//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu  (Read 111799 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #105 on: 14 July 2007, 10:23:38 PM »
 [at] tan
jelas2 dalam Sutta itu gk ada tulis kalo itu gerhana! kalo dalam Mahayana emank banyak flaw..tapi kalo Tipitaka mungkin ada but at least gk sebanyak dalam Sutra2 gk jelas Mahayana...

 [at] Sumedho
 _/\_

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #106 on: 14 July 2007, 10:45:13 PM »
[at] tan
jelas2 dalam Sutta itu gk ada tulis kalo itu gerhana! kalo dalam Mahayana emank banyak flaw..tapi kalo Tipitaka mungkin ada but at least gk sebanyak dalam Sutra2 gk jelas Mahayana...

 [at] Sumedho
 _/\_

Hai Bro El Sol! Selamat malam!

Saya kira tidak perlu dituliskan bahwa itu adalah gerhana. Tetapi dari konteksnya orang akan dengan mudah menyadari bahwa itu adalah peristiwa gerhana matahari. Sedikit atau banyaknya flaw, tetap berarti flaw itu ada.

Saya akan memberi analogi sebagai berikut. Misalnya Anda memasan nasi soto di sebuah rumah makan. Maka meskipun di dalamnya ada kotoran tikus hanya setitik atau segenggam, Anda sama-sama tidak mau memakannya bukan? Jadi bukan masalah banyak atau sedikit di sini. Flaw adalah cacat. Banyak atau sedikitnya cacat, tetap "Tidak sempurna" namanya.

Lagipula bagaimana Anda yakin bahwa flaw di dalam Tipitaka hanya sedikit? Pertanyaan saya mengenai rusa yang dapat berbicara di kitab Jataka, Anda juga belum dapat menjawab atau menjelaskannya. Lalu peristiwa pemercikan air paritta di Vesali juga belum Anda jelaskan. Atanatiya Sutta juga saya belum dapat jawaban yang memuaskan. Nanti kalau saya tambahi lagi jadi bertumpuk.

Metta,

Tan

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #107 on: 14 July 2007, 10:50:20 PM »

Sebenarnya yang menafsirkannya sebagai kanker bukan saya. Lagipula menurut hemat saya hendak ditafsirkan sebagai kanker sekalipun juga tidak terlalu masalah. Yang pasti dalam terjemahan, saya telah mencantumkan makna harafiahnya, yakni "penyakit berat." Selain itu, hendak ditafsirkan sebagai kanker tidak mengurangi esensi sutranya sendiri. Selain itu, zhibing dalam bahasa Mandarin Wenyan (Mandarin sastra kuno) mungkin pula mengacu pada salah satu penyakit tertentu. Saya sedang cari literaturnya. Kalau Anda dapat membantu mencari maknanya yang tepat saya sangat berterima kasih.

Saya tidak tahu siapa yang menafsirkannya, tapi yang pasti itu adalah hal yang gegabah. Dan ketika kita menyebarluaskan tafsiran gegabah tersebut tanpa menelaah terlebih dulu (asal percaya bahwa teks yang sudah ada adalah benar 100%), karena ketidakhatian kita, maka kita mengambil bagian dari kesalahan tersebut.
Dan jelas akan mempengaruhi esensi sutra. Dengan menambah kata kanker bahkan dalam judul sutra menandakan sutra tersebut khusus untuk penyakit kanker. Esensi sutra jika ditambah menjadi lebih spesifik sedangkan jika dihilangkan akan bersifat umum, dan ketika bersifat umum maka mantra ini tidaklah berguna jika ternyata ada mantra lain yang sudah terlebih dulu ada dan sifatnya juga umum. Kemudian muncul pertanyaan mengapa Sang Buddha menciptakan banyak mantra yang khasiatnya sama?
Selain itu kita tidak bisa berpikir dari sudut pandang kita yang mudah memahami sutra semata dengan mengatakan ”ah yang penting esensinya sama”, tapi juga berpikir dari sudut pandang mereka yang awam.
Mengenai kata zhingbing, sayangnya saya tidak mendalami bahasa mandarin dan terbatasnya narasumber, paling mentok saya hanya cari di internet. :)

Quote
Konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur2 Hindu, seperti Upanisad. Saya sedang menerjemahkan Mundaka Upanisad, yang di dalamnya juga mengandung konsep dikotomi seperti itu. Memang bahwa istilahnya tidak harus "langit" dan "bumi," tetapi bisa juga Atman dan Brahman, dll.
Saya hanya hendak mengungkapkan bahwa konsep seperti itu tidak hanya monopoli bangsa Tionghua saja.

Sdr. Tan, saya tahu bahwa konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur-literatur Hindu, seperti Upanisad, tapi dalam sutra tidak ada indikasi kata yang diganti oleh kata ”yin” adalah bersifat dikotomi. Seperti yang saya sampaikan, kata sebelumnya adalah unsur panas dan angin, jika ada dikotomi maka panas seharusnya diganti dengan ”yang”.
Dan tetap sebuah pertanyaan, apakah umum bahwa dikotomi dengan istilah "langit" dan "bumi" yang identik dengan istilah ”yin dan yang” terdapat dalam sutra-sutra Buddhist?

Quote
Sebenarnya kita juga tidak pernah dapat mengetahui secara pasti apakah yang dianggap "asli" oleh para ahli itu benar-benar "asli." Para ahli beranggapan bahwa yang asli sebenarnya hanya beberapa bagian dari Sutta Nipata. Memang benar menerima begitu saja juga bukan saddha yang benar, oleh karena itu, kita harus menggunakan kebijaksanaan dalam menentukan mana yang "asli" dan mana yang "palsu." Pandangan atau hasil penelitian para ahli tidak dapat dijadikan pula patokan untuk menentukan "asli" atau "palsu"nya suatu naskah keagamaan, meskipun suatu naskah secara lahiriah "palsu," tetapi dapat juga secara spiritual adalah "asli."

Jadi, Sdr. Tan, anda sependapat jika dikatakan kita juga tidak bisa menepis bahwa dalam dunia spiritual memungkinkan apa yang "palsu" tetap ”palsu”, dan apa yang ”asli” tetap ”asli”?

