//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Imlek dI Bumi Nusantara  (Read 6834 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Imlek dI Bumi Nusantara
« on: 20 January 2009, 02:05:15 PM »
Menyambut Tahun Baru Imlek; Kita bahas Semua apa yang ada didaerah kamu dan keluarga kamu, ceritakan apa yang biasa kalian Lakukan, Pada saat menjelang imlek ?


Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #1 on: 20 January 2009, 02:09:47 PM »
terimakasih buat Ririk Winandari atas artikelnya

REVITALISASI vs SITUS KOTA LAMA TANGERANG

M.I. Ririk Winandari

Lahir dan tinggal di Tangerang, Dosen Jurusan Arsitektur-Universitas
Trisakti

Program revitalisasi merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk
menghidupkan kembali kawasan yang telah ada di masa lalu sehingga
dapat berfungsi maksimal di masa kini dan akan datang. Kawasan
revitalisasi umumnya memiliki aktifitas yang redup namun berada di
kawasan strategis sehingga berpotensi tinggi untuk ditangani.
Penanganan revitalisasi sebuah kawasan seharusnya mengacu pada
keunikan lokal yang membedakannya dengan kawasan lain. Oleh sebab itu
konsep yang digunakan sudah pasti berbeda dengan yang digunakan untuk
kawasan lain.
Seperti dilansir di harian Kompas (16 Februari 2008), konsep
pengembangan kota lama Tangerang mengacu pada pecinan di New York,
Sydney, Surabaya dan Medan. Menurut penulis, setiap kawasan sudah
pasti memiliki keunikan tersendiri meskipun sama-sama pecinan. Hal ini
berlaku pula untuk Tangerang.
Kota Lama Tangerang memiliki banyak situs bersejarah terutama bangunan
kuno yang tersebar di sepanjang tepian Sungai Cisadane (mengingat
jalur transportasi utama masa itu memang melalui sungai). Di tepian
sungai ini, terdapat beberapa situs yang masih bertahan. Situs ini
merupakan peninggalan etnis peranakan Tionghoa yang sampai saat ini
masih digunakan oleh keturunannya. Kehidupan Kota Tangerang memang
tidak pernah lepas dari kegiatan masyarakat peranakan Tionghoa.
Sejarah Kota Tangerang sendiri memang berawal dari kelompok permukiman
etnis Tionghoa.
Permukiman Pasar Lama merupakan 1 dari 4 situs selain permukiman
Keramat Pe Peh Cun, makam (tanah ¡¥gocap¡¦ dan tanah ¡¥cepe¡¦) dan rumah
kapitan. Masing-masing kawasan memiliki orientasi ke arah sungai
(waterfront)lengkap dengan dermaganya. Dari keempat kawasan, hanya
dermaga di Pasar Lama yang sudah tidak dapat dilihat lagi jejaknya.

Klenteng dan Mesjid di Pasar Lama

Pasar Lama Tangerang bagi masyarakat setempat dikenal sebagai kawasan
pecinan (kampung cina) Tangerang. Kawasan ini terkenal sebagai pasar
di pagi hingga sore hari serta pusat makanan kaki lima di malam hari.
Tak banyak yang mengetahui bahwa kawasan ini merupakan kawasan tertua
di Tangerang. Oei Tjien Eng (64 th), humas Klenteng Boen Tek Bio,
menceritakan awal mula masuknya komunitas Tionghoa di Pasar Lama.
Sekitar tahun 1513, komunitas Tionghoa pertama yang berada di daerah
Teluk Naga masuk ke daerah Pasar Lama melalui Sungai Cisadane. Mereka
membangun rumah di 3 gang yang kini bernama Gang Cirarab, Gang
Tengah/Kali Pasir, dan Gang Cilangkap.
Pola permukiman disusun dengan hirarki kosmologi yang jelas. Hirarki
tersebut terdiri dari bagian atas (klenteng dan mesjid), tengah (rumah
penduduk) dan bawah (Sungai Cisadane). Klenteng berada di ujung Utara
permukiman sementara dermaga lama berada di ujung Selatan. Keduanya
dihubungkan oleh jalan utama yang juga berfungsi sebagai as
permukiman. Mesjid berada di ujung Barat sejajar dengan Klenteng.
Situasi ini memperlihatkan bahwa mesjid mendapatkan tempat yang sama
tinggi dengan klenteng di Pecinan Pasar Lama. Merujuk tulisan Johannes
Widodo (2004) mengenai pola pecinan, mesjid dan klenteng memang selalu
berada di pusat kawasan pecinan sebagai bukti toleransi dan kedamaian
selain karena pada masa itu, sebagian orang Tionghoa beragama Islam.
Klenteng di Pasar Lama merupakan tempat ibadah umat Kong Hu Cu, Budha,
dan Tao yang tertua di Tangerang. Klenteng yang didirikan pada Tahun
1684 ini dinamakan Klenteng Boen Tek Bio yang artinya ¡¥kebajikan
setinggi gunung dan sedalam lautan¡¦. Sepintas agak sulit membayangkan
posisi gunung dan laut di Kota Tangerang. Namun ternyata, bila dilihat
dari skala kota, terdapat dua klenteng lain di bagian Utara dan
Selatan Kota Tangerang. Kedua klenteng tersebut adalah Klenteng Boen
San Bio (dibangun Tahun 1689) di kawasan Pasar Baru yang melambangkan
gunung dan Klenteng Boen Hay Bio (dibangun Tahun 1694) di daerah
Serpong yang melambangkan laut.

Atap Lengkung Dan Lukisan Tua Di Pasar Lama

Di bagian Selatan klenteng, berderet rapi bangunan berlanggam Cina.
Bangunan tersebut berada di tiga gang utama (Gang Cirarab, Gang
Tengah/Kali-Pasir, dan Gang Cilangkap). Pada masa lalu, area dan
bangunan di sepanjang Gang Tengah berfungsi sebagai hunian dan pasar.
Saat ini, pasar telah berpindah ke bagian Timur dan Utara klenteng.
Sepanjang mata memandang, terlihat dominasi bentuk atap Ren-Zi (Liu,
1989) dan jendela kayu pada bangunan di ketiga gang tersebut. Istilah
Ren-Zi digunakan untuk bentuk atap miring yang agak melengkung ke arah
bubungan dengan hiasan di kedua ujungnya. Di Negara Cina, bentuk
seperti ini dijumpai pada bangunan hunian masyarakat biasa.
Secara umum, di area ini, terdapat 2 tipe bangunan langgam Cina dengan
dinding tembok dan sebuah halaman dalam yang berhubungan dengan
tetangganya. Pertama, tipe rumah toko yang banyak ditemui di Gang
Tengah. Bangunan ini memiliki 2 lantai dengan bagian bawah berfungsi
sebagai toko. Pintu dan jendela besar di bagian bawah bangunan terbuat
dari kayu dengan konstruksi yang memudahkan untuk dibuka-tutup.
Konstruksi lantai bagian atas terbuat dari kayu jati. Salah satu rumah
toko yang masih memiliki bentuk asli adalah rumah tinggal keluarga Edi
Rusmiadi di Gang Tengah. Dahulu, rumah ini digunakan sebagai hunian
dan toko kain.
Kedua, tipe rumah tinggal yang banyak ditemui di Gang Cirarab dan Gang
Cilangkap. Bangunan ini memiliki 1 lantai. Di salah satu bangunan,
masih ditemukan dua lukisan tua yang masing-masing tergambar di bagian
atas kolom teras. Lukisan tersebut mengilustrasikan dua lelaki yang
berdiri di bawah pohon dengan panah dan pedang di tangannya. Lukisan
lain mengilustrasikan perjalanan seorang perempuan yang menunggang
kuda dengan satria yang membawa tombak di tangannya.

