Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Buddhisme dan Kehidupan => Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film => Topic started by: ryu on 30 November 2008, 05:56:32 AM

Title: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 05:56:32 AM
Teori

ALAM SEMESTA

   1.      Dapat dikatakan, hampir setiap agama memiliki mitos yang mencoba menerangkan asal dan segi-segi alami dari alam semesta. Mesir kuno mempercayai bahwa Dewa Khnumm menciptakan alam-semesta kemudian membuat manusia dari tanah liat, lalu Dewi Hathor meniupkan hidup kepada mereka. Yunani kuno mempercayai, bahwa segala sesuatu dibuat oleh Oceanus, air yang pertama. Yahudi kuno serta kaum kr****n memiliki dua legenda penciptaan, keduanya tercatat di kitab Bible. Yang pertama mengatakan, bahwa Hebrew menciptakan alam semesta serta terang dan gelap pada hari pertama, air dan daratan kering pada hari ke dua, semua tumbuhan pada hari ke tiga, matahari dan bulan serta bintang-bintang pada hari ke empat, semua burung dan hewan pada hari ke lima, lalu laki-laki dan wanita pertama pada hari ke enam.*1 Legenda penciptaan yang ke dua menyebutkan bahwa Tuhan membuat bumi, lalu laki-laki pertama, lalu tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, lalu terakhir seorang wanita.*2 Cina kuno mempercayai P'an Ku memahat alam-semesta yang sebelumnya berantakan, setelah mati tulangnya berubah menjadi bukit, dagingnya menjadi tanah, giginya menjadi kandungan logam dan seterusnya, keseluruhan kejadian itu berjalan selama 18.000 tahun. Pula, setiap agama mempunyai pemahaman yang berbeda menyangkut umur dan luas alam semesta, tapi kebanyakan masih dalam jangkauan manusia. Kitab Bible, misalnya menunjukkan bahwa alam semesta berumur beberapa ribu tahun. Sesuai pergantian zaman lalu mitos dan legenda, kemudian terganti oleh penelitian alam semesta ilmiah yang moderen.

   2.      Perkembangan dari Ilmu Fisika moderen saat ini telah sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta tidak berawal secara serentak. Alam semesta secara berkesinambungan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, terbentuk dan hancur, suatu proses tanpa awal dan akhir. Dengan sendirinya, bila dinyatakan, bahwa bila alam semesta berawal secara serentak, maka diperlukan energi awal yang terjadi dari sesuatu yang tidak ada, dan hal ini jelas bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan.
      Sang Buddha berpendapat, bahwa alam semesta, yang disebut Beliau sebagai Samsara, adalah tanpa awal. Beliau bersabda:

      Tidak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran ke kelahiran, terikat oleh ketidaktahuan dan keinginan, tidaklah dapat diketahui.

   3.      Para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikan besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai "big bang", yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sekali, lagi, Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:

      Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut ....... Tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi.

   4.      Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja asal dan sifat alami dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang, bahwa alam semesta terdiri dari sekian milyar bintang, planet, asteroid dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggeris: Milky Way). Bimasakti atau Milky Way terdiri atas kurang lebih 100 milyar bintang dengan jarak dari ujung ke ujung 60.000 tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di alam semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya terdiri dari ribuan galaksi.
      Dibalik kenyataan; bahwa tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi baru diketahui di dunia Barat setelah penemuan peralatan canggih; maka ternyata kitab suci Agama Buddha telah banyak menyebutkan hal tersebut ribuan tahun sebelumnya. Penganut agama Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah "cakkavala"; yang berasal dari kata "cakka", yang berarti cakram / roda. Sang Buddha secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuwan baru ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai sistim dunia (lokadhatu) dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim dunia ribuan-lipat, sistim dunia puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistim dunia terdiri dari ribuan matahari dan planet, walau sebenarnya oleh para ahli astronomi menyebutnya sebagai jutaan.

      Sejauh matahari-matahari dan bulan-bulan berputar, bersinar dan memancarkan sinarnya ke angkasa, sejauh itu pula sistim dunia ribuan-lipat. Didalamnya terdapat ribuan matahari, ribuan bulan.

   5.      Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam-semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas alam-semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta terikat ke pemahaman dunia semata. Didalam Bible misalnya, dipahami bahwa seluruh alam-semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi barulah beberapa ribu tahun lalu.
      Saat ini, para ahli astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan-milyar dan mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun cahaya adalah jarak yang dapat ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Manusia zaman dulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Sang Buddha, adalah pengecualian. Kebijaksanaan-Nya, yang tak terbatas, dapat memahami konsep dari alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya "daerah gelap, hitam, kelam diantara sistim-sistim dunia, sedemikian rupa hingga cahaya matahari dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya ......."6. Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya sistim dunia sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak 'kappa' (sebagai satuan waktu) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab:

      "Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad". "Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan?"
      "Dapat. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berukuran panjang 1 mil, lebar 1 mil dan tingginya juga 1 mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada seorang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat bukit itu habis tergosok dari pada suatu kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu"

      Disini terlihat, betapa Sang Buddha menggunakan perumpamaan seperti diuraikan diatas untuk memberi gambaran tentang "jarak ruang dalam satuan waktu"; sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan "jarak-jarak di angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya".

   6.      Namun, Sang Buddha menyebut tentang asal dan perluasan alam semesta hanya sepintas lalu. Beliau tidak menganggap, bahwa berteori dan berspekulasi tentang hal tersebut, adalah lebih penting dibanding masalah utama kita, yakni mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan Nibbana (Sansekerta: Nirwana). Ketika seorang sekali waktu mendesak Sang Buddha untuk menjawab pertanyaan tentang luasnya alam semesta, Sang Buddha membandingkan keadaan orang tersebut sebagai seorang yang terkena panah beracun, namun menolak diobati dan dicabuti anak panah tersebut, sebelum orang tersebut mengetahui secara jelas siapa yang melepaskan anak panah tersebut. Sang Buddha, lalu bersabda:

      Menjalani hidup yang suci tak dikatakan tergantung apakah alam semesta ini terbatas atau tidak, atau keduanya atau tidak keduanya. Sebab apakah alam semesta ini, terbatas atau tidak; tetaplah ada kelahiran, tetap ada usia-lanjut, tetap ada kematian, kesedihan, penyesalan, penderitaan, keperihan dan keputusasaan; dan untuk mengatasi semua itulah semua yang Saya ajarkan.


      Sangat jelas, dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam-semesta terjadi, kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, pula tidak akan dapat mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta kasih. Buat Sang Buddha pertanyaan menyangkut hal-hal ini adalah jauh lebih penting dari pada spekulasi tentang asal-mula alam semesta.

   7.      Walau demikian, konsep Sang Buddha tentang alam-semesta yang sangat tepat dan maju, menyebabkan kita bertanya dalam diri; bagaimana bisa Beliau mengetahui semua ini. Bagaimana mungkin seorang mengetahui tentang berkelompoknya Bimasakti dan bahwa Bimasakti itu berbentuk spiral, jauh sebelum penemuan teleskop? Bagaimana Dia, yang hidup di zaman lampau demikian menghayati ke-takterbatasan waktu dan ruang? Jawaban satu-satunya yang mungkin ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri, adalah Buddha yang telah mencapai Pencerahan (Inggeris: enlightenment). Batin-Nya demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya mengabuti batin orang biasa, pengetahuannya telah berkembang diluar kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya sebagai "pengenal alam-semesta" (lokavidu), dan pernyataan Beliau memang terbukti kebenarannya.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 05:59:56 AM
KEHIDUPAN DAN ALAM KEHIDUPAN

   8.      Bagaimana dan kapan kehidupan bermula adalah misteri dan mungkin akan tetap demikian. Kebanyakan agama-agama menyatakan bahwa Tuhan mereka masing-masing yang menciptakan kehidupan. Namun pernyataan demikian belum tentu dapat menjawab bagaimana kehidupan dimulai, sebab bila Tuhan adalah makhluk-hidup, maka dengan demikian harus sejalan dengan pemahaman, bahwa 'hidup berasal dari hidup'. Dan, dalam hal ini belum dapat diterangkan bagaimana kehidupan Tuhan (sebagai suatu pribadi) dimulai. Terpisah dari legenda-legenda, maka selama ini, ada dua teori ilmiah yang mencoba menerangkan bagaimana kehidupan bermula di dunia ini. Pertama, adalah Hipotesa Haldane-Oparin, yang dinamai sesuai nama dua sarjana yang pertama yang mengemukakan bahwa bahan organik berasal dari bahan anorganik.1 Menurut hipotesa mereka, pada zaman lampau, campuran dari gas anorganik yang sederhana larut dalam laut, lalu dengan energi matahari membentuk molekul prasejarah yang pertama; molekul ini kemudian merupakan prasyarat bermulanya kehidupan. Hipotesa ini adalah yang paling diterima dalam menerangkan asal kehidupan. Kemudian, baru-baru ini, Sir Fred Hoyle dan Professor Chandra Wickramasinghe menyajikan hipotesa yang sangat berbeda.2 Mereka mengatakan bahwa bentuk kehidupan yang sederhana ber-evolusi di angkasa luar lalu terbawa ke bumi oleh meteor-meteor dan ekor komet yang sedang melintas. Namun, cara bagaimanapun kehidupan dimulai, pada kenyataannya telah pernah ditemukan bukti-bukti berupa fosil berbentuk batang yang menyerupai ganggang dan bakteri primitif kita saat ini, yang telah ada sejak 2,7 milyar tahun lalu. Hampir semua ahli sependapat bahwa bentuk kehidupan awal berkembang dipermukaan laut.

   9.      Agama Buddha mengajarkan, asal kehidupan tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Walau demikian, Sang Buddha juga memberi gambaran bagaimana kehidupan berawal di bumi. Beliau menjelaskan, ketika alam-semesta mulai mengembang, alam yang telah ada barulah alam surga (alam-dewa).

      Dan demikian mereka hidup, terdiri dari batin saja, senantiasa berbahagia, badannya mengeluarkan cahaya, bergerak di angkasa dengan jayanya, dan bertahan begitu sampai masa yang sangat lama sekali. Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari massa air semata dan semuanya gelap kelam. Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau musim, belum ada laki-laki dan wanita, hanya makhluk itu saja yang ada. Lalu setelah jarak waktu yang sangat lama, buih-buih yang menggiurkan terbentuk diatas permukaan massa air dimana makhluk-makhluk itu berada. Bentuknya seperti lapisan yang terbentuk diatas susu panas yang mendingin. Warnanya seperti dadih-susu (susu yang mengental) atau mentega, dan rasanya seperti madu murni. Lalu, beberapa makhluk yang bersifat rakus berkata: "Saya berkata, apa yang seperti ini !, lalu mencoba buih itu dengan jarinya. Ketika ia melakukannya, dia menyukainya, dan keinginan timbul diantara mereka. Jadi mereka mulai berpencar memakannya. Setelah itu, cahaya badannya menghilang; lalu bulan dan matahari, siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, tahun dan musim, terjadi.3

      Sang Buddha menerangkan lebih lanjut, bahwa badan makhluk itu bertambah nyata setiap mereka makan, lalu timbul ciri-ciri seksual. Mengenai perubahan tersebut, Beliau berkata, berlangsung "pada kurun waktu yang sangat, sangat panjang".4 Saat ini, setiap ilmuwan pun, tak dapat tidak sependapat bahwa semua yang dijelaskan Sang Buddha adalah sama dengan temuan ilmiah tentang asal tata-surya tersebut. Temuan ilmiah dan Sang Buddha, keduanya sependapat, bahwa permukaan bumi pada masa awalnya tertutup oleh air. Pula, keduanya sependapat bahwa kehidupan pertama mengambang diatas permukaan air, dimana mereka menyerap sari makanan. Keduanya juga sependapat, bahwa bentuk kehidupan awal adalah aseksual (tak berjenis kelamin), pula keduanya sependapat bahwa bentuk kehidupan ber-evolusi, dari bentuk yang sederhana ke bentuk kehidupan yang lebih kompleks, dan bahwa proses itu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang.

  10.      Ilmu pengetahuan membagi kehidupan menurut susunan tubuhnya, sedangkan Sang Buddha membaginya menurut apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan ada enam alam kehidupan, berbeda satu dari lainnya dalam hal apa yang dialami dalam alam kehidupannya masing-masing. Ada Alam Dewa, Alam Manusia, Alam Binatang, Alam Roh Lapar, Alam Roh Cemburu, Alam Neraka. Marilah kita menelitinya satu demi satu.

  11.      Para dewa, yang dalam bahasa Inggeris sering disebut sebagai "gods", dan alam dimana mereka berada sering disebut sebagai "heaven" (surga), namun kedua istilah itu tidak tepat untuk mengungkapkan konsep tentang dewa, Kata "God" (Tuhan) adalah konsep ketuhanan yang menyangkut cinta-kasih, menyangkut kekuatan untuk mencipta dan mengendalikan segalanya, yang sama sekali berbeda dibanding manusia. Kata "surga" menyangkut konsep ketuhanan dari kehidupan kekal sesudah kematian, dimana tidak ada yang berbuat kesalahan seperti kehidupan dibumi. Pada kenyataannya, para dewa tidaklah sempurna dan pula tidak kekal, bila masa kehidupannya usia mereka bisa terlahir kembali sebagai manusia, demikian pula sebaliknya manusia bisa terlahir kembali sebagai dewa. Ciri utama dari kehidupan dewa, adalah bahwa para dewa mengalami lebih banyak kebahagiaan.

      Pula, surga tempatnya tidaklah mesti selalu terpisah dari alam kehidupan lainnya; surga tidak "di atas sana", pula neraka tidak "di bawah sana". Satu dewa bisa saja berada disamping satu manusia ataupun disamping satu roh-lapar. Yang membuat mereka terpisah atau berbeda, adalah pada keadaan yang dialaminya, bukan pada tempat dimana mereka masing-masing berada. Karena dewa-dewa mungkin saja adalah manusia-manusia sebelum mereka terlahir di Alam Dewa, maka mereka senantiasa masih tertarik pada apa yang dikerjakan manusia. Mereka bisa menjawab doa seseorang, melindungi orang tertentu dari mara bahaya, namun bisa menyebabkan kesulitan-kesulitan diantara manusia.

  12.      Setelah pembicaraan tentang perbedaan antara dewa dan "gods", kita sampai pada yang diajarkan oleh Sang Buddha tentang konsep "penciptaan" alam-semesta oleh suatu "maha-dewa" atau makhluk tertentu. Keberadaan makhluk seperti itu dibantah oleh Sang Buddha, sebab menurut Beliau, pemahaman seperti itu adalah tidak masuk akal, tanpa pembuktian yang mendukungnya. Ada beberapa argumentasi yang mencoba membuktikan adanya "maha-dewa" pencipta, namun Buddha Dhamma malah membuktikan bahwa tidak satupun argumentasi itu memuaskan. Argumentasi pertama mengatakan seperti ini: "Segala sesuatu mempunyai kausa (sebab), oleh karenanya selayaknya ada kausa pertama, dan bahwa kausa pertama itulah "maha-dewa" itu. Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi ini. Pertama, ialah bahwa argumentasi diatas justru bertolak belakang dengan pernyataan/argumentasi itu sendiri. Oleh karena, segala sesuatu mempunyai kausa, maka kausa pertama seharusnya mempunyai kausa juga. Kedua, tidak ada alasan yang masuk akal, bahwa segala sesuatu harus mempunyai satu kausa tunggal. Semua benda pada dasarnya terbentuk dari beberapa kausa, dengan demikian adalah sangat makul kalau dikatakan bahwa sesuatu hal memiliki sepuluh, ratusan atau bahkan ribuan kausa. Ketiga, walau ada kausa pertama yang tunggal, namun tidak terbukti bahwa itu adalah suatu "maha-dewa". Banyak kemungkinan untuk itu. Lalu ke-empat, adalah secara makul tidak mungkin ada kausa pertama atau asal dari alam-semesta. Suatu permulaan, adalah suatu kejadian, dan sama halnya dengan kejadian-kejadian pada umumnya, permulaan adalah suatu perlangsungan, yang tentunya pasti mengambil masa atau waktu untuk perlangsungannya. Waktu terdiri atas lampau, sekarang dan akan datang. Oleh karenanya pada setiap kejadian yang berlangsung, ada waktu sebelum terjadi (waktu lampau), waktu ketika terjadi (sekarang) dan waktu sesudah terjadi (waktu akan datang). Sebelum dari apa yang disebut "penciptaan oleh maha-dewa", dengan sendirinya tidak ada waktu (karena segala sesuatu belum ada). Lalu, jelas tidaklah mungkin bahwa sesuatu "tanpa-waktu" menghasilkan waktu, sama tidak mungkinnya gelap menghasilkan terang, atau kering dapat menimbulkan basah.

  13.      Argumentasi lain, mengenai keberadaan "maha-dewa" tersebut, adalah sebagai berikut: dikatakan "Segala sesuatu secara alami mempunyai tujuan dan aturan. Tidak terjadi secara kebetulan, namun dirancang. Apabila alam adalah rancangan, maka harus ada perancang, lalu perancang itu seharusnya "maha-dewa" tersebut". Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi diatas. Pertama, walau misalnya diakui bahwa alam ini dirancang, namun tidak terbukti bahwa perancangnya adalah "maha-dewa" tersebut, juga tidak terbukti bahwa perancangnya adalah tunggal. Pada kenyataannya, alam demikian rumit serta kompleks, wajar bila memerlukan banyak perancang. Jadi, bila segala sesuatu dirancang, maka perlu ada beberapa "pencipta". Kedua, walau misalnya alam ini dirancang, maka ternyata tampak aspek kekejaman dalam rancangannya. Sebagai contoh, kuman tuberkulosa dirancang untuk menggerogoti paru-paru manusia. Mulut belut laut dirancang untuk mencengkram tubuh ikan mangsanya untuk kemudian pelan-pelan dimakan hidup-hidup penuh rasa sakit. Kuman kusta dirancang untuk menggerogoti daging manusia sehingga anggota badan rusak. Dengan demikian, walau, misalnya alam dirancang, kenyataan bahwa justru banyak rancangan menyebabkan penderitaan menyimpulkan bahwa Yang-Esa yang maha-pengasih tidak pernah menciptakannya sedemikian rupa. Ke-tiga, walau misalnya alam ini dirancang, banyak dari rancangan itu justru salah. Bila "maha-dewa sempurna" itu merancang, maka ciptaannya seharusnya sempurna pula. Kenyataannya hujan memang mengairi persawahan, tapi kadang-kadang hujan tidak datang, menyebabkan berjuta orang meninggal karena kelaparan, atau hujan terlampau banyak, menyebabkan ribuan orang kehilangan rumahnya atau hidupnya karena banjir. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan cacat mental atau badaniah yang sangat mengerikan. Produksi sel tubuh, kadang-kadang salah, menyebabkan tumor dan kanker. Kenyataan, bahwa perancangan alam tidaklah sempurna meng-indikasikan bahwa "maha-dewa", pencipta yang seharusnya sempurna bukanlah perancangnya.

  14.      Agama Buddha juga masih memiliki beberapa argumentasi kuat untuk menganggap "maha-dewa" itu, tidaklah maha-tahu, maha-kuasa serta maha-pengasih. Argumentasi pertama adalah, apabila "maha-dewa" itu maha-tahu, maka "maha-dewa" itu pasti mengetahui semua masa lalu, mengetahui semua masa sekarang dan mengetahui semua masa yang akan datang. Dengan demikian seharusnya "maha-dewa" itu pasti mengetahui pilihan yang dijatuhkan seseorang, pikiran yang dipunyai seseorang, tindakan yang akan dilakukan seseorang, jauh sebelum dilaksanakan oleh orang itu. Jadi, dengan demikian setiap manusia seharusnya hanya dapat bertindak sesuai apa yang telah "maha-dewa" ramalkan sebelumnya; seluruh kehidupan setiap orang telah dipastikan dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, berdasar pada pemahaman "maha-dewa maha-tahu" itu tidak mungkin lagi ada kebebasan keinginan lagi; lalu bila tidak ada kebebasan keinginan, seseorang tidak seharusnya bertanggung jawab pada setiap tindakannya, pula ide untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan, tidak berarti lagi.
      Sehubungan dengan itu, argumentasi lain, adalah sebagai berikut:
      Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak "maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya "maha-dewa" itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji. Sang Buddha menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:

      Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". Saya menemui dan bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu saya berkata: "Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri dan berzina pula atas kehendak "maha-dewa" tersebut. Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan "maha-dewa" tersebut". Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini atau tidak berbuat itu.5

      Pujangga Buddhis, Santideva, menyatakan dengan sederhana: "Bila "maha-dewa" lah penyebab semua kejadian, lalu apa gunanya manusia berusaha sekuat tenaga?"6.

  15.      Argumentasi lain mengenai konsep "maha-dewa", sebagai berikut: keberadaan kejahatan dan penderitaan didunia adalah bukti bahwa "maha-dewa" yang maha-kasih, maha-kuasa tidaklah ada, sebab bila ada tentunya "maha-dewa" sedemikian itu bisa menghentikan segala kejahatan, bencana dan penderitaan. Seorang manusia sederhana sekalipun akan berbuat apa saja agar terbebas dari sakit, kelaparan dan ketakutan apabila mereka berdaya untuk itu; lalu mengapa "maha-dewa" yang lebih sempurna dan maha-kuasa itu tidak bertindak? Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa penderitaan adalah hukuman "maha-dewa" bagi yang berbuat kejahatan. Tapi bukankah orang yang baik juga ditimpa bencana, sakit, kematian mendadak, sebaliknya penjahat juga ada yang sukses, sehat dan bahagia. Lalu, apa pula yang mengatakan bahwa semua penderitaan manusia disebabkan oleh dosa. Walau manusia memang harus bertanggung jawab dalam bentuk penderitaan, namun tetap mereka tidak dapat dipersalahkan untuk beberapa macam penderitaan seperti kanker, gempa bumi, paceklik, kekeringan dan juga terlahir cacat. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa pengasih" tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa "maha-dewa pengasih" membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya, adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya "maha-dewa maha-pengasih" tersebut.

      Sang Buddha bersabda:

      Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan;
      Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
      Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
      Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
      Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
      Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
      Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal.
      Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan.
      Yang membuat dunia yang diatur keliru.7

  16.      Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanyalah kepercayaan pada "maha-dewa yang bercirikan sifat seperti diatas" yang dapat menjamin kebahagiaan serta membuat hidup berarti atau hanya dengan keyakinan seperti itu kita dapat mengatasi masalah kita sendiri. Namun, jutaan manusia yang juga berbahagia, produktif dan bermoral dalam hidupnya tanpa harus menyandang konsep tentang adanya "maha-dewa" berciri sedemikian. Mereka juga berhasil mengatasi kecacatan, ketidak-mampuan dan kekerasan hidup melalui kekuatan dan ketetapan hati mereka sendiri, tanpa bersandar pada kekuasaan "maha-dewa" tersebut. Apabila manusia bermoral, bahagia dan berkasih-sayang pada sesamanya serta mempunyai tujuan hidup, maka kepercayaan sedemikian diatas kiranya tidaklah diperlukan. Namun, adalah penting diketahui bahwa untuk orang tertentu kepercayaan pada bentuk-bentuk atau ciri-ciri "maha-dewa" sedemikian diatas adalah berarti dan penting untuk hidupnya. Oleh karenanya, walau tidak menganut paham sedemikian bagi dirinya sendiri, seorang umat Buddha hendaknya tetap menghormati mereka yang berkeyakinan seperti itu.

 
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:00:17 AM
17.      Alam Manusia (Manussa loka) adalah terbaik di antara alam-alam kehidupan sebab hanya di alam inilah kita mendapat kesempatan terbesar untuk mengembangkan kebijaksanaan dan mencapai Pencerahan. Para dewa menikmati kebahagiaan yang demikian tinggi, sedemikian rupa sehingga mereka tidak terdorong untuk mengembangkan batinnya, sebaliknya makhluk di alam-alam rendah mengalami demikian banyak penderitaan sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia mengalami kebahagiaan dan kesengsaraan dalam bagian yang sama. Ukuran dan struktur otak manusia memungkinkan kesadaran untuk berpikir, menalar dan memiliki daya ingat. Sebenarnya, Buddhis kuno mengungkapkan keberadaan manusia dalam berpikir, dalam kata manusia (manussa), yang berasal dari kata mana ussannata, yang berarti "mengutamakan berpikir". Manusia juga mempunyai bahasa yang berkembang baik, yang memungkinkan komunikasi Dhamma dengan baik. Dibalik kenyataan bahwa alam manusia adalah yang terbaik dari segala alam, namun terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat jarang, oleh karena kita seharusnya menggunakan sebaik mungkin kesempatan tersebut. Sang Buddha bertanya:

      "Yang mana lebih banyak - pasir diujung kuku saya, atau pasir seluruh bumi?"

      "Guru, jauh lebih banyak pasir di bumi ini. Sangat sedikit pasir di ujung kuku Guru. Satu sama lain tidak dapat dibandingkan."

      "Demikian pula, makhluk yang dilahirkan sebagai manusia adalah sangat sedikit. Jauh lebih banyak yang terlahir dalam alam-alam lainnya. Oleh karenanya engkau hendaknya melatih dirimu, dengan senantiasa berpikir: "Kita akan hidup sebaik mungkin".8

  18.      Tidak hanya, terlahir sebagai manusia adalah kesempatan terbaik untuk mencapai Pencerahan, namun juga karena semua manusia bisa mencapai Pencerahan. Alasan untuk itu adalah karena umat manusia hanyalah satu. Hal itu perlu disebutkan karena ada agama-agama dan paham-paham politik yang menganggap perbedaan ras, kasta atau kelas menyebabkan perbedaan kapasitas intelektual, oleh karenanya mereka harus diperlakukan berbeda dan diberi kesempatan berbeda. Hindu kuno mengajarkan pemahaman seperti itu, dengan membagi manusia atas empat kasta dan mengeluarkan yang terendah, kasta Sudra, dari kehidupan sosial dan agama, karena dianggap tidak mempunyai kemampuan intelektual. Sang Buddha menentang keras paham tersebut. Puluhan khotbah Beliau menampilkan alasan untuk meruntuhkan sistim kasta dan menegakkan persamaan martabat dan harkat manusia.9 Beliau bersabda:

      Apabila engkau memperhatikan pepohonan atau rumput,
      Tanpa mengetahuinya,
      Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya

      Lalu perhatikan ngengat dan kumbang,
      Atau serangga kecil seperti semut;
      Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya

      Dan pada makhluk ber-kaki empat,
      Yang besar dan kecil,
      Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya

      Perhatikan makhluk yang merayap pada perutnya,
      Ular dan hewan melata lainnya.
      Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya.

      Perhatikan ikan
      Dan semua yang hidup di air
      Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya

      Perhatikan burung yang beterbangan
      Mereka yang bepergian melalui angkasa;
      Mereka juga tampak beraneka macam dan ragam,
      Ada bermacam jenisnya
      Pada semua makhluk-makhluk itu,
      Macam dan ragamnya dapat terlihat;

      Pada manusia tidak ada perbedaan diantaranya.
      Tidak dirambut atau kepala, ditelinga atau mata,
      Tidak di mulut atau hidung, bibir atau alis,
      Adanya perbedaan yang mencolok.
      Tidak di leher atau bahu,
      Tidak di perut atau dada,
      Tidak pula pada kelamin
      Adanya perbedaan mencolok.

      Tidak pada tangan atau kaki, pada jari atau kuku,
      Tidak pada betis, paha atau bentuk penampilan,
      Adanya perbedaan ragam dan macamnya,
      Seperti pada makhluk lainnya.

      Ragam manusia tidak berbeda banyak,
      Seperti makhluk lainnya.
      Yang berbeda antara umat manusia,
      Hanyalah perbedaan tak bermakna.10

  19.      Ada pendapat bahwa wanita mempunyai kemampuan spiritual yang kurang dibanding laki-laki. Dalam hal ini Agama Buddha, beranggapan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah perbedaan bentuk, bukanlah perbedaan batin.11 Pencerahan dicapai mengembangkan kebijaksanaan dan welas-asih, dan siapa saja, tidak tergantung dari jenis kelaminnya dapat mencapainya. Sang Buddha bersabda:

      Wanita, dari perumah-tangga biasa sampai yang telah meninggalkan keduniawian, dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus, tingkat Yang-Kembali-Sekali, tingkat Yang-Tak-Kembali, tingkat Arahat.12
      Oleh karenanya wanita seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama dengan kaum lelaki. Pandangan Sang Buddha pada kemampuan pencapaian Pencerahan oleh wanita dirangkum dengan baik oleh seorang murid Beliau bernama Soma.

      Kodrat sebagai wanita tidaklah berperan
      Tatkala batin tenang dan kokoh,
      Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari,
      Dan ketika dia merenungkan Dhamma.
      Seseorang yang berpikir seperti ini:
      Oleh karena "Saya wanita" atau "Saya pria"
      Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ......"
      Mara akan dapat menyapanya.13

      Beberapa agama mengajarkan bahwa wanita diberi peran oleh Tuhan, biasanya sebagai ibu atau isteri, dan mereka wajib melaksanakan peran itu. Agama Buddha tidaklah mengajarkan demikian. Wanita sebagai halnya lelaki bebas untuk memilih perannya, sebagai ibu, isteri, pengusaha, biarawati, dan lainnya; apapun yang mereka pikir memberi kepuasan dan kebahagiaan.

      Karena mengetahui bahwa setiap insan dapat mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua orang, dengan harapan semuanya mempelajarinya, melaksanakannya dan saling mengajarkannya. Ketika Mara membujuknya agar mati lebih dini, Sang Buddha menjawab:

      Saya tidak akan mati sebelum para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria serta wanita telah mempelajari mendalami, kebijaksanaan dan terlatih, dapat mengingat ajaran, menguasai ajaran utama dan tambahan serta bermoral; sampai mereka dapat menguasai, dapat menyampaikan pada lainnya, mengajarkannya, memaklumkannya, memperdalam, menghayati, menerangkan serta membabarkannya; sampai mereka mampu membedakannya dari ajaran salah yang diajarkan oleh yang lainnya dan dapat menyebarkan kebenaran yang meyakinkan serta dapat membebaskan ini, ke segala penjuru. Saya tidak akan mati sampai tata kehidupan yang suci telah dicapai, dihargai dan dihormati; sampai ajaran kebenaran ini dikenal luas diantara dewa dan manusia.14

  20.      Alam Binatang (tiracchana yoni) termasuk semua hewan menyusui, burung-burung, ikan, binatang melata dan serangga. Pada Alam Binatang; perasaan setia, mengasihi, berkorban dan sebagainya hampir tidak ada lagi, unsur pendorong utama dalam kehidupan mereka adalah sekadar naluri makan, seks dan mempertahankan hidup. Karenanya binatang saling memangsa tanpa cinta-kasih atau welas-asih, tanpa mengharapkan bantuan atau simpati dari yang lainnya. Sang Buddha bersabda tentang Alam Binatang:

      Disana tidak ada kehidupan sesuai Dhamma, tidak ada keseimbangan hidup, tidak dilakukan yang baik dan terlatih; hanya saling memangsa dan memakan yang lebih lemah.15

  21.      Alam Roh-Lapar (peta) adalah alam makhluk yang batinnya senantiasa tersiksa oleh kerinduan, keinginan dan perasaan frustasi karena tidak mendapatkan yang diinginkan, mereka senantiasa mengembara mencoba memuaskan lapar.

  22.      Alam Roh-Cemburu (asura) disebut demikian karena mereka tersiksa oleh cemburu dan keinginan memiliki. Kebahagiaan di alam lain terutama Alam Dewa, menyebabkan mereka terbakar api cemburu.

  23.      Makhluk yang semata-mata mengalami rasa sakit berada di Alam Neraka (niraya). Kesakitan yang mereka alami bukan jasmaniah, tapi adalah rasa takut, kwatir, tertekan dan penyesalan mendalam.

  24.      Walau alam kehidupan adalah tempat, namun sebenarnya lebih dari demikian; alam-alam tersebut terutama adalah keadaan batin. Seseorang yang anggun, berdaya dan bahagia dapat dikatakan berada di alam dewa seperti kebahagiaan dewa sebenarnya. Pula, manusia yang mengalami banyak penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan di alam neraka sebenarnya. Sang Buddha menegaskan, dengan bersabda:

      Apabila seorang dungu berkata bahwa neraka ada dibawah laut, maka mereka sebenarnya berkata palsu tak berdasar. Istilah "neraka" adalah menunjukkan perasaan-perasaan yang menyakitkan.16

      Pada umumnya semua agama menerima adanya alam surga dan alam neraka, namun adalah anggapan salah bahwa keberadaan di kedua alam itu adalah selamanya. Sang Buddha mengajarkan, bahwa sesudah masa hidup satu makhluk di suatu alam habis, makhluk itu akan lahir lagi di alam lain. Proses kelahiran dan kematian yang tak berujung pangkal, berpindah dari satu alam ke alam lain, itulah yang disebut samsara. Ajaran Sang Buddha menolong kita untuk berbahagia pada kehidupan sekarang ini dan agar terlahir di alam yang penuh kebahagiaan pada kehidupan yang akan datang. Namun, kebahagiaan yang lengkap hanya bisa dicapai setelah terbebas dari Samsara dan mencapai Pencerahan, dan inilah tujuan tertinggi dari ajaran Sang Buddha.

  25.      Andaikata ada seorang ilmuwan yang tinggal di tengah-tengah perkampungan suatu suku tertentu, katakanlah untuk mempelajari adat istiadat mereka; lalu, pada suatu hari dia melihat penduduk kampung sedang mengadakan permainan tradisonal mereka. Si ilmuwan, walau memperhatikan dengan seksama permainan itu, tidak akan mengerti apapun, karena tidak mengetahui aturan main permainan tersebut. Lalu, setelah dia diberitahu aturan permainan tersebut, maka semua gerakan atau tindakan dari para pemain yang sebelumnya tidak berarti, sekarang telah mempunyai arti baginya.
      Kehidupan kita sebenarnya menyerupai perumpamaan diatas. Semua yang terjadi pada kita dan sekeliling kita tampak tidak berarti dan membingungkan, oleh karena tiadanya pengertian.

      Untuk dapat mengerti makna kehidupan, kita masing-masing mengadakan penelitian lewat ajaran agama, namun selalu ada kejanggalan-kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan oleh agama, atau malah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri (yang mungkin lalu dianggap saja sebagai "misteri"). Namun setelah Sang Buddha tampil menerangkan, mengapa dan bagaimana semua ini terjadi, barulah kehidupan ini tampak berarti dan mempunyai makna bagi kita. Tujuan hidup tak lain adalah melepaskan diri dari samsara dan membebaskan batin kita untuk mencapai kedamaian Nibbana. Sang Buddha bersabda:

      Kehidupan suci bukanlah demi keberuntungan karena mendapat kekayaan, kehormatan dan kemasyuran, dan kehidupan bermoral; bukan pula demi keberuntungan yang dikarenakan dapat memusatkan pikiran, pula bukan untuk keberuntungan yang dikarenakan oleh pengetahuan dan kewaskitaan. Tapi adalah sesuatu "kebebasan batin yang tak tergoyahkan" itulah yang menjadi tujuan dari kehidupan yang suci, itulah sasaran-nya, itulah titik puncak-nya.17
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:01:44 AM
K A R M A

26. Telah disebutkan di depan, bahwa setelah mati, kita akan lahir kembali di salah satu dari enam alam kehidupan. Lalu, keadaan-keadaan bagaimanakah yang mensyaratkan kelahiran di masing-masing alam itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut; marilah kita lihat pandangan agama Buddha tentang penyebab semua keadaan umumnya terjadi. Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan. Namun agama Buddha menyangkal ciri ketuhanan seperti itu; lalu bagaimana menerangkan kehidupan alam-semesta yang demikian dinamis, alam-semesta yang selalu penuh pergolakan, interaksi dan kejadian-kejadian? Agama Buddha, seperti halnya ilmu pengetahuan, mengajarkan sebab-musabab yang alami. Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam-semesta ini bekerja menurut salah satu dasar lima hukum alam (niyama).1 Hukum-hukum fisika (utu niyama) mengatur keberaturan fisik anorganik, mengatur temperatur didih air, kecepatan cahaya, siklus musim, dan sebagainya. Hukum-hukum biologis (bija niyama) mengatur pertumbuhan, reproduksi, hukum genetika/penurunan sifat dan semua aspek makhluk hidup. Hukum-hukum psikologik (citta niyama) mengatur fungsi-fungsi kesadaran serta fenomena ekstrasensorik seperti telepati, kewaskitaan (Inggeris: clairvoyance) dan sebagainya. Dibawah hukum-hukum semesta (dhamma niyama) bekerja hukum gaya-berat, termodinamik dan segala fenomena semacamnya diseluruh alam-semesta ini. Namun hukum yang sangat menarik adalah hukum karma (kamma niyama). Selama berabad-abad, doktrin agama Buddha tentang karma (Pali: Kamma), telah sering disalah-artikan sebagai paham deterministik/takdir. Saat ini pun, masih sering didengar diantara orang-orang, rohaniawan Buddhis sekalipun, yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak kamma. Karenanya, banyak tafsiran tentang kamma yang agak janggal bila dibandingkan dengan ajaran Sang Buddha sendiri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, doktrin kamma yang diajarkan saat ini tidak berdasarkan ajaran Sang Buddha langsung, tapi berdasarkan kepustakaan komentar, yang sebagian besar diantaranya ditulis ribuan tahun setelah era Sang Buddha. Kita akan mencoba menelusuri doktrin kamma, seperti apa yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam bentuk pemahaman moderen yang sederhana.

27. Istilah 'kamma' berarti tindakan (Inggeris: action) serta mengacu pada kehendak (cetana) pikiran, ucapan dan tindakan jasmani kita. Sang Buddha bersabda:

        Saya katakan, kehendak adalah kamma, karena didahului oleh kehendak seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran.2

Istilah 'vipaka' berarti hasil atau dampak serta mengacu pada hasil tindakan berdasar kehendak kita. Dengan demikian, menolong seseorang (suatu kamma) akan menghasilkan persahabatan baru yang baik (suatu vipaka). Pula sebaliknya, berdusta (suatu kamma) berakibat ketahuan dan oleh karenanya dipermalu dan dimaki (suatu vipaka). Tentunya, kehendak untuk berbuat sesuatu (belum dilaksanakan) berbeda dari bila telah dilaksanakan, walau keduanya akan berdampak, yang pertama (kehendak saja) lebih ringan dari kedua (telah melaksanakannya). Setiap kali kita dengan sengaja berpikir, berkata dan bertindak, maka jelas telah terjadi perubahan pada kesadaran kita. Dengan demikian, tipe manusia bagaimana kita saat ini tergantung dari timbunan perbuatan yang telah dilakukan masa-masa sebelumnya, demikian pula apa yang kita lakukan sekarang akan membentuk watak kita di hari kemudian.

        Kita adalah apa yang telah kita perbuat.
        Apa yang akan kita perbuat adalah demikian kita akan jadinya.

Watak kita saat ini dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan kita dengan sesama kita, reaksi kita pada berbagai situasi, yang kemudian pada gilirannya menentukan berbahagia atau tidaknya kita sendiri. Sang Buddha mengatakan, sebagai berikut:

        Semua makhluk adalah pemilik kamma-nya sendiri, pewaris kamma-nya, kamma-nya adalah kandungan yang melahirkannya, dengan kamma-nya dia berhubungan, kamma-nya adalah pelindungnya. Apapun kamma-nya, baik atau buruk, mereka akan mewarisinya.3

28. Dengan demikian adalah penting untuk membedakan pengerttian antara faktor-faktor penentu (Inggeris: determining factors) dari faktor-faktor prasyarat (Inggeris: conditioning factors). Bila dikatakan, bahwa keadaan kita kini hanya ditentukan oleh tindak-tanduk kita sebelumnya dan keadaan masa mendatang ditentukan hanya oleh tindak-tanduk saat ini, berarti seluruh kehidupan telah diputuskan dan ditentukan sebelumnya; kita tidak bebas lagi untuk berprakarsa dan merubah segalanya. Namun, kamma tidaklah memutuskan keberadaan kita. Tindak-tanduk kita masa lampau turut menentukan saat sekarang, lalu tindak-tanduk saat sekarang turut menentukan masa depan, dengan kata lain tindak-tanduk mempengaruhi dalam derajat yang besar atau kecil. Dengan demikian masih ada kesempatan untuk melatih kemauan dan berusaha berubah. Hukum kamma, dengan demikian, lebih berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu konsekwensi yang tak dapat diubah dan dielakkan. Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham "takdir" (niyativada), juga tidak mengajarkan paham "bebas kehendak" (attakiriyavada), tapi suatu 'kehendak-berprasyarat' (Inggeris: conditioned).

Hukum kamma turut (menjadi prasyarat) dalam menentukan tiga hal apakah kita terlahir kembali atau tidak, di alam mana kita akan terlahir, dan pengalaman bagaimana yang akan dialami di kehidupan yang akan datang tersebut. Kita akan menelusurinya satu persatu.

29. Menurut Sang Buddha, tindak-tanduk manusia-biasa pada dasarnya bercirikan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kegelapan-batin (moha), atau seperti sering disebutkan oleh Sang Buddha, semuanya berakar pada ketidaktahuan (avijja) dan keinginan-rendah (tanha). Tindakan baik pun bila dijejaki kadang-kadang masih terwarnai oleh kekotoran batin tersebut. Keserakahan, kebencian dan kegelapan batin mendasari tindakan kita sehari-hari, tapi tidak semua tindakan itu akan berbuah akibat pada kehidupan sekarang ini; daya/energi yang tidak berbuah pada kehidupan sekarang ini akan mendorong kita ke kehidupan baru sesudah kita mati. Sebagai analogi sehari-hari, mobil bergerak karena adanya mesin, bila mesin tiba-tiba terhenti, energi sisa tetap akan mendorong mobil sebentar, sampai mesin dapat dihidupkan kembali. Sang Buddha berkata:

        Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu? Keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Setiap tindakan yang dilahirkan, berasal dan timbul dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin akan berbuah, dimanapun dia terlahir kembali; dimanapun tindakan itu berbuah, dia akan mengalami hasilnya, pada kehidupan ini ataupun dikehidupan mendatang.4

Selama kita bertindak dengan didasari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, selama itu pula kita membuat kamma, baik ataupun buruk, dan oleh karenanya kita terlahir kembali. Dengan tercapainya Pencerahan; keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin telah terkikis habis, dan dengan sendirinya walau kita tetap bertindak, kita tidak menghasilkan kamma baru lagi, dan setelah kematian kita tidak akan terlahir kembali.

30. Lebih lanjut Sang Buddha bersabda:

        Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu? Bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Setiap tindakan yang dilahirkan, berasal dan timbul dari keadaan terbebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin oleh karena keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin tiada lagi kamma terhenti, terpotong pada akarnya, seperti sisa potongan pohon palma yang tak dapat tumbuh lagi di kemudian hari.5

Kamma yang menyebabkan kita terlahir lagi, dan bila terlahir kembali, akan terlahir di salah satu dari enam alam-kehidupan. Kamma yang telah kita timbun akan menjadi prasyarat di alam mana kita akan terlahir. Semua tindakan yang dilakukan dengan sengaja mempunyai sisi etis, yang dikelompokkan atas empat tipe oleh Sang Buddha. Beliau bersabda:

        Ada empat macam kamma, yang saya telah terawangi melalui kebijaksanaan-Ku dan kupermaklumkan pada dunia. Apa yang empat itu? Yakni kamma gelap berbuah gelap, kamma terang berbuah terang, kamma terang dan gelap berbuah terang dan gelap, kamma yang tidak terang pula tidak gelap berbuah tidak terang pula tidak gelap.6

"Kamma gelap" mengacu pada perilaku yang didasari keserakahan, kemarahan, ketaksabaran dan keadaan batin negatif lainnya, kesemuanya akan berbuah kegelisahan dan kesusahan, yang disebut Sang Buddha sebagai "berbuah gelap". "Kamma terang" mengacu pada perilaku yang didasari pada keadaan batin yang positif, seperti kebajikan, kemurahan-hati dan kejujuran, akan berbuah ketenangan dan kebahagiaan atau "berbuah terang". "Kamma terang dan gelap" mengacu pada perilaku yang didorong oleh campuran oleh kehendak positif dan kehendak negatif, dan oleh karenanya berdampak campuran pula. "Kamma yang tidak terang, tidak pula gelap" mengacu pada perilaku yang netral, yang kemudian berbuah netral pula. Apabila kamma tertentu menonjol dalam perilaku kita sehari-hari, kita akan tertarik, pada waktu mati, kepada salah satu dari enam alam-kehidupan diatas. Sang Buddha bersabda:

        Dan apa beragam kamma itu? Adalah kamma yang akan berbuah di alam-neraka, di alam-binatang, di alam roh-lapar, di alam manusia, pula ada kamma yang berbuah di alam dewa.7

Manusia yang kejam, ganas dan penuh kebencian, dapat terlahir di alam neraka atau terlahir sebagai manusia dengan kesengsaraan seumur hidupnya. Manusia yang tujuan hidupnya hanya makan, pemuasan seks dan kesenangan duniawi serta tidak berusaha mengembangkan kecerdasan dan kebajikan, dapat terlahir sebagai binatang atau manusia yang akan mengalami kehidupan yang penuh kemalangan. Manusia yang berambisi buruk, tak pernah terpuaskan, serta terikat pada seks, alkohol dan ganja akan cenderung terlahir sebagai Roh-lapar, atau sebagai manusia yang tersiksa oleh ketidak-puasan; sedangkan mereka yang hidupnya senantiasa dipenuhi oleh rasa cemburu, dan iri-hati akan terlahir di alam Roh-cemburu atau sebagai manusia yang terikat dan tersiksa pada kecemburuannya. Mereka yang senantiasa berbahagia, tak berbuat buruk dan senantiasa mencintai mereka yang lain, akan terlahir sebagai dewa atau manusia yang senantiasa bergembira dan bahagia.

31. Namun tentunya; kita tidak akan terlahir di Alam Neraka disebabkan hanya karena berbohong sekali ataupun beberapa kali; pula kita tidak akan terlahir di Alam Surga disebabkan karena bermurah hati dari waktu ke waktu. Sang Buddha menjelaskan bahwa, perilaku tertentu yang berpengaruh kuat, menjadi kebiasaan dan menonjol di batin seseorang (atau seperti yang Beliau katakan tindakan yang "terbiasa, terikat dan sering dilaksanakan"8) yang akan menentukan kelahiran di alam-alam yang lebih rendah atau di alam-alam yang lebih tinggi. Kebanyakan manusia adalah tipe rata-rata, yakni jarang berperilaku sangat baik juga jarang berperilaku sangat buruk, lalu sisa waktu diisi dengan perilaku yang sedikit baik dan sedikit buruk, mereka ini kemungkinan juga akan terlahir sebagai manusia rata-rata pada umumnya dan akan mengalami hal yang biasa-biasa pula dalam kehidupannya. Namun, seseorang melaksanakan Dhamma secara tulus dan benar, maka besar kemungkinan baginya untuk terlahir di Alam Surga atau sebagai manusia dengan lingkungan yang baik.

32. Hal ke tiga yang turut ditentukan oleh hukum kamma adalah pengalaman yang akan dialami selama hidup kita. Sering dikatakan, bahwa apa yang dialami pada kehidupan setiap orang saat ini adalah hasil dari apa yang diperbuatnya di kehidupan sebelumnya, pula apa yang diperbuat pada kehidupan sekarang akan berbuah pada kehidupan yang akan datang. Pengertian tersebut, yakni bahwa semua yang dilakukan akan berbuah pada salah satu kehidupan mendatang (tidak pada kehidupan saat ini), ternyata salah. Sang Buddha berkata:

        Hasil dari suatu kamma ada tiga macam. Apa yang tiga itu? Yang berbuah pada kehidupan sekarang, yang berbuah pada kehidupan berikut, dan yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.9

Seperti kenyataan yang kita alami sehari-hari, malah banyak perbuatan membawa akibat seketika atau segera. Tidak selamanya harus menunggu sampai kehidupan yang akan datang.

Salah pengertian lain tentang kamma, ialah anggapan bahwa setiap perbuatan pasti berakibat; tindakan negatif, misalnya, pasti tak terelakkan berbuah negatif. Walau Sang Sang Buddha seringkali memberi kesan seperti itu, namun Beliau juga menjelaskan bahwa akibat dari setiap perbuatan bukanlah tak terelakkan seperti itu. Beliau berkata:

        Bila seseorang berkata, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang diperolehnya, maka bila hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah berarti - sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan. Tapi bila seorang berkata, bahwa bila seorang berbuat demi apa yang akan diperolehnya, lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti ada kesempatan untuk menghancurkan penderitaan. Contohnya, suatu kejahatan kecil dilakukan seseorang, tindakan itu bisa berbuah pada kehidupan ini atau sama sekali tidak berbuah. Sekarang, manusia yang bagaimana, yang walau dengan kejahatan kecil sekalipun tetap akan membawanya ke neraka? Seorang yang tidak berhati-hati dalam mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia tidak mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang tidak berarti, dia tidak mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya sempit dan dapat diukur. Perbuatan kecil saja dapat membawanya ke neraka. Lalu sekarang, seorang yang dengan hati-hati mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang berarti, dia mengembangkan dirinya sendiri, hidup tanpa batas dan tidak terukur. Bagi orang seperti ini, sebuah kejahatan kecil bisa berbuah dikehidupan ini atau tidak sama sekali. Seandainya seorang menaruh sejumput garam kedalam sebuah cawan kecil. Air tersebut tidak akan bisa diminum. Mengapa? Karena cawan itu kecil. Nah, sekarang seandainya seorang menaruh sejumput garam ke sungai Gangga. Airnya akan tetap dapat diminum. Karena banyaknya air di sungai tersebut.10

Jadi jelas, pada seorang yang watak baiknya menonjol, maka perbuatan buruk kecil yang dilakukannya hanya akan berbuah akibat yang tak berarti atau mungkin sama sekali tidak berbuah; sebaliknya pada seorang yang selama hidupnya ternodai oleh perbuatan buruk, maka perbuatan baik kecil yang dilakukannya akan terselubungi. Pula, buah dari suatu perbuatan bisa saja tidak jadi masak dan berbuah, karena terhapus atau terlarut oleh perbuatan yang lain. Sebagai contoh, seorang mencuri sesuatu, namun kemudian menyadari kekeliruannya. Dia mengembalikan barang tersebut, lalu berusaha berbuat baik dan berjanji tidak akan berbuat demikian lagi di kemudian hari. Pada keadaan seperti ini, buah hasil dari perbuatan buruk (mencuri) tersebut terhapus oleh perbuatan baiknya yang belakangan (insaf dan mengembalikan barang tersebut). Seperti disebutkan sebelumnya, hukum kamma adalah sesuatu yang menyangkut kecenderungan, bukan suatu konsekwensi yang tak dapat dirubah serta tak dapat dielakkan.

33. Namun salah pengertian yang paling umum tentang hukum kamma adalah kepercayaan bahwa setiap kejadian yang kita alami; tersandung, jatuh sakit, menang undian, terlahir tampan, semuanya adalah hasil kamma lampau semata-mata. Dengan alasan yang sangat tepat Sang Buddha menolak kepercayaan salah tersebut. Sebab bila demikian halnya, maka sia-sia untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, sebab keseluruhan hidup ditentukan sebelumnya. Sang Buddha bersabda:

        Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmin, yang mempercayai dan mengajarkan bahwa apapun yang dialami seseorang, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semua disebabkan oleh kamma lampau. Saya menemui mereka dan bertanya apakah benar mereka mengajarkan sedemikian, mereka ternyata mengiyakan, saya berkata: "Bila demikian, tuan yang terhormat, seseorang membunuh, mencuri dan berzina disebabkan kamma lampau, mereka berbohong, berfitnah, berkata kasar dan tak berharga disebabkan kamma lampau. Mereka menjadi serakah, membenci dan penuh pandangan salah disebabkan kamma lampau." Mereka yang mendasarkan segala sesuatu pada kamma lampau sebagai unsur penentu akan kehilangan keinginan dan usaha untuk berbuat ini atau tak berbuat itu.11

Berdasarkan pengetahuan bahwa ada lima hukum yang mengatur semesta (26), jelas bahwa kamma hanyalah salah satu dari beberapa penyebab yang menjadikan kita. Terlahir cantik, jelek, utuh atau cacat mungkin disebabkan oleh turunan (hukum Biologis), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau. Cerdas atau bodoh mungkin disebabkan karena keadaan sosial dan pengaruh orang-tua (hukum Fisika dan hukum Psikologik), bukan semata-mata oleh perbuatan baik atau buruk. Mati muda atau berumur panjang mungkin karena gabungan antara masalah gisi (hukum Biologis), lingkungan yang sehat (hukum Fisika) dan mungkin pula sikap dan pandangan hidup (hukum Psikologik), bukan semata-mata karena perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau. Menghubungkan semua yang terjadi pada kita (baik ataupun buruk) sebagai melulu akibat perbuatan masa lampau, menurut Sang Buddha, berarti menutup mata pada kaidah sebab dan akibat yang telah dibenarkan oleh pengalaman kita sendiri. Beliau bersabda:

        Sehubungan dengan itu, ada penderitaan yang ditimbulkan oleh empedu, oleh lendir, dari udara, oleh kecelakaan, oleh keadaan yang tak dapat diketahui sebelumnya, dan juga oleh hasil perbuatan lampau seperti diketahui dari pengalamanmu sendiri. Dan kenyataan bahwa penderitaan timbul dari berbagai penyebab telah diketahui dunia sebagai suatu kebenaran. Oleh karenanya pertapa dan kaum Brahmin yang berkata: "Apapun kesenangan atau penderitaan atau keadaan batin yang dialami seseorang, kesemuanya disebabkan karena masa lampau," maka pernyataan mereka bertentangan dengan pengalaman setiap orang yang telah diakui kebenarannya oleh dunia. Oleh karenanya, Saya katakan, bahwa mereka itu salah.12

Sang Buddha mengajar kita hukum kamma, oleh karenanya kita dapat memaklumi keadaan seperti sekarang ini, oleh karenanya kita dapat merubah diri sendiri, dan oleh karenanya kita dapat menciptakan prasyarat-prasyarat yang membantu pencapaian Nibbana.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:03:57 AM
Kelahiran - Kembali

  34.      Sering dipertanyakan didalam masyarakat: "Apa yang terjadi sesudah kita mati?" Ada tiga macam jawaban untuk pertanyaan itu. Mereka yang percaya pada adanya "maha-dewa penguasa semesta" akan menjawab, bahwa setelah mati seorang akan pergi ke salah satu, surga kekal atau neraka kekal tergantung pada perbuatan atau agama orang itu. Yang lain mengatakan bahwa bila hidup seseorang berakhir, keberadaannya juga berakhir. Ini adalah kepercayaan "kemusnahan pada kematian", yang merupakan pandangan materialistik. Sang Buddha berkata setelah kematian, kita akan terlahir pada kehidupan baru, dan bahwa proses mati dan terlahir kembali ini akan berkelanjutan sampai kebebasan Nibbana tercapai.

  35.      Agama Buddha menganggap kedua pandangan diatas tidak benar dan tidak lengkap. Pandangan pertama ditolak karena tidak masuk-akal, tidak adil dan kejam. Si jahat tidak semestinya dilaknat hukuman-kekal di neraka, juga Si baik tidak semestinya dianugerahi surga-kekal, hanya karena berbuat kejahatan atau kebaikan dibumi selama 60 atau 70 tahun, sepanjang hidupnya sekalipun, masa 60 atau 70 tidak sebanding dengan kekal selama-lamanya. Juga adalah tidak masuk akal, bahwa "maha-dewa yang semestinya maha-pengasih" mencampakkan dan menghukum "ciptaannya" berupa siksaan dan kesakitan selama tak terhitung jutaan tahun. Pandangan diatas juga tidak bisa menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan penting sehubungan dengan itu. Apa yang dialami para binatang setelah mati? Apa yang terjadi pada jutaan bayi yang mati dalam kandungan, pula yang mati segera setelah lahir? Apakah mereka ke surga atau ke neraka? Kalau ke surga, maka jelas tak adil sebab mereka belum pernah berbuat baik, lalu bila dihukum di neraka juga tidak adil karena mereka belum sempat berbuat kejahatan.

      Pandangan materialistik, juga tidak dapat menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar. Para kaum materialistik sulit menjawab fenomena kompleks, misalnya bagaimana kesadaran manusia yang timbul setelah pertemuan dua sel kelamin dan perkembangannya selama 9 bulan. Saat ini, setelah Parapsikologi telah diterima sebagai cabang ilmu pengetahuan, fenomena seperti telepati dan sebagainya, bertambah tidak cocok dengan pandangan kaum materialistik tentang batin manusia. Agama Buddha menawarkan keterangan yang sangat memuaskan tentang dari mana kita datang dan apa yang akan terjadi setelah kita mati.

  36.      Proses kelahiran kembali, yang disebut punabbhava, secara harfiah berarti 'menjadi lagi'. Sang Buddha berkata, untuk dapat terlahir kembali, tiga syarat harus dipenuhi: sepasang (calon) orang tua yang subur, hubungan seksual dan adanya gandhabba.1 Istilah 'gandhabba' berarti datang dari tempat lain', mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang meninggalkan badan yang telah mati. Ketika badan mati, 'batin bergerak keatas' (uddhamgami)2 dan mengembangkan diri lagi pada sel telur (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai "sifat bawaan" dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma) kehidupan lampau. Perbuatan-perbuatan kita selama hidup, demikian pula, akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.

  37.      Secara sederhana, untuk dapat mengerti bagaimana 'batin' 'berpindah' dari satu badan ke badan yang lain, maka kita dapat membandingkannya dengan pancaran siaran radio. Gelombang radio, yang jelas memang tidak terdiri atas musik atau pidato, namun adalah energi pada frekwensi-frekwensi yang berbeda, dipancarkan lewat angkasa, tertarik dan ditangkap oleh pesawat penerima/radio yang kemudian disiarkan sebagai musik atau pidato. Dengan cara yang sama, 'batin' meninggalkan badan pada saat kematian, bergerak di angkasa, tertarik dan masuk ke sel telur yang telah dibuahi dan di-'siar' kan sebagai suatu pribadi baru. Baik gelombang radio maupun 'batin' bukanlah benda tapi suatu proses dinamis, dengan demikian tidaklah benar bila dikatakan bahwa "jiwa yang tak berubah" berpindah ke badan baru sebagai halnya musik dan pidato terlepas berpindah ke pesawat pemancar ke radio. Pula, jelas tidak ada 'keadaan-antara' (antarabhava), sebab 'batin' langsung berpindah dari satu badan ke yang lainnya, seperti halnya gelombang radio langsung ditangkap segera setelah dipancarkan.

