Walaupun judulnya ‘serem’ namun gw nggak bermaksud ‘merendahkan’ Mahayana lho.
No offense
.
Tujuan saya membuka diskusi ini adalah untuk membuka mata rekan-rekan se-dharma/dhamma sekalian bahwa kita semua tidak pernah tahu siapa yang benar : Theravada atau Mahayana. Klaim bahwa masing-masing aliran adalah aliran PALING BENAR adalah klaim yang mendorong saya menjadi Buddhist non sektarian.
Saya terdorong membuka diskusi ini setelah saya membaca topic yang dibuat freecloud79: ADAKAH ALIRAN THERAVADA + MAHAYANA
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18625.0 Yang mana saya mulai memberikan komentar di halaman 9 topik itu.
Sutra Teratai memiliki 28 bab, versi Indonesianya dapat dibaca di Saddharma Pundarika Sutra
http://www.fodian.net/world/Indonesian/0262.htm atau versi English-nya dapat dibaca di The Lotus Sutra
http://www.fodian.net/world/262.html adalah Sutra Mahayana yang konon paling SUPER karena merupakan sejenis sutra yang konon disabdakan Sang Buddha pada tahun-tahun terakhir sebelum parinibbana, semacam rangkuman semua ajaran Buddha 40 tahun sebelumnya.
Konon Sutra Teratai dikhotbahkan selama 8 tahun oleh Sang Buddha sebelum Sang Buddha Parinibanna/Parinirvana (Daisaku Ikeda, Buddhisme Seribu Tahun Pertama, Bab 8 Pembentukan Sutra Teratai, halaman 122).
Mengapa Sutra Teratai disebut SUPER? Karena Sutra Teratai dengan gamblang menyebutkan bahwa Buddha hanya menyediakan SATU jalan/kendaraan yaitu jalan/kendaraan bagi semua umat manusia untuk menjadi BUDDHA itu sendiri (atau minimal BODHISATVA). Tidak berhenti pada pencapaian Arahat/Arhat (seperti yang dipatok Theravada) atau Pacceka/Pratekya Buddha. Seperti yang disebut dalam bab dua Sutra Teratai
http://www.fodian.net/world/Indonesian/Bab-II.htm Berikut beberapa kutipan Sutra Teratai bab dua : Upaya Kausalya (Skilfull Means) yang paling menghebohkan (bagi penganut Theravada) :
Sang Buddha bersabda lagi dengan syair :
"Cukuplah sudah, tiada gunanya berkata lagi,
HUKUM-Ku sangat dalam dan sulit diselami;
Mereka yang tinggi hati, ketika mendengarnya
Tidak akan mempercayainya dengan sungguh hati."
Ketika Beliau selesai bersabda demikian, kemudian di dalam persidangan itu bangkitlah 5000 bhiksu, bhiksuni, upasaka dan upasika dari tempat duduknya dengan segera bersujud kepada Sang Buddha, setelah itu mereka mengundurkan diri. Karena akar kedosaan yang ada di dalam diri orang-orang ini sangat begitu dalam dan sifat sombongnya sangat besar sehingga mereka berpendapat bahwa mereka telah memperoleh apa yang sebenarnya belum mereka dapatkan dan telah membuktikan apa yang sebenarnya belum mereka buktikan.
Seluruh hukum-hukum Kesunyataan ini hanya di peruntukkan bagi SATU KENDARAAN Buddha sehingga para mahluk hidup yang telah mendengar HUKUM dari para Buddha itu pada akhirnya dapat memperoleh pengetahuan yang sempurna.
Diseluruh alam semesta ini sesungguhnyalah tidak terdapat 2 kendaraan, apalagi yang ketiga.
Jika para pengikutKu yang menyebut dirinya sebagai Arhat ataupun Pratyekabuddha, maka mereka tidak akan mendengar atau mengerti bahwa para Buddha Tathagata hanya mengajar para Bodhisatva saja dan orang-orang ini bukanlah pengikut-pengikut Sang Buddha maupun Arhat ataupun Pratyekabuddha.
Namun, saya pribadi walaupun merasa bahwa tujuan Bodhisatva itu nampaknya lebih mengena di hati saya, namun saya tak suka ketika Sutra Teratai ini secara implisit/tersirat ‘menyerang’ Theravada.
Menurut Daisaku Ikeda, Sutra Teratai merupakan sebuah Sutra Mahayana yang mengkritik pedas Hinayana (baca: Theravada). Saya pribadi, sebagai non sektarian, tidak begitu suka dengan istilah Hinayana yang dipakai untuk ‘merendahkan’ Theravada.
Mari kita periksa langsung Sutra Teratai khususnya Bab XV MUNCULNYA BODHISATVA DARI BUMI
http://www.fodian.net/world/Indonesian/Bab-XV.htm Ternyata memang benar, bahwa sutra ini mengkritik pedas Hinayana (perhatikan yang saya kapital/besar-kan hurufnya).