Wajah Pecinan VS Rumah Walet

Satu hal yang sangat disayangkan dari wajah pecinan Pasar Lama adalah
bahwa semua keindahan tersebut tersembunyi di balik ruko moderen dan
rumah walet. Bila dilihat dari Jalan Kisamaun, wajah pecinan bangunan
tenggelam di antara deretan bangunan moderen. Sementara dari jalan
baru di sepanjang pinggir Sungai Cisadane, yang tampak hanyalah
deretan bangunan raksasa yang berfungsi sebagai rumah walet. Peralihan
bentuk dan fungsi bangunan langgam Cina di kawasan ini sudah
seharusnya diantisipasi.
Rencana beberapa pihak untuk membangkitkan kembali kawasan Pasar Lama
dan menjadikannya sebagai area wisata kota tua Tangerang patut dipuji.
Namun demikian, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pendataan
jumlah dan letak bangunan kuno yang harus dipreservasi, bentuk
bangunan, pola permukiman asli serta latar belakang sejarah sudah
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Hal ini diperlukan agar suasana
dan memori pecinan sebagai cikal bakal Kota Tangerang yang berbeda
dengan pecinan di daerah lain tidaklah pudar. Pembangunan fasilitas
baru dengan mengorbankan bangunan unik yang ada seperti yang pernah
terjadi pada bangunan di Jalan Malioboro Yogya sudah seharusnya
ditiadakan. Keterlibatan masyarakat setempat dan pemerintah daerah
dalam proses perencanaan dan perancangan kawasan merupakan hal utama
berikutnya. Hal ini diperlukan agar semua pihak berada dalam posisi
yang sama kuat dan sama menguntungkannya sedangkan kawasan itu sendiri
tidak kehilangan maknanya.


Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #2 on: 20 January 2009, 02:13:38 PM »
OPERA TIONGKOK

Opera Tiongkok 戏曲/戲曲; Pinyin: xìqǔ , sudah ada sejak  dinasti Han hanya saja lebih terogranisir pada era dinasti Tang oleh kaisar Xuanzong (712–755) dan diberi nama Taman peer (梨园/梨園; líyuán). Opera Tiongkok pertama kali di tampilkan di  kekaisaran tiongkok dan hanya untuk pertunjukan di dalam kaisar saja. Sampai sekarang para pemain opera tiongkok memegang prinsip dari  Peraturan dari taman peer 梨园弟子/梨園弟子, líyuán dìzi.  Pada Opera Tiongkok juga ada alat musik  yang bernama Yayue 雅樂,
Pada jaman Dinasti Yuan (1279–1368) Performa seperti Zaju (雜劇, zájù) yang nantinya akan berevolusi seperti permainan Dan (旦, dàn, untuk Wanita), "Sheng" (生, shēng, Untuk Pria) "Hua" (花, huā, Wajah yang digambar) and "Chou" (丑, chŏu, Badut) Sudah mulai dipertunjukan dalam opera tiongkok pada era dinasti ini.

Pada dinasti Song (960–1279) Sudah mulai adanya penambahan pembicaraan dialog dalam bahasa Mandarin Clasic di podium.  Pada dinasti Yuan para aktor sudah berbicara dalam Lidah yang sudah terlatih untuk mendapatkan suara yang nyaring terdengar dipodium.

Performa Kunqu 崑曲; pinyin: Kūnqǔ; Wade-Giles: k'un-ch'ü paling dominat pada era dinasti Ming dan awal dinasti qing dan yang paling popular. Dan mengalami evolusi pada daerah tertentu menghasilkan Tehnik drama yang berbeda seperti Sichuan Opera yang memperkenalkan Chuanqi atau 5 melody  dan Beijing opera  sangat mengenal 368 variasi formasi pada jaman abad19 th dan sangat terkenal pada jaman dinasti Qing.

Pada Evolusi Jaman Modern Opera Tiongkok mengalami banyak perubahan. Dari segi tehnik dan peran yang nantinya mempengarahi dunia perfilman dari tiongkok. Ilmu teoritas dari opera Tiongkok  sebagai berikut :

1.   Pelatihan Penghapalan dan tehnik peran, dan dialog
2.   Sheng (生) pelatihan pemain pria dalam drama salah satu peran yang sangat popular dalam Sheng adalah Guan Di Kung
3.   Dan (旦) pelatihan pemain wanita dalam drama dalam dan dibagi beberapa karakter wanita tua  disebut (laodan), jendral perempuan  (wudan)
pendekar wanita muda (daomadan), wanita berkelas dan memiliki gelar kebangsawanan (qingyi), Wanita tidak menikah sudah lama ( huadan).
4.   Jing (净) adalah karakter yang dicat  yang diperankan oleh pria pada umumnya. Jing harus memiliki suara yang sangat keras dan  lantang. Jing juga terdiri dari 1000 karakter yang berbeda – beda. Tehnik jing juga sangat mempengaruhi Budaya jepang khususnya opera jepang. Perbedaannya adalah Jing dicat dan opera jepang menggunakan topeng. Pertanyaan nya apakah mempengaruhi wayang topeng di Indonesia tehnik Jing ini ?.
5.    Chou (丑) pelatihan tehnik untuk Badut tiongkok. Peran badut tiongkok sangat berbeda dengan badut dari negeri barat Tehnik Chou tak hanya harus bias melusu saja. Dia juga harus mampu berakrobatik ria dan dapat membuat gerakan gerakan atletis yang dapat membuat tertawa penonton.

Tehnik seni dan peran tiongkok sangatlah mempengaruhi dunia seni dan peran pada jaman modern dan sampai sekarang opera tiongkok masih dilestarikan oleh pemerintah tiongkok sebagai asset wisatanya tak hanya itu saja ternyata opera tiongkok juga mengalami penyebaran di beberapa Negara seperti Malaysia, Taiwan, Singapura dan juga Negara barat terutama daerah kawasan pecinan. Di  Indonesia ada didalam opera tiongkok ini hampir dikatakan punah pemainnya hanya lah sekelompok wanita tua didaerah kalimatan.

