//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Syair & Kisah Dhamma yang sangat berkesan pada awal saya belajar Dhamma  (Read 13358 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Bagian 2 (end)

Permohonan Sang Brahmana 

Brahmana cacat tersebut dengan segera menggapai mata sang raja; raja dengan belas kasih yang tenang hendak merangkul sang brahmana cacat tersebut. Para punggawa kerajaan meminta sang brahmana untuk menyampaikan permohonannya, tetapi mengabaikan mereka ia terus mendekati raja.

"Aku, brahmana yang buta, telah datang dari tempat yang sangat jauh, Oh sang raja agung, dengan sangat memohon pemberian salah satu mata anda. Kiranya satu mata cukup untuk mengatur dunia, Oh baginda yang bermata bagai bunga padma, penguasa dunia."
Sang bodhisattva merasa sangat bahagia: keinginan hatinya telah terpenuhi. Apakah karena keinginannya begitu kuat untuk memberi sehingga ia bahkan telah membayangkannya? Ia ingin kembali mendengarkan permintaan tersebut, ia bertanya; "Siapa yang menyuruhmu, wahai brahmana mulia, untuk meminta satu mataku? Bagaimana engkau dapat mengira bahwa akan ada orang yang dapat melepaskan benda itu? Siapakah yang percaya bahwa aku akan melakukannya?"

Mengetahui kepedulian raja, penyamaran Dewa Sakra menjawab; "Dewa Sakra yang memberi tahu kami. Sebuah arca dewa berbicara kepada kami, bilang kepada kami agar datang kemari dan memohon kepadamu. Percaya mereka benar dan mengabulkan permohonan kami yang terdalam; mohon berilah kami salah satu mata anda."

Mendengar nama Sakra, raja berpikir; "Pastilah kekuatan para dewa akan membantu memulihkan penglihatan brahmana ini." Karenanya dengan suara yang jelas dan penuh kegembiraan ia berkata: "Brahmana aku pasti mengabulkan permohonanmu. Meski engkau hanya meminta satu mataku, aku akan memberimu keduanya! Setelah wajahmu dihiasi dengan kedua padma yang cemerlang ini, engkau pergilah jauh; biarlah keajaiban ini membuat kagum setiap orang yang engkau temui!"

Penasehat raja tidak setuju serta diliputi kecemasan jikalau raja benar-benar memberikan matanya. "Baginda Raja," ucapnya, "kemurahan hati anda telah sampai pada ketidak adilan hingga menjadi sebuah keanehan! Anda hendak memberikan mata Anda! Hanya demi kebajikan orang yang lahir dua kali ini, janganlah abaikan kami semua! Anda menyalakan api penderitaan pada kami semua setelah sebelumnya anda merupakan sumber dari ketentraman dan kemakmuran.

“Uang, permata cemerlang, kereta, tandu, gajah besar yang sangat mengagumkan, sesuai dengan segala musim dan bergema bersama suara penari, pemberian yang demikian memang pantas. Berikanlah itu semua, tetapi mohon jangan berikan mata anda, andalah mata satu-satunya bagi dunia!

“Dan pahamilah ini, Hanya karena pengaruh kekuatan para dewa yang memungkinkan mata seseorang dapat dipindahkan ke muka orang lain. Namun demikian bila hal itu terjadi, mengapa harus mata anda? Juga apa manfaatnya mata itu bagi orang miskin ini, baginya hanya akan menjadi saksi kemakmuran orang lain? Beri saja dia uang, bagaimanapun mohon jangan lakukan tindakan yang keliru ini!”
Sebagai jawaban, raja memandang mentrinya dengan kelembutan dan keramahan, ”Ia yang telah berjanji untuk memberi, lalu memegangi yang diberikan, hanya akan mendapatkan tulang keterikatan yang telah dibuangnya. Ia yang telah berjanji untuk memberi lalu karena terdorong oleh kekikiran, mengingkari janjinya, harus dipandang sebagai sangat tercela. Ia yang menimbulkan pengharapan bagi yang membutuhkan, lalu memberi mereka penolakan yang kasar, tak patut dipandang kecuali ditinggalkan."

“Sebagaimana terhadap kekuatan para dewa untuk menimbulkan penglihatan pada mata cangkokan, mengetahui hal ini: Bahkan para dewa bergantung pada suatu keadaan untuk mendapatkan pengaruh tertentu. Dimana diantara kita dapat berkata bagaimana caranya adalah tergantung pada bagaimana akhirnya? Tidak, jangan coba halangi maksud hatiku. Aku tetap akan memberikan mataku kepadanya.”
Sang mentri menjawab: “Kami tidak berusaha menghalangi Sri Baginda melakukan apapun yang terpuji! Kami telah sekedar menganalisa bahwa suatu pemberian barang-barang atau biji-bijian ataupun emas akan lebih sesuai dari pada memberikan penglihatan anda.”

“Apa yang diminta itulah yang akan diberikan,” jawab sang raja. “Memberikan sesuatu yang tidak diinginkan tak akan membuat gembira. Apa gunanya memberi air bagi orang yang sedang hanyut? Aku akan memberi orang ini seperti apa yang diinginkannya.”
Sebagai reaksi, mentri pertama, yang sangat akrab dengan raja, lalu diikuti yang lain melampaui batas kepantasan disebabkan oleh kasih sayangnya pada sang raja, mereka berkata: “Jangan lakukan itu! Dibutuhkan pertapaan yang berat serta meditasi yang lama untuk mendapatkan kerajaan seperti ini; kemurahan hati anda telah memberi anda keagungan dan tempat diantara para dewa. Kerajaan anda sebanding dengan kekayaan yang dinikmati oleh Indra, akankah anda mengabaikannya? Kini anda ingin memberikan kedua mata anda, untuk tujuan apa? Di bumi ini hal seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya! Mahkota para raja menghiasi kakimu; pengorbanan anda menempatkan baginda pada kedewataan; kemashyuran anda bercahaya menjangkau hingga tempat yang sangat jauh. Apakah tujuan yang hendak anda raih dengan memberikan mata anda?”

Sang raja menjawab dengan sangat menyentuh: “Aku tidak mendambakan kekuasaan di atas bumi ataupun keagungan; aku tidak menginginkan pembebasan ataupun surga. Aku melakukan perbuatan ini semata-mata untuk membuat permohonan seorang pengemis terpenuhi, dengan maksud untuk menjadi pelindung bagi dunia.”

Sambil mengucapkan kata-kata ini, raja memerintahkan agar satu matanya dikeluarkan oleh seorang tabib, secara perlahan dan berhasil. Dengan ketakjuban yang tiada terlukiskan ia memegang sebutir bola ini, berseri bagaikan kuntum bunga utpala dan memberikannya kepada sang pengemis. Sakra, raja dari para dewa, secara ajaib memasukkan mata tersebut ke dalam kelopak mata sang brahmana, sehingga raja bersama semua yang hadir menyaksikan sebuah mata yang membuka. Perasaan hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan murni, raja kemudian kembali memberikan matanya yang lain.

Wajah sang raja kini bagaikan kolam teratai yang kehilangan bunga, dengan raut muka yang memancarkan kegembiraan, perasaan gembira yang tak pernah dirasakan oleh orang lain, yang hanya melihat sang raja telah menjadi buta dan brahmana telah mendapatkan penglihatannya dari raja. Dari dalam ruang istana hingga wilayah kota yang jauh, air mata kesedihan telah tumpah, sebaliknya Dewa Sakra diliputi perasaan sesal, mengetahui sang raja tidak bergeming dari keinginannya untuk mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna.
“Betapa teguhnya!” pikirnya. “Betapa baiknya ingin menolong makhluk lain! Betapa berbelas kasihnya! Meskipun aku mengetahuinya, sulit bagiku untuk mempercayainya! Sangatlah tidak tepat kebajikan yang demikian harus menyebabkan kesulitan panjang! Aku akan segera menunjukkan kepadanya cara memulihkan penglihatannnya.”   