  38.      Apakah ada bukti yang mendukung doktrin kelahiran kembali? Selama berabad-abad, telah banyak orang yang menyatakan dapat mengingat kehidupannya yang lalu, sebelum dilahirkan kembali. Catatan tertua justru dari Eropa, Pythagoras (582-500 SM), filsuf dan ahli matematika Yunani, menyatakan dapat mengingat beberapa kehidupannya yang lalu. Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus orang-orang yang dengan jelas dapat mengingat kejadian-kejadian yang dialaminya pada kehidupannya yang lampau, beberapa dari kasus tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Bukti-bukti kelahiran kembali yang paling mengesankan adalah berupa hasil riset dari Ian Stevenson, seorang ilmuwan Amerika. Dr. Stevenson, yang adalah profesor di bidang Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) di Universitas Virginia, memulai risetnya ditahun 1958, dan ternyata kemudian disambut dan dikenal dunia internasional. Selama bertahun-tahun, dia melaporkan secara rinci kasus-kasus orang dewasa maupun anak-anak, yang dapat mengingat kehidupan lalunya-semuanya dilatar-belakangi oleh metoda riset ilmiah secara cermat. Rekan ilmuwannya, Dr. Harold Leif, mengomentari riset Ian Stevenson, sebagai berikut: "Hanya salah satu dari dua kemungkinan, dia membuat satu kesalahan besar atau dia akan dikenal sebagai Galileo-nya abad ke XX."3

  39.      Mari kita meninjau satu kasus penelitian Dr. Stevenson, seorang anak bernama Ravi Shankar dilahirkan 1951 di kota Kanaiy, India Utara. Ayahnya bernama Ram Gupta; sejak berumur dua tahun si anak berkeras bahwa ayah sebenarnya adalah seorang bankir bernama Jogeshwar. Dia juga mengatakan bahwa pada kehidupan lalunya dia dibunuh dengan digorok tenggorokannya oleh dua orang - Chaturi dan Jamahar. Sebagai bukti, si anak menunjuk tanda lahir di lehernya, yang memang bertanda-lahir seperti bekas luka potong. Penyelidikan kemudian membuktikan, bahwa ternyata setengah mil dari kediaman mereka, ada seorang bernama Jogeshwar yang mempunyai anak laki-laki bernama Munna yang telah dibunuh, persis seperti yang digambarkan oleh Ravi Shankar. Yang berwajib sejauh ini memang sangat mencurigai dua orang sebagai pembunuhnya, seorang binatu bernama Chaturi dan seorang bankir bernama Jamahar, namun mereka dibebaskan karena kurangnya bukti. Munna dibunuh enam bulan sebelum Ravi lahir. Riset Dr. Stevenson terbukti kebenarannya secara sangat rinci.4 Banyak dari kasus-kasus seperti diatas mempunyai bukti yang sangat kuat, ialah bahwa setelah kematian, seorang akan terlahir kembali dengan ingatan yang jelas pada kejadian yang sangat dramatis pada kehidupan lampaunya. Sebaliknya, sejauh ini, tidak pernah ada bukti-bukti yang dapat mendukung kedua pandangan yang disebutkan sebelumnya diatas (34).

  40.      Terlepas dari bukti-bukti diatas, doktrin kelahiran kembali amat menarik karena sangat adil. Menurut pandangan agama lain, walau seorang berperilaku baik dalam hidupnya, maka dia tetap dapat saja dihukum selamanya di neraka kekal, karena dianggap memeluk agama yang salah. Ini jelas sangatlah tidak adil. Kamma dan kelahiran kembali berarti orang baik akan terlahir baik, apapun agama yang dianutnya. Pula, orang jahat akan tetap mempertanggung-jawabkan perbuatannya, walaupun dia "insaf" dan mengubah agamanya di menit-menit terakhir kehidupannya. Doktrin kelahiran kembali juga memungkinkan setiap orang untuk senantiasa mempunyai kesempatan lagi. Pandangan agama lain, hanya memberi kesempatan sekali saja. Apa yang dia perbuat dan apa kepercayaannya pada hidupnya yang singkat pada satu kehidupan, menentukan bagaimana dia selamanya secara kekal. Sebaliknya, Sang Buddha menegaskan bahwa bila kita gagal memurnikan diri kita pada kehidupan ini, kita masih dapat melakukannya pada kehidupan akan datang atau yang berikutnya lagi. Kelahiran kembali juga memungkinkan kita untuk senantiasa menyempurnakan keahlian dan minat kita yang telah kita kembangkan pada kehidupan kini, pada kehidupan akan datang. Sang Buddha, malah mengatakan kita dapat saja bertemu, dengan orang yang kita cintai dan sayangi pada kehidupan mendatang, bila kita mempunyai keterikatan yang kuat dengannya.

      Perumah tangga Nakulapita dan isterinya Nakulamata mendatangi Sang Buddha; setelah bersimpuh, Nakulapita berkata: "Guru, sejak isteri saya dibawa ke rumah pada saya, ketika itu saya masih seorang anak perjaka, dia masih seorang anak gadis, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang."

      Nakulamata kemudian berkata: "Guru, sejak saya dibawa kerumah suamiku, ketika itu saya masih seorang anak gadis, dia masih seorang anak perjaka, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang."

      Sang Buddha kemudian bersabda: "Apabila suami dan isteri bertekad untuk saling menyayangi pada kehidupan ini dan pada kehidupan mendatang, dan keduanya sepadan dalam keyakinan, sepadan dalam moral, sepadan dalam kemurahan hati dan sepadan dalam kebijaksanaan, maka mereka akan saling menyayangi dalam kehidupan ini, pula pada kehidupan mendatang.5

  41.      Dengan demikian, secara jujur beralasan bila dikatakan, doktrin kelahiran-kembali lebih dapat diterima, lebih adil dan lebih menarik hati dibanding teori tentang masalah sesudah kematian yang lain. Sekarang, secara mengejutkan doktrin kelahiran-kembali (sering juga disebut reinkarnasi, transmigrasi) makin menarik minat masyarakat. Penarikan pendapat umum (Inggeris: gallup polls) di Inggeris, menunjukkan bahwa mereka yang percaya pada adanya kelahiran-kembali meningkat jumlahnya dari 18% pada tahun 1968 menjadi 28% di tahun 1978, persentasi terbesar dari mereka berumur sekitar 25 sampai 35 tahun. Penelitian yang sama di Amerika menunjukkan bahwa 28% dari bangsa Amerika menerima doktrin tersebut.6 Jumlah para pemikir, filsuf serta ilmuwan yang menerima doktrin kelahiran-kembali meningkat secara sangat mengesankan. Dua filsuf terkenal memberi argumentasi tentang kelahiran-kembali yang masuk-akal dan etis, mereka adalah J.M.E.M. Taggat dan C.J. Duccuas. Thomas Huxley, ilmuwan yang memperkenalkan Sains pada abad ke XIX ke sistim pendidikan di Inggris, yang pula adalah ilmuwan pertama yang mendukung teori Darwin, percaya bahwa kelahiran kembali adalah doktrin yang benar-benar dapat diterima. Dalam bukunya "Evolution and Ethics and other Essays", dia menulis:

      Pada doktrin kelahiran-kembali, baik yang berasal dari pandangan kaum Brahmin ataupun Buddhis, telah siap, semua sarana untuk menyusun pertahanan yang beralasan yang menghubungkan kosmos (alam-semesta) dengan manusia ..... Tapi paham yang adil ini belum lebih diterima dibanding yang lainnya; dan para pemikir yang sembrono secara tak berhati-hati menolaknya serta mencampakkannya sebagai sesuatu yang jelas tak masuk akal. Sama halnya dengan doktrin evolusi, doktrin kelahiran-kembali berakar pada dunia yang nyata; dan mampu mendapatkan dukungan-dukungan seperti argumentasi yang kuat dari persamaan yang dapat memenuhinya.7

      Professor Gustaf Stromberg, ahli astronomi Swedia, ahli fisika yang adalah kawan Einstein, juga menyebutkan paham kelahiran-kembali sebagai paham yang sangat memikat hati.

      Banyak pendapat yang berbeda, mengenai dapat atau tidaknya jiwa manusia ber-reinkarnasi ke dunia lagi. Pada tahun 1936 suatu kasus yang sangat menarik dilaporkan dan diteliti secara luas oleh mereka yang berwajib di India. Seorang anak gadis (Shanti Devi dari Delhi) secara tepat dapat menggambarkan kehidupan lalunya (di Mattra, lima ratus mil dari Delhi) yang berakhir sekitar setahun sebelum 'kelahiran-keduanya'. Dia menyebut nama suami dan anaknya serta memberi gambaran mengenai riwayat hidup serta rumahnya yang lalu. Panitia penyelidik membawanya ke rumah keluarganya pada kehidupan sebelumnya, yang ternyata membenarkan segala pernyataannya. Diantara masyarakat India, reinkarnasi adalah dianggap masalah biasa; hal yang mereka anggap luar biasa pada kasus ini adalah sedemikian banyaknya hal yang dapat diingat kembali oleh si gadis ini. Kasus ini dan kasus-kasus yang sama dapat dianggap sebagai bukti tambahan tentang teori kekuatan daya ingat.8

      Profesor Julian Huxley, ilmuwan terhormat dari Inggeris, bekas Direktur Jendral UNESCO, percaya bahwa paham kelahiran-kembali seirama dengan jalan pikiran ilmu pengetahuan.

      Tidak ada kekuatan yang dapat merintangi terlepasnya 'roh kehidupan kekal' makhluk pribadi, pada saat kematiannya, dengan berbagai cara; sama seperti pesan-pesan radio yang terlepas dari pesawat pemancar-radio dengan caranya sendiri pula. Tapi, hendaknya dicamkan bahwa pesan-pesan radio hanya akan berwujud kembali sebagai pesan setelah berkontak dengan struktur materi baru - yakni pesawat penerima-radio. Pada roh kita-keluar darinya. Kemudian ..... tak pernah dapat berpikir atau merasakan lagi, bila tidak kembali 'berwujud' dengan cara bagaimanapun. Kepribadian kita sangat didasari oleh jasmani kita, yang dengan sendirinya tidak mungkin hidup dalam makna sebenarnya. Tanpa adanya 'semacam badan' .... Saya dapat memikirkan sesuatu yang terlepas, yang sama keadaannya, pada lelaki dan wanita, seperti pesan-pesan radio pada pesawat pemancar; tapi dalam hal 'kematian' semestinya, seperti yang dapat dimaklumi oleh siapa saja, yang terjadi adalah gejolak dalam berbagai bentuk yang mengembara, sampai ..... mereka ....... datang kembali dalam wujud kesadaran yang aktual, setelah berkontak dengan sesuatu yang dapat bekerja sebagai 'pesawat penerima untuk batin'.9

      Mereka yang berpikiran praktis dan bersahaja sekalipun seperti Henry Ford, industrialis Amerika, pula dapat menemukan nilai kebenaran dalam paham kelahiran-kembali. Ford tertarik pada masalah kelahiran-kembali, sebab tidak seperti paham agama lain, kelahiran kembali memberi kesempatan untuk mengembangkan diri sendiri. Henry Ford berkata:

      Saya menerima pandangan reinkarnasi sejak saya berumur 26 tahun .... Agama tidak menawarkan apapun dalam satu hal .... Bekerja juga tidak memberi kepuasan yang lengkap. Bekerja adalah hal yang sia-sia, bila kita tidak dapat menerapkan pengalaman yang kita kumpulkan pada satu kehidupan, pada kehidupan berikutnya. Sewaktu saya menemukan paham Reinkarnasi, rasanya seakan saya menemukan suatu rencana alam-semesta. Saya sadar bahwa selalu ada kesempatan untuk melaksanakan ide-ide saya. Waktu bukan lagi suatu yang terbatas. Saya bukan lagi budak dari jarum-jarum jam ... Genius adalah suatu pengalaman. Ada pendapat yang menganggap, bahwa itu adalah karunia atau bakat, tapi sebenarnya itu adalah buah dari pengalaman-pengalaman yang panjang dalam beberapa kehidupan. Jiwa-jiwa ada yang lebih matang dari jiwa-jiwa yang lainnya ... Dengan mengetahui adanya Reinkarnasi, membawa ketenangan batiniah bagi saya .... Apabila anda merekam percakapan ini, tulislah demikian, bahwa ini memberi ketenangan batiniah. Saya suka berkomunikasi dengan yang lainnya tentang ketenangan yang diberikan oleh pandangan tentang kehidupan yang panjang.10

      Dengan demikian ajaran agama Buddha tentang kelahiran-kembali didasari oleh bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya. Akan senantiasa masuk-akal dan selalu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab baik oleh pandangan agama-agama lain maupun pandangan materialistik.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:11:42 AM
Empat Kebenaran Mulia

  42.      Inti dari seluruh ajaran Sang Buddha adalah Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Dengan mengerti Empat Kebenaran Mulia, dapat dikatakan seseorang telah mengerti agama Buddha. Sang Buddha memberi batasan tentang Kebenaran yang pertama, sebagai berikut:

      Lalu, apakah kebenaran mulia tentang penderitaan itu (dukkha ariya sacca)? Lahir adalah penderitaan, bertambah tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; sedih, penyesalan, nyeri, duka-cita dan putus asa adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disukai adalah penderitaan.1

      Terlihat dari pernyataan diatas, bahwa Sang Buddha berbicara tentang dua macam penderitaan - jasmaniah dan rohaniah. Penderitaan jasmaniah adalah rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, umur tua, kecapaian, dan sebagainya. Penderitaan rohaniah termasuk rasa sakit oleh keadaan mental-takut, bosan, gelisah, sedih, kesepian dan segala perasaan negatif lainnya. Hidup adalah pengalaman-pengalaman pada penderitaan, dalam berbagai kadar, sedikit ataupun banyak. Sang Buddha tidak mengingkari adanya kebahagiaan dan kegembiraan, Beliau semata-mata mengingatkan kita pada kenyataan yang tak dapat disangkal, ialah bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahwa penderitaan adalah masalah yang kita semua alami, pula sekaligus ingin kita hindari. Pada dasarnya, hampir semua kegiatan dan upaya kita sehari-hari, tanpa kita sadari, bersangkutan dengan usaha untuk menghindari penderitaan dan mencari kebahagiaan. Namun, walau begitu banyak waktu dan akal-daya yang dikerahkan untuk mencari kebahagiaan sejati, kepuasan dan kedamaian hati tetaplah jarang dan sulit digapai. Sang Buddha, bagai seorang dokter yang penuh kasih-sayang, datang untuk menunjukkan pada umat manusia, cara untuk mengatasi penderitaan, kesakitan, kematian dan kelahiran kembali, dan juga cara agar dapat mencapai kebahagiaan Nibbana.

  43.      Kebanyakan agama berdasar pada kepercayaan semata, namun ajaran Sang Buddha berdasar pada kebenaran yang kokoh. Kebenaran (sacca) dapat didefinisikan sebagai pernyataan atau pengejawantahan-realisasi, yang berhubungan dengan kenyataan. Kebanyakan ajaran agama membuat pernyataan yang dikatakannya benar, namun karena kebanyakan pernyataan itu tak dapat dibuktikan, maka tetap disebut sebagai kepercayaan, bukannya kebenaran. Apabila seseorang berkata: "Ada seribu rupiah dalam saku saya," dan setelah diperiksa memang ada seribu rupiah dalam sakunya, maka baru dikatakan bahwa pernyataan orang itu benar dan kita kemudian maklumi hal itu sebagai kebenaran.

      Apabila kita tidak dapat memeriksa sakunya, kita hanya dapat mengatakan bahwa orang itu menyatakan mempunyai seribu rupiah dan bahwa kita mempercayai pernyataannya. Kebenaran, yang adalah pembuktian jelas lebih berharga dibanding pernyataan, yang hanya untuk dipercayai. Penderitaan bukan suatu paham; itu adalah suatu kenyataan. Penderitaan bukan juga sesuatu yang diterima keberadaannya, karena disebut dalam kitab suci, tapi sesuatu yang kita ketahui lewat pengalaman kita sendiri. Jadi sangatlah tepat bila dikatakan bahwa ajaran Sang Buddha berdasarkan kenyataan yang dapat dibuktikan oleh kita semua, bukan kepercayaan yang diterima atas dasar keyakinan semata.

  44. Kebenaran mulia yang kedua adalah Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan (dukkha samudaya ariya sacca). Sang Buddha memperlihatkan pada kita, bahwa semua penderitaan yang kita alami disebabkan langsung atau tidak langsung oleh keinginan-rendah (tanha) dan ketidak-tahuan (avijja)2 Adalah mudah dimengerti, bagaimana nafsu-keinginan dan ketidak-tahuan, dapat menyebabkan penderitaan batiniah. Sebagai contoh yang sederhana, seseorang berkeinginan kuat untuk menjadi kaya, sebab menurutnya uang adalah segala-galanya dan akan menyebabkannya berbahagia. Lalu, karena tidak berhasil menjadi kaya, dia frustrasi dan sangat kecewa. Hubungan antara keinginan-rendah (menginginkan uang) dan ketidak-tahuan (pandangan salah, bahwa uang semata yang dapat akan memberinya kebahagiaan) di satu pihak; dan penderitaan (frustrasi dan kekecewaan) pada pihak lainnya. Tapi, apakah keinginan-rendah dan ketidak-tahuan juga dapat menyebabkan penderitaan jasmaniah? Telah kita lihat sebelumnya (30), bahwa keinginan-rendah menyebabkan kamma, yang pada gilirannya kemudian menyebabkan kelahiran-kembali. Terlahir-kembali berarti memiliki badan, dan memiliki badan berarti bisa mengalami kecelakaan, terluka, sakit, menjadi lemah dan tua dan segala macam penderitaan badaniah. Dengan demikian jelas, bahwa keinginan-rendah dan ketidak-tahuan juga menyebabkan penderitaan badaniah.

  45. Tapi, apabila keinginan adalah salah satu penyebab dari penderitaan, bukankah kita seharusnya tidak usah berdaya-upaya untuk hal apapun juga? Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, adalah penting untuk menyadari bahwa Sang Buddha mengajarkan perbedaan antara keinginan yang tumbuh dari ketidak-tahuan dan keinginan yang timbul atas dasar pengertian. Sang Buddha sering mengatakan, bahwa kita seharusnya senantiasa bergairah (adithana), kita senantiasa bertekad (tibbacchanda), juga senantiasa mempunyai cita-cita yang kuat untuk mencapai Nibbana (chandajato anakkate)3. Keinginan menjadi orang-tua yang baik, keinginan menjadi teman yang setia, keinginan menjadi warga-negara yang bertanggung jawab adalah keinginan yang berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Berkeinginan melaksanakan Jalan atau mencapai Nibbana adalah keinginan berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Apabila kehendak, keinginan dan cita-cita didasarkan atas pengertian, dan apabila kesemuanya itu diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, dan bila semuanya diarahkan pada sasaran yang mulia, maka justru keinginan semacam itulah yang dianjurkan.

  46. Kebenaran Mulia yang ke-tiga adalah Kebenaran Mulia mengenai Musnahnya Penderitaan (dukkha nirodha ariya sacca). Pada Kebenaran ini, Sang Buddha dengan jelas dan tegas mengajar kita, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nibbana. Istilah Nibbana secara harfiah berarti 'padam', serta mengacu ke pemadaman api keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Sang Buddha, juga menggunakan ungkapan-ungkapan lain unyuk menggambarkan keadaan ini - kelanggengan (amata), Pernaungan Yang Aman (khema), Kedamaian (santa), Perlindungan (tana), Kebahagiaan Tertinggi (paramam sukham), Penghancuran Keinginan rendah (tanhakkhaya), Keabadian (dhura). Apa itu Nibbana? Ada pendapat yang menganggap bahwa Nibbana identik dengan kemusnahan dari pribadi (Inggeris: annihilation). Sang Buddha menegaskan bahwa pandangan ini salah.

              Apabila seorang telah membebaskan batinnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir: "Ini adalah kesadaran Tathagata." Mengapa? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau Saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin, salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata: "Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh," tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang Penderitaan dan penghentian Penderitaan.4

      Ada kelompok Buddhis, yang menyatakan bahwa Nibbana adalah pemusnahan diri, namun mereka juga menolak bahwa Sang Buddha mengajarkan "Kemusnahan diri". Mereka mencoba menjelaskan kontradiksi ini dengan berkata: "Pemusnahan-Diri hanya mungkin terjadi, bila ada pribadi yang akan dimusnahkan. Namun pada kebenaran akhir tidak ada suatu yang disebut "Pribadi". Lalu bagaimana mungkin Nibbana adalah "Pemusnahan-Diri", bila tidak ada pribadi yang akan musnah?" Dibalik permainan-kata diatas, mereka juga tetap mengatakan Nibbana adalah kekosongan, dimana pribadi tidak ada lagi dalam bentuk apapun. Banyak kesempatan bagi Sang Buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian. Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha:

              Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
              Apakah mereka musnah keberadaannya,
              Atau mereka tetap tak lekang selamanya?
              Jelaskan pada saya, Oh, Guru Bijaksana
              Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.

      Lalu, Sang Buddha menjawab:

              Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
              Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
              Tidak ada lagi.
              Ketika semua fenomena telah tiada,
              Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.5

      Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul (dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul (dengan kata lain, hilang keberadaannya). Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

              "Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu?"
              "Istilah 'Timbul' tidak dapat terpakai"
              "Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan 'Tidak timbul'"
              "Tidak timbul" juga tidak terpakai.
              "Bila demikian, apakah mereka 'timbul dan juga tidak timbul'?"
              "'Timbul dan juga tidak timbul' juga tidak terpakai."
              "Bila demikian mereka 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul'?"
              "'Tidak timbul dan juga tidak tidak timbul', juga tidak terpakai".
              "Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini, Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi...."
              "Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan. 'Timbul' tak terpakai, 'tidak-timbul' tak terpakai, 'Timbul dan juga tidak timbul' tak terpakai, 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' juga tidak terpakai."6

      Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan - lahir, mati, jasmaniah, bergerak dalam waktu dan ruang, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri - tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan Nibbana. Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seseorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu. Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.

  47. Walau sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata:

              Batin adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran batin yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. Batin adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga batin mereka.7

      Dengan kata lain, batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam citam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda:

              Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah? Jawabnya adalah: Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung - tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu.8

      Nibbana adalah "alam" dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan-pasang - panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni - tidak ada lagi serta batin tak tertandai lagi (anidassanam), tak terikat (anatam) dan bercahaya (sabbato pabham). Bercirikan sebagai keadaan-kekal (nibbanapadam accutam) dari kemurnian (suddhi), kebebasan (vimitti) dan kebahagiaan-tertinggi (nibbanam paramam sukham).

  48. Sang Buddha juga memberitahu, bahwa Nibbana dicapai dalam dua tingkatan atau cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmani-nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Ini disebut Nibbana dengan sisa dasar (saupadisesa nibbana). Lalu, setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang mencapai Nibbana sempurna. Ini disebut sebagai Nibbana tanpa sisa dasar (anupadisesa nibbana), atau sering pula disebut sebagai Nibbana sempurna (parinibbana).     
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:12:02 AM
  49. Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan:

              Dimana ada panas,
              Disitu pasti pula ada dingin.
              Demikian pula,
              Dimana ada tiga api,
              Disitu pasti pula ada Nibbana.

              Dimana ada kejahatan,
              Disitu pasti pula ada kebajikan.
              Demikian pula,
              Dimana ada kelahiran,
              Keadaan "tak-terlahir", dengan demikian, juga ada.9

      Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda:

              Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung.10

      Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan-Nya, sebagai berikut:

              Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-terbatas, Kesadaran Tak-terbatas, Kehampaan, juga Lingkup bukan-Kesadaran bukan pula Tanpa-kesadaran, tidak di bumi ini, di bumi seberang ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak, dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan.11

  50.      Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya? Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.

              Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya,
              Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
              Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
              Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya.12

      Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksananya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.

              "Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?"
              "Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak."
              "Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya?"
              "Saya akan bertanya padamu, Brahmin; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?"
              "Ya, Gotama Yang Baik, saya mengetahuinya."
              "Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. Lalu, engkau berkata: 'Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau sampai di pasar, lalu bila engkau berjalan terus engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah. Namun, walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha. Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat. Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana, dan juga ada engkau sebagai penunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?" "Gotama Yang Baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan." "Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada Saya sebagai penunjuk jalan menuju ke Nibbana. Tapi hanya sebagian Siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat Saya perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata adalah penunjuk Jalan.13

      Tapi satu hal yang pasti - siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.

              "Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?"
              Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: "Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini." Jadi Ananda berkata: "Saya akan memberi suatu perumpamaan." Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa "Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan."14

      Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau "mengajak" semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. "Ajakan" Beliau masih berlaku sampai saat ini.

              Pintu-pintu ke ke Abadi-an telah terbuka,
              Marilah, mereka yang dapat mendengar, berusaha dengan keyakinan.15

  51.      Kebenaran Mulia yang ke empat adalah Jalan yang menuju ke akhir penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada), dan Jalan-nya adalah Jalan Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga). Disebut 'Mulia' karena bila dilaksanakan, maka akan menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia; disebut 'Berunsur Delapan', karena terdiri dari Delapan Unsur, dan disebut 'Jalan', karena seperti jalan pada umumnya, akan menuntun seseorang dari satu tempat ke tempat lain, dengan hal ini dari Samsara ke Nibbana. Dari Empat Kebenaran Mulia; tiga kebenaran yang pertama adalah bagaimana pandangan Sang Buddha terhadap dunia ini - Teori; lalu Kebenaran ke-empat adalah apa yang dianjurkan Sang Buddha kepada kita untuk mengatasinya - Pelaksanaannya.

  52.      Empat Kebenaran Mulia mempunyai ciri-ciri yang khas. Pertama merupakan suatu sistim yang lengkap dari suatu latihan spiritual, berisikan semua yang dibutuhkan untuk kehidupan yang etis, pengertian yang jelas dan pencapai Nibbana. Karena Nibbana adalah tujuan hidup, maka semua aspek kehidupan diperhitungkan untuk usaha itu, dan itulah yang ditunjukkan dalam Jalan Berunsur Delapan. Adalah kenyataan umum pada masa sekarang, bahwa suatu agama turut menerima malah kadang-kadang mengikuti ajaran agama yang lain. Beberapa kaum kr****n liberal misalnya, saat ini setelah melihat nilai-nilai meditasi, juga telah mempraktekkan meditasi. Namun, karena Jalan Berunsur Delapan telah lengkap, Agama Buddha tidak perlu meminjam apapun dari keyakinan lain. Kedua, Jalan Berunsur Delapan adalah satu-satunya praktek keagamaan yang menuju kebebasan Nibbana. Sang Buddha bersabda:

              Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
              Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
              Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
              Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
              Inilah Jalan satu-satunya;
              Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
              Jalani Jalan itu,
              Dan engkau akan mengatasi Mara.

              Jalani Jalan ini,
              Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
              Saya memaklumatkan Jalan ini,
              Ditemukan oleh Saya sendiri.16

      Kebanyakan agama tidaklah lengkap, sebab hanya dapat menuntun untuk terlahir kembali di-alam surga para Dewa, yang walau lebih baik dari alam-alam lainnya; namun tetap tidak sebaik dibanding dengan mencapai kebahagiaan tertinggi - Nibbana.

      Ciri ke tiga dari Jalan Berunsur Delapan adalah bahwa Jalan itu berlaku selamanya. Selama ribuan tahun Jalan itu mungkin tertutup oleh ketidaktahuan atau ketakhyulan, tetapi karena berlaku selamanya, maka niscaya akan ada seseorang yang menemukannya kembali, berubah pandangan karenanya, dan mengajarkannya kembali demi kebaikan umat manusia. Demikian pula, berabad-abad sebelum ini, Jalan itu telah pernah diketahui tapi lalu terlupakan, lalu diketemukan kembali dan diajarkan oleh Buddha Gotama. Inilah, seperti yang dikatakan Sang Buddha "Jalan lama yang masih tetap berlaku dan akan senantiasa demikian."

              Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: "Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu." Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan.17

  53.      Sang Buddha kadang-kadang menyebut Jalan Berunsur Delapan dengan suatu nama lain, untuk menunjukkan bahwa Jalan itu tidak hanya untuk dilaksanakan untuk mencapai kebebasan Nibbana, namun semangat yang menjiwainya juga harus dijalankan. Beliau menamakannya "Jalan Tengah" (majjhima-patipada) diantara jalan yang ekstrim. Beliau secara rinci menyebut "pemuasan-diri" sebagai ekstrim yang satu, dan "pemusnahan-diri" sebagai ekstrim lainnya, lalu menganjurkan bahwa mereka yang mengikuti Jalan, hendaknya menghindari semua yang ekstrim. Ke-ekstriman adalah perilaku yang ditandai kepercayaan bahwa hanya satu jalan yang paling benar, tanpa toleransi pada pilihan lain dan tidaklah luwes. Ke-ekstriman cenderung menyebabkan seorang agresif dan membutakan diri pada jalan yang lain dalam melaksanakan sesuatu, dan inilah menyebabkannya berbahaya. Seorang Buddhis hendaknya melaksanakan Jalan dengan moderat (mattaññuta), luwes (mudu) dan diserta kemauan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang lain. Dalam setiap aspek kehidupan dan pelaksanaannya, seorang Buddhis hendaknya menjadi seorang yang mengambil jalan tengah yang bahagia.

  54.      Jalan Berunsur Delapan secara tradisional dibagi dalam tiga bagian: Moral/kebajikan (sila), Pemusatan-Pikiran (samadhi) dan Kebijaksanaan (pañña). Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Moral; Daya-Upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Konsentrasi/Pemusatan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Pemusatan-Pikiran; Pengertian Sejati dan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Kebijaksanaan. Namun, untuk menekankan beberapa aspek penting yang kadang-kadang diabaikan, maka dalam pembahasan ini, kita akan mengelompokkan 'Jalan' dengan cara yang lain. Pengertian Sejati dikelompokkan sebagai Latihan Intelektual/Akal-Budi (Intellectual Training); Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Latihan-Etika (Ethical Training); lalu Daya-upaya Sejati, Kesadaran-Sejati dan Pemusatan-Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Latihan Kejiwaan (Psychological Training). Dengan pelaksanaan Latihan Intelektual, dimaksudkan agar kita hendaknya memahami terlebih dahulu secara jelas serta realitas konsep Empat Kebenaran Mulia; lalu kemudian secara bertahap melangkah mewujudkannya dengan mengembangkan langkah-langkah lain dari Jalan. Dengan Latihan Etika, kita menentukan apa yang baik, lalu melaksanakannya, baik pada diri kita pribadi juga pada tindak-tanduk kita dalam bermasyarakat. Dengan Latihan-Kejiwaan, dimaksudkan adalah perubahan batin secara sadar dari yang bersifat keduniawian ke keadaan batin yang murni. Dengan melaksanakan langkah-langkah Jalan Berjalur Delapan dalam kehidupan, maka seseorang menjadi Buddhis, dan dengan menghayati kebenarannya dalam batin, yang dengan sendirinya akan timbul setelah melaksanakannya, seseorang akan dapat mencapai Pencerahan.

              Pengembara Nandiya bertanya kepada Sang Buddha: "Keadaan apakah, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan akan menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana?"
              "Nandiya, ada Delapan Hal, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan, menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana."
              "Apa yang Delapan itu?"
              "Pengertian Sejati, Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati, Penghidupan Sejati, Daya-upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Pemusatan-pikiran Sejati."18


      JALAN MULIA BERJALUR DELAPAN
      Latihan Akal-budi/ Intelektual      Pengertian Sejati            (samma ditthi)
                                                 Pikiran Sejati                  (samma sankappa)

      Latihan Etika/Moral              Pembicaraan Sejati         (samma vaca)
                                                 Tindakan Sejati              (samma kammanta)
                                                 Penghidupan Sejati          (samma ajiva)



      Latihan Kejiwaan/ Psikologik   Daya-upaya Sejati         (samma vayama)
                                                 Kesadaran Sejati              (samma sati)
                                                 Pemusatan-pikiran Sejati    (samma samadhi)
     
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:16:33 AM
Pelaksanaan

Pengenalan

  55.      Sebagian besar umat manusia niscaya sependapat, bahwa kebenaran adalah harta yang tak ternilai dalam kehidupan kita. Masalahnya kemudian terletak pada patokan atau dasar yang seharusnya dipakai untuk menetapkan benar tidaknya "kebenaran" itu. Ribuan agama, sekte dan falsafah yang ada saat ini membuat pernyataan yang sama seperti pernyataan agama-agama, sekte-sekte yang ada pada zaman Sang Buddha, yakni bahwa "hanya ini yang benar, yang lain salah"1. Agama Buddha juga menyatakan mengajarkan kebenaran, yakni kebenaran dotrin utama yang dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia; namun, agama Buddha tidak secara dogmatis menyatakan kebenarannya tanpa alasan, juga tidak menekankan agar kita menerima kebenarannya mentah-mentah tanpa mempertanyakannya kembali; justru agama Buddha menganjurkan kita, agar melangkah lebih jauh, meneliti, menemukan serta mengetahui kebenaran itu demi diri sendiri. Untuk meneliti kebenaran dari suatu pernyataan, dengan sendirinya kita memerlukan metoda atau cara. Marilah kita lihat, cara dan strategi terbaik, yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang dapat membantu kita dalam pencarian kebenaran.


  56.      Usaha pemahaman dan penghayatan adalah proses-proses yang dengan sendirinya memakan waktu. Fakta harus dikumpulkan, disusun secara benar, dipertimbangkan dan mungkin ditata kembali secara teliti untuk menjadi fakta baru, yang tentunya tidak dengan cara tergesa-gesa. Kadang-kadang orang-orang tertentu ingin mengalihkan kita ke agamanya, mencoba secepatnya agar kita dapat menerima ajaran agamanya tanpa penelitian mendalam dan pemikiran terlebih dahulu. Mereka melakukannya karena gairah berlebihan pada keyakinan mereka, tapi mungkin juga karena mereka berharap dapat mengalahkan kesetiaan pada keyakinan kita sebelum kita sempat menemukan semua fakta, fakta yang diperkirakan menjadi kelemahan dari agamanya sendiri. Bagaimanapun juga, membuat keputusan secara terburu-buru adalah suatu kesalahan. Sang Buddha dalam riwayat hidupnya tidak pernah mendesak secepatnya seseorang untuk menerima ajaran-Nya. Beliau malah akan menganjurkan untuk tidak tergesa-gesa menerima ajaran-Nya, bila Beliau berpendapat bahwa seseorang yang sedang dihadapi-Nya menerima Dhamma hanya karena gairah berlebihan, bukan didasarkan pada pemikiran yang matang. Sekali waktu, setelah diskusi yang lama, seorang tokoh yang bernama Upali berharap agar dapat diterima menjadi siswa oleh Sang Buddha, tetapi justru Sang Buddha berkata kepadanya:

      Upali, telitilah secara mendalam terlebih dahulu. Penelitian yang mendalam adalah sangat baik, bagi orang yang terkenal seperti dirimu.2

      Kita hendaknya menerima nasehat seperti itu pula. Penerimaan atau penolakan suatu keyakinan, seyogyanya dilakukan setelah suatu perenungan yang hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

  57.      Setiap sudut pandang dari suatu masalah mempunyai dua sisi, sisi yang baik dan sisi yang jelek, dengan kata lain kekuatan dan kelemahannya. Pengikut-pengikut tertentu dari setiap agama senantiasa berusaha untuk menonjolkan argumentasi dan bukti yang mendukung keyakinannya, dan berusaha menyembunyikan yang tidak mendukungnya. Sebaliknya, juga senantiasa berusaha menggaris-bawahi ketaktaatasasan dan fakta-fakta yang saling bertentangan, seraya berusaha mengabaikan segi-segi yang kuat dari keyakinan yang tak dianutnya. Semestinya, demi untuk mendapatkan pengertian yang seimbang dan tidak memihak dari setiap sudut pandang, kita hendaknya mempertimbangkan argumentasi kedua pihak. Sang Buddha bersabda:

      Tidak hanya atas dasar pendapat sepihak,
      Seseorang akan dekat pada kebenaran.
      Orang Bijaksana adalah mereka yang menyelidiki,
      Ceritera dari kedua belah pihak.3

      Sekali waktu, dalam kehidupan Sang Buddha, ada kelompok bhikkhu yang mulai mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Dhamma. Umat awam dan siswa-siswa menjadi bingung, dan ketika mereka mempertanyakan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau memberi jawaban yang sekaligus menunjukkan keyakinan-Nya pada kebenaran sejati ajaran-Nya dan juga pada kemampuan umat manusia untuk dapat memahaminya. Beliau berkata kepada mereka:

      Hendaknya engkau mendengarkan 'Dhamma' dari ke dua belah pihak, simaklah 'Dhamma' dari ke dua belah pihak; lalu pilihlah pandangan, pihak, ajakan dan ajaran dari dia yang benar mengucapkan Dhamma.4

      Beliau tidak menekankan "siapa yang harus dipercaya", tapi Beliau menyarankan agar mereka mendengarkan dulu kedua pandangan yang berbeda itu, mempertimbangkannya secara berhati-hati dan terakhir baru menarik kesimpulan sendiri. Demikian pula hendaknya, cara-cara kita dalam mencari kebenaran.

  58.      Walaupun kita telah berhasil membentuk keyakinan kita, namun adalah sangat penting, bahwa kita meyakininya dengan luwes, dengan cara membiarkan batin dan pikiran kita tetap terbuka. Ada orang-orang berpendapat bahwa mereka baru dapat membuktikan keyakinan pada agama sendiri, dengan cara mempertahankan keyakinan sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain. Dari pandangan Buddhis, pendapat ini salah. Sebab setelah menerima suatu ajaran agama tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, mereka hanya melihat kepercayaannya dari sudut pandangan mereka sendiri, atau memperoleh nilai-nilai wawasan yang rendah melalui tafsiran-tafsiran belaka. Alhasil, dalam usaha mencari kebenaran, mereka sering terlibat pertengkaran kecil-kecil dengan yang lainnya. Sang Buddha menceritakan suatu perumpamaan yang sangat menarik untuk melukiskan masalah ini:

      Sekali waktu, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata: "Ke sini, pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada satu tempat." "Baik, tuanku", sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya, lalu setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya: "Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan pada orang-orang buta ini seekor gajah." "Baik, tuanku", kata pengawalnya, lalu melaksanakan lagi titah rajanya. Dia mendekatkan salah seorang dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang lagi di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, seorang di ekornya, seorang lagi di ujung-ekornya lalu pengawal berseru: "Wahai, orang-orang buta, inilah yang disebut gajah". Setelah itu, sang pengawal kembali menghadap pada raja dan berkata: "Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta. Sesuai titah baginda." Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu?" "Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya," kata mereka. "Bila demikian, katakan bagaimana yang disebut gajah." Orang buta yang memegang kepala gajah berkata "Gajah menyerupai tempayan." Yang memegang telinga berkata: "Gajah menyerupai kipas." Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung, dan ekor sebagai alu-nya, ujung ekor seperti sapu. Mereka mulai bertengkar, berteriak: "Ya, begitu!" "Tidak, tidak begitu!" "Gajah, tidak seperti itu!" "Ya, seperti itu!". Mereka kemudian berkelahi, dan sang raja malah menikmati apa yang dilihatnya.5

      Makna dari perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran, dan bila dia menutup mata batinnya dan tergantung kepada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan bagi mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.

  59.      Murid Sang Buddha bernama Kumara Kassapa memakai suatu perumpamaan serupa dalam menyarankan kita untuk menghindari masalah seperti itu.

      Sekali waktu, seluruh penduduk dari suatu kecamatan meninggalkan wilayahnya. Lalu ada seorang berkata pada kawannya: "Mari, kita kembali ke sana lagi; mungkin kita masih menemukan sesuatu yang berharga." Kawannya menyetujui, dan ketika mereka sampai di sana, mereka menemukan setumpuk tali ramin yang dibuang di jalanan desa. "Mari kita mengikat dan membawanya, orang itu berkata pada kawannya, yang segera menyetujui, dan merekapun melakukannya. Tidak lama, mereka pun sampai di desa lain, di sana mereka menemukan setumpuk kain ramin, dari tali ramin yang telah ditenun, orang itu lalu berkata pada kawannya: "Demi kain ramin inilah, sehingga kita mengumpulkan tali ramin tadi. Buang saja tali ramin itu, mari kita bawa saja kain ramin ini." Tetapi kawannya berkata: "Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang jalan tadi, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya akan tetap membawa tali ramin ini saja. Lakukan saja kehendakmu sendiri." Lalu, orang pertama tadi membuang tali raminnya dan membawa kain ramin tersebut. Tak lama dalam perjalanan selanjutnya, mereka menemukan benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, kaleng, timah dan perak; dan setiap kali menemukan yang lebih berharga, orang tadi mengganti bawaannya, sedang si kawannya tetap membawa tali raminnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di suatu desa yang lain, di sana mereka menemukan setumpuk emas, dan orang tadi berseru kepada kawannya: "Emas ini adalah yang paling kita inginkan dari segalanya. Buanglah tali raminmu, saya juga akan membuang perakku, lalu kita bawa emas ini." Tetapi kawannya berkata: "Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang perjalanan, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya tetap akan membawanya. Lakukan saja olehmu sendiri." Dengan demikian, orang tadi membuang perak tersebut, lalu membawa emas itu. Ketika mereka akhirnya tiba kembali di rumahnya masing-masing, orang yang membawa tali ramin tidaklah membawa kegembiraan pada keluarganya, juga tidak pada dirinya sendiri; sedangkan orang yang membawa emas telah pula membawa banyak kegembiraan baik pada keluarganya, maupun pada dirinya sendiri.6
      Pandangan atau pendapat tentang kebenaran tak ubahnya bayangan cermin seseorang. Pandangan atau pendapat itu bayangan-cerminnya sedang kebenaran adalah orang itu sendiri. Pandangan mewakili kenyataan, namun bukanlah kenyataan itu sendiri. Bila kita senantiasa mengingat ini dalam batin, pandangan-pandangan dapat menunjukkan kita ke arah kebenaran, dan bila kita tetap berusaha maju, kita akan secara bertahap melepaskan pandangan-pandangan itu dan menggantikannya dengan penghayatan langsung.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:17:59 AM
Pengertian Sejati

  60. Sang Buddha bersabda, bahwa segala sesuatu ditandai oleh tiga ciri: ketaklanggengan (anicca), ketidakpuasan (dukkha) dan ketiada diri-alamian (anatta). Ketak-langgengan, ciri keberadaan yang pertama, mudah dimengerti oleh setiap pengamat dan pemikir. Kegagalan dapat berubah menjadi kesuksesan, cinta bisa meluntur atau malah menjadi benci, peradaban suatu bangsa bisa saja menurun sedang yang lain meningkat, anak-anak bertumbuh menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati. Semuanya senantiasa dalam proses perubahan ke sesuatu yang lain.

  61. Ciri keberadaan ke dua, ketak-puasan atau penderitaan berarti, tidak ada sesuatu yang dapat memberi kepuasan yang lengkap dan kekal, disebabkan karena ketak-langgengan dan sifat alami batin yang senantiasa berprasyarat (Inggeris: conditioned mind). Dalam keadaan berbahagia bagaimanapun, kita juga dibayangi oleh kecemasan, bahwa kebahagiaan itu akan berakhir, atau oleh pikiran bahwa mungkin yang lainnya itu lebih menyenangkan dari pada yang ini.

  62. Ciri keberadaan ke tiga, adalah bahwa segala sesuatu yang ada secara alami sebenarnya bercirikan ketiada-dirian. Pengertian umum mengatakan, bahwa semua yang ada di alam ini mempunyai diri secara alami, yakni suatu inti - pada manusia inti itu adalah jiwa yang tidak berubah dan adalah suatu diri sejati dari benda atau manusia tersebut. Yang benar adalah, segala sesuatu adalah perpaduan unsur (sankhara), terdiri dari bagian-bagian dan pada gilirannya menjadi bagian dari yang lainnya lagi, suatu benda baru ber-eksistensi bila semua bagian-bagian (sebagai prasyarat) terpadu. Rumah, misalnya, adalah perpaduan batu-bata, jendela-jendela, pintu-pintu dan atap, dan tidak merupakan bagian tersendiri yang terpisah dari komponen-komponen di atas. Demikian pula manusia. Kita, seperti dikatakan Sang Buddha, terbuat dari Lima Unsur (pañca khanda): tubuh-jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sañña), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (viññana), dan oleh karena kita adalah perpaduan dari unsur-unsur, yang semuanya senantiasa berubah, kita juga tidak mempunyai diri-alami, tidak ada inti-diri yang berdiri sendiri serta kekal.

  63. Pengertian tentang 'tiga ciri keberadaan benda-benda' mempunyai dampak yang mendasar pada setiap aspek kehidupan kita dalam hal ini bagaimana kita melihat diri kita dan dunia sekeliling kita. Bila kita tidak mengerti atau tidak dapat menerima ciri ketak-langgengan diri; maka umur tua dan kematian akan sangat menakutkan dan mengerikan. Bila kita memaklumi, bahwa segala sesuatu hanya memberi kebahagiaan yang terbatas waktunya, maka kita senantiasa berusaha mencari nafkah yang lebih banyak, kita menanamkan modal kita demi nilai yang lebih tinggi, dan kita mengambil langkah-langkah demi mengamankannya. Sebaliknya bila kita menganggap bahwa kita mempunyai diri, sikap dan perilaku yang didasari 'Aku', 'Milikku' akan menonjol dalam kehidupan kita, dan timbullah segala masalah yang disebabkan oleh pendirian yang menyesatkan itu.

  64. Telah dikatakan sebelumnya bahwa tujuan hidup adalah membebaskan diri dari samsara dan mencapai kebahagiaan Nibbana (25). Kita terikat pada samsara, karena disamping segala masalah yang disebabkannya, juga ketidak-tahuan menghalangi kita untuk melihat kenyataan seperti apa adanya. Ketidak-tahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang kenyataan ciri kehidupan di atas, ketak-langgengan, ketak-puasan dan ketiada-diri alami. Dengan mengembangkan Pengertian Sejati (samma ditthi), maka kebijaksanaan (pañña) akan menggantikan ketidak-tahuan. Kita kemudian dapat melihat kenyataan seperti apa adanya (yathabhutañanadassana), kita mengatasi kemelekatan (nibbida) pada segala keberadaan Samsara, nafsu keinginan terhapus (viraga), dan dengan demikian kita senantiasa puas, tenang dan bebas (vimutti).1

        Semua yang merupakan gabungan unsur tidaklah kekal.
        Orang yang memakluminya melalui kebijaksanaan,
        Dia dapat mengatasi penderitaan.
        Inilah jalan menuju kemurnian sejati.

        Semua yang merupakan gabungan unsur tidaklah memuaskan
        Orang yang memakluminya melalui kebijaksanaan,
        Dia dapat mengatasi penderitaan.
        Inilah jalan menuju kemurnian sejati.

        Semua yang merupakan gabungan unsur tak mempunyai diri
        Orang yang memakluminya melalui kebijaksanaan,
        Dia dapat mengatasi penderitaan.
        Inilah jalan menuju kemurnian sejati.2

  65. Dengan pencapaian Pengertian Sejati, seperti yang dikatakan Sang Buddha, adalah seperti orang buta yang dapat melihat lagi, dan oleh karenanya semua pendiriannya berubah, karena dia dapat melihat sekarang dengan jelas.

        Sama dengan orang yang buta sejak lahir, tidak dapat melihat bentuk dan warna, rata atau tidak rata, bintang-bintang, matahari maupun bulan. Mungkin karena mendengar seseorang menceritakan tentang keanggunan kain yang putih bersih, indah dan tak bernoda, maka diapun mulai menginginkannya. Tetapi seorang lalu menipunya dengan memberinya selembar kain kasar, kumal dan ternoda lemak, tapi berkata: "Orang yang baik, inilah selembar kain putih bersih, indah dan tak bernoda." Dia lalu menerima dan memakainya. Lalu, suatu ketika teman dan kerabatnya mengantarnya ke tabib untuk mengobatinya, memberinya ramuan, larutan, obat gosok dan obat-obatan, maka penglinatannya pulih kembali. Dengan sendirinya kesenangan dan kemelekatan pada kain kumalnya terhapus, dia tidak menganggap lagi orang yang memberi kain kumal itu sebagai kawannya. Dia malah mungkin menganggapnya sebagai musuh, berpikir: "Untuk kurun-waktu yang begitu lama, saya telah tertipu, diperbodoh oleh orang itu."

        Demikian pula, bila saya mengajarkanmu Dhamma, dengan berkata: "Inilah yang sehat, inilah jalan ke Nibbana." Engkau lalu mengetahui yang sehat, engkau melihat Nibbana. Dengan timbulnya penglihatan itu, nafsu-keinginan dan kemelakatan pada Lima Unsur Ketergantungan terhapus. Engkau mungkin akan berpikir: "Untuk kurun-waktu yang begitu lama, saya telah tertipu dan diperbodoh oleh batin, dengan tergantung pada badan, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk batin dan kesadaran. Diprasyarati oleh ketergantungan ada kejadian, diprasyarati oleh kejadian ada kelahiran, diprasyarati oleh kelahiran, maka umur-tua, kematian, kesedihan, penyesalan, penderitaan, kedukaan dan keputus-asaan-pun terjadi."3

  66. Ada tiga cara mengembangkan kebijaksanaan, demi memahami kenyataan secara jelas. Kita dapat mengembangkan dengan cara berpikir (cintamaya pañña), dengan cara belajar dan mendalami (sutamaya pañña) dan dengan cara melaksanakan meditasi (bhavanamaya pañña).4 Pemikiran dan perenungan yang mendalam akan mengantar kita ke pemahaman bahwa, ajaran Sang Buddha tentang Tiga Ciri Keberadaan adalah benar adanya. Namun, pemahaman ini, bila hanya berada dipermukaan batin saja dalam bentuk sekadar pengetahuan, maka tidak akan merubah keadaan kita. Banyak perokok mengetahui bahwa merokok membahayakan kesehatan, tapi mereka tetap juga merokok. Demikian pula, secara akal-budi mungkin kita telah menerima kebenaran dari ciri ketak-langgengan hidup, tapi kita tetap bertindak sepertinya akan hidup abadi. Untuk dapat merubah sikap sepenuhnya, pengertian tentang ini harus lebih mendalam. Ajaran Sang Buddha, dan mungkin pula ilmu-ilmu seperti Ilmu Fisika, Ilmu Faal dan Ilmu Jiwa dapat memberikan kita penghayatan yang langsung dan mendalam tentang kebenaran dari ketak-langgengan, ketak-puasan dan ketiada-diri-alamian. Tapi pada akhirnya, hanyalah batin yang telah ditenangkan dan dimurnikan oleh pelaksana meditasi, yang dapat menghayati pengertian lengkap tentang kebenaran-kebenaran (Tiga Ciri Keberadaan) ini. Kita akan mendapatkan gambaran tentang ini dalam bab Kesadaran Sejati dan Pemusatan-pikiran Sejati.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:20:49 AM
Latihan Etika

Pengenalan

  67. Seperti telah disebutkan, melalui latihan etika kita menentukan apa yang baik dan kemudian melaksanakannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam perilaku masyarakat. Dari satu sudut pandang, dapat disebutkan ada dua macam hal-hal intrinsik dan hal sebagai sarana pencapaian tujuan. Hal intrinsik adalah tujuan dan sasarannya tercapai langsung. Kesehatan, kedamaian, kebahagiaan, cinta dan tentunya Nibbana adalah hal yang bersasaran langsung dengan demikian adalah hal yang intrinsik. Hal sebagai sarana, adalah segala sesuatu yang bisa membantu untuk mencapai hal intrinsik diatas. Uang, misalnya adalah hal sebagai sarana, karena dengan uang kita dapat membeli makanan bergizi dan obat-obatan demi kesehatan kita (yang adalah hal intrinsik). Demikian juga, memaafkan lalu berbaikan kembali adalah hal sebagai sarana, sebab akan menuju kedamaian yang adalah hal intrinsik. Ternyata etika yang diajarkan oleh Sang Buddha merangkul kedua macam hal diatas, jadi berlaku untuk pencapaian kebahagiaan duniawi dan juga kebahagiaan Nibbana.

  68. Tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui yang mana perilaku baik dan yang mana yang buruk? Untuk agama-agama tertentu, dengan dasar pendekatan legislatif (perancangan hukum) pada etika, pertanyaan diatas mudah dijawab. Apa yang disabdakan Tuhan sebagai baik, haruslah dikerjakan, dan apa yang disabdakan Tuhan sebagi buruk haruslah dihindari. Untuk menjadi baik, seseorang harus melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan. Pengabaian perintah-perintah itu akan menyebabkan pembalasan yang sangat berat, jauh melebihi perbuatan itu sendiri - akan membawa seseorang ke takdir penguasa alam semesta yang mungkin akan memasukkannya ke neraka untuk selamanya. Kekurangan yang sangat nyata dalam cara pendekatan moral diatas adalah bahwa kepatuhan lebih diutamakan dari pada pengertian; ketidak-patuhan akan menyebabkan ketakutan yang sangat mendalam.

  69. Agama Buddha mengajarkan bahwa pembatasan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, didasarkan pada tiga azas - azas sarana, azas hasil-akibat dan azas universal. Azas pertama adalah bahwa suatu tingkah-laku adalah baik kalau tingkah-laku tersebut dapat membantu pencapaian sasaran. Sasaran akhir dari kehidupan seorang Buddhis adalah Nibbana, yang juga digambarkan sebagai terhapusnya keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin secara sempurna.
      Jambukhadaka, seorang pengembara bertanya kepada Yang Mulia Sariputta: "Mereka berbicara tentang Nibbana, Nibbana! Tapi kawan, apa Nibbana itu?"
      "Terhentinya keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin adalah Nibbana."1

      Jadi kita katakan, bahwa semua yang menambah dan menyebabkan keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, atau yang menjauhkan kita dari Nibbana, adalah buruk. Apabila tingkah-laku kita tidak menambah, tetapi mengurangi keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, maka itu adalah suatu etika-moral yang netral atau tidak-berakibat. Sebagai contoh, Sang Buddha mengatakan agar kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk berusaha mengetahui asal-muasal alam-semesta, bukan karena berspekulasi tentang hal itu adalah tidak baik, tapi karena "hal itu tidak membantu penglepasan, pemutusan, penghentian, penenangan, pengetahuan yang lebih tinggi, kebangkitan atau ke Nibbana."2 Apabila tingkah-laku kita senantiasa dapat melemahkan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dan menambah kebajikan, cinta dan pengertian, yang mengantar kita ke Nibbana, itulah yang disebut tingkah-laku yang baik. Sang Buddha memberi ilustrasi yang sangat baik tentang azas sarana dalam moral, dalam jawaban Beliau pada pertanyaan: "Bagaimana kita dapat mengetahui, yang mana sejalan dengan ajaran-Mu dan yang mana yang tidak?"

      Ajaran-ajaran yang dapat engkau katakan sebagai: "Ajaran-ajaran ini tidak membawa ke penglepasan, penghentian, penenangan, pengetahuan yang lebih tinggi, kebangkitan atau ke Nibbaba" - dapatlah engkau pastikan sebagai bukan Dhamma, bukan tata-tertib, bukan kata-kata Sang Guru. Tapi ajaran-ajaran yang dapat engkau katakan sebagai: "Ajaran-ajaran ini membawa ke penglepasan, penghentian, penenangan, pengetahuan yang lebih tinggi, kebangkitan atau ke Nibbaba" engkau pastikan sebagai Dhamma, tata-tertib, kata-kata Sang Guru.3

  70. Azas ke dua yang digunakan oleh agama Buddha untuk menentukan yang baik dan yang buruk adalah azas hasil-akibat; kita menentukan macam tingkah-laku tergantung dari hasil atau akibat perbuatan tersebut.

          Perbuatan yang menyebabkan penyesalan dan mengakibatkan ratapan dan air-mata adalah perbuatan tidak baik.
          Perbuatan yang tidak menyebabkan penyesalan dan mengakibatkan kegembiraan dan kebahagiaan adalah perbuatan baik.4

      Tidak ada orang yang secara sadar menyakiti dirinya sendiri, jadi apabila tindakan kita menyebabkan sakit, ketegangan dan penderitaan, pastilah suatu yang tidak semestinya.

  71. Azas ke tiga dalam penentuan yang baik dari yang buruk adalah azas universalitas atau azas penerimaan umum. Dalam satu hal semua makhluk mempunyai persamaan, yakni mendambakan kebahagiaan dan senantiasa berusaha menghindari penderitaan: oleh karenanya kita dapat menyimpulkan (anumana)5 bahwa apa yang menyakitkan bagi seorang juga akan menyakitkan bagi orang-lain. Atas dasar kenyataan tadi, azas universalitas mengajarkan bahwa kita hendaknya tidak melakukan pada orang lain hal-hal yang kita juga tidak kehendaki dilakukan orang-lain pada kita. Sang Buddha mengatakannya sebagai berikut:

          Dhamma yang bagaimana yang bila dilaksanakan menghasilkan kebajikan pada seseorang? Menyangkut hal ini, siswa yang baik merenungkan: "Inilah saya, menyenangi kehidupan, tidak mengharapkan kematian, menyenangi kenikmatan-kenikmatan dan tidak menyukai penderitaan. Apabila seseorang bermaksud membunuhku, saya tidak akan menyukai hal itu. Demikian pula, apabila saya bermaksud membunuh orang lain, dia juga tidak akan menyukainya? Sebab apa yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?" Berdasar perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad tidak membunuh, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu.
          Selanjutnya, siswa yang baik merenungkan: "Apabila seseorang bermaksud mencuri milikku, saya tidak akan menyukai hal itu? Demikian pula, apabila saya bermaksud mencuri milik orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Sebab apa yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?" Berdasar perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad tidak mencuri, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu.
          Selanjutnya, siswa yang baik merenungkan: "Apabila seseorang bermaksud berzina dengan pasangan (suami/istri)-ku, saya tidak akan menyukai hal itu? Demikian pula, apabila saya bermaksud berzina dengan pasangan orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Sebab apa yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?" Berdasar perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad menghindari tindakan tak bersusila, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu.
          Selanjutnya, siswa yang baik merenungkan: "Apabila seseorang bermaksud menghancurkan keberuntunganku dengan berkata tidak benar, saya tidak akan menyukai hal itu? Demikian pula, apabila saya bermaksud menghancurkan keberuntungan orang lain dengan berkata yang tidak benar, dia juga tidak akan menyukainya. Sebab apa yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?" Berdasar perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad tidak berbohong, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu
          Selanjutnya, siswa yang baik merenungkan lebih lanjut: "Apabila seseorang bermaksud menjauhkan saya dari kawan-kawanku dengan berfitnah, berkata-kata kasar pada saya atau menarik saya untuk membicarakan hal-hal yang tak berguna dan penuh pergunjingan, saya tidak akan menyukai hal itu? Demikian pula, apabila saya bermaksud melakukannya pada orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Sebab apa yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?" Berdasar perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad tidak berbicara fitnah, berkata kasar dan bergunjing, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu.6

  72. Telah kita pelajari sebelumnya (27), bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita umumnya berkehendak dulu sebelum bertindak; oleh karenanya, dengan berdasar pada tiga azas diatas, kita hendaknya memasukkan kehendak-kehendak baik terlebih dahulu pada setiap rencana tindakan kita sebelum melaksanakannya. Apabila suatu tindakan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang menjauhkan kita dari Nibbana, menyebabkan diri kita dan orang lain menderita, pula bukan tindakan yang kita senangi bila diperbuat orang lain pada diri kita, pula adalah tindakan yang didasari oleh kehendak negatif seperti kebencian, keserakahan, kesombongan dan sebagainya; itulah yang disebut tidak baik dan salah. Sebaliknya bila suatu tindakan memperkuat kecenderungan yang mendekatkan kita ke Nibbana, tidak menyebabkan penderitaan pada diri kita dan orang lain, pula adalah tindakan yang kita senangi bila diperbuat orang lain pada diri kita, pula adalah tindakan yang didasari oleh kehendak positif seperti cinta-kasih, kemurahan-hati, dan sebagainya; itulah yang disebut benar dan baik. Berdasar hanya pada salah satu saja dari ke-tiga azas diatas, tidaklah cukup untuk menilai kesatuan yang tepat untuk dijadikan petunjuk untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Menjadi baik dalam pandangan Buddhis tidak sekadar mematuhi perintah-perintah; tapi juga perlu bahwa kita memikirkan tujuan kita, bahwa kita mawas-diri dalam berpikir, berbicara dan bertindak, dan bahwa kita menjadi peka dalam hubungan antara sesama kita. Secara singkat, diperlukan akal-budi dan pengertian. Dengan demikian adalah tepat bila dikatakan, bahwa agama Buddha meletakkan dasar pendidikan pada moralitas.

  73. Dalam membicarakan kebajikan, adalah penting ditekankan bahwa agama Buddha mengajarkan keunggulan dari kebajikan. Beberapa agama mengajarkan bahwa secara alami manusia pada dasarnya berdosa, dan bahwa manusia, dengan kekuatannya sendiri, tidak akan mampu menjadi baik, dan bahwa hanya dapat ditolong dengan memohon belas-kasih dari makhluk adikodrati tertentu. Pemahaman Sang Buddha tentang ciri alami manusia sangat berbeda dari pandangan pesimis dan suram tersebut diatas. Kebaikan atau kebajikan adalah lebih kuat dari kejahatan.