Tehnik Seni peranan Opera tiongkok ketika ketika kita menontonnya sama seperti kita menikmati sebuah Film yang memiliki cerita dan musik setiap adegannya. Tapi sayangnya banyak generasi muda di Indonesia tidak banyak mengetahui bahwa peran dan seni dari opera tiongkok ini. Dan dianggap kuno dan tidak asik ditoton. Padahal seperti Peran Shi Djin koei sangat terkenal tak hanya opera tiongkok ternya juga mempengaruhi dunia seni dan peran dari tanah jawa bernama Srimulat. Kita masih ingat salah satu Televisi swasta yang pernah menampilkan kesenian tanah jawa dan sangat popular dengan tokoh seperti Lexus dan lainnya. Pernah membuat cerita asimilasi dari kesenian jawa dengan cerita dari negeri tiongkok. Dan berhasil berasimilasi dan di digemari penonton

Salam saya;
Purnama
Forum Tionghoa Indonesia
http://www.friendster.com/group/tabmain.php?gid=831352

Ps: Tulisan ini masih tahap pengembangan mohon info tambahan seperti opera tiongkok yang ada di daerah Indonesia, karakter peran seperti Shi Djin Koei, pengaruh seni dan peran pada era modern. Dsbnya

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #3 on: 20 January 2009, 02:16:25 PM »
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/22/opi01.html
Cap Go Meh, Merayakan Perbedaan



Oleh
Tom Saptaatmaja

Pesta Cap Go Meh sebagai puncak Tahun Baru Imlek telah tiba. Seperti diketahui,
Imlek adalah tahun baru paling unik dibanding sistem kalender yang lain, karena
dirayakan selama 15 hari, bukan cuma satu hari atau sekadar satu malam seperti
tahun baru Masehi.
Pada Kamis 7 Februari 2008 lalu adalah 1 Cia Gwee atau hari pertama Imlek dan
penutupannya jatuh pada hari ke-15 bertepatan dengan 23 Februari 2008 yang biasa
disebut Cap Go Meh. Istilah ini berasal dari dialek Hokkian dan secara harafiah
berarti hari kelima belas dari bulan pertama.
Lepas dari segala aspek ritualnya, Cap Go Meh telah menjadi pesta multibudaya
atau multi-etnis karena tidak hanya menonjolkan peran etnis Tiong-hoa saja. Di
Jakarta tempo doeloe, Cap Go Meh selalu menjadi ajang pawai budaya seluruh
kelompok masyarakat baik Tionghoa, Betawi, Arab dll. Bahkan kali ini, Gubernur
Fauzi Wibowo dikabarkan siap membuka pesta Cap Go Meh di Jakarta.
Malah Cap Go Meh di Singkawang dimanfaatkan untuk mendukung program Visit
Indonesia Year 200, sedang di kawasan lain di tanah air, Cap Go Meh menjadi
pesta keragaman budaya yang menarik. Bayangkan, pelaku ritual tatung berasal
dari penganut Khonghucu, penari barongsai dari kelompok pesilat Tionghoa,
penabuh tambur dari suku Madura, etnik Melayu mengambil peran sebagai pengangkat
tandu (Toa Khio). Malam harinya giliran pertunjukan wayang potehi (wayang boneka
katun dari Fujian, RRC) yang mengangkat cerita klasik dari Tiongkok dengan
dalang dari suku Jawa.
Memang sejak pencabutan Inpres No 14/1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 2000 lalu, ada pemandangan yang membanggakan setiap kali pesta Cap Go Meh.
Semua lapisan masyarakat, khususnya yang bukan Tionghoa, ikut beramai-ramai
dalam kemeriahan atraksi budaya barongsai, liang-liong. Partisipasi warga
non-Tionghoa itu mengingatkan Cap Go Meh sebelum tahun 1965. Partisipasi itu
jelas layak diapresiasi.

Merayakan Perbedaan
Jadi jika dikaji, pesta Cap Go Meh kini berada dalam proses pergeseran dari
pesta milik masyarakat Tionghoa menjadi pesta milik bangsa Indonesia secara
keseluruhan, tentunya dengan dipelopori oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Proses pergeseran atau lebih tepatnya integrasi itu, paling tampak dalam sajian
lontong Cap Go Meh yang bisa kita temui di restoran, rumah makan atau warung.
Makanan ini disajikan pada hari ke-15 yang merupakan penutupan rangkaian acara
perayaan Imlek. Dengan demikian lontong ini menjadi simbol atau representasi
pertautan lintas entis. Pasalnya lontong bukanlah makanan asli China, tapi jenis
makanan asli negeri ini.
Apalagi kalau kita tanya siapa yang suka lontong Cap Go Meh, rasanya juga bukan
monopoli satu etnis saja. Dengan demikian, lontong menjadi simbol etnis Tionghoa
tidak alergi pada apa yang baik yang berasal dari luar etnisnya. Lontong itu
juga menjadi ungkapan bahwa jika kita bisa meramu perbedaan, yang satu ini bisa
menjadi berkah dan memberi nilai tambah bagi kebudayaan nasional kita.
Karena itu, pesta Cap Go Meh menjadi momentum tepat untuk menggelorakan semangat
toleransi dan penghargaan pada perbedaan. Pada masa lalu kita sudah seringkali
melihat perbedaan etnis atau agama dijadikan sarana oleh penjajah untuk
memecahbelah (Politik devide et impera).
Pada 10 tahun reformasi inipun masih ada sebagian anak bangsa yang masih alergi
pada perbedaan. Yang lain dianggap sebagai kendala yang halal untuk
dienyahkan.Tidak heran, jika kemudian bahasa prasangka dipakai bahkan untuk
melegitimasi kebencian dan segala kebenaran hanya diukur dari kacamata sendiri.
Bukan hanya itu saja, konflik sosialpun kerap terjadi. Energi kita seringkali
habis untuk hal-hal yang kontraproduktif seperti kerusuhan rasial atau
pembakaran toko atau tempat ibadah.

