//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Politik Pemerintah Indonesia dan Etnik Tionghoa  (Read 4125 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Politik Pemerintah Indonesia dan Etnik Tionghoa
« on: 20 January 2009, 03:01:25 PM »
Dituliskan kembali oleh Chan CT

Politik Pemerintah Indonesia dan Etnik Tionghoa

Beberapa Perkembangan Terkini

 

(Eddie Lembong)

 

 

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas politik pemerintah Indonesia terhadap etnik Tionghoa terutama dalam hubungannya dengan keadaan dan perkembangan mutakhir. Tetapi sebagaimana ditunjuk oleh Wang Gungwu dalam salah satu bukunya, “Tidaklah mungkin memahami apa yang dipandang baru tanpa merujuk pada masa lalu.”[1] Karena itu sebelum membicarakan berbagai politik pemerintah, lebih dulu akan saya paparkan latar belakang sejarahnya.

 

 

Asal Mula Ketegangan Etnik
Sebelum dan Masa Penjajahan
 

Orang-orang Tionghoa datang ke berbagai tempat di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, jauh sebelum kehadiran kekuatan Barat. Sebagian di antara mereka terdiri dari pemeluk agama Islam. Jumlah mereka meningkat selama abad ke-15, secara kebetulan bersamaan dengan tujuh kali pelayaran muhibah (1405-1432) Laksamana Cheng Ho. Kelompok orang Tionghoa yang bergama Islam tersebut dengan mudah berasimilasi dengan penduduk Indonesia setempat tanpa timbul persoalan berarti.[2]

Sekalipun demikian posisi orang-orang Tionghoa mulai berubah setelah datangnya orang-orang Barat, terutama setelah orang Belanda membangun kekuasaan kolonial mereka. Pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Hindia Belanda (nama Indonesia di masa penjajahan Belanda) setidaknya ke dalam tiga kelompok rasial: Eropa (terutama Belanda), Timur asing (terutama Tionghoa) dan penduduk pribumi. Ketiga kelompok ini memainkan peran ekonomi yang berbeda-beda. Orang Belanda bergerak dalam bisnis perdagangan besar, orang-orang Tionghoa dalam perdagangan perantara antara penghasil dan pembeli, sedang kaum pribumi sebagai petani dan pedagang kecil asongan.[3]

Dari kenyataan tersebut maka Belanda telah menerapkan politik Divide et Impera alias politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung kekuasaan penjajahan. Mereka takut jika terdapat persatuan antar-ras yang berbeda itu yakni antara kelompok Tionghoa dengan kaum pribumi, hal itu dapat mengancam bahkan dapat mengakhiri kekuasaan kolonial.

Terpisahnya golongan ras yakni kelompok etnik Tionghoa di negara jajahan Indonesia merupakan suatu kenyataaan kehidupan.[4] Sementara itu kelompok Tionghoa sendiri setidaknya terbagi dalam golongan singkek atau totok dan peranakan (lahir di Indonesia dengan darah campuran). Kebangkitan nasionalisme Tiongkok pada permulaan abad ke-20 memberikan dampaknya terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia dengan orientasi baru dalam memandang Tiongkok. Sekolah-sekolah modern Tionghoa mulai didirikan, banyak anak-anak Tionghoa mulai mempelajari bahasa dan budaya Tionghoa. Gerakan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sering dikenal sebagai gerakan Pan-Tionghoa, cepat berkembang.[5] Penguasa Belanda berusaha menekan “nasionalisme Tionghoa perantauan” ini dengan mengeluarkan peraturan kewarganegaraan Belanda serta mendirikan sekolah-sekolah Belanda dan pribumi bagi anak-anak Tionghoa.[6] Secara politik dan budaya kaum etnik Tionghoa terbelah.

Selama pendudukan tentara Jepang di Indonesia (1942-1945), penguasa Jepang menerapkan politik baru yang memperlakukan seluruh penduduk tanpa dibagi-bagi, hal ini berpengaruh juga terhadap kelompok etnik Tionghoa. Sekolah-sekolah Belanda tidak diizinkan lagi, semua anak Tionghoa dipaksa mempelajari bahasa Jepang dan Tionghoa.[7] Dengan demikian anak-anak kaum peranakan Tionghoa berada dalam proses “menjadi Tionghoa kembali” (resinicization).