          Sang raja bertanya: "Yang Mulia Nagasena, yang mana lebih kuat, kebajikan atau kejahatan?"
          "Kebajikan adalah lebih besar, Tuanku, kejahatan hanyalah suatu yang kecil."
          "Kenapa demikian?"
          "Tuanku, orang yang berbuat kejahatan mungkin akan dengan menyesal berkata: "Perbuatan jahat telah saya perbuat; oleh karenanya kejahatan tidaklah bertambah. Tetapi orang yang berbuat kebajikan tidaklah pernah menyesal. Karena bebas dari penyesalan, timbul rasa-senang, dari perasaan senang timbul kegembiraan, dari kegembiraan timbul ketenangan, dari ketenangan timbul kebahagiaan, dan dalam batin yang berbahagia seseorang bisa memusatkan pikirannya. Seseorang yang memusatkan pikirannya dapat melihat semuanya seperti apa adanya, dan dengan demikian kebajikan akan bertambah."7

      Dalam salah satu percakapan yang sangat sering dikutip dan dijadikan inspirasi, Sang Buddha menyerukan kita agar, berbuat kebajikan dan kebaikan sebanyak-banyaknya dalam hidup kita, seperti yang dilakukan Beliau.

          Menghindari perbuatan salah; dapatlah dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan, Saya tidak akan menganjurkan engkau untuk melakukannya. Tapi karena dapat dilakukan, Saya berkata padamu: 'Hindari perbuatan salah.' Bila dengan menghindari kesalahan akan membawa kehilangan dan kesesalan, Saya tidak akan menganjurkan untuk melakukannya. Tapi karena itu membawa keberuntungan dan kebahagiaan, Saya menganjurkan engkau: 'Hindari perbuatan salah'.
          Mengembangkan kebajikan, dapatlah dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan, Saya tidak akan menganjurkan engkau untuk melakukannya. Tapi karena dapat dilakukan, Saya berkata padamu: 'Kembangkan kebajikan.' Bila dengan mengembangkan kebajikan membawa kehilangan dan kesesalan, Saya tidak akan menganjurkan untuk melakukannya. Tapi karena itu membawa keberuntungan dan kebahagiaan, Saya menganjurkan engkau: 'Kembangkan kebajikan.'8
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:22:10 AM
PIKIRAN SEJATI

  74.      Sekarang kita akan mempelajari Latihan Etika dalam hubungannya dengan perilaku pribadi. Langkah pertama dalam Latihan Etika adalah pengembangan Pikiran Sejati (samma samkappa). Istilah 'samkappa' berarti pikiran dan kehendak dan mengacu pada semua pikiran-pikiran kita, terutama pikiran yang menggerakkan tindakan. Secara filosofis, umumnya hanyalah perilaku jasmani dan ucapan yang digolongkan etika, tidak termasuk pikiran. Tetapi, kebijaksanaan Sang Buddha memberi pemahaman bahwa jalan pikiran kita mempunyai pengaruh mendasar pada apa yang kita lakukan.

              Pikiran mendahului segalanya.
              Pikiran adalah pemimpinnya,
              Pikiran adalah pembentuknya.1

      Juga:

              Dunia dituntun oleh pikiran;
              Oleh pikiran dunia dinodai
              Hanya pikiran semata-mata
              Yang menyebabkan segala yang dibawahnya tergoyah.2

      Dengan sendirinya, bila kita berkeinginan merubah perilaku ucapan dan perilaku tindakan kita, kita harus terlebih dahulu merubah pikiran yang menggerakkan kedua perilaku itu.

  75.      Sang Buddha menggambarkan Pikiran Sejati seperti dibawah ini:

              Dan apa Pikiran Sejati itu? Pikiran yang didasari pikiran penghentian, pikiran cinta-kasih dan pikiran untuk menolong - inilah yang disebut Pikiran Sejati.3

      Beliau juga memberitahu alasan perlunya pengembangan Pikiran Sejati.

              Tiga jenis pikiran; yang menyebabkan kebutaan, hilangnya pandangan dan pengetahuan, yang mengakhiri kebijaksanaan, yang berhubungan dengan kesulitan, dan tidak menuntun ke Nibbana. Apa yang tiga itu? Pikiran yang didasari keserakahan, pikiran yang didasari kebencian dan pikiran yang didasari keinginan-merugikan. Tiga jenis pikiran yang memberi penglihatan, pandangan dan pengetahuan, yang meningkatkan kebijaksanaan, yang berhubungan dengan keselarasan dan menuntun ke Nibbana. Apa yang tiga itu? Berpikir didasari penghentian, berpikir didasari cinta-kasih dan berpikir didasari keinginan-menolong.4
       
  76. Pikiran Sejati pertama adalah penghentian. Penghentian diterjemahkan dari kata 'nekkhamma', yang sebenarnya malah berarti 'melangkah maju'. Dengan demikian suatu penghentian yang sejati bukanlah pengingkaran/penyiksaan diri yang menyakitkan, tetapi suatu penglepasan dari segala sesuatu yang mengikat kita, yang menyebabkan kita tak dapat melangkah maju secara spiritual. Sebenarnya, kita semua terlalu banyak dipusingkan oleh hal-hal kecil yang sebenarnya tidak kita butuhkan, kita mengikat diri pada hal-hal yang tidaklah penting, sehingga kita senantiasa sibuk tanpa pernah benar-benar mencapai sesuatu. Akibatnya kita tidak melihat nilai sebenarnya dari kehidupan ini. Merencanakan hidup yang lebih sederhana dan senantiasa merasa puas adalah langkah pertama dari hidup yang sebenarnya. Untuk orang tertentu, penghentian tersebut mungkin akan berupa keinginan untuk meninggalkan kehidupan berkeluarga, harta benda dan kedudukan, lalu menjadi bhikkhu atau bhikkhuni. Kehidupan vihara, bila ditekuni, membebaskan seseorang dari kewajiban-kewajiban orang awam, yang kadang-kadang memang menyulitkan pengembangan nilai spiritual dan dengan demikian membantu seseorang dalam pencapaian Nibbana.

  77. Salah satu tipe pikiran yang berhubungan dengan Penghentian adalah Memaafkan (khamanasila). Memaafkan adalah menghilangkan pikiran-jahat atau keinginan membalas, yang ditujukan kepada seseorang dan mengganti pikiran negatif tersebut dengan pikiran untuk rukun kembali. Melepaskan harta milik kadang-kadang lebih mudah dibanding memaafkan seseorang yang mungkin telah mempermalukan, mempersulit atau menyakiti kita. Sang Buddha menekankan betapa pentingnya sikap pemberian maaf, sebagai berikut:

              Dari tiga hal kita dapat mengenal seorang bijaksana? Apa yang tiga itu? Dia bisa melihat kekurangannya. Bila dia melihat kekurangannya dia mencoba memperbaikinya. Dan bila seseorang mengakui kekurangannya, dia akan memaafkannya sebagai mana mestinya.5

      Memaafkan adalah penting sebab akan membebaskan kita dari api kebencian, dengan melaksanakannya maka dengan sendirinya memungkinkan pengembangan nilai-nilai positif seperti kesabaran dan cinta-kasih. Mempertahankan pikiran membenci hanya akan mempertajam kebencian, sedangkan melepaskan kebencian akan memungkinkan timbulnya cinta-kasih. Sang Buddha bersabda:

              "Dia merugikan saya, dia menyakiti saya,
              Dia semena-mena pada saya, dia merampok saya."
              Mereka yang tetap berpikiran seperti itu
              Tidak pernah dapat meredakan kebenciannya.

              "Dia merugikan saya, dia menyakiti saya,
              Dia semena-mena pada saya, dia merampok saya."
              Mereka yang tidak berpikiran seperti itu
              Akan dapat meredakan kebenciannya.

              Sebab didunia ini,
              Kebencian tidak pernah dipadamkan oleh kebencian
              Hanya cinta-kasih yang dapat memadamkan kebencian
              Inilah Hukum yang abadi.6

  78. Hal yang berhubungan dengan Pemberian-maaf adalah pikiran berterima kasih (katavedita), yang adalah pikiran dan juga adalah perasaan. Bila Pemberian-maaf adalah penglepasan pikiran-jahat atas perbuatan seseorang yang menyakitkan kita, maka berterima-kasih adalah pikiran atau ucapan kepada seseorang yang telah menolong kita, dan ini hanya dimungkinkan bila kita dapat mengatasi keangkuhan kita sendiri. Kita dapat menyatakan terima kasih dengan kata-kata atau dengan membalas jasa, walau tidak selalu harus perlu demikian. Kadangkala dalam menyampaikan rasa terima kasih, penghargaan saja sudah cukup. Sang Buddha bersabda:

              Sebenarnya, mereka yang adalah orang-orang baik adalah yang senantiasa berterima-kasih dan bersyukur.7

  79. Pikiran Sejati yang lainnya adalah Pikiran Cinta-kasih (avyapada). Cinta-kasih adalah perpaduan antara pikiran dan perasaan dari persahabatan, kehangatan, melindungi dan menyukai seseorang. Gurulagomi, seorang pujangga Buddhis terkenal dengan indah menggambarkan ciri-ciri cinta-kasih dengan membandingkannya dengan kebencian.

              Benci menahan; cinta melepaskan. Benci mencekik; cinta membebaskan. Benci membawa penyesalan, cinta membawa kedamaian. Benci meronta; cinta mengheningkan, mendiamkan, menenangkan. Benci memecahkan; cinta mempersatukan. Benci memperkeras; cinta melunakkan. Benci merintangi; cinta membantu.8

      Kita semua memiliki pikiran cinta-kasih setidaknya pada orang-orang tertentu, orang-tua, isteri atau suami, anak-anak atau teman-teman. Namun demikian, kita dapat pada waktu yang sama bersikap netral atau malah tidak menyukai seseorang. Dalam melaksanakan Pikiran Sejati, kita berusaha mengembangkan cinta-kasih secara merata pada semua makhluk.

              Seperti air mendinginkan yang baik dan jahat,
              Dan membersihkan semua noda dan debu,
              Demikian pula hendaknya engkau mengembangkan pikiran cinta-kasih
              Pada kawan maupun lawan,
              Dan dengan mencapai kesempurnaan cinta-kasih,
              Engkau akan mencapai Pencerahan sempurna.9

      Bila pikiran-pikiran cinta-kasih diperluas tanpa memandang bulu, maka adalah wajar bila kita memasukkan para binatang dalam jangkauan cinta-kasih kita. Sang Buddha menganjurkan kita agar menyayangi dan mencintai tidak hanya manusia tetapi semua makhluk.

              Seperti ibu yang melindungi anak tunggalnya
              Walau itu dapat mengorbankan hidupnya sendiri,
              Demikian pula, hendaknya seseorang mengembangkan cinta-kasih tanpa batas
              Kepada semua makhluk di dunia ini.10

  80.      Sebelum pikiran cinta-kasih memenuhi batin kita, kita hendaknya berusaha menolak masuknya pikiran-jahat, kemurkaan dan niat pembalasan; atau bila pikiran semacam itu muncul kita memotongnya dengan segera. Pikiran-pikiran semacam itu hanya akan membelokkan pengertian kita dan menyebabkan perasaan kita terkungkung.

              Kebencian membawa kemalangan besar,
              Kebencian menggoyahkan dan merusak batin;
              Bahaya mengerikan inilah,
              Yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang

              Dengan sia-sia, seseorang tak dapat melihat kebajikan
              Tak dapat melihat segalanya seperti apa adanya.
              Hanya kebutaan dan kegelapan yang terjadi
              Bila seorang dikendalikan oleh kebencian.11

      Sebaliknya, pikiran cinta-kasih niscaya diikuti oleh kebahagiaan. Bila kita berbahagia, kita akan dinilai oleh orang sekeliling kita sebagai orang yang menyenangkan, tidak berbahaya, oleh karenanya hubungan dengan sesama kita akan lebih harmonis. Keindahan cinta-kasih digambarkan oleh Bhikkhu Anuruddha, dengan mengumpamakan dirinya dan para rekan bhikkhu-nya, sebagai "hidup bersama dalam persahabatan dan kerukunan, seperti susu dalam air, saling menjaga dengan mata-pandangan cinta-kasih."12 Ketika ditanyai oleh Sang Buddha cara Anuruddha melaksanakannya, dia menjawab:

              Dalam hal ini, saya berpikir: "Sebenarnya adalah suatu keberuntungan bagiku, sebenarnya adalah sangat baik bahwa saya, hidup dalam masyarakat kehidupan suci seperti ini." Saya melaksanakan cinta-kasih lewat perbuatan, ucapan dan pikiran pada mereka, baik sebagai bagian masyarakat maupun pribadi. Saya berpikir: "Kenapa saya tidak menyampingkan keinginan-keinginan pribadiku dan menerima keinginan-keinginan mereka?" Dan saya-pun bertindak demikian. Memang, kita berbeda dalam jasmani, namun kita adalah satu dalam rohani.13

  81. Pikiran Sejati yang terakhir adalah pikiran untuk senantiasa hendak menolong (avihimsa), yang membangkitkan kemauan untuk membantu, melayani dan membagi beban atau tugas pada sesama kita. Termasuk dalam pikiran ini, adalah pikiran untuk membantu orang lain agar dapat mencapai Pencerahan. Sang Buddha menekankan bahwa hendaknya keinginan untuk menolong diri sendiri dan menolong diri orang lain senantiasa seimbang.

              Ada empat macam manusia didalam dunia ini. Apa yang empat itu? Dia yang tidak memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain, dia yang memperhatikan kebaikan orang lain tapi tidak memperhatikan kebaikan dirinya, dia yang memperhatikan kebaikan dirinya tapi tidak memperhatikan kebaikan orang lain, dan dia yang memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain. Seperti sebatang kayu di perkuburan, terbakar di kedua ujungnya, tercemari ditengahnya, tak dapat dipakai sebagai kayu api di dusun ataupun sebagai kayu bangunan di hutan seperti perumpamaan itulah, Saya katakan, orang yang tidak memperhatikan kebaikan bagi dirinya maupun kebaikan orang lain. Dia yang memperhatikan kebaikan orang lain tapi tidak memperhatikan kebaikan dirinya adalah lebih unggul dan lebih baik. Dia yang memperhatikan kebaikan dirinya tapi tidak memperhatikan kebaikan orang lain juga lebih unggul dan lebih baik. Tapi dia yang memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain dialah dari ke empat tipe manusia diatas, pemimpinnya, terbaik, terpuncak, tertinggi, teristimewa. Seperti dari seekor lembu dihasilkan susu, dari krim susu, dari mentega krim, dari mentega-susu, dan dari mentega-susu dihasilkan susu-asam, yang dikatakan yang terbaik - demikian pula, orang yang memperhatikan kebaikan bagi dirinya dan kebaikan bagi diri orang lain adalah yang terbaik, dialah dari ke empat tipe manusia diatas, pemimpinnya, terbaik, terpuncak, tertinggi, teristimewa.14

      Apabila kita memang berkeinginan menolong seseorang, maka akan banyak kesempatan untuk melaksanakannya. Namun kadang-kadang kita tidak sepenuh hati untuk menolong karena masih diliputi ke-akuan - egonisme; kita mungkin akan ragu tentang perlu atau tidaknya pertolongan kita, atau ragu tentang akan dihargai atau tidaknya pertolongan kita. Kadang-kadang pula, dikarenakan pikiran jahat atau karena orang yang akan ditolong tidak pernah menolong kita sebelumnya, menyebabkan kita enggan menolong seseorang. Dalam keadaan seperti ini Pikiran Sejati, akan menghilangkan keraguan itu, kita akan berpikir sedemikian: "Mungkin saja dia tidak membutuhkan pertolongan, tapi saya akan mencoba mengusahakannya," atau "Saya tidak tahu apa yang harus diperbuat tapi saya akan menanyakannya," atau "Mereka tidak pernah menolong saya sebelumnya, tapi sekarang mereka sangat perlu ditolong, saya akan menolong mereka, bagaimanapun juga." Untuk senantiasa berpikir seperti itu, kita hendaknya merenungkan betapa Sang Buddha serta para siswa-siswa yang telah Tercerahi, telah pula menolong kita.

              Ketika Tathagata atau Siswa-siswa Tathagata hidup didunia ini, yang dilakukan adalah demi kebaikan seluruhnya, demi kebahagiaan, demi kebajikan, demi keberuntungan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.15
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:24:46 AM
PEMBICARAAN SEJATI

  82.      Berbicara adalah kemampuan unik manusia. Dengan berbicara kita dapat berkomunikasi dengan sesama kita dengan sangat tepat. Dengan berbicara secara benar, kita dapat saling mengerti, saling meredakan keresahan, saling membantu dengan berbagai cara melalui kata-kata kita. Sebaliknya bila kita berbicara tidak semestinya, kita dapat menyakiti diri kita dan diri orang lain; itulah seperti yang dikatakan Sang Buddha sebagai memiliki pedang dimulut.1 Oleh karenanya mengembangkan Pembicaraan Sejati (samma vaca) merupakan aspek yang sangat penting dalam Latihan Etika. Sang Buddha seringkali menggambarkan ciri dari Pembicaraan Sejati. Pada suatu kesempatan Sang Buddha bersabda:

          Kata-kata yang mempunyai empat nilai adalah yang diucapkan baik, bukan pembicaraan jahat, tidak salah, dan tidak dicela para bijaksana. Apa empat itu? Mengenai ini, seorang berbicara dengan kata-kata yang indah, bukannya buruk; seorang berbicara dengan kata-kata yang benar, bukannya salah; seorang berbicara dengan kata-kata yang halus, bukannya kasar; seorang berbicara dengan kata-kata penuh kebenaran, bukan kepalsuan.2

          Beliau berkata, bahwa sabda Beliau adalah penuh kebenaran, berguna, diutarakan pada saat yang tepat dan didorong oleh kasih-sayang. Dari pernyataan Beliau ini kita dapatkan petunjuk atau definisi dari Pembicaraan Benar.3

  83.      Sang Buddha menggambarkan ucapan benar seperti ini:

          Mengenai hal ini, seorang tidak lagi berbohong dan selamanya menghindarinya. Bila dia bersaksi di pengadilan warga, pertemuan warga, rukun warga, atau mahkamah agung, dan ditanya: "Katakan pada kami, orang yang baik, apa yang engkau ketahui?" bila ia tidak tahu, dia berkata: "Saya tidak tahu," dan bila dia mengetahui, dia berkata: "Saya tahu." Apabila dia tidak melihat, dia berkata: "Saya tidak lihat," dan apabila dia melihat, dia berkata: "Saya lihat." Dia tidak akan sengaja berbohong, baik untuk keuntungan dirinya sendiri, keuntungan orang lain ataupun demi kesenangan duniawi lainnya.4

      Jelas, berbicara dalam kebenaran (sacca) berarti menghindari kebohongan, pembicaraan mendua (tidak konsisten), melebih-lebihkan, kebenaran setengah-setengah; berbicara dalam kebenaran berarti berbicara hanya sesuai kenyataan yang diketahui. Seperti telah kita pelajari sebelumnya, kehendak yang muncul sebelum berbuat sesuatu sangatlah berperan. Seseorang dapat saja mengatakan suatu kebenaran tapi disertai keinginan untuk menyakiti hati dapat saja menutup kebenaran atau malah berbohong tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan. Kebenaran hendaknya tidak digunakan untuk menyakiti hati seseorang, bila kebenaran yang merugikan seseorang harus diutarakan, maka harus dilakukan dengan hati-hati, penuh pertimbangan dan tenggang rasa. Demikian pula, hendaknya kita hanya terpaksa menutupi kebenaran atau berbohong, apabila tidak ada pilihan lain dan kita telah mawas pada kemungkinan kepentingan-kepentingan pribadi. Namun dalam kebanyakan situasi, kejujuran tetaplah cara terbaik. Bila kita telah berbicara dengan benar, kita tidak pernah kwatir pada kemungkinan ketahuan berbohong dikemudian hari, dan kita tidak akan terjerat dengan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Menjadi jujur adalah memiliki hati-nurani yang sejati, dapat dipercayai, dapat diharapkan dan dihargai oleh sesamanya.

  84. Telah kita lihat sebelumnya bahwa dari satu sudut pandang, agama Buddha mengenal dua macam hal-hal yang intrinsik dan hal sebagai sarana (67); semua perkataan/pembicaraan yang membantu terwujudnya kedua macam hal tadi, dapat disebut sebagai bermanfaat. Nibbana, adalah suatu hal yang intrinsik, jadi mengajarkan Dhamma, mendiskusikannya, dan menerangkannya kepada yang lain atau mencetaknya dalam bentuk buku (karena bahasa tulisan adalah bahasa lisan yang dapat terlihat) adalah tujuan yang termulia dari segala kata-kata yang dapat kita ucapkan.

          Sang Buddha tertutur dengan kata-kata yang menuntun
          menuju kemenangan pada kedamaian,
          Pengakhiran kesengsaraan, dan
          Pencapaian Nibbana.
          Sebenarnya, inilah kata-kata termulia.5

      Sang Buddha mengharapkan agar Dhamma ajarannya disebar luaskan sedemikian rupa sehingga semua orang dapat belajar hidup berbahagia dan damai; dan dia mengharapkan agar seluruh Siswa-Nya membagi kepada orang-lain, apa yang oleh Beliau telah bagi pula pada mereka.

          Bila dia tak berbicara, orang tak akan mengenalnya;
          Dia hanyalah orang bijaksana ditengah orang bodoh
          Tapi kalau dia berbicara dan mengajarkan Kebenaran,
          Orang lain akan mengenalnya.
          Oleh karenanya hendaknya dia membabarkan Dhamma,
          Hendaknya dia mengibarkan panji kebijaksanaan itu tinggi-tinggi.6


      Tentu saja, membagi pengetahuan Dhamma pada orang lain bukanlah sekadar berbicara dengan lantang tentang keyakinan kita. Seyogyanya ada keselarasan antara apa yang kita coba babarkan dan cara kita membabarkannya, kita haruslah peka pada keyakinan-keyakinan orang lain, pula harus dipahami bahwa ada tipe manusia yang memang tidak akan pernah tertarik pada Dhamma. Praktek-praktek dalam penyebar-luasan agama seperti pembicaraan-mendua (berubah-ubah/tidak konsisten), menakut-nakuti, membagi-bagi hadiah atau menjanjikan kesempatan kerja, sangat tidak sejalan dengan semangat Buddhis. Cara seperti itu malah hanya akan menumbuhkan 'egoisme', kompromi (merubah/menyesuaikan doktrin keagamaan sendiri), intoleransi; bukannya keyakinan sejati pada agama sendiri dan tenggang rasa pada orang lain. Sang Buddha menekankan perlunya pertimbangan yang mendalam sebelum memperkenalkan Dhamma kepada orang lain.

          Sebenarnya, tidaklah mudah mengajarkan Dhamma kepada orang lain, terlebih dahulu kembangkan secara baik lima hal, lalu setelah itu ajarkanlah Dhamma. Apa yang lima itu? Ajarkan Dhamma pada orang lain, dengan berpikir: "Saya akan menyampaikan Dhamma secara bertahap; saya akan berbicara dengan kemauan baik; saya akan berbicara dengan hati yang bersih; saya tidak akan berbicara demi kepentingan sendiri; saya tidak akan berbicara yang merugikan diri sendiri, maupun diri orang lain."7

      Yang mulia Sariputta, salah satu murid utama Sang Buddha, memberi nasehat yang sama:

          Apabila seseorang berharap mengajar pada yang lainnya, hendaknya dia mengembangkan terlebih dahulu lima hal sebelum mengajar. Apa yang lima itu? Hendaknya dia berpikir: "Saya akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang salah. Saya akan berbicara tentang apa yang adalah, bukan tentang apa yang bukanlah. Saya akan berbicara dengan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan. Saya akan berbicara tentang yang baik, bukan tentang apa yang tidak baik. Saya akan berbicara dengan hati dipenuhi cinta-kasih, bukan dengan pikiran yang dipenuhi keinginan-jahat."8

      Terpisah dari nilai-nilai diatas, Sang Buddha juga berkata bahwa cara penyampaian yang jelas, disertai keyakinan dan kemampuan menjawab, juga sangat berperan dalam pembabaran Dhamma.

          Bila seseorang mengajar mereka yang ingin belajar,
          Tanpa keraguan dan kerahasiaan dalam pengertian,
          Membuka segalanya dan tidak menyembunyikan ajaran,
          Berbicara dengan menatap
          Tidak marah bila mendapat pertanyaan
          Bhikkhu seperti inilah yang berharga
          Untuk membabarkan ajaran.9

      Namun, tidak setiap orang mempunyai atau dapat mengembangkan keahlian ini, dan adalah penting untuk diingat bahwa kadang-kadang suatu penjelasan yang sederhana dan tulus tentang mengapa kita berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha lebih meyakinkan daripada pembabaran dan argumentasi yang sulit-sulit.

Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:25:26 AM
  85. Pembicaraan yang menuntun pada hal-hal sebagai sarana (67) adalah juga berguna. Bila ada ketidaksesuaian atau perselisihan pendapat diantara dua orang, adalah mudah untuk membiarkan mereka bertengkar, bila kita tak dapat lagi mengubah keadaan dengan kata-kata. Kadang-kadang kemarahan, kebanggaan berlebihan dan keputusan untuk memilih cara kita sendiri; malah mempertajam pertengkaran diantara mereka. Kedamaian dan keserasian antara semua orang adalah sesuatu yang indah; menahan diri untuk berbicara yang tidak terpuji dan berbicara demi kedamaian dan pengertian adalah dengan cara tertutur secara baik. Menyangkut ini, Sang Buddha bersabda:

          Tidak menfitnah, tidak mengulangi disana sesuatu yang didengarnya disini, atau mengulangi disini apa yang didengarnya disana, dengan tujuan agar orang bertengkar. Jadi, merujukkan mereka yang telah terpisah dan menserasikan mereka yang telah bersatu, bergembira dalam keserasian; keserasian menjadi pendorong baginya dalam berbicara.10

      Lalu, tentunya pula, semua yang kita katakan hanya akan berguna bila mempunyai kepenadaan dengan yang dipertanyakan, bila maknanya jelas, bebas dari kerancuan bahasa, tidak berbelit-belit dan mudah dipahami oleh yang mendengarnya.

  86. Tapi, tentunya, bukan materi bahasan saja yang akan menjadi sarana spiritual satu-satunya; pewaktuan (Inggeris: timing) yang tepat juga berperan. Kata-kata yang diucapkan pada waktu tertentu mungkin adalah tepat, tapi pada waktu yang lain mungkin tidak. Mengetahui saat yang tepat dan peka tentang waktu yang tepat untuk menyampaikan sesuatu, akan menyebabkan kata-kata kita lebih sangkil. Seperti kita ketahui sebelumnya, berbicara tentang Dhamma adalah sangat baik, tetapi berbicara terus-menerus mengenai Dhamma juga tidaklah tepat. Seseorang yang hanya mau menang sendiri dalam setiap kesempatan berbicara, hanya membicarakan hal-hal yang disenanginya, akan tidak menyadari bahwa lawan bicaranya tidaklah tertarik lagi, malah dapat menyebabkan ketidaksenangan pada dirinya dan juga pada obyek pembicaraannya tadi.

  87. Kritik adalah suatu tipe lain dari pembicaraan, yang pada satu pihak adalah penting bagi seorang untuk mengetahui sesuatu lebih baik atau bagi mereka yang mau membantu yang lainnya untuk mengetahui sesuatu, namun juga memerlukan pewaktuan yang tepat. Sering seorang kawan dapat melihat noda dalam watak kita yang perlu kita ketahui tapi kita sendiri tidak melihatnya; menyadarkan seseorang akan hal itu sangatlah bermanfaat. Agar konstruktif adalah penting mempertimbangkan waktu dalam menyampaikan kritik pada seseorang; mengkritik seseorang didepan orang banyak, mengkritik pada suasana yang masih panas, atau terus-menerus mengkritik mungkin malah menyebabkan hasil yang sebaliknya dari yang diharapkan. Demikian pula, kritik apa saja yang kita lontarkan pada orang lain hanya dapat diterima bila kita sendiri telah bersih dari kesalahan-kesalahan serupa. Sang Buddha berkata:

          Seseorang yang ingin memperingati orang lain hendaknya meneliti dulu: "Apakah, saya adalah atau saya bukanlah, seorang yang melaksanakan kemurnian dalam ucapan dan tindakan? Apakah, saya pemilik atau saya bukanlah pemilik kemurnian dalam ucapan dan tindakan, tidak cacat dan tak bernoda? Apakah semua keadaan itu ada pada saya atau tidak? Apabila tidak, maka orang-orang tanpa ragu akan berkata: "Ayo, sekarang, perbaiki dulu olehmu sendiri tindakan dan ucapanmu." Niscaya akan ada orang yang akan berkata demikian. Lagi, seseorang yang ingin memperingati orang lain hendaknya meneliti dulu: "Sudahkah saya mengembangkan kehendak baik, bebas dari pikiran jahat pada sesama, dalam kehidupan suci? Apakah semua keadaan itu ada pada saya atau tidak? Apabila tidak, maka orang-orang tanpa ragu akan berkata: "Ayo, sekarang, kembangkan dulu olehmu sendiri kehendak baik." Niscaya akan ada orang yang akan berkata demikian.11

      Disamping kritik konstruktif, maka penghargaan atau pujian yang tulus juga berperan dalam hubungan sosial dan pelaksana kehidupan Buddhis. Sang Buddha sering menyebut keadaan ini sebagai "dipuji oleh para bijaksana." Hal ini disebabkan karena mereka yang peka biasanya telah memaklumi bahwa penghargaan atas usaha atau hasil jerih payah seseorang akan membangkitkan kegairahan dan kegembiraan. Tetapi pujian hendaknya pula diucapkan pada waktu yang tepat. Pujian bila tidak diucapkan semestinya hanya bernilai sedikit lebih rendah dibanding kebanggaan yang berlebihan. Penghargaan yang tidak diberikan semestinya menyebabkan seseorang kurang berani untuk terus melaksanakan sesuatu yang sudah tepat.

  88. Selain masalah materi dan pewaktuan, hendaknya dipahami pula bahwa dalam beberapa keadaan; bila semua yang penting-penting telah ditekankan atau tidak ada lagi yang perlu disampaikan, maka kadang-kadang diam lebih baik daripada berbicara. Diam melengkapi bicara sama halnya keharuman melengkapi bunga. Diam memberi kesempatan pada orang lain untuk menyampaikan pikirannya dan memungkinkan kita untuk mendengarkan apa yang mereka pikirkan. Malah, ada beberapa perasaan yang akan lebih baik bila dikomunikasikan dengan berdiam daripada berbicara. Mereka yang penuh dengan kata-kata belum berarti penuh dengan kebijaksanaan. Sang Buddha berkata:

          Belajarlah dari air,
          Dari celah dan retakan gunung,
          Menderu deras dari kawah uap
          Namun mengalir dengan tenang di sungai

          Sesuatu yang kosong berbunyi nyaring,
          Sesuatu yang penuh tidak berbunyi.
          Yang bodoh seperti tempayan yang berisi separuh,
          Yang bijaksana seperti kolam dalam yang tenang.12

      Bila kita tidak menyadari nilai dari diam, kita cenderung senang berbicara, dan pembicaraan kita akan mudah dibumbui pergunjingan dan omongan tak berguna. Bila ini telah terjadi, maka tidak lama kemudian kata-kata tak senonoh yang menggusarkan orang lain akan turut terucapkan, lalu timbullah kesalahpahaman dan pertengkaran.

          Bila ada pembicaraan yang memancing pertengkaran, akan banyak kata-kata, bila hanya kata-kata, seseorang mudah terpancing, seorang yang terpancing tak akan terkendali, dan bila seorang tak terkendali pikirannya akan kacau tak terpusat.13


      Diam memberi kesempatan pada kita untuk merenung dengan tenang, menenangkan pikiran, memberi nilai tambah pada meditasi bahkan dapat menambah keagungan pada sifat kita. Mengetahui waktu yang tepat untuk berbicara dan waktu yang tepat untuk diam adalah suatu keahlian yang hendaknya dikembangkan oleh setiap pemeluk agama Buddha.

      Perihal, orang yang bertutur kata dengan menyenangkan, Sang Buddha berkata:

          Dengan tidak berkata-kata kasar, seseorang akan mengucapkan sesuatu yang tak akan dipersalahkan, menyenangkan didengar, dapat diterima, berkenan di hati, sopan, menyenangkan dan disenangi oleh semua orang.14


      Bila pembicaraan kita ditandai dengan bentakan keras, kasar dalam melampiaskan ketidaksenangan atau mempersalahkan seseorang, maka ucapan kita akan jauh dari menyenangkan. Dalam bertutur, kata-kata Sang Buddha selalu "dapat diterima dengan baik, sopan dan mengundang simpati"; bila kita hendak mengembangkan Pembicaraan Sejati, hendaknya kita menteladani Beliau.15

  89. Dunia diliputi penderitaan; bila kita tidak lagi berbicarakan hal-hal yang dapat memecahbelah persahabatan atau menyakiti hati orang, kita dengan demikian tidak lagi turut menyebabkan penderitaan tersebut. Dengan kata-kata yang tepat, malah kita dapat berperan positif dalam meredakan sakit-hati dan menyembuhkan keperihan seseorang yang disebabkan oleh orang lain.Terkadang, dalam suatu situasi kita tidak dapat menyumbangkan apa-apa lagi untuk meringankan penderitaan seseorang, tapi dalam kasus seperti ini, mengucapkan sesuatu selalu akan berarti. Kasih-sayang, selain melunakkan hati, juga memberi kekuatan dan keberanian. Bila kita berbicara didasari kasih-sayang, kita akan siap untuk berbicara lantang melawan ketidakadilan, kita akan menghibur dan menenangkan mereka yang tertekan, kita akan mendapat keberanian untuk menyarankan mereka yang lain agar mereka merubah sikap mereka atau mempertimbangkan kembali rencana-rencana mereka (bila rencana-rencana tersebut akan merugikan segala pihak). Suatu kejadian dalam kehidupan Sang Buddha menekankan hal ini dengan baik.

          Dikisahkan, bahwa suku Sakya dan suku Koliya bekerja sama membendung air sungai Rohini antara Kapivatthu dan Koliya, lalu bercocok tanam diatas tanah di kedua seberang sungai. Di bulan Jetthamula, tanaman mulai layu, oleh karenanya para petani dari kedua dusun mulai berunding. Orang-orang Koliya berkata: "Apabila air sungai dialirkan ke kedua seberang sungai, maka airnya tidak akan cukup bagi kedua pihak kita. Karena saat ini tanaman-tanaman kami akan dituai dengan sekali diairi saja, maka berikan dulu air itu pada kami." Tapi orang-orang Sakya menjawab: "Setelah lumbung-lumbungmu penuh, kami tidak dapat bertebal-muka membawa barang-barang berharga kami dalam keranjang dan kantong, berjalan dari rumah ke rumah, dan mengemis darimu. Tanaman kami akan dituai dengan sekali diairi, oleh karenanya berikan dulu air itu dulu pada kami."
          "Kami tidak akan memberikannya padamu."
          "Kami juga tidak akan memberikannya padamu."
          Perundingan mulai memanas, seorang mulai memukul lawannya, pukulan lalu dibalas, perkelahianpun tak terhindari, begitu mereka mulai berkelahi merekapun saling menjelekkan asal turunan keluarga kerajaan yang lain. Pekerja suku Koliya berkata: "Bawalah anak-anakmu keasalmu. Bagaimana mungkin kita dikalahkan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai dan senjata-senjata dari mereka yang berperilaku seperti anjing dan serigala, berhubungan kelamin dengan saudara perempuannya sendiri. Suku Sakya menjawab: "Kau orang-orang lepra, bawalah anak-anakmu keasalmu. Bagaimana mungkin kita dikalahkan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai dan senjata-senjata dari orang-orang buangan tak berpunya yang hidup diatas pohon seperti binatang."
          Kedua kelompok lalu bubar dan melaporkan pertengkaran itu pada masing-masing ketua kelompok yang bertanggung jawab pada pekerja-pekerja itu, yang lalu melaporkannya lagi pada penguasa. Suku Sakya bersiap-siap berperang dan berkata: "Akan kita perlihatkan kekuatan dan kehebatan dari mereka yang berhubungan kelamin dengan saudara perempuannya sendiri." Suku Koliya juga mempersiapkan perang dan berkata: "Akan kita perlihatkan kekuatan dan kehebatan dari mereka yang hidup diatas pohon seperti binatang."
          Saat itu, Sang Buddha melihat keadaan dunia dengan kewaskitaan-Nya pada subuh hari itu, Beliau melihat kerabat-kerabat-Nya dan berpikir: "Bila tidak saya lerai, orang-orang ini akan saling bunuh. Adalah kewajibanku untuk pergi menemui mereka." Dengan terbang melalui udara Beliau kemudian pergi ke tempat para kerabat-Nya berkumpul, dengan duduk bersimpuh melayang di udara ditengah-tengah sungai Rohini. Ketika mereka melihat Beliau, para kerabat ini kemudian melempar senjatanya dan menyembah Beliau. Sang Buddha kemudian berkata: "Apa yang menyebabkan pertempuran ini, wahai Raja?" "Kami sebenarnya tidak begitu tahu secara jelas." "Lalu bagaimana untuk mengetahuinya?" "Mahapatih mengetahuinya."
          Ketika ditanya Mahapatih menyarankan agar jelas menanyakan pada wakilnya. Demikian seterusnya satu demi satu ditanya, namun tidak ada yang mengetahui sejelasnya; sampai akhirnya para pekerja yang ditanya. Mereka menjawab: "Pertengkaran disebabkan oleh air."
          Lalu Sang Buddha berkata pada Raja: "Apa nilai dari air, Tuan Raja?"
          "Hanya sedikit, Yang Mulia."
          "Apa nilai dari seorang pendekar perang?"
          "Pendekar perang, Yang Mulia, sangat bernilai."
          Lalu Sang Buddha berkata: "Bila demikian tidaklah benar, bahwa demi air engkau mengorbankan para pendekarmu." Mereka semua berdiam diri. "Tuan-tuan Raja, kenapa tuan-tuan bertindak seperti ini? Bila Saya tidak berada disini hari ini, engkau akan menyebabkan sungai tumpahan darah. Tindakanmu sangat tak berharga. Engkau hidup dalam kebencian, menyebarkan lima macam kebencian; Saya hidup penuh cinta-kasih. Engkau hidup disakiti nafsu; Saya hidup bebas dari kesakitan itu. Engkau hidup mengajar lima macam kesenangan indera; Saya hidup dengan rasa bahagia dan puas.16

      Kejadian diatas menunjukkan, betapa kata-kata yang tak dikendalikan pikiran dapat menyebabkan pertikaian, betapa manusia mudah terbawa arus oleh permainan kata dan slogan-slogan, dan betapa seorang yang didorong kasih-sayang dapat merubah keadaan hanya dengan bertutur-kata sederhana. Suara tenang namun lantang penuh kasih-sayang dan alasan-alasan dapat memenangkan keganasan, angkara murka dan ketidak-tahuan. Bagi kita, kasih-sayang saja mungkin belum dapat menimbulkan keberanian dan ketakgentaran seperti Sang Buddha, tapi bila kita senantiasa merenungkan ajaran-Nya lewat tindakan dan kata-kata-Nya; kasih-sayang akan menjadi pendorong dibelakang tutur-kata kita.

          Bila engkau berbicara pada yang lain, engkau mungkin saja berbicara pada waktu yang tepat atau waktu yang tidak tepat, sesuai kenyataan atau tidak, secara halus atau kasar, tentang yang benar atau yang salah, dengan pikiran dipenuhi cinta-kasih atau pikiran dipenuhi kebencian.
          Dengan cara ini engkau hendaknya berlatih diri: "Batin kami tidak akan ternodai, juga kami tidak akan melontarkan kata-kata jahat, tapi dengan bijaksana dan penuh welas-asih, kami akan hidup dengan batin penuh cinta-kasih, tanpa kebencian.17
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:27:29 AM
TINDAKAN SEJATI

  90.      Tindakan adalah sesuatu yang kita perbuat dengan menggerakkan badan kita. Tindakan salah adalah tindakan yang disertai dorongan negatif dan menghasilkan dampak negatif, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain; sebaliknya Tindakan Sejati (samma kammanta) disertai dorongan positif dan mempunyai dampak positif baik pada diri sendiri maupun diri orang lain. Karena setiap makhluk hidup sangat menghargai hidupnya dan hidup dari yang mereka cintai, maka membunuh mereka atau mengancam kehidupan mereka adalah salah satu dari yang terburuk yang dapat dilakukan seorang padanya. Pembunuhan melibatkan kekerasan, ketakutan dan kesakitan pada diri korban, dan akan memperkuat kecenderungan kekerasan, kebencian dan hati tak berbelaskasih pada pelakunya. Bila kita menjaga perasaan orang lain, kita tidak akan membunuh atau menyebabkan kesakitan pada mereka seperti halnya kita tidak lakukan pada diri sendiri. Sang Buddha bersabda:

          Semua gemetar pada kekerasan, semua takut kematian
          Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
          Oleh karenanya jangan membunuh ataupun menyebabkan mereka terbunuh.

          Semua gemetar pada kekerasan, semua menghargai hidup
          Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
          Oleh karenanya jangan membunuh ataupun menyebabkan mereka terbunuh.1

      Dan bila kita ingin lebih nengembangkan kasih-sayang, sedemikian kuat dan luasnya, seperti semestinya, maka adalah masuk akal bahwa kita juga hendaknya menghindari pembunuhan makhluk apa pun, tidak hanya manusia.

  91. Berpantang dan menghindari mengambil hidup makhluk lain, adalah suatu aspek teramat penting dari Tindakan Sejati, dengan sendirinya adalah penghargaan pada kehidupan. Usaha-usaha untuk membuat keadaan dan segala benda-benda menjadi aman sedemikian rupa sehingga tidak dapat melukai seseorang, menghilangkan penyakit, memberi pernaungan dan perlindungan pada yang memerlukan, membantu memberi kedamaian dan merujukkan pertikaian-pertikaian adalah tindakan-tindakan positif terbaik yang selalu dapat kita prakarsai. Hal lain, yang oleh Sang Buddha sangat ditekankan, sebagai langkah mempertahankan dan menghargai kehidupan, adalah merawat dan menyembuhkan orang sakit. Sang Buddha menyebut dirinya sendiri "dokter yang baik" (anuttaro bhisako)2, yang dalam hal ini berarti Beliau dapat menyembuhkan mereka yang rohani-nya sakit oleh karena kekotoran-batin, dengan obat Dhamma.3 Tapi Beliau memang adalah seorang tabib dan perawat bagi mereka yang sakit badaniah. Kitab Suci Tipitaka mencatat banyak kali, Beliau mengunjungi orang sakit, menasehati dan menghibur mereka, malah merawat mereka.

          Pada waktu itu, seorang bhikkhu menderita disentri, dan berbaring lemah ditempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Sang Buddha dan Ananda yang lagi mengunjungi tempat itu, menjenguk bhikkhu tersebut, seraya bertanya: "Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?"
          "Saya menderita disentri."
          "Apa tidak ada yang merawatmu?"
          "Tidak ada, Tuanku."
          "Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?"
          "Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Tuanku."
          Lalu, Sang Buddha berseru pada Ananda: "Pergi dan ambillah air. Kita akan memandikan bhikkhu ini." Dengan demikian, Ananda mengambil air; sementara Sang Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Sang Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya.
          Kemudian, Sang Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya pada mereka: "Kenapa, wahai para bhikkhu, engkau tidak merawat bhikkhu sakit itu?"
          "Sebab sudah tidak berguna bagi kita, Yang Mulia."
          "Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat, siapa yang akan melakukannya? Siapa yang ingin merawat Daku, hendaknya merawat pula mereka yang sakit."4

      Jelas, berbicara dalam kebenaran (sacca) berarti menghindari kebohongan, pembicaraan mendua (tidak konsisten), melebih-lebihkan, kebenaran setengah-setengah; berbicara dalam kebenaran berarti berbicara hanya sesuai kenyataan yang diketahui. Seperti telah kita pelajari sebelumnya, kehendak yang muncul sebelum berbuat sesuatu sangatlah berperan. Seseorang dapat saja mengatakan suatu kebenaran tapi disertai keinginan untuk menyakiti hati dapat saja menutup kebenaran atau malah berbohong tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan. Kebenaran hendaknya tidak digunakan untuk menyakiti hati seseorang, bila kebenaran yang merugikan seseorang harus diutarakan, maka harus dilakukan dengan hati-hati, penuh pertimbangan dan tenggang rasa. Demikian pula, hendaknya kita hanya terpaksa menutupi kebenaran atau berbohong, apabila tidak ada pilihan lain dan kita telah mawas pada kemungkinan kepentingan-kepentingan pribadi. Namun dalam kebanyakan situasi, kejujuran tetaplah cara terbaik. Bila kita telah berbicara dengan benar, kita tidak pernah kwatir pada kemungkinan ketahuan berbohong dikemudian hari, dan kita tidak akan terjerat dengan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Menjadi jujur adalah memiliki hati-nurani yang sejati, dapat dipercayai, dapat diharapkan dan dihargai oleh sesamanya.

          Dengan lima cara, seorang yang merawat orang sakit adalah tepat merawat si sakit. Apa lima itu? Dia menyiapkan obat; dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya, dan yang tidak baik tidak ditawarkannya; dia merawat si sakit dengan cinta-kasih, tanpa pamrih; dia tak tergoyah oleh tinja, kencing, muntah dan ludah; dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.5

      Bila kita dapat merawat orang sakit, dengan mengembangkan hal-hal seperti diatas, kita telah dapat menambah nilai rohani mereka seperti yang telah kita lakukan pada jasmani mereka. Subhasitaratnakhosa membuat perumpamaan sederhana tentang mereka yang dapat menyampingkan kepentingan pribadinya, bertindak tak mementingkan diri sendiri, dengan perumpamaan sebuah pohon.

          Pohon memberi naungan bagi yang lain,
          Sementara dia sendiri ditimpa panas matahari,
          Buah yang dihasilkannya diperuntukkan bagi yang lain
          Demikianlah orang-baik adalah bagaikan pohon.6

  92.      Dalam hubungannya dengan yang telah diajarkan tentang pembunuhan; apakah seorang Buddhis hendaknya vegetaris? Pada zaman Sang Buddha, juga pada zaman ini, ada pendapat bahwa makanan tertentu, terutama daging, akan menghilangkan kemurnian dan menodai mereka yang memakannya. Agama Buddha secara jelas mengatakan bukan karena makanan kita menjadi ternoda - hanya pikiran, perbuatan dan perkataan yang jahat, yang mengotori kita.

          Apabila seseorang kasar, congkak, menghasut, menipu, licik dan tidak mau berbagi pada orang lain.
          Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.

          Kemarahan, kesombongan, keras kepala, keinginan jahat, licik, cemburu, angkuh, berkelompok dengan mereka yang jahat.
          Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.

          Bermoral jelek, tak membayar utang, bergunjing, menipu, bersaksi-dusta, berbuat jahat seperti itu kepada yang lainnya.
          Inilah yang membuat manusia ternodai, bukan karena makan daging.7

      Sebagian orang lainnya menjadi vegetaris, bukan karena anggapan bahwa daging menyebabkan mereka ternodai, tetapi karena menganggap bahwa dengan memakan daging, maka mereka terlibat pembunuhan, walaupun tidak langsung. Apa yang dikatakan Sang Buddha tentang ini? Pertama, Sang Buddha sendiri bukanlah seorang vegetaris, tidak ada rekaman selama empat puluh tahun masa penyebaran ajaran-Nya, yang menunjukkan bahwa Beliau menganjurkan hidup vegetaris. Dalam peraturan kebhikkhuan Sang Buddha berkata bahwa daging-daging binatang liar tertentu jangan dimakan, hal ini berarti daging yang lainnya dapat dimakan;8 pada lain kesempatan secara rinci Sang Buddha menganjurkan pemberian kaldu daging untuk memberi kekuatan pada tubuh yang sedang sakit.9 Sewaktu sepupu Sang Buddha, Devadatta, meminta pada Sang Buddha agar peraturan pertapaan yang keras, yang salah satu diantaranya adalah berpantang makan daging, diperlakukan bagi para bhikkhu; Sang Buddha ternyata tidak menerima permintaan itu.10 Sekali waktu, sekelompok orang Jain mencoba menjatuhkan nama Sang Buddha dan Siswa-Nya, karena menerima dan memakan makanan berdaging yang ditawarkan kepada mereka. Menjawab pertanyaan Siswa-Nya, atas pertanyaan apa yang harus dilakukan bila makanan berdaging ditawarkan pada mereka, Sang Buddha berkata agar mereka hendaknya menerimanya, kecuali bila melihat, mendengar, ataupun mencurigai, bahwa hewan itu khusus dibunuh untuk menjadi makanan mereka.11

Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:27:52 AM
  93. Dengan demikian posisi ajaran Sang Buddha dalam hal ini adalah jelas. Ada dua kasus yang berbeda: Pertama, adalah membunuh dengan tangan sendiri, menyuruh seseorang untuk membunuh atas namanya, atau membiarkan seseorang untuk membunuh atas namanya; ke dua, adalah memakan daging dari binatang yang dibunuh tanpa izin, persetujuan dan setahu dari seseorang. Pada kasus pertama, seseorang bertanggung jawab langsung; pada kasus ke dua seseorang, sedikit atau banyak turut bertanggung jawab secara tidak langsung. Kritik dilontarkan pada tradisi Buddhis kuno dalam perbedaan pendapat ini dengan menyatakan bahwa kedua kasus diatas tidak jauh berbeda. Walau demikian, seseorang vegetaris ketat sekali pun sama tanggung jawabnya dengan pemakan daging, terhadap makhluk yang dibunuh secara tidak langsung. Sayuran, sebagai makanan para vegetaris tidak luput dari penyemprotan hama serangga; pula para vegetarian mungkin pula menggunakan sepatu kulit, mereka juga mengkin menggunakan bahan-bahan rumah tangga yang dibuat dari bagian-bagian hewan (misalnya sabun yang dibuat dari lemak hewan), mereka juga tanpa ragu menggunakan obat terdiri dari serum hewan atau dibuat setelah dicoba dengan mengorbankan binatang percobaan. Dari seluruh produk hewan, tentunya tidak saja yang dimakan yang ditolak; secara konsekwen, untuk menjadi vegetaris mutlak, seorang hendaknya juga tidak menggunakan seluruh produk hewan dan sayuran yang dibudidayakan. Jadi, untuk sekadar hidup berarti harus "memurnikan" makanannya, lingkungannya dan hidupnya, padahal sebenarnya demikianlah hakekat keberadaan alam yang tidak dapat memuaskan secara mutlak. Pada dasarnya, seorang Buddhis hendaknya mengerjakan apa saja untuk mencegah pembunuhan; dia bisa memilih menjadi vegetaris, orang lainnya mungkin lebih jauh, yang lain lagi mungkin tak sejauh itu. Setiap orang bebas menentukan caranya masing-masing. Tapi walau bagaimana pun juga, mereka yang non-vegetaris, secara spiritual mengambil peranan yang sama dengan para vegetaris.

  94. Mencuri adalah suatu tindakan salah sebab memperkuat keserakahan, kelicikan dan kebohongan pada orang yang melakukan pencurian, dan menyebabkan kesusahan dan penyesalan pada mereka yang kecurian. Dalam melaksanakan ajaran Sang Buddha, kita menghindari mengambil barang milik orang lain, malah sebaliknya diajar membagi barang milik kita pada orang lain. Kedermawanan (dana) dan kemurahan-hati (caga), tidak hanya mengurangi rasa-kepemilikan, tapi juga memenangkan rasa hormat, mengikat persahabatan dan memberi kegembiraan pada yang lain. Pesan Sang Buddha:

          "Apakah mungkin, Yang Mulia Guru, melihat hasil nyata dari kedermawanan?"
          Sang Buddha menjawab: "Ya, kita dapat melihat hasil nyata dari kedermawanan. Pemberi, si dermawan, akan dicintai dan disayangi oleh banyak orang. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Mereka yang bijaksana dan baik, meneladaninya. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Nama-harumnya akan menyebar kemana-mana. Ini juga adalah hasil yang nyata dari kedermawanan. Juga, kemana pun dia bergabung, akan dihargai; diterima dengan rasa aman dan tanpa kesulitan oleh para Brahmana, para perumah tangga atau pun yang hidup menyepi. Inilah hasil yang nyata dari pemberian. Dan pada akhirnya, si pemberi, si dermawan, setelah kematiannya akan terlahir di alam surga. Inilah hasil nyata yang terlihat kemudian.12

  95. Secara tradisional di dalam agama Buddha dikenal empat macam pemberian. Yang pertama adalah pemberian barang materi (amisa dana). Termasuk disini pemberian makanan, pakaian, uang dan barang-barang lain yang dapat berguna bagi orang lain. Sang Buddha mengajak kita untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pemberian dan mempertimbangkan dampak pemberian pada yang menerimanya. Dengan demikian, akan terlihat bahwa pemberian, walau sekadar materi, akan sangat berharga, baik pada pemberi juga pada penerima. Sebagai contoh, bila kita memberi obat pada seorang, maka kita tidak hanya sekadar memberinya kumpulan bahan kimia (yang bernama obat), tapi kita telah pula memberi kesehatan dan kebahagiaan, malah kita mungkin telah pula memberi hidup. Dalam hal pemberian makanan Sang Buddha bersabda:>

          Sewaktu memberi makanan, si pemberi telah pula memberi lima hal. Apa yang lima itu? Dia memberi hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi. Dalam pemberian itu, si pemberi telah mengambil-bagian pula dalam hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi, saat ini maupun saat akan datang.13

      Pemberian lain adalah pemberian tenaga (parichaya dana), yang berarti meminjamkan bakat, keahlian dan waktu kita kepada seorang atau perhimpunan yang membutuhkannya. Bekerja sukarela pada usaha-usaha kemanusiaan, pada vihara-vihara dan organisasi Buddhis adalah contoh yang baik dari pemberian ini. Macam pemberian ke tiga adalah pemberian rasa-aman (abhayadana). Sangat sering, masyarakat sekeliling kita ditakutkan oleh sikap pikiran mereka sendiri; imajinasi menyebabkan mereka selalu mengkwatirkan hal yang baru 'mungkin' terjadi, bukannya pada hal-hal yang benar kenyataan dan menjadi ancaman sebenarnya. Dalam hal ini, kata-kata yang memberi keyakinan dan ketenangan akan dapat meniup kabut ketakutan itu. Di antara rasa takut, maka rasa takut pada kematian adalah yang paling menakutkan, terutama bila kematian telah dekat. Bila kita telah berkeyakinan kokoh pada Tiga Permata (Buddha, Dhamma dan Sangha), bila kita bermoral tinggi dan bila kita telah mengerti proses kelahiran kembali, kematian bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Perasaan tak takut pada kematian inilah yang hendaknya kita turut salurkan pada mereka yang menjelang kematiannya. Menganjurkan seorang yang menghadapi kematian untuk mengingat perbuatan-perbuatan baiknya, membantu memberi pengertian bahwa kematian adalah bagian alamiah dari proses kehidupan, atau sekadar menemani mereka, mendengarkan mereka atau membuat tubuh mereka lebih nyaman; semua hal diatas akan sangat membantu agar mereka dapat mati dengan perasaan damai dan tenang. Pemberian yang sangat dekat dengan pemberian rasa-aman adalah pemberian Dhamma (dhamma dana), yang oleh Sang Buddha disebut sebagai pemberian yang termulia.14 Selain secara langsung membabarkan Dhamma pada yang lain, maka kita dapat memberi dana Dhamma dengan cara menulis buku-buku tentang agama Buddha, mencetaknya untuk dibagikan cuma-cuma, membantu kehidupan para bhikkhu dan para pandita dan juga perhimpunan yang menangani usaha-usaha itu.

  96. Kita dapat menyampaikan pesan, agar seorang suka berdana dengan berbagai cara dan motivasi, karena tidak semua orang memiliki semangat menolong dan cinta-kasih yang diharapkan mendorongnya berdana. Mengacu pada orang yang mengembangkan kedermawaan, Paramitasamasa menjelaskan, sebagai berikut:

          Pemberi; tidak berfoya-foya, yang adalah racun; tidak mencelakakan orang lain; tidak takut dan tidak malu; dan tidak mencari-cari mereka yang dianggapnya pantas untuk menerima.

          Dia tidak memberi sesuatu yang perlu bila yang lainnya masih baik, atau dengan memandang rendah berpikir: "Mereka tidak pantas untuk ditawari," dia juga tidak menurunkan nilai pemberiannya dengan mengharapkan balasan, dia juga tidak memberi tanpa ketulusan atau keraguan.

          Bila memberi pada orang bijaksana, dia tidak merasa bangga berlebihan; bila memberi pada orang biasa, dia tidak merasa terhina. Dia memberi dengan rela, tidak akan memandang tinggi dirinya juga tidak memandang rendah yang lainnya.

          Dia tidak memberi dengan maksud yang tidak baik; dia tidak memberi tanpa cita-cita mulia. Dia tidak memberi dengan kemarahan, juga tidak menyesali apa yang telah dia berikan.

          Dia tidak memberi banyak bila dipuji atau sedikit bila tidak dipuji. Dia tidak memberi sesuatu yang merugikan atau menimbulkan perilaku tercela.15

  97. Seks adalah aspek penting dalam menyangkut masalah biologi dan psikologis. Tujuan utama adalah untuk me-reproduksi turunan, tapi juga berkembang dari sekadar masalah batiniah dan isteri. Sering dorongan seksual dibumbui oleh takhyul dan tabu sehingga menjadikannya sumber perasaan bersalah, ketakutan dan penyakit mental. Demikian pula, dorongan seksual tak terkendali akan menyebabkan frustrasi, perzinahan, dan penderaan. Untuk menolong kita, menghindari kedua ekstrim diatas, sedemikian rupa sehingga masalah seks ditempatkan pada tempat yang tepat baik secara badaniah, psikologis dan kehidupan sosial, Sang Buddha mengajar kita agar menghindari apa yang disebut-Nya sebagai 'Perilaku-seksual yang salah' (kamesu miccha cara). Perilaku-seksual yang salah adalah semua perilaku yang merugikan diri kita atau diri orang lain. Pemerkosaan adalah contoh yang jelas dari perilaku-seksual yang salah. Perzinaan adalah contoh lainnya sebab menyebabkan pengingkaran janji, kebohongan dan kepalsuan, terpisah dari perasaan dihianati yang mungkin disebabkannya. Mengambil keuntungan dari orang yang bodoh, orang yang mudah tertipu atau orang yang ber-emosi lemah, demi memuaskan dorongan seksual adalah juga perilaku-seksual yang salah. Perzinaan, walau mungkin tidak secara langsung menyakiti hati seorang atau orang lain, akan mencampakkan kita dari kehidupan mulia dan cenderung membuat kita tidak berhati-hati pada perasaan dan harapan seseorang. Agama Buddha, sejalan dengan pemikiran moderen, yakni bahwa baik masturbasi, maupun seks pranikah yang dilandasi kebahagiaan dan tanggung jawab bersama, bukanlah masalah dosa/kesalahan. Hubungan seks sebelum pernikahan adalah tercela karena dapat menyebabkan kehamilan dan segala keadaan yang disebabkannya, yang kemudian berakhir dengan tindakan-tindakan yang merugikan batin. Pengendalian diri dan penyederhanaan dalam dorongan seks adalah apa yang disebut sebagai perilaku-seksual yang terlatih baik bagi seorang Buddhis.

  98. Karena agama Buddha sangat mengutamakan pikiran (dalam hal ini peranannya, latihan-latihannya dan perubahan-perubahannya), maka dengan sendirinya keadaan jasmani jugalah penting, karena dapat mempengaruhi keadaan pikiran/batin kita. Oleh karenanya Sang Buddha mengajarkan agar kita senantiasa menjaga kesehatan badan.16 Olah raga, diet seimbang, sederhana dalam makanan, dan paling penting menghindari minuman-keras dan obat-obatan yang menyebabkan kecanduan; adalah sangat membantu menjaga kesehatan itu. Berpantang minuman-keras adalah mutlak dalam pelaksanaan tata kehidupan seorang Buddhis.

          Mereka yang mengikuti jalan Dhamma
          Hendaknya tidak minum minuman-keras
          Atau menyarankan seseorang untuk meminumnya,
          Karena mengetahui akibat dari kemabukan.

