Saya akan memberi alasan pribadi saya kenapa saya
lebih memilih memeluk Buddha daripada kr****n, Hindu, atau Islam
Perkenalan saya dengan Agama Buddha itu konyol. Ayah saya KHC, tapi
sering ke vihara walau ga ngerti ajarannya, taunya sembhayang. Ibu
saya KHC asli tapi kadang waktu muda ke Gereja karena ada makan2
setelah kebaktian. Mereka tidak mengerti ajaran Buddha. mereka punya 3
anak, dan saya adalah anak ke2. Waktu sekolah dasar, Sekolah kakak
saya menyediakan pelajaran dalam 4 agama, Islam kr****n ka****k
Buddha. Hindu ga ada gurunya. Kakak saya kelas 1 ikut kelas ka****k
atau kr****n, tapi katanya susah jadi kelas 2 dia ikut kelas agama
Buddha katanya lebih gampang. Ibu saya trus nanya ke aku yg masih usia
6 tahun, mau masuk agama apa? Saya tidak ingat kejadian itu, tapi ibu
saya bilang aku menjawab, "yang sama dengan kakak". Jadilah saya
belajar agama Buddha sejak kecil. konyol kan? mungkin itu yg disebut
karma baik.
Selanjutnya saya juga belajar di sekolah minggu di vihara, waktu sd
kelas 2- 5 kira2. Tempatnya di sebuah vihara mahayana. Ga lanjut lagi
karena kita lebih suka nonton Doraemon di rumah daripada ke vihara.
Maklum masih kecil, saya sih terima aja Kisah hidup Pangeran Siddharta
tanpa alasan rasional. Semua ditelan mentah2. Sampai SMP, saya masih
belajar agama Buddha di sekolah.
Akhir SMP ke awal SMA, rasionalitasku berkembang. Mulai tahu bahwa
kita bisa ikut kebaktian pagi tiap minggu di vihara, ikut organisasi
pemudanya, baca buku di perpustakaan vihara dan perpustakaan sekolah
mengenai hal2 spiritual. Mulai bertanya-tanya apakah Agama yang
kuikuti benar adanya.
Karena sekolah di SMA ka****k, Aku bertemu dengan teman2 dari berbagai
aliran Buddis dan agama lain, kadang kita diskusi soal aliran mana
yang benar, atau debat mengenai agama siapa yang paling hebat.
Masuk ke dunia kuliah, aku berusaha low profile, tidak nyari lawan
debat agama karena sudah sadar bahwa hal tersebut sedikit manfaatnya.
Tapi aku masuk ke klub debat bahasa inggris di univ, kan lumayan
belajar ngomong inggris. Disitu aku belajar bahwa selama ini debat
yang aku dan teman2ku lakukan ternyata seperti omongan anak kecil yang
tidak berdasar. Aku belajar bahwa kalau debat anak kuliah yang meniru
sistem luar negeri itu memerlukan definisi istilah, parameter,
argumentasi logis, premis, bukti fakta atau bukti statistik atau bukti
ilmiah atau setidaknya bukti analogi. Aku belajar bahwa setiap hal
mempunyai dua sisi mata uang, bahwa kita bisa melihat dari berbagai
sisi, bahwa yang namanya kebenaran universal itu sedikit jumlahnya,
dan belajar cara membantah yang efektif dan efisien. Aku masih suka
membaca teks Buddhis tapi lebih suka belajar mendebatkan topik2 yang
beragam dari politik, hukum, ekonomi, sosial, hingga seks.
Teman2ku di debat itu beragam. Ada kr****n nyeleneh, Islam taat sholat
5 waktu, Islam agnostik, ka****k, Agnostik sejati tapi KTP ka****k,
ka****k rasional, kr****n. Dan yang agnostik bisa menyediakan argumen
kenapa dia jadi agnostik. Yang kr****n bisa menyediakan argumen kenapa
dia jadi kr****n. Yang Islam bisa bela Nabi Muhammad secara intelek
waktu muncul kontroversi soal ajaran Islam di masyarakat. Semua
dilakukan dalam suasanan toleran, intelektual, dan harmonis bahkan ga
serius.
Kebetulan aku ini Buddhis pertama yang masuk komunitas debat. Jadi
ketika senior2 yang ingin menguji iman (agnostic yang ingin mengerjai
orang2 beriman dengan argumen rasional) bertanya padaku, mereka
tercenggang. Jawabanku beda banget dengan jawabannya kr****n atau
Islam. sample:
Kamu percaya Tuhan? Tidak. Tapi bisa juga ya.