Kemudian didalam pertemuan agung para Bodhisatva itu, Sang Buddha bersabda demikian, “Begitulah, begitulah, putera-puteraKu yang baik ! Sang Tathagata berada dalam keadaan yang baik-baik saja dengan sedikit rasa sakit dan duka. Para umat ini sangat mudah dirubah dan Aku pun tidak bercemas hati lagi. Karena seluruh umat ini selama banyak generasi telah tiada henti-hentinya menerima petunjukKu dan memuliakan serta memuja para Buddha yang terdahulu yang telah membina akar-akar kebajikan. Sejak pertama kali para mahluk ini melihatKu dan mendengarkan khotbahKu, semua menerimanya dengan penuh keyakinan dan masuk kedalam kebijaksanaan Sang Tathagata, KECUALI mereka yang telah terlebih dahulu menjalankan dan mempelajari tentang KENDARAAN KECIL [baca: HINAYANA]; namun demikian orang-orang semacam ini, sekarang telah Aku buat mereka mendengar Sutra ini dan masuk kedalam bijak-kebuddhaan”
Namun di sisi lain, dari beberapa istilah yang dipakai dalam sutra Teratai ini, jelas sekali bahwa sutra Teratai ini mengambil istilah-istilah Jainisme, sebuah ajaran non Buddhisme, misalnya istilah JINA & SRAVAKA yang nanti akan saya eksplorasi lebih lanjut.
---000---
Konon pula, menurut Theravada, ketika Sang Buddha hidup, Sang Buddha dimusuhi oleh Nigantha Nataputta [Pali] / Nigantha Nataputra [Sansekerta], seorang pemimpin terkenal Jainisme. Theravada paling anti terhadap Jainisme.
Bahkan Theravada melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa Nigantha Nataputta adalah Mahavira, Jain/Tirthankara terakhir, Bapa Jainisme.
Referensi Mahavira sebagai Jain terakhir
http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism The 24th, and last Tirthankar is Mahavir, lived from 599 to 527 BC…
Referensi Theravada yang menyamakan Nigantha Nataputta dengan Mahavira:
DICTIONARY OF PALI NAMES
http://www.palikanon.com/english/pali_names/n/nigantha_nataputta.htm Nigantha Nātaputta is the name by which the Jaina teacher, Mahāvīra, was known to his contemporaries…..
Bahkan konon Nigantha Nataputta bekerjasama dengan Devadatta.
---000----
Masih menurut Daisaku Ikeda (seorang intelektual awam dari Buddhisme Nichiren), Sang Buddha pada tahun-tahun terakhirnya mengubah metode dalam menyampaian gagasannya disesuaikan dengan kemampuan berpikir para pendengar Dharma (halaman 125, Bab 8, Buddhisme Seribu Tahun Pertama).
Berikut saya kutip argumen Daisaku Ikeda di halaman 125 buku Buddhisme Seribu Tahun Pertama.
Shakyamuni memulai karir wejangannya sebagai pribadi tunggal menantang dunia intelektual India kuno. Nampaknya dia mula-mula mengarahkan percakapannya terutama kepada para pertapa…sambil meniadakan pandangan para Brahmana dan … enam guru atau pemikir bebas yang tidak ortodoks…
By the way, Nigantha Nataputra adalah satu dari enam guru/ pemikir bebas atau shramana / sramana / samana tersebut.
http://en.wikipedia.org/wiki/Shramana6 Samana/Sramana/Shramana dalam teks Pali/Theravada yaitu Sāmaññaphala Sutta:
1) Purana Kassapa: Amoralisme
2) Makkhali Gosala: Fatalisme
3) Ajita Kesakambali: Materialisme/Nihilisme
4) Pakudha Kaccayana: Eternalisme
5) Nigantha Nataputta : Jainisme/Asketisme
6) Sanjaya Belatthaputta : Agnostik-isme
Jadi Daisaku Ikeda secara IMPLISIT MENOLAK bahwa Sutra Teratai dipengaruhi Jainisme dengan menyajikan argumen bahwa Buddha menolak pandangan enam guru/pemikir bebas. Padahal kalau kita analisis, Sutra Teratai memakai istilah-istilah Jainisme.
