//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)  (Read 129780 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #15 on: 21 September 2010, 08:01:44 PM »
Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_







Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #16 on: 21 September 2010, 08:14:19 PM »
Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_
« Last Edit: 21 September 2010, 08:19:10 PM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #17 on: 21 September 2010, 08:25:46 PM »
Namo Buddhaya,

Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..

Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.

Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.

Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.

Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada  :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan.  :)

Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome  :)

 _/\_


 

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #18 on: 21 September 2010, 08:38:13 PM »
Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #19 on: 21 September 2010, 08:51:21 PM »
Spoiler: ShowHide
 Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.

Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).

Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
 
_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline kevin_kin

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 132
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • newbie newbie newbie
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #20 on: 21 September 2010, 09:01:16 PM »
Namo Buddhaya,

Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..

Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.

Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.

Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.

Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada  :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan.  :)

Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome  :)

 _/\_
Namo Buddhaya,

Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape  ^-^

Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')

Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya  8)

Maaf bila ada kata2 yg salah..


 _/\_
In the sky, there is no distinction of east and west; people create distinctions out of their own minds and then believe them to be true.

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #21 on: 21 September 2010, 09:07:05 PM »
Namo Buddhaya,

Spoiler: ShowHide
 Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.

Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).

Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik,

Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka  telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.

Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini  :)

 _/\_

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #22 on: 21 September 2010, 09:07:47 PM »
Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_








Jika perbandingannya dengan Buddhisme Mahayana, saya akui saya memang melihat adanya kesamaan antara Buddhisme Mahayana dengan Hunduisme.

Jadi mungkin topik ini seharunya dipersempit menjadi "Agama Buddha Mahayana dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)"

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #23 on: 21 September 2010, 09:10:23 PM »
Namo Buddhaya,

Spoiler: ShowHide
 Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.

Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).

Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik,

Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka  telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.

Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini  :)

 _/\_

maaf saya menyela,

kesadaran ada 6 jenis, yaitu kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. masing2 kesadaran itu timbul lenyap menurut landasan-landasannya internal dan eksternal. jadi kesadaran manakah yg abadi (tidak lenyap) itu?

Offline kevin_kin

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 132
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • newbie newbie newbie
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #24 on: 21 September 2010, 09:11:24 PM »
Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..

Bro Kevin Kin yang baik, tergantung dari pengertian Tuhan itu sendiri, bila Tuhan adalah pencipta tunggal seperti pandangan agama-agama timur tengah, atau Tuhan ada banyak seperti pandangan agama Hindu, Mesir dan Yunani, maka Tuhan seperti itu tak ada di Buddhis.

Tetapi bila yang dimaksud Tuhan itu pengertiannya hanya sebatas Udana VII:3, maka Tuhan itu ada.

Namo Buddhaya,

Coba anda memaknai mksud dari Udana 7:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 7:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 7:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.

 _/\_
« Last Edit: 21 September 2010, 09:17:47 PM by kevin_kin »
In the sky, there is no distinction of east and west; people create distinctions out of their own minds and then believe them to be true.

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #25 on: 21 September 2010, 09:12:23 PM »
Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..

Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.

Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.

Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.

Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada  :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan.  :)

Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome  :)

 _/\_
Namo Buddhaya,

Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape  ^-^

Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')

Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya  8)

Maaf bila ada kata2 yg salah..


 _/\_

Bro Kevin yang baik,

Lalu ini apa bro :

Teks Pali

Sutta Pitaka, Udana VIII : 3

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ada Yang Mutlak.  :)


 _/\_

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #26 on: 21 September 2010, 09:16:28 PM »
Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Spoiler: ShowHide
 Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.

Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).

Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik,

Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka  telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.

Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini  :)

 _/\_

maaf saya menyela,

kesadaran ada 6 jenis, yaitu kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. masing2 kesadaran itu timbul lenyap menurut landasan-landasannya internal dan eksternal. jadi kesadaran manakah yg abadi (tidak lenyap) itu?

Silahkan disela ndak papa kok  :)

Bro Indra yang baik,

Bukankah dengan mengatakan ada 6 jenis kesadaran dan masing-masing timbul dan lenyap berarti ada Yang Sadar dibelakang ke 6 indra itu sehingga mampu mengamati timbul dan lenyapnya 6 jenis kesadaran ?