Quote
Sebenarnya tidak keluar topik. Ini adalah satu kesatuan. Banyak orang yang mendiskreditkan bahwa naskah Mahayana banyak mengandung tahayul, padahal yang mereka kenal adalah praktik luar Mahayana. Di sini saya mencoba membuktikan bahwa dalam kanon Pali pun juga terkandung tahayul yang sama. Kanon Pali juga terdapat hal-hal yang tak masuk akal. Jika seseorang menolak naskah Mahayana dengan alasan di dalamnya banyak terkandung tahayul, maka naskah Pali juga harus ditolak pula, atau dengan kata lain menolak Buddhisme secara keseluruhan!
Oleh karena itu, saya hanya hendak menyampaikan bahwa kita hendaknya tidak menafsirkan sesuatu secara harafiah. Saya tidak sependapat bahwa melihat makna esoteris adalah upaya melogiskan sesuatu hingga sesuai dengan tingkat pemikirannya. Justru makna esoteris itu adalah makna supra-rasional, yang mengatasi logika. Tentu saja secara logis, sampai saat ini saya masih tidak dapat menerima konsep bahwa gerhana matahari disebabkan oleh Rahu, rusa yang dapat berbicara, ataupun air paritta dari mangkuk Sang Buddha yang bila dipercikkan dapat menghilangkan wabah. Itu bagi logika saya, sama saja denga dongeng. Tetapi saya tidak hanya semata melihat makna harafiah (yang tersuratnya) saja.

Well, jika anda katakan tidak keluar topik, mari kita lanjutkan.
Ketika anda mengungkapkan mengenai adanya makna dalam suatu mantra dengan menganggapnya adalah juga Dharma, anda sudah melogiskan mantra tersebut dalam pemikiran anda sendiri. Ketika anda berbicara mengenai mantra prajnaparamita dengan mengatakan : ”Kalau diartikan secara harafiah tanpa tahu makna mantranya, maka orang mengira itu adalah mantra ajaib yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Tetapi tidak demikian halnya. Jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibanna”, tanpa sadar anda sedang melogiskan sesuatu, sehingga akhirnya disesuaikan maknanya dengan pemahaman yang akhirnya bisa anda atau orang lain pahami.
Anda bisa menggunakan istilah apapun, apakah esoteris ataupun supra-rasional ataupun wisdom, tetapi pada dasarnya semua kembali kepada logika (jalan pikiran) dalam pikiran kita, karena semua termasuk yang anda katakan esoteris ataupun supra-rasional memerlukan suatu pemahaman untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain, dan pemahaman itu memerlukan proses dan disesuaikan dengan kondisi pikiran kita.
Begitu juga dengan cerita Jataka ataupun kisah deva surya. Ketika kita memahaminya dengan logika standar (logika yang hanya membandingkan dengan apa yang ada sekarang), maka kita akan mentok sampai situ, tetapi ketika kita berpikir dengan logika yang tidak biasa dan berusaha melogiskannya maka kita bisa mengatakan bahwa kisah tersebut hanyalah perumpamaan.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #108 on: 14 July 2007, 10:51:10 PM »

Pertanyaan Anda akan saya balik pula dengan pertanyaan:

Dalam sumber Pali saya pernah membaca: di kota Vesali pernah ada wabah penyakit dan kelaparan. Lalu sang Buddha memercikkan air paritta yang ada di mangkuknya, sehingga akhirnya wabah penyakit dan kelaparan itu sirna. Mengapa pada saat itu, Sang Buddha tidak memaparkan saja bahwa lahir, sakit, dan mati adalah wajar? Lagipula mana masuk akal dengan memercikkan air wabah penyakit dan kelaparan dapat sirna. Sepengetahuan saya kalau ada wabah penyakit ya harus dipanggilkan tim medis dan bukannya ciprat2 air paritta. Bisa-bisa dokter tidak laku nanti  Lalu kalau kelaparan ya harus didatangkan bahan makanan, masa dengan diperciki air paritta bisa kenyang? Kalau begitu nanti kalau saya lapar, saya bacakan saja paritta pada air dan diminum. Pasti nanti jadi kenyang. Apakah begitu?  Jadi jelas sekali Anda tidak dapat menafsirkannya secara harafiah.

Kalau Anda menafsirkannya secara harafiah, maka agar fair Anda juga harus menolak kanon Pali atau Buddhisme secara keseluruhan, karena dalam kanon Pali juga terdapat kisah-kisah tidak masuk akal, yang terkadang bertentangan dengan ajaran Buddha sendiri. Milindapanha adalah bukti adanya kontradiksi dalam kanon Pali, yang "dicoba" untuk diselaraskan, walaupun (maaf) saya lihat bahwa penjelasannya dipaksakan. Saya baca Milindapanha terkadang sampai mengernyitkan dahi atau terkadang tersenyum sendiri. Karena penjelasannya terkadang ada yang sangat-sangat dipaksakan.


:D Baik, saya akan mencoba melogiskannya untuk anda, Sdr. Tan.
Pertama, suatu fenomena tidaklah berdiri sendiri. Apa yang terjadi di kota Vesali tidak hanya sekedar wabah penyakit dan kelaparan, tetapi juga ada gangguan makhluk halus. Jika kita membaca Ratana Sutta maka kita menemukan kalimat : ”Makhluk apapun juga yang berkumpul di sini, baik dari dunia maupun ruang angkasa....” dan ”....Duhai para makhluk, perhatikanlah.” Ini mengindikasikan bahwa Ratana Sutta bukan untuk menghilangkan kelaparan dan wabah penyakit, tetapi untuk menenangkan makhluk halus yang membuat kondisi kota Vesali tetap dan semakin tidak nyaman. Kedua, terlepas dari kekuatan Sang Buddha, saat Sang Buddha datang ke Vesali, yang pasti dikatakan bahwa hujan turun dan membawa semua debu atau kekotoran selama musim kering tersebut.
Nah, ini mengindikasikan bahwa kesembuhan masyarakat Vesali tidak hanya karena pembacaan Ratana Sutta atau pemercikan air, tapi ada faktor lain diantaranya yaitu hujan. Perlu dicatat bahwa dalam kisah Ratana Sutta tidak dikisahkan seberapa cepat masyarakat Vesali sembuh, tetapi jelas sembuh, tidak seperti dalam Sutra penyakit ”kanker” yang tidak jelas sembuh atau tidak. Selain itu dalam Sutra penyakit ”kanker” tidak ada indikasi faktor lain sebagai penyembuh penyakit tersebut, hanya mengucarkan mantra sebagai faktor utama. :)
Jadi saya pribadi tidak bisa menolak jika Ratana Sutta karena masih dapat dipahami secara logika. Kita juga bisa menggunakan logika tidak biasa terhadap Milinda Panha, jika kita mau berpikir sedikit dan sedikit teliti :)

