Padahal Sang Buddha tidak menegaskan bahwa hidup ini harus berumah tangga, tetapi hidup harus bahagia. Karena kehidupan ini sudah merupakan penderitaan, maka bagaimana kita bisa mengatasi penderitaan itu. Sang Buddha mengajarkan Dhamma supaya kita hidup bahagia, tidak harus berumah tangga dan juga tidak harus menjadi bhikkhu. Tetapi kita sudah tersedot oleh pola umum tadi. Kalau kita sudah berumah tangga, berhentikah tujuan hidup kita sebagai perumah tangga? Ternyata tidak. Setelah berumah tangga kurang lebih 10 tahun, tapi belum dikaruniai anak, orang ini kembali resah. Orang hidup berumah tangga pada umumnya yang diharapkan adalah mempunyai anak. Ini pandangan pada umumnya, tidak pada kebenarannya. Kalau pada kebenarannya kita harus bahagia, tapi pada umumnya harus mempunyai anak. Karena rumah tangga harus mempunyai anak, maka di situ telah lahir beban. Yang rugi adalah kita sebagai perumah tangga. Padahal Sang Buddha menegaskan, kita harus bahagia, dan tidak mengharuskan mempunyai anak. Karena pola umum tadi harus mempunyai anak, agar di hari tua nanti ada yang mengurus kita. Tapi itu bukan jaminan. Kalau karma buruk orangtua itu berbuah, walaupun mereka mempunyai anak 12 orang, tetap saja di hari tuanya tidak ada seorangpun yang dari anaknya yang mau mengurus orangtua itu. Sungguh merupakan penderitaan lain lagi bagi orangtua tersebut. Kalau saudara berpikir, bila mempunyai anak nanti pasti anaknya akan menolong orangtuanya, itu belum tentu. Ada kasus lain, orang ini tidak mempunyai anak karena dia masih bujang dan menjadi seorang bhikkhu. Karena telah begitu banyak berbuat baik dan sering menolong orang, di hari tuanya ia tidak takut tidak ada orang yang mau menolongnya. Malah yang mau merawatnya pada rebutan, padahal ia tidak punya anak. Tapi karma baiknya bicara.
Jadi seandainya bapak atau ibu sudah berumah tangga 10 tahun belum juga mempunyai anak, janganlah berkecil hati. Karena menurut agama Buddha atau menurut tujuan hidup yang ideal, anak bukanlah tujuan hidup. Itu hanyalah berdasarkan pola umum tadi yang mengharuskan mempunyai anak.
Kita bisa mempunyai anak karena ada karma baik di masa lampau. Setelah mempunyai anak, kita berharap lagi agar mendapatkan anak yang baik, tidak nakal, tapi ternyata anaknya nakal. Orangtua menasehati dua patah kata, anaknya sudah menjawab lima patah kata. Kadang-kadang saking jengkelnya si orangtua bertanya kepada anaknya, "Kamu ini anak siapa?", karena tidak sesuai dengan sifat orangtuanya. Kalau kita mempunyai tujuan yang sifatnya umum tadi, sudah tercapai, setelah mempunyai anak, tentunya anak yang baik kita arahkan lagi untuk mendapatkan menantu yang baik. nanti setelah mendapatkan menantu yang baik, tujuan anda bergeser lagi. Tentu saja ini melelahkan perjuangan anda di dalam kehidupan ini. Maka dari itu, saya mengajak saudara-saudara untuk mengubah cara pandang yang semacam ini. Kita arahkan kepada yang pasti, yaitu kepada kebahagiaan. Berumah tangga tidak masalah, tidak berumahtangga juga tidak masalah. Menjadi bhikkhu tidak masalah, yang penting bahagia. Punya anak tidak masalah, tidak punya anak juga tidak masalah. Punya anak yang baik atau punya anak yang tidak baik, itu tidak masalah, yang penting bahagia. Jangan yang penting hidup berumah tangga. Pernah saya ditanya oleh seseorang. Apakah bhikkhu boleh menikah? Lalu saja jawab, "Selama menjadi bhikkhu memang tidak boleh menikah, kecuali kalau sudah tidak tahan menjadi seorang bhikkhu dan menjadi umat awam kembali, dia bisa melakukan pernikahan". Bapak ini bertanya lagi, "Pak bhikkhu, apakah bapak bhikkhu dengan tidak menikah itu tidak menyalahi kodrat Tuhan yang dikatakan lahir perpasangan?". Saya menjawab, "kalau memang Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, mengapa kok ada juga yang mencari kesana kemari sampai akhirnya meninggal dunia juga tidak menemukan pasangannya? Dan perlu bapak ketahui yang dikatakan menciptakan berpasangan itu adalah tidak berpasangan. Karena tuhan itu tidak berpasangan, jadi kalau saya ini tidak berpasangan, itu adalah karena ingin menuju hakekat Ketuhanan itu sendiri".
Menurut pandangan umum, memang hidup itu harus berpasangan, tetapi menurut agama Buddha tidak harus berpasangan, melainkan bagaimana hidup ini harus bahagia. Itu saja yang harus dicapai dalam kehidupan ini.