 _/\_


Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #27 on: 21 September 2010, 09:20:19 PM »
Namo Buddhaya,


Namo Buddhaya,

Coba anda memaknai mksud dari Udana 7:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 7:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 7:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.

 _/\_

Bro Kevin yang baik,

Maaf tapi saya tidak setuju dengan anda, karena saya yakin baik di Thailand maupun di Indonesia Sutta tersebut tetap sahih dan Sang Buddha mengatakan dengan jelas bahwa ada Yang Mutlak.

 _/\_


Offline kevin_kin

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 132
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • newbie newbie newbie
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #28 on: 21 September 2010, 09:29:56 PM »

Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Yg penting ada 3 hal yg hrus diluruskan dlam smua sekte di budhisme, 1. Buddha it bkan tuhan, 2. Tuhan it bkan buddha, 3. Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga..

Buddha itu bukan Tuhan/tuhan = Kalau dalam segi bahasa saya setuju Buddha bukan Tuhan/tuhan tapi mari kita kupas dengan lebih dalam lagi.

Menurut ajaran Theravada Buddha Sakyamuni/Gautama telah mencapai Samyaksambuddha/Sammasambuddha dan tidak akan reinkarnasi lagi, hal ini berlaku untuk semua Buddha dan Arahat namun menurut ajaran Mahayana seorang Buddha yang tercerahkan penuh (Samyaksambuddha/Sammasambuddha) dapat turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Bodhisattva Agung contoh Y.A Avalokitesvara Bodhisattva Mahasattva.

Biasanya dalam Theravada disinggung bahwa Dhamma (Buddhadhamma) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada Nibbana dan saya sangat setuju dengan hal tersebut. Dhamma dikatakan akan menuntun kita dan segala sesuatu baik yang kelihatan dan tidak kelihatan adalah Dhamma (Ven Ajahn Chah). Disini kalau kita mau jujur peran Dhamma sebenarnya bisa dibilang sama dengan Tuhan Impersonal (tak memiliki suatu kepribadian tertentu) dan boleh dibilang mirip dengan Brahman Impersonal (lihat definisi Brahman dipost saya sebelumnya). Sedangkan dalam Mahayana Para Buddha dan Boddhisattva Mahasattva dipandang sebagai memiliki kepribadian tertentu (welas asih contohnya) aktif menolong dan akrab dalam kegiatan sehari-hari kita, yang dalam konteks ini dapat disamakan dengan Brahman Personal.

Tuhan it tak ada,hanya ilusi semata plus pengaruh dr agama2 tetangga = Kalau Tuhan sebagaimana yang ada dalam pikiran anda saya yakin tidak ada  :) tetapi makna dari Prinsip Tertinggi pasti ada walaupun dengan bahasa yang berbeda-beda contoh Buddha, Brahman, Yang Absolut, Dharmakaya, Tahtagatagarba, Diri Buddha, Diri Sejati, Atman, dan yang sering bikin anda penasaran tentu saja istilah Tuhan.  :)

Silahkan kalau mau disanggah, saya wellcome  :)

 _/\_
Namo Buddhaya,

Maaf tadi saya ketik kurang lengkap,,post tdi saya ketik di hape  ^-^

Nah,ini dia masalahnya bro!! Istilah Tuhan memang byak macem.. bahkan dalam aliran aliran di Buddhist pun sering terjadi perbedaan yg sangat mendalam.
Mari kita skrg melihat sesuatu apa adanya dan ehipassiko!
Bro tadi menyinggung bahwa Dhamma bisa dibilang sebagai Tuhan impersonal atau brahman impersonal. Nah marilah kita lihat sesuatu apa adanya! Dhamma itu hanyalah ajaran, kebenaran yang ditemukan lagi oleh Buddha. Skrg ehipassiko!! Bnyk agama ajaran filosofi aliran dll yg byk menyatakan 'Tuhannya' sendiri, maka susah sekali kita berdua bisa saling 'klop' bro! krna basic fondasi pandangan Tuhan kita sudah jauh berbeda, maka bila kita berdebat sesuatu tak akan ada habisnya!! (ngmng2 pandangan saya ttg Tuhan : Ilusi semata dan sering dikaitkan dgan ajaran lain')

Mengenai yg prinsip tertinggi, saya tegaskan seperti yg diatas, itu hanyalah persepsi dr byk org, mknya kita harus melihat sesuatu apa adanya  8)

Maaf bila ada kata2 yg salah..