          Disebabkan mabuk,
          Seorang yang bodoh berbuat sesuatu yang tercela
          Dan juga menyebabkan orang lainnya tak berhati-hati
          Hindarilah akar dari tindakan salah ini,
          Kebodohan ini hanya disenangi mereka yang bodoh.17

      Bila kita mabuk, kesadaran akan menurun dan kecerobohan terjadi, dengan demikian kita mudah berbuat kesalahan. Walau mungkin tidak langsung merugikan jasmani bila di minum dalam jumlah sedikit, namun lama kelamaan sebagai mana biasanya jumlah yang diminum akan bertambah banyak, dan dengan demikian akan merugikan jasmani. Dalam keadaan mabuk tak disangkal lagi, seseorang mudah mencelakakan dirinya sendiri. Tapi, yang lebih buruk, minuman keras sangat merugikan batin dan pikiran, menyebabkan hilangnya kewaspadaan, dengan demikian menonjolkan hal-hal yang justru harus diatasi dalam pelaksanaan tata kehidupan Buddhis.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:29:06 AM
PENGHIDUPAN SEJATI

  99.      Agama Buddha sering dituduh terlalu menjauhi keduniawian dan tidak mengajarkan masalah praktis sehari-hari. Pada kenyataannya malah Sang Buddha lebih banyak mengajar aspek kehidupan ekonomi dibanding dengan pengajar agama yang lain, baik aspek perorangan ataupun aspek nasional, yang adalah kepentingan orang banyak. Justru karena menganggap penting masalah kehidupan ekonomi, maka Beliau mengajarkan Penghidupan Sejati (samma ajiva). Melalui ajaran itu Sang Buddha mengajarkan bagaimana kita berusaha dan apa yang hendaknya diperbuat dengan kekayaan yang kita peroleh, sebagai salah satu langkah Jalan ke Nibbana. Alasan untuk itu sangat jelas. Pada umumnya manusia mengisi bagian besar dari waktu hidupnya dengan bekerja, pekerjaan yang kita lakukan itu dengan sendirinya akan turut membentuk kepribadian kita, baik positif ataupun negatif. Sewajarnya, bila agama melibatkan seluruh aspek pengalaman manusia, maka agama seyogyanya juga memberi petunjuk cara bagaimana mengusahakan dan bagaimana menggunakan kekayaan, Sang Buddha ternyata memberi petunjuk itu.

 100.      Dalam masyarakat, pengumpulan kekayaan sering dihubungkan dengan kejahatan, terutama dalam topik-topik keagamaan. Tapi agama Buddha, walau mengakui bahwa uang dan keserakahan kadang-kadang berhubungan, namun juga menyadari bahwa dengan dorongan dan pengertian yang benar, banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan dengan terkumpulnya kekayaan melebihi kebutuhan. Telah kita kenal sebelumnya, bahwa agama Buddha membagi hal-hal sebagai hal intrinsik dan hal sebagai sarana (67). Bila uang hanya dilihat sebagai hal intrinsik saja, yakni sekadar benda/hal dalam batasnya sendiri, maka manusia akan melangkahi dasar-dasar moral, semena-mena pada lainnya, mencelakakan dirinya sendiri, hanya demi mengumpul uang sebanyak mungkin. Namun, bila uang dilihat sebagai benda/hal sebagai sarana, yakni yang menjadi sesuatu yang berarti karena apa yang dapat dilakukan dengannya, maka uang akan menjadi sumber kebahagiaan bagi diri sendiri juga pada diri sesama kita. Dengan sumber keuangan yang memadai, kita dapat melengkapi kebutuhan primer diri kita dan keluarga kita. Untuk tujuan ini sendiri uang adalah sesuatu yang mutlak. Bila kita telah mengumpulkan lebih banyak, kita dapat melengkapi baik kebutuhan sekarang maupun kebutuhan masa depan, yang pada gilirannya membebaskan kita dari kekwatiran. Lalu, bila telah mengumpulkan lebih banyak lagi, kita dapat menyumbang pada lembaga keagamaan atau sosial lainnya, yang pada gilirannya juga akan memberi kita kebahagiaan, kepuasan dan juga keuntungan lainnya. Sang Buddha menyadari nilai kebahagiaan, dan melukiskan tiga macam kebahagiaan yang dapat dinikmati dari kekayaan.

          Dan apakah kebahagiaan dari kepemilikan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaan berkat usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, secara jujur dan tak melanggar hukum. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
          Dan apakah kebahagiaan dari kekayaan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaannya dengan jujur dan tak melanggar hukum, dan dengan kekayaannya dia berbuat banyak kebaikan. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
          Dan apakah kebahagiaan dengan terbebas dari hutang? Menyangkut hal ini, perumah tangga tidak berhutang pada siapapun besar ataupun kecil. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.1

      Semua diatas, pula segala macam kebahagiaan dengan sendirinya akan menuntun seorang sehingga memperoleh kecakapan dalam ketrampilan (sippanca)2, dapat mengatur pekerjaannya dengan baik dan hati-hati (susamvihita-kammantam)3 serta melaksanakannya dengan rajin (atanditam)4.

 101.      Ada dua ciri yang hendaknya dipenuhi didalam melaksanakan pekerjaan, baik sebagai pengusaha atau sebagai profesi, agar sejalan dengan ajaran Penghidupan Sejati. Pertama, pekerjaan itu dapat mencukupi kebutuhan hidup kita, yakni makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Ke dua, pekerjaan tersebut secara etis, adalah baik. Kenyataannya banyak pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, malah yang mungkin dapat melebihi dari cukup, tapi melibatkan kecurangan, kesemenaan ataupun kekerasan. Sang Buddha menyebutkan beberapa pekerjaan yang ada pada zaman kehidupan Beliau yang adalah tak sejalan dengan moral.

          Ada lima perdagangan yang wajib dihindari oleh para perumah tangga. Apa lima itu? Berdagang senjata, berdagang manusia, berdagang daging, berdagang minuman keras dan berdagang racun.5

      Pada zaman kita sekarang daftar tersebut tentunya sudah bertambah. Industri periklanan (yang keunggulan produknya dilebih-lebihkan, hanya benar sebagian atau sama sekali tidak benar), jurnalistik kuning, industri pertahanan/persenjataan, penjualan sistim piramid (sistim penjualan dengan keuntungan berlebihan), prostitusi, membuat dan menjual produk pornografi dan penujuman/peramalan adalah contoh dari cara penghidupan yang salah. Perdagangan atau pekerjaan yang tidak merugikan orang lain, yang tidak menyebabkan kecurangan, dan yang diharapkan memberi pengaruh positif pada masyarakat adalah cara penghidupan yang secara etis adalah benar. Ini termasuk menjadi guru, perawat, berdagang perdagangan tertentu, bertani yang tidak melibatkan pembunuhan, bertoko, pelayanan masyarakat, dan sebagainya.

 102. Namun, ber-Penghidupan Sejati bukan sekadar masalah apa yang dikerjakan, tetapi juga bagaimana mengerjakannya. Suatu pekerjaan mungkin secara etis adalah baik, tapi kita bisa saja tidak melaksanakannya dengan cara yang etis. Praktek kedokteran sebagai contohnya, adalah pekerjaan yang secara etis adalah baik, namun seorang dokter mungkin saja menarik pembayaran yang terlalu tinggi atau malah menghancurkan kehidupan dengan melakukan pengguguran kehamilan. Demikian pula, berdagang tidak mesti tidak-jujur, tapi dapat dilakukan secara tidak jujur. Seperti dikatakan Aryasura:

          Cara yang umum, untuk menawarkan barang adalah memuji mutunya, tapi menyembunyikan kekurangannya.6

      Menggaji pekerja terlalu rendah, membayar gaji tidak sesuai hari atau jam kerja akan merubah cara penghidupan yang telah benar menjadi salah. Seorang Buddhis, oleh karenanya seyogyanya berusaha agar pekerjaan atau usahanya berada dalam norma yang etis, berusaha dengan jujur dan terpadu. Etik senantiasa menjadi bagian pada pekerjaan atau usahanya, tidak hanya ketrampilan dan profesionalisme.

 103. Seperti telah disebutkan sebelumnya, uang tidak mempunyai nilai dalam dirinya, namun nilainya tergantung dari bagaimana mendapatkannya dan bagaimana menggunakannya. Apabila, nafkah telah kita peroleh melalui usaha yang rajin dan jujur, maka hasil tersebut bukannya untuk ditimbun saja, namun untuk digunakan dengan baik. Sang Buddha menganjurkan agar membagi penghasilan dan menggunakannya dalam empat tujuan khusus. Pertama, digunakan untuk mencukupkan diri kita dan para tanggungan kita akan kebutuhan-kebutuhan utama serta rasa aman.

          Menyangkut hal ini, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan membahagiakan dirinya, ibu dan ayahnya, isteri dan anak-anaknya, pelayan dan para pekerjanya, teman-teman dan kerabatnya, dia menciptakan kebahagiaan yang sejati. Inilah manfaat pertama yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.7

 104. Selanjutnya, sebagian dari penghasilan hendaknya ditabung untuk digunakan sewaktu dalam keadaan sulit dikemudian hari. Pada zaman Sang Buddha ini berarti menyembunyikan harta atau emas didalam tanah; zaman sekarang hal ini dapat dilakukan dengan menabung di bank, ikut dana pensiun ataupun usaha semacamnya.

          Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan menjadikan dirinya merasa aman dalam keadaan bencana yang buruk seperti kebakaran, banjir, para raja dan bangsawan penakluk, para musuh penakluk, atau para pewaris tahta yang tak dikehendaki. Dia akan mengambil langkah untuk membela dirinya dan membuat dirinya aman. Inilah manfaat kedua yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.8

      Dalam khotbah yang lain, Sang Buddha menganjurkan agar separuh dari penghasilan kita digunakan untuk menambah modal usaha kita, dan seperempat disimpan untuk dipergunakan pada masa-masa sulit seperti diatas.9 Saat ini, mungkin tidak perlu dan tidak mungkin dibagi sedemikian persentasenya, namun hal diatas menunjukkan betapa Sang Buddha menekankan pentingnya rasa-aman dalam hal keuangan bagi kita.

 105.      Sebagaimana keuangan hendaknya dicadangkan untuk apa yang disebut pada zaman India kuno sebagai persembahan berganda-lima.

          Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan berganda-lima, yakni para handai taulan, para tamu-tamu, para handai taulan yang akan pergi, para raja-raja, dan para dewata. Ini manfaat ketiga yang diraihnya, digunakan untuk kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.10

      Saat ini, hal di atas berarti membayar kewajiban perpajakan.

 106. Dan terakhir, sebagian dari penghasilan kita hendaknya digunakan untuk mendukung para rohaniawan dan lembaga keagamaan.

          Terakhir, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan pada para pertapa dan kaum brahmin, yang tidak bermalas-malasan, yang menjalankan kebajikan dan kesabaran, yang telah mengendalikan, menenangkan dan mendinginkan dirinya sendiri. Kepada merekalah, dia mempersembahkan pemberian yang akan mengantarnya pada kebijaksanaan, pada kelahiran kembali yang berbahagia, pada kehidupan di alam surga yang menyenangkan.11

      Para bhikkhu dan bhikkhuni, tentunya, tidak diberi uang, tapi diberi perlengkapan utama mereka, seperti jubah, makanan, pernaungan dan sebagainya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, karena sudah meninggalkan keduniawian demi kepentingan Dhamma dan pula telah mengakhiri kepemilikan uang atau benda lain, mempunyai kebutuhan yang berbeda dibanding dengan apa yang mereka miliki semasa hidup sebagai orang biasa. Para bhikkhu dan bhikkhuni hendaknya hidup dalam cinta kasih, bukan dalam uang dan harta benda lain. Sang Buddha berkata:

          Dan apakah kekayaan seorang bhikkhu? Menyangkut hal ini, dia telah tinggal-berdiam dalam pikiran yang penuh cinta kasih, ber-welasasih, ber-simpati dan penuh keseimbangan, meliputi perempat pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dia tinggal-berdiam meliputi seluruh dunia-keatas, kebawah, keseberang, kesemua penjuru dengan pikiran dipenuhi oleh cinta kasih, welas asih, simpati dan keseimbangan, berlimpah kebahagiaan, tidak terbatas, tanpa kebencian atau keinginan-jahat. Inilah kekayaan seorang bhikkhu.12

      Uang hanya dapat dipersembahkan untuk membangun vihara, mencetak buku Dhamma dan menyokong pelayanan keagamaan dan amal lainnya.

 107. Suatu hal yang menarik, ialah bahwa ternyata Sang Buddha mengajarkan agar dukungan hendaknya diberikan kepada setiap rohaniawan yang benar dan tulus, tidak hanya kepada rohaniawan agama Buddha semata.13 Pada zaman Sang Buddha, kebanyakan guru agama lain menganjurkan kedermawanan pada agamanya sendiri, tapi tidak menganjurkan menyokong keyakinan lain. Sikap licik dan picik ini masih menonjol dalam praktek keagamaan tertentu pada saat ini. Agama Buddha sebaliknya, seperti telah dibahas didepan menyadari segi-segi kebajikan pada agama lain dan turut bergembira pada hal tersebut, dengan demikian seorang Buddhis dapat dan pada tempatnya turut memberi dukungan pada lembaga keagamaan non Buddhis. Sang Buddha mengingatkan kita, bahwa kemurahan hati yang memihak akan menghalangi kita sama halnya menahan pemberian kita pada orang lain.

          Vacchagota berkata pada Sang Buddha: "Saya pernah mendengar, bahwa Dikau, Gotama yang baik, pernah berkata bahwa sumbangan hendaknya hanya diberikan pada-Mu, bukan pada yang lainnya; pada para pengikut-Mu, bukan pada pengikut guru lainnya. Mereka yang berkata demikian, apakah benar-benar sesuai pendapat-Mu, tanpa melebih-lebihkannya? Apakah mereka berbicara sesuai ajaran-Mu? Oleh karenanya, Gotama yang baik, saya kwatir berprasangka yang salah pada-Mu."
          Sang Buddha berkata: "Vaccha, perkataan mereka bukanlah pendapat Saya, mereka berprasangka yang salah dengan mengatakan yang tidak benar. Sebenarnya, siapapun yang menganjurkan orang lain agar tidak berderma sebenarnya telah menghalangi pula tiga hal. Apa yang tiga itu? Dia menghalangi si pemberi untuk berbuat kebaikan, dia menghalangi si penerima untuk menerima kebaikan, dan pula dia telah menghancurkan dirinya sendiri dengan kepicikannya."14

 108. Karena kekayaan adalah penting untuk kehidupan, sebab dapat memberi keamanan jasmani dan rohani, dan karena dengannya banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan, maka Sang Buddha menganjurkan agar kita menggunakan penghasilan kita dengan teliti dan berhati-hati. Menurut Sang Buddha, mengawasi kekayaan, yang telah kita peroleh melalui usaha keras yang jujur adalah salah satu faktor yang mengantar ke keberhasilan di dunia ini.

          Dan apakah tujuan berwaspada? Menyangkut hal ini, apapun cara seseorang mencari nafkahnya, apakah bertani, berdagang, memelihara ternak, pemanah, pelayan raja ataupun seniman, dia akan menjadi trampil dan bergairah, berbakat dan cekatan dalam tata-cara dan peralatan, dan mampu mengatur dan menyelesaikan pekerjaannya. Dan apakah tujuan dari berhati-hati? Menyangkut hal ini, apapun yang diusahakan dan dikerjakan seseorang, yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, dia akan berhemat, berwaspada dan bersiaga sedemikian rupa sehingga raja penakluk tidak akan merampasnya, pencuri tidak akan mencurinya, air atau api tidak akan menghancurkannya, dan para pewaris tahta yang tak diinginkan tidak akan menyitanya.15

 109. Beliau juga mewejangkan apa yang disebut-Nya sebagai penghidupan seimbang, yang berarti membuat perimbangan antara pengeluaran dan pemasukan kita. Untuk itu, tentunya diperlukan penentuan anggaran, penghematan dan menejemen yang baik.

          Dan apakah penghidupan yang seimbang? Menyangkut hal ini, seseorang yang mengetahui pemasukan dan pengeluarannya, tidak berfoya-foya tidak pula hidup sengsara, mengetahui bahwa pemasukan harus berimbang dengan pengeluaran, dan pengeluaran tidak melebihi pemasukan. Seperti seorang pandai emas atau pembantunya, mengetahui cara menggunakan timbangan, seberapa banyak jarum timbangan naik dan turun, sedemikian pula dia harus mengetahui pemasukan dan pengeluarannya. Seorang yang pemasukannya kecil, tapi hidup berfoya-foya, merekalah yang dikatakan: "Dia menikmati kekayaannya seperti seorang rakus pelahap buah-buahan di hutan." Demikian pula, bila seseorang dengan penghasilan yang bercukupan namun hidup sengsara, merekalah yang dikatakan: "Dia akan mati seperti seorang pengemis."
          Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan habis: kebejatan moral, mabuk-mabukan, berjudi dan berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, seorang menutup keran masuk tapi membiarkan keran keluar terbuka. Bila tak ada hujan, maka jumlah air akan berkurang. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seorang akan menghabiskan kekayaannya.
          Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan terjaga: menghindari kebejatan moral, tidak mabuk-mabukan, tidak berjudi dan tidak berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, dan seorang membuka keran masuk tapi menutup keran keluar terbuka. Dengan melakukan hal itu dan bila hujan turun, maka jumlah air akan bertambah. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seseorang dapat menjaga kekayaannya.16

 110. Sebagian orang sangat menikmati pekerjaannya, pekerjaan memberi mereka kepuasan, mereka menikmati tantangan-tantangan dalam bekerja, pekerjaan memberi arti bagi hidupnya yang bagi orang lain justru hidupnya itu kelihatan tak mempunyai arti lagi. Sebagian orang lagi, tidak menikmati pekerjaannya, tapi menikmatinya lewat apa yang dihasilkan melalui pekerjaan.

      Konsekwensinya, adalah mudah bagi sebagian orang untuk berpikir, bahwa bekerja dan menimbun kekayaan adalah bagian yang terpenting dalam hidupnya, atau malah dijadikan tujuan hidupnya. Mereka tidak tertarik pada masalah lain selain bekerja dan menjadi kaya, dengan demikian bila dia kehilangan pekerjaan, atau tidak dapat lagi bekerja, atau sewaktu dia kehilangan kekayaannya, mereka merasa benar-benar kehilangan daya dengan perasaan hancur luluh. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa walau pekerjaan dan kekayaan adalah penting, namun bukanlah segala-galanya; pekerjaan dan kekayaan adalah tetap hal yang berprasyarat, mempunyai keterbatasan dan senantiasa berubah. Pekerjaan dan kekayaan adalah sesuatu yang bernilai, karena dapat menopang kehidupan kita, sementara kita mengembangkan nilai spiritual yang pada akhirnya membawa kita kealam dimana perjuangan keras tidak diperlukan lagi dan kebahagiaan adalah satu-satunya kekayaan kita. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Sangatlah tidak berarti hilangnya hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan kehilangan kebijaksanaan. Sangatlah tidak berarti menimbun hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan menimbun kebijaksanaan.17
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:30:40 AM
ETIKA PERGAULAN

 111. Manusia adalah makhluk sosial, saling bergantung satu sama yang lain. Selama paling kurang sepuluh tahun pertama dalam kehidupan kita, kita sangat tergantung pada orang-tua kita; dan pada usia tua mereka mungkin berbalik tergantung pada kita. Kita tergantung pada guru-guru dalam hal pendidikan kita, pula dalam menyiapkan masa depan kita; sebaliknya mereka mungkin menggantungkan nafkahnya dengan membagi ilmu dan pengalamannya pada kita. Kita memiliki kawan-kawan dan dimiliki oleh kawan-kawan. Kita menjual keahlian kita pada para majikan yang usahanya tergantung pada kita sebagai para pekerjanya. Sebagian besar manusia akan kawin, dengan pasangannya, mereka akan saling mengasihi secara emosional dan seksual. Para rohaniawan sekali pun, yang telah meninggalkan keduniawian untuk mencari kebenaran sejati, juga tetap tergantung pada orang lain untuk pemenuhan kebutuhan utamanya; yang kemudian pada gilirannya akan diminta petunjuknya dalam hal-hal yang menyangkut spiritual. Jalinan jaringan diantara manusia satu sama lainnya dan interaksi diantara mereka inilah, yang kita sebut sebagai masyarakat.

 112. Disebabkan karena keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, masyarakat sekeliling kita sering diwarnai oleh kesemenaan dan kekerasan; sekelompok orang dengan posisi politik atau ekonomi yang kuat dapat menindas secara tidak adil pada kelompok yang lain. Kelompok yang tidak beruntung akan merasa dendam pada mereka yang mengeksploitasi mereka, dengan akibat timbulnya pengelompokan sosial, perang saudara dan kejahatan-kejahatan lainnya. Lalu, pada akhirnya pola keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin ini akan mengembangkan keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin baru lainnya. Sang Buddha menyadari, bahwa tatanan masyarakat yang adil dan seimbang akan memberikan kesempatan yang maksimal pada manusia untuk mencapai kebahagiaan dan pula kesempatan untuk mengembangkan kehidupan spiritual. Beliau juga menunjukkan, bahwa bila kita mencita-citakan masyarakat seperti itu, etika harus dikembangkan dalam hubungan antar manusia sama pentingnya dengan pengembangan etika dan perilaku perorangan. Tatanan masyarakat yang adil dan seimbang segera akan bersinar cemerlang, bila kita mulai memperlakukan sesama kita dengan cinta-kasih, adil dan seimbang. Oleh karenanya dapat dikatakan, bahwa etika pergaulan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang Buddhis.


 113. Dalam salah satu khotbah yang sangat terkenal, yang dikenal sebagai "Wejangan pada Sigala" (Sigalovada Sutta), Sang Buddha merumuskan enam macam hubungan utama antar manusia, yang didalamnya, pada umumnya setiap insan manusia akan terlibat dalam masa hidupnya. Pada tiap macam hubungan itu, Beliau mewejangkan bagaimana hendaknya tata cara pergaulan itu dilaksanakan. Dalam khotbah ini akan tampak betapa Sang Buddha menekankan pentingnya kepercayaan, cinta dan saling pengertian diantara manusia. Juga terkesan cara Sang Buddha mengajar yang senantiasa persuasif, namun penuh kecermatan. Di zaman India kuno, menyembah ke enam penjuru setiap hari, adalah suatu cara praktek keagamaan yang telah umum dilaksanakan. Dalam riwayat hidup Sang Buddha, seorang lelaki muda bernama Sigala melakukan hal itu setiap pagi, bukan karena dia adalah seorang penganut agama yang saleh, tapi karena hal itu dianjurkan oleh orang tuanya sebelum meninggal.1 Sang Buddha yang kebetulan melihat Sigala yang sedang menyembah ke enam penjuru tersebut menanyakan kepadanya alasan melakukan hal itu, Sigala lalu menceritakan perihal pesan ayahnya tadi. Sang Buddha ternyata tidak meremehkan kebiasaan Sigala diatas, walau Sang Buddha tahu jelas, bahwa tata cara ritual seperti itu sangat kecil nilainya; pula Sang Buddha tidak mengkritiknya karena Sigala ternyata melakukan hal itu tanpa pengertian sama sekali; namun Beliau melihat betapa lelaki muda itu melakukannya dengan tujuan yang tulus, sebagai penghormatan pada (pesan) ayahnya. Dengan bijaksana dan penuh kasih-sayang, Sang Buddha menganjurkan agar penyembahan ke enam arah tersebut dilaksanakan dengan cara lain, yang lebih berarti. Selanjutnya, Beliau kemudian memberi tafsiran pada penyembahan enam arah tersebut dalam lingkup pengembangan cinta-kasih, saling percaya dan saling hormat didalam enam macam hubungan antar manusia. Mari kita bahas apa yang diajarkan Sang Buddha tentang itu satu persatu:

 114. Yang pertama dan paling penting adalah hubungan, yang mungkin berlangsung seumur hidup yakni hubungan antara orang-tua dan anak-anaknya. Disini, seperti halnya tipe hubungan yang lain, Sang Buddha menunjukkan keseimbangan antara tanggung-jawab dan hak, yang mendasari adanya perasaan "damai dan aman" diantara orang-tua dan anak. Dalam melukiskan hak dan tanggung-jawab itu, Sang Buddha bersabda:

          Dengan lima cara, seorang anak hendaknya memperlakukan ibu dan ayahnya sebagai arah timur. Dia harus mencamkan: "Setelah disokong oleh mereka, maka saya harus mengganti menyokongnya. Saya harus menggantikan tugas mereka demi kebaikan mereka. Saya akan memelihara tradisi keluarga. Saya akan menghargai warisan saya. Setelah mereka meninggal, saya akan membagi pemberian atas nama mereka."
          Dengan lima cara, orang-tua berbalas memperlakukan anak-anaknya sebagai arah timur. Mereka menghindarkan mereka dari kejahatan, menganjurkan mereka berbuat kebaikan, mengajarkan mereka keahlian, mencarikan mereka pasangan yang tepat, dan pada waktu yang tepat memberi mereka warisan. Dengan cara ini, arah timur diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan pada rasa takut.2

      Bila tanggungjawab-tanggungjawab ini dilaksanakan secara penuh, maka dengan mudah akan terlihat betapa norma-norma tersebut akan membawa rasa-syukur, hormat dan cinta, dan betapa norma-norma tersebut akan menuntun kita pada suatu ikatan kekeluargaan yang kuat. Sang Buddha menyebutkan, bahwa menyokong ayah dan ibu (mata pitu upatthanam) dan menyayangi isteri dan anak (putta darassa sangaho) adalah salah satu kehidupan yang sangat terbekahi.3

 115. Pada beberapa tradisi Konfusius, penghormatan anak-anak pada orang-tuanya ditekankan sedemikian rupa, sehingga seakan anak-anak berhutang budi pada ke dua orang-tuanya selama-lamanya. Hal ini dapat menuntun pengertian, bahwa apapun yang dilakukan anak pada orang-tuanya, tidak pernah akan cukup; hal ini akan menyebabkan perasaan bersalah dan perasaan seakan tak memenuhi kewajiban pada seorang anak terhadap orang-tuanya. Dengan menyadari pengorbanan ke dua orang-tua dalam membesarkan anak-anaknya, Sang Buddha berkata bahwa seorang anak dapat membayar kembali jasa orangtua dengan memperkenalkan Dhamma pada mereka. Beliau bersabda:

          Ada dua orang manusia yang padanya engkau tidak pernah dapat membayarnya? Siapa mereka berdua? Ayah dan ibumu. Walau engkau mendukung mereka dipunggungmu ratusan tahun, menyokong mereka, mengurapi mereka dengan obat-obatan, memandikan dan menguruti anggota tubuh mereka dan membersihkan kekotorannya; hal itu tidak akan membayar kembali jasa mereka. Walau untuk itu engkau memberinya kekuasaan pada seluruh dunia, engkau tidak akan membayar kembali jasanya. Kenapa? Sebab orang-tua berbuat demikian banyak pada anak-anaknya - mereka membesarkannya, memberi mereka makan, mengenalkan isi dunia ini. Tetapi barang siapa dapat menyebabkan orang-tuanya yang tidak percaya menjadi percaya, orang-tuanya yang tak bermoral menjadi bermoral, orang-tuanya yang kikir menjadi dermawan, orang-tuanya yang dungu menjadi bijaksana, dialah seorang yang dengan melakukan hal diatas dapat membayar jasa orang-tua mereka, bahkan lebih dari sekadar pembalasan jasa.4

 116. Para guru memainkan peranan penting dalam membangkitkan dan mematangkan daya intelektual seorang murid, dengan demikian sepantasnya mereka dihargai dan didengarkan secermat mungkin. Dengan sendirinya, tanggung jawab guru adalah sangat penting, seorang guru yang baik tidak hanya tertarik pada pendidikan muridnya sebagai obyek, tapi juga terlibat secara fisik dan emosi. Tanggung jawab murid pada usaha gurunya adalah menaruh hormat, memperhatikan dan menyiapkan diri untuk belajar.

      Dengan lima cara, seorang murid hendaknya memperlakukan gurunya sebagai arah selatan, dengan bangkit menghormatinya, menunggunya, menyimak padanya, melayaninya, dan dengan menguasai apa yang diajarkannya. Dengan lima cara, seorang guru berbalas memperlakukan muridnya sebagai arah selatan. Mereka mengajarnya dengan hati-hati, membuat mereka mengerti apa yang harus dimengerti, memberi mereka dasar yang kuat dalam segala keahlian, merujuk mereka ke teman-teman dan rekan-rekannya, dan melindungi mereka dari segala arah. Dengan cara ini, arah selatan diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.5

 117. Hidup serumah bersama seorang selama bertahun-tahun memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Bila seorang suami atau isteri tak dapat akrab satu sama lain, cinta yang mungkin pernah mereka berikan satu sama lain, bisa hancur, berubah menjadi kepahitan dan kebencian. Perkawinan yang tidak bahagia bisa menghancurkan kehidupan seorang seumur hidup, sebaliknya perkawinan yang bahagia akan menjadi sumber kebahagiaan selama hidup. Perkawinan yang berbahagia juga penting dalam satu segi, sebab perkawinan akan melibatkan anak-anak. Latar belakang orang-tua yang stabil adalah faktor yang penting dalam perkembangan emosi anak yang seimbang. Sang Buddha menyebutkan bahwa dengan saling setia, saling berbagi tanggung-jawab dan beban pikiran, yang adalah pencerminan rasa hormat dan cinta, adalah faktor kunci dalam kebahagiaan perkawinan. Perkawinan hendaknya adalah suatu persekutuan yang seimbang.

          Dengan lima cara, seorang suami hendaknya memperlakukan isteri sebagai arah barat. Dia menghormati isterinya, dia tidak meremehkannya, dia setia kepadanya, memberinya keleluasaan, dan memberinya perhiasan. Dengan lima cara, seorang isteri hendaknya berbalas memperlakukan suaminya sebagai arah barat. Dia mengatur pekerjaannya dengan rapih, dia baik pada pelayan-pelayannya, dia setia kepada suaminya, dia melindungi apa yang dibawa pulang oleh suaminya, dan dia cermat dan rajin dalam semua yang dikerjakannya. Dengan cara ini, arah barat diperlakukan, membawa kedamainan dan kebebasan dari rasa takut.6



 118. Agama Buddha melihat perkawinan sebagai suatu hubungan yang penting dalam kehidupan manusia dan sebagai salah satu sendi dari bangunan masyarakat yang kokoh dan sehat. Namun, adalah kenyataan bahwa cinta antara sepasang manusia bisa memudar, dan oleh karenanya mereka sering memutuskan untuk bercerai. Banyak hal-hal yang lebih mengerikan bisa terjadi, bila memaksakan dua manusia yang tidak saling mencintai, malah saling membenci, untuk hidup bersama. Mereka pada kenyatannya mungkin bisa mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan yang lain. Agama Buddha tidak menganggap perceraian sebagai suatu dosa, tapi sebagai suatu cara penyelesaian masalah yang bersifat lebih resmi.

 119. Hubungan antar manusia yang banyak ditekankan oleh Sang Buddha, adalah hubungan antar sahabat (mitta). Alasan dalam hal ini, mungkin adalah karena semua tipe pergaulan juga dapat dikembangkan menjadi persahabatan - seorang isteri, pada waktu yang sama juga adalah seorang kawan; demikian pula guru, majikan, saudara, rohaniawan dan rohaniawati. Persahabatan hendaknya terjalin pada setiap tipe hubungan. Alasan lain, adalah sebagai dimaklumi, bahwa bila dari satu sisi kedua orang-tua berperan dalam membentuk manusia macam apa diri kita sewaktu muda, maka sahabat dengan mudah menuntun kita berbuat baik, sebaliknya juga dengan mudah dapat menjerumuskan untuk berbuat yang tidak baik. Sang Buddha mengingatkan kita:

          Menuruti para sahabat, seorang bertindak;
          Menuruti para sahabat, seorang meneladani.
          Demikian seorang akan jadinya,
          Seperti para sahabatnya, demikian pula dia jadinya.7


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:30:54 AM
 120. Agama Buddha mengenal tiga macam sahabat - sahabat yang tidak baik, sahabat baik, dan sahabat spiritual. Sahabat yang tidak baik (papa mitta) adalah tipe sahabat yang menyukai kita, bukan karena siapa kita, tapi karena apa yang dapat diperolehnya dari kita. Mereka mungkin juga menyukai kita, atau setidaknya berpura-pura menyukai kita, karena mengharapkan kita berada dipihaknya bila dia melaksanakan suatu tindakan yang salah atau berbahaya. Tentu saja, tidak semua sahabat adalah tidak baik dalam arti menjerumuskan atau memanfaatkan diri kita. Banyak sahabat dalam pergaulan sehari-hari, yang mempunyai sifat dan kehendak yang tidak khusus, dan kita juga cenderung sama pada mereka; puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata dan kita pun puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata pula. Sahabat-sahabat seperti ini dapat tetap menyenangkan dalam waktu yang lama, tapi mereka tidak akan memberi tantangan bagi kita untuk berubah dan menjadi bijaksana.

      Ada empat tipe manusia yang seharusnya dikenal sebagai "musuh yang menyaru sebagai teman": orang yang serakah, orang yang berkata tapi tak melaksanakan, penyanjung dan pemboros. Si serakah adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", karena empat alasan. Dia serakah; dia memberi sedikit tapi meminta banyak; dia hanya melakukan hanya bila terpaksa demi pamrih tertentu; dia hanya mengejar kepentingannya sendiri semata. Dia yang berkata tapi tidak melaksanakan adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", juga karena empat alasan. Dia mengingatkan engkau kebaikannya di masa lalu yang dilakukan atas namamu; dia mengatakan kebaikan yang akan dibuatnya atas namamu di masa mendatang; dia mencoba mengalahkan kebaikanmu atas ucapan yang tak berdasar; bila ada kesempatan untuk menolong, dia berdalih seakan dalam keadaan yang tak bisa menolong. Si penyanjung adalah "musuh yang menyaru sebagai sahabat", karena empat alasan. Dia membiarkan engkau berbuat salah; dia tak menganjurkan berbuat baik; dia memuji didepanmu; tapi mencela dibelakangmu. Si pemboros adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", juga karena empat alasan. Dia menemanimu, ketika engkau minum bermabuk-mabukan, ketika engkau menelusuri jalan dalam waktu-waktu tak terbatas, ketika engkau mengunjungi tempat pertunjukan dan keramaian yang tak senonoh, dan ketika engkau berjudi.

          Sahabat yang selalu hanya ingin mengambil,
          Sahabat yang berkata tapi tidak melaksanakan,
          Sahabat yang selalu menggunakan kata sanjungan,
          Sahabat yang menemanimu dalam berbuat kesalahan.

          Empat macam sahabat ini sebenarnya adalah musuh,
          Dan seorang yang bijaksana, dengan pengertian ini,
          Akan menghindari mereka dari kejauhan,
          Sebab mereka adalah jalan yang salah.8

 121.

      Sahabat yang baik (puñña mitta) atau seperti yang sering disebutkan oleh Sang Buddha sebagai sahabat berbaik-hati (suhada mitta)9 adalah tipe sahabat yang diinginkan semua orang - dapat dipercaya, bermurah hati, berkepentingan atau berminat yang sama dengan kita, dan memperhatikan kesejahteraan kita. Sang Buddha menjelaskan, cara terbaik untuk mendapatkan sahabat yang baik ialah dengan berusaha menjadi sahabat yang baik terlebih dahulu pada yang lainnya.

          Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para sahabatnya sebagai arah utara. Dia harus bermurah hati, berbicara yang baik padanya, memperhatikan kesejahteraannya, memperlakukannya seperti memperlakukan diri sendiri, dan dia hendaknya menepati kata-katanya.
          Dengan lima cara, para sahabat berbalas memperlakukan sahabatnya sebagai arah utara; dengan melindunginya ketika dia tidak berwaspada, dengan melindungi miliknya ketika dia tidak berwaspada, dengan menghiburnya ketika dia dalam ketakutan, dengan menyertainya sewaktu dia dalam kesulitan, dan dengan turut menjaga anak-anaknya. Dengan cara ini arah utara diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.10


 122. Namun, tipe sahabat yang terbaik yang dapat kita miliki adalah sahabat spritual (kalyana mitta). Istilah 'kalyana' secara harfiah berarti indah, dan mengacu pada kenyataan bahwa seorang sahabat spiritual memiliki (atau akan berusaha untuk dapat memenuhi) semua nilai-nilai yang diagungkan dalam agama Buddha - cinta-kasih, dapat dipercaya, pengertian, tak terikat, murah-hati dan kedamaian didalam hatinya. Bila seorang sahabat baik dapat menuntun kita untuk mendapatkan sarana-sarana kebaikan, maka seorang sahabat spiritual akan menuntun langsung secara intrinsik untuk menemukan kebaikan. Oleh karena itu, menurut Sang Buddha, sahabat spiritual adalah salah satu faktor penting dalam menempuh Jalan.

          Lalu Ananda menghadap Sang Buddha dan berkata:
          "Setengah dari kehidupan suci adalah persahabatan, persekutuan dan keintiman pada nilai spiritual."
          "Jangan berkata demikian, Ananda, jangan katakan demikian! Adalah semua dari kehidupan suci ini, bukan hanya setengah, persahabatan ini, persekutuan ini, keintiman ini pada nilai spiritual."11

      Tujuan hidup utama dari seorang sahabat spiritual adalah menjalani Jalan Berjalur Delapan serta untuk membantu setiap orang yang bertujuan sama. Bila persahabatan biasa diantara sahabat baik bercirikan daya tarik badaniah, keinginan-disertai dan kepentingan bersama; maka persahabatan diantara sahabat spiritual bercirikan keterbukaan, kepercayaan dan kejujuran. Diantara sahabat spiritual hendaknya secara bebas dapat didiskusikan kekurangan masing-masing tanpa kekwatiran akan timbulnya perselisihan. Mereka hendaknya tetap bersahabat walau diwarnai pertentangan paham. Mereka hendaknya dapat merasakan bahwa mereka dapat menyingkap pikiran-pikiran dan keinginan mereka yang paling mendalam satu sama lainnya. Dan, tentunya, sahabat spiritual hendaknya dapat mendengarkan dengan baik dan mempertimbangkan sepenuhnya saran-saran diantara mereka. Pernyataan "Dhamma harus dipahami oleh para bijaksana demi dirinya sendiri", tidaklah berarti kita harus menyendiri. Sahabat spiritual adalah lebih dari sekadar sekutu dalam Jalan - dia dapat menunjukkan pelaksanaan Buddha Dhamma secara pribadi sesuai harkat manusia.

 123. Hubungan antar majikan dan pekerja sering terlaksana tidak sewajarnya. Sebelum terbentuknya serikat pekerja, dan perhimpunan pengusaha dalam dua abad terakhir ini, para pekerja sering diwajibkan bekerja melampaui batas kemampuan dengan kondisi kerja yang tidak aman, dan dengan bayaran yang sangat kecil. Oleh karenanya Sang Buddha mendesak agar para majikan mempunyai tanggung jawab pada pekerjanya. Tanggungjawab-tanggungjawab tersebut adalam dalam bentuk hak-hak yang saat ini telah dinikmati para pekerja di negara-negara maju dalam bentuk gaji yang wajar, izin sakit, bonus dan cuti. Sebagai imbalannya, para pekerja diharapkan bekerja dengan jujur dan pula jujur pada majikannya.

          Dengan lima cara, seorang majikan hendaknya memperlakukan para pelayan dan pekerjanya sebagai arah nadir (arah bawah). Dia memberi mereka pekerjaan sesuai kemampuannya, memberinya makanan dan upah yang setimpal, menyantuninya sewaktu sakit, membaginya manisan serta meliburkannya secara berkala.
          Dengan lima cara, pelayan dan pekerja, berbalas memperlakukan majikannya sebagai nadir. Mereka harus bangun sebelum majikannya bangun, beristirahat sesudah majikan beristirahat, mengambil hanya yang diberikan, melakukan pekerjaannya dengan tepat, dan mereka hendaknya menjunjung nama baiknya sendiri. Dengan cara ini, arah nadir diperlakukan, membawa kedamaian dan rasa bebas dari takut.12


 124. Dari sudut pandang pengajaran dan penyebarluasan Dhamma, hubungan sosial yang sangat penting adalah hubungan antar umat awam dengan para bhikkhu dan bhikkhuni. Umat berdana kebutuhan utama para bhikkhu, yang memungkinkan mereka menggunakan waktunya untuk belajar, menerapkan dan mengajar Dhamma. Sebaliknya, para bhikkhu mengajarkan Dhamma, memberi wejangan dalam masalah etika dan memberi dukungan spiritual sewaktu umat dalam masa krisis. Rasa saling hormat dan mendukung adalah jiwa dari hubungan antara umat-awam dan bhikkhu. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Yang berumah dan yang telah meninggalkan rumah,
          Dengan saling tergantung satu sama lain
          Datang untuk menjalankan Dhamma dengan baik,
          Kebebasan mutlak dari perhambaan.13


      Seperti hubungan yang lain, hubungan ini juga didasari cinta kasih. Tapi lebih jauh lagi, kebajikan dan kasih sayang, memberi dan menerima; akan menyebabkan ikatan yang serasi antara umat-awam dan para bhikkhu yang kemudian berbuah kebijaksanaan dan kekuatan positif dalam masyarakat.

          Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para pertapa dan kaum brahmin sebagai arah zenith (atas). Dia hendaknya bersikap baik dalam tatakrama jasmaniah, hendaknya bersikap baik dalam berbicara, bersikap baik dalam berpikir tentang mereka, membuka rumah bagi mereka, dan berdana kebutuhan utama bagi mereka.
          Dengan enam cara, para pertapa dan kaum brahmin hendaknya membalas memperlakukan orang itu. Mereka menghindarkan dia dari perbuatan jahat, menganjurkan dia berbuat baik, memperlihatkan kebajikan dan kasih sayang pada dia, mengajarnya hal-hal yang belum didengarnya, mengoreksi dan memperjelas hal-hal yang sudah didengarnya dan menunjukkan dia jalan ke surga.14
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:32:20 AM
Latihan Kejiwaan

Tata Cara peribadatan

 125. Selain Jalan Berunsur Delapan yang telah kita pelajari, agama Buddha juga mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai puja. Istilah 'puja' berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita pada Tiratana - Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha. Ada pendapat yang menganggap 'puja' adalah 'suatu upacara ritual tak berarti', berdasar pengertian bahwa dalam agama Buddha, tidak diakui adanya makhluk-agung atau dewa-agung yang padanya kita harus bermohon dan dengan demikian upacara adalah mubazir. Pandangan diatas jelas salah. Pertama, tidak ada upacara yang 'tak punya arti' bila kita berusaha mencari makna artinya; ke dua, keikutsertaan dalam upacara tidak perlu bertentangan dengan keberadaan kita sebagai manusia yang kritis. Upacara ritual memang ganjil bila dikaitkan dengan ilmu gaib, tapi upacara agama Buddha bukanlah hal yang demikian. Pelaksanaan 'puja' mempunyai nilai yang tinggi karena mampu menguatkan keyakinan dan menanamkan pengertian yang khusus dalam batin kita. Pemujaan (pelaksana Puja) bukan keharusan dalam pelaksanaan keagamaan Buddha, tapi karena sebagian besar orang dapat melihat dampak positif-nya, maka kita akan mempelajari arti dan pelaksanaannya secara terinci. Ada bermacam-macam cara pemujaan tergantung budaya dimana tata pemujaan itu berkembang, ada yang sederhana dan anggun, ada yang rumit dan ramai. Mari kita teliti Nava Puja (lihat appendiks I). Istilah 'nava' berarti 'baru' dan juga berarti 'sembilan', karena Nava Puja adalah penyesuaian moderen dari Puja Buddha yang kuno di Sri Lanka, dan karena Nava Puja terdiri atas sembilan bagian. Seperti 'puja' yang lain, maka Nava Puja dapat dilaksanakan dalam bahasa sehari-hari kita ataupun dalam bahasa Pali.

 126. Pemujaan paling tepat dilakukan di depan meja-sembahyang (Inggris: shrine) di vihara ataupun di rumah. Ada umat yang salah mengartikan dengan menyamakan serta menyebut meja-sembahyang dirumahnya sebagai 'altar'. Pada kenyataannya secara harfiah, altar berarti tempat pelaksanaan korban, yang tentunya tidaklah tepat untuk menggambarkan meja-sembahyang agama Buddha. Meja-sembahyang terdiri dari suatu meja atau panggung yang agak ditinggikan, yang diatasnya diletakkan patung Buddha (Buddha rupa) dan obyek-obyek lain yang digunakan pada pemujaan tersebut. Meja-sembahyang secara estetis hendaknya terawat, menyenangkan dan senantiasa rapih. Pada dasarnya, kita hendaknya merawat meja-sembahyang seperti hati kita - bersih, indah dan rapih. Meja-sembahyang hendaknya dibersihkan setiap hari dari debu, abu dupa dan guguran bunga. Meja-sembahyang hendaknya indah, ditempati peralatan sembahyang terbaik, diletakkan simetris agar baik dipandang mata. Lebih jauh, meja-sembahyang hendaknya tidak menjadi kacau karena adanya foto-foto para bhikkhu, guru kebatinan, patung dewa-dewa Tao ataupun segala macam obyek yang tak ada hubungannya dengan puja.

 127. Sekarang mari kita lihat setiap bagian dari sembilan bagian Naya Puja tersebut. Bagian 1 adalah pernyataan Penghormatan (Vandana), suatu pendahuluan yang secara tradisional juga dilaksanakan pada tata sembahyang agama lain, yang biasanya diulangi tiga kali. Bagian 2 adalah Tiga Perlindungan (Tisarana), yang maknanya telah kita pelajari. Walau, ketika pertama kali menjadi Buddhis, kita mengakui Tiga Perlindungan, tapi tentunya amat baik bila diulangi setiap hari untuk mengokohkan janji dan senantiasa mengingatkan kita kembali padanya. Pembacaan Tiga Perlindungan diulangi tiga kali untuk meyakinkan, lebih meyakinkan kita pada apa yang kita lakukan. Bagian ke 3 dari Nava Puja adalah Lima Janji (Pañca sila), pelaksanaan yang adalah sangat penting bagi setiap insan Buddhis. Setiap janji atau aturan mempunyai dua aspek menghindar (varitta), kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menghindari kelakuan yang negatif, dan berperilaku (caritta), kita berjanji untuk berbicara dan bertindak dengan cara yang positif.

 128. Bagian ke 4 terdiri atas Pujian (kittisadda) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagian 4 A terdiri atas ucapan Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan nilai-nilai dalam diri-Nya sendiri.1 Berpengetahuan dan bertindak tanduk Sejati (vijja carana sampanno) mengacu pada kenyataan bahwa tidak ada pertentangan antara yang diajarkan-Nya dengan tindak-tanduk-Nya sendiri; Beliau melaksanakan apa yang Beliau ajarkan. Beliau juga mencapai Mencapai dengan Sempurna (sugato), dalam hal ini mencapai Nibbana, yang menyebabkan Beliau selalu bergembira dan berbahagia. Sang Buddha juga disebut sebagai Pengenal Alam Semesta - mengetahui dunia-dunia (lokavidu), sebab Beliau dapat melihat semua alam-alam keberadaan dan melihat bagaimana makhluk-makhluk terlahir pada alam-alam itu. Sebagai guru yang paling ahli dan sangkil yang pernah ada, Sang Buddha juga penuntun tiada taranya dari para manusia (anuttaro purisa damma sarathi). Telah kita pelajari di depan bahwa para dewa masih diliputi kekotoran batin seperti halnya manusia, sedang Sang Buddha telah bersih dari kekotoran batin; sebagai dampak dari keberadaan Beliau tersebut, maka baik manusia maupun para dewa dapat memanfaatkan Dhamma Sang Buddha. Dengan demikian Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (satta devamanusanam). Pada bagian 4 B, kita mengukuhkan penghormatan kita pada semua Buddha, dan bahwa Sang Buddha adalah pelindung tertinggi kita dan akan demikian selama hidup kita.

 129. Di bagian 4 C, juga adalah penggambaran Sang Buddha sendiri pada ajaran-Nya.2 Dhamma dibabarkan dengan indah dan sempurna (svakkhato) dengan lengkap, relevan, jelas dan digambarkan dengan perumpamaan yang menggena. Karena kita tidak perlu harus menunggu kematian untuk membuktikan kebenaran Dhamma, maka Dhamma disebut sebagai 'tampak-seketika' (sanditthiko). Dhamma adalah abadi (akaliko) dalam dua pengertian. Pertama, Sang Buddha mengajarkan tentang sifat alami dari batin manusia dan karena batin manusia berubah sedikit saja selama berabad-abad ini, maka Dhamma tetap relevan, sekarang seperti halnya pertama kali diajarkan. Pula, Dhamma tidak melibatkan waktu sebab bila dalam agama lain, seorang harus mempercayai sesuatu yang terjadi pada masa lampau atau akan terjadi pada masa yang akan datang, maka Dhamma adalah pengertian tentang diri kita saat ini. Dhamma, seperti yang diajarkan, secara alami mengundang atau secara lebih harfiah sesuatu yang hendaknya didatangi dan dilihat sendiri (ehipassiko). Agama Buddha tidak pernah memaksakan, menjanjikan hadiah, melakukan sulapan-sulapan, apalagi menakut-nakuti agar orang-orang menerima ajaran Sang Buddha. Dhamma tersedia bagi setiap orang yang berharap menyelidikinya, dan dengan demikian setiap orang bebas menerima atau menolaknya. Dhamma senantiasa berkembang menuntun (opanayiko) sebab akan menuntun kita ke depan atau ke atas bila kita menerapkannya dalam hidup kita. Agama Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan Nibbana dicapai melalui pemahaman oleh diri sendiri, sama sekali bukan sesuatu yang dapat dikerjakan oleh orang atau makhluk lain untuk kita. Tidaklah mungkin ada seorang yang bisa mengerti sesuatu untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa menempuh dan lulus ujian untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa makan untuk kita. Sang Buddha mengajar kita, menjelaskan pada kita, menuntun kita, dan memberi dorongan pada kita, tapi pada akhirnya, kita sendiri yang harus mengerti. Jadi Dhamma hendaknya dicapai oleh para bijaksana bagi dirinya sendiri (paccattam veditabho viññuhiti). Pada bagian 4 D, sekali lagi kita mengukuhkan pengabdian kita pada Dhamma dan berlindung padanya seumur hidup.

 130. Pada bagian 4 E, Sang Buddha menggambarkan sifat-sifat dari Sangha, yang terdiri atas Yang Memenangi-Arus, Yang Kembali-Sekali, Yang Tak-Kembali dan Arahat (lihat 191,199).3 Para Siswa Sang Buddha bertindak dengan gembira (supatipanno), dikarenakan telah mencapai Nibbana atau telah di ambang Nibbana, hidup mereka ditandai kegembiraan dan kebahagiaan. Para Siswa bertindak secara lurus (ujupatipanno) dalam arti mereka bebas dari kepalsuan, tipu muslihat dan kelicikan. Mereka bertindak dengan benar (nayapatipanno) dan secara metodik (samici) yang berarti mereka berjalan lurus mantap di Jalan, tidak menyimpang. Secara tradisional, mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat diatas, dibagi masing-masing atas dua bagian, mereka yang mencapai jalan (magga) dan mereka yang telah mengalami dan menikmati buah (phala) dari pencapaian tersebut; oleh karena itu kesemuanya menjadi empat pasang pribadi (cattari purisayugani) dan delapan tipe dari manusia (attapurisa puggala).

      Setelah mencapai keadaan Nibbana melalui usaha sendiri, Siswa-siswa Sang Buddha adalah patut untuk menerima persembahan (ahuneyyo), menerima keramahtamahan (pahuneyyo), menerima pemberian (dakkhineyyo) dan patut menerima 'anjali' (añjalikaraniyo) yang adalah salam tradisional Buddhis dan sekaligus untuk menunjukkan rasa hormat, dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan didepan dada.

      Karena telah menjalani Jalan lebih jauh dari kita, Siswa-siswa ini dapat menjadi pembimbing yang berpengalaman bagi kita, dengan demikian mereka adalah sumber kebajikan tak ada bandingannya di dunia ini (annutaram puññakkhetam lokassati). Sekali lagi di bagian 4 F kita mengukuhkan pengabdian kita pada Sangha dan menjadikannya pelindung selama hidup kita.

 131. Akan sangat bermanfaat membacakan empat bagian pertama dari Nava Puja setiap pagi. Tapi sekali dalam seminggu adalah baik untuk menjalankan bagian 5 dari Nava Puja - Persembahan Utama. Masing-masing dari persembahan itu adalah simbol kekuatan, yang padanya kita dapat mencerminkan diri, pada waktu kita mempersiapkannya, meletakkannya di meja-sembahyang dan membacakan paritta yang sesuai dengan persembahan itu. Persembahan Utama yang pertama adalah cahaya (lilin) yang secara universal dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, sedangkan halnya kegelapan yang dihalaunya adalah lambang universal dari ketidak tahuan. Sementara meletakkan lilin diatas meja-sembahyang, kita membacakan paritta sambil mengungkapkan cita-cita atau niat kita untuk mengembangkan pengertian dan kejernihan batin. Persembahan Utama yang berikut adalah bunga, yang dapat berartikan beberapa hal. Dalam agama Buddha, bunga melambangkan kepemilikan dan kesenangan duniawi sebab seperti kedua hal itu, walau indah bagaimanapun bunga akan segera layu dan mati. Kita membayangkan hal itu sambil meletakkan bunga diatas meja-sembahyang, dengan harapan membantu kita mengembangkan sikap ketakterikatan pada kepemilikan dan kesenangan duniawi. Persembahan Utama yang terakhir adalah dupa. Pada zaman India kuno, kebajikan selalu dilambangkan wangi-wangian, karena sama halnya dengan wangi-wangian, kebajikan selalu harum dan dapat menyebar kemana-mana walau jauh sekalipun. Di dalam Dhammapada, sebagai contoh, Sang Buddha bersabda:

          Bukanlah keharuman kayu cendana, tagara atau melati
          Yang menyebar menentang angin
          Tapi keharuman dari kebajikanlah
          Menyebarkan bau yang harus ke segala penjuru.4

      Dupa, karenanya, melambangkan kebajikan akan mengingatkan kita betapa pentingnya kebajikan; mengingatkan kita untuk menambah kebajikan setiap kali kita mempersembahkan dupa. Persembahan bunga, lilin dan dupa hendaknya dilaksanakan sekurang-kurangnya seminggu sekali.

 132. Bagian ke 6 dari Nava Puja terdiri dari Persembahan Khusus yang dapat dilaksanakan pada kesempatan yang khusus. Persembahan Khusus yang pertama adalah makanan yang melambangkan kekuatan, kesejahteraan dan pemberi kehidupan. Sewaktu kita mempersembahkan makanan hendaknya kita memikirkan mereka yang lapar pada makanan, pada cinta dan pada Dhamma, dan berharap agar mereka dapat terbebas dari kelaparan-kelaparan itu. Makanan yang dipersembahkan dapat dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, beras misalnya; daging tentu saja tidak digunakan. Persembahan Khusus yang ke dua adalah air, yang adalah lambang kebersihan dan kemurnian. Sewaktu mempersembahkan air, kita berharap agar mereka yang batinnya ternodai oleh keserakahan, kemarahan dan iri hati akan bersih, terbebas dari keadaan itu. Persembahan Khusus yang ke tiga adalah obat-obatan, yang melambangkan pulihnya kesehatan jasmani dan rohani. Sewaktu kita mempersembahkan obat-obatan (ramuan jamu dan madu juga dapat digunakan) hendaknya kita membayangkan mereka yang rohani dan atau jasmaninya sakit dan berharap agar mereka dapat sembuh seperti sediakala. Bila pada Persembahan Utama kita memikirkan diri kita dan pengembangkan batin kita, maka pada waktu melaksanakan Persembahan Khusus kita memikirkan orang lain serta berharap agar mereka sejahtera.

 133. Bagian ke 7 dari Puja adalah Pemurnian yang terdiri atas perenungan kesalahan-kesalahan kita, kesalahan-kesalahan orang lain serta kebajikan dan nilai-nilai yang baik dari orang lain. Bagian pertama adalah Pengakuan. Mengaku pada seseorang berarti kita menyadari kesalahan-kesalahan kita dan berniat merubahnya. Pengakuan juga akan mengurangi perasaan penyesalan yang dalam, dengan demikian membebaskan kita dari masa lalu dan memungkinkan kita memulai lagi sesuatu yang baru. Karena alasan-alasan inilah maka Sang Buddha selalu memaafkan atau pelanggaran seseorang, bila si pelaku mengakui kesalahannya kepada Beliau. Sewaktu melaksanakan bagian pertama dari Pemurnian, dengan jujur dan terbuka kita melihat kesalahan-kesalahan kita, dan mengharapkan maaf. Setelah itu, selanjutnya kita kemudian mengingat kesalahan-kesalahan yang seorang telah perbuat pada kita, memaafkannya, lalu menghapus sakit-hati, dendam dan kemarahan dari batin kita (lihat 77). Bila ternyata, kita sulit memaafkan seseorang, maka hendaknya kita merenungkan kembali bahwa kita sendiri baru saja mohon dimaafkan, pula bagaimana mungkin bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha bila kita masih dipenuhi perasaan jahat, tidak rela memberi maaf, seperti itu.

      Pada bagian terakhir dari Pemurnian, kita mengingat kembali perbuatan-perbuatan baik yang telah kita perbuat, dan merasakan kebahagiaan karenanya. Adalah penting merenungkan kebajikan diri sendiri, sebab akan menjadi keseimbangan sehat bagi perenungan kesalahan. Pula, keingatan pada perbuatan baik diri sendiri dan berbahagia karenanya, akan menggairahkan keinginan untuk menambah kebaikan. Sang Buddha bersabda:

          Si Pembuat kebaikan bahagia disini, bahagia disana,
          Berbahagia baik disini, juga disana
          Dia berbahagia dan gembira
          Begitu mengingat perbuatan-perbuatan baiknya.5


 134. Bagian ke 8 dari Nava Puja adalah Berbagi-Jasa; secara batiniah kita membagi kebajikan yang telah kita perbuat juga membagi kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik itu, pada semua makhluk. Bagian terakhir Puja adalah pengucapan kata 'sadhu' sebanyak tiga kali, yang adalah cara tradisional untuk mengucapkan rasa bahagia dan gembira karena berbuat sesuatu yang berharga.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:33:33 AM
DAYA UPAYA SEJATI

 135.      Dhamma terdiri atas idaman dan gagasan, asas-asas dan ajaran-ajaran yang di dalam dirinya sendiri adalah pasif. Upaya atau usaha adalah katalisator yang menyebabkannya bergerak dan menimbulkan kekuatan yang dinamis yang pada gilirannya dapat merubah kehidupan kita. Dhamma hanya dapat merubah hidup kita bila kita mempunyai kemauan untuk menerapkan dan melaksanakannya. Seperti dikatakan Aryasura:

          Tenaga adalah mutlak,
          Tak ada sesuatu dapat diperbuat tanpa tenaga,
          Tenaga membuat semuanya jadi mungkin.
          Bila tak ada tenaga, semua tak ada kecuali kejahatan.

          Seorang akan mendapatkan air,
          Bila dia menggali dengan tenaga.
          Api dapat timbul,
          Bila kayu api saling digosokkan dengan tenaga.