Dalam bulan Agustus 1945 Jepang menyerah. Belanda datang dengan tujuan memulihkan kembali kekuasaan mereka di seluruh bekas Hindia Belanda. Kaum nasionalis menolak menerima mereka. Ketika terjadi bentrokan antara pribumi Indonesia dengan Belanda, golongan etnik Tionghoa terjepit di tengah. Di masa penjajahan, etnik Tionghoa berangsur-angsur berkembang menjadi minoritas pedagang yang bertempat di antara Belanda dan penduduk pribumi. Mereka sering dianggap oleh penduduk pribumi sebagai “binatang ekonomi” dan secara politik dianggap lebih dekat pada Belanda daripada kaum pribumi.

Selama revolusi bersenjata (1945-1950), pihak penguasa Belanda dengan sengaja menciptakan kesan bahwa orang Tionghoa berada di pihak mereka serta menentang kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian hal itu menimbulkan kebencian di antara kaum pribumi terhadap etnik Tionghoa. Serangkaian insiden anti-Cina meletus. Dalam kenyataannya situasi jauh lebih rumit, etnik Tionghoa bukanlah komunitas yang homogin, demikian halnya dengan masyarakat pribumi yang multi aspek.

 

 

Indonesia Merdeka
Politik Pemerintah dan Kekerasan Anti-Tionghoa
 

Masa Presiden Sukarno (1950-1965), Politik Diskriminasi Awal
Kalaulah etnik Tionghoa itu sebelum masa kemerdekaan bersifat heterogin, sesudah kemerdekaan mereka terbagi sama secara kultural dan ekonomi. Sekalipun demikian dalam ekonomi secara umum minoritas Tionghoa nampak tetap kuat, kalau tidak malah lebih kuat. Karena Republik muda itu dengan perlahan memusatkan diri pada pembangunan bangsa, tidak ada kejelasan tentang politik terhadap golongan Tionghoa. Di satu pihak pemerintah baru berkehendak memasukkan etnik Tionghoa juga ke dalam proses pembangunan bangsa. Akan tetapi di pihak lain, pemerintah menerapkan perlakukan diskriminatif, terutama di bidang ekonomi menghadapi minoritas etnik Tionghoa.

Terdapat dua peraturan pemerintah yang sangat jelas memberikan dampak pada politik ekonomi Indonesia. Salah satunya apa yang disebut sebagai Sistim Benteng yang diperkenalkan pada permulaan 1950-an yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan bisnis impor dan ekspor. Hal ini menyebabkan apa yang disebut dengan sistim Ali Baba, yakni orang-orang Tionghoa yang dilarang tersebut menggunakan orang pribumi untuk dipasang namanya di depan alias “kompanyon tidur’ yang tidak kerja apa-apa. Yang kedua berbentuk PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan. Peraturan ini telah menyebabkan eksodusnya orang-orang Tionghoa dari pedalaman negeri ini, membuat ekonomi Indonesia kacau. Dua macam tindakan tersebut tidak membuat kekuatan ekonomi etnik Tionghoa menjadi lemah.[8]

Banyak pemimpin pribumi yang cemburu terhadap status ekonomi etnik Tionghoa juga melakukan kampanye perlawanan. Gerakan penentangan yang paling menonjol dipimpin oleh Assaat, salah seorang pemimpin Republik yang kemudian meloncat ke dalam bisnis.[9] Persoalan menjadi lebih rumit karena bergolaknya Perang Dingin antara kubu Barat berhadapan dengan kubu Komunis yang saling menjatuhkan. Golongan etnik Tionghoa sering digambarkan dengan tuduhan sebagai “kaki tangan” Tiongkok Komunis. Sesungguhnyalah banyak kekerasan anti-Cina termasuk sejumlah kerusuhan dalam periode ini dipicu oleh politik, hal itu merupakan juga manifestasi dari rasa tidak puas terhadap kelompok minoritas tersebut.

 

Masa Suharto (1966-1998)

Pada 1966 Jenderal Suharto menjadi penguasa baru Indonesia yang memerintah negeri ini selama 32 tahun. Sukarno yang anti-kolonialis itu kemudian dijatuhkan oleh kaum militer Indonesia yang pro-Barat. PKI juga disapu bersih dari percaturan kekuasaan politik Indonesia.