 _/\_

Bro Kevin yang baik,

Lalu ini apa bro :

Teks Pali

Sutta Pitaka, Udana VIII : 3

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ada Yang Mutlak.  :)


 _/\_




Namo Buddhaya,

bro tiriyana yg baik...

NAH ITU JUGA TERMASUK BROOOOOOOOOOOOOOOOO....  ^-^ sesungguhnya bila kita melihat sesuatu apa adanya dan secara HISTORIK, maka itu bukan konsep ketuhanan , itu adalah sifat sifat dari nibbana itu sendiri!!! nibbana = kebahagiaan tertinggi = mutlakCoba kita lihat lagi bro!!  ;D

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Oh bro tiriyana yg baik!! apakah sifat2 diatas tersebut yg saya bold bertentangan dgan Nibbana itu sendiri??

skrg yg ttg historik : Coba anda memaknai mksud dari Udana 8:3 , sesungguhnya itu adalah sifat-sifat dr Nibbana.
Lalu mengapa nama Udana 8:3 umat indonesia(kita) menamai hal tersebut sebagai Konsep Ketuhanan? Ini bersifat historik, kita mengetahui bahwa majoritas masyarakat indonesia adalah islam dan menganut asas pancasila yg pertamanya berbunyi Ketuhanan yg maha esa, maka pada tahun 1970 atau 80an, missionaris2 (berupa Bhante2) yg dateng ke indonesia harus maw ga maw nyari sutta2 ttg yg mirip ketuhanan tersebut, maka lahirlah konsep ketuhanan, skrg org2 juga ud pada percaya krna dr depdiknas sndri buat buku yg ttg itu.. jadi inilah konsep ketuhanan dalam budhisme di indonesia, dan bila anda ke negara buddhis seperti Thailand dan mengucapkan 'Namo sanghyang Adi Buddhaya' atau mengaitkan udana 8:3 dgan ketuhanan, maka mereka akan kebingungan krna konsep ini terdapat di negara2 yg mayoritasnya percaya TYME.
Anda bisa cari thread ttg sejarah buddhis di indonesia lwat kotak seach di DC ini. Saya pernah baca beberapa thread ttg hal ini.

Maaf bila ada yg salah..

 _/\_
In the sky, there is no distinction of east and west; people create distinctions out of their own minds and then believe them to be true.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Agama Hindu kesamaan dan perbedaan. (Mari kita diskusi)
« Reply #29 on: 21 September 2010, 09:33:23 PM »
Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Spoiler: ShowHide
 Namo Buddhaya,

Namo Buddhaya,

Wah mulai banyak yang reply, sebelumnya terima kasih buat semua kawan-kawan di Dhammacitta.  :)

Bro Triyana yang baik, bila seseorang yang belum mendalami mengenai rokok mungkin menganggap setiap asap rokok sama saja, padahal bagi mereka yang telah mendalami (perokok tulen) mereka bisa membedakan antara rokok gudang garam dengan ji sam su misalnya..

Demikian juga pengertian Moksa dan Nibbana berbeda, karena pada waktu moksa ada atman yang kembali kepada Paramatman, sedangkan Nibbana Buddhis tak ada atman, yang ada hanya kumpulan unsur-unsur kemelekatan (pancakhandha) yang timbul oleh kondisi-kondisi

Berhentinya kondisi-kondisi itulah yang disebut Nibbana.

Menurut perkiraan saya moksa adalah masuk ke alam Jhana (yang dapat turun dan terlahir kembali). Sedangkan Nibbana adalah terlepas/terbebas dari seluruh 31 alam kehidupan dan tak akan terlahir kembali.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik, didalam Agama Hindu memang mengakui adanya Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Hinduism) ) tetapi kita tidak boleh serta merta mengangap hal tersebut keliru, didalam Agama Buddha-pun dikenal Atman (http://en.wikipedia.org/wiki/Ātman_(Buddhism) ).

Tentang pengertian Moksa dan Pencapaian Nibbana/Nirvana juga tidak dapat dikatakan suatu hal yang berbeda, dalam bahasa mungkin tapi tidak dalam arti. Saya kira bro Febian salah memaknai Diri dan diri, didalam Agama Buddha dikenal adanya Diri yaitu hakikat Kebuddhaan seseorang yang sudah ada, sekarang ada dan akan tetap ada didalam orang tersebut. Sedangkan diri adalah rasa keakuan anda yang terdelusi oleh avidya. Ketika seseorang mencapai Kebuddhaan individualitas-nya tidaklah lenyap tetapi Kesadaran terdalam orang tersebut menjadi tercerahkan dan mengetahui segalanya.