Di Agama Buddha ada Tuhan? Ya dan Tidak. Tergantung definisi Tuhan.
Kamu ke Vihara tiap minggu? Kadang kadang.
Emang ga ada hukumannya ga ke vihara? ga ada
Buddhis berarti harus vegetarian ya? nggak. Tergantung pilihan orang.
Buddhis itu nyembah patung kan? Ada patung, tapi itu kan patung,
fungsinya cuma pengingat. Patungnya ga ada juga ga apa2.
Kalo ga percaya Tuhan, terus kamu nyembah siapa? Ga nyembah siapa2.
Buddha ga disembah? Gak. Beliau cuma guru teladan. Kita ikutin ajaran dia
Ajarannya apa? aku sebutin 4 baris jangan berbuat jahat, dst
Itu aja? ya intinya sih itu aja
"Kamu yakin agamamu benar? Darimana kamu tahu Tripitaka itu benar?
Kalau salah gimana?" Kujawab: "Buddha bilang kok kalau terbukti salah
aku boleh pindah" Terus aku mengutip Kalama Sutta. Mereka terheran2
ada agama aneh kayak gitu.
Well, setelahnya aku ikut mengajak beberapa junior buddhis ikut klub
debat dan teman2 yg lain mulai kenal ajaran Buddha. Mereka tahu kalau
kita makan daging tapi tidak akan membunuh kecoa yang lewat. mereka
harus melakukannya sendiri. Mereka mentertawakan doa makanku yang
bunyinya supaya menahan nafsu tapi makanku banyak. Mereka
mempertanyakan banyak hal, yang bisa kujawab dengan baik. Terakhir,
mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa membantah Agamaku. Aku sendiri
tidak bisa menemukan kelemahan yang signifikan dari agamaku. Mengutip
temanku (yg kr****n) berkata "bagaimana caranya kamu membantah agama
yang bilang 'cintailah semua makhluk' dan 'hiduplah secara harmonis',
dan penuh kata 'damai' 'sabar' 'bahagia'?"
Karena aku juga belajar agama lain, aku belajar bahwa hampir semua
agama punya kritiknya, ada kelemahannya. Aku lihat situs2 perbandingan
agama sampai situs2 yang menyerang agama lain di internet.
Kesimpulannya? Cuma Agama Buddha yang paling tidak bisa diserang. Dari
situ aku makin mantap bahwa pilihanku benar.
So kesimpulannya, aku kebetulan jodoh dengan Agama Buddha, dan merasa
memang cocok dengan pribadiku. Aku pelajari agama2 lain, dan tetap
merasa Agama Buddha paling benar. Karena cuma ajaran Buddha yang
paling mengutamakan logika, paling toleran, cinta kasihnya paling
luas, dan sejarahnya paling bagus.
Kalaupun ada yang menawarkan pindah, saya tidak mau. Saya sudah
bertekad tidak akan ganti agama di kehidupan ini. Kenapa? alasannya
sebenarnya sangat personal:
1. Agama Buddha paling susah. Yang lain sepertinya gampang, malah ada
cara instan dapat keselamatan. Buat saya, yg palsu itu biasanya yg
paling membual, seperti tukang obat teriak2 di jalan bilang obatnya
bisa cespleng menyembuhkan semua penyakit, termasuk kanker stadium IV.
Saya lebih percaya kalau diberitau oleh seorang dokter yg qualified
"kamu itu sakitnya udah parah. Sembuhnya lama. Itupun kalo kamu beli
obat yg mahal, minum 3x sehari, ga makan yg ini dan itu, olahraga
ringan tiap pagi. Itupun sembuhnya bertahap. Terserah kamu mau ikut
anjuran saya atau tidak. Oya, biaya konsultasi saya gratis, dan
obatnya kamu beli di tempat lain ya."
Agama Buddha seperti itu, tujuannya jauh, sulit dicapai, butuh praktik
yang katanya sampai bbrp kali kehidupan, butuh karma baik yg banyak,
dan godaan serta rintangannya banyak. Hasil cepat yg bisa didapat
paling kebahagiaan sementara dalam 1 kehidupan, kalo bisa. Nah, masa
ada Tukang Obat palsu promosiin obat susah begini. Ga akan laku.
Berarti ini obat asli kan?