Quote
Adanya mantra atau tidak, tak berhubungan dengan pembabaran Dharma Sang Bhagava selama 45 tahun. Mantrayana yang merupakan bagian Mahayana adalah sebuah metode, karena banyak orang yang dapat lebih mudah dibawa ke jalan Dharma dengan metode Mantra, ketimbang dengan semata-mata mendengungkan.. Pengertian Benar... Pengertian Benar. Kata Pengertian Benar (Samyakdrsthi) sebenarnya juga adalah mantra kok, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Buddhadharma Mahayana mengajarkan bahwa Sang Buddha memiliki 84.000 pintu Dharma.

? Sdr. Tan, tentu saja ada hubungannya dengan pembabaran Dharma Sang Bhagava selama 45 tahun, karena mantra tersebut diklaim sebagai yang diucapkan oleh Sang Buddha bukan oleh Sdr. Tan atau Mahayanis lainnya. Dan Pengertian Benar adalah Pengertian Benar, ia tidak memerlukan kata-kata menjelimet dengan demikian ia bisa dipahami secara mudah.

Kembali saya sampaikan sesuatu yang perlu anda jawab, jika arti mantra dan maknanya adalah seperti yang anda sampaikan, maka, mantra penyembuh ”kanker” dan mantra-mantra lain tidak perlu lagi diciptakan, cukup satu mantra selama 45 tahun tersebut. Bahkan mantra pun tidak perlu ada jika sudah ada Pengertian Benar bahwa jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibbana. Sang Buddha sudah menyatakan Pengertian Benar ini selama 45 tahun secara lugas, lalu untuk apa Ia justru menyembunyikan pemahaman ini dibalik kata-kata yang perlu pemahaman khusus (mantra)?

Jawaban anda dengan berlindung dibalik istilah 84.000 pintu Dharma adalah jawaban yang tidak relevant dan justru menimbulkan pertanyaan baru, yaitu dari mana anda bisa memastikan bahwa 84.000 itu diantaranya adalah pengucaran mantra? Anda pernah menghitungnya apa saja yang termasuk di dalam 84.000 itu? Jika pernah, coba Sdr. Tan sebutkan satu persatu, mungkin butuh waktu lama dan panjang tapi saya pasti dengan senang hati menunggu anda menyebutnya satu-persatu :) Jika belum pernah, bagaimana mana anda bisa yakin bahwa pengucaran mantra adalah salah satu di dalamnya?
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #109 on: 14 July 2007, 10:51:54 PM »
Tambahan lagi:

Kalau air di mangkuk Sang Buddha dapat membebaskan warga Vesali dari wabah penyakit dan kelaparan, mengapa air itu tidak dapat membebaskan Beliau sendiri dari penyakit?  =))

Ada yang dapat menjelaskannya? ;)


Metta,


Tan

Sudah saya sampaikan dan sudah saya coba logiskan di atas :)
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #110 on: 14 July 2007, 11:14:58 PM »

Sebenarnya yang menafsirkannya sebagai kanker bukan saya. Lagipula menurut hemat saya hendak ditafsirkan sebagai kanker sekalipun juga tidak terlalu masalah. Yang pasti dalam terjemahan, saya telah mencantumkan makna harafiahnya, yakni "penyakit berat." Selain itu, hendak ditafsirkan sebagai kanker tidak mengurangi esensi sutranya sendiri. Selain itu, zhibing dalam bahasa Mandarin Wenyan (Mandarin sastra kuno) mungkin pula mengacu pada salah satu penyakit tertentu. Saya sedang cari literaturnya. Kalau Anda dapat membantu mencari maknanya yang tepat saya sangat berterima kasih.

Saya tidak tahu siapa yang menafsirkannya, tapi yang pasti itu adalah hal yang gegabah. Dan ketika kita menyebarluaskan tafsiran gegabah tersebut tanpa menelaah terlebih dulu (asal percaya bahwa teks yang sudah ada adalah benar 100%), karena ketidakhatian kita, maka kita mengambil bagian dari kesalahan tersebut.
Dan jelas akan mempengaruhi esensi sutra. Dengan menambah kata kanker bahkan dalam judul sutra menandakan sutra tersebut khusus untuk penyakit kanker. Esensi sutra jika ditambah menjadi lebih spesifik sedangkan jika dihilangkan akan bersifat umum, dan ketika bersifat umum maka mantra ini tidaklah berguna jika ternyata ada mantra lain yang sudah terlebih dulu ada dan sifatnya juga umum. Kemudian muncul pertanyaan mengapa Sang Buddha menciptakan banyak mantra yang khasiatnya sama?
Selain itu kita tidak bisa berpikir dari sudut pandang kita yang mudah memahami sutra semata dengan mengatakan ”ah yang penting esensinya sama”, tapi juga berpikir dari sudut pandang mereka yang awam.
Mengenai kata zhingbing, sayangnya saya tidak mendalami bahasa mandarin dan terbatasnya narasumber, paling mentok saya hanya cari di internet. :)

TAN:

Berarti diskusi topik ini kita pending terlebih dahulu. Karena toh Anda juga tidak dapat memberikan makna yang tepat bagi kata zhibing. Jadi diskusi ini hanya akan berputar-putar saja. Orang yang menafsirkannya sebagai kanker, tentu juga punya pertimbangan2 tertentu yang kita tidak tahu. Sejauh ini Anda hanya bertanya saja dan tidak atau belum dapat memberikan jawaban definitif. Anda sendiri juga mengakui bahwa Anda tidak tahu arti kata zhibing, bukan? Bagi saja karena zhibing berarti "penyakit berat," maka orang yang menderita penyakit kanker juga dapat membaca sutra tersebut.

Lalu apa salahnya ada beberapa mantra yang khasiatnya sama. Mari kita lihat obat-obatan untuk pusing, ada Panadol, Refagan, Mixagrip, Oskadon, dll. Tidak harus hanya ada satu obat saja, bukan?