Melawan Diskriminasi
Yang menggembirakan, pemerintah, setidaknya pemerintah pusat, kini punya
kehendak baik untuk tidak lagi menerapkan politik segregasi seperti di masa
lalu. Sekat-sekat antara pribumi dan nonpri sudah dihapus lewat UU No 12/2006
tentang Kewarganegaraan.
Kecemasan akan praksis birokrasi yang diskriminatif dan rasis perlahan-lahan
mulai dibenahi. Terbukti misalnya,sebanyak 328 warga stateless (tak punya
kewarganegaraan) di Surabaya dan Malang menjelang Imlek tahun ini telah
berstatus WNI. Itu karena perjuangan mereka mencari status dikabulkan
pemerintah. Teman saya Biao Wan, aktivis antidiskriminasi asal Surabaya, sangat
berperan dalam hal ini.
Di Jakarta, sekitar 1.000 lebih warga China Benteng yang selama ini tanpa KTP
kabarnya juga sudah diberi status WNI.
Jelas perkembangan seperti itu layak diapresiasi, meskipun masih ada aparat
pemerintahan di tingkat bawah yang masih mempertanyakan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam pembuatan KTP.
Terkait masih adanya praktik diskriminasi, Presiden Yudhoyono pun menaruh
perhatian besar. Dalam dua kali perayaan imlek berturut-turut, pesan Presiden
Yudhoyono juga tetap sama.
Pada perayaan Imlek 2558 (2007), Yudhoyono mengirimkan pesan penting: ”Sudah
bukan saatnya lagi ada diskriminasi. Sudah bukan saatnya saling mencurigai,
membeda-bedakan orang berdasarkan asal etnis dan keyakinan yang dianut.” (SH,
25/02/2007). Pesan yang sama kini diulang kembali oleh Yudhoyono pada perayaan
imlek 2559 (2008). Di hadapan para undangan, Yudhoyono juga menyatakan: “Jangan
ada lagi diskriminasi” (SH,18/02/2008).
Karakter bangsa dan negeri ini adalah pluralitas dan perbedaan, karena negeri
ini dihuni beragam etnis, beragam agama dan latar belakang lain yang berbeda.
Cap Go Meh sudah mengajarkan bahwa perbedaan bisa dirayakan, bukan malah
dijadikan kendala dalam menjalin kebersamaan.
Keunikan dan potensi setiap elemen masyarakat di negri jika dikelola dengan
bijak dan cerdas sungguh akan bisa mengangkat martabat bangsa ini. Namun jika
perbedaan yang ada terus dijadikan sarana untuk berkonflik, menumbuhkan
prasangka dan iri hati, maka kita tidak akan bisa meraih apapun.

Penulis adalah teolog dan aktivis Kemanusiaan. Tinggal di Surabaya

SUARA PEMBARUAN DAILY


 ------------------------------------------------------------ --------------------

"Cap Go Meh Bersama Indonesia Bersatu"

Mengangkat Masa Kelam Tionghoa




Abimanyu

Operet kolosal selama satu jam tentang sejarah dan perjuangan etnis Tionghoa di
Indonesia digelar dalam puncak acara perayaan "Cap Go Meh Bersama Indonesia
Bersatu" di Hall D, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Kamis (21/2) malam.

[JAKARTA] Operet kolosal selama satu jam tentang sejarah dan perjuangan etnis
Tionghoa di Indonesia digelar dalam puncak acara perayaan "Cap Go Meh Bersama
Indonesia Bersatu" di Hall D, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Kamis (21/2) malam.

Acara yang dihadiri Presiden dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono itu
menyertakan sejumlah artis seperti Titiek Puspa, Alena, Nugie, Four Season, dan
Fiona.

Operet yang disutradarai Kardi Syarief dengan koreografer Sentot S tersebut,
melibatkan 80 orang yang rata-rata berasal dari Bintang Terpadu Indonesia.
Operet diawali kedatangan Laksamana Cheng-Ho yang membawa pesan damai dari
Kerajaan Dinasti Ming ke Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Dari sini, adegan
pun beralih mengenai kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada saat bangsa ini
berada dalam penjajahan Belanda selama 3,5 abad, penjajahan Jepang, hingga
Presiden Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945.

Operet juga menampilkan kondisi saat etnis Tionghoa teraniaya karena dituduh
sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Adegan terakhir dari operet
adalah ketika masyarakat etnis Tionghoa mengalami penghinaan dan penganiayaan
saat tragedi Mei 1998.

Operet tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya etnis Tionghoa sudah mengakui
kalau dirinya adalah orang Indonesia, yang mencintai negeri ini dengan turut
berjuang membela martabat bangsa Indonesia dari penjajah. Saat operet
berlangsung, Presiden tampak tersenyum ketika artis senior Titiek Puspa
mendamaikan dua kelompok anak kecil yang berseteru karena saling ejek mengenai
jati diri mereka.

"Apakah kamu-kamu anak Indonesia asli?," tanya Titiek Puspa pada kelompok anak
yang mengaku dirinya sebagai manusia Indonesia asli yang sebelumnya mengejek
sekelompok anak etnis Tionghoa. Ternyata setelah ditanya satu persatu, anak-anak
itu adalah keturunan etnis Arab, India, Eropa, bahkan Tionghoa.

Lalu, seorang anak kecil menghampiri Titiek Puspa sambil bertanya, "Kalau
begitu, Eyang Titiek, siapa dong orang Indonesia asli?" kata sang anak. Titiek
spontan menjawab, "Orang Indonesia asli adalah SBY".


Bersatu

Sebelum operet, Presiden mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu.
Sebab, hanya dengan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akan maju.

Menurut Presiden, pranata diskriminasi sudah ditiadakan dengan lahirnya Undang-
undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 dan UU nomor 23 tahun 2006. Bangsa Indonesia
adalah majemuk dan beragam, terdiri dari berbagai suku, agama, etnis, dan
daerah. Namun bangsa Indonesia memiliki tradisi yang baik. Tradisi untuk
merayakan beberapa Tahun Baru, seperti Tahun Baru Masehi, Hijriah, Saka, dan
Imlek.

"Yang kuat harus membantu yang lemah, yang kaya harus membantu yang miskin, yang
maju harus bantu yang belum maju. Kalau kita tidak terpecah belah, kalau kita
saling menyalahkan, dan bermusuhan, maka bangsa kita bukan hanya kuat tetapi
maju dan sejahtera," ujar Presiden.

Di acara itu, Presiden juga menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta
Kelahiran secara simbolis kepada perwakilan etnis Tionghoa dari tujuh provinsi
di Indonesia.

Ketua Forum Bersama Etnis Tionghoa Indonesia, Murdaya Po menyampaikan ucapan
terima kasih karena bangsa Indonesia sudah melakukan perjuangan secara
revolusioner untuk mengakhiri diskriminasi terhadap penduduk etnis Tionghoa di
Indonesia. [F-4]

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #4 on: 20 January 2009, 02:27:18 PM »
http://batampos.co.id/Imlek-dalam-Perspektif-Tradisi-Budaya. htmlImlek dalam Perspektif Tradisi Budaya
Rabu, 06 Pebruari 2008
Oleh: ANLY CENGGANA SH
Pengamat Agama Khonghucu di Indonesia berdomisili di Batam

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Sepanjang masa memasuki awal tahun masehi, di seluruh jagad raya tanpa
warna ceria yang didominasi merah dipadu dengan kuning yang sungguh serasi
memberikan kesan kemeriahan dalam pandangan bola mata setiap insan. Lambang
keceriaan itu, selain pemasangan atribut-atribut berupa pernak-pernik yang
terpampang di segala sudut pusat keramaian/pertokoan termasuk plaza-plaza,
teristimewa dibarengi dengan buah musiman jeruk yang berlimpah turut
menyemarakan kemeriahan nuansa Imlek. Selain itu juga diadakan bazaar khusus
menyambut Hari Raya Imlek seperti yang digelar di Jantung Provinsi Kepri Kota
Tanjungpinang, Pasar Ikan dan Jalan Potong Lembu. Dengan sendirinya, nuansa
Imlek semakin semarak apalagi acaranya didukung oleh pemerintah daerah. Bila
kegiatan ini bisa dilestarikan bahkan berkembang niscaya akan melahirkan
"Kawasan Pecinan" yang turut mengangkat marwah kota termasuk menjadi daya tarik
wisatawan akan suatu keunikan dan setidaknya dapat menghidupkan roda
perekonomian setempat.