Kata-Kata Kebenaran Sang Raja
 
Ketika waktu telah menyembuhkan lukanya, dan telah menimbulkan kesedihan semua orang di istana dan penduduk negri, raja ingin pergi menyepi, suatu hari ke taman kerajaan, duduk bersila di dekat kolam teratai. Seluruh pohon di sekelilingnya merunduk kepadanya sarat oleh bunganya, riuh-riuh oleh suara lebah. Angin kencang bertiup, sejuk dan berbau harum.

Tiba-tiba, raja merasakan ada yang datang. “Siapa itu?” ia bertanya. “Sakra, raja dari para dewa,” jawabnya. Setelah menyampaikan rasa hormatnya kepada Sakra, raja bertanya apakah yang dapat dilakukan baginya. Dewa Sakra menjawab: “Aku datang untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Sekarang apa yang kau inginkan, wahai bangsawan suci? Katakan kepadaku, aku akan mengabulkannya.”
Raja terperanjat, karena biasanya ia yang memberi, bukan menerima. “Aku telah memiliki harta yang berlimpah, Oh Sakra, balatentaraku juga sangat besar dan kuat. Akan tetapi kebutaanku, membuatku tak dapat menyaksikan wajah gembira para pengemis setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Untuk itu hanya kematianlah yang patut bagiku kini. Kematianlah kini yang kuinginkan.”

“Jangan sampai berpikir seperti itu!” ucap Sakra. “Lebih baik sampaikan kepadaku apa yang sebenarnya kau rasakan, Oh raja, apa yang kau pikirkan tentang para pengemis, hingga mereka membuatmu merasa begitu sedih. Katakanlah! Katakan kepadaku apa yang ada dalam hatimu, mungkin engkau akan segera menemukan jalan keluarnya.”

Sang Raja menjawab: “Mengapa anda menyangka dengan sekedar memulihkan penglihatanku akan membuatku senang? Dengarlah ini, bagaimanapun, jika engkau bisa: Sebagaimana kegembiraan seorang pengemis adalah bagaikan berkah bagi pendengaranku, karena itu aku menginginkan mendapatkan kembali salah satu mataku!”

Tak lama setelah raja mengucapkan kata-kata tersebut, seketika berkat kekuatan kebenaran kata-kata serta kebajikannya, salah satu matanya pulih kembali, yang bagaikan kuntum bunga padma yang dilingkari oleh permata indranila. Dengan gembira raja selanjutnya berkata; “Dan sebagaimana kenyataan aku merasakan betapa bahagianya memberikan kedua mataku kepada orang yang hanya meminta salah satu, karenanya tentu aku dapat mendapatkan kembali mataku yang satunya.”

Sekali lagi, setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut matanya yang satu lagi muncul, keindahannya sebanding dengan yang pertama. Gunung berguncang; samudra bergolak, suara damaru surgawi terdengar jelas dan berirama. Angkasa menjadi terang benderang seolah disinari oleh cahaya matahari di musim gugur, berbarengan dengan itu, tiada terhingga bunga dan serbuk cendana terhambur dari angkasa. Para dewa serta makhluk-makhluk lain dengan segera menuju ke tempat itu, mata mereka terbelalak menyaksikan apa yang tampak, hati semua makhluk diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa.

Dari sepuluh penjuru, nyanyian serta puji-pujian dilantunkan oleh makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan gaib. Dalam kegembiraan serta kesukacitaan mereka berkata; “Betapa mulianya belas kasihnya! Betapa lembut serta murni batinnya! Betapa kecil kepeduliannya pada kebahagiaan pribadi! Hormat padanya, sang pahlawan yang senantiasa jaga! Sebagaimana mata padmamu telah pulih,demikianlah dunia kini mendapatkan kembali pelindungnya! Setelah begitu lama, kebajikan akhirnya menjadi pemenangnya!”
“Benar, benar,” Sakra memuji. “Disebabkan oleh perasaanmu yang memahamiku dengan baik, Oh raja yang berhati murni, aku mengembalikan kedua matamu. Dan dengan kedua mata itu engkau kini akan dapat melihat jauh ke segala penjuru, tak akan terhalang bahkan oleh gunung sekalipun.” Setelah itu Dewa Sakra menghilang.

Sang Bodhisattva, dikelilingi oleh para punggawanya yang diliputi perasaan takjub hingga tak dapat berbicara, kembali ke istana dalam sebuah prosesi. Di sana rakyat menegakkan bendera serta panji-panji seolah sedang berlangsung sebuah perayaan. Para Brahmana memberkati kerajaannya dengan beribu-ribu kebajikan. Duduk di dalam balai pertemuan di hadapan sejumlah besar para mentri, brahmana, para tetua serta rakyat dari kota maupun desa, sang Bodhisattva mengajarkan Dharma berdasarkan pengalaman pribadinya:
“Siapakah diantara kalian yang kini lemah dalam melakukan dana? Setelah kalian melihat mataku, mata yang memiliki kekuatan kedewataan, yang diperoleh dari kebajikan berdana. Dengan mata ini aku dapat melihat segala sesuatu yang berada sejauh beribu-ribu yojana; aku dapat melihat melintasi gunung tinggi, sejelas aku melihat ruang balai ini. Apakah yang lebih membawa kebajikan kebahagiaan kecuali kemurahan hati, belas kasih dan pengendalian diri? Dengan melepaskan mata manusiaku, aku mendapatkan penglihatan dewata.”

“Mengetahui hal ini, Shibi-ku, melipatgandakan kekayaanmu dengan menggunakannnya dengan benar. Demikianlah jalan menuju keagungan dan kebahagiaan baik di dunia ini maupun sesudahnya. Harta sesungguhnya tidak berarti baginya, karena harta adalah kebajikan seseorang; ia dapat diberikan bagi kebajikan yang lain. Hanya dengan cara ini ia akan menjadi harta karun; dengan kepelitan, ia tiada guna.”

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana Sang Buddha mendapatkan Dharma dengan menjalankan berbagai pertapaan, dan betapa pentingnya mendengarkan Dharma dengan penuh hormat. Mengetahui keagungan Sang Tathagata serta berkat kebajikan sepanjang kehidupannya, manusia memuji kualitas belas kasihnya serta bangkit rasa hormatnya. Sehingga manusia menimbun kebajikan, dan dalam hidupnya saat ini dapat menemukan sesuatu dari berkembangnya kekuatan yang agung dan mengalirnya keagungan.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Menaklukkan Angulimala

Istri kepala penasehat (Purohita Brahmana) Raja Pasenadi Kosala yang bernama Mantani, melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, semua senjata di dalam kota berkilau mengeluarkan cahaya yang terang benderang. Kejadian ini menyebabkan ayahnya bertanya kepada ahli perbintangan, mereka meramalkan bahwa anak tersebut di kemudian hari akan menjadi perampok. Keesokan harinya, ketika ia mengunjungi istana, sang ayah bertanya kepada Raja Pasenadi, apakah tadi malam Raja dapat tidur nyenyak. Raja menjawab, tadi malam ia tidak dapat tidur dengan nyenyak karena melihat semua senjata di dalam gudang berkilauan. Hal ini menandakan adanya bahaya yang akan menimpa Raja sendiri atau kerajaannya. Brahmana tersebut lalu menyampaikan kepada Raja, bahwa semalam istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, tidak hanya pedang kerajaan, semua senjata yang ada di seluruh kota berkilauan, yang menandakan bahwa anaknya kelak akan menjadi perampok.

Brahmana tersebut bertanya kepada Raja, apakah Raja menghendaki agar ia membunuh anaknya yang baru lahir itu. Raja lalu bertanya, apakah anak tersebut kelak akan menjadi kepala perampok ataukah menjadi perampok tunggal. Ia menjawab bahwa anak tersebut akan menjadi perampok tunggal.

Raja tidak terlalu khawatir, karena beliau beranggapan bahwa kerajaannya tidak akan dapat dikacaukan hanya oleh seorang perampok. Jadi beliau membiarkan anak tersebut hidup dan tumbuh menjadi dewasa.

Anak itu diberi nama Ahimsaka, yang berarti tidak melukai siapapun (tanpa kekerasan). Anak itu diberi nama demikian karena ia berasal dari keluarga yang tidak pernah dinodai dengan kejahatan dan juga karena sifat anak itu sendiri.