***

Quote
Konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur2 Hindu, seperti Upanisad. Saya sedang menerjemahkan Mundaka Upanisad, yang di dalamnya juga mengandung konsep dikotomi seperti itu. Memang bahwa istilahnya tidak harus "langit" dan "bumi," tetapi bisa juga Atman dan Brahman, dll.
Saya hanya hendak mengungkapkan bahwa konsep seperti itu tidak hanya monopoli bangsa Tionghua saja.

Sdr. Tan, saya tahu bahwa konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur-literatur Hindu, seperti Upanisad, tapi dalam sutra tidak ada indikasi kata yang diganti oleh kata ”yin” adalah bersifat dikotomi. Seperti yang saya sampaikan, kata sebelumnya adalah unsur panas dan angin, jika ada dikotomi maka panas seharusnya diganti dengan ”yang”.
Dan tetap sebuah pertanyaan, apakah umum bahwa dikotomi dengan istilah "langit" dan "bumi" yang identik dengan istilah ”yin dan yang” terdapat dalam sutra-sutra Buddhist?

TAN:

Ada. Dalam Bayangshenzhoujing (Taisho Tripitaka 2898). Saya ulangi lagi dalam sutra tertera kata yin, yang tidak saya terjemahkan, karena saya tidak tahu apa kata yin itu dalam bahasa aslinya. Saya kira ini sudah benar dalam kaidah penerjemahan, selama kita tidak tahu apa terjemahan yang tepat, boleh saja dibiarkan dalam bahasa aslinya. Mungkin saja bahasa aslinya berarti karena udara dingin juga masuk akal. Tetapi karena kita tidak tahu pasti, maka biar saja tetap dalam yin. Kecuali Anda dapat mencantumkan sumber Sansekertanya. Jadi saya kira diskusi ini hanya berputar2 tanpa arah dan tidak menghasilkan apa-apa. Kalau Anda hendak memperbaiki terjemahannya, cobalah memberikan sesuatu usulan yang konkrit dan definitif.

***

Quote
Sebenarnya kita juga tidak pernah dapat mengetahui secara pasti apakah yang dianggap "asli" oleh para ahli itu benar-benar "asli." Para ahli beranggapan bahwa yang asli sebenarnya hanya beberapa bagian dari Sutta Nipata. Memang benar menerima begitu saja juga bukan saddha yang benar, oleh karena itu, kita harus menggunakan kebijaksanaan dalam menentukan mana yang "asli" dan mana yang "palsu." Pandangan atau hasil penelitian para ahli tidak dapat dijadikan pula patokan untuk menentukan "asli" atau "palsu"nya suatu naskah keagamaan, meskipun suatu naskah secara lahiriah "palsu," tetapi dapat juga secara spiritual adalah "asli."

Jadi, Sdr. Tan, anda sependapat jika dikatakan kita juga tidak bisa menepis bahwa dalam dunia spiritual memungkinkan apa yang "palsu" tetap ”palsu”, dan apa yang ”asli” tetap ”asli”?

TAN:

Ya mungkin saja. Kenapa tidak?

***

Quote
Sebenarnya tidak keluar topik. Ini adalah satu kesatuan. Banyak orang yang mendiskreditkan bahwa naskah Mahayana banyak mengandung tahayul, padahal yang mereka kenal adalah praktik luar Mahayana. Di sini saya mencoba membuktikan bahwa dalam kanon Pali pun juga terkandung tahayul yang sama. Kanon Pali juga terdapat hal-hal yang tak masuk akal. Jika seseorang menolak naskah Mahayana dengan alasan di dalamnya banyak terkandung tahayul, maka naskah Pali juga harus ditolak pula, atau dengan kata lain menolak Buddhisme secara keseluruhan!
Oleh karena itu, saya hanya hendak menyampaikan bahwa kita hendaknya tidak menafsirkan sesuatu secara harafiah. Saya tidak sependapat bahwa melihat makna esoteris adalah upaya melogiskan sesuatu hingga sesuai dengan tingkat pemikirannya. Justru makna esoteris itu adalah makna supra-rasional, yang mengatasi logika. Tentu saja secara logis, sampai saat ini saya masih tidak dapat menerima konsep bahwa gerhana matahari disebabkan oleh Rahu, rusa yang dapat berbicara, ataupun air paritta dari mangkuk Sang Buddha yang bila dipercikkan dapat menghilangkan wabah. Itu bagi logika saya, sama saja denga dongeng. Tetapi saya tidak hanya semata melihat makna harafiah (yang tersuratnya) saja.

Well, jika anda katakan tidak keluar topik, mari kita lanjutkan.
Ketika anda mengungkapkan mengenai adanya makna dalam suatu mantra dengan menganggapnya adalah juga Dharma, anda sudah melogiskan mantra tersebut dalam pemikiran anda sendiri. Ketika anda berbicara mengenai mantra prajnaparamita dengan mengatakan : ”Kalau diartikan secara harafiah tanpa tahu makna mantranya, maka orang mengira itu adalah mantra ajaib yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Tetapi tidak demikian halnya. Jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibanna”, tanpa sadar anda sedang melogiskan sesuatu, sehingga akhirnya disesuaikan maknanya dengan pemahaman yang akhirnya bisa anda atau orang lain pahami.
Anda bisa menggunakan istilah apapun, apakah esoteris ataupun supra-rasional ataupun wisdom, tetapi pada dasarnya semua kembali kepada logika (jalan pikiran) dalam pikiran kita, karena semua termasuk yang anda katakan esoteris ataupun supra-rasional memerlukan suatu pemahaman untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain, dan pemahaman itu memerlukan proses dan disesuaikan dengan kondisi pikiran kita.
Begitu juga dengan cerita Jataka ataupun kisah deva surya. Ketika kita memahaminya dengan logika standar (logika yang hanya membandingkan dengan apa yang ada sekarang), maka kita akan mentok sampai situ, tetapi ketika kita berpikir dengan logika yang tidak biasa dan berusaha melogiskannya maka kita bisa mengatakan bahwa kisah tersebut hanyalah perumpamaan.