---000---
Saya berikan Bab Pertama Sutra Teratai yang menunjukkan bahwa Sutra Teratai memakai istilah-istilah Jainisme.
http://www.fodian.net/world/Indonesian/Bab-I.htm Lokasi: Gunung Gridhrakuta, kota Rajagraha, negara Magadha
Waktu: 40 tahun lebih setelah Penerangan Sempurna
Yang hadir:
1) Arahat (baca: Bhiksu), misalnya Maha Kasyapa, Ananda, Sariputra, Maudgalyayana
2) Bodhisatva, misalnya Manjusri, Maitreya, Avalokitesvara, Maha Stamaprapta
3) Dewa-dewa misalnya Indra, Candra, Surya, Ishvara
4) Naga-naga
5) Garuda-garuda
6) Raja-raja misalnya Ajathasatru (putra Bimbisara)
7) dll
Singkat kata : SEMUA DEWA & MANUSIA
Dalam bab satu Sutra Teratai ini dikisahkan Bodhisatva Maitreya (yang saat itu bernama Ajita) bertanya dengan penuh keheranan kepada Bodhisatva Manjusri mengenai begitu ‘plural’nya yang hadir mulai dari bhiksu-bhiksuni, upasaka-upasika, bodhistva-mahasatva, dewa-asura, naga-garuda, sampai raja-raja dari negara/kerajaan besar dan kecil.
Bodhisatva Manjusri menjawab pertanyaan Bodhisatva Maitreya bahwa pada zaman dulu hidup seorang Buddha bernama Candra-surya-pradipa.
"Anak-anakku yang baik. Pada zaman dahulu yang tak terjangkau, terbatas dan tanpa awal asamkhyaya kalpanya, hiduplah seorang Buddha bernama Sang Candrasuryapradipa Tathagata, Raja diraja, waskita, memiliki kebijaksanaan agung, telah mencapai Maha Pari Nirvana, maha mengetahui dunia, pemimpin besar, maha jina, guru besar para dewa naga dan manusia, Buddha, Yang Dihormati Dunia.
Beliau mengikrarkan Hukum Agung yang baik pada permulaannya, baik pada pertengahannya, dan baik pula pada akhirnya, yang mempunyai arti yang sangat dalam, dengan kata-kata yang sedap didengarnya, murni tanpa cacat, serba tepat dan tanpa salah dan Agung dalam pementasannya. Bagi mereka yang ingin menjadi Sravaka, Beliau memberikan tanggapan terhadap Hukum Empat Kesunyataan Mulia, yang mengatasi kelahiran, usia tua, sakit dan kematian dan akhirnya jalan ke Nirvana, bagi mereka yang mencari tingkat Praceka Buddha, Beliau memberikan tanggapan ke arah Hukum Paticca Samupaddha ( 12 nidana ); bagi mereka yang menuju ke KeBodhisatvaan, beliau memberikan tanggapan dengan penerangan tentang Sad-Paramita yang akan membawa mereka kearah Penerangan Agung dan mendapat Pengertian Sempurna.
Jawaban Bodhisatva Manjusri yang mengkaitkan ‘hubungan’ antara Ariya-sacca /4 Kebenaran Mulia (mengenai dukkha, penyebab dukkha, berakhirnya dukkha, dengan Jalan Mulia Beruas Delapan) dengan Sravaka, Paticca-samuppada dengan Pacceka Buddha, Sad-paramita dengan Bodhisatva adalah sesuatu yang cukup kontroversial, minimal cukup ‘ganjil’ ditinjau dari sudut pandang Theravada.
Disini, bagaimanapun juga, dipakai istilah Sravaka (sebuah sebutan untuk umat awam Jainisme).
Referensi mengenai istilah SRAVAKA dalam Jainisme
http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhism_and_Jainism …the Shravak and Shravika are the lay men and women…
Kesimpulan: sravaka/sravika identik dengan upasaka/upasika dalam Theravada
Apakah pemakaian istilah SHRAVAKA yang khas Jainisme ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Jainisme dengan Buddhisme?
Bahkan sebelumnya (masih di bab satu) ada kutipan yang menggambarkan Bodhisatva Manjusri sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan sempurna/ JINA/ JAIN.
"Disini hadir Manjusri, Putera Buddha yang telah dapat menjadi JINA, yang selalu berhubungan dan bersujud kepada para Buddha yang lampau dan pernah pula menyaksikan tanda-tanda kegaiban seperti ini. Baiklah kutanyakan padaNya"
Apakah pemakaian istilah JINA/JAIN yang khas Jainisme ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Jainisme dengan Buddhisme?
---000---
Jadi ada dua pertanyaan saya yang intinya serupa:
1) Apakah pemakaian istilah JINA/JAIN yang khas Jainisme ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Jainisme dengan Buddhisme?
2) Apakah pemakaian istilah SHRAVAKA yang khas Jainisme ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Jainisme dengan Buddhisme?
Dua pertanyaan itu terkait erat dengan topik: APAKAH SUTRA TERATAI DIPENGARUHI JAINISME?
Ini akan menjadi diskusi yang seru, tapi saya harap teman-teman se-Dharma/Dhamma MENJAGA SUASANA DISKUSI agar tidak menjadi DEBAT PANAS yang saling MENCACIMAKI.
Mari kita lihat apakah diskusi ini akan menjadi debat kusir atau tidak.
Diskusi dimulai…