orang yang
membuat pernyataan bodoh tentang makan daging,
katanya: ‘Daging adalah tepat untuk dimakan,
tidak ditolak, dan diizinkan oleh Buddha.’
[22]
Makan daging hanyalah obat;
lagipula, itu seperti daging kanak-kanak.
Ikutilah takaran yang tepat dan merasa enganlah [padanya],
[demikianlah] hendaknya seorang Yogi berpiṇḍapata.
[23]
[Makan daging] Kularang di mana pun dan kapan pun
bagi mereka yang berdiam dalam kasih sayang;
[ia yang makan daging] akan terlahir di tempat yang sama
dengan singa, harimau, serigala, dsb.
[24]
Karenanya, janganlah memakan daging,
yang dapat menyebabkan teror bagi orang-orang,
sebab itu akan menghindarkan Kebenaran Pembebasan;
[tidak makan daging] — inilah tanda seorang bijak.
Akhir bab kedelapan (“Tentang Makan Daging”) dari
Laṅkāvatāra Sūtra: Inti Ajaran Para Buddha*)
*) Sarvabuddha-pravacana-hṛdaya.
***********
Ada yg mau komen?