Pada dasarnya budaya dan tradisi tidak jauh, hanya saja budaya menekankan
pada pikiran, akal budi yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang.
Sedangkan Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang terpelihara dalam kehidupan
sehari-hari yang diwarisi dari nenek moyang yang masih diikuti sepanjang masa
(dahulu, kini dan bahkan mendatang). Seiring dengan perayaan Hari Raya Imlek
dapat kita jumpai sejumlah tradisi antara lain, bersih-bersih yang meliputi
bersih rumah berikut segala sesuatu terutama cat rumah yang sudah pudar termasuk
bersih diri pangkas rambut, kumis, jenggot, saling memberikan bingkisan sebagai
isyarat keeratan dalam kekerabatan/persaudaraan, memenuhkan/mencukupkan barang
kebutuhan hidup seperti beras, air, minyak dan sebagainya. Tidal lupa pula
menghias rumah dengan pernak-pernik yang didominasi dengan warna merah dan
kuning.


Merah melambangkan kebahagian dan kuning melambangkan kebesaran,
keagungan, mengandung unsur keluhuran dan kemuliaan. Silahturami; yang muda
mendatangi yang tua/dituakan untuk bersilahturami, Berpakaian baru, makanan
tradisional terutama kue keranjang yang bermakna sebagai perekat sesama. Khusus
di Pulau Jawa tersajikan bandeng, dodol dan kerang, manisan bermaksud agar
mendapatkan yang baik-baik dalam kehidupan. Sementara, kegiatan bersifat
kedaerahan seperti; bakar tongkang duplikat di Bagan Siapi-api, Kegiatan yang
paling menonjol menjelang Imlek adalah bersih-bersih, Hal ini berawal dari kisah
tentang seorang dewa bernama Dewa Tiga Mayat (san shi shen) ingin menjadi
pahlawan bagi manusia dengan cara licik. Ia menjelek-jelekkan manusia di hadapan
Yihuang Ta Ti. Hanya dalam waktu dekat Yihuang Ta Ti sudah menerima 99.999
laporan tentang rencana manusia berontak melawannya. Yihuang Ta Ti marah,
memerintahkan Dewa Tiga Mayat memberi tanda khusus pada dinding rumah si manusia
pemberontak, juga menyuruh laba-laba membuat jaring yang amat besar di
langit-langit rumah. Saking marah, ia pun menyuruh Dewa Pencabut Nyawa (Ling
Sheng Gong) turun ke bumi di malam tahun baru untuk membunuh orang yang rumahnya
sudah ditandai oleh Dewa Tiga Mayat. Tanpa buang waktu Dewa Tiga Mayat,
cepat-cepat terbang ke bumi menuju rumah yang sudah ditandainya guna
"menyelamatkan manusia". Dengan demikian, dia akan dipandang manusia sebagai
dewa terbaik.


Tak disangka, Dewa Dapur mengetahui rencana busuknya dan mencari akal
bagamana menghalangi niat Dewa Tiga Mayat itu. Akhirnya ia menghapus bersih
semua tanda yang dibuat Dewa Tiga Mayat. Hal ini membuat Dewa Pencabut Nyawa
terkejut saat tiba di bumi, karena tidak menemukan apapun di rumah manusia.
Rencananya gagal total. Bahkan begitu akal liciknya terbongkar, Dewa Tiga Mayat
pun dihukum kurungan di langit. Sebaliknya, Dewa Dapur menjadi pahlawan. Itulah
asal-usul ada hari khusus membersihkan rumah sebelum Tahun Baru.

Imlek Dalam Perspektif Yuridis
Angin segar paska Kepres no.6 tahun 2000 telah memberikan keleluasaan
umat Khonghucu dalam menunaikan ibadah, merayakan Ilmek termasuk kegiatan seni
budaya yang tanpa harus merasa ketakutan akan diawasi oleh dipantau oleh Badan
Inteligen Keamanan Nasional (BIN) ketiga masih berlaku Inpres no.14 tahun 1967
yang membatasi kegiatan keagamaan (Khonghucu), kepercayaan dan adat istiadat
China tidak melakukan menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam
lingkungan keluarga
Akibat pelarangan ini membuat banyak klenteng telah berubah nama menjadi
vihara, cettya, sanggar. Sehubungan hal ini Mendagri Rudini dalam surat
No.455.2-360 tertanggal 21 April 1988 menginstruksikan dengan tegas bahwa
klenteng sebagai tempat kepercayaan tradisional China tidak dibenarkan
menggunakan sebutan yang lazim dipergunakan bagi penamaan bangunan-bangunan
keagamaan bukan kepercayaan tradisional China seperti vihara, cettya, sanggar
dan lain-lain.


Dirjen Bimas Hindu Budha dalam surat No.H/BA.03.1/58/1990 tanggal 22
Januari 1990 agar tempat ibadah agama Budha tidak merayakan hari Raya Imlek
karena bukan salah satu hari raya agama Budha, termasuk tidak melakukan
kegiatan-kegiatan di luar ajaran sang Budha. Hal senada juga disampaikan WALUBI
dalam suratnya No.018/H-008/DPP/I/90 tanggal 23 Januari 1990 kepada seluruh
Sangha/Majelis anggota WALUBI adanya kekawatiran dampak eliminasi terhadap China
menjadi eliminasi terhadap Buddhis sebagaimana surat yang ditujukan kepada
Dirjen Bimas Hindu dan Budha Depag no.025/H-012/DPP/II/90 tanggal 1 Pebruari
1990.


Kep.Menag. No.13/2001 merupakan implementasi dari Kepres No.6/2000 dengan
julukan tongak awal Imlek libur fakultatif, yang kemudian ditindaklanjuti Kepres
No.19/2002 Imlek Libur Nasional, dengan konsekuensi berakhirlah kekaburan umat
Khonghucu yang merayakan Imlek selama ini sehingga ke depan sudah waktunya bisa
menunjukkan jati diri sebagai penganut agama Khonghucu yang dapat transparansi
dalam mengimani keyakinannya (Khonghucu). Dan kini dengan terbitkan surat Menag.
No.MA/12/2006 menyetarakan hak-hak sipil umat Khonghucu telah mendapatkan
legitimasi dari pemerintah selain bebas mencantumkan identitas agama pada KTP,
mencatatkan perkawinan juga bisa mendapatkan pendidikan agama Khonghucu
sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan, pasal 46 bahwa sekolah minggu Khonghucu dan diskusi
Pendalaman Kitab Suci merupakan kegiatan belajar-mengajar nonformal yang
dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap
minggu dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.