 Dr. Kosho Yamamoto, who translated the entire Mahāparinirvāṇa Sūtra into English, tells of how the Buddha speaks in that scripture of doctrines previously not articulated. Now, in order to correct people’s misunderstanding of the Dharma, the Buddha - according to Yamamoto - tells of how He speaks of the positive qualities of nirvana, which includes the self:


"He [i.e. the Buddha] says that he is now ready to speak about the undisclosed teachings. Men abide in upside-down thoughts. So he will now speak of the affirmative attributes of Nirvana, which are none other than the Eternal, Bliss, the Self and the Pure.[16]"

"The true self of the Buddha is indeed said to be pure, real and blissful, and to be attainable by anyone in the state of mahāparinirvāna"

"the Mahabheriharaka Sutra insists: "... at the time one becomes a Tathagata, a Buddha, he is in nirvana, and is referred to as 'permanent', 'steadfast', 'calm', 'eternal', and 'Self' [atman]"

"" Similarly, the Śrīmālā Sūtra declares unequivocally: "When sentient beings have faith in the Tathagata [Buddha] and those sentient beings conceive [him] with permanence, pleasure, self, and purity, they do not go astray. Those sentient beings have the right view. Why so? Because the Dharmakaya [ultimate nature] of the Tathagata has the perfection of permanence, the perfection of pleasure, the perfection of self, the perfection of purity. Whatever sentient beings see the Dharmakaya of the Tathagata that way, see correctly."

"An early Buddhist tantra, the Guhyasamājā Tantra, declares: "The universal Self of entities sports by means of the illusory samādhi. It performs the deeds of a Buddha while stationed at the traditional post" (i.e. while never moving). The same tantra also imbues the self with radiant light (a common image): "The pure Self, adorned with all adornments, shines with a light of blazing diamond ..."

"the All-Creating King Tantra (the Kunjed Gyalpo Tantra, a scripture of the Nyingma school of Tibetan Buddhism, also designated a sutra) has the primordial Buddha, Samantabhadra, state, "... the root of all things is nothing else but one Self … I am the place in which all existing things abide."[29]"

"Furthermore, the Tibetan Buddhist scripture entitled The Expression of Manjushri's Ultimate Names (Mañjuśrī-nāma-saṅgīti), as quoted by the Tibetan Buddhist master, Dolpopa,[30] applies the following terms to the Ultimate Buddhic Reality:

"the Pervasive Lord"

"the Supreme Guardian of the world"

"Buddha-Self"

"the Beginningless Self"

"the Self of Thusness"

"the Self of primordial purity"

"the Source of all"

"the Single Self"

"the Diamond Self"

"the Solid Self"

"the Holy, Immovable Self"

"the Supreme Self"

"the Supreme Self of All Creatures".


"Moreover, with reference to one of Vasubandhu's commentarial works, Dolpopa affirms the reality of the pure self, which is not the worldly ego, in the following terms:

"... the uncontaminated element is the buddhas' supreme Self ... because buddhas have attained pure Self, they have become the Self of great Selfhood. Through this consideration, the uncontaminated is posited as the supreme Self of buddhas."[31]"

The 14th Dalai Lama on the "subtle person or self"

In 2005, commenting on the Tibetan Book of the Dead, a text in the highest yoga tantra, the 14th Dalai Lama explained how this tantra conceives both of a temporary person, and a subtle person or self, which it links to the Buddha nature. He writes:

… when we look at [the] interdependence of mental and physical constituents from the perspective of Highest Yoga Tantra, there are two concepts of a person. One is the temporary person or self, that is as we exist at the moment, and this is labeled on the basis of our coarse or gross physical body and conditioned mind, and, at the same time, there is a subtle person or self which is designated in dependence on the subtle body and subtle mind. This subtle body and subtle mind are seen as a single entity that has two facets. The aspect which has the quality of awareness, which can reflect and has the power of cognition, is the subtle mind. Simultaneously, there is its energy, the force that activates the mind towards its object – this is the subtle body or subtle wind. These two inextricably conjoined qualities are regarded, in Highest Yoga Tantra, as the ultimate nature of a person and are identified as buddha nature, the essential or actual nature of mind.[32]