Politik Suharto terhadap etnik Tionghoa mengandung dua dimensi: budaya dan ekonomi. Dalam bidang budaya ia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi dan media Tionghoa. Dalam bidang ekonomi penguasa baru ini memberikan kesempatan kepada etnik Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa jelas sangat bermanfaat dalam bidang ekonomi, maka ia menggiringnya ke arah itu, sedang secara politik mereka dicurigai. Sementara di bidang ekonomi etnik Tionghoa dapat menikmati kebebasan, tetapi di bidang politik mereka didiskriminasikan. Akibat yang tidak direncanakan dari politik ini ialah meningkatnya kekuatan ekonomi etnik Tionghoa. Pada saat yang sama secara politik mereka menjadi sangat rentan terhadap serangan, keamanan mereka berada di tangan penguasa pribumi. Sejumlah peristiwa anti-Cina setiap kali terjadi, umumnya dalam skala kecil.

Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan timbulnya kerusuhan tahun berikutnya. Kerusuhan dalam skala besar – beberapa di antaranya direkayasa dengan sengaja – kekerasan anti-Cina meledak di Jakarta, Sala dan beberapa kota besar Indonesia lainnya.[10] Kerusuhan bulan Mei 1998 ini berbeda dari peristiwa kekerasan sebelumnya, bukan saja berupa penjarahan, pembunuhan dan pembakaran harta benda, tetapi juga terjadinya perkosaan sistimatik terhadap kaum perempuan Tionghoa. Kekerasan itu punya motif politik, dalam beberapa hal berhubungan dengan persaingan kekuasaan. Hal ini telah meninggalkan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia.

Setelah kerusuhan Mei 1998, situasi begitu porak poranda, akhirnya Suharto dipaksa turun panggung dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Habibie yang memimpin pemerintahan pertama setelah lengsernya Suharto.

 

Era Reformasi:

Perubahan Politik dan Kemajuan Posisi Etnik Tionghoa (1998-kini)

Masa setelah era Suharto terjadi bersamaan dengan perubahan dunia internasional. Terjadi globalisasi dan demokratisasi yang berdampak terhadap Indonesia dan banyak bagian dunia lainnya. Citra negeri Tiongkok juga telah berubah, negara itu tidak lagi dipandang sebagai pengekspor “revolusi”, tetapi mereka dipandang sebagai negara yang menghendaki situasi status quo.

Perlu dicatat bahwa Perang Dingin telah berakhir pada 1989/1990, ideologi Komunisme tidak lagi menjadi masalah dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Bahkan selama bagian terakhir kekuasaan Suharto, hubungan Indonesia-Tiongkok mengalami kemajuan, tetapi kejatuhan Suharto memicu kecepatan proses hubungan baik.

Bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi tidak saja punya pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga punya dampak ke seluruh dunia. Kekuatan ekonomi Tiongkok tidak lagi dapat diremehkan, “kekuatan perangkat lunak” (soft power) mereka disambut baik secara luas.

Di Indonesia telah terjadi demokratisasi. Terdapat juga kemajuan fundamental secara bertahap dalam bidang hukum dan status politik etnik Tionghoa. Kemajuan ini sebagai dampak dari perubahan situasi Indonesia maupun internasional yang terjadi sebelumnya. Pemerintah baru menyadari bahwa guna meningkatkan kondisi ekonomi Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa sangat menentukan. Pemerintah Indonesia pasca Suharto telah menerapkan berbagai tindakan yang memberikan juga peluang bagi kaum etnik Tionghoa. Ada manfaatnya untuk meninjau langkah-langkah politik tersebut.

 

Masa Presiden Habibie
Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang mencabut penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi. Selama kekuasaan Suharto kedua istilah ini dengan bebasnya digunakan oleh media massa untuk merujuk berturut-turut pada orang “Indonesia asli” dan “Indonesia keturunan Cina”, pada saat itu berbagai peraturan pemerintah bagi keuntungan golongan pertama.

 

Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 melalui pemilihan umum. Selama pemerintahannya, Gus Dur mengeluarkan Peraturan Presiden No.6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 yang jahat itu yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Inpres itu melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka.

Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan, etnik Tionghoa dilarang merayakannya secara terbuka. Toko-toko milik etnik Tionghoa dilarang tutup dalam Tahun Baru Imlek.