TAN:

Masalahnya terjadi standar ganda di sini. Saat membicarakan mengenai naskah Mahayana Anda memaksakan penafsiran yang harafiah. Tetapi saat membicarakan mengenai naskah Theravada, maka dengan enteng Anda mengatakan bahwa itu adalah perumpamaan. Tentu kita tidak boleh demikian. Kalau kita bicara secara harafiah, maka tidak boleh dianggap sebagai perumpamaan saja.
Usaha pelogisan yang Anda ungkapkan di atas memang benar. Tetapi tidak boleh berat sebelah atau berstandar ganda. Jika Anda tidak menyetujui pelogisan mantra, maka naskah-naskah Pali juga tidak boleh "dilogiskan" agar dapat dipahami oleh orang lain atau diri Anda.

Kalau kita sudah menerapkan standar ganda, maka akhirnya adalah ego yang bermain. Saya kira apa yang Anda pelogisan sebenarnya tidak masalah, yang pasti kita hendaknya tidak menerapkan standar ganda.


Tidakkah demikian?

***



Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #111 on: 14 July 2007, 11:47:26 PM »

Pertanyaan Anda akan saya balik pula dengan pertanyaan:

Dalam sumber Pali saya pernah membaca: di kota Vesali pernah ada wabah penyakit dan kelaparan. Lalu sang Buddha memercikkan air paritta yang ada di mangkuknya, sehingga akhirnya wabah penyakit dan kelaparan itu sirna. Mengapa pada saat itu, Sang Buddha tidak memaparkan saja bahwa lahir, sakit, dan mati adalah wajar? Lagipula mana masuk akal dengan memercikkan air wabah penyakit dan kelaparan dapat sirna. Sepengetahuan saya kalau ada wabah penyakit ya harus dipanggilkan tim medis dan bukannya ciprat2 air paritta. Bisa-bisa dokter tidak laku nanti  Lalu kalau kelaparan ya harus didatangkan bahan makanan, masa dengan diperciki air paritta bisa kenyang? Kalau begitu nanti kalau saya lapar, saya bacakan saja paritta pada air dan diminum. Pasti nanti jadi kenyang. Apakah begitu?  Jadi jelas sekali Anda tidak dapat menafsirkannya secara harafiah.

Kalau Anda menafsirkannya secara harafiah, maka agar fair Anda juga harus menolak kanon Pali atau Buddhisme secara keseluruhan, karena dalam kanon Pali juga terdapat kisah-kisah tidak masuk akal, yang terkadang bertentangan dengan ajaran Buddha sendiri. Milindapanha adalah bukti adanya kontradiksi dalam kanon Pali, yang "dicoba" untuk diselaraskan, walaupun (maaf) saya lihat bahwa penjelasannya dipaksakan. Saya baca Milindapanha terkadang sampai mengernyitkan dahi atau terkadang tersenyum sendiri. Karena penjelasannya terkadang ada yang sangat-sangat dipaksakan.


:D Baik, saya akan mencoba melogiskannya untuk anda, Sdr. Tan.
Pertama, suatu fenomena tidaklah berdiri sendiri. Apa yang terjadi di kota Vesali tidak hanya sekedar wabah penyakit dan kelaparan, tetapi juga ada gangguan makhluk halus. Jika kita membaca Ratana Sutta maka kita menemukan kalimat : ”Makhluk apapun juga yang berkumpul di sini, baik dari dunia maupun ruang angkasa....” dan ”....Duhai para makhluk, perhatikanlah.” Ini mengindikasikan bahwa Ratana Sutta bukan untuk menghilangkan kelaparan dan wabah penyakit, tetapi untuk menenangkan makhluk halus yang membuat kondisi kota Vesali tetap dan semakin tidak nyaman. Kedua, terlepas dari kekuatan Sang Buddha, saat Sang Buddha datang ke Vesali, yang pasti dikatakan bahwa hujan turun dan membawa semua debu atau kekotoran selama musim kering tersebut.
Nah, ini mengindikasikan bahwa kesembuhan masyarakat Vesali tidak hanya karena pembacaan Ratana Sutta atau pemercikan air, tapi ada faktor lain diantaranya yaitu hujan. Perlu dicatat bahwa dalam kisah Ratana Sutta tidak dikisahkan seberapa cepat masyarakat Vesali sembuh, tetapi jelas sembuh, tidak seperti dalam Sutra penyakit ”kanker” yang tidak jelas sembuh atau tidak. Selain itu dalam Sutra penyakit ”kanker” tidak ada indikasi faktor lain sebagai penyembuh penyakit tersebut, hanya mengucarkan mantra sebagai faktor utama. :)
Jadi saya pribadi tidak bisa menolak jika Ratana Sutta karena masih dapat dipahami secara logika. Kita juga bisa menggunakan logika tidak biasa terhadap Milinda Panha, jika kita mau berpikir sedikit dan sedikit teliti :)

TAN:

Ya itu khan penafsiran Anda. Wabah penyakit dan kelaparan dengan makhluk2 halus adalah sesuatu yang berbeda dan tidak ada hubungannya. Pandangan bahwa wabah penyakit disebabkan oleh makhluk2 halus jelas sudah ketinggalan zaman  =)).
Dalam Sutta dijelaskan bahwa saat itu Vesali terjadi wabah penyakit dan kelaparan:

"The city of Vesali was afflicted by a famine, causing death, especially to the poor folk. Due to the presence of decaying corpses the evil spirits began to haunt the city; this was followed by a pestilence. Plagued by these three fears of famine, non-human beings and pestilence, the citizens sought the help of the Buddha who was then living at Rajagaha."

Pertanyaan saya: Di Sutta disebutkan adanya makhluk2 halus (hantu) yang menghantui kota. Ini jelas tidak masuk akal dan mencerminkan pandangan ketinggalan zaman. Sangat primitif!!!  :P
Coba kita lihat dengan jelas bahwa pertama kali terjadi bencana kelaparan (famine) - banyak mati timbul - timbul hantu (kayak cerita film horor saja  :)) ) - lalu timbul wabah penyakit.


Kutipan berikutnya:

Followed by a large number of monks including the Venerable Ananda, his attendant disciple, the Buddha came to the city of Vesali. With the arrival of the Master, there were torrential rains which swept away the putrefying corpses. The atmosphere became purified, the city was clean.

Pertanyaan saya: hujan tidak membersihkan kuman2 penyakit yang ditimbulkan oleh mayat, karena hujan tidaklah bersifat sebagai desifektan. Hujan justru dapat menambah tersebarnya benih-benih penyakit yang berasal dari mayat, seperti kolera dan disentri. Jadi secara logika, kutipan Ratana Sutta di atas bertentangan dengan ilmu higiene modern.