Adanya pendapat Imlek merupakan budaya/tradisi etnis Tionghoa sangatlah
tidak tepat karena (1) Sejarah lahirnya Hari Raya Imlek tidak jauh beda dengan
hari raya keagamaan lainnya. (2) Imlek secara legal politis nuansa keagamaan
lebih diangkat dalam setiap perayaan Tahun Baru (Hari Raya) Imlek, karena secara
legal politis pengkuan keagamaan lebih bisa diterima dalam konteks sosial
politis Indonesia saat ini daripada pengakuan pada identitas kebudayaan/kultur.
(3) Secara yuridis penentuan hari libur nasional ditetapkan oleh Menteri Agama,
bila Imlek bukan hari Libur keagamaan maka tidak akan ditetapkan oleh Menteri
Agama. (4) Bila Imlek bagian dari budaya/tradisi maka tidak berhak untuk
ditetapkan sebagai hari libur nasional berarti budaya/tradisi Tionghoa
diistimewakan nilainya berdampak akan sorotan diskriminasi terhadap budaya
lainnya. Perayaan Imlek bukan hanya di Indonesia saja melainkan mendunia yang
sudah berlangsung dari dahulu kala bukan ciptaan era-kini. (5) Imlek telah
mendapatkan legitimasi negara melalui kebijakan hukum positif telah memberikan
dasar legalitas yang jelas dan perayaan Imlek tingkat nasional selalu dihadiri
kepala Negara yang diselenggarakan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN)
seperti kehadiran terhadap semua hari besar keagamaan lainnya.


Dalam perayaan Imlek setidaknya bermakna akan ; (1) mengingatkan kita
akan kebesaran Tuhan sang Pencipta jagad raya, (2) Tidak melupakan leluhur
meskipun telah jauh dari kita, dan (3) mengedepankan tenggang rasa sesama
masyarakat dalam wujud kepedulian sosial.

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #5 on: 20 January 2009, 02:33:55 PM »
Sejarah Cina Benteng

TIDAK seperti Cina peranakan pada umumnya, Ong Gian (47) berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan perkawinan.

Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.

Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.

Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.

SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.

Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.

Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.

Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.

Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.

Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.

YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.

“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.

Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.

Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.

SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.

Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.

David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.

Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng. (Robert Adi KSP)KCM, Senin, 03 Februari 2003

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #6 on: 20 January 2009, 02:36:31 PM »
Sejarah Glodok pancoran jakarta

TIDAK seperti Cina peranakan pada umumnya, Ong Gian (47) berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan perkawinan.

Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.

Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.

Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.

SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.

Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.

Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.

Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.

Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.

Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.

YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.

“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.

Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.

Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.

SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.

Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.

David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.

Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng. (Robert Adi KSP)KCM, Senin, 03 Februari 2003

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #7 on: 20 January 2009, 02:38:08 PM »
Wayang Potehi

Sejarah
Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan hie (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Tiongkok asli.

Menurut legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang langsung bersedih, tapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.

Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin yaitu pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 M. Wayang Potehi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia di sekitar abad 16 sampai 19. Bukan sekedar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi keturunan Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.

Beberapa lakon yang biasa dibawakan dalam wayang potehi adalah Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, Sia Kao Kim, yang warna mukanya tidak bisa berubah.


Lakon
Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan Tiongkok seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini wayang potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti legenda kera sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk pribumi pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.

Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak. Seperti misalnya tokoh Sie Jin Kwie yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Lie Sie Bien.

Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng, suling, gwik gim (gitar), rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi trok-trok seperti seharusnya.


Perkembangan Wayang Potehi
Tahun 1970-an sampai tahun 1990-an bisa dikatakan masa suram bagi Wayang Potehi. Itu dikarenakan tindakan yang cenderung represif penguasa pada masa itu terhadap kebudayaan kebudayaan Tionghoa. Padahal nilai-nilai budaya yang dibawa serta oleh para keturunan Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Padahal jika diamati para penggiat Wayang Potehi sebagian besar adalah penduduk asli Indonesia. Bayangkan, betapa besar apresiasi mereka terhadap budaya yang bisa dikatakan bukan budaya asli Indonesia. Namun setelah orde reformasi berjalan, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan sembunyi-sembunyi.

artikel ini berasal dari
http://my-musings.blogdrive.com/archive/131.html

tentang Wayang Potehi, seni yang hampir terbunuh oleh kita

Sore kemarin (Minggu, 7 November 2004) aku dan teman-teman dari Sahabat Museum masuk ke dalam sebuah gang kecil di dalam pasar Jatinegara. Di situ ada sebuah klenteng bernama Amurva Bhumi dan di depan klenteng tersebut, tepat di tepi gang pasar, dipasang tenda dan panggung kecil. Di depan panggung itu, di tengah segala kesibukan pasar di Minggu sore seminggu sebelum Lebaran, kami menonton Wayang Potehi.

Wayang Potehi adalah sebuah pertunjukan boneka atau wayang semacam wayang golek yang dimainkan di atas panggung kecil dan mempertontonkan berbagai kisah klasik Cina. Potehi berasal dari Poo yang berarti kain, tay yang berarti kantung dan hay yang berarti wayang. Jadi wayang potehi adalah wayang kantung kain. Dan memang badan wayang adalah berupa kantung kain, yang sekaligus menjadi baju si tokoh wayang yang berwarna-warni dan berpola indah. Di bagian atas kantung ada kepala wayang terbuat dari kayu dan di cat dengan berbagai mimik muka yang berbeda. Ada yang tampak baik hati, ada yang bengis sekali. Kalau pada wayang golek dalang menggerakkan wayang menggunakan tongkat yang tertempel di ujung tangan wayang, dalang wayang potehi memasukkan tangannya ke dalam kantung kain alias badan wayang dan menggunakan jemarinya untuk menggerakkan kepala dan kedua tangan si wayang.

Dalang mahir semacam Bapak Thio Tiong Gie atau asistennya bisa menggerakkan wayang-wayang dalam sebuah adegan perang sehingga mereka tampak hidup. Sebuah wayang yang memegang pedang dimainkan bertempur dengan wayang yang memegang tombak bagaikan adegan dalam film silat, gerakannya mengalir dengan lancar, dan boneka tampak hidup. Menakjubkan sekali melihat mereka memainkan adegan seperti ini. Tidak semua kisah yang ditampilkan dalam wayang potehi berupa adegan silat. Episode yang kami tonton kemarin malah kebanyakan berupa adegan percakapan. Aslinya sebuah kisah yang ditampilkan dalam wayang potehi ditampilkan secara berseri selama berhari-hari. Tapi di masa sekarang ini kebanyakan kisah-kisah tersebut ditampilkan tidak lengkap hanya beberapa cuplikan yang menarik saja.