 

Masa Presiden Megawati
Gus Dur tidak sampai menyelesaikan masa kepresidenannya dan digantikan oleh wakilnya, Megawati Sukarnoputri. Megawati memaklumkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional, berlaku mulai 2 Februari 2003. Hal ini tidak berubah sampai pergantian presiden berikutnya.

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Pada 2004, SBY dipilih sebagai presiden baru. Selama pemerintahannya telah dikeluarkan dua undang-undang penting, UU No.12/2006 tentang kewarganegaraan Indonesia dan UU No.23/2006 tentang pendaftaran penduduk. Dr Frans Hendra Winarta telah membahas kedua undang-undang ini secara mendalam (dalam buku yang memuat artikel ini). Sekalipun demikian saya hendak menyampaikannya secara singkat bahwa undang-undang kewarganegaraan baru ini telah menyerap prinsip-prinsip demokrasi. Sedang undang-undang tentang kependudukan dengan menggunakan konsep dasar nasional dan bukan etnik dalam pendaftaran penduduk Indonesia.

Perkembangan selama Masa Reformasi sangat memberikan harapan. Berbagai peraturan pemerintah dalam hubungannya dengan masalah etnik Tionghoa menggunakan pendekatan demokratis dan multikultural, dengan sudut pandang guna lebih memakmurkan Indonesia. Saya pribadi percaya multikulturalisme akan bermanfaat bagi Indonesia melalui peneyerbukan silang budaya.

Sebenarnyalah budaya Tionghoa di Indonesia mulai hidup kembali dalam masa pasca Suharto yang dibuktikan dengan pemulihan kembali tiga pilar budaya Tionghoa. Mari kita tengok secara singkat tiga pilar itu.

 

 

Pemulihan Kembali Tiga Pilar Budaya Tionghoa
 

Media
Era Reformasi telah membawa permulaan baru bagi media Tionghoa. Telah muncul kembali tidak kurang dari delapan koran berbahasa Tionghoa seperti Guoji Ribao, Shang Bao dsb. Tetapi hampir separonya telah tutup karena kurangnya iklan dan pembaca. Untuk gambaran rinci tentang media Tionghoa, lihat bahasan Dr Aimee Dawis dalam buku yang memuat artikel ini. Perlu dicatat juga telah dihidupkannya kembali radio dalam bahasa Tionghoa serta siaran televisi dalam bahasa Mandarin seperti Metro Xinwen di Jakarta.
 

Pendidikan Tionghoa
Sekolah Tionghoa seperti sebelum Orde Baru tidaklah dihidupkan kembali, akan tetapi telah dibuka sekolah-sekolah dengan dwi-bahasa dan tri-bahasa. Pelajaran bahasa Mandarin diizinkan di berbagai sekolah, memberikan kesan akan kebangkitan kembali budaya Tionghoa. Untuk bahasan rinci tentang pendidikan Tionghoa, baca tulisan Aimee Dawis.

 

Organisasi Etnik Tionghoa[11]

Komunitas Tionghoa telah juga memanfaatkan iklim demokrasi dengan membentuk partai politik etnik Tionghoa seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI), meskipun dewasa ini tidak aktif.

Nampaknya orang Indonesia suku Tionghoa lebih memilih bergabung dengan partai-partai yang didominasi suku pribumi daripada memilih partai suku Tionghoa. Di pihak lain mereka lebih suka bergabung dengan organisasi sosial dan budaya Tionghoa. Sementara orang mengatakan setidaknya terdapat 400 organisasi semacam itu, termasuk yang didasarkan pada provinsi atau wilayah (baik di Tiongkok maupun di Indonesia), atau berdasar klan/keluarga/marga, agama Tionghoa, hobi dan alumni. Sekalipun demikian sebagian besar organisasi itu bersifat lokal, kecuali dua yang bersifat nasional yakni Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), belakangan dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa.

 

Organisasi Bisnis

Sesudah kejatuhan Suharto, kalangan bisnis Tionghoa juga membentuk organisasinya sendiri. Setidaknya terdapat empat organisasi bisnis, baik yang didominasi  oleh etnik Tionghoa, atau adanya partisipasi kuat dari kalangan suku Tionghoa: (1) Lembaga Kerjasama Ekonomi Sosial & Budaya Indonesia-China (LIC); (2) Kadin Indonesia Komite Tiongkok (KIKT); (3) Persatuan Pengusaha Indonesia-Tionghoa (PERPIT); dan (4) Indonesia-China Business Council (ICBC).