Kutipan berikutnya:

"The Venerable Ananda followed the instructions, and sprinkled the sanctified water from the Buddha's own alms bowl. As a consequence the evil spirits were exorcised, the pestilence subsided."

Pertanyaan saya: Jelas pada kalimat di atas mengindikasikan pandangan bahwa wabah penyakit disebabkan oleh roh jahat (evil spirit). -- jelas sekali terjemahan bahasa Indonesianya: Sebagai akibatnya makhluk halus jahat berhasil diusir, dan wabah penyakit hilang. Ada hubungan sebab akibat di sini. Pandangan di atas jelas sekali SANGAT TIDAK SAINTIFIK,  =)) itu pandangan primitif orang di abad pertengahan. Apapun usaha Anda untuk melogiskan jelas sekali kalimatnya demikian, dan saya menganggapnya sangat tidak masuk akal.

Sebenarnya dalam Arsaprasamanasutra juga ada indikasi bahwa para bhikshunya sembuh: "Tidak berbeda dengan bunga tersebut yang mengering dan layu, demikian pulalah penyakit berat yang dialami oleh para bhikshu [yang kukasihi tersebut]. Mereka tidak akan mengalirkan darah dan nanah lagi. Penderitaan mereka akan dicabut hingga ke akar-arkanya dan penyakit beratnya akan sirna..."

Jelas itu indikasi bahwa para bhikshunya disembuhkan. Kami umat Mahayana meyakini keagungan sabda Buddha, jadi tidak perlu ada "cerita" lagi bahwa bhikshunya benar-benar sembuh. Untuk apa lagi diceritakan seperti itu? Sabda Buddha adalah benar adanya.

Meskipun dikatakan dalam Ratana Sutta bahwa penduduk Vesali sembuh, tetapi itu khan kata Sutta. Apakah benar sembuh atau tidak, saya tidak tahu. Lha wong belum ada cam corder kok hehehehehe :)). Lagipula banyak hal yang tidak saintifik. Mana bisa dipercaya????  :P

***

Quote
Adanya mantra atau tidak, tak berhubungan dengan pembabaran Dharma Sang Bhagava selama 45 tahun. Mantrayana yang merupakan bagian Mahayana adalah sebuah metode, karena banyak orang yang dapat lebih mudah dibawa ke jalan Dharma dengan metode Mantra, ketimbang dengan semata-mata mendengungkan.. Pengertian Benar... Pengertian Benar. Kata Pengertian Benar (Samyakdrsthi) sebenarnya juga adalah mantra kok, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Buddhadharma Mahayana mengajarkan bahwa Sang Buddha memiliki 84.000 pintu Dharma.

? Sdr. Tan, tentu saja ada hubungannya dengan pembabaran Dharma Sang Bhagava selama 45 tahun, karena mantra tersebut diklaim sebagai yang diucapkan oleh Sang Buddha bukan oleh Sdr. Tan atau Mahayanis lainnya. Dan Pengertian Benar adalah Pengertian Benar, ia tidak memerlukan kata-kata menjelimet dengan demikian ia bisa dipahami secara mudah.

Kembali saya sampaikan sesuatu yang perlu anda jawab, jika arti mantra dan maknanya adalah seperti yang anda sampaikan, maka, mantra penyembuh ”kanker” dan mantra-mantra lain tidak perlu lagi diciptakan, cukup satu mantra selama 45 tahun tersebut. Bahkan mantra pun tidak perlu ada jika sudah ada Pengertian Benar bahwa jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibbana. Sang Buddha sudah menyatakan Pengertian Benar ini selama 45 tahun secara lugas, lalu untuk apa Ia justru menyembunyikan pemahaman ini dibalik kata-kata yang perlu pemahaman khusus (mantra)?

TAN:

Sudah saya jelaskan, bahwa tidak setiap orang dapat memahami apa yang disebut "pemahaman benar" itu. Terkadang perlu metode-metode khusus. Oke kalau Anda ngotot mengatakan seperti di bawah ini: "maka, mantra penyembuh ”kanker” dan mantra-mantra lain tidak perlu lagi diciptakan, cukup satu mantra selama 45 tahun tersebut. Bahkan mantra pun tidak perlu ada jika sudah ada Pengertian Benar bahwa jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibbana." Cobalah pikir masalah Atanatiya Sutta itu. Katanya perlindungan yang tertinggi adalah Tiratana, maka mengapa Buddha masih mengajarkan perlindungan lain yang bahkan berasal dari para yakkha? Bila Tiratana adalah perlindungan tertinggi sebagaimana yang diyakini oleh umat Buddha, tentunya tidak perlu perlindungan lagi dari "yang kurang tinggi bukan"? Jadi saya pikir pertanyaan Anda itu sudah dijawab oleh Atanatiya Sutta.

Mantra juga sebenarnya tidak njelimet kok, asal Anda bersedia membuka wawasan dan memahami filosofinya.


Jawaban anda dengan berlindung dibalik istilah 84.000 pintu Dharma adalah jawaban yang tidak relevant dan justru menimbulkan pertanyaan baru, yaitu dari mana anda bisa memastikan bahwa 84.000 itu diantaranya adalah pengucaran mantra? Anda pernah menghitungnya apa saja yang termasuk di dalam 84.000 itu? Jika pernah, coba Sdr. Tan sebutkan satu persatu, mungkin butuh waktu lama dan panjang tapi saya pasti dengan senang hati menunggu anda menyebutnya satu-persatu :) Jika belum pernah, bagaimana mana anda bisa yakin bahwa pengucaran mantra adalah salah satu di dalamnya?


TAN:

Oke pertanyaan Anda saya jawab dengan pertanyaan pula. Bagaimana Anda yakin bahwa meditasi Vipassana dan Anapanasatti merupakan salah satu metode yang diajarkan oleh Buddha? Dari manfaatnya? Ternyata banyak orang yang mempelajarinya malah makin tinggi emosinya. Apakah itu pasti ajaran Buddha?