2. Agama Buddha literaturnya paling banyak.
Saya ini orangnya senang membaca dan cepat menangkap jika poin moral
disampaikan lewat cerita. Dari kecil sudah sering baca kisah anak2
bergambar yang ada poin moralnya, yg mengajarkan serakah tidak baik, dll.
Saya baca alkitab habis dari PL sampai PB dalam beberapa hari. ga
berkesan. Mungkin karena isinya sulit dimengerti pakai konteks modern,
atau butuh kuliah teologi dan tafsir alkitab. Aku jelas tidak membaca
bagian silsilah (si anu memperanakkan si B, terus punya anak si C,
dst) atau angka (jumlah roti yang dimakan hari itu berjumlah
593822...) dan taurat (musa bilang jangan menjemur baju hari sabat
karena...) habis menurutku ga penting.
Yg kubaca adalah cerita orang2 israel dan Yesus. Kebanyakan cerita
sejarah atau dongeng. Moralnya ga ada, dikit, atau aku tidak mengerti
(habis isinya mukjizat, perang, bencana, pembunuhan,perbudakan, dan
pengkhianatan) Akhirnya cuma berguna waktu pelajaran agama ka****k dan
memperluas wawasan.
Alquran tidak pernah baca lengkap tapi baca kutipan2 nya. Isinya
kebanyakan perintah2 yg tidak akan kuturuti. lagian aku tidak suka
gaya bahasa Quran.
Aku menikmati membaca kisah2 kebijaksanaan Tionghoa klasik, kitab
konghucu yang ada moral Cina zaman dulu, terutama kalo ada ceritanya.
Tapi kisah seperti itu terbatas jumlahnya dan sulit dapatnya.
Tapi kalau agama Buddha, literaturnya tidak habis dibaca.
Dari Tripitaka, Sutta Pitaka berisi khotbah2 Guru Buddha dan banyak
yang berupa cerita perumpamaan. Banyak juga khotbah2 yang diberi
komentar berupa konteks situasi dimana khotbah itu diberikan. Jadi
banyak sekali ceritanya!
423 syair Dhammapada semua ada background story. 510 kisah Jataka/
kelahiran Siddharta yg lampau berupa cerita2 moral. Kemudian ada
cerita mengenai Alam Peta, alam Dewa, Kisah murid2 Buddha, Kisah
Kehidupan Pangeran Siddharta sendiri, dan banyak lagi yang sampai saat
ini saya yakin masih ada yang belum saya baca. Padahal saya sudah
membaca ratusan buku Buddhis.
Keluar dari kanon Tripitaka Pali Theravada, Sutra Mahayana tidak kalah
banyak. Dengan gaya bahasa yang lebih indah, lebih panjang, Sutra
Mahayana menjelaskan poin yang sama dengan Theravada tetapi dengan
ceita yang berbeda. Jumlah Sutra Mahayana banyak sekali, tetapi
sayangnya kebanyakan berada dalam bahasa China atau Tibet atau sudah
terbakar waktu orang Muslim membakar Universitas Nalanda di India.
Tapi Masih banyak cerita tentang orang2 suci setelah Buddha yang
muncul di abad2 kemudian. Cerita tentang guru2 besar ini memberi
inspirasi bagi kita untuk praktek. Ada Nagarjuna, Marpa, Milarepa,
Bodhidarma, Sesepuh ke-6 Hui Neng, Atisha, Tsongkhapa, Naropa, Ma Tsu,
Lin Chi, dll
Sampai Sekarang, saya masih suka menemukan cerita Buddhis yang belum
pernah saya baca. Maklum, Tripitaka ada 3 lemari dan belum semuanya
selesai ditranslate, dan guru2 besar biografinya masih berlimpah.
Mengingat saya ini orang yang tipenya belajar dari cerita, agama
Buddha cocok kan dengan saya? Kalau agama lain ceritanya itu2 saja,
cepet bosan. Agama lain yang ceritanya juga banyak itu Hindu. Tapi
orang Hindu saja menganggap Buddha itu "cabangnya" Hindu, jadi kalo
saya pindah ke Hindu sama aja boong kan?
Jadi karena itu saya tidak akan pindah agama. Saya mengakui agama
Buddha, seperti agama lain tidaklah tanpa cacat. Buddha mungkin
sempurna mengajar, tapi kan murid2nya tidak sempurna dan ada
kemungkinan berbuat salah. Tapi saya yakin saya sudah memilih yang
terbaik dari pilihan2 yang tidak sempurna.
Thank you for reading this long rambling.