          Dengan mengalir terus menerus,
          Sungai dapat mencuci semuanya, gunung sekalipun.
          Dan dengan meditasi,
          Seorang dapat memperoleh buah dari jerih payahnya
          Dengan membajak tanah
          Dan merawat ladangnya dengan rajin
          Seorang memperoleh panen yang gemilang
          Dengan menyelam jauh kedalam lautan
          Seorang memperoleh mutiara

          Dengan menaklukkan musuh dengan panah,
          Seorang menikmati kemegahan martabat sebagai raja
          Karenanya berupayalah untuk mencapai ketenangan,
          Karena semua kesejahteraan datang dari tenaga.1


 136. Sang Buddha bersabda, bahwa Daya-Upaya Sejati (samma vayama) bermanifestasi dalam empat bentuk:

          Ada empat daya-upaya yang sejati. Apa empat itu? Menyangkut hal ini: seorang membangkitkan keinginan untuk mencegah timbulnya pikiran jahat tak menguntungkan yang belum timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dia membangkitkan keinginan untuk melepaskan pikiran jahat tak menguntungkan yang telah timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dia membangkitkan keinginan untuk menimbulkan pikiran baik menguntungkan yang belum timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dan, dia mempertahankan pikiran baik yang tak membingungkan, berkembang lebih jauh, meningkat, menyuburkan dan memuaskan; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu.2

      Bila kita teliti empat manifestasi dari upaya ini, terlihat mempersyaratkan beberapa hal penting: mempertimbangkan, kewaspadaan dan adanya dambaan/idaman. Kita seharusnya mempunyai pikiran dan pertimbangan dalam membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita seharusnya dapat mundur, bila diperlukan, dan mengembangkan kewaspadaan pada apa yang semestinya kita pikir, kita ucapkan dan kita perbuat. Dan akhirnya, kita seharusnya mempunyai kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk berubah dan memiliki idaman yang kita ingin perjuangkan. Bila kita telah melakukan kesemua diatas, keinginan untuk menghindari kejahatan dan mengembangkan kebaikan, pula tekad untuk mengembangkan moral akan timbul dengan sendirinya.

 137. Tapi tentunya, walau kita telah bertekad bulat untuk membersihkan batin, grafik upaya kita senantiasa akan naik-turun; terkadang kita sangat antusias, lain waktu merosot, kadang-kadang kita sangat bersemangat, kadang pula menjadi malas. Ada beberapa hal yang dapat kita perbuat untuk membangkitkan kemauan pada saat gairah tersebut menurun. Seringkali, sangatlah bermanfaat untuk merenungkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapai oleh orang-orang sekeliling kita, dan merenungkan bahwa kita bisa saja terbebani masalah serupa di kemudian hari. Hal diatas akan menggairahkan dan membulatkan tekad untuk kembali menggunakan waktu sebaik mungkin, dan menggelorakan tenaga kita selama kita masih mampu.

          Menyangkut hal ini, seseorang merenungkan: "Saya sekarang masih muda, dengan rambut hitam, masih perkasa, masih dalam tahap pertama dalam hidup saya. Tapi akan tiba waktunya, ketika badan saya akan dicengkeram oleh usia tua dan saya tidak dengan mudah lagi dapat merenungkan kata-kata Sang Buddha, tidak dengan mudah lagi dapat tinggal di hutan atau menyepikan diri. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui itu datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan sakit?"
          Kemudian, dia merenungkan: "Saya sekarang sehat dan baik, dengan pencernaan yang tidak terlalu dingin ataupun panas, tapi seimbang dan cocok untuk berusaha-keras. Tapi mungkin akan tiba waktunya, ketika badan saya dicengkeram oleh usia tua dan daya tidak dengan mudah lagi dapat untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha, tidak dengan mudah lagi dapat tinggal di hutan atau menyepikan diri. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan sakit?"
          Kemudian, dia merenungkan: "Sekarang banyak makanan tersedia, panen lagi baik, mudah memperoleh pemberian makanan dan hidup dari persembahan. Tapi sekali waktu, mungkin datang paceklik dan panen tak berhasil; mungkin akan sulit memperoleh pemberian makanan dan hidup dari persembahan. Dalam musim paceklik, orang-orang akan berpindah tempat dimana ada makanan, dan tempat seperti itu akan penuh sesak dan kacau balau, dengan demikian akan sulit untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha.
          Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan paceklik?"
          Sekali lagi, dia merenungkan: "Sekarang orang-orang hidup rukun dan bersahabat dengan pandangan kasih sayang. Tapi mungkin akan tiba waktu yang dipenuhi ketakutan, ketika terjadi kerusuhan diantara suku-suku di hutan, ketika orang-orang mengemasi kereta dan mengungsi ketempat yang aman. Tempat seperti itu akan penuh sesak dan kacau balau, dengan demikian akan sulit untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam waktu orang-orang ketakutan?"3


 138. Dengan merenungkan hal-hal diatas kita akan berpikir betapa bahagianya kita berada dalam situasi seperti sekarang. Kadang-kadang kita harus membiarkan hal-hal kecil yang menghalangi kemajuan batin kita dan juga membiarkan kesulitan-kesulitan yang sebenarnya tak perlu dirisaukan yang dapat mengendurkan usaha kita. Bila, sebaliknya, kita merenungkan keberuntungan sejati yang telah kita nikmati, akan timbul tekad agar orang lain dapat menikmati kesempatan yang sama. Tenaga yang kita buang untuk mencari-cari alasan, penyesalan pada diri sendiri dan segala keluh kesah dapat diarahkan ke pencarian nilai spiritual. Perenungan seperti ini dapat membantu kita menanamkan di kalbu kita:

          Tak terhitung jumlah dan wujud dari kelahiran yang pernah dialami setiap makhluk. Saya telah terlahir sebagai manusia.

          Tak terhitung, mereka yang tak dapat berbicara atau mendengar apa yang dikatakan kepadanya, mereka yang tak dapat melihat untuk membaca dan mereka yang tak bertenaga untuk memberi alasan dan pertimbangan. Saya telah lahir dengan anggota badan dan indera yang lengkap.

          Banyak diantara mereka yang tinggal di tempat yang penuh pertentangan dan permusuhan serta terampas keamanan dan kesejahteraannya. Saya sekarang tinggal di tempat yang penuh kedamaian.

          Tak dapat dihitung mereka yang terpaksa membanting tulang tanpa akhir, menanggung lapar dan serba kekurangan. Saya memiliki kekayaan untuk memelihara badan dan waktu untuk memberinya istirahat.

          Amat banyak yang badan dan batinnya terikat, mereka tidak memiliki dirinya sendiri, tak dapat pergi kemana mereka kehendaki, tak dapat berpikir sebagaimana mereka kehendaki. Saya menikmati kebebasan.

          Tanpa dihitung lagi mereka yang tinggal di daerah dimana Dhamma tak bersinar, atau dimana pesan-pesan Dhamma tak terdengar, teratasi oleh hingar-hingar ajaran yang tidak benar. Saya telah mendengar dan mengerti Dhamma yang baik.

          Sangatlah berharga nilai kehidupan manusia ini dan sangatlah besar berkah yang saya nikmati. Saya, disini dan sekarang, didepan Sang Buddha merenungkan keberuntungan saya sendiri dan berketetapan hati untuk memanfaatkan kesempatan yang langka ini untuk bekerja demi kebaikan saya dan kebaikan orang lain. Dengan tekad yang kuat, saya akan mengatasi segala rintangan besar dan kecil.4

 139. Hal lain yang dapat membangkitkan gairah yang telah menurun adalah dengan merenungkan kenyataan bahwa kita sekarang adalah murid Sang Buddha, yang oleh karenanya telah mewarisi suatu tradisi spiritual yang agung yang telah berkembang selama ribuan tahun dan telah dipeluk jutaan orang. Sang Buddha berkata pada kita:

          Jadilah pewaris Dhamma, bukannya pewaris benda-benda materi.5

      Untuk menjadi pewaris Dhamma yang benar, dan berharga di depan Guru kita, kita harus melaksanakannya dengan rajin dan konsisten. Buddhagosa memberi nasehat pada kita untuk senantiasa merenungkan:

          Saya harus menjadi pewaris Dhamma nan agung, dan ini tidak dapat dilaksanakan oleh seorang pemalas.6

      Kenyataannya, sebagian mereka yang mengaku Buddhis meremehkan Tiga Permata (Sang Ti Ratana), mereka tidak sepenuhnya melaksanakan ajaran Sang Buddha atau malah tidak sama sekali. Bila kita mengenal Dhamma dengan benar, bila kita melaksanakannya sepenuhnya, dan bila kita berbagi dengan orang lainnya, bermurah-hati dan penolong; maka dengan cara diatas kita telah turut menunjukkan tata-cara kehidupan yang diajarkan Sang Buddha, kita telah bertindak lebih tepat dari pada beradu argumentasi. Berkehidupan murni dan bersemangat adalah cara terbaik untuk menghormati Sang Buddha.

          Lihatlah para Siswa yang selaras dengan sempurna,
          Berteguh-hati dan selalu berupaya,
          Selalu teguh didalam kemajuannya;
          Inilah cara terbaik untuk memuja Sang Buddha.7

 140. Sering terjadi, sewaktu kita baru mulai menjalani Jalan, kegairahan kita menggelora dengan pengharapan yang sangat tinggi. Tapi setelah disadari, bahwa ada kebiasaan-kebiasaan lama misalnya sifat keras kepala serta bahwa dalam usaha merubah sifat tersebut, diperlukan usaha yang keras dan penuh kesabaran; maka minat mungkin mulai berkurang. Atau sebaliknya, kegairahan awal kita demikian membara sehingga menguras habis tenaga kita, sehingga tidak tersisa tenaga lagi untuk menjalani Jalan pada langkah selanjutnya. Kita hendaknya mawas pada upaya kita dengan bersabar dan senantiasa menilai kemampuan diri sendiri secara realistis. Tidaklah penting seberapa banyak upaya yang telah kita lakukan, tapi adalah lebih penting "kapan dan bagaimana" kita berupaya. Upaya akan berhasil-guna bila dilakukan dengan seimbang, walau harus diselesaikan secara bertahap dari waktu ke waktu. Seperti diumpamakan Sang Buddha sebagai "menangkap burung puyuh dengan tangan". Bila kita menggunakan terlalu banyak tenaga, burung puyuhnya akan mati terperas; bila kita tidak menggunakan tenaga sama sekali burung puyuhnya akan terbang melewati jari-jari kita. Pada suatu kesempatan Sang Buddha mengibaratkan upaya dengan cara seseorang menyetem peralatan musik.

          Yang Mulia Sona, bermeditasi dengan kusuknya, berpikir dalam dirinya sendiri: "Para Siswa Sang Buddha hidup dengan aktif bersemangat, padahal pikiran saya belum terlepas dan bebas dari kotoran batin. Keluargaku kaya; saya bisa meninggalkan latihan, kembali ke kehidupan berumah tangga, menikmati kekayaan sambil berbuat baik."
          Saat itu, Sang Buddha membaca pikirannya, dan semudah seperti merentangkan lengannya, Sang Buddha muncul dihadapan Sona dan berkata: "Apa yang kau pikirkan, Sona? Dimasa lampau sewaktu kau masih di rumah, bukankah engkau ahli dalam musik kecapi?"
          "Ya, demikianlah, Tuanku."
          "Dan bila tali kecapi terlalu kencang, apakah kecapi dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?"
          "Tidak, Tuanku."
          "Bila tali kecapi terlalu longgar, apakah kecapi dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?"
          "Tidak, Tuanku."
          "Tapi, bila tali kecapi tidak terlalu kencang, juga tidak terlalu longgar, namun disetem pada nada yang sedang, apakah kecapi kemudian dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?'
          "Ya, Tuanku."
          "Demikian pula, Sona, upaya yang terlalu kencang akan berakhir dengan kebingungan, bila terlalu longgar akan berakhir dengan kemalasan. Oleh karenanya, teguhlah dalam keseimbangan, kembangkan keseimbangan indera dan dengannya tercapailah hal-hal yang bernilai."8

      Demikian pula pada beberapa aspek dalam Jalan; jalan tengah antara ketelitian berlebihan, terlalu kokoh dan kekuatan yang kasar dipihak yang satu dan sikap lesu di pihak yang lain, akan memantapkan perjalanan kita dengan laju ke Nibbana.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:35:31 AM
KESADARAN SEJATI DAN PEMUSATAN PIKIRAN SEJATI

 141.      Bila dalam tradisi agama lain perhatian sepenuhnya ditujukan kepada Tuhan, sebab dengan mengerti kehendaknya akan menyebabkan keselamatan; maka dalam agama Buddha perhatian ditujukan pada pikiran, sebab pikiran adalah perantara yang olehnya segala sesuatu berarti, ditafsirkan dan dipahami. Menjinakkan pikiran adalah menjinakkan dunia. Santideva menuangkan hal ini dengan sempurna dalam sajaknya:

          Semua harimau dan macan,
          Semua gajah, beruang dan ular,
          Makhluk-makhluk neraka,
          Setan dan dedemit,

          Semuanya itu dikuasai
          Dengan menguasai pikiran
          Dan cukup dengan menundukkan pikiran,
          Kesemuanya dapat ditundukkan,

          Sebab dengan dibentuk oleh pikiran
          Semua ketakutan dan kekwatiran datang
          Inilah yang telah diajarkan
          Oleh Si Pembicara Kebenaran

          Para musuh tak terukur seperti angkasa
          Bagaimana saya dapat memerangi semuanya?
          Tapi bila saya menghancurkan kemurkaan saya
          Pikiran tentang adanya "musuh" terhancurkan

          Tidak akan cukup banyak kulit
          Untuk menyelimuti dunia
          Tapi dengan menggunakan sendal kulit,
          Saya dapat menjelajahi dunia
          Sama halnya, semua lingkungan diluar
          Tak dapat dijaga secara menyeluruh
          Tapi bila saya menjaga pikiran saya
          Perlindungan apa lagi yang saya butuhkan?1

      Dalam banyak khotbah, Sang Buddha menekankan hal yang sama.

          Bagi seseorang yang masih belajar dan belum menjadi penguasa dari pikirannya sendiri, tapi tetap bercita-cita agar damai dari ikatan-ikatan, demi kebaikan dirinya sendiri, baginya Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih menolong dari pada memperhatikan dengan ketat pikirannya sendiri.2

          Karena pikiran yang sesat, seorang menjadi sesat
          Karena pikiran yang murni, seorang menjadi murni.3

          Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling tak dapat bekerja selain pikiran yang tak dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang tak berkembang adalah sesuatu yang tak dapat bekerja. Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling bekerja selain pikiran yang dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang berkembang adalah sesuatu yang dapat bekerja.4

 142. Ketika kita lahir, kita datang ke dunia ini dengan pikiran yang telah dipengaruhi oleh kebiasaan mental kita masing-masing, yang terbawa dari kehidupan sebelumnya - kebiasaan mental yang mungkin telah dikembangkan selama kurun waktu yang panjang dan mungkin pula telah sulit untuk dirubah atau diberi nuansa yang lain. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan kita pada kehidupan ini, orang-tua dan guru-guru mengajar kita bagaimana seharusnya bertindak, namun tidak banyak diajarkan bagaimana seharusnya mengendalikan pikiran kita. Dengan demikian, walau mungkin kehidupan kita dari luar tampak selaras, namun kehidupan-kehidupan kita-pikiran kita, mungkin kacau tak beraturan. Demi mencapai kebahagiaan abadi, pikiran yang tak disiplin harus dapat dikendalikan dan dirubah. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Sangatlah menakjubkan, melatih pikiran itu.
          Bergerak lincah, meraih apa yang dikehendakinya.
          Sangat baik memiliki pikiran yang terlatih baik.
          Karena pikiran yang terlatih baik akan membawa kebahagiaan.

          Sulit ditangkap dan sangat licik,
          Pikiran meraih apa yang diinginkan.
          Oleh karenanya para bijaksana menjaga pikirannya,
          Karena pikiran yang terjaga akan membawa kebahagiaan.5

      Dalam agama Buddha usaha menjinakkan dan menjaga pikiran dilakukan melalui meditasi. Istilah yang sering diterjemahkan sebagai meditasi adalah kata bhavana, yang secara harfiah berarti 'mengolah' atau 'mengembangkan'. Jadi dalam pengertian Buddhis, meditasi yang benar adalah suatu proses dinamis, dimulai dengan mendisiplinkan, kemudian menanamkan pengertian, lalu terakhir membebaskan pikiran.

 143. Ada beberapa teknik meditasi yang berbeda, beberapa diajarkan sendiri oleh Sang Buddha, beberapa yang lain dikembangkan oleh Guru-guru sesudah-Nya, namun keseluruhannya dapat dicakup dalam dua pokok utama, pertama adalah Konsentrasi (Pemusatan-pikiran) Sejati (samma samadhi). Istilah 'samadhi' berarti mengumpulkan atau menyatukan, dan mengacu pada pemusatan atau penyatuan pikiran. Siswa wanita Sang Buddha, Dhammadina mendefinisikan pemusatan-pikiran (konsentrasi), sebagai berikut:

          Semua penyatuan pikiran adalah konsentrasi.6

      Buddhagosa mendefinisikannya lewat kata-kata:

          Apa konsentrasi itu? Adalah pemusatan dari kesadaran dan semua yang menyertainya secara merata dan sempurna pada satu titik.7

      Dengan demikian jelas, bahwa konsentrasi tiada lain adalah suatu usaha untuk menghentikan pergerakan perhatian pikiran (yang sebelumnya selalu bergerak) dengan memancangkannya pada satu titik. Dengan melaksanakannya, baik badan maupun pikiran cenderung akan diam dan tenang; oleh karenanya teknik-teknik meditasi yang tercakup sebagai konsentrasi (Pemusatan-Pikiran) Sejati sering disebut juga Teknik Penenangan (samatha bhavana).

 144. Meditasi ke dua, yakni pelaksanaan meditasi melalui Kesadaran Sejati (samma sati), istilah 'sati' berarti pengingatan, kemawasdirian atau perhatian-penuh. Seorang bhikkhu termasyhur Nyanaponika menyebut 'perhatian penuh' sebagai perhatian "kosong" dalam bentuknya yang paling mendasar, serta mendefinisikannya sebagai berikut:

          ...... kesadaran batin yang menyatu dan terang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kita dan dalam diri kita, pada pencerapan-pencerapan secara berkesinambungan. Disebut 'kosong', karena pikiran itu mengikuti fakta-fakta kosong dari pencerapan tanpa bereaksi melalui perbuatan, ucapan atau pikiran.8

      Mawas-diri oleh karenanya, walau bersifat pasif tapi adalah suatu kesiagaan batin, pada pikiran-pikiran yang timbul dan pada pengalaman-pengalaman pikiran. Pengaruh-pengaruh yang membelokkan kesiagaan itu, berupa prasangka yang timbul dari dalam pikiran, ide-ide yang timbul sebelumnya, rasa suka dan tidak suka akan berkurang bila ada kemawasan-diri, lalu secara bertahap, seseorang akan dapat melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Kenyataan terlihat secara langsung. Oleh karenanya, teknik-teknik yang dicakup sebagai Kesadaran Sejati juga disebut Teknik Pengembangan Wawasan (vipassana bhavana) (Inggris: insight meditation).

 145. Walau tidaklah mutlak, bahwa kita harus menenangkan dan memusatkan pikiran (samatha bhavana) dulu sebelum mencoba mengembangkan kesadaran/kemawasan (vipassana bhavana), tapi kebanyakan orang lebih berhasil dengan melaksanakannya berurutan. Adalah penting dipahami, bahwa ada unsur kemawasan dalam pemusatan-pikiran, pula sebaliknya ada unsur pemusatan-pikiran dalam kemawasan, dan bila dilaksanakan, dikembangkan dan dimatangkan, keduanya akan "muncul bersamaan" (yaganadha)9 dan akan saling menguatkan.

      Dalam khotbah tentang Buah dari Kehidupan Bermeditasi (Samaññaphala Sutta), Sang Buddha menggambarkan semua langkah-langkah pelaksanaan meditasi secara sangat rinci dan pencapaiannya. Oleh karenanya kita sebaiknya tidak mempelajari Pemusatan-Pikiran Sejati dan Kesadaran Sejati secara terpisah, namun kita memeriksa kedua bagian terakhir dari Jalan Berjalur Delapan ini sebagai satu kesatuan melalui khotbah ini.

 146. Persiapan

      Sebelum kita mulai bermeditasi, kita hendaknya mempunyai keyakinan (saddha) dan secara moral siap melaksanakan Lima Janji (pañca sila), yang keduanya telah kita lihat sebelumnya. Nilai kebajikan dari meditasi jangan di lebih-lebihkan sebab kebajikan pada dasarnya menuntun ke bahagiaan karena "tak-dipersalahkan" (anavajjasukha)10, dan seperti berulang kali dikatakan Sang Buddha "pikiran dari mereka yang berbahagia menjadi terpusat" (sukhino cittam samadhiyanti).11 Setelah mencapai dengan baik hal diatas, hal penting selanjutnya sebagai persiapan meditasi adalah menjaga pintu indera (indriya samvara). Alat indera kita senantiasa berjaga-jaga menunggu rangsang yang datang. Bila kita selalu menyerah pada permintaan indera atau malah secara aktif mencari rangsangan indriawi, maka baik badan maupun mental selalu dalam keadaan tanpa-istirahat. Mencoba memuaskan rangsangan indera, seperti dikatakan Sang Buddha, adalah seperti anjing yang mencoba menghilangkan laparnya dengan mengunyah tulang kering.12 Lagi pula, kesanggupan batin untuk menghayati dan mengertikan sesuatu akan terhalangi apabila selalu tergoncang. Seperti dikatakan Subasitaratnakhosa:

          Keputusan cermat sekalipun akan gagal,
          Pikiran tersandung, kebijaksanaan dihancurkan,
          Dan keteguhan seorang akan remuk,
          Bila pikiran diracuni oleh kesenangan indriawi.13

      Menghindari rangsangan indera secara berangsur menuntun pikiran menjadi tenang, yang pada gilirannya akan menyebabkan pelaksanaan meditasi menjadi mudah. Hal diatas dengan sendirinya dapat dilakukan dengan menghindari pergaulan dengan orang-orang kasar, tidak terlalu sering mengunjungi pertunjukan-pertunjukan, pesta-pesta, bioskop-bioskop dan tempat-tempat seperti itu; adalah lebih bijaksana menghabiskan waktu sendiri dengan tenang dari pada mencari teman bergunjing ataupun mencari apa saja yang mengasyikkan dan menyenangkan kita. Bila pintu indera dijaga, kita akan mengalami apa yang disebut Sang Buddha sebagai "kebahagiaan karena tak terganggu" (avyasekasukha)14, dan seperti disebutkan didepan "pikiran yang bahagia akan mudah berkonsentrasi."

Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:35:54 AM
 147. Sekarang kita sudah siap bermeditasi. Pertama, kita mencari tempat yang cocok untuk itu. Tempat dimana kita bisa menyendiri tanpa gangguan, adalah yang terbaik. Waktu terbaik untuk bermeditasi tergantung pada suasana dan kecenderungan setiap pribadi. Untuk sebagian orang, pagi yang dini sewaktu lingkungan masih sepi dan setelah beristirahat dengan baik dimalam hari adalah waktu terbaik; untuk sebagian orang lagi, malam hari sebelum tidur adalah waktu terbaik. Setelah mendapat tempat yang tepat, kita lalu "duduk bersila dan badan ditegakkan".15 Kita dapat saja duduk dengan bermacam posisi, namun yang terbaik adalah duduk dilantai beralaskan batal, kaki dilipat, tangan diletakkan diatas pangkuan, dengan badan yang tegak.

 148. Kesadaran Pada Pernapasan.

      Meditasi Buddhis yang paling dasar adalah Kesadaran pada pernapasan (anapana sati). Teknik sederhana namun sangkil ini akan berbuah ketenangan (relaksasi) dan mengembangkan disiplin mental serta tentunya memudahkan pemusatan pikiran. Dalam menggambarkan manfaatnya, Sang Buddha berkata:

          Pemusatan pikiran yang tekun pada masuk dan keluarnya nafas, bila dipupuk dan dikembangkan, adalah suatu kedamaian dan suatu yang istimewa, suatu yang sempurna dan pula suatu cara hidup yang menyenangkan. Tidak hanya itu, juga akan menghalau pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang telah timbul dan membuatnya hilang seketika. Bagaikan, ketika bulan terakhir dari musim panas, debu dan kotoran beterbangan, lalu hujan deras yang turun tiba-tiba menenangkan dan menurunkannya ke bumi seketika.16

      Duduk dengan posisi yang enak sambil menutup mata, lalu perhatian dipusatkan pada gerakan masuk dan keluarnya nafas. Menghitung (ganana) nafas dimulai dari satu sampai tiga-puluh akan membantu mencegah pikiran berkeliaran. Hal lain yang membantu adalah mengusahakan badan agar tetap diam. Namun bila perhatian mulai teralih oleh gangguan dari luar (misalnya suara) ataupun gangguan dari dalam sendiri (misalnya pikiran-pikiran, khayalan, ingatan-ingatan) atau rangsangan pada badan (misalnya gigitan nyamuk) ataupun posisi yang kurang santai kita hendaknya dengan sabar kembali menghitung nafas seperti diatas. Senantiasa membawa perhatian kembali (ke pernafasan) secara berkesinambungan, seperti inilah yang akan menjadi kunci sukses. Kita berteguh-hati sebagai berikut:

          Sebelumnya pikiran ini mengembara semaunya,
          Sesuai kehendaknya dan sesuai kesenangannya,
          Tapi hari ini saya akan menguasainya penuh perhatian
          Seperti pawang menguasai gajah dengan kaitannya.17

 149. Berapa lama kita bermeditasi? Untuk memulainya, kita hendaknya melaksanakan latihan "kesadaran pada pernapasan" selama lima belas menit sekurang-kurangnya sekali sehari. Waktu kemudian diperpanjang lima menit setiap minggu sehingga kita dapat mencapai empat puluh lima menit. Lalu, hendaknya kita bermeditasi selama empat puluh lima menit setiap hari. Sampai kita mencapai keadaan, yang ditandai dengan kemampuan untuk menyadari secepatnya bila perhatian menyimpang dan dengan mudah dapat kembali menariknya - memperhatikan pernapasan.


      Mungkin karena sebelumnya belum pernah mencoba mendisiplinkan pikiran, dan karena pola kebiasaan yang telah tertanam sebelumnya; maka kita akan menghadapi kesulitan dan rintangan-rintangan, paling tidak pada tahap permulaan. Yang paling nyata dalam hal ini adalah pikiran-pikiran yang terus menerus berusaha menarik perhatian kita dari keluar masuknya nafas. Sang Buddha menyarankan lima cara mengatasi pikiran-pikiran seperti itu mengganti, mempertimbangkan untung-ruginya, tak memperdulikan, membiarkannya reda atau-pun dengan menaklukkan pikiran-pikiran itu.

          Seseorang yang berkeinginan mengembangkan pikiran yang lebih tinggi, hendaknya memikirkan lima hal dari waktu ke waktu. Apa lima itu?
          Bila, sewaktu memikirkan sesuatu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin timbul; dia hendaknya lalu memikirkan sesuatu pikiran yang terlatih. Dengan demikian pikiran-pikiran jahat tak-terlatih akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, tukang kayu atau pembuatnya mengetok, mencabut, menarik keluar pasak besar dengan menggunakan pasak kecil.
          Bila, sewaktu memikirkan sesuatu yang terlatih, pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih muncul; dia hendaknya lalu merenungkan kejelekan-kejelekan dari pikiran seperti itu, dengan berpikir: "Sebenarnya pikiran-pikiran ini tak terlatih, dipersalahkan dan membawa penderitaan." Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang pemuda atau wanita yang berpakaian indah tapi berkalungkan bangkai ular, anjing atau manusia dilehernya, akan dijauhi, dipermalu dan menimbulkan perasaan jijik.
          Namun, bila sementara merenungkan kejelekan-kejelekan pikiran-pikiran ini, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya lalu berusaha melupakannya, tidak memperhatikannya. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang dengan penglihatan yang baik tapi menutup mata atau memalingkan muka agar tidak melihat sesuatu.
          Tapi bila, sewaktu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang, yang merasa tak perlu berlari, lalu berjalan; merasa tak perlu berjalan, lalu berdiri-diam; merasa tak perlu berdiri, lalu duduk; merasa tak perlu duduk, lalu berbaring. Jadi, dia yang sebelumnya bergerak dengan susah-payah lalu bisa menjadi santai.
          Tapi, bila, sewaktu membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul, lalu, dengan gigi terkatup dan lidah ditekan kelangit-langit dia hendaknya menahan, menaklukkan dan menekan batin dengan batin. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang yang kuat mengalahkan seorang yang lebih lemah dengan memukulnya pada kepala dan bahunya.
          Seorang yang melakukan semua diatas disebut penguasa jalan pikiran. Pikiran yang dikehendaki untuk dipikir, dia pikirkan; pikiran yang tak dikehendaki untuk dipikir, dia tidak pikirkan. Dia telah memotong kemelekatan, melepaskan belenggu, menguasai kesombongan dan mengakhiri penderitaan.18

 150. Mungkin sekali waktu, sewaktu bermeditasi kita merasakan sesuatu yang aneh, yang kemudian mungkin menarik perhatian kita dan menyebabkan ketegangan atau keingin-tahuan. Perasaan itu mungkin berupa; walau badan masih tetap tegak, badan serasa seakan bersandar pada satu sisi (dinding), tangan atau anggota badan lain terasa menghilang, perasaan aneh dari badan, atau cahaya terang terlintas di batin. Semua hal diatas, juga fenomena-fenomena serupa lain yang bisa terjadi pada kita, sebaiknya dianggap hanyalah sekadar tipuan batin yang mempesonakan dan membetot pikiran kita; semuanya tidak berbahaya, dan semuanya akan hilang berlalu bila tak dihiraukan. Hal lain yang dapat terjadi, terutama bila meditasi kita telah mengalami kemajuan, ialah pernafasan yang menjadi dangkal sedemikian rupa sehingga tak dirasakan lagi. Bila kita menyadari bahwa nafas seakan berhenti, maka mungkin menyebabkan kita kaget dan kwatir. Namun, hendaknya dicatat dalam pikiran, bahwa sebenarnya pernafasan tidak berhenti dan tidak akan berhenti. Secara alami pernafasan memang menjadi lembut dan dangkal, bila badan dalam keadaan tenang, karena tubuh kita membutuhkan hanya sedikit oksigen. Satu hal lagi, yang sering mengganggu para pemeditasi adalah perasaan kesemutan atau yang serupa pada tungkai. Karena perasaan ini biasanya ringan dan akan segera hilang bila tungkai telah bersila, maka sebaiknya perasaan ini dihiraukan saja. Namun, bila perasaan kesemutan ini berlangsung terus dan cenderung menyakitkan, maka mungkin lebih baik kita mencoba posisi lain saja. Hal yang harus dipahami ialah bahwa posisi apapun juga akan menimbulkan perasaan yang tidak enak pada permulaan, dan walau kita bergerak atau merubah posisi kaki, perasaan sedemikian akan tetap juga ada. Bila kita telah dengan mudah bertahan memperhatikan pernafasan, maka kita bisa mengabaikan "cara hitung" tadi, dan dengan demikian pikiran kita terfokus pada gerakan pernafasan semata.

 151. Perenungan-perenungan.

      Dengan melaksanakan meditasi pernafasan secara teratur; lalu sewaktu kita telah mencapai tingkat dimana perhatian kita telah lebih mantap terpaku pada pernafasan, maka kita telah siap untuk menambah latihan Perenungan (anusati) pada meditasi kita. Ada beberapa Perenungan yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang terpenting adalah Perenungan Pada Buddha (Buddhanussati), Dhamma (Dhammanussati) dan Sangha (Sanghanussati); Perenungan Pada Kebajikan (Silanussati), Kemurahan-hati (Caganussati), sahabat-sahabat Spiritual Kedamaian (Kalyanamittanussati)19, Pada Kematian (Maranasati) dan Pada Kedamaian. (Upasamanussati)20 Perenungan dilakukan dengan mengarahkan pikiran kita pada obyek-obyek tertentu dan dengan hati-hati merenungkannya. Sang Buddha bersabda:

          Apapun yang sering seseorang renungkan dan pikirkan, batin akan bersandar padanya.21

      Pernyataan diatas sangat tepat. Pikiran apapun yang menonjol dalan batin kita, akan berpengaruh pada kepribadian dan perilaku kita. Bila dengan sadar dan sengaja, kita memenuhi batin kita dengan pikiran-pikiran positif, maka pikiran-pikiran sedemikian akan muncul dengan sendirinya, lalu pada gilirannya akan berbuah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan pikiran-pikiran itu.

          Sewaktu Siswa-siswa yang agung merenungkan (hal-hal ini), batinnya akan bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Pada saat itu, batinnya mantap dan tertuju pada hal-hal itu, dan dengan batin yang mantap dia menunjukkan kegembiraan dari kebajikan, kegembiraan dari Dhamma dan kegembiraan berjalan bersama Dhamma. Pada mereka yang gembira, timbul keceriaan; disebabkan keceriaan, jasmani menjadi tenang; dengan jasmani yang tenang seseorang akan bahagia, dan batin seorang yang bahagia senantiasa terkonsentrasi.22

      Sewaktu pelaksanaan Puja, kita juga melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Perenungan pada Buddha juga dapat dilakukan dengan membaca literatur-literatur peribadatan yang membangkitkan pikiran-pikiran yang seperti yang disajikan dalam Kamalañjli.

          Engkau ramah pada yang kejam, adil pada yang semena-mena, baik pada yang jahat, penuh kebaikan pada yang berbahaya, dan Engkau bertindak dengan cara yang tak pernah dilakukan oleh siapapun. Oh, Pemenang, Pengasih, Yang Adil, Tempat Kediaman Kebajikan, Yang Berbudi, Yang hidup-Nya semata demi kesejahteraan orang lain, sebenarnyalah dalam diri-Mu lah hatiku menemukan kebahagiaan.

          Walau Engkau hidup dalam Alam Kekacauan, Engkau selalu bertindak penuh kemuliaan, dengan menjaga keseimbangan di-tengah-tengah luapan kesenangan duniawi, Engkau memancarkan Kesempurnaan; dengan mengingat-Mu siang dan malam, dalam mimpi, setiap waktu, Oh, Pemenang, Yang Bijaksana, didalamnyalah hatiku menemukan kebahagiaan.

          Engkau memberi hal-hal yang paling sulit diberikan, melakukan hal-hal yang paling sulit dilakukan dan mengampuni mereka yang berbuat kesalahan besar, Oh, Harta Tak Tertandingi - kediaman dari welas-asih dan Oh, Guru Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.

          Sebenarnya Engkau melaksanakan hal yang paling sulit dalam perilaku moral dan menjinakkan mereka yang tak terkendalikan; demikian pula, dengan hati penuh kasih-sayang Engkau mendekatkan cinta-Mu pada mereka yang keras-hati sekalipun; oleh karenanya, Oh, Guru Yang Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.23

      Sebelum kita dapat melakukannya tersendiri, maka untuk membantu menuntun pikiran-pikiran kita; ada baiknya kita membiasakan membaca dengan hikmat dan tenang semua Penerungan dibawah ini.24

 152. Sang Buddha bersabda dalam Perenungan Kebajikan:

      Engkau hendaknya merenungkan kebajikan-kebajikanmu sendiri sebagai lengkap, utuh, tak bernoda, tak berbercak, memberi-kebebasan; sebagai terpuji oleh para bijaksana, murni dan mengantar kearah konsentrasi pikiran.25

      Perenungan Kebajikan dapat dilakukan dalam empat bagian, satu setiap harinya. Olehnya kita akan dituntun agar dapat memaafkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita, memaafkan diri sendiri atas kegagalan-kegagalan dan kekurangan-kekurangan, bergembira atas perbuatan-perbuatan baik kita sendiri dan akhirnya bergembira atas perbuatan-perbuatan baik orang lain.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:41:59 AM
PERENUNGAN KEBAJIKAN

bagian I

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, mereka yang lain telah berbuat salah pada saya; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha dengan tulus memaafkan mereka dan menghapus dendam ini.

Saya memaafkan, karena mengingat betapa seringnya saya juga berbuat salah.

Saya memaafkan, karena menyadari betapa saya selalu membela diri, padahal mengharapkan maaf atas kesalahan sendiri.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa dengan menyimpan keinginan jahat, saya akan merugikan diri sendiri lebih besar dari pada yang dapat diperbuat orang lain pada saya.
Saya memaafkan, berjanji dalam hati tidak akan membicarakan kesalahannya ini pada orang lain.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa keinginan membalas hanya akan menyebabkan kekalutan dan kegoncangan hati.

Saya memaafkan, karena dengan jalan inilah cinta-kasih dan penglepasan akan berkembang dalam hati.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa sama seperti saya, merekapun masih terbakar oleh keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin.

Semoga pemberian maaf hari ini akan membantu saya agar dapat memberi maaf lagi esok hari.

Semoga pemberian maaf ini mendorong mereka yang lain agar juga memberi maaf pada saya.

Semoga pemberian maaf ini memupuk penglepasan, kebaikan dan membantu pembebasan hati.


Bagian II

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat salah pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha mengakui pelanggaran-pelanggaran itu dan memohon maaf.

Saya mohon maaf, bukan untuk menutupi kesalahan-kesalahan saya atau beralasan pada mereka.

Saya mohon maaf, karena mengetahui betapa tak berarti, seharusnya saya mengeluh bila seseorang berbuat salah pada saya.

Saya memohon maaf, berharap agar perbuatan saya yang jelek tidak akan dicontohi mereka yang lain.

Saya memohon maaf, benar-benar merasa menyesal dan berjanji akan memperbaiki-diri.

Saya memohon maaf, dan berjanji untuk melaksanakan pengendalian diri di kemudian hari.

Semoga semua makhluk bebas dari pembalasan. Semoga semua makhluk dimaafkan atas kesalahan-kesalahannya.

Semoga kesalahan-kesalahan saya selalu tak berarti dan mudah teratasi.


Bagian III

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat baik pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi kebahagiaan orang lain, berkat hasrat melatih diri atau penghormatan pada Tiga Permata, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, berjanji tidak akan memperbandingkan diri saya dengan orang lain atau membicarakan kebaikan-kebaikan yang telah saya perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dengan bahagia membagi kegembiraan ini pada semua makhluk dimana-pun berada.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dengan pengharapan agar perbuatan-perbuatan itu akan membangkitkan keinginan orang-orang lainnya agar melaksanakan Dhamma.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melepaskan beban-beban makhluk lain.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melindungi saya dari segala kejahatan dan penderitaan.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya dan jasa yang ditimbulkan oleh-nya membantu pembebasan hati.


Bagian IV

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah melihat atau mendengar perbuatan-baik dilakukan oleh orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi keberuntungan saya ataupun orang lainnya, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, semata-mata karena itu, bukan karena perbuatan salah yang telah mereka perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa akan memuji mereka yang baik dan menjadikannya suri tauladan.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan menyadari bahwa walau dunia ini dipenuhi rasa ke-aku-an ini, namun masih banyak orang yang berhati mulia.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang lain tidak pernah menimbulkan cemburu, dengki dan iri-hati.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain membantu mengembangkan rasa terimakasih dan kepedulian.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain memelihara kebajikan dalam diriku dan membantu pembebasan hati.

 153.      Pada pelaksanaan Perenungan Kemurahan-hati, kita merenungkan nilai-nilai kemurahan-hati (kedermawaan) dan juga agar kita dapat menambah kemurahan-hati itu pada orang lain. Sang Buddha menyarankan merenungkannya dengan cara berikut:

          Engkau hendaknya merenungkan kemurahan-hati dirimu sendiri seperti ini: "Ini adalah keberuntungan saya sendiri. Sebenarnya, ini adalah suatu keberuntungan dengan berdiri teguh diantara yang picik, saya berumah-tangga dengan batin yang bebas dari kepicikan; tangan saya terbuka; tangan saya murni, bergembira bila dapat membagi pada siapa saja, orang tempat memohon kebaikan pula orang yang bergembira bila memberi sesuatu."26


Perenungan Kemurahan-hati

      Apakah hari ini saya membagi keberuntungan besar yang saya nikmati, namun dengan perasaan enggan? Terbenam di dalam milik saya, tanpa memikirkan mereka yang lain; apakah saya menikmatinya sendiri? Tanpa kepicikan atau keserakahan, apakah saya telah bergembira karena dapat memberi? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji menjadi seorang yang selalu memberi dan membagi.

      Saya akan memberi, tapi tak memberikannya benda yang bisa mencelakakannya, walaupun diminta.

      Saya akan memberi, tidak hanya pada mereka yang saya senangi, tapi juga pada orang tak dikenal, pada mereka yang memusuhi sekalipun.

      Saya akan memberi karena menyadari kebutuhan mereka, tak menunggu permintaan.

      Saya akan memberi dengan kerendahan-hati, tanpa keinginan akan penghargaan.

      Saya akan memberi dan juga memberi kesempatan pada mereka untuk juga memberi pada saya.

      Saya akan memberi, tak akan membiarkan pikiran lain menodai kemurahan-hati saya.

      Saya akan memberi, menyadari bahwa kemurahan-hati akan membantu pengembangan penglepasan.

      Semoga kemurahan-hati saya, menghapus kepicikan dan meredakan permusuhan.

      Semoga kemurahan-hati saya, mengundang persahabatan baru dan menggembirakan mereka yang tak berbahagia.

      Semoga kemurahan-hati saya, melumerkan semua keserakahan dan keterikatan dan membantu pembebasan hati.


 154. Pada perenungan yang berikut Sang Buddha berkata:

          Engkau hendaknya merenungkan para sahabat spiritual seperti ini: "Sebenarnya adalah keberuntungan bagi saya. Sebenarnyalah, sangat baik bagi saya memiliki sahabat-sahabat yang indah, penuh kasih-sayang, senantiasa mengharap kesejahteraan bagi saya, senantiasa memberi dorongan dan mengajar saya.27

      Perenungan Sahabat Spiritual mendorong kita untuk memikirkan hubungan kita dengan orang lain dan usaha-usaha yang hendaknya kita lakukan demi menambah erat tali persahabatan yang saling mengasihi itu.


Perenungan Persahabatan

      Apakah hari ini saya gagal menunjukkan persahabatan sejati pada mereka yang saya temui? Apakah saya, melalui badan, ucapan dan pikiran: memusuhi, tak mengacuhkan atau bersikap kasar pada makhluk lain? Apakah saya berusaha mengambil keuntungan dari yang lainnya, tidak memperlakukan mereka seakan mereka adalah kakek dan nenek, ayah dan ibu, saudara lelaki dan wanita, sendiri? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji berlaku seperti Yang Mulia, sahabat sejati dari seluruh dunia.

      Sebagai sahabat, saya akan menolong yang kesulitan, mengarahkan yang sesat, dan menghibur yang kesepian.

      Sebagai sahabat, saya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan orang lain pada saya dengan berlaku curang dan menipunya.

      Sebagai sahabat, saya tidak akan membiarkan mereka berbuat-kejahatan dan berbuat-kebodohan, sebab bila saya membiarkannya, siapa lagi yang akan membimbingnya?

      Sebagai sahabat, saya mengabaikan rasa tak berterima-kasih, pula rasa tak percaya; saya akan terus menawarkan persahabatan.

      Sebagai sahabat, senantiasa mengharapkan kedamaian, saya akan membicarakan perbuatan baik seseorang dan tak akan membicarakan kesalahan-kesalahannya.

      Sebagai sahabat, saya akan senantiasa mengingat perbuatan baik yang telah diperbuat pada saya dan segera terlupakan yang tidak baik.

      Semoga keramahan saya memenangkan persahabatan pada yang lainnya.

      Semoga keramahan saya melindungi saya dari sikap bermusuhan, kemarahan dan penyerangan.

      Semoga keramahan saya bertumbuh menjadi cinta-kasih dan welas-asih dan membantu membebaskan hati.

 155. Perenungan pada Kematian, yang adalah merenungkan maut yang senantiasa membayangi diri kita, akan bermanfaat untuk mendorong kita untuk hidup sebagaimana seharusnya dan agar tidak dihantui ketakutan bila kematian telah mendekati kita.


Perenungan Kematian

      Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa Beliau dan Mereka yang mengenal-Nya, sekarang telah tiada. Sejak kemangkatan-Nya, tak terhitung makhluk telah datang, menunggu waktunya, lalu pergi lagi. Nama-nama dan amal-perbuatannya hanya sedikit yang masih dikenang. Penderitaan mereka, kegembiraan mereka, kemenangan mereka, kekalahan mereka, seperti halnya mereka sendiri, saat ini hanya bayangan. Hal yang sama akan terjadi diantara yang saya kenal. Bersamaan dengan waktu, maka akan terjadi bencana yang saya kwatirkan, kemungkinan yang saya takutkan; kesenangan yang saya kejar menjadi bayangan semata. Oleh karenanya, saya akan merenungkan kenyataan akan kematian saya sendiri, agar saya mengerti nilai hidup yang sejati.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan melunasi segala hutang saya, memaafkan segala kesalahan dan tak bertengkat dengan siapapun.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya tidak akan menghabiskan waktu menyesali kesalahan-kesalahan di masa yang lalu, tapi akan merencanakan hari-hari dengan baik seakan itulah hari terakhir.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan memurnikan batin saya, bukannya memanjakan jasmani saya.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, pula perpisahan dengan yang saya cintai, saya akan mengembangkan perasaan kasih-sayang yang bebas, bukannya kepemilikan dan ketergantungan.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan menggunakan hari-hari saya sebaik mungkin, tidak menghamburkannya mengejar dan merindukan hal-hal yang tak berguna.

      Semoga saya telah siap sewaktu kematian datang.

      Semoga saya tidak takut sewaktu kehidupan terbenam.

      Semoga keterlepasan saya akan membebaskan hati ini.

 156. Tujuan Perenungan pada Kedamaian adalah sebagai pendorong agar kita hidup selaras dengan yang lainnya, mengembangkan perdamaian dan menghindari pertikaian. Juga mengingatkan kita bahwa kedamaian abadi hanya dapat dialami dengan tercapainya Nibbana.


Perenungan pada Perdamaian

      Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa dengan melihat unsur-kehidupan sebagai kekosongan, Beliau dapat mencapai kedamaian. Ketenangan-Nya yang kokoh dan cinta-Nya yang damai akan menjiwai saya. Mereka yang murka karena ketak-adilan, tak sabar untuk perubahan, putus-asa karena bencana, ceria hari ini dan murung besok hari, akan segera kehabisan tenaga dengan sendirinya. Tapi mereka yang batinnya senantiasa tenang dan mereka yang hidup dalam kedamaian akan berlimpah tenaga. Mereka, seperti Sang Buddha, adalah pulau kedamaian di lautan nan penuh gejolak, yang menjadi pulau perlindungan bagi semua makhluk.

      Oleh karenanya, saya akan mencari kedamaian dan ketenangan; menghindari kelantangan, keributan dan dia yang senang perselisihan.

      Saya akan berusaha sekuat mungkin untuk meselaraskan kembali mereka yang sedang berselisih.

      Saya akan bertutur tidak menyimpang dan tidak kasar; senantiasa tepat dengan kata-kata yang baik dan benar.

      Saya akan berusaha sekuat mungkin berdamai dan mengalah, dan tidak akan menjadi penyebab pertengkaran di antara mereka yang lain.

      Semoga mereka yang hidup dalam kekacauan menemukan kedamaian yang didambakannya.

      Semoga hati saya bebas dari rongrongan kotoran batin.

      Semoga dengan hidup dalam kedamaian saya, akan membebaskan hati ini.

 157. Berapa lama meditasi perenungan dilaksanakan? Tergantung pada perasaan kita pada waktu-waktu tertentu. Sekali waktu, mungkin cukup lima sampai sepuluh menit untuk melakukannya dengan tenang, pada waktu lain mungkin diperlukan waktu dua puluh sampai tiga puluh menit. Hal lain yang penting diingat ialah, bahwa walau sangat baik untuk melakukan salah satu meditasi perenungan setiap hari setelah meditasi pernapasan, namun meditasi perenungan sendiri dapat dilakukan setiap saat. Sang Buddha berpesan meditasi perenungan "hendaknya dikembangkan sementara engkau berjalan, sementara berdiri dan berbaring, sementara melaksanakan usaha dan sementara berada di rumah yang penuh dengan anak-anak."28

 158. Meditasi Cinta-Kasih

      Pelaksanaan meditasi berikut yang kita pelajari adalah Meditasi Cinta-Kasih (metta bhavana). Tujuan dari meditasi ini adalah untuk menghalau permusuhan dan menguatkan nilai yang paling tinggi dari segalanya, yakni cinta-kasih (metta).
      Buddhaghosa melukiskan cinta-kasih sebagai berikut:

          Cinta-kasih ditandai dengan hasrat memajukan kesejahteraan orang lain. Gunanya adalah menginginkan kesejahteraan. Perwujudannya adalah hilangnya kekesalan-kekesalan. Penyebab terdekatnya adalah ingin melihat cinta di antara makhluk-makhluk.29

      Cinta-kasih, dengan demikian, adalah perasaan yang kuat dalam bentuk kehangatan dan kasih-sayang yang dicurahkan kepada mereka yang lain, yang diwujudkan dalam bentuk usaha untuk menyenangkan mereka yang dicintai (lihat 79-80). Cinta-kasih (metta) adalah salah satu dari empat nilai yang disebut sebagai Empat Keadaan Luhur (brahma vihara), tiga yang lain adalah Welas-Asih (karuna), Bersimpati (mudita) dan Keseimbangan-Batin (upekkha).
      Welas-Asih adalah perasaan kasihan yang timbul ketika kita menyaksikan penderitaan makhluk-makhluk lain. Dhammapada Atthakata secara jitu mendefinisikan Welas-Asih sebagai berikut:

          Welas-Asih adalah sesuatu yang menggerakkan hati karena menyaksikan penderitaan orang-lain. Menghancurkan dan meleburkan penderitaan orang-lain, jadi disebut Welas-Asih. Disebut Welas-Asih karena menaungi dan merangkul mereka yang menderita.30

      Yang mengimbangi Welas-Asih adalah Simpati, yang adalah perasaan turut bergembira atas kebahagiaan atau keberhasilan orang lain. Keseimbangan-Batin adalah keadaan batin yang bebas dari perasaan yang menonjol, yang mendukung atau melawan salah satu pihak. Keseimbangan-Batin adalah keseimbangan emosi.

Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:42:26 AM
 159. Empat Keadaan Luhur dapat dilihat dari beberapa sudut pandang - sebagai empat nilai yang berhubungan tapi terpisah atau sebagai aspek-aspek berbeda dari Cinta. Tentang Empat Keadaan Luhur sebagai nilai-nilai yang terpisah tapi saling mendukung, Nyanaponika berkata:

          Cinta-Kasih secara bebas mengawal Welas-Asih agar tidak memihak, mencegahnya agar tidak membeda-bedakan dengan memilih atau mengeluarkan pihak tertentu, dengan demikian melindunginya agar tidak terjatuh ke pemihakan atau keengganan pada pihak yang dikeluarkan.

          Cinta-Kasih membagi pada Keseimbangan-Batin, perasaan yang tak mementingkan diri sendiri, perasaan yang tak terikat, dan malah kesungguhannya. Karena sesungguhan sendiri, merubah dan mengendalikan, adalah juga bagian dari Keseimbangan-Batin yang sempurna, memperkokoh kekuatannya pada penghayatan yang dalam dan pengendalian diri yang bijaksana.

          Welas-Asih mencegah Cinta-Kasih dan Simpati agar tidak terlupa, pada waktu keduanya sedang menikmati atau memberi kebahagiaan yang sementara dan terbatas, bahwa masih ada kesengsaraan yang sangat mengerikan di dunia pada saat itu. Welas-Asih mengingatkan ke duanya bahwa kebahagiaan timbul bersamaan dengan penderitaan tak terukur, yang mungkin hanya di depan pintu. Welas-Asih adalah pengingat pada Cinta-Kasih dan Simpati bahwa masih lebih banyak penderitaan di dunia ini dari pada yang mereka (cinta-kasih dan simpati) telah berhasil mereka kurangi; bahwa, setelah dampak dari pengurangan itu hilang, penyesalan dan penderitaan pasti akan timbul lagi sampai penderitaan ditumbangkan sama sekali sewaktu pencapaian Nibbana. Welas-Asih tidak memperbolehkan Cinta-Kasih dan Simpati menutup diri diri dari dunia luar dengan sekadar mengikat diri mereka pada kedangkalan tertentu saja.

          Welas-Asih tidak akan membiarkan Cinta-Kasih dan Simpati berputar haluan pada kepuasan diri di dalam kebahagiaan yang diiringi oleh iri hati. Welas-Asih mendesak dan mendorong Cinta-Kasih untuk meluaskan cakupannya; mendesak dan mendorong Simpati untuk mencari penyegaran. Jadi menolong keduanya untuk bertumbuh dalam Keadaan Tak Terikat yang sejati (appamañña).

          Welas-Asih menjaga Keseimbangan-Batin agar tidak terjatuh pada keengganan yang dingin, dan menjauhkannya dari kelambanan atau menyendiri demi kepentingan diri sendiri. Welas-Asih akan mendesak Keseimbangan Batin agar memasuki lagi kancah pertempuran duniawi berulang kali, agar dapat menahan ujian, dengan memperteguh dan menguatkan dirinya sendiri, sampai pada akhirnya Keseimbangan-Batin mencapai kesempurnaan.

          Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak terselubungi melulu oleh pemandangan kesengsaraan duniawi, agar tidak terlarut oleh karenanya dan dengan demikian melalaikan segala yang lainnya. Simpati melepaskan ketegangan batin, menyejukkan keperihan hati yang berwelas-asih. Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak bermurung tanpa tujuan, agar tidak terlarut sia-sia dalam keharuan yang hanya akan melemahkan dan melelahkan batin dan hati. Simpati mengembangkan belas-kasih menjadi simpati yang aktif.

          Simpati memberi ketentraman pada Keseimbangan-Batin yang kemudian dapat melunakkan ketegangannya. Simpati adalah senyum luhur pada wajah Yang Tercerahi, senyum yang menetap, walau Beliau melihat keperihan yang mendalam di dunia ini, senyum yang memberi harapan dan hiburan, menghilangkan ketakutan serta menanamkan kepercayaan diri: "Pintu menuju Pembebasan telah terbuka lebar," demikian dilantungkannya.

          Keseimbangan-Batin tertanam dihayati pada tiga Keadaan Luhur lainnya lewat kekuatan menuntun dan menahan dari ke tiganya, menunjukkan mereka arah yang seharusnya diambil, dan memperlihatkan padanya jalan yang seharusnya diikuti.

          Keseimbangan-Batin menjaga Cinta-Kasih dan Welas-Asih agar tidak menghamburkan waktu dalam pencarian yang sia-sia, agar tidak tersesat dalam labirin emosi yang tak terkendali. Keseimbangan-Batin adalah kendali diri yang demi pencapaian tujuan akhir, tidak akan memperbolehkan Keseimbangan-Batin berpuas-diri pada hasil tak bermakna, dan yang karenanya melupakan tujuan perjuangan kita yang sejati.

          Keseimbangan-Batin, yang berarti 'berpikir seimbang', memberi kesetiaan dan keteguhan yang kokoh dan seimbang pada Cinta-Kasih. Keseimbangan-Batin memberkati Cinta-Kasih dengan harkat tertinggi dari kesabaran. Keseimbangan-Batin melengkapi Welas-Asih dengan keberanian dan ketakgentaran yang seimbang dan tak tergoyahkan, memungkinannya untuk menghadapi jurang kesengsaraan dan keputusasaan yang mengerikan, yang olehnya Welas-Asih diperhadapkan berkali-kali. Pada sisi yang aktif dari Welas-Asih, Keseimbangan-Batin adalah tangan yang kokoh dan tenang, dengan diarahkan oleh kebijaksanaan, diulurkan pada mereka yang hendak melaksanakan seni menolong orang lain yang terkadang memang sulit. Sekali lagi, disini Keseimbangan-Batin berarti kesabaran, kesetiaan menunggu hasil kerja Welas-Asih.31

      Dari sisi yang lain, Empat Keadaan Luhur dapat dilihat sebagai cara-cara yang berbeda untuk mewujudkan cinta tergantung situasi; ibarat cahaya yang dapat memantulkan bermacam-macam warna dari permukaan-permukaan berbeda dari suatu permata yang sama. Dengan demikian Cinta-Kasih, dalam arti kasih-sayang dan kehangatan, adalah jawaban Buddhis bagi orang-orang yang terbuka dan bersahabat, Welas-Asih adalah jawaban bagi mereka yang tercekam, Simpati adalah jawaban bagi mereka yang dalam keadaan berbahagia, dan Keseimbangan-Batin adalah jawaban bagi mereka yang bersikap bermusuhan atau tak menyenangkan.

 160. Setiap orang merasakan cinta sekurangnya pada beberapa orang tertentu - ayah dan ibu, suami atau isteri, anak-anak atau kawan-kawan. Tetapi, pada waktu yang bersamaan, cinta itu kadang-kadang terwarnai atau timbul bersama perasaan cemburu, rasa pemilikan dan keinginan untuk menguasai atau mengendalikan. Demikian pula, adalah mungkin seseorang mencintai beberapa orang, namun membenci ataupun tidak memihak pada yang lainnya. Cinta yang lebih beradab dan bernilai tinggi adalah yang terbebas dari kekotoran batin negatif dan menembus kemana-mana, dapat dirasakan merata oleh semua makhluk - pada semua manusia maupun binatang - kepada mereka yang bersahabat maupun yang bersikap bermusuhan - kepada mereka yang baik maupun yang jahat. Sebenarnyalah, memiliki hati yang mencintai adalah teragung dibanding semua sikap dan perbuatan baik lain.

          Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta-kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi; maka akan jauh lebih bermanfaat yang ke dua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta-kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh diatasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya."32

      Inilah cinta-kasih yang mewarnai setiap aspek kehidupan Sang Buddha, Siswa-siswa-Nya, dan kita hendaknya berupaya sekuat mungkin untuk mengembangkan cinta-kasih yang sama.

          Meditasi Cinta-Kasih hendaknya
          Dilakukan demi diri sendiri dan orang lain.
          Semua hendaknya diliputi cinta-kasih.
          Inilah ajaran Sang Buddha.33


 161. Bagaimana Meditasi pengembangan Cinta-Kasih dilaksanakan? Bila, sementara atau sesudah melakukan latihan harian Kesadaran pada pernapasan, batin kita terasa tentram, damai dan bahagia, inilah waktu yang terbaik untuk melatih Meditasi Cinta-Kasih. Tetaplah pada posisi meditasi, renungkanlah keadaan diri sendiri terlebih dahulu, sadarilah betapa kita telah merasakan kebahagiaan dan kedamaian, lalu berharaplah agar senantiasa dalam keadaan sejahtera. Hal diatas dapat dilaksanakan dengan berkata dalam hati: "Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia. Semoga saya terbebas dari ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin saya terbebas dari pikiran jahat. Semoga hati saya diisi dengan cinta-kasih. Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia." Setelah itu, kita melangkah memikirkan orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang netral, lalu terakhir pada orang yang kita tidak senangi satu demi satu, berharap agar setiap dari mereka sejahtera seperti yang kita harapkan pada diri kita sendiri, dengan mengulangi kata-kata seperti telah kita ucapkan dalam hati diatas. Setelah itu, kita mengucapkan: "Semoga semua makhluk sejahtera dan bahagia. Semoga mereka bebas dari ketakutan ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin mereka terbebas dari keinginan jahat. Semoga hati mereka diisi dengan cinta-kasih. Semoga semua makhluk senantiasa sejahtera dan bahagia." Meditasi Cinta-Kasih hendaknya tidak dilaksanakan tergesa-gesa, ambillah waktu kira-kira sepuluh sampai lima belas menit untuk melaksanakannya.

 162. Pada pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kadang-kadang sementara pikiran cinta-kasih kita pancarkan pada orang yang tidak kita senangi dan berharap mereka bahagia dan sejahtera, namun juga terasa betapa kita tidak merasa mencintai dan menyayangi orang tersebut sama sekali. Apakah ini, seperti dikatakan sementara orang, adalah tindakan berpura-pura saja? Tidak, sama sekali tidak. Walau, mungkin saja kita saat itu, belum merasakan itikad baik pada orang tersebut, namun keinginan merubah perasaan negatif itu menjadi perasaan positif, adalah sasuatu yang sangat penting. Akan tiba saatnya, berkat usaha itu, kebencian akan berubah menjadi keseimbangan dan dari situ akan berubah lagi menjadi persahabatan dan kepedulian. Bila, melalui pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kita telah belajar untuk tidak menghiraukan segala penghinaan (bukannya menjadi dendam), melupakan (bukannya merencanakan pembalasan), menjadi baik (bukannya kasar, lancang atau tak punya kepedulian); maka interaksi kita pada orang-lain akan secara nyata lebih dinikmati dan hidup kita secara umum akan lebih bahagia. Sang Buddha menyebutkan beberapa dampak positif dari pelaksana Meditasi Cinta-Kasih dan kesemuanya berhubungan dengan kebahagiaan.