Metta,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #112 on: 14 July 2007, 11:49:51 PM »
Tambahan lagi:

Kalau air di mangkuk Sang Buddha dapat membebaskan warga Vesali dari wabah penyakit dan kelaparan, mengapa air itu tidak dapat membebaskan Beliau sendiri dari penyakit?  =))



Ada yang dapat menjelaskannya? ;)


Metta,


Tan

Sudah saya sampaikan dan sudah saya coba logiskan di atas :)

TAN:

Sama sekali belum menjawab pertanyaan saya. Ingat pertanyaan saya adalah: "Kalau air di mangkuk Sang Buddha dapat membebaskan warga Vesali dari wabah penyakit dan kelaparan, mengapa air itu tidak dapat membebaskan Beliau sendiri dari penyakit?  =))"

Lagipula penjelasan Anda di atas sama sekali tidak memuaskan saya. Malah saya berhasil menunjukkan banyak hal yang tidak saintifik.

Metta,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #113 on: 15 July 2007, 12:28:17 AM »
Namo Buddhaya,

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, saya perlu mengungkapkan bahwa apa yang telah saya sampaikan pada posting2 sebelumnya bukan berarati bahwa saya anti terhadap kanon Pali. Justru saya sangat menghormati kanon Pali. Saya hanya bermaksud membuka wawasan saja, bahwa tidak bijaksana bila kita menjustifikasi kitab suci sekte lain berdasarkan sudut pandang kita sendiri. Selain itu, saya hendak memperlihatkan, bahwa kami umat Mahayana, bukanlah orang-orang bodoh. Saya sangat paham betul  kanon Pali, sehingga dapat menyampaikan seperti di atas.

Saya kira diskusi seperti ini melenceng dari tujuan studi Sutta/Sutra secara obyektif seperti yang telah digariskan oleh moderator forum ini. Menjustifikasi sutra Mahayana dengan sudut pandang Theravada saya kira tidaklah tepat. Mahayana hendaknya dipahami secara Mahayana dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar pihak moderator bersedia untuk menutup diskusi, yang menurut saya kurang sehat ini. Selama masih ada kesalah-pahaman atau tudingan miring terhadap Mahayana, maka saya merasa bahwa sudah menjadi tugas saya untuk meluruskannya. Kami sebagai umat Mahayana tidak pernah diajarkan untuk mendiskreditkan sekte lain, tetapi kami wajib meluruskan pandangan yang tidak benar terhadap sekte kami.

Namun ini semua, saya kira kurang kondusif terhadap sikap saling menghargai antar sekte dalam Buddhadharma.

Kalau kita hendak studi Sutra/ Sutta yang bermanfaat, maka hendaknya sutra Mahayana dipahami secara Mahayana dan sutta Pali dipahami secara Theravada.

Demikian saran saya. Semoga bermanfaat adanya. Mohon maaf kalau ada kata yang salah.

Metta,

Tan

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #114 on: 15 July 2007, 12:49:06 AM »
Namun ini semua, saya kira kurang kondusif terhadap sikap saling menghargai antar sekte dalam Buddhadharma.

Kalau kita hendak studi Sutra/ Sutta yang bermanfaat, maka hendaknya sutra Mahayana dipahami secara Mahayana dan sutta Pali dipahami secara Theravada.
Theravada -- Akar
Mahayana -- Tiang
Vajrayana/Tantrayana -- Atap
--------------
Demikianlah perumpamaan yg telah kudengar di Ceramah Dhamma kemaren... :-[

Theravada mengulas Alam Manusia,
Mahayana mengulas Alam dewa-dewi en bodhisatva...
Vajrayana mengulas lebih dalam lage tentang bodhisatva dan koneksi ke guru...

so...?
Logis...? atao ngga... ?

Yah... rada susah tuk jelasin pake akal...
Udah ada yg pernah maen-maen ke alam dewa-dewi ?
« Last Edit: 15 July 2007, 12:50:46 AM by Kemenyan »

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #115 on: 15 July 2007, 12:58:54 AM »
Namun ini semua, saya kira kurang kondusif terhadap sikap saling menghargai antar sekte dalam Buddhadharma.

Kalau kita hendak studi Sutra/ Sutta yang bermanfaat, maka hendaknya sutra Mahayana dipahami secara Mahayana dan sutta Pali dipahami secara Theravada.
Theravada -- Akar
Mahayana -- Tiang
Vajrayana/Tantrayana -- Atap
--------------
Demikianlah perumpamaan yg telah kudengar di Ceramah Dhamma kemaren... :-[

Theravada mengulas Alam Manusia,
Mahayana mengulas Alam dewa-dewi en bodhisatva...
Vajrayana mengulas lebih dalam lage tentang bodhisatva dan koneksi ke guru...

so...?
Logis...? atao ngga... ?

Yah... rada susah tuk jelasin pake akal...
Udah ada yg pernah maen-maen ke alam dewa-dewi ?


Saya ga setuju. Kalau kita bilang Theravada sebagai akar, Mahayana sebagai tiang, dan Vajrayana sebagai atap. Maka itu artinya bahwa Vajrayana lebih unggul dibanding dua yang lainnya. Ini berarti perendahan terhadap Theravada dan Mahayana. Bagi saya semua sekte itu adalah sama, tergantung bagi kita cocoknya yang mana. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Tidak ada akar, tiang, atau atap.

Tidak benar pula kalau Theravada hanya mengulas mengenai alam manusia; karena dalam Theravada juga dikenal alam dewa dan juga ajaran bodhisatta. Mahayana juga mengulas alam manusia dalam wujud enam paramita serta sila2 yang hendaknya kita jalankan sebagai umat awam. Vajrayana juga demikian halnya.  Jadi pembagian seperti itu tidak benar.

Saya pernah debat pula dengan orang Vajrayana fanatik, yang mengatakan bahwa ajarannya lebih tinggi dari Mahayana. Saya bilang bahwa ini orang Vajrayana yang "durhaka," karena dia ga sadar bahwa Vajrayana itu filsafatnya Mahayana. Ibaratnya kacang yang lupa akan kulitnya. Sutra2 yang dipakai dalam Vajrayana adalah sutra2 Mahayana! Kalau memang Vajrayana lebih tinggi, tidak perlu pakai sutra-sutra Mahayana. Meskipun saya juga praktik Vajrayana, tetapi tidak sedikitpun saya merasa bahwa Vajrayana lebih unggul dibandingkan sekte2 lainnya.