Munculnya organisasi-organisasi bisnis ini bertepatan waktunya dengan berakhirnya Perang Dingin dan merebaknya globalisasi. Baik situasi dalam negeri maupun iklim internasional memungkinkan perkembangan semacam itu. Berbeda dengan masa Suharto yang sering menganggap pembangunan hubungan ekonomi dan investasi ke Tiongkok sebagai bertentangan dengan kepentingan Jakarta, kini melakukan bisnis dengan Tiongkok dipandang sebagai bermanfaat bagi kedua pihak. Organisasi-organisasi bisnis tersebut jelas memberikan sumbangannya dalam percepatan perkembangan hubungan ekonomi antara Indonesia dengan Tiongkok.

 

Catatan Kesimpulan

Terlihat jelas bahwa politik pemerintah Indonesia terhadap etnik Tonghoa banyak mengalami perubahan sejak tercapainya kemerdekaan. Di waktu lampau banyak undang-undang dan peraturan yang tidak menguntungkan etnik Tionghoa. Tetapi sejak jatuhnya Suharto dalam masa reformasi telah banyak membawakan perubahan - politik, budaya dan hukum – yang bermanfaat bagi suku Tionghoa.

Orang-orang suku Tionghoa tidak lagi dipaksa melakukan asimilasi, mereka tetap boleh memelihara budaya dan identitas etnik, tetapi diharapkan berintegrasi dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar. Iklim yang lebih maju ini akan berlanjut menjadi dorongan bagi suku Tionghoa untuk bekerja bagi Indonesia yang lebih baik.

 



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Wang Gungwu, China and the Chinese Overseas, Singapore, Times Academic Press, 1991:vii.

[2] Chen Dasheng (Tan Ta Sen), “Zheng He, Dongnanya De Huijiao Yu ‘San Bo Long Ji Jing Li Wen Biannianshi’” (Cheng Ho, Kaum Muslim Asia Tenggara, dan ‘Catatan Perjalanan Melayu, Semarang dan Cirebon’), dalam Zheng He yu Dongnanya (Cheng Ho dan Asia Tenggara), editor Liao Jianyu (Leo Suryadinata), Singapore International Zheng He Society, 2005:52-83; Sumanto Al Qartuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XVI,Yogyakarta, Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.

[3] WF Wertheim, “Social Change in Java, 1900-1930”, dalam East-West Parallels, The Hague, W Van Hoeve Ltd, 1964:211-237.

[4] Lea A Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916, Glencoe, Free Press, 1960:13-16.

[5] Idem:54-113.

[6] William Skinner, “Java’s Chinese Minority: Continuity and Change”, Journal of Asian Studies 20, No.3, 1961:353-362.

[7] Li Quanshou (Lie Tjwan Sioe), “Yindunixia Huaqiao Jiaoyu Shi” (Sejarah Pendidikan Tionghoa Perantauan di Indonesia), Nanyang Xuebao 15, No.1-2, 1959.

[8] Uraian ringkas kedua peraturan ini, lihat Leo Suryadinata, Indigenous Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of Perceptions and Policies, Kualalumpur dan London, Heinemann Asia, 1978:129-153.

[9] Lihat Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of perceptions and Policies, Kualalumpur, Singapore dan London, Heinemann Asia, 1978:25-28.

[10] Banyak penerbitan seputar kekerasan anti-Cina Mei 1998, seperti Jemma Purdy, Anti-Chinese Violence in Indonesia 1996-1999, National University Press of Singapore, 2006; Kerusuhan Mei 1998, Data dan Analisa: Mengangkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jakarta, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, 2007.

[11] Uraian singkat tentang organisasi etnik Tionghoa sesudah kejatuhan Suharto, lihat Leo Suryadinata, “Resurgence of Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto’s Indonesia: Some Reflections”, Asian Culture 31, Juni 2007.

 

Penerjemah: Harsutejo

Dari Leo Suryadinata (ed), Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Chinese Heritage Centre & Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2008 (?).



 

anything