Menurut Thio Tiong Gie sebetulnya kisah-kisah wayang potehi banyak yang sudah diadaptasi menjadi lakon-lakon ketoprak, sehingga sudah cukup akrab bagi masyarakat Jawa. Semisal Sie Jin Kwie, dalam dunia ketoprak dia dikenal sebagai Joko Sudiro dan Prabu Lie Sie Bien sebagai Prabu Lisan Puro. Seni wayang ini aslinya lahir di daratan Cina pada masa Dinasti Jin (abad 3-5) dan berkembang pada masa Dinasti Song (abad 10-13). Konon lahirnya wayang potehi bermula dari adanya lima orang yang akan dijatuhi hukuman mati. Ketimbang bersedih menunggu ajal, mereka berpikir bahwa lebih baik menghibur diri. Maka dengan menggunakan barang-barang yang ada di sel seperti panci dan piring mereka mulai memainkan musik tetabuhan untuk mengiringi permainan wayang. Kaisar yang mendengar bebunyian menarik ini akhirnya memberi mereka pengampunan.

Pada saat pertama masuk ke nusantara wayang ini masih dimainkan dalam bahasa asli suku Hokkian. Namun pada perkembangannya akhirnya cerita dimainkan dalam bahasa Indonesia, yang terdengar khas karena kadang lebih mirip bahasa Indonesia jaman dulu, dengan disisipi istilah-istilah dalam bahasa asli di sana-sini. Iringan musiknya adalah beberapa macam tetabuhan dan semacam rebab. Musik iringan wayang ini juga menarik sekali dan membuat pertunjukan jadi hidup. Thio Tiong Gie yang sudah berusia 72 tahun ini adalah satu-satunya dalang wayang potehi yang masih tersisa di Semarang. Dalam pertunjukkannya kemarin beliau dibantu oleh seorang asisten dalang dan juga oleh 3 orang pengiring musik, yang semuanya berasal dari suku Jawa. Karena grup wayang potehi Thio yang bernama Tek Gie Hien sudah bubar, ketiga pemain musik yang dibawanya ini harus di-'impor' dari Surabaya, yang masih punya lebih banyak grup wayang potehi ketimbang Semarang. Di Surabaya pula masih ada pengrajin wayang potehi.

Pak Thio yang mulai mendalang sejak berumur 27 tahun mengalami jaman saat pertunjukan wayang potehi populer sekali. Beliau diminta mengisi berbagai acara hajatan dan bisa manggung selama sembilan bulan dalam setahun. Lalu tiba-tiba pada tahun 1967 beliau tidak bisa lagi mementaskan wayang potehi di tempat umum, karena pemerintah Orde Baru melarang segala bentuk kesenian dan budaya Tionghoa. Setelah pemerintahan Gus Dur mencabut larangan itu di tahun 1999, kesenian ini sudah mulai dipentaskan kembali. Tetapi tetap tidak seramai dulu. Saat kesenian Tionghoa marak kembali dan - seperti ciri khas masyarakat modern kita - dipentaskan di mall-mall, wayang potehi tetap terkesampingkan, kalah oleh kepopuleran barongsai, yang harus diakui memang lebih mudah menarik perhatian.

Jelas terlihat bahwa seni wayang potehi ini adalah seni yang hampir saja mati terbunuh. Ironisnya, tidak seperti banyak bentuk kesenian dan budaya tradisional lain yang mati perlahan oleh serbuan televisi dan berbagai macam hiburan modern, wayang potehi sekarat karena selain gempuran tadi kesenian ini juga dipasung selama 30 tahun bersama segala bentuk kesenian dan budaya Tionghoa. Fobia yang keterlaluan ini membuat budaya Tionghoa di negara kita tidak dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional.

Sewaktu backpacking di Malaysia beberapa tahun yang lalu aku sempat kaget melihat betapa suburnya budaya Tionghoa di negara itu, betapa budaya Tionghoa bisa berdiri berdampingan dan dianggap sebagai kekayaan budaya yang sama dengan budaya Melayu. Di Malaka, sebuah kota di pantai barat Malaysia yang pada abad 16-17 adalah salah satu pelabuhan utama di kawasan Asia Tenggara, kekayaan budaya orang-orang Tionghoa adalah salah satu daya tarik wisata yang punya nilai jual tinggi. Di sini rumah-rumah bergaya arsitektur Cina dirawat seperti bangunan-bangunan kolonial dan dijadikan tempat tujuan wisata. Begitu pula di Penang, sebuah pulau di barat Malaysia.

Di sinilah, di Malaysia, aku baru sadar tentang adanya budaya khas the Strait Chinese yang adalah budaya orang-orang Tionghoa yang sudah lama hidup di tanah Melayu dan sudah mengadopsi bagian-bagian budaya melayu dan menggabungkannya dengan budaya mereka. Salah satu bentuk adopsi yang tampak adalah pada pakaian para Nyonya Tionghoa kala itu, yang memakai kebaya. Pada saat menjelajahi Museum Baba & Nyonya yang menunjukkan budaya khas ini aku sempat terhenyak - ternyata sebetulnya banyak bagian-bagian dari budaya itu yang mirip dengan budaya orang-orang Tionghoa di Indonesia! Menurutku sungguh tragis bahwa aku harus belajar tentang budaya the Strait Chinese yang juga kita miliki, justru dari negeri tetangga. Sepertinya di negara tetangga kita itu, budaya kaum Tionghoa diterima dan dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya Malaysia. Lalu mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Mengapa di Taman Mini ada berbagai jenis bangunan tradisional dan seni budaya suku-suku di Indonesia, tapi tidak ada bangunan tradisional atau seni budaya Tionghoa? Yang sebetulnya dalam hidup sehari-hari saja bisa kita lihat dengan mudah di sekeliling kita.

Aku berharap bahwa sekarang ini akhirnya kita sudah bisa mulai membuka diri dan mau mengakui bahwa budaya teman-teman Tionghoa, upacara-upacara mereka, pertunjukan dan tari-tarian seperti wayang potehi ini adalah milik kita juga, bagian dari jati diri bangsa kita. Semoga dengan ini wayang potehi bisa kembali bangkit, menjadi populer seperti pertunjukan wayang kulit Jawa, sehingga kita tidak perlu kehilangan milik kita yang berharga.

Jakarta, 8 November 2004

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #8 on: 21 January 2009, 07:40:00 PM »
Sejarah Glodok pancoran jakarta

TIDAK seperti Cina peranakan pada umumnya, Ong Gian (47) berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan perkawinan.

Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.

Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.

Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.

SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.

Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.

Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.

Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.

Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.

Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.

YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.

“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.

Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.

Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.

SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.

Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.

David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.

Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng. (Robert Adi KSP)KCM, Senin, 03 Februari 2003

ini di ulang? tidak sesuai dengan judul.