Jadi saya kira pandangan yang meninggikan sekte sendiri, sudah saatnya ditinggalkan. Mari kita berpraktik Dharma sesuai dengan metoda yang kita anggap terbaik tanpa perlu mendiskreditkan metoda lainnya.

Metta,

Tan

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #116 on: 15 July 2007, 01:45:53 AM »
 [at] Tan
tentang yg Meditasi...pernah denger tentang tahap meditasi tiap orang itu beda? kalo loe pernah liat seorang arhat yg bisa marah..baru tuh loe bolank kalo meditasi nafas dan vipassana itu salah! lah...mikirne ampe mana seh neh orang...

pokokne kalo skarang gk ada Theravada..maka gk ada Mahayana dan Tantrayana...jade selama loe bilank kalo Theravada itu incomplete secara tidak langsung loe bilank kalo Mahayana ancur..mwahahaha :))

anyway, sorry gw gk bisa jawab semuane..karena kekurangan waktu untuk mengetik(gk ada internet tetap seh)

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #117 on: 15 July 2007, 02:40:06 AM »
[at] Tan
tentang yg Meditasi...pernah denger tentang tahap meditasi tiap orang itu beda? kalo loe pernah liat seorang arhat yg bisa marah..baru tuh loe bolank kalo meditasi nafas dan vipassana itu salah! lah...mikirne ampe mana seh neh orang...

pokokne kalo skarang gk ada Theravada..maka gk ada Mahayana dan Tantrayana...jade selama loe bilank kalo Theravada itu incomplete secara tidak langsung loe bilank kalo Mahayana ancur..mwahahaha :))

anyway, sorry gw gk bisa jawab semuane..karena kekurangan waktu untuk mengetik(gk ada internet tetap seh)

Tan:

Baik, kalau begitu Anda harus mengakui bahwa sama hancurnya khan? Theravada juga hancur, Mahayana juga hancur. Sekarang pertanyaan saya pada Anda, apakah Anda sekarang setuju kalau kanon Pali itu tidak sempurna, dalam artian bahwa di dalamnya terkandung cacat seperti yang sudah saya ungkapkan di atas? Mau banyak atau sedikit cacatnya tidak masalah, sama-sama ga sempurna. Seperti analogi kotoran tikus dalam makanan yang saya ungkapkan di atas. By theway saya tidak setuju Anda menggunakan istilah incomplete. Lebih baik gunakan istilah imperfect, kalau mau gunakan bahasa Inggris. Tetapi daripada rancu sebaiknya tidak usah pakai bahasa Inggris saja.

Lagipula sejarah membuktikan bahwa Mahayana tidak berasal dari Theravada kok. Kalau tidak percaya silakan baca buku Tree of Enlightenment karya Peter Dela Santina. Theravada itu mengacu pada aliran Buddhis yang berkembang di Srilanka. Keduanya berkembang sendiri-sendiri.

Mengenai meditasi, silakan lihat kembali konteksnya. Karena Sdr. Kelana meragukan mantra adalah salah satu di antara metode2 Dharma. Boleh donk saya juga meragukan meditasi vipassana? Fair khan? Anda jangan ngomong masalah arahat deh. Arahat itu khan sudah "jadi." Padahal meditasi Vipassana itu untuk "menjadikan" seseorang arahat bukan? Lha kalau sampai di tengah jalan saja sudah kayak gitu, bagaimana mungkin saya bisa percaya kalau metoda itu benar. Analoginya gini dah. Ada sekolah yang mengklaim: "Sekolah untuk menjadikan anak Anda jadi anak terpintar sejagad." Tapi di tengah-tengah jalan lha kok muridnya malah banyak yang berhitung satu sampai sepuluh jadi ga bisa. Ragu ga tuh sama mutu itu sekolah? Jadi jangan pakai istilah tingkatan-tingkatan meditasi orang beda donk. Sama sekali tidak menyentuh esensi pertanyaan saya.

NB: Bagaimana nih PR2nya sudah selesai belum? Sudah siap menerima kenyataan belum? Atau masih percaya bahwa kepret-kepret air paritta bablas penyakite heheheheheeh =))

Metta,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #118 on: 15 July 2007, 02:49:01 AM »
Hai Bro El Sol!

Makanya saya bilang apa? Diskusi yang kayak gini ga ada gunanya. Anda tidak akan bisa merubah saya menjadi orang Theravada. Saya juga tidak ada niat merubah Anda jadi orang Mahayana. Anda memaparkan 1000 kelemahan konsep Mahayana saya juga bisa memaparkan 1000 kelemahan konsep Theravada. Saya tahu betul isi kanon Pali. Anda mengobok-obok sekte orang lain, saya juga punya hak mengobok-obok sekte Anda. Buat saya sih gampang. Kanon Pali saya punya komplet. Tinggal keluarin aja satu persatu jurusnya :))

Nah... gimana sekarang masih pengen diterusin ga? Udah deh percuma. Mendingan Anda jadi orang Theravada yang baik dan saya jadi orang Mahayana yang baik. Beres khan? Gitu aja kok repot. Kok seneng banget sih jelek2in sekte orang lain?

Monggo kerso!

Metta,

Tan

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Re: Buku "mantra penyembuh kanker" oleh Master Lu
« Reply #119 on: 15 July 2007, 09:40:10 AM »
Saya ga setuju.
Kalau kita bilang Theravada sebagai akar, Mahayana sebagai tiang, dan Vajrayana sebagai atap.

Maka itu artinya bahwa Vajrayana lebih unggul dibanding dua yang lainnya.
Ini berarti perendahan terhadap Theravada dan Mahayana.

Bagi saya semua sekte itu adalah sama, tergantung bagi kita cocoknya yang mana.
Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Tidak ada akar, tiang, atau atap.
Anda hanya terlalu emosi...
Ketika membaca perumpamaan itu...

Kalau Semua Sekte sama,
Maka anda tidak perlu untuk "Tidak Setuju" dengan menekankan "perendahan"

Sebab Musababnya ?
Mari kita kulik bersama...
Tanpa ada Akar (landasan), bisakah Tiang Berdiri Tegak... ?
Tanpa ada Tiang, bisakah Atap ada pegangan ?
Tanpa ada Atap, bisakah itu disebut Rumah ?
« Last Edit: 15 July 2007, 09:42:31 AM by Kemenyan »