Sedangkan dalam aliran Theravada dari buku-buku yang saya baca juga membenarkan adanya suatu Diri (ingat bukan diri dengan d kecil) walaupun dengan bahasa yang berbeda Mind contohnya atau Kesadaran dll tetapi pada hakekatnya mengafirmasi bahwa orang yang mencapai tataran Arahat tidak kehilangan individualitasnya. Contoh nyata lainnya kalau kita melihat Bhikku di Thailand yang oleh masyarakat luas dianggap telah mencapai KeArahatan saya yakin tetap memiliki individualitas walaupun kemungkinan besar amat berbeda dengan kita orang biasa yang individualitasnya terdelusi.

Tentang Moksa saya kira sudah jelas bahwa ia telah terbebas dari lingkaran reinkarnasi merujuk pada definisi :

In Indian religions, Moksha (Sanskrit: मोक्ष mokṣa) or Mukti (Sanskrit: मुक्ति), literally "release" (both from a root muc "to let loose, let go"), is the liberation from samsara and the concomitant suffering involved in being subject to the cycle of repeated death and rebirth (reincarnation).

Demikian dari saya dan silahkan didebat, kritik dan sanggah  :)

 _/\_


Bro Triyana yang baik, coba disimak tulisan saya, apakah saya ada mengatakan Hindu keliru?

Maaf saya bicara dari pengertian buddhis Theravada sedangkan anda mengutip dari Mahayana, tentu saja beda bro.... Mahayana memang lebih dekat pandangannya dengan Hindu tetapi kalau Theravada beda.

Sebagai contoh Mahayana ada konsep kesadaran abadi (alaya vijnana) ini mirip dengan konsep atman. Sedangkan di Theravada tak ada konsep kesadaran abadi.

Jadi bolehlah dikatakan ada kemiripan antara Buddhis Mahayana dan Hindu, untuk ini lebih baik saya serahkan teman-teman dari Mahayana yang menjawab persamaan tersebut.

_/\_


Kalau tidak ada Kesadaran lalu bagaimana ia menjadi awas sepenuhnya (mindfull) bukankan anda berlatih Vipassana untuk senantiasa sadar bro ?  :)

 _/\_

Bro Triyana yang baik, rupanya anda belum mengerti, dalam Buddhist Theravada bukan tak ada kesadaran.

Theravada tidak mengenal kesadaran abadi seperti dalam konsep Mahayana atau agama-agama lain.
Menurut Theravada kesadaran selalu timbul tenggelam dengan kecepatan yang luar biasa (tidak abadi).

Bro Triyana sebaiknya lebih mendalami Buddhis sebelum menyamakan ajaran Buddha dengan agama-agama lain.
 
_/\_


Bro Fabian yang baik,

Bila seorang mencapai tataran Kearahatan atau Kebuddhaan bukankan ia masih tetap sebagai manusia yang tetap mampu melakukan aktivitas namun perbedaannya mereka  telah sadar (Arahat) dan sadar sepenuhnya (Buddha) dengan demikian hal tersebut membuktikan kesadaran tidak lenyap.

Mohon bro Fabian agar dapat menjawab pertanyaan saya ini  :)

 _/\_

maaf saya menyela,

kesadaran ada 6 jenis, yaitu kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. masing2 kesadaran itu timbul lenyap menurut landasan-landasannya internal dan eksternal. jadi kesadaran manakah yg abadi (tidak lenyap) itu?

Silahkan disela ndak papa kok  :)

Bro Indra yang baik,

Bukankah dengan mengatakan ada 6 jenis kesadaran dan masing-masing timbul dan lenyap berarti ada Yang Sadar dibelakang ke 6 indra itu sehingga mampu mengamati timbul dan lenyapnya 6 jenis kesadaran ?

 _/\_



siapakah yg mengamati itu? dan kesadaran apakah yg anda maksudkan yg ada di belakang 6 kesadaran itu? setelah membaca banyak sutta saya tidak menemukan ada sutta yg mengatakan adanya kesadaran yg lain selain dari 6 itu, mungkin Bro Triyana sudi memberikan pencerahan sehubungan dengan kesadaran yg istimewa ini?