          Sebelas keuntungan dapat dicari dalam pembebasan batin melalui pelaksanaan cinta-kasih, dengan menumbuhkan cinta-kasih, dengan menambahnya, dengan menjadikan cinta-kasih dasar dan sarana dalam segala tindakan, dengan berdiri kokoh diatasnya, membiasakannya, dan mengembangkannya dengan baik. Apa yang sebelas itu? Seorang akan tidur dan bangun dalam keadaan bahagia, tidak bermimpi buruk, disayangi semua manusia maupun makhluk lain, dijaga para dewata; racun, api dan pedang tidak akan mencelakakannya, pikirannya dapat cepat berkonsentrasi, wajahnya bersih bercahaya, bila dia mati akan tiada kegelisahan dalam dirinya, dan bila dia tidak mengembangkan lebih jauh sekurang-kurangnya dia akan mencapai alam Brahma.34


 163. Apa yang telah kita perbincangkan diatas adalah apa yang dapat disebut sebagai pengembangan cinta-kasih melalui cara pasif, namun tentunya adalah sama pentingnya dengan pengembangan cinta-kasih melalui cara aktif. Hal terakhir ini, mengacu pada usaha untuk meninggikan dan menguatkan cinta-kasih kita dengan bertindak lebih langsung dalam mewujudkan cinta tersebut. Cariyapitaka Atthakata menyebutkan hal ini sebagai berikut:

          Seorang hendaknya berpikir: "Saya tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap mata. Saya harus berusaha untuk mewujudkannya."35

      Mencintai berarti mengesampingkan kepentingan dan keinginan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Mencintai berarti bersikap menolong seseorang, walau orang tersebut pernah menyakiti kita sebelumnya. Mencintai berarti meluangkan waktu untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Semua tindakan diatas diperlukan demi memurnikan batin. Dengan melaksanakannya tanpa mementingkan diri sendiri dan disertai kehendak yang murni, maka tindakan-tindakan diatas tentunya adalah sama pentingnya dengan duduk bersila melaksanakan Meditasi Cinta-Kasih.

 164. Lima Rintangan

      Begitu kita mulai melatih meditasi, kita akan merasakan bahwa kita berhadapan dengan bermacam kesulitan. Bila kita tidak sungguh-sungguh berkeinginan bermeditasi, maka kita selalu saja menunda melakukannya atau selalu mencari alasan untuk tidak melakukannya. Pada waktu lain, mungkin segala pikiran-pikiran/rencana-rencana demikian menetap sehingga kita akhirnya tidak dapat bertahan memusatkan kesadaran pada pernapasan. Juga, dari waktu ke waktu, perasaan badan yang kurang nyaman, suara-suara atau khayalan-khayalan, akan lebih menarik perhatian batin serta meyebabkan meditasi menjadi sulit. Sang Buddha melihat adanya Lima Rintangan atau halangan (pañca nivarana) dalam melaksanakan meditasi dan memaklumkan kita bahwa selama ke limanya masih ada, kita tidak akan dapat melihat apa yang baik bagi diri sendiri dan diri orang lain, dan bahwa pengembangan batin yang sejati hanya akan bisa dapat dimulai setelah kita berhasil melemahkan lima rintangan tersebut. Ke Lima Rintangan adalah nafsu-indriawi (kamacchanda), kehendak-jahat (vyapada), kelambanan dan kemalasan (thina middha), keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca), dan keraguan (vicikiccha).

          Ada lima unsur yang menurunkan nilai emas, yang dikarenakannya emas tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak akan berkilau; tapi menjadi rapuh dan tak akan menjadi karya yang anggun. Apa yang lima itu? Besi, tembaga, timah-putih, timah-hitam dan perak. Tapi bila emas bebas dari lima unsur merugikan itu, maka emas akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh dan dapat dijadikan karya yang anggun. Lalu, perhiasan apapun yang seorang inginkan - cincin stempel, anting-anting, kalung atau gelang - dapat dibuat darinya.

          Sama halnya, ada lima unsur yang menurunkan nilai batin, yang dikarenakannya batin tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak berkilauan, tapi menjadi rapuh dan tidak tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Apa yang lima itu? Nafsu-indriawi, kehendak-jahat, kelambanan dan kemalasan, keresahan dan kekwatiran, dan keraguan. Tapi bila batin bebas dari lima unsur merugikan itu, batin akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh tapi tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Lalu, seseorang dapat mengarahkan batinnya pada terwujudnya pengetahuan batiniah atau apapun yang dapat diwujudkan dengan pengetahuan batiniah dan dapat melihatnya dengan langsung, betapa pun jaraknya.36


 165. Setiap pengalaman indriawi yang menyenangkan, walau telah lama dialami, dapat 'menggema' berulang-ulang di batin dalam bentuk kenang-kenangan dan fantasi-fantasi yang mengisi batin secara sangat menetap. Ini akan menyebabkan nafsu-indriawi (kammacchanda), suatu kerinduan untuk dapat mengalami rangsangan indriawi itu lagi, yang pada akhirnya menyebabkan kegelisahan dan kekecewaan. Persiapan pada kemungkinan pemuasan nafsu-indriawi sendiri juga akan menyebabkan kegelisahan pula. Dengan menggunakan analogi yang tepat, Sang Buddha mengibaratkan kesenangan indriawi sebagai luka borok, makin di garut makin gatal "garutan hanya akan sedikit melegakan."37 Semakin hebat dan akan semakin sulit untuk menenangkannya serta mengkonsentrasikan pikiran. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Kesenangan indriawi memang manis seperti madu,
          Tetapi membuat batin menyimpang dan kacau.38

      Ada beberapa langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari nafsu-indriawi. Yang paling nyata ialah dengan menjaga pintu indera (lihat 146). Menyederhanakan tidur dan makan; menyendiri dengan tenang, juga akan membantu. Langkah yang lain adalah memotong atau menghentikan khayalan begitu kita menyadari bahwa kita mulai terlibat dan terseret olehnya. Perpaduan dari semua langkah-langkah diatas akan meredakan nafsu-indriawi sedikit demi sedikit, dan akan bergeser terlepas sedikit demi sedikit dari kesadaran kita, sementara kita melaksanakan meditasi.


 166. Bila nafsu-indriawi adalah reaksi pada pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Kehendak-jahat (vyapada) adalah reaksi pada yang tidak menyenangkan. Ratusan situasi setiap hari dalam kehidupan kita dapat menyebabkan timbulnya kehendak-jahat; keadaan yang tidak terlaksana sesuai yang kita harapkan, berurusan dengan orang yang tidak menyenangkan atau canggung, dan sebagainya. Sang Buddha menggambarkan dengan jelas dampak negatif dari kemurkaan dan kehendak-jahat yang membara, dengan berkata:

          Kebencian menyebabkan kemalangan besar;
          Kebencian mengacaukan dan membahayakan batin.
          Bahaya yang menakutkan ini tertanam dalam pada mereka yang
          Tidak menyadarinya.

          Tak berfaedah, seorang tak akan mengetahui kebaikan
          Tidak dapat melihat sesuatu seperti apa adanya
          Hanya kebutaan dan kegelapan yang menonjol
          Bila seseorang diliputi kebencian.39

      Kehendak-jahat juga dapat timbul dalam meditasi. Kita mungkin merasa jengkel pada mereka yang membuat kegaduhan sewaktu kita sedang bermeditasi, jengkel pada tubuh yang kurang nyaman, atau jengkel pada diri sendiri karena sulit berkonsentrasi pada pernapasan. Kadang-kadang pula, kita teringat pada kesalahan atau ketidak-adilan yang telah diperbuat orang lain pada kita di masa lampau, lalu menimbulkan amarah dan pikiran untuk membalas. Ada beberapa cara untuk mengatasi hal sedemikian, pula segala bentuk kehendak-jahat seperti itu. Bila kehendak-jahat ditujukan pada orang tertentu, agar dapat menenangkan batin, Buddhagosa menyarankan agar kita berbicara dengan diri sendiri dengan berpikir seperti berikut:

          Seandainya musuh telah menyakitimu,
          Didaerah kediamannya sendiri.
          Mengapa engkau mesti mengganggu dirimu sendiri,
          Dan menyakiti batinmu di kediamanmu sendiri.

          Dengan air mata engkau meninggalkan keluargamu,
          Mereka yang senantiasa baik serta menolong dirimu
          Jadi, mengapa tidak engkau tinggalkan saja musuhmu,
          Pula amarah yang sedemikian membahayakan dirimu?

          Amarah yang engkau rangkul,
          Menggerogoti sampai keakar-akarnya,
          Semua kebajikan yang dengan susah payah engkau capai
          Siapa pula yang akan sedemikian bodohnya?

          Orang lain melakukan perbuatan tercela,
          Tapi engkau yang marah. Mengapa?
          Apakah engkau memang berharap menirunya.
          Dan bertindak seperti dia?

          Seandainya seorang, dengan cara menjengkelkan,
          Menggusar dirimu agar berbuat jahat.
          Mengapa membiarkan amarah bangkit dan dengan
          Demikian bertindak seperti apa yang diinginkannya darimu?

          Bila engkau menjadi marah,
          Mungkin mereka menderita, mungkin juga tidak
          Tetapi dengan mengalami kemarahan itu,
          Dirimu sendiri pasti telah mengalami penderitaan.

          Bila para musuh dibutakan oleh amarah,
          Sesuai untuk menjalani jalan kesengsaraan,
          Apakah engkau berharap mengikutinya,
          Dengan juga menjadi marah?

          Bila musuh menggusarkanmu,
          Menyakitimu dengan membangkitkan amarah,
          Biarkan amarah itu mereda.
          Jangan merugikan dirimu tanpa guna.40

      Bila kita marah pada diri sendiri dikarenakan sulitnya memusatkan pikiran ketika bermeditasi, sikap bersabar dan menerima akan sangat membantu. Tidak diragukan lagi, cara yang paling sangkil untuk membebaskan diri sendiri dari segala kehendak-jahat dan angkara-murka picik yang hinggap di batin kita, adalah dengan melaksanakan Meditasi Cinta-kasih.


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:43:28 AM
 167. Hal yang ke tiga dari Lima Rintangan, dan yang selalu dihadapi dalam latihan meditasi, adalah kelambanan dan kemalasan (thina midha). Kelambanan dan kemalasan berbeda dengan kelelahan yang adalah masalah yang cukup diatasi dengan istirahat seperlunya. Rintangan yang dimaksud disini adalah keinginan setengah-hati dan kehilangan gairah yang menyebabkan kita menunda bermeditasi atau bila sedang bermeditasi ingin menghentikannya segera. Bila perasaan seperti itu timbul sementara bermeditasi, biasanya dapat teratasi dengan membuka mata sebentar serta menarik nafas yang dalam-dalam beberapa kali. Sang Buddha menganjurkan beberapa cara yang lain untuk menghilangkan kantuk sewaktu bermeditasi.

          Lalu Sang Buddha berkata pada Maha Moggallana: "Apakah engkau mengantuk, Moggallana? Apakah engkau mengantuk?"
          "Ya, Tuanku."
          "Baiklah, apabila pikiran malas menimpamu, janganlah perhatikan pikiran itu, jangan tinggal-berdiam dengannya. Dengan demikian, perasaan itu mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya memikirkan dan merenungkan Dhamma di dalam batinmu - mengulanginya dalam batin sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya membacakan Dhamma secara rinci sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya menarik telingamu dan menggosok anggota badanmu dengan telapak tangan. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, bangkitlah dari tempat dudukmu, basuhlah mukamu, pandanglah ke segala penjuru dan tataplah langit yang berbintang. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya mengembangkan pencerapan cahaya dengan kuat-seperti pada siang hari, demikian pula malam hari; seperti pada malam hari, demikian pula pada siang hari. Jadi dengan batin yang bersih dan tak terhalang, engkau hendaknya mengembangkan kesadaran yang memancar. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya sadar pada apa yang ada di depan dan di belakangmu. Berjalanlah naik turun dengan perasaan yang menatap ke dalam dan batinmu jangan mengembara kemana-mana. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, berbaringlah diatas sisi kananmu seperti posisi singa dengan satu kaki diatas lainnya, dalam kesadaran penuh dan bersih, dengan pikiran bahwa engkau akan segera bangkit kembali. Setelah bangkit, engkau hendaknya meluruskan badan, berpikir: "Saya tidak akan menuruti kesenangan berbaring, bersandar dan tidur." Latihlah dirimu seperti ini."41

      Dengan senantiasa mengingat waktu yang sia-sia habis dengan bermalas-malasan, tidur dan selalu menunda-nunda meditasi; maka kita dapat menghalau kemalasan dan memperkuat tekad kita, seperti yang dapat kita capai pada pelaksanaan Perenungan pada Kematian.


 168. Lawan dari Kelambanan dan Kemalasan adalah keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca). Bila satunya disebabkan oleh energi yang terlalu sedikit, maka yang satunya disebabkan oleh energi berlebihan, dikarenakan ketidak sabaran dan pengharapan yang tidak realistik. Kita memacu diri sendiri, lalu bila hasil yang diharapkan tak kunjung tiba pada waktu dan dalam bentuk yang diinginkan, kita akan berusaha lebih gigih lagi, sehingga malah menyebabkan kekacauan. Hal lain yang menyebabkan timbulnya Keresahan dan Kekwatiran adalah bila kita terlalu teliti dalam perilaku etika, terlalu kwatir secar berlebihan dalam mempraktekkan pantangan-pantangan dan mengikuti peraturan-peraturan secara terlalu ketat. Ketika seseorang bertanya pada Sang Buddha tentang cara mencapai Nibbana, Beliau menjawab bahwa Beliau mencapainya dengan "tidak berlambat-lambat (appatittham) dan tidak tergesa-gesa (anayuham)", sebab bila terlambat-lambat Beliau akan tenggelam dan bila terlalu tergesa-gesa Beliau akan dipusingkan olehnya.42 Kita dapat menghindari Keresahan dan Kekwatiran pula Kelambanan dan Kemalasan dengan cara usaha yang merata dan bertahap, singkatnya, dengan menerapkan Jalan Tengah dalam penggunaan tenaga kita. Perenungan Dalam Kedamaian, juga berfaedah untuk menenangkan diri kita bila kita merasa telah terburu-nafsu.

 169. Yang terakhir dari Lima Rintangan adalah Keraguan (vicikiccha), yang adalah perasaan ketidak-pastian, menyebabkan kita bingung dan bimbang. Kita mungkin saja ragu pada ajaran Buddha, juga mungkin ragu pada kemampuan diri sendiri untuk melaksanakan ajaran-Nya. Orang-orang yang agamis niscaya berusaha menghalau keraguan dalam hatinya, tapi hendaknya tidak dengan cara menutup rapat batin diri sendiri dan menolak pendapat orang lain. Mereka yang menutup diri sendiri, mungkin saja memiliki keyakinan yang kokoh, namun sebenarnya keyakinannya penuh kecemasan, karena harus selalu siap bertahan, oleh karenanya tidak memberi ketentraman yang seharusnya diperoleh pada keyakinan yang sejati. Keyakinan seperti itu tidak berdasarkan kenyataan; keyakinan sejati justru tumbuh setelah penelitian secara hati-hati pada kenyataan-kenyataan. Jadi, cara penanggulangan terbaik pada keraguan adalah dengan mempelajari sabda-sabda Sang Buddha dengan menggunakan pemikiran sepenuhnya, membandingkannya secara terbuka dengan tradisi-tradisi yang lain dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dengan tulus. Bila kita mengetahui Dhamma seutuhnya, kita dapat menjalankannya dengan tepat; pelaksanaan yang tepat akan membawa hasil, hasil yang gemilang lalu memperkokoh keyakinan, keyakinan yang kokoh, lalu akan menghalau keraguan. Selama perlangsungan proses yang memakan waktu seperti diatas, maka untuk membantu, kita sebaiknya acap kali melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

 170. Melalui pengamatan yang baik, maka kita akan menyadari bahwa selain sebagai pengguna meditasi, Lima Rintangan juga adalah pengganggu dalam kehidupan sehari-hari. Kehendak-jahat dan Keraguan dapat saja mengganggu hubungan kita dengan orang lain; Kelambanan dan Kemalasan berdampak pada pekerjaan dan pelajaran kita; Keresahan dan Kekwatiran berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani kita. Apabila Lima Rintangan dapat dihancurkan dominasinya di dalam batin kita, kehidupan kita akan mendapatkan keberuntungan, sama halnya dengan yang dicapai oleh meditasi kita. Perasaan lega, perasaan sentosa, perasaan bebas dan aman akan menembus ke batin kita dan olehnya kita merasa lebih berbahagia.

          Dengan menghentikan nafsu-duniawi, seseorang tenang berdiam dengan batin yang bebas dari nafsu-duniawi dan menjadi murni. Dengan menghentikan kehendak-jahat dan kebencian, kita berdiam dengan batin dipenuhi welas-asih dan cinta-kasih demi kesejahteraan semua makhluk, dan memurnikan batinnya dari kehendak-jahat dan kebencian. Dengan menghentikan kelambanan dan kemalasan, dia merasakan cahaya serta penghayatan yang sadar dan jelas, dia memurnikan batinnya dari kelambanan dan kemalasan. Dengan menghentikan keresahan dan kekwatiran dan tetap tenang di dalam batin, dia memurnikan batinnya dari keresahan dan kekwatiran. Dengan menghentikan keraguan, dia tenang-berdiam setelah mengatasi keraguan, tanpa ketakpastian dalam dirinya sebagai layaknya seorang terlatih, dia memurnikan batinnya dari keraguan.

          Bagaikan seorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya, dan setelah usahanya berkembang, dia melunasi hutangnya dan berkecukupan untuk menunjang seorang isteri, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya berhutang, tapi sekarang bebas dari hutang," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang sakit dan menderita, tak ada nafsu makan dan lemah, lalu beberapa waktu berselang pulih kesehatannya, nafsu makannya dan kekuatannya, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya sakit, tapi sekarang saya sehat," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang dipenjarakan, sesudah beberapa waktu, dibebaskan tanpa penyitaan harta bendanya, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya dipenjarakan, tapi sekarang bebas," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang budak, tidak menjadi tuan dari dirinya sendiri, dikendalikan oleh orang lain dan tak dapat melaksanakan apa yang dikehendakinya, lalu suatu waktu dibebaskan, lalu berkata dalam hati: "Dulu saya seorang budak, tapi sekarang saya telah dipersamakan," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang membawa barang-barang dan harta kekayaan mengembara seorang diri di dalam keganasan hutan yang penuh bahaya, namun bebekal hanya sedikit makanan, tapi setelah beberapa waktu, tiba dengan selamat dan terdengar sampai di pinggiran desa, dan akan berkata dalam hati: "Sebelumnya saya dalam keadaan berbahaya, tapi sekarang saya sudah aman," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Dengan cara yang sama, selama Lima Rintangan tidak diatasi, seseorang akan merasa berhutang, sakit, dipenjarakan, diperbudak, hilang dalam hutan belantara. Tetapi setelah Lima Rintangan teratasi, seorang akan merasa bebas dari hutang, sehat, bebas, dipersamakan dan aman. Dan ketika seorang menyadari bahwa Lima Rintangan telah teratasi, kegembiraan timbul, dari kegembiraan timbul keceriaan, dari keceriaan tubuh akan tenang, dari tubuh yang tenang seorang akan berbahagia, dan batin yang berbahagia senantiasa terkonsentrasi.43


 171. Pencapaian Jhana

      Bila semua langkah-langkah yang telah diperbincangkan di atas dilaksanakan secara teratur, maka dalam waktu yang cukup panjang dan bila prasyaratnya memungkinkan, keadaan batin yang disebut jhana akan dicapai. Kata jhana berarti 'mempertimbangkan' atau 'mematangkan-pikiran', Sang Buddha melukiskan empat tingkat dari keadaan ini, setiap tingkat lebih murni dan halus dari tingkat sebelumnya. Keadaan batin inilah yang dialami oleh Sang Buddha beberapa saat sebelum Pencerahan dan yang menuntun Beliau mencapai Pencerahan (lihat 209, 210). Di dalam Dhammapada, Beliau menggarisbawahi pentingnya Jhana, dengan bersabda:

          Tanpa jhana, tak ada kebijaksanaan;
          Tanpa kebijaksanaan, tak ada jhana;
          Tapi dia yang telah memiliki jhana dan kebijaksanaan,
          Sebenarnya telah dekat pada Nibbana.44

      Sang Buddha melukiskan Jhana pertama, sebagai berikut:

          Terlepas dari kesenangan-indriawi dan keadaan batin yang tak-terlatih, seorang memasuki dan menetap di Jhana Pertama, yang ditandai oleh batin yang berpikir dan berkhayal, diisi kegembiraan dan kebahagiaan yang terlahir dari keterlepasan. Dan dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang lahir dari keterlepasan, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari keterlepasan. Bagaikan seorang penjaga permandian yang terlatih atau pembantunya, mengadoni bubuk mandi yang telah disirami air, membentuk darinya sebuah gelembung di dalam sebuah mangkuk logam, yang darinya tidak ada embun yang terbebas- dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh.45

 172. Kita akan melihat dengan teliti Jhana Pertama sehingga dapat dikenal sewaktu dicapai. Berpikir (vitakka, dari kata 'takka' yang berarti menalar) mengacu pada berpikir dengan sadar dan langsung, biasanya dalam bentuk atau usaha pemecahan masalah. Berkhayal (vicara, dari kata 'carati' yang berarti bergerak atau mengembara) mengacu pada pikiran yang terpencar dan tak berhubungan satu sama lain yang sudah demikian jauh mewarnai pikiran yang biasa.

          Berpikir adalah tangan yang memegang dengan kuat, dan berkhayal adalah seperti tangan yang menggosok; pada seorang yang dengan kuat memegang sebuah piring logam bernoda dengan satu tangan, sedang tangan yang lain menggosoknya dengan bubuk-penggosok, minyak dan sabut penggosok.46

      Pada Jhana Pertama, batin sangat tenang dibanding biasanya, dan walau masih Berpikir dan Berkhayal, namun tidak ada satu pun dari Lima Rintangan yang tersisa. Perhatian terpusat pada pernapasan, digunakan hanya sedikit usaha yntuk bernapas, disertai timbulnya perasaan Kegembiraan secara umum (piti) dan Kebahagiaan (sukha). Perasaan positif ini dilahirkan dari keterlepasan (vivekaja), yang merupakan hasil terbebas dari Lima Rintangan, bila hanya sementara. Kegembiraan mungkin datang seperti kilat, seperti gelombang, atau seperti menyebabkan seluruh tubuh terasa ringan, tapi lebih sering merupakan perasaan sesuatu yang meresap dengan halus, datang tiba-tiba dan memudar secara perlahan.47

 173. Pada tahap permulaan, Jhana Pertama bertahan hanya sebentar, walau demikian, dapat membangkitkan keinginan kuat untuk mempertahankannya, dan juga untuk merasakannya kembali pada saat meditasi yang berikut. Keinginan ini malah dapat menimbulkan goncangan dan tekanan, yang mementalkan kembali batin kita pada keadaan batin sebelumnya atau akan menyebabkan kita akan merasa tidak puas serta kecewa pada meditasi-meditasi yang berikut. Ketika Jhana Pertama dicapai hendaknya kita merasakan dan menikmatinya secara penuh, lalu bila mulai menghilang, kita melepaskannya, layaknya sebagai kawan yang mengunjungi kita, yang kunjungannya telah memberi kesenangan dan sekarang tiba saatnya untuk berpamit. Tugas dari pemeditasi sekarang adalah melanjutkan latihan meditasi secara teratur, sehingga tidak sekadar memasuki (upasampajjatri) sebentar dari waktu ke waktu, tapi datang dan berdiam (viharati) dalam jhana untuk waktu yang lebih panjang. Walau Jhana Pertama adalah tahapan jhana paling rendah dari ke Empat Jhana, namun pencapaiannya memberi dampak yang sangat positif pada batin, yang pada gilirannya akan menyebabkan banyak perubahan yang penting dan berfaedah bagi kepribadian.

 174. Begitu Jhana Pertama dicapai, maka tidak lama berselang perhatian bisa terpusat (ekodibhava) dan terpaku pada gerakan pernapasan, pikiran-pikiran berhenti sama sekali (avitaka avicara), ketenangan mendalam dialami (sampasadana) dan batin terkonsentrasi penuh. Keadaan ini disebut Jhana Kedua dan dilukiskan oleh Sang Buddha, sebagai berikut:

          Dengan terhentinya Pikiran dan Khayalan, dengan mencapai ketenangan mendalam dan batin yang menyatu, seseorang memasuki dan berdiam di Jhana Kedua, tidak ada Pikiran dan Khayalan lagi dalam batin, terisi Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi. Dan dengan Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagian pun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi.
          Bagaikan kolam yang terisi oleh mata-air, tanpa sumber dari jurusan manapun, dengan hujan yang dikirim dewa menyiraminya dari waktu ke waktu, air sejuk dari mata-air dibawahnya akan menutupi, mengisi dan merembesi kolam itu dengan air sejuk sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh lagi olehnya - dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.48

      Kegembiraan dan Kebahagiaan masih terasa pada Jhana Kedua, tapi sekarang disebut sebagai terlahir dari konsentrasi (samadhija), yang tidak lagi merupakan reaksi dari rangsangan indriawi. Perasaan positif ini bukan lagi kebahagiaan biasa (pemuasan indriawi). Dengan tercapainya Jhana Kedua, Pemusatan-Pikiran Sejati telah berkembang, dan kita sekarang siap untuk memulai mengembangkan Kesadaran Sejati.

Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:43:44 AM
 175. Telah dikatakan sebelumnya bahwa kita terbentuk dari Lima Unsur (60-63), yang kesemuanya bercirikan ketak-langgengan, ketidak-puasan dan ketiada-diri-alamian; dan bahwa bila kita dapat melihat hal ini sebagaimana kenyataannya, maka akan menyebabkan perubahan mendasar dalam diri kita. Kita dapat hidup bebas dari keserakahan, penuh kebahagiaan dan kedamaian. Tapi pengertian teoritis dan konseptual saja tidak akan cukup untuk menyebabkan perubahan itu. Apa bila kita berharap melihat kenyataan seperti apa adanya, kita mesti menelitinya dengan hati-hati. Secara normal, kita bereaksi terhadap semua pengalaman, dengan menyukainya atau pun tidak menyukainya, dengan membandingkannya dan memutuskannya, dan pula tentunya mengindentifikasikannya pada semua pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan dengan selalu berusaha mencari letaknya didalam 'milikku'. Secara singkat, dalam kehidupan keseharian, kita terlibat pada pengalaman-pengalaman dan semua dampaknya, yang kita tidak lihat seperti apa adanya. Pelaksanaan Kesadaran/kemawasan, akan memungkinkan kita untuk 'melangkah keluar' dari pengalaman-pengalaman itu, dan mengamatinya dengan kewaspadaan yang tidak terikat. Dengan melakukan hal ini, kita akan mendapatkan wawasan atau pengetahuan yang lebih tepat dan sama sekali berbeda, dan berkat sikap tak-terikat dan tak-terlibat berarti kita dapat bereaksi pada pengalaman itu dengan cara yang paling tepat, tidak sekadar bereaksi tiba-tiba tak berhati-hati dengan menurutkan kata hati saja.

 176. Sang Buddha mengajarkan Empat Dasar Kesadaran (satipatthana), empat hal yang darinya kita akan menggembangkan kesadaran/kemawasan kita atau mengarahkan kesadaran kita padanya (Empat Dasar Kesadaran tersebut). Bisa dimaklumi, Empat Dasar Kesadaran adalah Kesadaran pada tubuh-jasmani (kayanupassana), Kesadaran pada Perasaan (vedananupassana), Kesadaran pada Batin (cittanupassana), dan Kesadaran pada Keadaan-Keadaan/Obyek-obyek mental (dhammanupassana). Kesadaran pada Tubuh-jasmani berarti kita menyadari pergerakan-pergerakan, ketegangan-ketegangan, datang dan perginya tubuh kita. Sang Buddha melukiskannya sebagai berikut:

          Sewaktu berjalan, dia menghayatinya: "Saya berjalan," atau sewaktu dia berdiri diam, dia menghayatinya: "Saya berdiri diam," atau sewaktu dia duduk, dia menghayatinya: "Saya duduk." Atau sewaktu dia berbaring, dia menghayatinya: "Saya berbaring." Dengan demikian, bagaimanapun kecenderungan tubuhnya, dia menghayatinya bahwa demikianlah keadaannya. Demikian pula, sewaktu dia pergi atau datang, dia bertindak dalam keadaan sadar sepenuhnya; sewaktu dia melihat ke depan atau menoleh ke belakang, sewaktu dia membengkokkan atau merentangkan lengannya, sewaktu dia membawa jubah-luarnya, jubahnya atau mangkuknya, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran penuh. Sewaktu dia makan, minum, mengunyah atau mengecap, sewaktu dia ke peturasan, sewaktu dia berjalan, berdiri, duduk, tertidur atau terbangun, berbicara atau diam, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran sepenuhnya. Sewaktu dia dalam keadaan seperti berikut - rajin, bergairah, berketetapan-hati - semua ingatan-ingatan dan rencana-rencana duniawi dihapusnya, maka dengan sendirinya batin akan reda, tenang, kesatu-titik dan terkonsentrasi. Dengan cara ini seseorang mengembangkan Kesadaran pada Tubuh-jasmani.49

      Kesadaran pada Perasaan-perasaan berarti kita menyadari bermacam-macam sensasi-sensasi/perasaan-perasaan yang timbul dalam diri kita, dan sekali lagi kita sekadar mengamatinya, seakan-akan dari kejauhan terlepas darinya.

          Bagaimana seorang melaksanakan Kesadaran pada Perasaan-perasaan? Sewaktu mengalami perasaan yang menyenangkan, dia mengetahuinya: "Saya sedang mengalami perasaan yang menyenangkan." Sewaktu mengalami perasaan yang menyakitkan, dia mengetahui: "Saya sedang mengalami perasaan yang menyakitkan," dan sewaktu mengalami perasaan yang netral, dia mengetahuinya: "Saya sedang mengalami perasaan yang netral." Sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang duniawi, dia mengetahui bahwa itu adalah duniawi, dan sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang tidak-duniawi, dia mengetahui bahwa itu tidaklah duniawi. Dengan demikian, dia tinggal-berdiam, merenungkan perasaan-perasaan ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya perasaan, atau kesadarannya bahwa "itu adalah perasaan" telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.50

      Kesadaran pada Batin adalah kemawasan pada nilai-nilai dalam batin dari waktu ke waktu; apakah banyak pikiran, apakah terlibat suatu emosi, apakah sedang kacau, dan seterusnya.

          Bagaimana seorang, hidup dengan melaksanakan Kesadaran pada Batin? Menyangkut ini, dia mengetahui batin yang serakah sebagai batin yang serakah, batin yang tidak serakah sebagai batin yang tidak serakah. Batin yang membenci sebagai batin yang membenci, batin yang tidak membenci sebagai batin yang tidak membenci. Batin yang gelap-berkhayal sebagai batin yang gelap-berkhayal, batin yang tidak gelap-berkhayal sebagai batin yang tidak gelap-berkhayal. Batin yang patuh-menurut sebagai batin yang patuh-menurut, batin yang kacau-teralihkan sebagai batin yang kacau-teralihkan, batin yang berkembang sebagai batin yang berkembang, batin yang belum berkembang sebagai batin yang belum berkembang. Dia mengetahui batin yang 'keadaan mental yang tertentu' nya menonjol sebagai batin yang 'keadaan mental-tertentu' nya menonjol, batin yang tidak ditandai 'keadaan mental-tertentu' yang menonjol sebagai batin yang tidak ditandai 'keadaan mental-tertentu' yang menonjol. Dia mengetahui batin yang berkonsentrasi sebagai batin yang terkonsentrasi dan batin yang tidak berkonsentrasi sebagai batin yang tidak terkonsentrasi, batin yang bebas sebagai batin yang terbebas dan batin yang belum bebas sebagai batin yang belum terbebas.

          Jadi, seorang tinggal-berdiam merenungkan batinnya ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya isi batin, atau kesadarannya bahwa "itu adalah batin" telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.51

      Kesadaran pada obyek-obyek mental adalah kemawasan terhadap isi benak dalam batin kita; mendengarkan isi batin, bukannya bereaksi terhadap isi batin.

 177.      Bagaimana melaksanakan Meditasi Kesadaran? Seperti sebelumnya, kita duduk dalam posisi yang nyaman, menutup mata, tangan di pangkuan, lalu melaksanakan meditasi kesadaran pada pernapasan sebentar, sekitar sepuluh menit. Lalu kita memilih salah satu dari Empat Dasar Kesadaran, Kesadaran pada Keadaan-mental adalah yang terbaik untuk memulai latihan kita. Setelah segala pikiran-pikiran memudar, kita semata-mata mengamati pikiran-pikiran yang timbul, menetap sebentar dan menghilang, tanpa beraksi padanya, Sang Buddha melukiskan latihan ini, sebagai berikut: "Lihatlah,pikiran-pikiran timbul; lihatlah, pikiran-pikiran menetap; lihatlah, pikiran-pikiran pergi" (vidita vitakka uppajjanti, vidita upatthahanti, vidita abbattham gacchanti).52 Kita hendaknya menjadi sebagai apa yang disebut oleh Sang Buddha "pengamat-lepas dari isi batin" (ajjhupekkhita).53 Bila tidak ada pikiran (untuk diperhatikan) yang muncul, maka kita kembali saja memperhatikan masuk-keluarnya napas. Sebaliknya juga, bila pikiran sangat kuat menggoda timbul, sehingga sangat sulit menghindar, maka sebaiknya kita juga kembali sebentar memperhatikan pernapasan. Latihan sebaiknya dilakukan sedikitnya satu jam setiap hari. Ada dua hal yang akan berkembang maju, seiring dengan kemajuan meditasi kita, yakni Kesadaran/kemawasan/kewaspadaan (sati), dan Keseimbangan (upekkha), dan bersamanya memberi kebahagiaan yang tenang dan santai. Keadaan ini disebut sebagai Jhana Ketiga dan dilukiskan oleh Sang Buddha sebagai berikut:

          Dengan memudarnya Kegembiraan, seorang tetap seimbang, sadar sepenuhnya, dan dia mengalami di dalam dirinya sendiri kebahagiaan yang disebut oleh Yang Mulia sebagai: "Sangatlah bahagia dia yang tinggal-menetap dalam Keseimbangan dan kesadaran" sebab dia memasuki dan tinggal-menetap dalam Jhana Ketiga. Dan dengan Kebahagiaan yang bebas dari Kegembiraan dia menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagianpun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh Kebahagiaan.
          Bagaikan kolam yang terisi teratai biru, merah atau putih, bunga-bunga tersebut terlahir di dalam air, tumbuh di dalam air dan diberi makan oleh air, tapi belum muncul di permukaan air dan oleh karenanya tertutupi, terisi dan terembesi dengan air sejuk kolam itu; dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.54

      Apabila 'Kesadaran pada obyek-obyek mental' telah berkembang baik, maka hendaknya kesadaran/kemawasan secara bertahap diperluas pada Kesadaran tubuh-jasmani, perasaan, dan pada semua pengalaman-pengalaman, dengan demikian kewaspadaan menyeluruh tercapai.

 178.      Pada tahap ini, perhatian hendaknya semakin bertambah banyak ditujukan untuk mempertahankan Kesadaran, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih salah satu kegiatan sehari-hari kita (sebagai obyek latihan), dan bertekad menerapkan kesadaran sepenuhnya sewaktu melakukan kegiatan tersebut. Kita dapat memilih berbenah-diri di pagi hari, menyiapkan makanan, makan, mandi, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan sebagainya. Bila seorang memilih kegiatan makan, misalnya, maka sewaktu makan dia hendaknya tidak sambil membaca, berbicara, melamun, atau memikirkan rencana-rencana yang akan dilakukan setelah makan; namun mengerahkan perhatian sepenuhnya pada apa yang dihadapinya. Dia hendaknya mengetahui dan mengikuti secara sadar pergerakan tangannya, mengunyah dan merasakan makanan sepenuhnya. Tidaklah harus, bahwa semua gerakan dilakukan secara sangat perlahan, namun dengan sendirinya gerakan akan lebih perlahan dari biasanya. Juga tidak berarti bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan wajah kosong - tanpa ekspressi. Ada pendapat salah yang mengatakan seorang Buddhis hendaknya tidak lagi tersenyum, dan hendaknya tampak serius dari waktu ke waktu. Malah bila Meditasi Kesadaran dilakukan dengan benar, seperti dikatakan Sang Buddha, "roman wajahmu akan jernih" dan "corak kulitmu akan terang dan bercahaya". Penampilan seperti itu hanya dapat diharapkan pada mereka yang bebas dari keruwetan dari dalam dan luar, yang pada umumnya menyeret kebanyakan orang-kebanyakan. Mereka yang sudah mengembangkan kesadaran/kewaspadaan yang kuat, seperti Sang Buddha sendiri, adalah bagaikan bunga teratai, tumbuh ditengah-tengah Lumpur, tapi tidak ternodai karenanya.

          Sang Tathagata hidup bebas, tak tergantung dan terlepas dari tubuh-jasmani, perasaan-perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental, kesadaran-hidup, kelahiran kembali, kelapukan dan gairah-nafsu. Bagaikan teratai biru, merah ataupun putih dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, ketika mencapai permukaan air, tetap seperti itu tak tersentuh oleh air, demikian pula Sang Tathagata, terbebas, tak-melekat dan terlepas dari semuanya tinggal-menetap dengan batin yang batas-batasnya telah dilumpuhkan.55

      Pencapaian Jhana ke empat, dan pelaksanaan/latihan-latihan yang menyusulinya, yang akan mengantar ke pencapaian Nibbana, adalah hal yang sebaiknya dipahami langsung dari mulut seorang guru yang telah terlatih melaksanakannya. Langkah-langkah akhir dari Jalan adalah tapal-batas yang hendaknya dimasuki hanya oleh mereka yang memang telah siap untuk menghentikan segalanya dan bertekad menempuh perjalanan selanjutnya.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:45:38 AM
Realisasi

TIGA PERLINDUNGAN

 179.      Setelah mempelajari ajaran Sang Buddha, maka diantara mereka yang merasakan kebesaran dan kebenaran ajaran Buddha, banyak yang cukup puas dengan mengagumi ajaran itu dari kejauhan. Penghargaan pada Sang Buddha (dan ajaran-Nya) semata-mata belum menjadikan seseorang menjadi Buddhis. Di negara-negara Buddhis tradisional, penduduk ke vihara-vihara, mengikuti acara ritual dan melaksanakan Dhamma sebagai bagian kebudayaan mereka; tetapi tentunya seseorang tidak langsung menjadi Buddhis hanya karena dia terlahir di negara Buddhis. Sebagian orang lagi menelusuri lebih jauh, mempelajari Dhamma dan berusaha sekuat mungkin untuk melaksanakannya, tapi tentunya hanya sepanjang hal tersebut tidak berarti pengorbanan. Sebenarnya, melaksanakan Dhamma hanya bila hal itu mudah atau bila menyenangkan, belum menjadikan seorang menjadi Buddhis. Lalu, bagaimana seorang Buddhis itu? Seorang Buddhis adalah seorang yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

          "Bagaimana, Tuan-ku, seorang menjadi murid awam?"
          "Bila seorang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, maka dia menjadi murid awam."1


 180. Perlindungan (sarana) adalah tempat dimana seseorang menghindar dari bahaya - jadi suatu tempat yang aman, pernaungan aman. Seorang Buddhis melihat samsara, lingkaran lahir dan mati, sebagai bahaya dan penderitaan, dan kemudian melihat Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai suatu tawaran keamanan dan kebahagiaan. Dengan sendirinya dorongan untuk menjalani Jalan hendaknya lebih dari sekadar keinginan terbebas dari samsara. Hendaknya diikutkan, sesuatu yang lebih kuat, yakin keinginan untuk mencapai Nibbana. Keagungan dan kesempurnaan Buddha, Dhamma dan Sangha, bila dimengerti maknanya, akan menarik perhatian kita kepada Mereka. Jadi, Buddha, Dhamma dan Sangha disebut Tiga Perlindungan, sebab kepadanya kita berlindung dari samsara; tetapi dapat dengan tepat juga disebut sebagai Tiga Permata (tiratana) sebab, sebagai permata yang berharga, ke Tiga-nya membangkitkan rasa penghargaan dan kekaguman kita.


 181. Sang Buddha adalah perlindungan dalam arti Beliau mewakili potensi pencapaian kesempurnaan manusia yang paling hakiki. Ucapan dan tindakan-Nya, kasih sayang-Nya pada yang menderita, kesabaran-Nya pada mereka yang tercampak, kebajikan-Nya yang tak ternoda dan kecermatan-Nya; tetap adalah contoh yang sempurna bagi kita untuk dijadikan dasar kehidupan.

      Bila kita bercita-cita kuat untuk meneladani Sang Buddha pada setiap aspek kehidupan kita, maka kita sebenarnya telah siap berlindung pada Buddha, dengan demikian kita memberi arah dan makna baru bagi kehidupan kita. Dhamma adalah perlindungan sebab memberi kita keterangan yang jelas dan rinci mengenai setiap langkah dari Jalan dan tentang tujuan yang kita cita-citakan. Istilah Sangha berarti perhimpunan spiritual atau persahabatan spiritual, dan dalam pengertian teknis, mengacu pada mereka semua yang telah mencapai titik-tanpa-balik dalam Jalan, yakni para Pemenang-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, dan Arahat (lihat 191, 199). Karena mereka jauh lebih maju secara spiritual dibanding kita, maka mereka dapat sangat membantu kita dalam dengan menunjukkan hal-hal yang belum kita lihat atau dengan menjelaskan hal-hal yang tidak dapat kita pahami. Juga, kehadirannya mengisi kita dengan tenaga dan tekad sebab Pencapaian mereka memberi bukti bagi kita bahwa pelaksanaan itu berhasil, bahwa Jalan itu benar menuntun ke kesempurnaan. Tetapi, dalam pengertian umum, Sangha juga berarti mereka yang melaksanakan Dhamma dengan tulus dan bertanggung-jawab, apakah dia bhikkhu, bhikkhuni atau penganut awam sekalipun. Banyak persoalan yang kita hadapi, yang tidak mesti memerlukan bantuan orang Tercerahi untuk memecahkannya. Kadang-kadang kita cukup memerlukan bantuan sahabat sesama Buddhis yang sedikit lebih bijaksana dan lebih berwawasan dari pada kita sendiri. Sahabat sesama Buddhis dapat menawarkan persahabatan, ilham dan petunjuk, dan pada waktu yang sama memberi kita kesempatan untuk mengembangkan diri kita dengan berbagi dan membantu mereka. Bila kita telah siap untuk berperan-serta di dalam persahabatan spiritual yang positif (dalam salah satu dari ke dua pengertian Sangha diatas), maka kita juga telah siap berlindung pada Sangha. Dengan demikian perlindungan pada Tiga Perlindungan memberi kita kekuatan, kepercayaan dan kepastian yang tidak dapat diberi oleh perlindungan yang lain. Sang Buddha bersabda:

          Ke bukit-suci, hutan suci dan belukar-suci
          Ke pohon-suci dan ke kuil-kuil
          Orang-orang pergi, karena tercekam takut.

          Tapi tempat-tempat itu bukanlah perlindungan aman
          Bukan perlindungan terbaik
          Tidak dengan pergi kesana
          Seseorang akan bebas dari penderitaan.

          Tapi siapapun yang berlindung
          Di dalam Buddha, Dhamma dan Sangha
          Akan mengerti kebijaksanaan
          Empat Kebenaran Mulia
          Penderitaan, penyebabnya, penanggulangannya
          Dan Jalan Berjalur Delapan
          Menuntun untuk mengatasinya

          Dan inilah perlindungan yang aman,
          Perlindungan terbaik.
          Dengan berlindung disini,
          Seseorang akan terbebas dari semua penderitaan.2


 182. Menurut seorang komentator terkenal, Buddhagosa, berlindung mempunyai empat aspek.3 Pertama adalah penghormatan. Orang tertentu, bila bertemu dengan orang-lain yang lebih unggul darinya, akan bereaksi dengan kecemburuan atau berusaha menjatuhkan orang-lain. Pikiran bahwa seorang mungkin lebih unggul darinya seakan mengancam keberadaannya. Mereka yang sudah matang sebaliknya akan bereaksi dengan kekaguman dan penghormatan, dan dalam agama Buddha, penghormatan pada kebajikan seseorang atau karena tingkat spiritualnya, adalah suatu sikap mental yang bermanfaat.4 Perasaan hormat kadang-kadang demikian besar sehingga diekspresikan dalam bentuk bahasa badan. Berdiri tegak ketika lagu kebangsaan dikumandangkan, atau sewaktu orang yang lebih tua memasuki ruangan, adalah contoh dari sikap tersebut. Bila kita berlindung pada Tiga Perlindungan, kita menyerahkan diri atau tunduk di depan simbol atau gambar Sang Buddha, sikap badan adalah perwujudan keluar dari perasaan hormat dan syukur dari dalam hati kita. Kita berjanji seperti ini:

          Sejak hari ini, saya akan memberi penghormatan, selalu akan setia, menghormat dengan telapak tangan menyatu dan berlindung hanya pada ke tiga ini: Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian kupermaklumkan!


 183. Pengakuan sebagai murid (sissabhavupagamana) adalah perwujudan lain dari perlindungan tersebut. Di dalam agama Buddha, seperti hal-nya pada umumnya agama timur lain, hubungan antara guru dan murid sangat ditekankan (lihat 116). Sang Buddha menerangkan alasan untuk itu:

          Seorang guru hendaknya memandang muridnya sebagai anaknya sendiri. Seorang murid hendaknya memandang gurunya sebagai ayahnya sendiri. Jadi, ke duanya, disatukan dalam rasa hormat satu sama lain serta tinggal dalam kerukunan bersama, mencapai perkembangan dan kemajuan di dalam Dhamma dan tata-tertib.5

      Walau kita mungkin mempunyai guru yang masih hidup ketika menerima perlindungan ini, namun Sang Buddha tetaplah guru utama kita. Keyakinan yang kokoh yang mendorong kita untuk meminta perlindungan pada Tiga Perlindungan, juga akan menciptakan hubungan spiritual yang unik antara kita dan Sang Buddha, walau dalam kenyataannya Sang Buddha telah mencapai Nibbana. Menyangkut hal ini, Sang Buddha bersabda:

          Dia yang keyakinannya pada Tathagata telah mapan, mantap, tetap, kokoh, tak-tergoyah oleh pertapa atau Brahmin manapun, dewa manapun, Mara, Brahmana, atau siapapun di dunia ini, dapat dengan sebenarnya berkata: "Saya adalah anak sebenarnya dari Tuanku, terlahir dari mulut-Nya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, dan pewaris Dhamma.6

      Kita dapat melihat Sang Buddha dan berhubungan dengan-Nya pada tahap dimana pikiran, ucapan dan tindakan kita sudah selaras dengan Dhamma yang diajar-Nya. Lagi, Beliau bersabda:

      Walau seseorang dapat meraih ujung keliman jubah-Ku dan berjalan selangkah demi selangkah di belakang-Ku; tapi bila dia serakah demi keinginan, sengit dalam kerinduan, dengki dalam hati, batinnya menyimpang, tak berhati-hati dan tak-tertahan, berpikiran-kacau dan ribut, dan batinnya tak-terkendali, dia sebenarnya jauh dari-Ku. Mengapa? Karena dia tidak melihat Dhamma, dan karena tidak melihat Dhamma, maka dia tidak melihat Saya. Namun, walau tinggal ratusan mil jauhnya dari Saya, dia yang tidak serakah dalam keinginan, tidak sengit dalam kerinduan, dengan hati yang baik dan batin yang murni, mawas, sabar, tenang, memusatkan-pikiran, dan batin yang terkendali, maka sebenarnya dia dekat pada Saya, dan Saya dekat pada dia. Mengapa? Karena dia melihat Dhamma, dan karena melihat Dhamma, maka dia melihat Saya.

          Walau badannya dekat membayangi dibelakng-Ku,
          Bila dia tamak dan gelisah,
          Betapa jauhnya dia
          Yang bergolak dari Yang telah damai,
          Yang terbakar dari Yang telah dingin,
          Yang rakus dari Yang telah puas!

          Tetapi dengan mengerti Dhamma sepenuhnya,
          Dan terbebas dari keinginan, berkat wawasannya,
          Yang bijaksana, bersih dari keinginan,
          Tenang bagaikan kolam tak terhembus angin.
          Betapa dekatnya dia
          Yang penuh kedamaian dari Yang telah damai,
          Yang terdinginkan dari Yang telah dingin,
          Yang terpuaskan dari Yang telah puas!7


 184. Namun hubungan bisa terlaksana lebih jauh dari sini. Melalui perenungan berkesinambungan pada kebajikan-kebajikan Sang Buddha, dan ketulusan pada kebesaran-Nya serta dengan mengingat sabda-sabda-Nya, maka kita dapat mengisi seluruh batin kita dengan pengaruh-Nya, sedemikian rupa sehingga kita seakan merasakan kehadiran-Nya. Dan bila kita merasakan kehadiran-Nya, kita bertindak seakan ada dalam kehadiran-Nya, dan kita merasakan kepercayaan-diri sepenuhnya yang dikarenakan kehadiran-Nya.8 Hanya mereka yang benar-benar bersikap setia dan menerima, yang dapat merasakannya. Bagi mereka Sang Buddha bukan lagi pribadi yang jauh dalam sejarah, namun kekuatan yang hidup dengan kesanggupan merubah dan memberi kekuatan. Pengalaman kehadiran Sang Buddha secara baik digambarkan oleh Pingiya, yang melakukan perjalanan panjang untuk melihat dan mendengarkan Sang Buddha. Ketika dia kembali, dia memuji Sang Buddha di depan gurunya, yang kemudian mempertanyakan masalahnya, karena sebagai murid Pingiya jauh dari guru seperti Buddha, lalu Pingiya menjawab:

          Saya tidak dapat jauh, Brahmin, walau sebentar,
          Dari Gotama yang adalah kebijaksanaan agung,
          Dari Gotama yang adalah pengertian agung.

          Dari-Nya, yang mengajarkan saya Dhamma
          Yang tampak-seketika, tak terbatas-waktu,
          Demi penghancuran keserakahan,
          Yang tiada bandingannya dimana pun.

          Dengan mengindahkan-Nya siang dan malam, Brahmin,
          Saya melihat-Nya dengan batin, pula dengan mata,
          Oleh karenanya saya tidak jauh pula dengan Dia.

          Keyakinan, kegembiraan, batin dan kesadaran-Ku
          Tak pernah meninggalkan ajaran Gotama yang agung.
          Disitu saya menundukkan kepala.

          Saya sekarang telah tua, kekuatan telah memudar,
          Oleh karenanya badan ini tidak lagi ke mana-mana,
          Tetapi saya tetap bepergian dengan batin
          Karenanya, Brahmin, saya ada dalam kehadiran-Nya.9

      Aspek selanjutnya dari perlindungan adalah Menerima Petunjuk (tapparayanata), yang telah kita pelajari sebelumnya (lihat 181).

 185. Perwujudan terakhir dari perlindungan adalah Penyerahan-Diri (atta sanniyyatana). Dengan mengambil perlindungan berarti kita mempermaklumkan bahwa kita tidaklah sempurna dan diliputi ketidaktahuan dan bahwa kita memohon petunjuk dan peringatan dari Mereka yang telah mengetahui lebih dari kita.

          Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru dan hidup selaras dengannya, pemahamannya adalah: "Sang Guru adalah Tuan; saya adalah murid. Tuan-ku mengetahui, saya tidak." Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru akan bertumbuh lebih jauh, pemberi kekuatan.10

      Penyerahan diri juga berarti bahwa kita siap menghentikan keinginan sendiri, nafsu yang picik, ambisi duniawi - semuanya, bila memang harus demikian demi pencapaian Nibbana. Kita mewujudkan sikap itu, seperti ini:

          Pada Sang Buddha saya menyerahkan diri saya, pada Dhamma saya menyerahkan diri saya, pada Sangha saya menyerahkan diri saya; saya menyerahkan hidup saya. Penyerahan adalah diri saya, penyerahan adalah hidup saya! Sampai akhir hayatku, saya akan berlindung pada Buddha. Sang Buddha adalah perlindunganku, pernaunganku dan pelindungku.

      Tak diragukan, aspek penyerahan diri dalam Perlindungan memungkinkan Tiga Permata memasuki jiwa kita, mengubahnya tanpa dihalangi oleh keangkuhan dan kesombongan.

 186. Telah kita lihat, menerima Tiga Perlindungan adalah langkah terpenting dalam hidup kita. Sebagai langkah pertama dari Jalan, maka hendaknya pengakuan perlindungan hanya dilaksanakan bila keyakinan dan pengertian kita telah kuat dan bila kita telah sepenuhnya memaklumi makna dari perlindungan itu. Sedemikian pentingnya Perlindungan tersebut, maka orang atau mereka yang menuntun kita untuk menerima Perlindungan itu sebenarnya telah melakukan kebajikan yang sangat tinggi dan oleh karenanya hendaknya dihargai seumur hidup. Sang Buddha bersabda:

          Tiga macam manusia sangatlah membantu pada yang lainnya. Siapa yang tiga itu? Dia yang padanya seseorang memohon perlindungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha; dia yang darinya seseorang mengerti Empat Kebenaran Mulia; dan dia yang padanya seseorang datang untuk menghancurkan kekotoran-batinnya dan untuk mengetahui kebebasan batin sempurna dalam kehidupan ini. Mereka-lah ketiga macam manusia itu.11


 187. Upacara Permohonan Perlindungan (Tisarana Puja) adalah suatu upacara tertua dari segala upacara Buddhis dan berubah hanya sedikit dalam perjalanan sejarah. Orang-orang pertama yang mendengar Dhamma dan kemudian menerimanya adalah dua orang saudagar, Tapussa dan Bhallika yang mewujudkan pengertiannya dengan memohon perlindungan pada Sang Tuan (bhagava) dan pada Dhamma. Hal ini disebut Rumus Lipat-dua (dvevacika), karena pada masa itu, Sangha belum terbentuk.12 Belakangan, kemudian istilah "Buddha" menggantikan istilah "Tuan", dan Perlindungan ke tiga, Sangha ditambahkan dan jadilah Rumus Lipat-tiga (tevacika)13. Tiada perbedaan diantara penganut awam biasa dengan bhikkhu ataupun bhikkhuni, tata cara perjanjian diwujudkan dalam cara yang sama. Setelah mendengarkan Dhamma secara langsung, orang-orang biasanya kemudian menundukkan kepala di depan Sang Buddha sendiri, dan berseru:

          Sangat istimewa Gotama yang baik, sangat istimewa. Ibarat seorang menegakkan sesuatu yang telah bengkok, atau menyingkap sesuatu yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan pada seorang yang tersesat, atau membawakan lampu pada seorang dalam kegelapan sehingga dia dapat melihat segala sesuatunya - demikian pula, dengan berbagai cara Dhamma telah diuraikan oleh pertapa Gotama. Oleh karenanya saya memohon Sang Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai perlindunganku. Semoga pertapa Gotama menerima saya sebagai murid awam, memohon perlindungan sejak hari ini dan selanjutnya sepanjang hidup saya.14

      Pada awalnya, Sang Buddha sendiri yang melaksanakan penahbisan para bhikkhu, tetapi dengan berkembangnya jumlah yang mohon ditahbiskan, Beliau kemudian menunjuk Siswa-Nya untuk melaksanakannya dan menetapkan tata cara pelaksanaannya:

          Saya mengizinkan yang lainnya untuk pergi lebih jauh, menahbis di perkampungan atau dusun manapun. Dan inilah cara seorang pergi lebih jauh, atau menahbis. Pertama, setelah mencukur rambut dan jenggotnya, setelah dia mengenakan jubah kuning, setelah dia dapat mengatur jubah luarnya melalui bahunya, setelah dia bersembah di kaki bhikkhu, setelah dia berlutut dan menyembah dengan mengatupkan kedua telapak tangan, dia hendaknya diberitahu: "Ulangilah ini:
          Saya berlindung pada Buddha,
          saya berlindung pada Dhamma,
          saya berlindung pada Sangha.
          Untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Buddha,
          untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Dhamma,
          untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Sangha.
          Untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Buddha,
          untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Dhamma,
          untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Sangha." Saya memberi izin untuk pergi lebih jauh, untuk menahbiskan mereka yang minta Tiga Perlindungan ini.15

      Dengan berlalunya waktu, keadaan menyebabkan tata cara penahbisan bhikkhu atau bhikkhuni berubah, tetapi permohonan Tiga Perlindungan berlangsung terus dan sampai saat ini tetaplah sebagai pertanda seseorang telah memasuki masyarakat Buddhis.


 188. Setelah akrab dengan kehidupan Buddhis, ajaran Buddha dan mungkin teladan keseharian seorang Buddhis yang kita kenal, membangkitkan keyakinan dan penghargaan kita pada Tiga Perlindungan, kita akan merasakan sendiri kesiapan menerima Perlindungan. Cara-cara pemaksaan, penggusuran, bujukan oleh agama lain untuk merubah agama seseorang, sangat bertentangan dengan pemahaman Buddhis yang mementingkan kematangan penerimaan. Keyakinan dan pengertian sejati adalah setangkai bunga yang semestinya ditunggu mekar sendiri, setelah akarnya diberi pupuk dengan hati-hati melalui penelitian dan pertimbangan matang serta pemikiran.

      Setelah kita siap, kita hendaknya meminta seorang bhikkhu atau bhikkhuni ataupun seorang awam terhormat (pandita), untuk mengurus permohonan Tiga Perlindungan. Setelah ini terlaksana, dan selama kita berjuang dengan kesungguhan di Jalan, maka kita dapat menganggap diri kita sebagai murid sejati dari Sang Buddha. Kita dapat mengucapkan dalam hati, seperti yang pernah diucapkan Santideva:

          Hari ini hidupku telah lengkap,
          Untuk tujuan baik, saya terlahir sebagai manusia.
          Saya terlahir dalam keluarga Sang Buddha,
          Dan sekarang, saya adalah anak Sang Buddha.

          Oleh karenanya apapun tindakan saya sejak sekarang,
          Semestinya sesuai dengan kebiasaan keluarga saya.
          Saya tidak akan pernah menodai atau mencemarkannya,
          Keturunan agung nan tak-tercela ini.16
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:47:41 AM
TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN

 189.      Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.

          Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1


 190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.

          Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2

      Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:

          Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
          "Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
          Setetes demi setetes tempayan air terisi.
          Demikian pula, sedikit demi sedikit,
          Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3

      Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.

 191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:

          Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
          Lebih mulia dibanding terlahir di surga
          Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
          Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4


 192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.

 193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:

          Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5


 194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha "keyakinan" dipandang sangat berbeda.


 195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:

          Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
          Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
          Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
          Tapi keyakinan mendahuluinya.7


 196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:

          Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8


 197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:

          "Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."
          "Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"
          "Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"
          "Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"
          "Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."9

      Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.

      Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.

          Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"
          "Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."
          "Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"
          "Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
          "Berilah perumpamaan."
          "Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."
          "Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"
          "Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
          "Berilah perumpamaan."
          "Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."10


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:48:04 AM
 198. Secara emosional, keyakinan adalah sikap tenang dan ceria yang membebaskan kita dari keraguan dan ketidak-pastian yang mematikan. Bila keyakinan demikian kuat dalam batin, kita seakan melambung kegirangan, bukannya tertekan karena menyadari ketidak-sempurnaan kita, sebab kita yakin bahwa kita mengambil jalan yang benar. Selain dengan cara merenungkan kehidupan dan teladan-teladan dari Sang Buddha, maka ada beberapa hal yang dapat membangkitkan aspek emosional dari keyakinan, misalnya melakukan peribadatan Puja, ataupun sekadar membayangkan patung Sang Buddha. Hal lain yang dapat membangkitkan keyakinan adalah perjalanan ziarah ke empat Tempat Suci: Lumbini, tempat Beliau dilahirkan; Bodh Gaya, tempat Beliau mencapai Pencerahan; Sarnath, tempat Beliau mengajarkan Dhamma pertama kalinya; dan Kusinara, tempat Beliau mencapai Nibbana akhir. Ketegaran dan pengorbanan yang diperlukan untuk perjalanan ziarah, suasana spiritual yang kuat di Tempat-tempat Suci, dan pengetahuan bahwa kita telah mengikuti langkah kaki jutaan manusia yang telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelum kita, membuat perjalanan ziarah menjadi suatu pembangkit keyakinan dan kemurnian dari segalanya. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:

          Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? "Disini Sang Tathagata dilahirkan," adalah yang pertama. "Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna," adalah yang ke dua. "Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma," adalah yang ke tiga. "Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir," adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.11

      Keyakinan adalah penting sebab akan melibatkan dan memacu intelektual, kemauan dan emosi kita dalam pencarian Nibbana. Keyakinan sendiri tidak akan membawa ke Nibbana, tapi bila digabung dengan kebajikan, akan menghancurkan tiga dari Sepuluh Belenggu yang pertama dan menjadikan pencapaian Nibbana sesuatu yang telah pasti. Keyakinan adalah benih (saddha bijam)12 yang darinya bunga kebebasan akan tumbuh.

 199. Tahap berikut yang dicapai dan dilalui secara berangsur dalam perjalanan ke Nibbana, adalah apa yang disebut Yang-Kembali-Sekali (sakadagami). Tahap ini dicapai bila seorang, selain telah mengembangkan Empat Lengan Pemenang-Arus yang menghancurkan tiga Belenggu diatas, juga telah melemahkan dua belenggu berikutnya, nafsu-indriawi dan kehendak-jahat. Yang-Kembali-Sekali akan, seperti sebutannya, terlahir hanya sekali lagi di dunia, walau mungkin saja terlahir lebih dulu di alam dewa beberapa kali, sebelum akhirnya mencapai Nibbana. Bila nafsu-indriawi telah hancur secara lengkap dan kehendak-jahat telah terganti cinta, tahap Yang-Tak-Kembali (anagami) tercapai. Manusia seperti ini, sewaktu mati akan terlahir di alam dewa, dan dari sini akan mencapai Nibbana tanpa terlahir kembali di dunia.

      Dengan terhapusnya Sepuluh Belenggu secara keseluruhan berkat pengembangan kebijaksanaan, seseorang akan mencapai Pencerahan-penuh dan disebut sebagai Arahat. Istilah 'Arahat' secara harfiah berarti 'Yang Mulia', nama yang sangat tepat bagi seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dari pencapaian spiritual manusia. Arahat telah meleburkan semua kotoran-batin lewat kebijaksanaan yang mendalam, dan telah memiliki nilai-nilai spiritual, seperti welas-asih, tak-tergantung, kejujuran dan kebijaksanaan seutuhnya. Seorang Arahat, sewaktu kematian raganya, mencapai kedamaian dan kebahagiaan abadi Nibbana. Hal lain yang penting diketahui, ialah bahwa setelah menjadi Pemenang-Arus, seorang bisa dapat menyelesaikan tiga tahap selanjutnya dalam beberapa tahun, satu kehidupan, beberapa kehidupan, paling banyak dalam tujuh kali kehidupan.

 200. Apa perbedaan antara seorang Arahat dan Buddha? Ciri khas dari seorang Buddha adalah pengejawantahan dari kebijaksanaan yang sempurna (pañña) dan welas-asih yang sempurna (karuna). Kebijaksanaan sempurna adalah realisasi Buddha dari Pengetahuan Lipat-tiga (tevijja), pengetahuan kehidupan-kehidupan sebelumnya, pengetahuan muncul dan matinya makhluk-makhluk, dan pengetahuan tentang hancurnya kotoran-kotoran batin (lihat 210). Welas-asih yang sempurna mendorong dan merembes setiap aspek dalam perilaku seorang Buddha. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri "terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk", Beliau mengajarkannya dikarenakan "perasaan yang terbit dari welas-asih", Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena "perasaan yang terbit dari welas-asih", dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena "perasaan yang terbit dari welas-asih" Beliau sendiri berkata pada kita:

          Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.13

      Matrceta mengagungkan welas-asih yang mulia dari Sang Buddha lewat sajaknya yang indah, bernama Satapañcasatka:

          Dikau baik, walau tidak dipinta,
          Dikau mencintai tanpa alasan,
          Dikau sahabat bagi yang asing tercampakkan,
          Dan Dikau menjadi sanak bagi yang tak bersanak.

          Perbuatan baik Dikau puji,
          Perbuatan buruk Dikau persalahkan,
          Tapi pada mereka yang bertindak demikian,
          Dikau bebas dari 'memihak' atau 'tidak memihak'.

          Walau Dikau lebih menyenangi ketenangan menyendiri
          Welas-asih mendorong-Mu melewati waktu
          Bersama kerumunan orang-banyak.

          Bagaikan naga yang perkasa,
          Keluar dari danaunya dengan pesona
          Welas-asih mendorong-Mu pindah dari hutan ke kota
          Demi keselamatan mereka yang akan belajar.

          Dikau memperingatkan yang keras-kepala, menahan yang gegabah.
          Dan meluruskan yang menyimpang.
          Dikau memberi semangat pada yang lamban dan mengekang yang gegabah
          Sebenarnyalah, Dikau adalah penuntun yang tiada bandingannya bagi manusia.

          Permusuhan malah membangkitkan kehangatan-Mu,
          Kebejatan menerima bantuan-Mu,
          Yang ganas menemukan kelembutan-Mu.
          Betapa mempesona hati-Mu yang agung!

          Dengan batin yang tak-terikat.
          Dikau bekerja tenang demi kesejahteraan dunia.
          Betapa mengagumkan seorang Buddha - keberadaan alami seorang Buddha!

          Dikau makan makanan miskin, terkadang kelaparan.
          Dikau menelusuri jalan-jalan kasar dan Dikau tidur beralas tanah,
          Yang keras terinjak oleh kaki ternak

          Dikau adalah Raja,
          Tapi Dikau tidak bertindak seolah kuasa pada lainnya
          Semua dapat menggunakan Dikau seakan pelayannya
          Untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan

          Dikau membantu mereka yang ingin mencelakakan-Mu
          Melebihi orang yang membantu dia yang baik padanya.
          Kepada musuh yang berkehendak jahat,
          Dikau adalah sahabat yang berkehendak baik padanya.
          Kepada mereka yang senang mencari kesalahan-kesalahan
          Dikau malah, mencari kebajikan-kebajikannya.14


 201. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:

          "Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.15

      Sang Buddha bagaikan perintis yang membuka jalan di dalam hutan dan menemukan lembah subur nan indah, sedang para Arahat lain bagaikan mereka yang mengikuti jalan yang dibuka perintis itu dan lalu pindah menetap ke lembah itu pula. Seorang Buddha dan Arahat sama-sama berjalan di jalan yang sama dan juga sama-sama tiba di tujuan yang sama yakni Nibbana. Letak perbedaannya adalah Buddha adalah penemu dan tiba terlebih dahulu di Nibbana, sedang Arahat menemukannya sebagai hasil rintisan Buddha. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:

          "Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?"
          "Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua."
          "Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi."16


 202. Pada zaman Sang Buddha, banyak istilah yang digunakan untuk melukiskan seorang yang telah mencapai Nibbana - Buddha (Dia yang telah bangun), Tathagata (Dia yang telah datang; ataupun, Dia yang telah pergi), Arahat (Dia yang mulia), Muni (Dia yang tenang), Brahmin (Dia yang tertinggi), Vedagu (Yang mengetahui) - dan semua istilah ini digunakan baik untuk Sang Buddha maupun Siswa-siswa-Nya yang telah Tercerahi. Lalu, secara berangsur istilah Buddha dan Tathagata hanya digunakan untuk Buddha sendiri, hal ini untuk membedakan-Nya dari Siswa Tercerahi, yang seperti dikatakan diatas, disebut Arahat. Lalu, berabad-abad setelah Parinibbana Sang Buddha, dirasakan oleh sebagian pengikut Sang Buddha bahwa perbedaan antara Buddha dan Arahat, lebih dari sekadar perbedaan antara perintis dan pengikut. Mereka percaya bahwa Sang Buddha mencapai Nibbana lebih tinggi, lebih lengkap dari pada yang dicapai para Arahat. Mereka menganut paham yang salah ini, dengan sendirinya menganggap adalah lebih baik menjadi Buddha dari pada mencapai 'ke-Arahat-an kelas dua". Mereka yang memahami ajaran Sang Buddha dengan tepat, tetap bertahan bahwa perwujudan Buddha dan Arahat adalah sama. Kelompok yang lain mempertahankannya sebagai berbeda. Sejumlah legenda-legenda fantastik kemudian dicangkokkan pada riwayat kehidupan Sang Buddha, demi untuk menekankan "perbedaan kedua tingkat" tersebut. Akhirnya, perpecahan tidak dapat dihindari. Kelompok yang berkehendak mengambil Jalan ke Pencerahan "yang lebih sempurna", dan menyebut kelompoknya sebagai Mahayana, Jalan Besar atau Jalan Lebih-tinggi serta menyebut mereka yang memilih Jalan ke Pencerahan "kelas-dua" sebagai kelompok Hinayana, Jalan Kecil atau Jalan Lebih-rendah. Abad-abad berikutnya semakin ditandai dengan perbedaan-perbedaan pemahaman diantara ke dua kelompok ini, malah juga dalam kelompoknya sendiri masing-masing. Tetapi kenyataan sebenarnya, semua perbedaan ini timbul dari kemampuan untuk menyadari, bahwa hanya ada satu keadaan Nibbana dan bahwa hanya ada 'mereka yang sudah' dan 'mereka yang belum' Tercerahi.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:49:25 AM
TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN

 189.      Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.

          Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1


 190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.

          Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2

      Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:

          Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
          "Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
          Setetes demi setetes tempayan air terisi.
          Demikian pula, sedikit demi sedikit,
          Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3

      Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.

 191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:

          Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
          Lebih mulia dibanding terlahir di surga
          Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
          Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4


 192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.

 193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:

          Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5


 194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha "keyakinan" dipandang sangat berbeda.


 195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:

          Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
          Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
          Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
          Tapi keyakinan mendahuluinya.7


 196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:

          Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8


 197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:

          "Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."
          "Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"
          "Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"
          "Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"
          "Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."9

      Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.

      Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.

          Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"
          "Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."
          "Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"
          "Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
          "Berilah perumpamaan."
          "Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."
          "Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"
          "Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
          "Berilah perumpamaan."
          "Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."10


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:49:39 AM
 198. Secara emosional, keyakinan adalah sikap tenang dan ceria yang membebaskan kita dari keraguan dan ketidak-pastian yang mematikan. Bila keyakinan demikian kuat dalam batin, kita seakan melambung kegirangan, bukannya tertekan karena menyadari ketidak-sempurnaan kita, sebab kita yakin bahwa kita mengambil jalan yang benar. Selain dengan cara merenungkan kehidupan dan teladan-teladan dari Sang Buddha, maka ada beberapa hal yang dapat membangkitkan aspek emosional dari keyakinan, misalnya melakukan peribadatan Puja, ataupun sekadar membayangkan patung Sang Buddha. Hal lain yang dapat membangkitkan keyakinan adalah perjalanan ziarah ke empat Tempat Suci: Lumbini, tempat Beliau dilahirkan; Bodh Gaya, tempat Beliau mencapai Pencerahan; Sarnath, tempat Beliau mengajarkan Dhamma pertama kalinya; dan Kusinara, tempat Beliau mencapai Nibbana akhir. Ketegaran dan pengorbanan yang diperlukan untuk perjalanan ziarah, suasana spiritual yang kuat di Tempat-tempat Suci, dan pengetahuan bahwa kita telah mengikuti langkah kaki jutaan manusia yang telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelum kita, membuat perjalanan ziarah menjadi suatu pembangkit keyakinan dan kemurnian dari segalanya. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:

          Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? "Disini Sang Tathagata dilahirkan," adalah yang pertama. "Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna," adalah yang ke dua. "Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma," adalah yang ke tiga. "Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir," adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.11

      Keyakinan adalah penting sebab akan melibatkan dan memacu intelektual, kemauan dan emosi kita dalam pencarian Nibbana. Keyakinan sendiri tidak akan membawa ke Nibbana, tapi bila digabung dengan kebajikan, akan menghancurkan tiga dari Sepuluh Belenggu yang pertama dan menjadikan pencapaian Nibbana sesuatu yang telah pasti. Keyakinan adalah benih (saddha bijam)12 yang darinya bunga kebebasan akan tumbuh.

 199. Tahap berikut yang dicapai dan dilalui secara berangsur dalam perjalanan ke Nibbana, adalah apa yang disebut Yang-Kembali-Sekali (sakadagami). Tahap ini dicapai bila seorang, selain telah mengembangkan Empat Lengan Pemenang-Arus yang menghancurkan tiga Belenggu diatas, juga telah melemahkan dua belenggu berikutnya, nafsu-indriawi dan kehendak-jahat. Yang-Kembali-Sekali akan, seperti sebutannya, terlahir hanya sekali lagi di dunia, walau mungkin saja terlahir lebih dulu di alam dewa beberapa kali, sebelum akhirnya mencapai Nibbana. Bila nafsu-indriawi telah hancur secara lengkap dan kehendak-jahat telah terganti cinta, tahap Yang-Tak-Kembali (anagami) tercapai. Manusia seperti ini, sewaktu mati akan terlahir di alam dewa, dan dari sini akan mencapai Nibbana tanpa terlahir kembali di dunia.

      Dengan terhapusnya Sepuluh Belenggu secara keseluruhan berkat pengembangan kebijaksanaan, seseorang akan mencapai Pencerahan-penuh dan disebut sebagai Arahat. Istilah 'Arahat' secara harfiah berarti 'Yang Mulia', nama yang sangat tepat bagi seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dari pencapaian spiritual manusia. Arahat telah meleburkan semua kotoran-batin lewat kebijaksanaan yang mendalam, dan telah memiliki nilai-nilai spiritual, seperti welas-asih, tak-tergantung, kejujuran dan kebijaksanaan seutuhnya. Seorang Arahat, sewaktu kematian raganya, mencapai kedamaian dan kebahagiaan abadi Nibbana. Hal lain yang penting diketahui, ialah bahwa setelah menjadi Pemenang-Arus, seorang bisa dapat menyelesaikan tiga tahap selanjutnya dalam beberapa tahun, satu kehidupan, beberapa kehidupan, paling banyak dalam tujuh kali kehidupan.

 200. Apa perbedaan antara seorang Arahat dan Buddha? Ciri khas dari seorang Buddha adalah pengejawantahan dari kebijaksanaan yang sempurna (pañña) dan welas-asih yang sempurna (karuna). Kebijaksanaan sempurna adalah realisasi Buddha dari Pengetahuan Lipat-tiga (tevijja), pengetahuan kehidupan-kehidupan sebelumnya, pengetahuan muncul dan matinya makhluk-makhluk, dan pengetahuan tentang hancurnya kotoran-kotoran batin (lihat 210). Welas-asih yang sempurna mendorong dan merembes setiap aspek dalam perilaku seorang Buddha. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri "terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk", Beliau mengajarkannya dikarenakan "perasaan yang terbit dari welas-asih", Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena "perasaan yang terbit dari welas-asih", dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena "perasaan yang terbit dari welas-asih" Beliau sendiri berkata pada kita:

          Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.13

      Matrceta mengagungkan welas-asih yang mulia dari Sang Buddha lewat sajaknya yang indah, bernama Satapañcasatka:

          Dikau baik, walau tidak dipinta,
          Dikau mencintai tanpa alasan,
          Dikau sahabat bagi yang asing tercampakkan,
          Dan Dikau menjadi sanak bagi yang tak bersanak.

          Perbuatan baik Dikau puji,
          Perbuatan buruk Dikau persalahkan,
          Tapi pada mereka yang bertindak demikian,
          Dikau bebas dari 'memihak' atau 'tidak memihak'.

          Walau Dikau lebih menyenangi ketenangan menyendiri
          Welas-asih mendorong-Mu melewati waktu
          Bersama kerumunan orang-banyak.

          Bagaikan naga yang perkasa,
          Keluar dari danaunya dengan pesona
          Welas-asih mendorong-Mu pindah dari hutan ke kota
          Demi keselamatan mereka yang akan belajar.

          Dikau memperingatkan yang keras-kepala, menahan yang gegabah.
          Dan meluruskan yang menyimpang.
          Dikau memberi semangat pada yang lamban dan mengekang yang gegabah
          Sebenarnyalah, Dikau adalah penuntun yang tiada bandingannya bagi manusia.

          Permusuhan malah membangkitkan kehangatan-Mu,
          Kebejatan menerima bantuan-Mu,
          Yang ganas menemukan kelembutan-Mu.
          Betapa mempesona hati-Mu yang agung!

          Dengan batin yang tak-terikat.
          Dikau bekerja tenang demi kesejahteraan dunia.
          Betapa mengagumkan seorang Buddha - keberadaan alami seorang Buddha!

          Dikau makan makanan miskin, terkadang kelaparan.
          Dikau menelusuri jalan-jalan kasar dan Dikau tidur beralas tanah,
          Yang keras terinjak oleh kaki ternak

          Dikau adalah Raja,
          Tapi Dikau tidak bertindak seolah kuasa pada lainnya
          Semua dapat menggunakan Dikau seakan pelayannya
          Untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan

          Dikau membantu mereka yang ingin mencelakakan-Mu
          Melebihi orang yang membantu dia yang baik padanya.
          Kepada musuh yang berkehendak jahat,
          Dikau adalah sahabat yang berkehendak baik padanya.
          Kepada mereka yang senang mencari kesalahan-kesalahan
          Dikau malah, mencari kebajikan-kebajikannya.14


 201. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:

          "Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.15

      Sang Buddha bagaikan perintis yang membuka jalan di dalam hutan dan menemukan lembah subur nan indah, sedang para Arahat lain bagaikan mereka yang mengikuti jalan yang dibuka perintis itu dan lalu pindah menetap ke lembah itu pula. Seorang Buddha dan Arahat sama-sama berjalan di jalan yang sama dan juga sama-sama tiba di tujuan yang sama yakni Nibbana. Letak perbedaannya adalah Buddha adalah penemu dan tiba terlebih dahulu di Nibbana, sedang Arahat menemukannya sebagai hasil rintisan Buddha. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:

          "Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?"
          "Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua."
          "Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi."16


 202. Pada zaman Sang Buddha, banyak istilah yang digunakan untuk melukiskan seorang yang telah mencapai Nibbana - Buddha (Dia yang telah bangun), Tathagata (Dia yang telah datang; ataupun, Dia yang telah pergi), Arahat (Dia yang mulia), Muni (Dia yang tenang), Brahmin (Dia yang tertinggi), Vedagu (Yang mengetahui) - dan semua istilah ini digunakan baik untuk Sang Buddha maupun Siswa-siswa-Nya yang telah Tercerahi. Lalu, secara berangsur istilah Buddha dan Tathagata hanya digunakan untuk Buddha sendiri, hal ini untuk membedakan-Nya dari Siswa Tercerahi, yang seperti dikatakan diatas, disebut Arahat. Lalu, berabad-abad setelah Parinibbana Sang Buddha, dirasakan oleh sebagian pengikut Sang Buddha bahwa perbedaan antara Buddha dan Arahat, lebih dari sekadar perbedaan antara perintis dan pengikut. Mereka percaya bahwa Sang Buddha mencapai Nibbana lebih tinggi, lebih lengkap dari pada yang dicapai para Arahat. Mereka menganut paham yang salah ini, dengan sendirinya menganggap adalah lebih baik menjadi Buddha dari pada mencapai 'ke-Arahat-an kelas dua". Mereka yang memahami ajaran Sang Buddha dengan tepat, tetap bertahan bahwa perwujudan Buddha dan Arahat adalah sama. Kelompok yang lain mempertahankannya sebagai berbeda. Sejumlah legenda-legenda fantastik kemudian dicangkokkan pada riwayat kehidupan Sang Buddha, demi untuk menekankan "perbedaan kedua tingkat" tersebut. Akhirnya, perpecahan tidak dapat dihindari. Kelompok yang berkehendak mengambil Jalan ke Pencerahan "yang lebih sempurna", dan menyebut kelompoknya sebagai Mahayana, Jalan Besar atau Jalan Lebih-tinggi serta menyebut mereka yang memilih Jalan ke Pencerahan "kelas-dua" sebagai kelompok Hinayana, Jalan Kecil atau Jalan Lebih-rendah. Abad-abad berikutnya semakin ditandai dengan perbedaan-perbedaan pemahaman diantara ke dua kelompok ini, malah juga dalam kelompoknya sendiri masing-masing. Tetapi kenyataan sebenarnya, semua perbedaan ini timbul dari kemampuan untuk menyadari, bahwa hanya ada satu keadaan Nibbana dan bahwa hanya ada 'mereka yang sudah' dan 'mereka yang belum' Tercerahi.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:51:24 AM
KEHIDUPAN SANG BUDDHA

 203. Mungkin jalan yang terbaik, untuk dapat mengerti, bagaimana tipe manusia yang telah dapat mewujudkan Nibbana, adalah dengan mempelajari, kehidupan dan kepribadian dari Sang Buddha. Kehidupan Sang Buddha tidak hanya menunjukkan bahwa Nibbana adalah suatu yang mungkin (dicapai), tapi juga menunjukkan bagaimana sebenarnya perwujudan itu. Di dalam Tipitaka tidak ditemukan biografi (riwayat hidup, yang ditulis orang lain) aktual dari Sang Buddha, walaupun banyak bahan-bahan autobiografi (riwayat hidup, sesuai penuturan orangnya sendiri) dan informasi berupa suntingan-suntingan biografi tersebar di dalam bagian-bagian kitab ini. Sewaktu Sang Buddha hidup, dan mungkin satu generasi setelah kemangkatan-Nya, suatu biografi tidaklah diperlukan, sebab Sang Buddha masih ada, atau setidaknya sejumlah orang yang pernah mengenal Beliau masih dapat memberi informasi tentang Beliau. Dengan perjalanan waktu, seperti layaknya orang-besar, orang-orang kemudian ingin mengetahui secara lebih rinci setiap aspek kehidupan Sang Buddha, dan Tipitaka ternyata hanya merekam kejadian-kejadian utama dalam kehidupan Beliau. Legenda-legenda kemudian bermunculan untuk menutupi kekurangan itu. Dan waktu itu, suatu biografi telah dibutuhkan. Orang yang pertama kali berusaha mewujudkannya adalah Mahavastu, yang menghasilkan suatu karya yang bercampur-aduk antara kenyataan dan fiksi, sejarah dan legenda. Dalam riwayat-hidup ini Sang Buddha terkadang tampil sebagai manusia, tapi dalam beberapa bagian Beliau dilukiskan semakin menyerupai manusia super. Tulisan riwayat-hidup lain, Lalitavistara berisikan legenda yang dilebih-lebihkan dan bertele-tele sedemikian rupa, sehingga sisi sejarah dari riwayat Beliau telah kabur sama sekali. Kemungkinan tulisan riwayat hidup yang terbaik, Buddhacarita adalah karya pujangga Asvaghosa sekitar abad pertama sesudah Masehi.1 Di dalam karyanya, Asvaghosa sebagai pujangga, akhirnya menghasilkan biografi yang tepat dan dapat diterima. Semua keterangan mengenai Sang Buddha setelah itu didasarkan atas informasi Tipitaka dan bahan-bahan legendaris darinya serta karya-karya yang muncul belakangan. Kita akan melihat informasi tentang kehidupan Sang Buddha sesuai Tipitaka, tanpa mencampur-adukkan dengan laporan legendaris yang muncul belakangan.

 204. Suku Sakya adalah suku ksatria yang bertempat tinggal di suatu kerajaan kecil yang dibatasi di sebelah Utara oleh kaki pegunungan Himalaya. Ibu-kotanya Kapilavatthu "kaya, bermasa-depan cerah, terkenal, banyak lelaki, serta dihuni oleh banyak orang".2 Tampaknya, orang-orang Sakya diperintah raja, yang diangkat bukan berdasar keturunan, tapi dipilih oleh dan diantara sesepuh. Salah satu dari raja itu, Suddhodana, mempunyai dua permaisuri, Maha Maya dan Maha Pajapati Gotami, yang adalah bersaudara. Sewaktu Ratu Maha Maya hamil dan hampir tiba waktunya melahirkan, beliau meninggalkan Kapilavatthu untuk mengunjungi orang-tuanya, untuk melahirkan ditempat mereka, sesuai tradisi di masa itu. Sewaktu ratu dan rombongannya mendekati Taman Lumbini, rasa sakit sebagai tanda kelahiran mulai dirasakan oleh ratu, oleh karenanya mereka memutuskan untuk berhenti di taman itu. Maha Maya diistirahatkan dinaungan pohon sal dan dengan dikelilingi oleh para dayang-dayang, beliau melahirkan seorang anak laki-laki. Saat itu adalah bulan purnama dibulan Mei (Vesaka) di tahun 563 sebelum Masehi.

 205. Pada saat itu, ditempat lain, seorang pertapa bernama Asita, terhentak karena menyadai bahwa semua makhluk di surga serentak bersorak gembira, dia lalu menanyakan alasan kegembiraan mereka itu, mereka menjawab:

          Disuatu desa bernama Lumbini di wilayah suku Sakya, seorang Bodhisattva telah dilahirkan, suatu permata tanpa bandingan. Inilah yang menyebabkan kami begitu gembira, begitu senang, bersorak-riang.

          Dia adalah yang terbesar diantara makhluk, terpuncak, pemimpin diantara manusia, yang tertinggi. Raja para makhluk, terkuat, mengaum seperti singa, akan memutar roda Dhamma di Isipatana.3

      Lalu, Asita bergegas meninggalkan tempatnya untuk menemui anak yang khusus ini. Sementara itu, ratu dan rombongannya telah meninggalkan Taman Lumbini, pulang kembali ke Kapilavatthu. Dikarenakan bayi yang baru lahir ini adalah laki-laki, Suddhodana dan seluruh isi istana bergembira merayakannya, dan sementara perayaan berlangsung, pertapa Asita tiba dan bermohon agar dapat melihat pangeran yang masih bayi itu.

          Jadi mereka memperlihatkan anak itu pada Asita. Dia begitu bersinar, berkilauan dan cantik. Melihat anak itu, bagaikan melihat mas yang masih panas diambil dari tungku oleh pandai-mas.

          Begitu melihat anak itu, berkilat bagaikan api, bercahaya bagaikan bintang yang melintasi langit di malam hari, bersinar bagaikan matahari dilangit yang cerah, sang pendeta merasakan kegembiraan dan kebahagiaan.4

      Kekuatan meditasi Asita yang telah dilatihnya bertahun-tahun dan juga kehidupannya yang suci, memungkinkan dia memiliki kekuatan yang dapat menerawangi bahwa Sang Pangeran tidaklah seperti anak biasa pada umumnya, dan bahwa di kemudian hari akan mencapai Pencerahan dan mempermaklumkan ajaran baru demi kebaikan semua orang. Tetapi setelah dia menyadari bahwa dia telah akan mati sebelum peristiwa itu terjadi dan karenanya dia tidak akan dapat mendengarkan ajaran baru itu, dia mulai meratap sedih. Suddhodana menyaksikan semua ini dengan cemas, karena berpikir bahwa mungkin Asita telah melihat tanda tidak baik pada diri sang pangeran di hari depannya; Asita kemudian menjelaskan pada raja, hal yang menyebabkan dia menangis, dan kembali menenangkan raja.

          Melihat orang-orang Sakya bersusah-hati, pendeta kemudian berkata: "Saya tidak melihat nasib sial pada diri pangeran. Ataupun halangan yang akan merintanginya. Sebab dirinya adalah bayi yang amat istimewa. Oleh karenanya janganlah kwatir.

          "Pangeran ini akan mencapai Pencerahan Sempurna dan dengan penglihatan agung dia akan memutar roda Dhamma demi welas-asih pada semua makhluk. Dia akan mengajarkan kehidupan suci secara menyeluruh.

          "Tapi tinggal sedikit usia kehidupan saya. Saya akan mati sebelum kejadian itu terjadi dan tidak akan mendengarkan Dhamma. Inilah yang menyebabkan saya demikian sedih dan tidak berbahagia.5


 206. Segera setelah itu, upacara pemberian nama dilaksanakan, sang pangeran diberi nama Siddhattha, yang berarti 'dia yang mencapai cita-citanya'. Nama keluarganya adalah Gotama, dengan demikian nama lengkapnya adalah Siddhattha Gotama. Tujuh hari setelah kelahirannya ibu pangeran meninggal dunia, dan selanjutnya beliau dirawat dan dibesarkan oleh bibinya, Pajapati Gotami.

 207. Sebagai anak raja, Pangeran Siddhattha terlatih baik dalam latihan keperkasaan, pula dalam hal tradisi dan kesusasteraan suku Sakya. Dia dikawinkan pada usia muda pada seorang gadis bangsawan bernama Yasodhara6, dan hidup dalam kemewahan dan keagungan.

          Saya dibesarkan dengan kelembutan, sangat lembut dibesarkan, teramat lembut dibesarkan. Kolam dengan teratai biru, putih dan merah, dibuat di rumah ayahku semata-mata untukku. Saya tidak menggunakan kayu cendana selain yang didatangkan dari Benares, turban, serban, jubah, pakaian bawah dan jubah-luar semuanya buatan Benares. Payung putih senantiasa menaungiku siang dan malam, sehingga tidak ada dingin atau panas, debu, kotoran atau embun yang akan mengotoriku. Saya memiliki tiga istana - satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Di dalam istana untuk musim hujan, saya dihibur oleh para pemusik wanita, dan selama empat bulan di musim hujan itu, saya tidak pernah meninggalkan istana. Dirumah-rumah orang lain, hanya serpihan nasi dan sup miju-miju yang diberikan pada para pelayan, tapi dirumah ayahku, para pelayan memakan nasi putih yang baik dan daging.7

      Namun, walaupun memperoleh semua kekayaan dan kekuasaan yang dapat dibelinya, Pangeran Siddhattha tidaklah berbahagia. Secara berangsur Beliau menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya datang dari kepuasan batin, bukan dari pemilikan dan penghormatan semata, oleh karenanya dari hari ke bari Beliau tambah tidak tertarik lagi pada kesenangan duniawi yang disediakan untuknya. Suatu hari, sewaktu perayaan panen, ketika ayahanda-Nya menanam benih pertama pada upacara tersebut, Pangeran Siddhattha merasa masuk ke dalam keadaan meditasi yang dalam dan damai. Sejak saat itu, Beliau tambah tertarik pada kehidupan rohaniah dibanding kehidupan jasmaniah. Menurut legenda, suatu hari ketika mengendarai kereta-Nya melewati jalan-jalan di Kapilavatthu, Beliau melihat apa yang kemudian disebut sebagai Empat Penglihatan: orang-tua disanggah oleh tongkatnya, pengemis berpenyakit, mayat yang diusung menuju perabuan, dan seorang pertapa pengembara. Bagi Pangeran Siddhattha, tiga pemandangan yang pertama melambangkan penderitaan manusia, sedang pemandangan ke empat melambangkan usaha untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Dia melukiskan pengalamannya sebagai berikut:

          Sekarang, sebelum Pencerahan, ketika saya masih seorang bodhisatta, belum tercerahi, masih akan mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian, saya masih mencari hal-hal yang menyebabkan kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian. Lalu, saya berpikir: "Kenapa saya lakukan ini? Menjadikan diri saya mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian dan melihat kesulitan-kesulitan didalamnya, mengapa saya tidak mencari hal yang menyebabkan tidak terlahir, keamanan sempurna yang tak tertandingi - Nibbana?8

      Pada usia ke dua puluh sembilan, Pangeran Siddhattha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Isterinya Yasodhara baru saja melahirkan seorang putra, yang kemudian diberi nama Rahula; kelahiran putranya dan ketidaksetujuan ayahandanya, menyebabkan keputusan yang diambil itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan menyakitkan. Tapi dia teguh dalam tekadnya:

          Lalu, setelah melewati masa muda, dengan rambut hitam pekat, masa keceriaan pemuda, masa terbaik dalam hidup, dan walau diratapi dan ditangisi oleh orang-tuaku yang tak merelakanku, saya memotong rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan pergi jauh dari rumah menjadi tak-berumah.9


 208. Beliau mengembara dari wilayah orang Sakya menuju kerajaan Magadha untuk mencari guru. Di India, pada masa itu, sangat banyak guru dan filsuf pengembara, semuanya mengemukakan teori yang berbeda dan berusaha menarik murid-murid diantara para pertapa maupun para perumahtangga. Pangeran Siddhattha memutuskan untuk belajar pada Alara Kalama, salah satu guru yang terkenal pada saat itu. Dia berkata:

          Setelah pergi lebih jauh, menjadi pencari kebaikan, mencari jalan kedamaian yang tak terbandingkan, tak tertandingi, Saya mendekati Alara Kalama dan berkata: "Saya ingin kehidupan suci didalam ajaran dan asuhanmu." Alara Kalama berkata pada saya: "Bila demikian, marilah, tuan, ajaran ini menjadikan orang pandai dengan segera, dengan bantuan guru, wujudkanlah, berdiamlah didalamnya." Tidak lama kemudian, saya telah dapat menguasai ajarannya. Saya permaklumkan, sepanjang hanya menyangkut pengulangan dan penghafalan, saya dapat berbicara dengan pengetahuan dan kepastian. Saya tahu dan mengerti, dan tidak hanya saya.

          Lalu saya berpikir: "Tidak berdasar keyakinan saja Alara Kalama mengajarkan ajaran, tapi karena dia mewujudkannya lewat pengetahuan langsung, dia mengetahui dan mengerti secara pasti." Lalu, saya menemui Alara Kalama dan berkata padanya: "Bagaimana engkau dapat mengetahui dan mewujudkannya lewat pengetahuan langsung sendiri?" Lalu dia mengajarkan saya tentang masalah kekosongan. Lalu, saya berpikir: "Bukan Alara Kalama saja yang mempunyai keyakinan, tenaga, kemawasan, konsentrasi-pikiran dan pengertian; saya juga memilikinya. Bagaimana kalau saya berlatih mengendalikan dan mewujudkan ajaran yang telah diwujudkan lewat pengetahuan langsung?" Tak lama setelah saya melakukan ini, dan berhasil mewujudkannya saya memberitahu Alara Kalama, dan dia berkata: "Suatu keberuntungan, yang mulia, benar-benar suatu keberuntungan bahwa kami mempunyai sahabat seiring dalam kehidupan suci ini. Ajaran yang telah saya wujudkan lewat pengetahuan langsung, juga telah kau miliki. Apa yang saya tahu, engkau juga tahu; seperti saya, demikian pula engkau. Marilah, tuan yang mulia, mari kta pimpin bersama kelopok kita ini." Kemudian Alara Kalama, guruku menempatkan saya, muridnya, pada derajat yang sama dengannya dan menganugerahi saya kehormatan tertinggi.10


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:51:54 AM
 209. Tetapi Pangeran Siddhattha tidak berkeinginan menjadi guru, pemimpin dalam kelompok ini; beliau ingin mencapai kebebasan batin sempurna. Dengan penuh rasa terima kasih pada Alara Kalama, namun karena yakin bahwa Alara Kalama tidak dapat mengajarnya lebih jauh, Pangeran lalu berpamit-diri untuk mencari guru lain lagi. Dia menemui Uddaka Ramaputta, seorang guru termahsyur lainnya kala itu, dan mulai belajar dibawah bimbingannya. Uddaka Ramaputta mengajarnya cara pencapaian tingkat meditasi yang disebutnya 'Tingkat yang Bukan-Pencerapan, bukan pula Bukan-Pencerapan', tapi juga Uddaka Ramaputta tidak dapat mengajarnya sesuatu yang lebih tinggi, beliau pun meninggalkannya lagi. Sesudah itu, beliau memutuskan untuk mencoba metoda 'pemusnahan diri' demi menghapus seluruh nafsu dan memurnikan batin. Pertama Beliau mencoba sekuat mungkin untuk menghentikan batin.

          Lalu, saya berpikir: "Dengan mengatupkan gigi dan menekan lidah kelangit-langit, mengapa saya tidak dapat menundukkan, menahan dan mengendalikan batin saya?" Saya lalu melakukannya, begitu melakukannya, keringat bercucuran dari bawah bahuku bagaikan seorang kuat memukul seorang yang lebih lemah pada kepala dan bahunya serta menundukkan, menahan dan mengendalikannya.11

      Berikutnya, beliau mencoba cara meditasi menahan napas:

          Lalu saya berpikir: "Mengapa saya tidak mencoba cara meditasi penghentian-napas?" Jadi, saya mencoba berhenti napas, melalui hidung maupun mulut, begitu saya lakukan, timbul suara yang keras mendengung, bagaikan desis puputan pandai besi melewati telingaku.12

      Berikutnya, beliau mencoba menundukkan badan dengan mengurangi makan.

      Lalu saya berpikir: "Mengapa tidak saya ambil makananku, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kecil atau sop-kacang, sedikit demi sedikit, secuil demi secuil?" Saya lalu melakukannya, begitu saya lakukan, badanku menjadi kurus kering. Karena saya makan sangat sedikit, anggota tubuhku seperti buku-buku tumbuhan menjalar; karena saya makan sangat sedikit, bokongku seperti kuku lembu; karena saya makan sangat sedikit, tulang belakangku menonjol seperti deretan bola; karena saya makan sangat sedikit, tulang rusukku yang cekung seperti kasau gubuk yang rubuh; karena saya makan sangat sedikit, mataku terbenam kedalam lobangnya; karena saya makan begitu sedikit, dahi di kulit kepalaku menjadi mengisut dan berkerut, bagaikan labu putih pahit yang dipotong sebelum matang mengisut dan berkerut karena udara panas. Bila saya berpikir: "Saya akan menyentuh perutku," saya raih pula tulang-punggungku, dan bila saya pikir: "saya akan menyentuh tulang-punggungku," saya raih pula perutku. Karena demikian kurus, sehingga perutku hampir berdempetan dengan punggungku. Bila saya pikir: "Saya akan ke peturasan," saya terjatuh di wajahku, sebab saya makan sangat sedikit. Bila saya mengusap anggota tubuhku untuk menyejukkannya, rambut-rambut tercabut dari akarnya, terlepas, karena saya makan sangat sedikit.13

      Selama masa itu, Pangeran Siddhattha ditemani lima pertapa lain yang terkesan pada kekerasan-hatinya, mereka berlima yakin cepat atau lambat, rekan mereka ini akan mencapai tingkat spiritual yang mulia. Enam tahun kemudian berlalu sejak mulai bertapa, beberapa tahun diantaranya dilewati dengan cara tapa penyiksaan-diri, namun Sang Pangeran belum juga mendapatkan Pencerahan-Sempurna. Beliau mulai ragu bahwa cara-cara yang dilakukanya akan dapat mengantarnya ke Pencerahan, dia lalu mengenang kedamaian yang dialaminya semasa muda dulu, dan memutuskan untuk mencoba seakan merasakannya kembali.

          Lalu saya berpikir: "Beberapa pertapa dan Brahmin pada masa lalu mengalami, beberapa di masa mendatang mungkin akan mengalami, atau beberapa pada saat ini sedang mengalami, perasaan-perasaan yang demikian menyakitkan, tajam dan keras, tapi tidak lebih atau menyamai seperti yang saya rasakan ini. Namun, tetap saya belum mencapai tingkat manusia yang lebih tinggi, pengetahuan dan penglihatan sempurna yang dialami oleh Para Mulia sebagai hasil kesungguhannya. Apakah ada jalan lain untuk mencapai Pencerahan?" Saya lalu berpikir: "Saya ingat sewaktu ayahanda orang Sakya membajak, dan saya duduk di bawah naungan pohon, terbebas dari kesenangan indriawi dan batin yang tidak terlatih, saya memasuki dan berdiam di Jhana Pertama, yang masih ditandai oleh pikiran dan khayalan, dan diisi oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterlepasan," dan saya berpikir: "Apakah ini jalan ke kebangkitan?" Dan sebagai hasil perenungan itu, saya menyadari bahwa sebenarnya inilah jalan ke kebangkitan.14


 210. Walau demikian, beliau maklum, bahwa dia seharusnya beristirahat dan memulihkan kekuatan badannya terlebih dahulu sebelum mulai bermeditasi lagi. Begitu dia mulai makan secukupnya, lima rekan pertapanya menuduhnya, bahwa dia telah melemahkan tekadnya, mereka lalu meninggalkannya.

          Lalu saya berpikir: 'Adalah tidak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu, bila badan demikian kurus tersiksa. Bagaimana kalau saya mulai makan - nasi dan susu asam?' Jadi saya mulai makan. Sewaktu, lima pertapa dulu menemui saya, berpikir: "Apabila pertapa Gotama mewujudkan sesuatu, dia akan mengajarkan kita pula." Tapi, sewaktu saya mulai makan, pertapa-pertapa itu memalingkan muka seakan jijik, seraya berkata: "Pertapa Gotama telah hidup dalam kemewahan, dia telah goyah dalam usahanya, dia telah kembali ke kehidupan mewah."15

      Sekarang Pangeran Siddhattha seorang diri, beliau lalu melewati beberapa waktu untuk memulihkan tenaga dari penyiksaan-diri sebelumnya, lalu mencari tempat yang cocok untuk mulai lagi bermeditasi. Akhirnya, dia tiba di sebuah desa kecil di Uruvela, yang sekarang disebut Bodh Gaya.

          Lalu, untuk mencari kebajikan, mencari kedamaian yang tak tertandingi dan terbandingi, sewaktu dalam perjalanan melewati Magadha, saya tiba di Uruvela, kota para ksatria. Disana saya lihat sebidang tanah yang indah, lekukan tanah ditumbuhi pepohonan yang indah, sungai yang mengalir bening dapat diarungi dan sebuah desa didekatnya yang dapat menunjang. Saya berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang indah. Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk seorang muda mulai berjuang." Oleh karenanya saya duduk disitu, berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk berjuang."16

      Dibawah naungan pohon, Pangeran Siddhattha memulai meditasinya, mencoba untuk mengalami kembali jhana yang pernah dialaminya sewaktu muda. Tahun-tahun yang dilewati sebelumnya memungkinkan dia memiliki pengendalian mental yang kuat. Dia mencapai jhana pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat, batinnya bertambah murni dan bercahaya setiap tingkat. Lalu, dengan batin yang "murni, jernih, tak-tercemar, sangat-bersih, dapat-ditempa, dapat-bekerja, mapan dan mantap,"17 Tiga kesadaran atau pengertian tiba-tiba muncul padanya. Tiga pengetahuan (tevijja) itu adalah: pengetahuan tentang kehidupan sebelumnya (pubbe nivasanussati ñana), yang dengannya Beliau dapat mengingat dengan rapih semua kehidupan sebelumnya dan membuktikan kebenaran kelahiran-kembali, pengetahuan tentang muncul dan matinya semua makhluk hidup (yatha kammupaga ñana), yang dengannya Beliau menyadari tata-kerja hukum Kamma, dan yang terpenting, pengetahuan tentang penghancuran kotoran batin (asava-kkhaya ñana).

          Ketika Saya mengetahuinya semua, ketika Saya melihatnya, batin Saya terbebas dari kotoran-batin, dari kesenangan-indriawi, dari pembentukan-kembali dan dari ketidak-tahuan. Saya terbebas dan Saya tahu Saya bebas. Dan Saya tahu bahwa kelahiran-kembali telah berakhir, kehidupan suci telah hidup, Saya telah mencapai apa yang seharusnya dicapai, dan bahwa bagi Saya tidak ada lagi kedatangan-kembali.18

      Dengan demikian, Pangeran Siddhattha menjadi Buddha, Manusia Yang-telah-sadar sepenuhnya.

 211. Setelah melalui banyak pertimbangan, Beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma yang telah diwujudkan-Nya, Sang Buddha lalu mulai memikirkan untuk menemui kedua guru-Nya yang pertama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, tapi setelah menyadari bahwa keduanya telah mati, Beliau kemudian memutuskan untuk mengajar ke lima pertapa pengikut-Nya yang telah meninggalkan-Nya. Karena mengetahui, bahwa mereka berlima tinggal di taman yang disebut Isipatana, dekat kota Benares, Beliau pun memulai perjalanan-Nya ke sana. Dalam perjalanan Beliau bertemu dengan seorang pertapa pengembara.

          Lalu pertapa telanjang bernama Upaka melihat Saya datang dari jalan antara Gaya dan tempat Pencerahan-Ku, dia berkata: "Tuan Yang Mulia, indra-Mu murni dan wajah-Mu bersinar dan bercahaya. Pada siapa Engkau belajar? Siapa guru-Mu? Dhamma siapa yang Engkau ikuti? Saya pun menjawab:
          Pemenang dari segalanya, mengetahui segalanya,
          Tak ternoda dari segalanya, melepaskan segalanya,
          Dan dengan meleburkan keserakahan, Saya terbebas.
          Dengan melakukannya sendiri, siapa yang menunjukkan?

          Saya tidak punya guru,
          Sebab tiada suatu di dunia ini, dewa sekali pun yang menyamai-Ku.

          Saya sempurna, Guru tertinggi di dunia ini.
          Saya sendiri mencapai Pencerahan.
          Nafsu telah kupadamkan, Saya telah mencapai Nibbana.

          Sekarang Saya akan ke Benares untuk memutar Roda Dhamma,
          Menabuh genderang keabadian. Di dunia yang telah menjadi buta.

          Dan Upaka menjawab: "Menurut apa yang Engkau katakan, Engkau pastilah Pemenang alam-semesta.

          Pemenang sejati adalah mereka yang telah menghancurkan kekotoran-batin,
          Olehnya, Saya adalah Pemenang.

          Ketika Saya katakan demikian, Upaka berkata: "Mungkin, demikian," sambil menggoyangkan kepalanya, dia pun berlalu mengambil jalan lain.19

      Kejadian di atas adalah sangat penting sebab melambangkan sikap Sang Buddha pada mereka yang diajar-Nya selama empat puluh tahun yang berikut. Sang Buddha tidak mengejar Upaka untuk mencoba meyakinkannya pada kebenaran Pencerahan-Nya, juga tidak melaknat atau mengutuk dia karena menolaknya. Pada kejadian ini dan dimanapun, Sang Buddha senantiasa berbicara mengenai kebenaran-Nya secara datar dan tenang, selanjutnya terserah pada Upaka (dan kita) untuk mempertimbangkannya.

 212. Setelah pertemuan-Nya dengan Upaka, Sang Buddha meneruskan perjalanan-Nya ke Benares. Pada akhirnya, Dia berhasil menemui lima pertapa pengikut-Nya di Isipatana, kira-kira delapan mil dari Benares. Isipatana juga disebut Taman Kijang (Migadaya) sebab tempat itu dihuni oleh banyak hewan liar, terutama kijang.

          Lima pertapa melihat Saya datang dari kejauhan, dan mereka sepakat, berkata: "Pertapa Gotama datang. Dia sudah hidup dalam kemewahan, Dia tidak kokoh lagi dalam usaha-Nya, Dia telah kembali pada kehidupan duniawi. Dia tidak pantas diberi salam, kita tidak usah berdiri, tidak usah mengambilkan mangkuk dan jubah-Nya. Namun, biarkan Dia duduk, bila Dia mau duduk." Tapi begitu Saya mendekat, mereka tidak lagi melaksanakan kesepakatan-nya. Ada yang mengambilkan mangkuk dan jubah-Ku, ada yang menyiapkan tempat duduk, ada yang mengambilkan air untuk mencuci kaki-Ku, dan mereka semua menyapa-Ku sebagai "yang terhormat". Lalu, saya berkata pada ke limanya: "Jangan menyapa Tathagatha sebagai "yang terhormat", sebab Tathagatha adalah "Yang Mulia" (Arahat), yang Tercerahi. Dengarkanlah, keabadian telah ditemukan, dan Saya akan menuntun, Saya akan mengajar Dhamma."20

      Tapi kelima pertapa tidak mempercayai bahwa sahabat lama mereka benar-benar telah mencapai Pencerahan. Mereka berkata kepada-Nya:

          Tapi, Gotama yang baik, Engkau tidak mencapai keadaan Yang Mulia atau pun pengetahuan dan penglihatan yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, yang dicapai melalui latihan dan tata-tertib yang teguh. Bagaimana Engkau dapat mencapainya dengan hidup mewah, tidak teguh dalam usaha dan kembali dalam kemewahan?21


 213. Tiga kali Sang Buddha memberitahu mereka bahwa Beliau benar-benar Tercerahi dan bahwa Beliau tidak hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya, akhirnya Beliau berkata pada mereka: "Apakah engkau merasa Saya pernah berkata seperti ini sebelumnya pada engkau?" Ternyata mereka berlima mengakui, bahwa Beliau tak pernah berkata seperti itu, dan menyadari bahwa Beliau berkata yang sebenarnya, mereka lalu duduk mendengarkan-Nya. Sang Buddha, lalu mempermaklumkan Dhamma pada dunia untuk pertama kalinya. Khotbah-Nya yang pertama, yang menggarisbawahi Empat Kebenaran Mulia dan konsep Jalan Tengah kemudian dikenal sebagai "Khotbah Pemutaran Roda Dhamma" (Dhammacakkapavattana Sutta)22. Sebutan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Dhamma menyerupai roda besar, yang sekali berputar, akan berputar terus tanpa rintangan di seluruh penjuru dunia. Berselang kemudian Sang Buddha menyampaikan khotbah yang ke dua yang disebut "Khotbah Ketiadadirian" (Anattalakkhana Sutta),23 setelah mendengarkan khotbah itu, lima pertapa - Kondañña, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji mencapai pencerahan. Sang Buddha kemudian menganjurkan agar mereka berangkat ke dunia luar, mengajarkan Dhamma supaya seluruh dunia mendapat kesempatan mengalami kebebasan dan kebahagiaan Nibbana.

          Pergi jauhlah, demi kebaikan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas-asih bagi dunia, demi kesejahteraan, demi kebajikan dan kebahagiaan dewa dan manusia. Janganlah dua darimu mengambil jurusan yang sama. Ajarkanlah Dhama yang indah pada awalnya, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Permaklumkan isi dan semangat kehidupan suci nan murni sempurna dan lengkap terisi.24


Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:52:09 AM
 214. Selama kurun-waktu empat puluh tahun kemudian, Sang Buddha mengembara disebelah utara India menyampaikan Dhamma kepada yang ingin mendengarkannya. Biasanya didampingi oleh dua siswa utamanya, Sariputta dan Moggallana, dan dalam dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan-Nya oleh Ananda, sahabat yang selalu setia mendampingi-Nya. Sejak masa-masa awal Beliau mengajar, orang-orang senantiasa berkerumun mendengar-Nya, diakhir hidup-Nya Beliau mempunyai ratusan ribu orang murid-murid, terdiri atas bhikkhu, bhikkhuni dan perumahtangga biasa. Apa yang diajarkan dan diperbuat Beliau selama empat puluh tahun tidak mungkin dirangkum dalam satu bab, satu buku atau satu perpustakaan sekalipun; karena demikian penuh dan istimewanya. Selanjutnya, kita akan melangkah hanya membahas riwayat Beliau pada beberapa bulan terakhir kehidupan-Nya.

 215. Pada usia ke delapan puluh, Beliau meninggalkan Rajagaha yang kemudian ternyata menjadi perjalanan terakhir-Nya. Beliau melewati desa-desa dan kota-kota yang masih ada sampai saat ini - Nalanda, Pataligama (sekarang disebut Patna), Vesali dan lainnya. Namun, Beliau sudah demikian lemah dan renta, setelah mengembara di India Utara selama empat puluh tahun lamanya. Pada tahap kehidupan-Nya ini, Beliau melukiskan diri-Nya sebagai berikut:

          Saya sekarang tua, sudah letih, dimuliakan, seorang yang telah menjalani Jalan, Saya telah mencapai akhir hidup-Ku, pada usia ke delapan puluh ini. Seperti pedati tua yang hanya dapat berjalan dengan mengikatkan tali disetiap bagiannya, demikian pula tubuh Tathagata hanya dapat berjalan dengan pembalut.25

      Beliau tiba di Vesali, ketika musim hujan tiba, dan oleh karenanya Beliau memutuskan untuk melewati musim hujan di sebuah desa di dekatnya yang bernama Beluva.

          Selama musim hujan, Yang Mulia diserang penyakit yang berat dan menusuk, menyebabkan kesakitan. Tetapi Beliau bertahan dengan penuh kesadaran, mawas sempurna dan tidak mengeluh.26

      Setelah musim hujan, bersama rombongan bhikkhu yang sangat besar jumlahnya mereka meneruskan perjalanan ke arah timur-utara, tampaknya menuju Kapilatthu. Namun karena Sang Buddha demikian tua dan sakit, rombongan sering-sering berhenti dan beristirahat. Ketika rombongan tiba di Pava, mereka menginap di hutan mangga milik Cunda, tukang besi. Oleh Cunda Beliau diundang makan, dan disajikan sukaramaddava, namun setelah menyantapnya "Beliau diserang penyakit luar biasa, murus bercampur darah disertai rasa sakit yang keras dan menusuk, tetapi Beliau tetap bertahan dengan kesadaran penuh, mawas sempurna, tanpa keluhan."27

 216. Semua ini terjadi sehari sebelum Beliau mangkat, sering orang berpendapat bahwa kemangkatan Beliau disebabkan memakan makanan yang tidak baik dan beracun. Sebenarnya ini tidak benar. Seperti disebutkan di depan Sang Buddha telah berusia delapan puluh tahun dan telah berkali-kali jatuh sakit. Beliau mati wajar karena usia tua. Salah pengertian lain adalah menyangkut makanan terakhir itu. Sukaramaddava berasal dari dua akar kata, 'sukara' (babi) dan 'maddava' (lunak, lembut, lemas) yang mungkin adalah makanan yang terdiri dari daging babi atau makanan yang disukai babi - kemungkinan semacam cendawan/jamur. Umat Buddha yang menganjurkan vegetarisme berpendapat bahwa itu adalah sejenis makanan vegetaris. Mereka yang salah duga karena mengira Sang Buddha adalah vegetarian dan mereka yang kwatir pada tersebarnya hal yang menurut mereka adalah kemunafikan, karena berpikir bahwa makanan terakhir Sang Buddha adalah suatu yang memalukan bagi kaum Buddhis, menafsirkan bahwa istilah sukaramaddava bukanlah daging babi sebagai usaha menutup kebenaran. Dua kelompok ini tidak memahami bahwa dalam Tipitaka banyak rekaman kejadian, malah sekali waktu Beliau menolak untuk menjadikan vegetarisme sebagai kewajiban diantara murid-murid-Nya (lihat 92). Kebenaran yang sebenarnya sederhana dalam hal ini adalah bahwa tidak seorang pun mengetahui pasti, makna sukaramaddava itu.



 217. Walau demikian, Sang Buddha menyadari bahwa Cunda mungkin merasa bersalah karena menganggap dirinya bertanggung jawab pada kematian-Nya. Lalu, dengan welas-asih, Beliau meyakinkan Cunda lewat murid-Nya.

          Ananda, ada kemungkinan Cunda, tukang besi itu merasa menyesal berpikir: "Ini adalah kesalahanmu, Cunda, ini perbuatan salah, yang menyebabkan Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah memakan sajianmu." Tapi hendaknya engkau menawarkan penyesalannya, katakan: "Ini adalah suatu jasa, Cunda, ini adalah hasil perbuatan baikmu bahwa Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah menyantap santapan terakhir darimu. Sepanjang yang saya dengar dan ketahui dari bibir Yang Mulia sendiri, adalah bahwa ada dua kali pemberian makan yang paling berbuah kebajikan, tidak ada makanan-pemberian yang lebih berbuah dari keduanya ini. Apa yang dua itu? Makanan-pemberian sebelum Tathagata mencapai Pencerahan-sempurna, dan makanan pemberian sebelum Beliau mencapai Nibbana-akhir. Dua makanan-pemberian inilah yang paling berbuah dan paling baik dari yang lainnya. Kebajikan Cunda akan berbuah berupa umur-panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemahsyuran, surga dan kekuatan." Dengan cara ini, penyesalan Cunda hendaknya dihapuskan.28

      Kejadian menarik lain yang terjadi sebelum Nibbana-akhir adalah perubahan wajah Sang Buddha. Setelah Beliau mengajar Dhamma pada seorang yang bernama Pukkusa, yang kemudian memutuskan berlindung pada Tiga Perlindungan. Lalu sebagai ungkapan terima kasih, Pukkusa ingin memberi persembahan pada Sang Buddha.

          Lalu Pukkusa berseru pada orangnya: "Pergi dan ambilkan saya dua jubah yang dibuat dari benang keemasan terbaik, terpoles dan siap dikenakan." Baik, tuan, kata orang tersebut, dan dia melakukannya. Lalu Pukkusa menawarkan jubah itu pada Yang Mulia, seraya berkata: "Ini, Yang Mulia, dua jubah yang terbuat dari benang emas terbaik. Semoga Yang Mulia berkenan menerimanya."
          "Baik, Pukkusa, Saya terima dan yang satunya persembahkanlah pada Ananda."
          "Baik, Yang Mulia," kata Pukkusa, dia pun melakukannya. Lalu Sang Buddha mewejangkan, menggugah dan membahagiakan Pukkusa dengan Dhamma, kemudian Pukkusa bangkit dari tempat duduknya, menghormat Sang Buddha, berjalan disamping kanan, berjalan meninggalkan tempatnya. Segera setelah, Ananda mengenakan jubah tersebut pada Sang Buddha, jubah malah tampak kusam dibanding kulit tubuh Sang Buddha. Ananda berkata: "Sangat menakjubkan, benar-benar mengagumkan, betapa bersih dan bersinar kulit Yang Mulia! Tampak lebih bersinar daripada jubah keemasan yang dikenakan-Nya." "Memang demikian, Ananda. Ada dua peristiwa, dimana kulit Sang Tathagata akan tampak bersih dan bersinar secara khusus. Apa dua peristiwa itu? Pada malam Dia mencapai Pencerahan Sempurna, dan pada malam Dia mencapai Nibbana Sempurna.29


 218. Segera setelah itu, rombongan Sang Buddha tiba di Kusinara, dimana mereka berhenti di suatu hutan kecil yang ditumbuhi pohon sal.

          Di situ Yang Mulia berkata pada Ananda: "Sediakan pembaringan untuk-Ku diantara dua pohon sal ini. Dengan kepala menghadap ke Utara. Saya capai dan berharap dapat berbaring.30

      Telah semakin jelas, bahwa Sang Buddha tidak dapat pergi lebih jauh lagi, dan telah dekat pada kematian. Ketika suku Malla dari Kusinara mendengar berita ini, mereka datang berkelompok ke hutan sal tersebut untuk menyampaikan hormat. Pada saat yang sama, seorang pertapa pengembara bernama Subhadda, yang sementara berada di Kusinara, mendengar bahwa Sang Buddha akan mangkat, diapun memutuskan untuk mengunjungi-Nya untuk bertanya beberapa pertanyaan yang dianggapnya penting. Ketika dia tiba di hutan sal tersebut, walau sulit mendekat karena kerumunan orang, dia akhirnya berhasil juga, namun disapa oleh Ananda dengan berkata: "Cukup, kawan Subhadda, jangan ganggu Tathagata, sebab Beliau sangat capai." Tapi ketika Sang Buddha mendengar ini, Beliau berkata:

          Cukup Ananda, jangan menghalangi Subhadda, biarkan dia mendekati Tathagata. Sebab apapun yang dia akan tanyakan, dia lakukan itu dengan tulus demi mencari pengetahuan, bukan untuk mengganggu Saya, dan jawaban Saya padanya akan cepat dia pahami.31

      Walau telah berada di ranjang kematian, Sang Buddha tetap mengajarkan Dhamma pada Subhadda, Subhadda pun mencapai Pencerahan. Dengan demikian Subhadda adalah murid Sang Buddha yang terakhir.
 219.

      Tidak lama setelah itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata terakhir-Nya pada siswa-siswa-Nya.