Ketika Ahimsaka dewasa, ia disekolahkan di Taxila, suatu pusat pendidikan yang terkenal pada masa lampau. Ahimsaka amat pandai, dapat melampaui murid-murid yang lain dan menjadi murid yang paling menonjol, dan ia amat disayang oleh gurunya.

Teman-temannya menjadi iri kepadanya. Mereka berusaha mencari kesalahan agar Ahimsaka dapat dihukum. Mereka tidak dapat mencela kemampuan maupun reputasi baik keluarga Ahimsaka.

Mereka lalu memfitnah bahwa Ahimsaka telah melakukan hal yang tidak pantas dengan istri gurunya. Mereka lalu membagi kelompoknya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memberitahukan kepada guru mereka tentang kesalahan Ahimsaka, kelompok kedua dan ketiga membenarkan apa yang dikatakan oleh kelompok yang pertama. Ketika guru mereka tidak mempercayai apa yang mereka katakan, mereka mengusulkan supaya guru mereka membuktikannya sendiri.

Guru Ahimsaka kemudian melihat istrinya berbicara dengan ramah kepada Ahimsaka, hal ini menambah kecurigaannya, sehingga ia merencanakan untuk melenyapkan Ahimsaka. Sebagai orang terpelajar, di dalam usahanya untuk melenyapkan Ahimsaka, ia tidak melakukannya secara terbuka, karena ia takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya.

Oleh karena itu ia berkata kepada Ahimsaka :
"Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan seribu buah jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu."

Guru Ahimsaka mengira bahwa Ahimsaka tidak akan pernah berhasil melaksanakan keinginannya. Dan di dalam usahanya untuk mengumpulkan jari manusia, ia pasti akan tertangkap oleh pengawal raja.

Ahimsaka menjawab, bahwa di dalam keluarga mereka tidak mempunyai kebiasaan untuk melakukan kejahatan kepada orang lain. Berulang-ulang Ahimsaka memohon kepada gurunya, agar ia dapat membayar biaya pendidikannya dengan cara yang lain, tetapi gurunya tetap pada pendiriannya. Apabila ia menolak melaksanakannya, ia akan mendapat kutukan. Karena ia mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar dan tidak ada jalan lain lagi untuk melanjutkan pendidikannya, ia lalu mempersenjatai dirinya dan masuk ke hutan Jalini di Kosala, yang merupakan pertemuan dari delapan jalan dan mulai membunuh siapapun yang lewat di situ untuk mengumpulkan jari tangan manusia sesuai dengan permintaan gurunya.

Jari yang terkumpul digantungnya pada sebuah pohon. Namun karena jari-jari tersebut selalu dihancurkan oleh burung gagak dan burung pemakan bangkai, ia lalu membuat untaian jari untuk memastikan jumlah jari yang telah dikumpulkannya. Sejak itu ia dikenal dengan nama Angulimala (=Untaian Jari).

Rakyat lalu pergi ke Savatthi, menghadap Raja untuk memberitahukan bahwa jumlah penduduk semakin berkurang, karena kekejaman seorang perampok yang selalu membunuh penduduk yang lewat di hutan itu. Mereka memohon supaya Raja mengirim pasukan untuk menangkapnya. Raja mengabulkan permohonan rakyat dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk menyelidiki perampok tersebut.

Brahmana yang merupakan ayah Ahimsaka, berkata kepada istrinya bahwa ia amat khawatir kalau-kalau perampok yang kejam itu adalah anak mereka sendiri, dan bertanya apa yang harus mereka lakukan. Istrinya lalu berkata, sebaiknya ia cepat-cepat pergi ke hutan, sebelum pasukan kerajaan tiba, untuk menyadarkan anaknya. Namun brahmana itu menolak untuk pergi. Istri brahmana itu lalu memutuskan untuk masuk ke hutan seorang diri. Dengan kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang amat besar, ia meratap dan berseru agar anaknya mau mengikuti tradisi keluarga, berhenti melakukan pembunuhan dan berkata bahwa pasukan raja sedang dalam perjalanan untuk menangkapnya.

Pada waktu yang sama, Sang Buddha yang sedang bersemayam di Vihara Jetavana melihat dengan Mata Buddha (melalui Maha Karuna Samapatti), bahwa dari kumpulan karma baik yang dimiliki pada kehidupannya yang lampau, Angulimala memiliki cukup banyak kebajikan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan mempunyai kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi yaitu menjadi Arahat pada kehidupan ini juga. Sang Buddha juga melihat bahwa ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena ia sudah amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta oleh gurunya.

Untuk mencegah hal ini, Sang Buddha lalu mengubah wujudNya menjadi seorang bhikkhu dan segera memasuki hutan. Para pengembala dan petani berusaha mencegah Sang Buddha untuk masuk ke hutan seorang diri, karena empat puluh orang yang pergi bersama-sama pun dapat dibunuh oleh Angulimala. Meskipun mendapat peringatan, Sang Buddha tetap melanjutkan perjalanNya dengan berdiam diri. Untuk kedua dan ketiga kalinya mereka berusaha mencegah Sang Guru masuk ke hutan tersebut, namun Sang Buddha dengan berdiam diri tetap meneruskan perjalananNya masuk ke dalam hutan.

Pada pagi hari itu, Angulimala telah mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan buah jari dan telah merencanakan bahwa siapapun yang ditemuinya pada hari itu harus dibunuhnya. Tetapi ia mendapat kesulitan untuk menemukan orang yang dapat dibunuhnya, karena orang-orang selalu berjalan dalam rombongan yang besar dan bersenjata lengkap.

Akhirnya ia melihat seorang bhikkhu seeang berjalan seorang diri, tanpa membawa senjata. Ia berpikir tentu amat mudah untuk membunuhnya. Angulimala lalu membawa pedang, tameng, anak panah beserta busurnya mengikuti Sang Buddha dari jarak yang dekat.

Sang Buddha menunjukkan kesaktianNya, sehingga bagaimanapun Angulimala berusaha berlari sekuat tenaga, sedangkan Sang Buddha berjalan dengan kecepatan biasa, ia tetap tidak dapat menyusul Sang Buddha.

Angulimala lalu berpikir, "Saya telah mengejar gajah, kuda, kijang dan dapat mengalahkan mereka, sekarang meskipun saya sudah berlari sekuat tenaga, dan Bhikkhu ini berjalan dengan kecepatan biasa saja, saya tetap tidak dapat mendekatiNya."

Dengan terengah-engah dan berkeringat, ia berteriak meminta Sang Buddha untuk berhenti : "Tittha (Berhentilah) Samana!"

Sang Buddha menjawab : "Saya sudah berhenti! Hentikan dirimu sendiri!"

Angulimala keheranan akan jawaban Sang Buddha dan bertanya : "Apa maksudMu?"

Sang Buddha menjawab :
"Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti, sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan."


Karena tumpukan karma baik Angulimala yang amat besar pada kehidupannya yang lampau, bahwa ia diberi tahu oleh Buddha Padumuttara, bahwa ia akan menjadi seorang Arahat. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang Arahat, setalah mendengar apa yang dikatakan oleh Sang Buddha, ia mengetahui bahwa pertapa mulia ini adalah Buddha Gotama yang karena cinta kasihNya yang amat besar datang untuk menolongnya.

Angulimala segera melemparkan untaian jari dan senjatanya, lalu bernamaskara di kaki Sang Buddha dan memohon untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sambil mengangkat tanganNya, Sang Buddha berkata :
"Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu)."

Dengan demikian Angulimala dapat menerima delapan kebutuhan pokok seorang bhikkhu pada saat yang bersamaan dan langsung menerima Upasampada, tanpa terlebih dahulu menjadi seorang samanera. Dengan disertai oleh Angulimala, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Sementara itu Raja Pasenadi Kosala didesak untuk menangkap perampok Angulimala. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menemui Sang Buddha apabila ada kejadian genting. Setalah Raja Pasenadi Kosala bernamaskara, lalu duduk di salah satu sisi, Sang Buddha bertanya :
"O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?"

Raja lalu menjelaskan masalah yang sedang dihadapinya, ia mengakui tidak dapat menangkap Angulimala si perampok yang haus darah itu. Sang Buddha lalu bertanya :
"Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?"

Raja menjawab :
"Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu."

Pada saat itu Bhikkhu Angulimala sedang duduk di dekat Sang Buddha. Beliau lalu berkata kepada raja :
"O, Raja, inilah Angulimala."

Raja Pasenadi Kosala menjadi ketakutan, badannya gemetar, rambutnya berdiri. Sang Buddha lalu menenangkannya dan berkata bahwa ia tidak perlu takut lagi, karena Angulimala telah menjadi seorang bhikkhu. Raja lalu mendekati Bhikkhu Angulimala dan menanyakan tentang orang tuanya, dan menawarkan untuk memenuhi semua kebutuhannya. Pada saat itu Bhikkhu Angulimala telah menjalani latihan hidup di hutan, berpindapatta, memakai jubah dari kain perca yang terdiri dari tiga bagian. Oleh karena itu ia menolak tawaran raja, karena ia sudah tidak memerlukannya lagi. Kemudian Raja Pasenadi Kosala memberi hormat kepada Bhikkhu Angulimala dan menyatakan keheranannya kepada Sang Buddha akan perubahan yang dialami oleh Bhikkhu Angulimala. Ia lalu pulang ke istana dengan hati yang bahagia.

Pada suatu hari, ketika Bhikkhu Angulima sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau melihat seorang wanita yang sangat kesakitan karena akan melahirkan. Beliau melihat penderitaan wanita itu, tergerak hatinya, lalu berpikir :
"Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!"

Beliau yang pernah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang, sekarang merasa amat kasihan melihat seorang wanita menderita kesakitan karena akan melahirkan. Ketika Beliau selesai berpindapatta dan makan pagi, Beliau pergi ke vihara menemui Sang Buddha dan menyampaikan apa yang dilihatnya. Sang Buddha lalu meminta Bhikkhu Angulimala pergi menemui wanita itu dan berkata :
"Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak sadar, dengan sengaja telah membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak anda selamat."

Beliau lalu pergi menemui wanita yang akan melahirkan bayinya. Layar penyekat diletakkan melingkari sang ibu, Bhikkhu Angulimala duduk dan mengulang Paritta yang diajarkan Sang Buddha. Segera saja bayi tersebut lahir dengan mudah dan selamat. (Kemanjuran Paritta Angulimala Sutta ini masih terbukti hingga saat ini).

Tidak lama kemudian, Bhikkhu Angulimala mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Pada suatu hari, ketika Yang Mulia Angulimala sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau dilempari bongkahan tanah, tongkat dan batu. Kepalanya terluka, bercucuran darah dan mangkokNya pecah. Beliau pulang kembali ke vihara dan mendekati Sang Buddha yang sedang duduk. Sang Buddha yang melihat keadaanNya lalu menjelaskan, bahwa semua kejadian ini adalah akibat dari perbuatan burukNya, yang sesungguhnya dapat membuatNya menderita di Alam Neraka selama ribuan tahun.

Sekarang Yang Mulia Angulimala hidup menyendiri, menikmati Kebahagiaan dari Kebebasan, mengucapkan pernyataan-pernyataan Kebijaksanaan, meninggal dunia dan mencapai Nibbana.

Para bhikkhu membicarakan tempat kelahiran kembali dari Yang Mulia Angulimala, Sang Buddha memberitahu mereka, bahwa Beliau telah mencapai Nibbana. Para bhikkhu keheranan, bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan begitu banyak pembunuhan dapat mencapai Nibbana. Sang Buddha menjawab bahwa pada masa yang lampau, karena bimbingan yang kurang baik, Angulimala telah melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun kemudian ketika Beliau mendapat bimbingan yang baik, Beliau menjalani kehidupan suci. Dengan demikian Beliau dapat mengatasi perbuatan buruk dengan perbuatan baiknya. Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair :

"Mereka yang dapat mengatasi perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, menyinari dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada 173).


Paritta Angulimala

Yatoham bhagini ariyaya
Jatiya jato
Nibhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa.

Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingin dengan sengaja pernah membunuh suatu makhluk hidup apa pun
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga anda selamat
Semoga bayi dalam kandungan anda selamat.

Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Wanita Pengemis yang Memberikan Pakaian

Pada suatu ketika Sang Bhagawan berdiam di Sravasti di biara Jetavana Taman Anathapindika, membabarkan Dhamma kepada kumpulan besar bhikkhu. Pada saat itu lahirlah seorang anak perempuan dari istri perumah tangga yang menarik dan cantik. Karena pada saat lahir, anak tersebut dibungkus dengan kain putih halus, orangtuanya, terkejut, membawa dia ke peramal.

Peramal itu mengamati anak kecil dan berkata, "Anak perempuan ini diberkahi dengan kebajikan yang besar."

Dan memberinya nama Suci. Seiring dengan pertumbuhannya,pakaiannya juga ikut membesar mengikuti ukuran tubuhnya.

Setelah anak perempuan ini dewasa, banyak yang meminangnya,dan orang tuanya mencari emas dan perak untuk hiasan perkawinannya.

Melihat ini, anak perempuan itu berkata, "Ayah dan ibu, apa yang akan kalian lakukan dengan semua emas dan perak ini?"

Ketika diberitahu bahwa itu akan dibawa ke tukang emas untuk membuat hiasan pernikahannya, dia berkata, "Saya tidak memiliki keinginan untuk menikah, saya tidak berharap untuk berumah tangga."

Orang tuanya menyetujui keinginan anak perempuan ini dan mengemas pakaiannya yang dipersiapkan untuk jubah biara.

Ketika anak perempuan bertanya apa tujuan pakaian itu dan mereka memberitahunya bahwa itu untuk jubah, dia berkata,"Saya memiliki sebuah jubah. Tidak perlu lagi jubah yang lain. Bawalah aku sekarang kepada Buddha, saya mohon kepada kalian."

Ketika orang tuanya mengantarkan dia ke Buddha, dia bersujud di kakiNya dan memohon untuk mendekat. Ketika Bhagava berkata, "Selamat Datang."
Rambutnya rontok semua dan jubah putih yang dia kenakan menjadi jubah dengan 5 bagian. Anak perempuan itu menjadi seorang pemula dan ditempatkan di bawah bimbingan Mahaprajapati. Karena ia sangat rajin, dalam waktu singkat dia menjadi seorang Arahat.

Ananda berkata kepada Buddha,"Bhagava, perbuatan bajik apa yang telah dilakukan Bhikkhuni ini sehingga ia dilahirkan dengan sebuah pakaian putih dalam rumah seorang perumah tangga, begitu cepat menjadi seorang Arahat?"

Buddha berkata, "Ananda, dimasa lampau, ketika Buddha yang bernama Pelindung Kebajikan dan murid-muridnya datang ke bumi untuk memberikan berkah kepada semua makhluk, semua orang membuat persembahan yang besar.

Pada saat itu, demi kepentingan banyak makhluk dan memperdengarkan Dharma, seorang bhikkhu berusaha mendorong orang lain untuk memberikan persembahan.

Pada saat itu ada seorang pengemis wanita yang bernama Daniska yang bersama suaminya hanya memiliki sepotong baju untuk pakaian mereka. Ketika sang suami pergi untuk mengemis, dia menggunakan pakaian itu dan sang istri berbaring, kemudian menutupi tubuhnya dengan rumput.

Ketika sang istri pergi keluar untuk mengemis, dia yang menggunakan baju itu sedangkan suaminya berbaring, kemudian menutupi tubuhnya dengan rumput.
Di suatu kejadian, seorang bhikkhu menghampiri rumah pasangan itu dan, melihat wanita itu, berkata, “Oh wanita,pergilah untuk memberi hormat kepada Buddha! Dapatkanlah kebajikan!”

Dia kemudian memuji kebajikan dari memuji, menolak ketamakan, dan melanjutkan, “Oh wanita, untuk bertemu dengan seorang Buddha di bumi adalah tidak mudah. Untuk memperoleh tubuh manusia adalah tidak mudah.

Mengapa kamu tidak memberikan penghormatan kepada Buddha?”
Wanita itu berkata, “Bhante muda, tunggulah disini sebentar,
saya akan masuk sebentar dan kembali lagi.”

Memasuki rumah, ia berkata kepada suaminya, “Seorang bhikkhu ada di depan pintu kita. Dia berkata bahwa seseorang seharusnya pergi menghormati Buddha mendengar Dhamma, dan memberikan persembahan.

Di kehidupan sebelumnya, kita tidak murah hati, dan ini adalah alasan mengapa kita sekarang menjadi pengemis. Kita harus membuat persediaan untuk kehidupan selanjutnya.”Sang suami menjawab, “Kita harus, benar-benar,memberikan persembahan, tapi karena kita adalah pengemis dan tidak memiliki apapun, apa yang dapat kita berikan?”

Wanita itu menjawab, “Jika benar bahwa kita tidak pernah memberikan apapun pada kehidupan sebelumnya sehingga kita menjadi pengemis, jika kita tidak memberikan apapun sekarang, apa yang akan menjadi takdir kita di kehidupan selanjutnya? Saya harus memberikan sesuatu dan engkau harus bahagia.”

Pria itu mengetahui bahwa hanya ada satu barang yang bisa diberikan, tetapi berkata, “Jika kamu memiliki sesuatu untuk diberikan, berikanlah. Tetapi kita tidak memiliki apapun untuk dipakai ketika kita pergi mengemis, dan mengemis adalah jalan kita satu-satunya untuk hidup.”

Wanita itu berkata, “Jika kita memberikan pakaian itu dan kemudian meninggal, apa ruginya? Pada kehidupan sekarang, kita tidak memiliki apapun, dan akan ada buah baik pada kehidupan selanjutnya. Saya berpikir jika kita memberikan persembahan ini dan meninggal, kita akan beruntung.”

Sang suami ragu-ragu untuk melakukan hal ini, tetapi berkata, “Baik, lakukanlah apa yang kau inginkan.”Wanita itu segera pergi menghadap bhikkhu dan berkata kepadanya, “Bhante, jangan melihat kearah saya. Saya akan memberikan sebuah persembahan.” Bhante itu menjawab, “Ketika seseorang memberikan persembahan, itu harus diberikan secara terbuka dengan tangannya. Jika kamu melakukan hal ini saya akan memberkati kamu dengan sebuah syair.”Wanita itu berkata, “Saya hanya memiliki pakaian ini yang menutupi tubuhku dan ini akan menjadi persembahanku.

Bagaimana engkau seorang bhikkhu yang mulia, melihat tubuh kotorku ini? Saya akan memberikan kepadamu dari dalam rumah.”

Ia masuk kedalam rumah, melepaskan pakaiannya dan memberikannya kepada bhikkhu yang mengambil pakaian itu, memberikan wanita itu berkah, dan pergi kepada Buddha.

Buddha berkata, “Pakaian ini diberikan oleh seorang wanita.”Ketika bhikkhu telah mempersembahkan pakaian itu kepada Buddha dan dia mengambil di tangannya, kumpulan orang-orang itu berpikir, “Seorang Raja seharusnya tidak pernah memegang kain yang tua dan kotor dengan tangannya.”

Mengetahui pikiran mereka, Buddha berkata, “Tidak pernah ada sebelumnya persembahan kepada Sangha yang lebih murni daripada ini.”

Oleh karena itu, orang-orang terkejut. Istri raja, kemudian,melepaskan jubahnya dan permata dan memberikannya kepada wanita pengemis itu. Sang raja juga mengirimkan permata kepada pengemis itu dan memerintahkan dia dan istrinya untuk bergabung dalam perkumpulan tersebut.

Ketika Buddha Sang Pelindung, Sang Penolong, telah mengajarkan Dharma Sempurna, banyak diantara mereka yang hadir terbebaskan.”

Kemudian Buddha berkata kepada Ananda, "Ananda,bhikkhuni suci ini pada saat itu adalah wanita pengemis. Karena ia memberikan, sepotong pakaian, dalam keyakinan yang besar, dia terlahir dengan menggunakan pakaian dan diberkahi harta benda selama 61 kalpa. Karena dia meminta Dharma Sempurna dan Kebahagiaan dari Kebebasan, dia sekarang bertemu saya dan mencapai tingkat kesucian Arahat. Kalian semua, oleh karena itu, mendengarkan Dharma dan berusaha untuk memberikan persembahan."

Ketika perkumpulan orang itu telah mendengar kata-kataBuddha, mereka percaya dan bersuka cita.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline gryn tea

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.203
  • Reputasi: 34
  • Gender: Female
  • SABBE SANKHARA ANICCA
Yg perdebatan ama org skeptik dunk
Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tdk b'manfaat kata-kata mutiara yg diucapkan oleh org yg tdk melaksanakannya

Offline gryn tea

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.203
  • Reputasi: 34
  • Gender: Female
  • SABBE SANKHARA ANICCA
Izin copas
Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tdk b'manfaat kata-kata mutiara yg diucapkan oleh org yg tdk melaksanakannya

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Yg perdebatan ama org skeptik dunk

kisah apa ya itu? saya malah belum punya dan baca kisahnya, silahkan diposting di thread ini saja kalau anda punya :)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
PAYASI SUTTA

Sumber: Aneka Sutta - Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992


bagian 1

Pada suatu Ketika, Ayasma Kumara Kassapa Sedang mengembara dari kota ke kota di negara Kosala, dengan diiringi lima ratus orang bhikkhu, dan tibalah mereka di sebuah hutan dekat kota Setavya. Di kota Setavya juga bertempat tinggal seorang raja muda, panglima perang, yang bernama Payasi. Payasi ini menganut pandangan (keliru) sebagai berikut :

"Tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir secara spontan (opapatiko), tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk."

Ketika mendengar bahwa Ayasma Kassapa berdiam di hutan dekat kota Setavya, Payasi memutuskan untuk pergi menjumpainya. Setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, Payasi lalu memberitahukan Ayasma Kassapa tentang pandangannya yang sudah dikenal oleh khalayak ramai.

Ayasma Kassapa menjawab : "Akupun sudah mendengar tentang hal itu. Tetapi bagaimanakah orang dapat mempunyai pandangan seperti itu? Apakah anda mungkin mempunyai alasan-alasan tertentu?"

"Memang demikian halnya," jawab Payasi, dan kemudian melanjutkan : "Kawan-kawanku, keluargaku dan saudara-saudaraku yang biasa membunuh, mengambil barang-barang yang tidak diberikan (mencuri), pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, pada suatu hari sakit payah dan sangat menderita. Ketika aku mendengar ajalnya akan segera tiba, aku memerlukan menjenguknya untuk menitipkan pesan : 'Saudaraku yang tercinta. Para pertapa dan bhikkhu percaya bahwa siapa yang suka membunuh, mencuri, melakukan perbuatan asusila, berdusta, memfitnah, suka bertengkar dan berbicara hal-hal yang tidak berguna, pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin; kalau kelak mereka meninggal dunia dan badan jasmaninya hancur, roh mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Dan begitu pulalah kehidupan saudaraku. Kalau sekiranya ucapan para pertapa dan bhikkhu itu benar dan saudaraku betul-betul masuk ke dalam neraka, aku mohon dengan sangat agar saudaraku mau kembali lagi ke dunia untuk memberi kabar kepadaku : 'Memang benar ada dunia lain,...'

Saudaraku yang tercinta. Aku percaya penuh kepada Anda; apa yang Anda lihat sama juga seperti aku melihatnya sendiri. Mohon dengan sangat agar harapanku tidak sia-sia hendaknya. Dengan kata-kata : 'Tentu saja tidak', ia dengan khikmat berjanji kepadaku. Tetapi kenyataannya tidak seorangpun pernah kembali untuk memberi kabar kepadaku. Inilah salah satu sebab yang memperkuat pandanganku."
Setelah mendengar uraian tersebut, Ayasma Kassapa lalu menceritakan satu perumpamaan tentang penjahat dan algojonya.

"O, Payasi, andaikata pada suatu hari seorang penjahat dibawa kehadapan Anda dan Anda diminta untuk mengadilinya; dan Anda memerintahkan agar penjahat itu dipenggal lehernya sekarang juga. Andaikata penjahat itu memohon kepada algojo agar pelaksanaan hukuman ditunda dulu hingga ia sempat memberi kabar kepada kawan-kawannya dan keluarganya. Apakah menurut pendapat Anda, algojo itu mau menunda pelaksanaan hukuman orang itu ataukah ia segera melaksanakan hukuman mati tersebut?"

Payasi harus mengakui bahwa algojo pasti tidak mau meluluskan permohonan penjahat itu.
"Nah, Payasi yang terhormat. Kalau seorang penjahat tidak diberi ampun oleh algojo di dunia ini, apakah Anda mengira bahwa kawan-kawan Anda yang terdiri dari pembunuh, pencuri, orang cabul, pendusta, pemfitnah dan yang suka omong kosong, pikirannya penuh dengan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dapat diberi ampun?

Setelah meninggal dunia,  mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Di neraka mereka memohon kepada para algojo dengan kata : 'Mohon dengan hormat kepada Bapak Algojo agar sudi menunda dulu pelaksanaan hukuman kami hingga kami dapat memberi kabar kepada raja muda Payasi di dunia, bahwa setelah mati memang ada dunia lain (halus).' Apakah Anda berpendapat bahwa para algojo mau meluluskan permintaan mereka?"

Karena Payasi rupa-rupanya masih belum dapat diyakinkan, maka Ayasma Kassapa lalu menanyakan tentang kemungkinan masih ada sebab-sebab lain.Atas pertanyaan ini Payasi menceritakan, bahwa iapun mempunyai kawan dan sanak-keluarga yang belum pernah membunuh makhluk-makhluk hidup dan selalu melaksanakan tata hidup yang saleh dan terpuji.Kepada merekapun diminta untuk memberi kabar setelah mereka mati dan kelak masuk sorga. Tetapi mereka tidak pernah kembali atau kirim berita.

"Baiklah, Panglima yang terhormat. Sekarang aku ingin menceritakan sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari suatu kotbah.

Andaikata ada orang yang terjatuh ke dalam jamban dan Anda memerintahkan budak Anda untuk menariknya keluar dari jamban tersebut. Lalu orang itu disikat dan dicuci bersih, kemudian disiram tiga kali dengan minyak wangi, rambut serta janggutnya disisir rapi, diberi pakaian bagus dan dibawa ke sebuah istana di mana ia dapat menikmati kesenangan dari kelima indriyanya.
Sekarang aku ingin bertanya : Apakah orang itu ingin kembali ke dalam jamban? Mengapa tidak? Jamban adalah kotor dan berbau busuk, memualkan, mengerikan dan memperlihatkan perbedaan seorang manusia biasa dari seorang dewa.

O, Payasi yang baik. Dari jarak seratus mil bau seorang manusia dapat mengusir para dewa. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Anda yang menyukai kehidupan saleh dan sekarang masuk ke sorga, ingin kembali ke dunia untuk memberi kabar kepada Anda : 'Memang benar terdapat suatu dunia lain (halus), memang benar terdapat tumimbal lahir spontan ...."

"Selain dari itu", Ayasma Kassapa melanjutkan : "kalau kita di dunia ini satu abad, di alam sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa berarti satu hari satu malam. Tiga puluh malam demikian itu merupakan satu bulan, dua belas bulan merupakan satu tahun; dan kehidupan di alam Tigapuluh Tiga Dewa tersebut berlangsung selama seribu tahun yang demikian itu.

Nah, kawan-kawan serta sanak keluarga Anda yang tidak pernah membunuh makhluk hidup, tidak pernah berdusta, ... setelah badan jasmani mereka hancur pasti masuk ke alam sorga.

Andaikata mereka berpikir : 'Setelah kami berdiam di alam sorga ini untuk dua atau tiga hari dan menikmati dulu kesenangan kelima indriya kami, maka kami baru kembali ke dunia untuk memberitahukan Payasi bahwa memang benar terdapat sebuah dunia lain (halus), bahwa tumimbal lahir spontan memang benar adanya dan menanam bibit serta memetik buahnya (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya merupakan kenyataan.' Apakah mereka dapat melaksanakan apa yang mereka pikir?"

"Tentu saja tidak", jawab Payasi, "sebab kami semua pasti sudah meninggal dunia. Tetapi, Ayasma Kassapa, siapakah yang memberitahukan Anda tentang adanya alam dari Tigapuluh Tiga Dewa dan bahwa mereka dapat hidup sampai sekian lama? Aku menyesal harus tidak percaya apa yang Anda katakan."

Ayasma Kassapa lalu menjawab ; "O, Payasi, Anda mirip dengan seorang yang sejak lahir buta matanya, seorang yang tidak dapat melihat benda-benda yang berwarna hitam, putih, biru, kuning, merah atau hijau; tidak dapat melihat apa yang sama dan apa yang tidak sama; tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Orang itu kemudian berkata :'Aku tidak tahu tentang hal itu; aku tidak melihat apa-apa, karena itu benda-benda tersebut tidak mungkin ada.'

Cobalah Anda pikir, apakah orang buta yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, mengatakan sesuatu yang benar?"
"Tentu saja tidak", jawab Payasi.

"Nah, demikianlah sebenarnya keadaan Anda, Payasi yang terhormat. Anda mirip dengan seorang yang sejak dilahirkan buta matanya. Ketahuilah bahwa alam halus tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Para pertapa dan bhikkhu yang hidup menyepi dan melakukan meditasi untuk waktu yang lama, telah melatih mata batin mereka sehingga dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan mata batin mereka dapat melihat dunia ini dan juga alam halus dan mereka yang bertumimbal lahir secara spontan.

Payasi masih saja belum dapat diyakinkan dan memberi bantahan baru, bahwa melihat para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan selalu mempunyai itikad baik; tetapi mereka memilih untuk tetap hidup dan tidak ingin cepat-cepat mati. Mereka tetap ingin menikmati hidup dan membenci kematian. Karena itu aku berkata kepada diriku : "Kalau saja para pertapa dan para bhikkhu yang terhormat itu benar-benar tahu bahwa keadaan mereka setelah mati akan menjadi lebih baik, maka pastilah sekarang juga mereka akan minum racun atau membunuh diri dengan menggunakan senjata tajam atau menggantung diri atau menjatuhkan diri mereka dari atas batu karang yang tinggi. Tetapi justru karena sangsi, apakah mereka kelak setelah mati dapat masuk sorga, maka mereka memilih untuk hidup lebih lama dalam dunia ini dan tidak ingin cepat mati; mereka memilih hidup senang dan mengelakkan penderitaan."

Inilah sebab lain lagi, sehingga aku percaya bahwa dunia halus tidak ada dan tumimbal lahir secara spontan tidak ada,..."
Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah perumpamaan dari seorang yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama mempunyai anak laki-laki berumur duabelas tahun, sedang istri kedua sedang hamil ketika suaminya meninggal dunia.

Setelah ayahnya meninggal dunia, anak laki-laki itu menagih warisan kepada istri kedua dari mendiang ayahnya. Atas tagihan ini istri kedua mohon ditunda dulu sampai bayi yang sedang dikandungnya itu lahir. Kalau bayi itu seorang anak laki-laki, maka bayi laki-laki itu berhak atas sebagian warisan ayahnya. Kalau bayi itu perempuan, maka warisan itu seluruhnya akan menjadi milik si anak laki-laki dari istri pertama. Tetapi si anak laki-laki itu tak sabar menanti dan terus-menerus mendesak. Karena kesal, istri kedua itu lalu masuk ke kamarnya dan membedah perutnya sendiri untuk melihat apakah bayi yang sedang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian tentu saja ia kehilangan nyawa bayinya, kehilangan nyawanya sendiri dan kehilangan bagian dari warisan mendiang suaminya.

Dengan cara yang sama, Payasi yang terhormat, Anda akan mengalami malapetaka hanya karena keingintahuan Anda tentang alam halus. Para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan mempunyai itikad baik tidak akan memetik buah yang belum matang. Lagi pula, lebih lama mereka hidup di dunia ini, lebih banyak dapat mereka manfaatkan hidup mereka untuk kepentingan para manusia dan para dewa. Ini merupakan bukti pula, Payasi, bahwa memang terdapat dunia lain..."
Namun Payasi masih mempunyai alasan lain untuk membela pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ia pernah menyuruh membakar seorang penjahat sampai mati dalam sebuah tempayan besar yang ditutup rapat dan disegel. Sesudah itu dengan hati-hati ia menyuruh buka tempayan itu, tetapi tidak ada roh yang tampak keluar dari tempayan tersebut.

bersambung ke bagian 2..
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
bagian 2..

Ayasma Kassapa lalu bertanya kepada Payasi apakah ia pernah mimpi waktu tidur.
"Sering", jawab Payasi. "Siang hari ini aku mimpi tentang sebuah taman yang indah, juga sebuah hutan dengan pemandangan alam yang menarik dan laut yang tenang."

"Akan tetapi", Ayasma Kassapa bertanya : "Apakah Anda ketika itu dijaga oleh badut-badut istana, orang-orang kerdil istana, dayang-dayang yang ditugaskan untuk mengipas dan gadis-gadis lain? Apakah mereka tidak melihat roh Anda keluar dari badan Anda? Demikian pula, mana mungkin Anda dapat melihat roh yang masuk dan keluar dari orang yang sudah mati?"

Tetapi Payasi masih memiliki alasan lain untuk membenarkan pandangannya. Ia pernah menyuruh untuk menimbang seorang penjahat ketika masih hidup dan kemudian memerintahkan para algojo untuk menjirat leher penjahat itu sampai mati. Setelah mati mayatnya kembali ditimbang. Dan ternyata bahwa ketika masih hidup timbangannya lebih ringan dibandingkan dengan ketika sudah menjadi mayat. Karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang, bahkan rohpun tidak.

Ayasma Kassapa lalu membuktikan, bahwa jalan pikiran yang demikian itu salah dengan menuturkan cerita tentang sebuah bola besi.
"Bila sebuah bola besi dibakar sampai membara, maka timbangannya akan berkurang dibandingkan ketika masih belum dibakar. Begitu pula bila seorang manusia masih hidup, masih berhawa panas dan memiliki kesadaran, ia akan lemas dan lebih ringan daripada sesosok tubuh manusia yang mati, dingin dan tidak memiliki kesadaran lagi. Tubuh ini akan menjadi kaku dan berat."

Payasi lalu bercerita tentang suatu percobaan lain.
Seorang penjahat dihukum mati tanpa merusak kulit, daging dan tulang atau sumsum. Setelah orang itu mati, Payasi memerintahkan orang-orangnya untuk membaringkan mayat itu terlentang lalu menelungkup, miring, dan ditaruh dengan kepala di bawah. Setelah itu digosok-gosok, dipukul dengan batu, disikat dengan kayu lalu dengan pisau. Namun yang hadir tak dapat melihat ada roh yang keluar dari mayat itu.

Ayasma Kassapa lalu menceritakan sebuah kisah dari seorang peniup suling keong yang mengembara ke suatu negara asing, di mana para penduduknya belum pernah melihat orang meniup suling keong. Ia meniup tiga kali lalu meletakkan keong itu disampingnya. Penduduk setempat berduyun-duyun datang untuk melihat keong tersebut. Mereka miringkan keong itu ke kiri, kemudian ke kanan; mereka menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengocok-ngocok, tetapi tidak ada suara yang keluar dari keong tersebut.
Akhirnya dengan tertawa peniup suling itu mengambil keong tersebut dan meniup tiga kali. Para penduduk setempat sekarang tahu bahwa hanya dengan ditiup keong itu dapat mengeluarkan suara.

Demikian pula halnya dengan tubuh manusia. Digabung dengan kehidupan, digabung dengan hawa panas, digabung dengan kesadaran, tubuh seorang manusia dapat berjalan, berdiri, duduk, berbaring, melihat bentuk-bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium wewangian dengan hidung, menyentuh dengan jari tangan serta merasakan benda-benda dengan badan dan dapat mengerti paham dengan pikiran. Tetapi kalau tubuh kosong dari kehidupan, hawanya tidak lagi panas dan tidak lagi bergabung dengan kesadaran, maka tubuh itu tidak lagi dapat berjalan, berdiri.... Ini merupakan bukti pula untuk Anda, bahwa seyogyanya Anda harus percaya bahwa ada dunia lain...

Sekali lagi Payasi menceritakan Ayasma Kassapa tentang percobaan lain yang ia lakukan untuk menemukan roh manusia.
Ia memerintahkan membedah seorang penjahat dengan cara memotong kulitnya, dagingnya, tulangnya dan sumsumnya, tetapi lagi-lagi tidak dapat ditemukan roh yang dicari.

Dalam hubungan ini Ayasma Kassapa menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang pemuja api yang telah memungut seorang anak yatim piatu yang ditinggal dari sebuah kafilah. Ketika anak itu berumur duabelas tahun, pemuja api itu (yang juga seorang pertapa) ingin berkelana untuk beberapa waktu lamanya. Ia memesan kepada anak itu untuk menjaga api baik-baik dan jangan sampai padam. Tetapi kalau padam ia harus menyalakan kembali dengan menggosok-gosok dua batang kayu terus-menerus hingga keluar api.

Ketika pertapa itu sudah pergi, anak itu sepanjang hari terus-menerus bermain, sehingga api pujaan benar-benar padam. Anak itu ingat apa yang dikatakan ayah angkatnya, tetapi lupa cara menggunakan alat pembangkit api tersebut. Batang kayu itu dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian ditumbuk dalam sebuah lumpang. Tentu saja dengan cara itu ia tidak dapat menyalakan api. Ketika ayah angkatnya pulang dan melihat api pemujaan padam, ia lalu mengambil dua batang kayu dan digosok-gosok terus-menerus hingga panas dan akhirnya keluar api.

"O, Payasi, dalam hal yang sama adalah bodoh untuk mencari dunia halus dengan memakai cara yang salah seperti yang Anda lakukan hingga kini. O, Payasi, lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda tidak tertimpa malapetaka dan penderitaan."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan tersebut. Raja Pasenadi dari Kosala dan semua raja tahu, bahwa Payasi memiliki pandangan tersebut. Yaitu, bahwa tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir dengan spontan dan tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Kalau sekarang aku melepaskan pandangan tersebut, tentu saja mereka akan berkata : 'Sungguh bodoh Payasi itu dan ia sangat bebal untuk diberi pengertian. Untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaan (gengsi) dan sebagai tipu daya aku akan terus menerus menganut pandanganku tersebut."

"Kalau demikian halnya", berkata Ayasma Kassapa, "aku akan menceritakan lagi sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dengan jelas dapat melihat arti dari suatu persoalan.

Pada suatu ketika sebuah kafilah yang terdiri dari seribu kereta melakukan perjalanan dari negara Timur ke negara Barat. Dimanapun mereka tiba, biasanya rumput, air, rumput kering dan makanan habis terkuras. Karena itu mereka memutuskan untuk memecah kafilah mereka menjadi dua rombongan dari lima ratus buah kereta yang masing-masing dikepalai seorang kepala rombongan.

Kafilah pertama berangkat lebih dulu dengan membawa cukup bekal rumput, air, rumput kering dan makanan. Baru saja berjalan beberapa hari lamanya mereka bertemu dengan hantu jahat yang menyamar sebagai manusia. Kulitnya hitam, matanya merah, rambutnya awut-awutan dan dihias dengan bunga lotus. Pakaiannya basah dan ia mengendarai sebuah kereta bagus yang roda-rodanya basah dan penuh lumpur. Ketika ditanya dari mana ia datang, ia menjawab dalam perjalanan dilanda hujan lebat. Jalanan menjadi berlumpur dan rumput, kayu serta air dapat dijumpai dalam jumlah yang berlimpah-limpah. Pemimpin kafilah itu lalu memerintahkan untuk membuang semua persediaan rumput, kayu dan air, agar dapat berjalan lebih cepat karena lebih ringan. Mereka melanjutkan perjalanan satu hari, dua hari ... hingga enam hari. Tetapi mereka gagal menemui rumput, kayu atau air, sehingga pada hari ketujuh semuanya mati karena kehausan.

Hantu jahat lalu datang makan daging mereka, sehingga dari mayat-mayat orang dan binatang yang tertinggal hanya tulang-belulang saja.
Beberapa hari kemudian, kafilah kedua berangkat dengan membawa bekal rumput, kayu dan rumput kering dengan cukup. Baru berjalan beberapa hari, hantu jahat yang sama, dengan menyamar sebagai manusia, kembali mencegat perjalanan kafilah yang kedua dan menuturkan kisah yang sama. Kemudian ia membujuk agar semua persediaan rumput, kayu dan air dibuang saja. Tetapi pemimpin rombongan kafilah kedua ini adalah seorang cerdas dan berpengetahuan luas yang tidak begitu saja mau percaya omongan orang yang tidak dikenal. Ia memerintahkan melanjutkan perjalanan dan jangan membuang persediaan kayu, rumput dan air. Pada hari ketujuh mereka menjumpai reruntuk serta tulang-belulang dari kafilah yang pertama. Pemimpin rombongan lalu berkata : 'Kafilah ini telah musnah, karena kebodohan dari pemimpinnya. Sekarang tukarlah barang-barang yang kurang berharga dari keretamu dengan barang-barang yang lebih berharga yang dapat diketemukan dari kafilah pertama dan kemudian marilah kita lanjutkan perjalanan kita.'

Akhirnya tibalah mereka dengan selamat di tempat tujuan berkat pemimpin mereka yang pintar dan berpengetahuan luas. Begitu pulalah, Payasi, sebagaimana juga pemimpin rombongan kafilah pertama Anda akan hancur dengan mencari dunia lain (halus) dengan memakai cara yang salah. Lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda kelak tidak mengalami celaka."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak mau melepaskan pandanganku tersebut untuk menjaga kewibawaan dan mencegah cemooh orang dan sebagai tipu daya", jawab Payasi.

Lalu Ayasma Kassapa menceritakan lagi sebuah perumpamaan dari seorang peternak babi yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sebuah kampung lain melihat timbunan besar kotoran yang sudah kering. Ia berpikir : "Kotoran ini merupakan makanan yang baik untuk babi-babiku." Kemudian ia membuat bungkusan besar dari kotoran kering tersebut dan dipikul di pundak untuk dibawa pulang. Tetapi dalam perjalanan pulang ia ditimpa hujan lebat, sehingga ketika tiba di rumah pakaian dan badannya basah kuyup dan berlumuran kotoran. Orang kampung yang melihat kejadian tersebut mentertawakan peternak itu atas ketololannya.
Peternak babi itu dengan marah menjawab : "Kamu sendiri yang tolol. Kotoran itu merupakan makanan baik untuk babiku!"

"Dalam hal yang sama Anda mirip dengan orang yang memikul kotoran itu, Payasi."
Tetapi Payasi tetap tidak mau melepaskan pandangannya yang keliru untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaannya dan sebagai tipu daya.

Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah kisah tentang dua orang pemain dadu. Salah seorang pemain setiap kali sebelum bermain memasukkan biji dadu ke dalam mulutnya dan ia selalu menang. Karena itu pemain kedua berkata kepadanya : "Kamu selalu menang. Marilah sekarang kita saling tukar biji dadu dulu."
Biji-biji dadu mereka ditukar. Pemain kedua lalu mengoleskan racun pada biji dadu tersebut. Kemudian mengajak mengajak pemain pertama untuk bermain dadu lagi. Biji-biji dadu mereka kembali ditukar. Seperti biasa ia memasukkan biji dadu itu sebelum bermain ke dalam mulutnya; dan tentu saja ia mati keracunan.

"Nah, Anda mirip dengan pemain dadu tersebut. Lepaskanlah pandangan keliru Anda, sehingga Anda kelak tidak mengalami celaka."
Tetapi Payasi tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga Ayasma Kassapa terpaksa menuturkan sebuah perumpamaan lagi.

Karena sesuatu sebab, pada suatu hari seluruh penduduk dari sebuah kampung pergi mengungsi. Seorang penduduk kampung lain berkata kepada kawannya : "Hai kawan, mari kita mengunjungi kampung tersebut. Barangkali saja kita akan menemukan sesuatu yang berharga tertinggal di sana." Berangkatlah kedua kawan tersebut ke kampung yang telah kosong itu. Di sana mereka menemukan setumpuk rami. Mereka masing-masing lalu membuat dua ikatan besar, masing-masing memikul sebuah ikatan dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka menemukan tumpukan kulit kayu. Orang yang pertama mengatakan kepada kawannya : "Hai, kawan, lebih baik kita buang saja ikatan rami yang kita bawa sekarang dan menukarnya dengan kulit kayu ini yang lebih berharga." Tetapi kawannya menjawab, bahwa ia sudah puas dengan ikatan rami dan tidak ingin menukarnya dengan kulit kayu. Setelah itu mereka menemukan kemeja-kemeja berbulu, kemudia kain linnen. Seterusnya mereka menemukan timah putih, tembaga, perak dan akhirnya emas. Setiap kali orang yang pertama menukar bawaannya dengan yang lebih berharga, hanya kawannya dengan kukuh tetap saja memikul ikatan rami.

Akhirnya mereka tiba kembali di kampung tempat tinggal mereka. Orang yang memikul rami tidak disambut oleh istri, anak-anak dan kawan-kawan sekampung. Sebaliknya kawannya yang membawa pulang emas disambut dengan meriah oleh istrinya, anak-anaknya dan kawan-kawan sekampung, sehingga ia merasa bahagia sekali.

"O, Payasi, Anda mirip dengan si keras kepala yang memikul terus ikatan rami. Lepaskanlah pandangan Anda yang keliru dan janganlah menunggu ia kelak mengakibatkan Anda celaka!"

Akhirnya Payasi mengaku, bahwa sejak mendengar perumpamaan pertama ia sudah merasa gembira dan mengerti, namun ia ingin mendengar lebih banyak penjelasan dan keterangan. Karena itulah ia bersikeras dan tetap ingin berdebat dengan Ayasma Kassapa.

"Mengagumkan, Bhante, mengagumkan sekali! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : 'Siapa yang punya mata, silakan melihat.' Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Bhante. Karena itu aku ingin mencari perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mohon Bhante berkenan menerima diriku sebagai siswa mulai hari ini hingga meninggal dunia. Mohon dengan hormat Bhante memberikan petunjuk kepadaku yang dapat digunakan untuk kesejahteraan dan keselamatanku."
Ayasma Kassapa lalu meberikan petunjuknya.

"Apabila persembahan (dana) diberikan dengan jalan membunuh sapi, kambing, babi dan mahkluk-mahkluk lain, dan para pemberi dana masih dihinggapi pandangan salah dan pikiran salah, mengucapkan kata-kata salah, melakukan perbuatan dan mempunyai mata pencaharian salah, maka dana itu tidak bernilai tinggi, tak dapat membawa kemajuan apa-apa, tidak cemerlang dan tidak bercahaya. Seperti juga halnya seorang petani, dengan membawa bibit dan luku, ingin menanam sesuatu di tanah buruk yang belum dibersihkan dari belukar berduri dan akar-akar. Kalau bibit itu kelak menjadi kering oleh hembusan angin dan teriknya sinar matahari, sedang hujan tidak kunjung turun untuk menyiram tanah yang kering itu. Apakah mungkin bibit itu dapat bersemi dan menjadi besar?"

"Tidak mungkin, Bhante."

"Sebaliknya, Payasi. Apabila persembahan (dana) diberikan dengan tidak membunuh binatang-binatang dan para pemberi dana memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar; persembahan (dana) demikian itu membawa pahala besar sekali, bercahaya, cemerlang dan bersinar hingga jauh. Kalau seorang petani menanam bibit di tanah subur dan hujan sewaktu-waktu turun, apakah bibit itu akan bersemi dan dapat menjadi besar kelak? Dan apakah Pak Tani itu tidak akan mendapat panen yang baik?"

Payasi, setelah pandangan kelirunya diluruskan oleh Ayasma Kassapa, setelah wafat masuk dalam alam sorga dari Empat Raja Dewa.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

[Dhammapada IV : 50] - Puppha Vagga
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.

[Dhammapada IX : 127] - Papa Vagga


Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

[Dhammapada XII : 165] - Atta Vagga


Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).

[Dhammapada XIII : 178] - Loka Vagga
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

 

anything