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #9 on: 21 January 2009, 08:03:07 PM »
Tradisi tradisi imlek pada hakikatnya adalah agar dapat menjaga tali persaudaran tapi pada jaman sekarang tradisi ini sudah menyimpang cukup jauh dari maknanya.

Seperti tradisi menanti dewa keberuntungan lewat tengah malam maka rumah mesti terang benderang dan pintu yang di buka lebar.

Tradisi ini sebenarnya adalah agar orang dewasa bisa berbicara atau bertukar pikiran dan mungkin memberi nasihat ( panduan) dari para tetua ke yang lebih muda atau bantuan/memecahkan masalah yang mereka alami. Maka dari itu patung dewa keberuntungan wujud nya adalah orang dewasa yang matang dan bijaksana.

Tradisi angpao, juga adalah tradisi yang di buat agar saling mengunjungi dan mendidik anak anak secara kekeluargaan. yang penting dari tradisi ini bukan lah isi dari angpau tersebut yang disalah artikan hingga di kejar kejar oleh anak anak.

Mesti di mengerti ini adalah pendidikan biar anak tersebut dapat menghitung, menyimpan dan membelanjakan secara bijaksana dan memperioritaskan keinginanan mereka (sebenarnya pelajaran mengendalikan hawa nafsu atau mengendalikan tanha secara terselubung).

Kedua agar anak tersebut mampu beretika dan mampu dinasihati / diajar dengan baik oleh anggota keluarga lain selain orangtua mereka (parental education, family education).  Maka sebaiknya bila anak anak masih kecil di temani orangtua mereka ketika berkunjung kerumah saudara saudara yang lain.

Dan sebaiknya memberi isi angpau dengan bijaksana tidak terlalu berlebihan lihat lah pada kepribadian, kebaikan dan bakat bakat sang anak pada dasarnya, karena beberapa anak mungkin tidak lah terlalu pintar tapi mereka mempunyai keperibadian yang baik nilai nilai ini harus di hargai dengan baik.

Kenapa orang yang belum menikah tidak boleh memberi angpau karena kalau mereka memberi ke pada orang tua mereka biasa nya mereka akan merasa lebih tinggi,  hingga kata kata orang tua sulit didengar nasihat nya atau kebalikan nya malah mengendalikan orang tua. hal ini jelas kurang baik akibatnya.

masih banyak tradisi tradisi yang harus dilihat secara benar dan pada konteks nya


 
« Last Edit: 21 January 2009, 08:04:55 PM by daimond »

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #10 on: 20 January 2010, 09:51:11 AM »
Wayang Gantung atau wayang marionete, adalah salah satu wayang yang terlupakan di Bumi nusantara ini, ternyata Di Desa Lirang, Singkawang selatan, terdapat hanya satu satunya dalang wayang gantung atau marionete di Indonesia, ditengah moderinsasi jaman, dan juga upaya pelestarian wyang potehi, terlupakan seni yang satu ini. Nama seorang pendalang itu adalah Chin Nen Sin, dia adalah satu satunya penerus wayang gantung ini. Ditengah krisis ekonomi menempa dirinya dia tidak kenal lelah akan melestarikan salah satu budaya yang dilupakan.

Perbedaan wayang gantung dengan wayang potehi adalah wayang gantung mengunakan model eropa, seperti layaknya boneka kayu macam pinokio, diukir dalam bentuk karakter tokoh tokoh sejarah.
Satu-satunya pewaris seni wayang gantung di Indonesia ini akan terus memainkan wayang gantung meski berbagai adaptasi harus dilakukan. Tidak hanya cerita klasik perang dan percintaan, tapi juga cerita keseharian bahkan sulap sehingga lebih disukai. Semua demi lestarinya wayang gantung.

Modifikasi cerita wayang gantung sesungguhnya mereduksi makna positif berbagai kisah. Sebab, kisah China klasik mengandung nilai-nilai Budhism, Taoisme, falsafah Konfusisme-yang dikenal sebagai nilai kebijaksanaan. Modifikasi apalagi kematian wayang gantung dapat menyebabkan "terlepasnya" generasi muda Tionghoa dari ajaran yang arif.


Kediaman Chin Nen Sin hanya 200 meter dari kuil tua itu. "Mirip di Jawa," kata teman perjalanan, penulis lepas, Muhlis Suhaeri, mengomentari suasana sekitar itu. Kediaman Chin Nen dikelilingi sawah dan kebun palawija, dinaungi bebukitan Singkawang. Ketika itu udara sejuk karena hujan baru saja reda.

Kami makan ubi, hasil berkebun Chin Nen, suguhan yang jarang ditemui bila bertamu ke kediaman warga Tionghoa di Jakarta. Namun, di Singkawang bertani adalah hal biasa bagi warga Tionghoa. Mereka bahkan bukan petani kaya, tetapi petani gurem.

Jika tidak memainkan wayang gantung atau musik kecapi, Chin Nen memang beralih jadi petani. Kebutuhan air sawah terjamin, sebab di bukit yang terletak di belakang kediaman Chin Nen ada mata air. Terkadang Chin Nen mengisi waktunya dengan membuat lampion dan kemudian menjualnya.



"Kami punya 30 boneka wayang, semuanya dari China. Entah dari kayu apa, tetapi tidak lapuk maupun dimakan rayap. Paling dicat ulang. Lalu ketika bajunya koyak, kami jahit atau dibuatkan baju baru," ujar Chin Nen menjelaskan.

Sekali tampil-beda dengan wayang kulit yang membawa semua wayangnya-biasanya hanya dibawa 10 boneka, sesuai dengan jalan cerita. Ada boneka bentuk dewa, panglima perang, bangsawan, kaum China terpelajar, maupun rakyat biasa. Ada boneka lelaki, ada pula boneka perempuan.

Wayang gantung dimainkan dengan bantuan benang. Ini berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan dengan memegang kayu, wayang Po Te Hi yang dimainkan dengan sarung tangan, atau wayang golek yang dimainkan dengan memegang boneka wayang.

Butuh waktu 5-6 bulan untuk mahir memainkan wayang gantung. Dalang juga perlu keahlian untuk adegan berkelahi dan barongsai. Sebab, perpindahan benang bukan saja dari tangan kanan ke tangan kiri, tetapi juga persilangan tangan antardua atau lebih dalang.

Umumnya wayang gantung dimainkan oleh dua hingga empat dalang. Meski demikian, satu pertunjukan membutuhkan 12-14 orang, termasuk pemusik dan pengatur permainan.

Offline darwin hua

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 103
  • Reputasi: 3
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #11 on: 20 January 2010, 12:33:02 PM »

Acaranya untuk ngumpul2 ama keluarga dech

Offline wiithink

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.630
  • Reputasi: 32
  • Gender: Female
Re: Imlek dI Bumi Nusantara
« Reply #12 on: 20 January 2010, 11:06:17 PM »
bener..

makan malem bareng keluarga sambil nunggu jam 12 malem, ntuk pai ti kong

 

anything