          Sekarang, para bhikkhu, Saya katakan pada engkau sekalian: Semua yang berprasyarat tidaklah kekal-berusahalah dengan sungguh-sungguh.
          (Vayadhamma sankhara. Appamadena sampadetha).32

      Setelah Sang Buddha mangkat, para murid yang belum menanggulangi nafsunya meratap dan mencabut rambutnya, memukul-mukulkan tangannya, terjatuh dan melempar-lemparkan badannya, meratap: "Terlalu cepat Mata Dunia berlalu."33

      Tapi mereka yang sudah bebas dari kemelakatan, tetap sadar dan menguasai diri, berkata: "Semua benda yang terbentuk dan merupakan gabungan tidaklah kekal, jadi apa gunanya bersedih?" Bhikkhu Anuruddha berkata: "Sahabat-sahabat, cukup tangis dan ratap itu! Apakah Yang Mulia belum cukup mengajarkan bahwa semua yang menyenangkan dan menggembirakan akan berubah, akan berurai dan menjadi sesuatu yang lain? Jadi mengapa berkelakuan seperti itu, para sahabat? Semua yang terlahir, datang dan tergabung, akan lapuk; tidak akan terjadi hal yang lain dari itu."34

      Lalu sepanjang malam itu bhikkhu melewatkan waktu dengan membahas Dhamma, dan pada pagi harinya Ananda mengumumkan kemangkatan Sang Buddha pada suku Malla di Kusinara. Begitu mereka mendengar berita ini, mereka terliputi kesedihan serta mulai meratap tersedu-sedu. Mereka kemudian berdatangan membawa dupa dan bunga, memainkan musik untuk menghormati Sang Buddha. Pada hari ke enam upacara kremasi dilaksanakan. Setelah upacara kremasi, utusan dari Raja Ajasattu, suku Licchavi dari Vesali, keluarga-keluarga Sang Buddha sendiri dari suku Sakya, suku Bulaya, suku Koliya, dan Brahmin Vethadipa yang sangat dihormati serta suku Malla dari Pava, semuanya tiba dan mohon dibagikan abu dari jenasah Sang Buddha untuk mereka letakkan dalam stupa, untuk penghormatan. Namun suku Malla dari Kusinara tidak menyetujui permintaan itu. Akhirnya Brahmin Dona mengangkat suara:

          Dengarkan, tuan-tuan, saranku ini.
          Kesabaran adalah salah satu ajaran Sang Buddha.
          Sangatlah tidak pantas terjadi suatu percekcokan.
          Dikarenakan pembagian abu jazad dari Orang yang terbaik ini.
          Hendaknya timbul kedamaian dan keselarasan
          Demi persahabatan, marilah kita membaginya dalam delapan bagian,
          Dan dibangunkan stupa tersendiri dan besar,
          Sehingga semua dapat melihat dan bangkit dalam keyakinan.35

      Semua akhirnya menyetujuinya dan meminta agar Dona yang membaginya dalam delapan bagian. Atas jasanya, dia lalu menerima kendi, tempat abu sebelumnya dikumpulkan. Setelah semua selesai, suku Moriya dari Pipphalavana tiba, mereka terlambat mendengar berita kemangkatan Sang Buddha, namun mereka pun berharap mendapatkan abu jenazah Sang Buddha. Karena tiada lagi abu yang tersisa, mereka hanya mengambil abu bekas kayu bakar dari perabuan. Sepuluh stupa kemudian dibangun untuk menyimpan relik-relik ini, dan inilah yang kemudian merupakan sepuluh stupa yang pertama; dalam perjalanan sejarah berabad-abad kemudian stupa-stupa dibangun dimana-mana sebagai penghormatan pada kebesaran Sang Buddha.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:53:04 AM
LEGENDA SANG BUDDHA

 220.      Legenda senantiasa tumbuh dan berkembang diantara orang-orang besar, malah terkadang orangnya sendiri masih hidup. Kata-kata yang tidak pernah dia ucapkan dan tindakan-tindakan yang tidak pernah dia lakukan, sering dihubungkan dengan dirinya. Walaupun legenda ini mungkin tidak benar dalam arti tidak pernah terjadi, tapi mungkin benar dalam arti melambangkan nilai-nilai dari orang yang diceritakan. Socrates, mungkin tidak pernah berkata 'ketahui olehmu sendiri' tapi pernyataan itu mewakili seluruh kehidupan dan falsafahnya dengan sempurna. Oleh karenanya perdebatan tentang apakah seseorang berkata demikian atau tidak, bisa menghilangkan makna sesungguhnya dari pandangannya. Hal yang serupa terjadi pada diri Sang Buddha. Disamping sejarah hidup-Nya, tumbuh pula banyak cerita legenda, yang bernilai simbolik dan pendidikan. Sang Buddha telah menyadari akan timbulnya legenda mengenai diri-Nya, Beliau telah memperingatkan Siswa-siswa-Nya agar membedakan kenyataan dan legenda; dan dengan demikian, menurut Beliau, akan menuntun ke pengertian sebenarnya dari ke dua nilai itu.

          Ada dua macam orang yang salah menanggapi Tathagata. Apa dua itu? Dia yang menanggapi khotbah dari makna yang tidak langsung sebagai khotbah dari makna yang langsung, dan dia yang menanggapi khotbah dari makna langsung sebagai khotbah dari makna yang tidak langsung.1

      Suatu khotbah dari makna langsung (nitattha) adalah yang diucapkan tepat seperti maknanya dengan arti yang jelas, sedangkan khotbah dari makna yang tidak langsung (neyyattha) adalah yang menggunakan mitos, lambang dan kiasan untuk melukiskan maksud yang maknanya harus ditafsirkan. Khotbah dari makna langsung ditujukan pada batin yang sudah sadar, khotbah dari makna tidak langsung ditujukan pada batin yang tidak sadar. Dibagian-bagian terdahulu kita telah menelusuri sejarah kehidupan Sang Buddha; sekarang marilah kita lihat sisi legendaris, cerita-cerita dengan makna tidak langsung, dan mempelajari arti dan nilai simbolik dan pendidikan yang terkandung di dalamnya.

      Banyak diantara kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Sang Buddha dibumbui legenda yang bermaksud untuk mempertegas dan mengambil makna yang lebih mendalam dari kejadian itu. Akan kita lihat dua legenda dari setiap kejadian dalam kelahiran-Nya, Pencerahan dan Nibbana-akhir (Parinibbana/kemangkatan) Buddha.


 221. Khotbah Nilai-nilai Indah dan Mempesonakan (Acchariyabbhutadhamma Sutta) bercerita bahwa ketika Pangeran Siddhattha dilahirkan, Dia melangkah tujuh langkah, dan setelah melihat ke empat penjuru, berkata: "Sayalah pemimpin dunia ini; Sayalah yang terbaik di dunia ini; Sayalah tertua di dunia ini." Lalu atas pengaruh tradisi yang berkembang, kemudian ditambahkan, bahwa dari setiap jejak kaki Sang Pangeran tumbuh bunga teratai indah. Mudah dimengerti, bahwa cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha:

          Ketika Sang Bodhisatta muncul dari rahim ibunya, cahaya yang sangat terang melebihi cahaya para dewa bersinar ke bumi. Dan pada daerah kegelapan yang hitam, kelam diantara bimasakti-bimasakti, dimana cahaya bulan dan matahari sekalipun, walau demikian perkasa dan anggunnya, tak dapat mencapainya, namun disitu cahaya itu bersinar dengan terangnya. Para makhluk-makhluk yang tinggal menetap di daerah itu, terhentak satu sama lain karena cahaya itu, dan mereka berkata: "Lihatlah, tampaknya ada makhluk lain yang juga tinggal disini."2

      Sering agama Buddha dipandang oleh berbagai pihak sebagai jalan yang harus ditemukan sendiri, tanpa memandang segi kemanusiaan seutuhnya. Namun melalui kiasan seperti diatas, kita peringatkan bahwa cahaya kebijaksanaan Sang Buddha hendaknya tidak menjadikan kita memakluminya sendiri tapi juga menyadari kehadiran orang lain, segi manusiawi yang kita sama-sama miliki.


 222. Salah satu kejadian yang juga termahsyur adalah apa yang disebut sebagai Godaan Mara. Kejadian ini banyak diabadikan dalam batu prasasti dan dilukiskan dalam prosa dan syair. Khotbah Perjuangan (Padhana Sutta) menceritakan kejadian seperti ini:

          Saya sedang tinggal di tepi Sungai Nerañjra, berusaha sekuat mungkin, melaksanakan tapa meditasi dengan seluruh tenaga Saya, berusaha mencapai kebebasan dari perhambaan.

          Lalu Mara mendekati Saya, dan dengan berpura-pura mengasihani, berkata: "Engkau demikian kurus dan pucat. Tampaknya kamu sudah dekat pada kematian."

          "Seribu banding satu, Engkau akan mati; kematian akan tiba. Hiduplah, Tuan yang baik, hiduplah! Engkau akan dapat mengumpulkan jasa bila tetap hidup."

          "Engkau dapat tetap memimpin kehidupan agamis, memuja dewa api, apa yang akan memberi-Mu jasa. Oleh karenanya buat apa bersusah payah?"

          "Jalan yang susah dan menantang adalah berat, menjemukan dan penuh kesulitan." Demikian dikatakan Mara, yang berdiri disamping Sang Tuan.

          Lalu Sang Tuan menjawab Mara: "Mengapa engkau datang kesini, oh, si-jahat, benih kemalasan?"

          "Saya tidak memerlukan jasa, oh Mara. Jadi, bicaralah tentang jasa hanya pada yang membutuhkannya.

          "Saya punya keyakinan, kemauan dan kebijaksanaan, dan oleh karenanya Saya menerapkannya sendiri. Jadi, mengapa mempertanyakan kehidupan-Ku?

          "Yang pertama dari bala tentaramu adalah nafsu, ke dua adalah keenggangan. Ke tiga adalah lapar dan haus, dan ke empat adalah kemelekatan.

          "Ke lima adalah kelambanan dan kemalasan, dan keenam adalah ketakutan. Ke tujuh adalah keraguan dan ke delapan adalah ketidakjujuran pada diri sendiri serta keras-kepala.

          "Juga hadir keinginan pada keuntungan-keuntungan, penghormatan dan kemahsyuran yang diperoleh dengan cara yang salah, bersama pengagungan diri-sendiri dan pengremehan orang-lain.

          "Semua ini, oh Mara, adalah kekuatanmu, bala tentara dari kejahatan. Seorang yang bukan pahlawan, tidak akan memerangi mereka untuk mencapai kebahagiaan.

          "Saya bisa melihat pasukan-pasukan disekeliling Saya, dipimpin Mara diatas gajahnya, dan Saya akan memeranginya.

          "Walau seluruh dunia termasuk para dewa tidak dapat mengalahkan pasukanmu, Saya akan menghancurkannya dengan kebijaksanaan, bagaikan batu yang dilempar pada kendi tanah-liat yang belum dibakar.

          "Dengan pikiran terlatih dan kemawasan yang berpijak kokoh, Saya akan berjalan dari kerajaan ke kerajaan, melatih banyak murid-murid.

          "Mereka berwaspada dan bergairah dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Ku dan bertentangan dengan kehendakmu; mereka akan mencapai yang mesti tercapai, mereka akan bebas dari penyesalan.

          Dan Mara berkata: "Saya telah mengikuti Tuan selama tujuh tahun. Saya mengamati setiap langkah-Nya, dan tidak sekalipun saya berhasil mempengaruhi-Nya, Dia yang Tercerahi sempurna dan penuh kesadaran."3

      Arti dari legenda ini sangat jelas. Mara (kematian) dan pasukannya adalah personifikasi atau lambang nafsu-keinginan dan emosi negatif yang merintangi seseorang yang belum membebaskan batinnya. Bila seorang berusaha memurnikan batinnya, kotoran batin akan tampak seperti bala-tentara yang akan menyerang, dan oleh karenanya dia harus berjuang melawannya. Seperti yang digambarkan dalam cerita diatas, seseorang mengalahkan kotoran-batin, tidak dengan kekuatan fisik/badaniah tapi dengan kewaspadaan dan pengertian.

 223. Legenda lain yang menyangkut Pencerahan-sempurna adalah seperti yang dikisahkan dalam Khotbah Pencarian Agung (Ariyapariyesana Sutta). Dikatakan bahwa setelah Pencerahan, Sang Buddha bimbang, apakah akan mengajar apa yang telah ditemukannya atau tidak, sebab Beliau menyadari betapa sedikit manusia yang bisa memahami ajaran-Nya. Tiba-tiba, Brahma Sahampati muncul didepan-Nya, menundukkan kepala, dan berkata kepada-Nya:

          Pernah muncul di Magadha sebelum Engkau,
          Dhamma yang tak jelas dipikirkan oleh batin-batin yang tidak murni.
          Karenanya bukalah pintu keabadian,
          Agar semuanya dapat mendengarkan Dhamma
          Yang diwujudkan oleh Yang Murni.

          Seperti seorang berdiri di puncak gunung,
          Memandang orang-orang yang ada di bawah lembah,
          Demikian pula, oh, Yang bijaksana.
          Mendaki bukit kebenaran dan bebas dari kesedihan
          Lihatlah mereka yang ada dibawah
          Terjebak kesedihan, kelahiran dan umur-tua

          Oleh karenanya bangkitlah Pahlawan, Pemenang perang
          Engkau adalah pemimpin kalifah
          Tanpa beban, pergi lebih jauh ke dunia ini
          Ajarkanlah Dhamma, Yang Terbekahi
          Mereka yang mempelajarinya akan bertumbuh.4

      Setelah mempertimbangkan imbauan Brahma Sahampati, Sang Buddha meneliti keseluruhan dunia.

          Seperti yang telah Saya teliti di dunia ini dengan mata Buddha, Saya melihat makhluk-makhluk yang sedikit debu di matanya, yang banyak debu dimatanya, yang indranya tajam, yang indranya tumpul, berwatak baik, berwatak buruk, bersifat pasif, bersifat aktif. Ibarat kolam berisi teratai biru, merah atau putih, dengan teratai yang masih bertunas dalam air, sedang tumbuh dalam air, masih belum muncul di permukaan air.5

      Setelah menilai kembali daya-pikir manusia untuk mengerti Dhamma, dan melihat bahwa sebagian dari manusia akan dapat memahaminya, Sang Buddha memutuskan untuk mengajarkannya. Dia mempermaklumkan pada Brahma Sahampati dan dunia:

          Pintu-pintu keabadian sekarang terbuka
          Hendaknya mereka yang dapat mendengar,
          Memanfaatkan dengan keyakinan.6

      Istilah 'brahma' sebenarnya berarti 'tertinggi', dan tentunya memang cinta-kasih (metta) dan welas-asih (karuna) adalah dua nilai yang luhur dari keluhuran tertinggi (brahma vihara) (lihat 158). Jadi, Brahma Sahampati adalah perlambang cinta-kasih dan welas-asih. Cinta-kasih dan welas-asih lah yang menyebabkan Sang Buddha memutuskan untuk mengajar Dhamma yang telah ditemukan-Nya.


 224. Dua legenda terakhir yang akan kita teliti, menyangkut hari-hari terakhir Sang Buddha, yang bermaksud menggarisbawahi beberapa hal yang penting. Legenda yang pertama adalah sarana pengingat kiasan-kiasan yang sering ada di dalam Tipitaka. Kiasan itu adalah tentang Penyeberangan Arus. Samsara sering diibaratkan sebagai sungai yang berbahaya arusnya. Nibbana adalah tepi yang aman diseberang sana, dan mereka yang telah Tercerahi adalah mereka yang berhasil menyeberangi sungai itu. Legenda itu ditemukan dalam Khotbah Nibbana-akhir nan Agung (Mahaparinibbana Sutta), disebutkan bahwa khotbah ini disampaikan beberapa bulan sebelum Nibbana-akhir (kemangkatan Sang Buddha).

      Sang Buddha pergi ke sungai Gangga yang pada waktu itu sedang meluap sehingga burung gagak dapat minum darinya. Beberapa orang sedang mencari perahu, beberapa lainnya mencari rakit, beberapa lainnya mengikat bambu untuk membuat rakit; agar dapat menyeberangi sungai itu. Tetapi semudah seorang yang kuat meluruskan lengannya dan membengkokkannya lagi, Sang Buddha menghilang di tepi sini dan muncul diseberang sana. Seraya memandang mereka yang sedang mencari bambu dan rakit, Sang Buddha mengucapkan syair ini:

          Bila ingin menyeberangi laut, sungai atau danau,
          Orang-orang membuat jembatan atau rakit,
          Tetapi Yang Bijaksana telah berhasil menyeberang.7


 225. Legenda yang ke dua sangat istimewa karena indah dan sangat bermakna. Terjadi ketika Sang Buddha berbaring di antara dua pohon sal, sesaat sebelum Nibbana-akhir-Nya.

          Dan Sang Tuan berkata: "Ananda, siapkan pembaringan menghadap ke arah ini di antara dua pohon sal, saya merasa kurang nyaman dan ingin berbaring." Ananda lalu melakukannya, Sang Buddha kemudian berbaring diatas sisi kanan-Nya, satu kaki bersandar diatas lainnya, seperti posisi singa, sambil tetap mawas diri dan sadar. Lalu, tiba-tiba kedua pohon sal itu berbunga, walau bukan musimnya dan bunga-bunga berjatuhan sebagai penghormatan pada Tathagata, disertai terdengarnya nyanyian dan musik surgawi, semuanya untuk menghormati Tathagata. Lalu Sang Buddha menoleh kepada Ananda dan berkata: "Lihatlah berkembangnya pohon sal dan bunga-bunga surgawi, bubuk cendana, nyanyian dan musik. Tapi, ini bukanlah cara untuk menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Tapi, para bhikkhu, bhikkhuni, serta umat awam yang tenang dalam Dhamma, merekalah yang menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Oleh karenanya, laksanakanlah Dhamma. Inilah hendaknya cara engkau melatih dirimu sendiri."8

      Baik selama Sang Buddha masih hidup maupun berabad-abad setelah Nibbana-akhir-Nya, orang-orang menunjukkan rasa hormatnya dengan mempersembahkan bunga, dan kadang-kadang diselingi dengan pelaksanaan upacara-upacara yang rumit dan megah. Walau hal ini mamang bermaksud baik, tapi kadang-kadang penampilan luar seperti itu menyebabkan kita melupakan bahwa perubahan di dalam batin adalah jauh lebih penting. Orang-orang mungkin tidak pernah melupakan melepas sandal atau sepatunya sebelum memasuki ruangan vihara, namun melupakan bahwa kita hendaknya bertutur-kata dengan jujur. Seorang Buddhis tradisional mungkin mencibirkan bibir pada orang yang memegang dupa dengan cara yang tidak tepat, atau pada orang yang menyembah dengan cara yang salah atau pada mereka yang membacakan paritta dengan suara sumbang dan pengucapan yang salah; tapi dia sendiri tidak dermawan dalam uangnya atau jauh dari kejujuran dalam berdagang. Cerita diatas, yang juga dari Khotbah Nibbana-akhir nan Agung (Mahaparinibbana Sutta), adalah sarana untuk mengingatkan kita, bahwa persembahan atau upacara hebat bagaimanapaun tidaklah lebih penting dibanding dengan pelaksanaan Dhamma dengan tepat, dan bahwa cara penghormatan tertinggi yang dapat kita berikan pada Sang Buddha adalah dengan melaksanakan ajaran-Nya.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:55:04 AM
Sumber - Sumber

 226. Semua agama memiliki kumpulan naskah suci, buku atau buku-buku yang dipercayai memiliki kewenangan dan yang menjadi dasar kepercayaan. Pada umumnya dinyatakan, bahwa naskah itu berdasarkan wahyu (anussava), yang adalah kata-kata dari Tuhan atau Dewa dari masing-masing agama dan oleh karenanya dianggap sempurna dan memiliki kekuasaan penuh. Sang Buddha mengajarkan, bahwa agama yang didasarkan pada naskah-naskah berdasar wahyu tidaklah cukup (anassasikam)1, karena beberapa alasan.

 227. Masalah pertama dari wahyu adalah ada demikian banyak agama, semuanya menyatakan naskah-suci mereka adalah kata-kata dari Tuhan, tetapi semua naskah berisi ajaran dan pemahaman yang berbeda. Tentu saja, tidaklah mungkin, bahwa semuanya adalah wahyu yang sejati dan masalahnya ialah kita tidak memiliki metode untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Masalah ke dua dari wahyu adalah adanya kecenderungan bersikap terlalu "membuku", semuanya dirujuk ke buku. Mereka yang kepercayaannya disandarkan pada yang disebut naskah berdasar wahyu cenderung menghabiskan waktu memperdebatkannya kata demi kata, ayat demi ayat, sebab semua naskah dapat ditafsirkan bermacam-macam, mereka terlibat dalam perdebatan tentang 'yang mana adalah' dan 'yang mana bukanlah' tafsiran yang benar. Agama-agama berdasarkan wahyu cenderung terlalu memperhatikan buku-buku, sehingga mengabaikan penelitian oleh diri sendiri yang cermat dan pada pertumbuhan nilai spiritual sejati. Masalah ke tiga yang membuat kita ragu pada pernyataan-pernyataan agama yang berdasar wahyu, adalah seperti yang diutarakan dengan sangat baik oleh Ananda. Beliau berkata:

          Beberapa guru, yang adalah penganut tradisi berpegang pada kebenaran wahyu dan mengajarkan hal-hal yang berdasarkan wahyu, berdasar apa yang telah diwariskan oleh kekuasaan kitab-suci. Sekarang, para guru itu mungkin mempunyai daya-ingat yang baik pada wahyu, mungkin juga mempunyai daya-ingat yang tidak baik pada wahyu; dan pada keadaan ini bisa benar dan bisa pula salah. Orang yang berakal-budi dengan merenungkan kenyataan ini, dan setelah merenungkannya, dia akan melihat bahwa agama seperti itu tidaklah memadai dan dengan demikian akan tidak tertarik dan meninggalkannya.2

      Walau "Tuhan" menyampaikan wahyu itu lewat nabi, juga tidak ada cara untuk dapat memastikan sepenuhnya, apakah nabi itu telah mendengarkan dan mengerti wahyu itu dengan tepat atau tidak. Walau didengarkan dan dimengerti dengan baik sekali pun, maka wahyu itu dapat saja tidak direkam dengan baik untuk pewarisannya kemudian. Dan memang pada kenyataannya, banyak naskah-naskah suci dari beberapa agama memiliki versi-versi yang berbeda dan beberapa bagian telah dikurangi atau ditambah, yang karenanya telah membuat kita ragu pada keasliannya.


 228. Agama Buddha tidak menghadapi masalah-masalah seperti ini, karena tidak ada pernyataan yang mengatakan bahwa naskah-naskah suci adalah wahyu. Sebaliknya, naskah agama Buddha adalah penyampaian seorang manusia, yakni Sang Buddha, juga direkam oleh manusia. Demi keselamatan, penganut agama lain mampercayai segala sesuatu yang ada di naskah-suci, sedangkan seorang Buddhis harus mengerti dan memahaminya sendiri, naskah-suci hanyalah sarana untuk melaksanakan hal ini. Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam salah satu khotbah-Nya yang sangat terkenal, Khotbah pada suku Kalama (Kalama Sutta):

          Janganlah bertindak hanya atas dasar kekuasaan kitab-suci (pitaka sampada) .... tapi bila engkau mengetahui sendiri: "Hal-hal ini adalah baik, hal-hal ini tidak akan dipersalahkan, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilaksanakan serta diikuti, membawa kebajikan dan kebahagiaan," maka ikuti dan mantaplah dengannya.3

      Untuk agama lain, hal yang sangat penting adalah siapa yang mengucapkan naskah-suci itu, tapi bagi seorang Buddhis hal yang paling penting adalah apa yang diucapkan, dan apakah itu tepat dan berfaedah. Bila kita membaca sabda-sabda Sang Buddha, kita hendaknya membiarkan sabda-sabda itu menyarankan pemahaman bagi kita, kita merenungkan pemahamannya, mengerti dan membandingkannya dengan pengalaman sendiri.

 229. Pula, umat Buddha tidak menyatakan kebenaran mutlak dari naskah-suci mereka dan memandang kitab-suci yang lain sebagai hal yang berbahaya. Seorang Buddhis dengan gembira dapat mengetahui nilai spiritual dari literatur suci lain dan darinya dapat menambah wawasannya sebab perhatian utama umat Buddha tidak pada pertahanan dan memperteguh dogma, tapi mengetahui kebenaran.

      Walau demikan, nasehat dan petunjuk yang disampaikan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha dan kebijaksanaan yang dikandungnya, hendaknya diberi penghormatan yang layak. Sering sebelum menyampaikan suatu khotbah, Beliau berkata pada orang yang berkumpul untuk mendengarkan-Nya:

          Dengarkan baik-baik, perhatikanlah dan Saya akan berbicara.4

      Demikian pula hendaknya kita pada saat ini bila membaca khotbah-khotbah Beliau, penuh perhatian dan bersikap terbuka. Sang Buddha mendorong agar semua murid-Nya terbiasa dengan ajaran-Nya. Beliau berkata:

          Beginilah hendaknya engkau melatih dirimu: Khotbah-khotbah yang diajarkan oleh Yang Mulia - dalam, mendasar, amat luhur - dari waktu ke waktu, kita akan melewatkan hari-hari kita untuk mempelajarinya." Dengan cara inilah hendaknya engkau melatih dirimu.5



 230. Dimasa-masa awal agama Buddha, seperti diketahui belum ada buku, khotbah-khotbah Sang Buddha dihafal sampai mengendap dalam ingatan. Untuk melakukan hal ini, seseorang duduk di dekat seorang yang menguasainya dan mendengarkannya dengan penuh perhatian secara berulang-ulang. Oleh karenanya, mereka yang mengetahui khotbah-khotbah sering disebut sebagai yang 'banyak mendengar' (bahusuta). Pada zaman ini, kata tadi mungkin maknanya sama dengan 'pembaca yang baik'. Sekarang khotbah-khotbah Sang Buddha telah tersebar dimana-mana dalam bentuk cetakan, dan tentunya tidak perlu lagi dihafalkan seperti dahulu kala. Namun demikian, akan bermanfaat untuk mengetahui beberapa bagian atau ayat yang penting di dalam hati, agar kebijaksanaan atau petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dibangkitkan setiap saat. Beberapa orang dengan mudah dapat mengutip demikian banyak bagian kitab-suci, namun tindakannya bertolak belakang dengan apa yang dikutipnya itu. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa pengetahuan teoritis dan menghafal kitab-suci adalah sesuatu yang tidak berharga, bila tidak di latar belakangi dengan usaha untuk berubah, tumbuh dan sadar. Beliau berkata:

          Bila seseorang banyak menghafal naskah-naskah suci,
          Tapi tidak bertindak sesuai dengannya,
          Orang yang demikian adalah bagaikan pengembala sapi
          Yang menghitung sapi milik orang lain.
          Dia tidak mengambil bagian dalam berkah kehidupan suci.6

      Suatu peta yang digambar oleh seorang yang telah pernah mengunjungi suatu tempat yang akan pula kita datangi adalah suatu yang berharga. Seorang yang bijaksana akan menggunakan peta itu walau orang-orang lain hanya berbicara tentangnya tanpa bersama menuju ke tujuan itu. Demikian pula, walau orang-orang lain cukup puas dengan mengetahui naskah Buddhis tanpa menerapkannya, namun hendaknya tidak mencegah kita untuk mempelajari dan kemudian dengan hati-hati menjalani Jalan. Seperti dikatakan Aryasura:

          Naskah suci dalah cahaya yang menghalau kegelapan dari kegelapan-batin; kekayaan yang tak dapat dicuri; senjata yang mengalahkan musuh yang bernama 'nafsu-keinginan'; penasehat terbaik bagi seorang untuk bertindak; teman yang tabah dalam keadaan yang sulit, obat yang tidak menyakitkan bagi penyakit yang diderita; prajurit perkasa yang kuat untuk mengalahkan pasukan kejahatan; harta tertinggi dari kemenangan dan kebahagiaan.7
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:55:43 AM
MASA AWAL KEPUSTAKAAN BUDDHIS

 231. Selama empat puluh tahun masa mengajar, Sang Buddha telah menyampaikan ribuan khotbah dengan berbagai metoda mengajar. Kadang-kadang Beliau hanya menyampaikan pembicaraan sederhana, lalu mungkin merangkum kambali topik utamanya dalam bentuk ayat-ayat, kadang-kadang pula Beliau bertanya-jawab, menggunakan pepatah, persamaan dan perumpamaan untuk memperjelasnya. Khotbah-khotbah, pepatah-pepatah dan ayat-ayat diingat secara rinci oleh orang yang mendengarkannya langsung, lalu meneruskannya pada orang lain. Dapat dipahami bahwa sampai akhir pengabdian Sang Buddha, beredar sangat banyak pelajaran-pelajaran lisan. Walau orang telah tahu menulis pada masa itu, namun tidak ada usaha untuk menjadikannya tertulis, sebab masyarakat India kuno pada masa itu menganggap ingatan lebih dapat dipercaya daripada pena seorang penulis dan ingatan jelas lebih dapat bertahan lebih lama di kepala seseorang dibanding lembaran-lembaran daun (yang ditulisi diatasnya). Memang, pada kenyataannya masa itu masyarakat India kuno telah mengembangkan dan menyempurnakan teknik untuk mengabdikan literatur di dalam ingatan mereka secara luar biasa.

 232. Sewaktu Sang Buddha mencapai Nibbana-akhir di Kusinara, salah seorang murid senior Beliau, Maha Kassapa, dan sekelompok bhikkhu sedang dalam perjalanan menuju Kusinara untuk menjumpai Sang Buddha, namun mereka belum mendengar berita kemangkatan Guru mereka. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang pertapa pengembara yang kemudian menyampaikan berita kemangkatan Sang Buddha yang telah beberapa hari sebelumnya. Begitu mendengar berita ini, beberapa bhikkhu mulai meratap sedih, tapi salah seorang dari mereka, Subhadda, yang menjadi bhikkhu pada usianya yang sudah lanjut, malah berkata:

          Sudahlah, kawan-kawan, tidak usah meratap atau menangis! Kita sebenarnya beruntung telah terlepas dari Pertapa Agung itu. Dia selalu saja menjemukan kita dengan berkata: "Adalah baik bila engkau berbuat begini atau adalah baik bila engkau tidak berbuat begitu!" Sekarang kita dapat berbuat atau tidak berbuat, sesuka hati kita.1

      Maha Kassapa kemudian menyadari bahwa andaikata banyak bhikkhu seperti Subhadda, ketidaksesuaian paham mengenai Dhamma akan segera muncul. Oleh karenanya diputuskan bahwa tiga bulan kemudian, pertemuan besar akan dilaksanakan. Lima ratus Arahat berkumpul untuk mendiskusikan ajaran Sang Buddha, menyusunnya, dan mengulanginya dan memantapkannya masing-masing dalam ingatan mereka. Pertemuan besar ini dilaksanakan di Gua Sattapanni di Rajagaha, pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Pertama. Sewaktu konsili bersidang, Maha Kassapa menyambut lima ratus Arahat itu, dengan berkata:

          Marilah, Para Yang Mulia, kita mengulangi Dhamma dan Tata-tertib (vinaya), sebelum apa yang bukan Dhamma berkembang dan apa yang Dhamma malah tertutup, sebelum apa yang bukan Tata-tertib berkembang dan apa yang Tata-tertib tertutup, sebelum mereka yang berucapkan bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang berucapkan bukan Tata-tertib menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Tata-tertib menjadi lemah.2

      Sidang menunjuk Upali untuk mengulangi peraturan-peraturan untuk para bhikkhu dan bhikkhuni sebab dia memang ahli dalam bidang (Vinaya) itu, dan Ananda dipilih untuk mengulangi khotbah-khotbah, sebab dia lah yang menjadi pendamping dan senantiasa menyertai Sang Buddha selama dua puluh tahun, dia mendengarkan khotbah lebih sering dari yang lainnya. Sebagian dari diskusi diambil dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan Maha Kassapa kepada Ananda:

          "Dimanakan, Ananda yang terhormat, Brahmajala Sutta diucapkan?"
          "Tuan yang terhormat, diantara Rajagaha dan Nalanda di rumah peristirahatan agung di Ambalatthika."
          "Kepada siapa?"
          "Suppiya si-pengembara dan Brahmadatta si-Brahmin muda."
          Lalu, Maha Kassapa menanyakan Ananda tentang tema dan perincian Samaññaphala Sutta.
          "Dimanakah, Ananda yang terhormat, Samaññaphala Sutta diucapkan?"
          "Di Rajagaha, di kebun mangga kepunyaan Jivaka."
          "Kepada siapa?"
          "Kepada Ajatasattu, putra dari ibunda Videhan."3

      Dengan cara ini pula Maha Kassapa bertanya tentang Lima Nikaya, dan setiap pertanyaan dapat terjawab oleh Ananda. Ananda selalu mengawali menjawab pertanyaan tentang setiap khotbah dengan berkata: "Sesuai yang saya dengar" (evam me sutam), yang berarti "Inilah yang saya ingat pernah dengarkan", oleh karenanya hampir setiap khotbah diawali dengan kata-kata tersebut.


 233. Dalam beberapa abad kemudian, Dhamma masih tetap dihafalkan dengan berhati-hati, diingat dan diteruskan pada yang lainnya. Walau ini adalah kewajiban yang biasanya dilakukan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni, tapi terdapat banyak bukti bahwa para umat awam laki-laki dan wanita, juga banyak mengetahui Dhamma di dalam hati dan memainkan peran dalam penerusannya. Didalam naskah-naskah, kita membaca seorang wanita menghafal bagian dari Samyutta Nikaya.4 Didalam catatan-catatan lama lainnya, diabad ke tiga sebelum Masehi, nama-nama beberapa umat awam biasa disebut-sebut bersama julukan mereka, antara lain 'penghafal Dhamma' (dhammakathika), 'yang mengetahui keranjang' (petakin), 'yang mengetahui khotbah-khotbah' (sutantika) dan 'yang mengetahui Lima Kumpulan' (pañcanekayika). Kira-kira seratus tahun sesudah Sang Buddha, dilaksanakan lagi suatu Konsili Ke dua, yang dihadiri sekitar tujuh ratus bhikkhu-bhikkhu pemimpin, semula mereka membicarakan beberapa pertentangan paham menyangkut tata-tertib kehidupan vihara, setelah bagian ini selesai, mereka menghafal Dhamma bersama. Pertemuan ini berlangsung di Vesali. Lalu kira-kira 230 tahun sesudah Sang Buddha, Raja Asoka melaksanakan Konsili ke tiga di ibu kota kerajaannya di Pataliputta, dan sekali lagi Dhamma secara keseluruhan dihafalkan bersama. Kemungkinan pada konsili inilah diputuskan untuk memasukkan buku Abhidhamma sebagai bagian ke tiga dari Kitab suci Buddhis. Juga kemungkinan untuk pertama kalinya disepakati untuk mengabadikan Dhamma dalam bentuk tertulis, walau tidak ada rekaman bahwa ini dilakukan sebelum tahun 50 Sebelum Masehi di Sri Lanka, dimana agama Buddha telah menyebar disana pada waktu itu. Sejak masa itu, kitab suci Buddhis tertulis di kitab-kitab yang dibuat dari daun palma, kulit kayu, sutra, dan terakhir seperti zaman kita ini, diatas kertas. Jadi kata-kata Sang Buddha benar adalah "indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya", dan dengan sangat hati-hati diwariskan pada kita.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:56:29 AM
TIPITAKA

 234. Sekarang marilah kita mengenal susunan dari kitab-suci Buddhis Tipitaka. Istilah 'pitaka' berarti 'keranjang', istilah yang dipakai, sebab bagaikan para pekerja di zaman India kuno meneruskan keranjang tanah dari kepala seseorang ke kepala rekannya, Dhamma juga diteruskan dari ingatan seorang guru ke ingatan muridnya. Awalan 'ti' berarti 'tiga', dengan demikian Tipitaka berarti Tiga Keranjang. Tiga Keranjang tersebut, adalah - Sutta Pitaka - keranjang dari khotbah-khotbah, Vinaya Pitaka - keranjang dari peraturan (disiplin), dan Abhidhamma Pitaka - keranjang analisa (uraian). Istilah 'Sutta' sebenarnya berarti 'benang', khotbah-khotbah Sang Buddha disebut demikian, karena setiap darinya memiliki 'benang arti' atau 'untaian argumentasi'.

 235. Sutta Pitaka dibagi atas lima kumpulan atau koleksi (nikaya). Yang pertama, Digha Nikaya - kumpulan dari Khotbah-khotbah Panjang - terdiri atas 34 khotbah-khotbah yang, seperti terlukis dinamanya, adalah khotbah-khotbah yang sangat panjang. Yang ke dua, Majjhima Nikaya - Kumpulan dari Khotbah-khotbah Setengah-Panjang - terdiri atas 150 khotbah-khotbah yang juga seperti namanya, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Yang ke tiga adalah Samyutta Nikaya - Kumpulan khotbah-khotbah Yang-berhubungan - didalamnya 7562 khotbah-khotbah dikelompokkan sesuai obyeknya. Yang ke empat adalah Anguttara Nikaya - Kumpulan Khotbah Bertahap. 'Anguttara' berarti 'selesai dalam satu', sebab 9557 khotbah-khotbah dalam kumpulan ini dikelompokkan dalam satu urutan dari satu sampai sebelas. Lima Nikaya yang terakhir adalah Khuddaka Nikaya - Kumpulan Campuran - yang terdiri dari 15 hasil karya yang agak terpisah, yang karena perbedaannya, tidak dapat digabung dalam salah satu dalam empat Nikaya yang lainnya. Kita akan meninjau secara singkat beberapa yang penting-penting dari kumpulan ini. Dhammapada, tidak diragukan adalah karya dalam Tipitaka yang paling populer dan termahsyur. Ini merupakan kumpulan dari 423 ayat (gatha) diucapkan oleh Sang Buddha pada waktu yang berbeda-beda, disusun dalam 23 bab tergantung dari pokok bahasannya. Dhammapada merupakan bagian kitab-suci Buddhis yang paling banyak diterjemahkan dibanding bagian yang lainnya. Udana - Ayat-ayat Peningkatan (atau melegakan) - sesuai namanya merupakan kenyataan bahwa setiap bagian dari 80 khotbah, isinya diselesaikan dalam satu atau lebih ayat yang memberi peningkatan atau semangat (udana). Yang sangat mirip dengan Udana adalah Itivuttaka - Seperti Dikatakan - yang terdiri atas 112 khotbah, yang juga dirangkum pada bagian akhir dalam satu atau beberapa ayat.

 236. Sutta Nipata - Kumpulan Khotbah - terdiri atas 55 khotbah dalam bentuk sajak, yang keseluruhannya berjumlah 1149 ayat. Mangala Sutta, Metta Sutta dan beberapa khotbah yang populer lainnya ditemukan dalam karya ini. Karena semua khotbah-khotbah ini diucapkan pada masa-masa awal Sang Buddha mengajar, dan karena kebanyakan darinya dianggap jasa kesusasteraan, maka Sutta Nipata adalah salah satu buku-buku terpenting dalam Tipitaka. Dua hasil karya indah lainnya adalah Theragatha - Ayat-ayat para Bhikkhu, dan Therigatha - Ayat-ayat para Bhikkhuni, masing-masing terdiri atas 164 dan 72 sajak, ditulis oleh beberapa Siswa-siswa Sang Buddha. Beberapa sajak adalah riwayat-hidup sendiri (autobiografi), beberapa adalah pujian-pujian bagi Sang Buddha, yang lainnya merupakan pujian keberadaan dan kebahagiaan Pencerahan. Buku yang terbesar dalam Khuddaka Nikaya adalah Jataka - kisah kelahiran-kelahiran. Jataka terdiri atas 547 cerita, yang diambil dari hikayat atau cerita-cerita rakyat India kuno, lalu diberi warna Buddhis dengan menjadikan Sang Buddha (dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya) sebagai pahlawan dalam setiap cerita. Walau Jataka hanyalah legenda, tapi setiap dari cerita itu mempunyai nilai pengajaran moral yang tinggi. Pada kenyataannya, memang cerita Jataka digunakan selama berabad-abad sebagai teladan moral bagi rakyat jelata, kaum Buddhis yang sederhana dan lugu. Buku-buku di dalam Khuddaka Nikaya lainnya muncul belakangan setelah bagian Tipitaka yang lain dan tidak dianggap seberapa penting saat ini.

 237. Bagian ke dua yang besar dari Tipitaka adalah Vinaya Pitaka - Keranjang Tata-tertib - yang terdiri atas lima buku. Vinaya berisi peraturan-peraturan bagi bhikkhu dan bhikkhuni, tatacara kehidupan vihara, dan beberapa kejadian penting dalam kehidupan Sang Buddha yang berhubungan dengannya. Juga ada rekaman tentang sejarah atau masa-masa awal kehidupan masyarakat vihara, termasuk laporan-laporan dari Konsili Pertama dan Konsili Ke dua.

 238. Bagian ke tiga dan yang terakhir adalah Abhidhamma Pitaka - Keranjang Penguraian - yang terdiri atas tujuh buku. Salah satu dari buku ini, Kathavattu - Butir-butir Ketidaksesuaian/kontroversial - berisi masalah-masalah sekitar doktrin yang diperdebatkan dalam Konsili ke tiga, dan inilah buku terakhir yang digabung dengan Tipitaka. Buku-buku lain dari Abhidhamma terdiri atas daftar unsur-unsur batin dan benda, penyebab dan akibatnya, dan penguraian tipe-tipe kepribadian yang berbeda. Buku pertama dari Abhidhamma mungkin ditulis sekitar 150 tahun setelah kemangkatan Sang Buddha dan yang terakhir, yang adalah Kathavattu diatas, ditulis sekitar tahun 253 Sebelum Masehi. Dengan demikian, Abhidhamma Pitaka tidak dibacakan pada Konsili Pertama, tapi ditambahkan pada Tipitaka pada masa-masa belakangan. Berdasar asal-usulnya, gaya penyajiannya dan waktu dituliskannya, dapat disimpulkan bahwa Abhidhamma adalah bagiam Tipitaka yang paling kurang kepenadaannya. Vinaya, yang kita ketahui berhubungan dengan keberadaan bhikkhu dan bhikkhuni, dan Sutta Pitaka, yang adalah Dhamma dari kata-kata Sang Buddha sendiri; adalah bagian terpenting dari literatur Buddhis.

 239. Seperti apa yang dapat kita lihat diatas, Sutta Pitaka sangatlah padat dan panjang; sebagai gambaran dapat diutarakan, bahwa ternyata terjemahan bahasa Inggeris-nya terdiri atas lebih dari 30 jilid buku. Walau demikian, seperti diperhatikan pada khotbah-khotbah yang telah banyak dituliskan diatas, banyak diantaranya ditandai dengan pengulangan-pengulangan kata-kata, yang menyebabkan bertambah panjangnya khotbah-khotbah tersebut; hal demikian, dapat dipahami, terjadi sebagai usaha agar khotbah-khotbah mudah dihafalkan; jadi demi kepentingan pewarisan ajaran-ajaran itu dalam bentuk lisan, pada masa-masa sebelum khotbah-khotbah direkam dalam bentuk tulisan. Pula, khotbah-khotbah ada yang diulangi kata demi kata atau dalam bentuk yang sama pada dua tempat yang berbeda. Salah satu contoh adalah Satipatthana Sutta ada di dalam Digha Nikaya maupun di Majjhima Nikaya,1 pula hampir semua bagian Brahma Vagga dalam Dhammapada diulangi di Sutta Nipata.2 Hal yang juga dapat dipahami, karena Sutta Nipata berisi khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Siswa-siswa utama Sang Buddha.

 240. Tipitaka diwariskan dan akhirnya sampai pada kita dalam bahasa India kuno yang dikenal sebagai Magadhi, disebut demikian karena merupakan bahasa daerah dari kerajaan Magadha, bagian dari Kosala, dimana Sang Buddha paling banyak melewatkan masa hidup-Nya. Bahasa Magadhi kemudian dikenal sebagai bahasa Pali, yang berarti 'naskah', artinya bahasa dari naskah-naskah. Tidak semua cendekiawan sependapat bahwa Sang Buddha berbicara dalam bahasa Pali, tetapi bila tidak demikian, setidaknya bahasa tersebut adalah bahasa yang sangat mirip bahasa Pali. Filsuf besar Wilhelm Geiger berkata "bahasa Pali semestinya dipandang sebagai bahasa Magadhi, bahasa yang digunakan Sang Buddha dalam khotbah-khotbah-Nya."3 Professor Rhys Davids dalam pengantar buku kamus Pali-Inggeris karyanya, mengatakan: "Bahasa Pali di dalam buku-buku peraturan-peraturan adalah didasarkan pada bahasa daerah Kosala baku yang digunakan pada abad ke 6 dan ke 7 Sebelum Masehi ..... bahasa daerah ini adalah bahasa-ibu Sang Buddha."4 Kadang-kadang dipertanyakan penting tidaknya seseorang mengerti bahasa Pali agar dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada dua bhikkhu yang mengharapkan agar digunakan bahasa Sanskerta (chandaso) dalam kata-kata Sang Buddha, dengan alasan bahasa Sanskerta adalah bahasa mati, tidak berubah lagi dan dengan demikian diharapkan agar pemahaman kata-kata Sang Buddha tidak akan hilang. Sang Buddha menolak, dan berkata:

          Saya memperkenankan engkau, para bhikkhu, untuk mempelajari kata-kata Sang Buddha dalam bahasamu sendiri-sendiri.5

      Pesan-pesan kemanusiaan Sang Buddha berhubungan dengan pengalaman-pengalaman dan dapat dimengerti lewat pengalaman, tidak dengan melestarikan dalam bahasa. Tidak diragukan lagi, walau mungkin perlu memahami sedikit istilah Pali, tapi Sang Buddha menginginkan kita belajar Dhamma dalam bahasa kita sendiri, karena Beliau mengetahui bahwa itulah cara terbaik untuk mengerti dan untuk berkomunikasi satu sama lain.
 241. Adalah mudah untuk menemukan acuan dalam kitab-kitab suci, karena biasanya kitab-kitab suci telah terbagi dengan baik atas bab-bab dan kemudian terbagi lagi atas ayat-ayat. Namun disebabkan karena ukuran dan sebaran yang luas dari Tipitaka, maka masih perlu dipikirkan suatu sistim acuan yang terbaik bagi Tipitaka. Saat ini, mungkin sistim acuan yang baik dan paling banyak digunakan adalah seperti yang dipergunakan dalam edisi-edisi dan terjemahan-terjemahan oleh Pali Text Society, dan oleh karenanya kita akan lebih terbiasa dengan sistim ini. Di sudut kanan atas halaman sebelah kiri dari setiap buku terjemahan ke bahasa Inggeris oleh PTS dituliskan angka Romawi diikuti nomor. Yang pertama (angka) merujuk ke jilid dari karya yang dimaksud dan yang ke dua (nomor) merujuk ke halaman dari naskah Pali asli. Jadi, bila kita sedang membaca sebuah buku yang mengutip Tipitaka dan dalam daftar acuannya disebutkan A II 150, dan bila kita ingin meneliti kutipan itu, inilah yang kita lakukan: Periksa Tipitaka, cari Anguttara Nikaya ('A' adalah singkatan dari Anguttara Nikaya, Kumpulan Khotbah Bertahap), ambil jilid Dua (II berarti Jilid Dua) dan buka halaman-halamannya, lihat pada sudut kanan atas dari halaman sebelah kiri, sampai kita menemukan 150. Di halaman itu atau sekitar itu akan kita temukan sumber yang dikutip oleh buku yang kita baca. Beberapa karya Tipitaka lainnya, misalnya Dhammapada, Sutta Nipata, Theragatha dan Therigatha, kesemuanya dalam bentuk ayat-ayat, dengan demikian acuan dari kitab-kitab ini hanya pada karya dan nomor ayat-nya saja. Jadi acuan ayat ke 53 dalam Dhammapada ditulis Dp 53, atau ayat ke 410 dari Sutta Nipata ditulis Sn 410. mungkin akan membutuhkan waktu untuk terbiasa dalam menggunakan sistim acuan ini, tapi sekali kita lakukan, maka Tipitaka akan mengungkapkan banyak harta kebijaksanaan bagi kita.
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 06:58:09 AM
SINGKATAN-SINGKATAN
A   Anguttara Nikaya   S     Samyutta Nikaya
D   Digha Nikaya             Sn       Sutta Nipata
Dp   Dhammapada          Thag    Theragatha
It   Itivuttaka                Thig      Therigatha
M   Majjhima Nikaya            Ud         Udana
J   Jataka                        Vin   Vinaya

CATATAN-CATATAN

Alam Semesta

   1. Genesis 1, 1-31
   2. Genesis 2, 4-22
   3. S, II: 178
   4. D, III: 84
   5. A, I: 227
   6. M, III: 120
   7. S, II: 181
   8. M, I: 430
   9. M, I: 377

Hidup Dan Alam Kehidupan

   1. John Reader. The Rise of Life. New York, 1986
   2. Sir Fred Hoyle and Chandra Wickramasinghe. Lifecloud. New York, 1978
   3. D, III: 85
   4. D, III: 85
   5. A, I: 173
   6. Bodhicaryavatara IX: 121
   7. J, VI: 208
   8. S, II: 262
   9. Lihat, sebagai contoh, Assalayana Sutta - M, II: 147; Ambattha Sutta - D, I: 88; Vasala Sutta - Sn: 116
  10. Sn: 601-602
  11. Dhammasangahni 633-634
  12. Vin, V: 254
  13. S, I: 129
  14. D, II: 104
  15. M, III: 250
  16. S, IV: 206
  17. M, I: 197

Kamma

   1. Atthasalani 272
   2. A, III: 415
   3. M, III: 135
   4. A, I: 134
   5. A, I: 135
   6. A, II: 230
   7. A, III: 414
   8. A, IV: 246
   9. A, III: 414
  10. A, I: 248
  11. A, I: 173
  12. S, IV: 229, lihat juga A, II: 86

Kelahiran Kembali

   1. M, I: 265
   2. S, V: 370
   3. Dr. HaroldI Lief dalam Journal of Nervous and Mental Disease, Vol. 165, No. 3, 1977
   4. Dr. Ian Stevenson, Twenty Cases Suggestive of Reincarnation. University Press of Virginia, 1974.
   5. A, II: 59
   6. Evolution and Ethics and Other Essay, hal 60-61
   7. The Soul and the Universe
   8. San Francisco Examiner, 28/8/1928.

Empat Kesunyataan Mulia

   1. S, V: 420
   2. D, III: 221
   3. Dp: 218
   4. M, I: 140
   5. Sn: 1075-1076
   6. M, I: 140
   7. A, I: 10
   8. D, I: 223
   9. Jataka Nidanakatha 22-23
  10. Ud: 80
  11. Ud: 80
  12. Thig: 513
  13. M, II: 5
  14. A, V: 194
  15. M, I: 169
  16. Dp: 273-275
  17. S, II: 105
  18. S, V: 10

Latihan Intelektual -Pengenalan

   1. M, II: 171
   2. M, I: 379
   3. Dp: 256
   4. Vin, IV: 355
   5. Ud: 68
   6. D, II: 349

Pengertian Sejati

   1. S, III: 68
   2. Dp: 278-280
   3. M, I: 511
   4. D, III: 219

Latihan Etika - Pengenalan

   1. S, IV: 251
   2. M, I: 431
   3. A, IV: 141
   4. Dp: 67-68, lihat juga A, II: 117
   5. M, I: 97
   6. S, V: 354
   7. Milindapañha 84
   8. A, I: 58

Pikiran Sejati

   1. Dp: 1
   2. S, I: 39
   3. M, III: 251
   4. It: 82
   5. A, I: 103
   6. Dp: 3,4,5
   7. Vin, IV: 56
   8. Soma Thera dan Piyadassi Thera, terjemahan The Lamp of the Law Wh: 38, BPS
   9. Jataka Nidanakatha 168-169
  10. Sn : 149
  11. It: 84
  12. M, III: 156
  13. M, III: 156
  14. A, II: 94
  15. A, II: 146

Pembicaraan Sejati

   1. Sn: 657
   2. Sn: 449-450
   3. M, I: 395
   4. M, I: 288
   5. Sn: 454
   6. A, II: 51
   7. A, III: 184
   8. A, III: 195
   9. A, IV: 196
  10. D, I: 64
  11. A, V: 79
  12. Sn: 720-721
  13. A, I: 288
  14. M, I: 288
  15. D, I: 116
  16. Dhammapada Atthakata 254
  17. M, I: 126

Tindakan Sejati

   1. Dp: 129-130
   2. It: 101
   3. Milindapañha 335
   4. Vin, IV: 301
   5. A, III: 144
   6. Subhasitaratnakhosa 1229
   7. Sn: 244-246
   8. Vin, IV: 216-219
   9. Vin, V: 205
  10. Vin, V: 196
  11. M, I: 369
  12. A, III: 38
  13. A, II: 61
  14. Dp: 354
  15. Paramitasamasa I: 36-40
  16. Sn: 707
  17. Sn: 398-399

Penghidupan Sejati

   1. A, II: 68
   2. Sn: 261
   3. J: 341
   4. J: 341
   5. A, III: 207
   6. Jatakamala XVII 9
   7. A, III: 44
   8. A, III: 45
   9. D, III: 188
  10. A: III: 45
  11. A: III: 46
  12. D: III: 188
  13. M, I: 379
  14. A, I: 161
  15. A, IV: 281
  16. A, IV: 281
  17. A, I: 15

Etika Pergaulan

   1. D, III: 181
   2. D, III: 189
   3. Sn: 262
   4. A, I: 61
   5. D, III: 189
   6. D, III: 190
   7. It: 68
   8. D, III: 186
   9. D, III: 187
  10. D, III: 190
  11. S, V: 2
  12. D, III: 191
  13. It: 111
  14. D, III: 191

Latihan Kejiwaan - Tata Peribadatan

   1. M, I: 37
   2. M, I: 37
   3. M, I: 37
   4. Dp: 54
   5. Dp: 16

Daya - Upaya Sejati

   1. Saundaranandakavya XVI: 94, 97
   2. D, II: 313
   3. A, III: 102
   4. dikarang oleh Ven. Dhammika
   5. M, I: 12
   6. Visuddhimagga IV: 55
   7. Thig: 161
   8. A, II: 373

Kesadaran Sejati dan Pemusatan - Pikiran Sejati

   1. Bodhicaryavatara V: 4, 5, 6, 12, 13, 14
   2. It: 9
   3. S, III: 151
   4. A, I: 4
   5. Dp: 35, 36
   6. M, I: 301. Ya kho .... cittassa ekaggata ayam samadhi.
   7. Visuddhimagga 84
   8. Ven. Nyanaponika. The Power of Mindfulness. Wh: 121, 122 BPS
   9. M, III: 289
  10. D, I: 73
  11. M, I: 364
  12. M, I: 346
  13. Subasitaratnakhosa 1645
  14. D, I: 71
  15. D, I: 71
  16. S, V: 321
  17. Dp: 326
  18. M, I: 119
  19. A, V: 335
  20. A, I: 29
  21. M, I: 115
  22. A, V: 332
  23. Kamalañjali 17-20
  24. Perenungan-perenungan dikarang oleh Ven. Dhammika
  25. A, V: 334
  26. A, V: 334
  27. A, V: 336
  28. A, V: 334
  29. Visudhimagga 318
  30. Dhammapada Atthakata 192
  31. Ven. Nyanaponika. The Four Sublimes States. Wh: 6, BPS
  32. S, II: 264
  33. Milindapañha 394
  34. A, V: 342
  35. Cariyapitaka Atthakata 292
  36. A, V: 342
  37. M, I: 505
  38. Sn: 50
  39. It: 84
  40. Visuddhimagga 300
  41. A, IV: 85
  42. S, I: 1
  43. D, I: 72
  44. Dp: 372
  45. D, I: 73
  46. Visuddhimagga 142
  47. Visuddhimagga 143
  48. D, I: 74
  49. M, I: 57
  50. M, I: 59
  51. M, I: 59
  52. S, V: 181
  53. S, V: 332
  54. D, I: 75
  55. A, V: 151

Tiga Perlindungan

   1. A, IV: 219
   2. Dp: 188-192
   3. Kutipan-kutipan tanpa sumber acuan dikutip dari Majjhima Nikaya Atthakata, diterjemahkan dalam The Threefold Refuge oleh Nyanaponika, Wh: 76 BPS
   4. Sn: 259
   5. Vin, IV: 45
   6. D, III: 84
   7. It: 91
   8. lihat Visuddhimagga 213
   9. Sn: 1140-1144
  10. M, I: 480
  11. A, I: 123
  12. Vin, IV: 3
  13. Vin, IV: 16
  14. Vin, IV: 36
  15. Vin, IV: 21
  16. Bodhicaryavatara III: 25-26

Tahap-tahap Dalam Menempuh Jalan

   1. Ud: 54
   2. S, III: 154
   3. Dp: 122
   4. Dp: 178
   5. S, V: 396
   6. M, I: 320
   7. Ratnavali 5
   8. Visuddhimagga 129
   9. M, III: 269
  10. Milindapañha 129
  11. D, II: 140
  12. Sn: 77
  13. M, I: 46
  14. Satapañcasatka 11, 47, 60, 61, 102, 103, 105, 114
  15. S, III: 66
  16. Vin, I: 3

Kehidupan Sang Buddha

   1. E.H. Johnson, ed. Dan terj. Buddhacarita. Calcutta, 1935
   2. S, V: 369
   3. Sn: 683-684
   4. Sn: 686-687
   5. Sn: 692-694
   6. Didalam Tipitaka, Yasodhara sering cukup disebut sebagai 'ibunya Rahula' misalnya dalam Vin, I: 82
   7. A, I: 145
   8. M, I: 163
   9. M, I: 163
  10. M, I: 164
  11. M, I: 242
  12. M, I: 243
  13. M, I: 245
  14. M, I: 246
  15. M, I: 247
  16. M, I: 167
  17. M, I: 248
  18. M, I: 249
  19. M, I: 171
  20. M, I: 171
  21. M, I: 172
  22. S, V: 420
  23. S, II: 67
  24. Vin, IV: 20
  25. D, II: 100
  26. D, II: 99
  27. D, II: 127
  28. D, II: 135
  29. D, I: 133
  30. D, II: 137
  31. D, II: 149
  32. D, II: 156
  33. D, II: 157
  34. D, II: 158
  35. D, II: 166

Legenda Sang Buddha

   1. A, I: 59
   2. M, III: 123
   3. M, III: 123
   4. Sn: 425-431, 436-439, 442-446
   5. M, I: 168
   6. M, I: 169
   7. M, I: 169
   8. D, II: 89
   9. D, II: 137

Sumber-sumber - Pengenalan

   1. M, I: 520
   2. M, I: 520
   3. A, I: 187
   4. M, I: 1
   5. S, V: 407
   6. Dp: 19
   7. Jatakamala XXXI: 32-33

Masa awal kepustakaan Buddhis

   1. D, II: 163
   2. Vin, V: 284
   3. Vin, V: 286
   4. A, V: 46

Tipitaka

   1. D, II: 290 dan M, I: 56
   2. Dp: 396-423 dan Sn: 620-647
   3. W. Gieger. Pali language and literatur. New Delhi, 1978
   4. T.W. Rhys Davis dan W. Stede. Pali English Dictionary. London, 1979
   5. Vin, V: 139
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: Indra on 30 November 2008, 09:55:16 AM
Ryu, intinya apa? coba tuliskan kesimpulannya dalam 3 baris... :)
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 30 November 2008, 10:18:56 AM
Ryu, intinya apa? coba tuliskan kesimpulannya dalam 3 baris... :)

Intinya bisa dijadiin ebook nich :))
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 30 November 2008, 07:48:42 PM
Jangan berbuat jahat
Tambahlah kebajikan
Sucikan Batin
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: Riky_dave on 12 February 2010, 09:49:57 PM
:)
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: Mr. Wei on 13 February 2010, 10:59:55 PM
:)
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: ryu on 13 February 2010, 11:36:27 PM
:)
:)
ngabisin2 banwidth buat coment ginian :hammer: :hammer: :hammer:
Title: Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
Post by: Mr. Wei on 14 February 2010, 12:12:38 AM
kan unlimited :whistle: