//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)  (Read 13909 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« on: 05 October 2009, 09:39:36 PM »



Tulisan ini aslinya berupa sebuah thesis yang disusun untuk mencapai gelar Doktor dalam Ilmu Filsafat di University of London.


Rujukan yang digunakan adalah kitab-kitab :


ATTHASALINI - komentar atas Dhammasangani (bagian dari Abhidhhamma).
Ditulis oleh Buddhaghosa.
Ditulis berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala, dengan mempertimbangkan beberapa tafsir yang berlaku di lingkungan Mahavihara.


MANORATHAPURANI - komentar atas Anguttaranikaya.
Diterjemahkan ke bahasa Pali oleh Buddhaghosa, ketika beliau tinggal di Kancipura bersama Jotipala Thera. Dalam bagian pembuka, dikatakan bahwa naskah aslinya berbahasa Sinhala yang dibawa ke Sri Lanka oleh Mahinda dan dipelihara turun temurun oleh para penghuni Mahavihara. Selain itu dalam syair penutup, diakui bahwa versi Pali ini ditulis dengan mengambil intisari <saram adaya> dari Maha-atthakatha yang berbahasa Sinhala.


MAHAVAMSA - buku sejarah Sri Lanka.
Ditulis sejak kedatangan Vijaya dan para pengikutnya pada abad ke 5 sebelum Masehi. Hal ini berarti, menurut Mahavamsa, 'pada hari yang sama saat Tathagata berbaring di antara dua pohon sala kembar untuk mencapai nibbana'.


SAMYUTTANIKAYA ATTHAKATHA - komentar atas Samyutta Nikaya.
Dikenal juga dengan sebutan Saratthappakasini.


SAMANTAPASADIKA - komentar atas Vinaya Pitaka.
Ditulis oleh Buddhaghosa atas permintaan Buddhasiri Thera, berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala yang ditulis oleh Buddhamitta.


SAMMOHAVIMODANI - komentar atas Vibhanga (bagian dari Abhiddhama).
Ditulis oleh Buddhaghosa berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala, dengan mempertimbangkan beberapa tafsir yang berlaku di lingkungan Mahavihara. Selain itu banyak memuat catatan mengenai keadaan Agama Buddha di Sri Lanka pada masa-masa awal.


Semoga bisa meredam beragam spekulasi, dan kita jadi mengetahui sejarah sebagaimana apa adanya.
--------------------------------------------


VATTAGAMANI (43 tahun sebelum Masehi)

Ketika itu Sri Lanka diperintah oleh Raja Vattagamani. Baru saja memerintah lima bulan, Brahmana Tissa yang tinggal di Rohana memberontak. Bersamaan dengan itu, datang tujuh orang Tamil dari India dengan balatentara mereka. Tissa sangat kuat, sehingga Vattagamani tidak berani menghadapinya di medan perang.

Menurut Sammohavinodani :
Brahmana Tissa menyerbu. Para bhikkhu bersidang dan mengirim delapan thera kepada Dewa Sakka untuk meminta bantuan mengatasi pemberontakan itu. Sakka, raja para dewa, menjawab : 'Para Ariya, pemberontakan tidak mungkin ini bisa diatasi. Sebaiknya para bhante pergi ke negeri lain. Saya akan melindungi selama perjalanan di laut'.

Selain kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu, bencana alam pun menimpa negeri. Selama dua belas tahun, timbul bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah (Samyuttanikaya Atthakatha II-iii).

Vihara di Anuradhapura ditinggalkan dan para bhikkhu mengungsi ke India ataupun bersembunyi ke pegunungan.


PENDERITAAN SELAMA BENCANA
Menurut Sammohavinodani, para bhikkhu dari segenap penjuru akhirnya berkumpul di <bJambukola-pattana di Pulau Nagadipa (pulau kecil di Barat-Laut Sri Lanka), untuk berusaha menyeberang ke India. Tiga orang Thera Samyuttabhanaka (yang mahir dalam Samyuttanikaya) masing-masing bernama Culasiva, Isidatta dan Mahasena memimpin pertemuan itu.

Dengan menyadari kemampuan Mahasena untuk melindungi Buddhasasana di masa yang akan datang, kedua thera yang lain menyarankan agar beliau pergi ke negeri seberang dan baru kembali setelah bencana usai. Karena Culasiva dan Isidatta tidak mau ikut menyeberang, Mahasena menolak saran itu dan memutuskan untuk tetap tinggal di Sri Lanka juga. Akhirnya Culasiva meminta kepada Isidatta agar melindungi Mahasena sebaik mungkin. Culasiva Thera pulang kembali ke Mahacetiya. Ternyata Mahavihara sudah kosong, pohon-pohon liar sudah menutupi halaman, bahkan Mahacetiya sendiri tertutup semak belukar. Karena itu Culasiva pergi ke sebuah tempat di tepian Sungai Jaggara. Orang-orang di sana bertahan hidup dengan memakan daun-daunan. Beliau pun tinggal di sana sampai keadaan menjadi lebih baik. (Sammohavinodani 446, 447).

Isidatta dan Mahasena juga sangat menderita. Setelah mengembara terlunta-lunta, mereka tiba di Alajanapada. Penduduk di sini membelah biji buah 'madhu' dan memakan isinya. Kedua thera itu mengambil bagian luarnya yang tersisa, dan memakannya. Selama satu minggu hanya itulah makanan yang tersedia. Dalam kesempatan selanjutnya mereka bertahan hidup dengan memakan batang bunga bakung dan juga bonggol pohon pisang. (Sammohavinodani 447, 448).

Kisah bhikkhu yang lain, bernama Vattabaka Nigrodha lebih mengenaskan.
Bersama gurunya yang sudah uzur, beliau berkelana dari tempat ke tempat dengan secuil makanan. Bencana kelaparan pada saat itu sudah sangat gawat sehingga orang bahkan ada yang memakan daging manusia. Thera yang sudah sangat lanjut usia itupun menjadi salah satu korban mereka. Untunglah Nigrodha berhasil lolos. (Sammohavinodani 449, 450).

Tidak terhitung banyaknya orang yang mati, baik para bhikkhu maupun umat awam. Di Vihara Tissamaharama dan Cittalapabatavihara sebenarnya dahulu tersimpan beras yang cukup untuk tiga tahun, namun semuanya habis diserbu tikus. Dua belas ribu Arahat dari masing-masing vihara pun berangkat dengan maksud mengungsi ke vihara yang lain. Di tengah jalan mereka bertemu dan setelah mendengar kisah masing-masing, mereka akhirnya masuk ke hutan dan memilih untuk meninggal di sana, karena mengetahui sudah tidak ada gunanya lagi untuk kembali ke vihara. (Sammohavinodani).
Seorang theri bernama Naga, ditinggalkan bersama para bhikkhuni lainnya di vihara mereka di Desa Bharatagama. Para penduduknya habis lari mencari tempat yang lebih baik. Mereka mungkin tidak sempat memberitahukan kepergiannya kepada para bhikkhuni tersebut, atau tidak sampai hati menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk menanggung kehidupan para bhikkhuni tersebut pada masa bencana menimpa. (Manorathapurani).

Para thera lain yang disebut-sebut hidup pada masa itu adalah Tissabhuti, Sumanadeva, Phussadeva dan Upatissa.

Tissabhuti tinggal di Vihara Mandalarama di Desa Kalakagama. Di dalam Manorathapurani diriwayatkan bahwa bhikkhu ini pernah melihat seorang wanita dan kemudian pikiran kotor merasuki batinnya. Ia pun bergegas pulang ke <ivihara, menghadap gurunya Malayavasi Mahasangharakkhita Thera dan mendapat petunjuk untuk meditasi. Ia pun bertekad untuk menghapus pikiran kotornya, bahkan bila gagal ia nekad akan mengakhiri hidupnya. Ia pun pamit kepada gurunya sambil berulang-ulang memberi hormat. Gurunya bertanya heran, dan Tissabhuti menjawab : 'Syukurlah kalau saya berhasil. Namun kalau gagal, inilah penghormatan saya yang terakhir kepada guru.'
Tissabhuti pergi menyendiri dan menjalankan meditasi sesuai petunjuk gurunya. Akhirnya iia berhasil dan menjadi Arahat.

Cerita lain tentang Tissabhuti terdapat dalam Atthasalini.
Pada suatu hari ia menjelaskan bahwa tempat Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi di Buddha Gaya adalah 'nidana' (tempat asal) diajarkannya Abhidhamma Pitaka. Thera Sumanadeva dari Gama ketika itu sedang mengajarkan dhamma di bagian bawah Istana Kuningan. Thera Sumanadeva mendengar hal ini dan menyebut Tissabhuti sebagai seorang 'paravadi' (yang keliru), yang tidak mengetahui 'nidana' dari Abhidhamma. Beliaupun kemudian menjelaskan keterangan yang benar tentang riwayat Buddha mengajarkan Abhidhamma di kaki sebatang Pohon Paricchattaka di Tavatimsa, surga para dewa. (Atthasalini 30, 31).

Kedua thera yang lain, Phussadeva dan Upatissa berguru kepada orang yang sama. Selama masa bencana kelapan keduanya teguh berupaya melindungi Vinaya Pitaka. (Samantapasadika I-263).


bersambung ke SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI) - bagian 2 dari 2, tamat
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« Reply #1 on: 05 October 2009, 09:47:39 PM »
For ENGLISH please kindly refer to ALUVIHARA CAVE TEMPLE


Diorama dalam gua ALU VIHARA

MELESTARIKAN AJARAN


Baiklah kita ingat kembali bahwa pada masa tersebut ajaran Buddha diwariskan dari mulut ke mulut. Jadi selalu ada ancaman bahwa sebagian dari ajaran tersebut mungkin hilang akibat meninggalnya mereka yang telah menghafalkannya dan ketidakmampuan mereka yang telah menjadi lemah karena kelaparan untuk melanjutkan pelajaran. Juga tidak ada jaminan bahwa para bhikkhu yang mengungsi ke negeri lain akan kembali dengan selamat. Karena itu, mereka yang telah menghafal kitab-kitab sangat berhati-hati menjaga agar ajaran tersebut jangan sampai punah.

Enam puluh orang bhikkhu yang sebenarnya sudah sampai ke pantai dan siap menyeberang ke India, akhirnya secara sadar berbalik kembali ke Desa Malaya di bagian selatan Sri Lanka. Mereka bertahan hidup di sana dengan memakan umbi-umbian dan daun-daunan. Mereka terus mengulang-ulang ajaran yang sudah mereka hafal, agar tidak sampai melupakannya. Bila masih cukup kuat mereka menghafal sambil duduk. Bila sudah tidak kuat untuk bertahan duduk mereka menghafal sambil berbaring di pasir. Demikianlah selama dua belas tahun mereka bertahan menjaga ajaran Buddha, maupun 'atthakatha' atau penjelasan-penjelasannya. (Manorathapurani).

Meskipun demikian, satu buku nyaris hilang lenyap, yaitu Mahaniddesa dari Sutta Pitaka. Soalnya hanya tinggal satu orang bhikkhu yang bisa menghafalnya. Mahatipitakathera, guru dari Catunikaya Tissa meminta kepada seorang bhikkhu yang bernama Maharakkhita yang dikenal mempunyai daya ingat luar biasa, agar mempelajari Mahaniddesa. Bhikkhu Maharakkhita menolak belajar karena menganggap satu-satunya bhikkhu yang mengetahui Mahaniddesa tersebut tingkah lakunya kurang baik. Namun akhirnya Maharakkhita mengalah dan setelah belajar siang-malam, iapun menguasai naskah tersebut. Memang kemudian terbukti bahwa bhikkhu yang mengajarkan Mahaniddesa kepada Maharakkhita itu benar-benar seorang bhikkhu yang tidak baik moralnya. Namun untunglah naskah itu sempat terselamatkan. Banyak thera lain kemudian belajar dari Maharakkhita. (Samantapasadika III-695).

Setelah dua belas tahun penuh kesengsaraan, pemberontakan dan bahaya kelaparan pun berhenti. Brahmana Tissa terbunuh oleh para penyerbu Tamil, yang kemudian saling berbunuhan di antara mereka sendiri. Vattagamani berhasil naik tahta kembali. (Mahavamsa 33 54-61).

Mendengar bahaya sudah usai, para bhikkhu yang tadinya mengungsi ke India, pulang kembali. Mereka mencari dan menemukan kembali Mahasena Thera dan Vattabaka Nigrodha (lihat bagian satu). Keenampuluh bhikkhu yang menyepi di Desa Malaya dan berusaha menghafal naskah Dhamma, bertemu dengan para bhikkhu yang baru pulang. Mereka saling membandingkan ajaran yang mereka ingat dan ternyata tidak ada yang salah ingat. Kata demi kata ternyata cocok. (Manorathapurani I-92).


PERPECAHAN SANGHA

Pemandangan dari gua ALU VIHARA


Pemandangan dari gua
ALU VIHARADari keterangan di atas jelaslah bahwa keadaan Agama Buddha di Sri Lanka pada masa itu sudah jauh merosot dibanding dengan pada masa-masa sebelumnya. Meskipun para bhikkhu bertahan sehingga dapat melestarikan naskah Pali dari kepunahan, namun kemegahan Agama Buddha sudah sangat pudar. Salah satu sebabnya adalah raja sendiri sudah sangat lemah sehingga tidak dapat lagi memberikan perliindungan kepada Agama Buddha. Kemiskinan juga mendorong banyaknya orang yang menjadi bhikkhu untuk sekedar menikmati kesenangan hidup (seperti misalnya bhikkhu yang hafal Mahaniddesa). Hal ini tidak bisa tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan di dalam Sangha.

Karena mau tidak mau para bhikkhu harus bertahan hidup, maka yang lebih mudah adalah menjadi bhikkhu yang terpelajar, bukan yang suci. Apalagi didorong oleh urgensi untuk 'melestarikan naskah Pali.', maka kepandaian menjadi lebih menonjol dibanding kesucian.
Para bhikkhu mulai condong memperhatikan 'pariyatti' (mempelajari) sebagai lebih utama dibanding 'patipatti' (pelaaksanaan).

Manorathapurani pun mencatat bahwa para bhikkhu yang baru pulang setelah bencana kelaparan mendiskusikan 'apakah pariyatti yang merupakan akar dari sasana ataukah patipatti?' <"pariyatti nu kho sasanassa mulam udahu patipatti">.

Setelah beragumentasi mempertimbangkan keduanya akhirnya para 'dhammakathika' (pengajar dhamma) menang atas 'pamsukulika' (petapa, pelaksana vinaya). Para pelaksana terdesak ke latar belakang dan para pengkotbah ajaran dianggap lebih unggul. (Manorathapurani I 92, 93)

Perubahan sikap ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Theravada.
Pada mulanya sekte ini berawal dari Upali, vinayadhara (yang taat kepada vinaya) yang terutama dari antara para murid Buddha. Perubahan yang terjadi dalam periode Vattagamani ini membuka  dalam pelaksanaan Ajaran Buddha, terutama di Sri Lanka.

Perpecahan lebih lanjut terjadi tidak lama kemudian. Vattagamani selama dalam pelariannya banyak ditolong oleh Mahatissa dari Kupikkalavihara dan juga oleh Tissa dari Hambugallakavihara. Setelah berkuasa kembali, sebagai balas jasa ia mendirikan Abhayagirivihara dan menghadiahkannya kepada Mahatissa. Namun pesamuan para bhikkhu (sangha) yang ada di Mahavihara menjatuhkan sanksi pengucilan kepada Mahatissa. Alasannya, karena ia sering mengunjungi rumah keluarga para umat. Murid Mahatissa yang bernama Bahalamassu Tissa pun marah. Ia membentuk kelompok sangha tandingan di Abhayagirivihara, yang menolak untuk bergabung dengan sangha di Mahavihara. Inilah perpecahan Sangha yang pertama di Sri Lanka. Meskipun sudah berpisah, namun belum muncul perbedaan ajaran sampai beberapa waktu kemudian (Mahavamsa 33, 99).

Peristiwa pengucilan Mahatissa Thera sendiri amat menyakitkan bagi Raja Vattagamani. Kitab Mahavamsa mencatat bahwa ia tidak memberikan dukungan dana sedikitpun kepada Mahavihara, sebaliknya ia sangat mendukung Abhayagirivihara.


TIPITAKA DITULISKAN
Pada saat itulah para bhikkhu di Mahavihara merasa sudah waktunya untuk menuliskan Ajaran Buddha yang selama ini diwariskan dari mulut ke mulut. Kitab Mahavamsa hanya memberikan sedikit keterangan mengenai hal ini. Tidak disebutkan keterangan mengenai tempatnya maupun siapa yang menyandang dana untuk menyelesaikan pekerjaan besar ini. (Mahavamsa 33, 100-101).

Namun secara tradisi dipercaya bahwa 500 bhikkhu berkumpul di Alu-vihara (Aloka-vihara) dan mendapat dukungan dari seorang kepala suku untuk menyelesaikan karya besar ini.

Pintu Gerbang ALU VIHARA


Sebab-sebab yang mendorong penulisan dapat disimpulkan sebagai berikut :


1.  Pulau Lanka selalu dirundung ancaman serangan oleh negara asing non-Buddhis dan apabila mereka sampai berhasil, hal tersebut akan sangat merugikan Agama Buddha. Pertempuran dan gejolak politik mungkin akan mendorong diterlantarkannya pusat pengajaran utama seperti misalnya Mahavihara. Hal ini juga jelas akan mengakibatkan terpisahnya guru dengan murid sehingga proses pewarisan ajaran menjadi terganggu.


2.  Bencana kelaparan yang baru saja terjadi menyadarkan para bhikkhu akan kerawanan apabila membiarkan pewarisan Ajaran Buddha berlangsung secara mulut ke mulut. Para bhikkhu mengalami sendiri betapa susahnya mempertahankan kelestarian ajaran selama masa kemiskinan yang hebat itu.


3.  Semakin hari semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memasuki Sangha. Jelas mereka tidak dapat diandalkan untuk menjaga kemurnian Ajaran Buddha. Kitab Mahavamsa malahan mencatat hal ini sebagai sebab utama penulian Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).


4.  Sebab yang terakhir, namun bukan yang paling ringan, adalah pendirian kelompok Sangha baru di Abhayagirivihara yang terpisah dari Mahavihara. Malahan raja nampak sangat berpihak kepada kelompok Abhayagirivihara. Karena itulah agaknya para bhikkhu memilih untuk melakukan pekerjaan penulisan naskah di Aloka-vihara, suatu tempat di pinggiran Matale di propinsi tengah, jauh dari Anuraddhapura, ibukota kerajaan tempat tinggal Raja Vattagamani. Lebih lanjut kita juga bisa menduga mengapa dukungan diberikan oleh seorang kepala suku, bukan oleh raja sebagaimana seharusnya.


Apapun yang menjadi sebab, peristiwa penulisan Tipitaka ini telah menjadi fakta sejarah dan menentukan masa depan Theravada, bahkan keseluruhan khasanah pustaka kesusasteraan bahasa Pali.

Menurut tradisi, orang-orang Sri Lanka percaya bahwa ketiga pitaka ini dituliskan di atas kepingan emas dan kemudian disimpan di Aloka-vihara. Seandainya saja kepingan-kepingan tersebut dapat ditemukan kembali, maka nilainya sungguh tidak terperikan.


SUMBER :
Early History of Buddhism in Ceylon - or "State of Buddhism in Ceylon as
Revealed by the Pali Commentaries of the 5th Century AD".
Thesis submitted to and accepted by the University of London for the Degree of Doctor of Philosophy. - by E.W. Adikaram M.A., Ph. D. (Lond.), Principal, Ananda Sastralaya, Kotte, Ceylon.
Diterbitkan oleh The Buddhist Cultural Centre, 125 Anderson Road, Nedimala, Dehiwala, Sri Lanka. Cetakan kedua, 1994.


Catatan akhir:
Ki Ananda sudah mengunjungi ALOKA VIHARA dan menyaksikan bekas-bekas gua tempat Buddhaghosa menulis Visuddhi-Magga. Menyaksikan juga pohon lontar dan cara menulis di daun lontar. Tapi sayangnya tidak menemukan kepingan emas secuil pun. He he he ...
(Kalau gak percaya tanya deh pada Than Pradipa).

 _/\_
« Last Edit: 05 October 2009, 09:50:04 PM by Virya »
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« Reply #2 on: 05 October 2009, 11:23:38 PM »
TRIPITAKA/TIPITAKA

Tripitaka/Tipitaka atau 'Tiga Keranjang' terdiri dari vinaya pitaka, sutra pitaka, dan abhidharma pitaka , dimana merupakan kitab suci yang dipakai dalam agama Buddha, dapat ditemukan dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta. Perbedaan bahasa dalam kitab suci yang dipakai tersebut, akhirnya menjadi ciri khas masing-masing aliran yang ada dalam Buddhisme.

Bahasa yang dipakai Sang Buddha

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa Sang Buddha berbicara dengan bahasa Ardhamagadhi. Sedangkan berbagai sekte dalam sejarah Buddhisme mencatat sendiri sabda-sabda Sang Buddha dalam berbagai bahasa, antara lain sekte Sarvastivada (cikal bakal Mahayana) menggunakan bahasa Sansekerta, sekte Mahasanghika menggunakan bahasa Gandhari Prakrit, sekte Samitiya menggunakan bahasa Apabhramsa, sekte Sthaviravada (cikal bakal Theravada) menggunakan bahasa Paisaci. Sehingga jelas sekali bahwa Sang Buddha berbicara dalam berbagai bahasa.

Dalam perkembangannya maka dapat dimaklumi bahwa semua kitab suci agama Buddha merupakan terjemahan karena sudah sangat sulit diperoleh dalam bentuk aslinya. Aliran Mahayana menggunakan bahasa Sansekerta dan Theravada menggunakan bahasa Pali.

Namun dalam prakteknya sering terjadi adanya tudingan ataupun usaha pembuktian sekte yang ada dalam Buddhisme masing-masing yang dengan bangga menyatakan sekte mereka sebagai sekte yang paling murni dan paling benar, padahal Sang Buddha sendiri juga memperkenankan para siswaNya untuk mencatat sabda-sabdaNya dalam bahasa masing-masing, sebagaimana dapat dilihat pada Cullavaga V 33,1 , yang berbunyi

"Anujanam, bhikkhave, sakaya-niruttiya buddhavacanam pariya panitum."

yang diterjemahkan ,

"Wahai para bhikkhu, kalian diperkenankan mencatat sabda-sabda Bhagavan (sebutan Buddha) dengan bahasa kalian sendiri."

Sehingga kitapun janganlah terlalu terpaku ataupun ragu akan suatu bahasa yang dipakai dalam usaha kita mendalami Ajaran Sang Buddha. Janganlah hanya terpaku pada kata atau bahasa, yang penting adalah arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk bukanlah telunjuk yang harus kita perdebatkan untuk dapat menikmati sinar bulan yang ditunjuk oleh jari telunjuk tersebut.

Kitab Suci

Kitab suci yang dewasa ini dipakai dalam agama Buddha ditemukan dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta. Nama umum yang diberikan untuk kumpulan kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka. "Tri " berarti "tiga " dan "pitaka " berarti "keranjang " atau biasa diartikan sebagai "kumpulan ". Tripitaka dengan demikian adalah " Tiga Keranjang " atau "Tiga Kumpulan", terdiri dari:

1.      Vinaya Pitaka atau Kumpulan Disiplin Vihara.

2.      Sutta/Sutra Pitaka atau Kumpulan Ceramah/Dialog.

3.      Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin Yang Lebih Tinggi, hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari bahan-bahan yang ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.

 

1. Tipitaka Pali

 

Tipitaka Pali (45 jilid) memiliki pembagian sebagai berikut :

 

Vinaya Pitaka:

1. Parajika

2. Pacittiya

3. Mahavagga

4. Culavagga

5. Parivara

 

Sutta Pitaka:

1. Digha Nikaya

2. Majjhima Nikaya

3. Samyutta Nikaya

4. Anguttara Nikaya

5. Khuddaka Nikaya

 

Abhidhamma Pitaka:

1. Dhammasangani

2. Vibhanga

3. Dhatukatha

4. Puggalapannatti

5. Kathavatthu

6. Yamaka

7. Patthana

 

2. Mahapitaka (Tripitaka Mahayana)

 

Mahapitaka (Ta Chang Cing) terdiri dari 100 buku dengan pembagian sebagai berikut :

 

1. Agama

2. Jataka

3. Prajnaparamita

4. Saddharma Pundarika

5. Vaipulya

6. Ratnakuta

7. Parinirvana

8. Mahasannipata

9. Kumpulan Sutra

10. Tantra

11. Vinaya

12. Penjelasan Sutra

13. Abhidharma

14. Madhyamika

15. Yogacara

16. Sastra

17. Komentar Sutra

18. Komentar Vinaya

19. Komentar Sastra

20. Sekte

21. Aneka Sekte

22. Sejarah

23. Kamus

24. Daftar Isi

25. Komentar Sutra Lanjutan

26. Komentar Vinaya Lanjutan

27. Komentar Sastra Lanjutan

28. Aneka Sekte Lanjutan

 

Sutra-sutra dari kaum Theravada juga terdapat dalam Tripitaka Mahayana dengan sebutan Agama Sutra (A Han Cing). Agama Sutra sebagian besar isinya tidak berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra ini terdiri dari :

 

1. Dhirghagama

2. Mdhyamagama

3. Samyuktagama

4. Ekottarikagama

 

Dalam Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma dari golongan Sarvastivada (berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu :

 

1. Jnanaprasthana

2. Samgitiprayaya

3. Prakaranapada

4. Vijnanakayasya

5. Dhatukaya

6. Dharmaskandha

7. Prajnaptisastra

 

3. Kangjur dan Tangjur (Tibetan Tripitaka)

 

Disamping sutra-sutra Mahayana dan Theravada yang diambil sebagai kitab pokok dalam aliran Buddhisme Tibet (Tantrayana/Vajrayana) , mereka juga memiliki Kitab Kangjur dan Tangjur . Kitab Kangjur (Bka’-‘gyur, yang berarti Terjemahan Sabda Sang Buddha) berisi 108 jilid merupakan deskripsi Ajaran Sang Buddha, sedangkan Tanjur (Bstan-‘gyur, yang berarti Terjemahan Ajaran Sang Buddha) berisi 227 jilid merupakan komentar dari teks dasar.

 

Kangjur memiliki 6 bagian utama yang berisi (1) Tantra (2) Prajnaparamita Sutra (3) Ratnakuta Sutra yang merupakan kumpulan naskah pelengkap Mahayana (4) Avatamsaka Sutra (5) Berbagai Sutra Mahayana dan Hinayana , dan (6) Vinaya.

 

Sedangkan Tanjur yang dapat dibagi menjadi 3.526 naskah dapat dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu (1) stotras ; pujian agung dalam satu jilid termasuk 64 naskah (2) Ulasan tantra dalam 86 jilid termasuk 3.055 naskah, dan (3) Ulasan sutra-sutra dalam 137 jilid termasuk 567 naskah.

Naskah-naskah terjemahan dalam bahasa Tibet tersebut merupakan naskah peninggalan yang sangat penting setelah terdapat cukup banyak naskah di India dibakar habis oleh invasi agama Islam di India.

 

 

Sekilas Pandang Tipitaka

 

Vinaya Pitaka

 

Vinaya Pitaka merupakan suatu kumpulan Tata Tertib dan Peraturan Cara Hidup yang ditetapkan untuk mengatur murid-murid Sang Buddha yang telah diangkat sebagai bhikkhu atau bhikkhuni ke dalam Sangha. Peraturan-peraturan ini berupa himbauan dari Sang Buddha dengan tujuan agar mereka menguasai dan mengendalikan perbuatan jasmani dan ucapan mereka. Kitab ini juga menyangkut hal-hal mengenai pelanggaran peraturan; terdapat berbagai jenis peringatan dan usaha pengendalian sesuai dengan sifat pelanggaran yang dilakukan.

Secara umum Vinaya Pitaka dapat dibagi atas :

 

(1) Sutta Vibhanga

 

Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa/Patimokha yaitu peraturan-peraturan untuk para bhikkhu/bhikshu (227 peraturan) dan bhikkhuni/bhikshuni (311 peraturan).

 

(2) Khandaka-khandaka , terdiri dari Mahavagga dan Cullavagga.

 

Mahavagga merupakan serangkaian peraturan mengenai upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha, peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan [vassa], upacara pada akhir vassa [pavarana], peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan, pemberian jubah Khatina setiap tahun, peraturan bagi bhikhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

 

Cullavagga, terdiri dari peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban guru [acariya] dan calon bhikkhu [samanera], upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pasamu Agung Pertama di Rajagraha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali.

 

(3) Parivara,

 

Merupakan suatu ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya yang tersusun dalam bentuk tanyajawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

Dalam Buddhisme Mahayana juga terdapat Brahmajala Sutra [Fan Wang Cing] yang dipergunakan sebagai pedoman untuk menerangkan sila, pratimoksha dan Bodhisattva sila dimana terdiri dari 10 pasal kesalahan besar [Garukapatti] dan 48 pasal kesalahan kecil [Lahukapatti]. Brahmajala Sutra yang dipakai oleh Buddhisme Mahayana merupakan terjemahan dari Kumarajiva antara tahun 401 - 409 M. Selain itu terdapat juga Upasika Sila yang merupakan terjemahan dari Dharmaraksa antara tahun 414-421 M. Untuk Bhikshuni, terdapat juga Bhikshuni Sanghika Vinaya Pratimoksha Sutra yang diterjemahkan oleh I-Ching pada tahun 700-711 M dimana terdiri atas 348 pasal.

 

Sutra Pitaka [Sutta Pitaka]

 

Merupakan kumpulan pembicaraan antara Sang Buddha dengan berbagai kalangan, semasa Beliau mengembangkan ajaranNya. Sutra Pitaka dapat dikelompokkan dalam lima kelompok utama, yaitu :

- Digha Nikaya (kumpulan sutra yang isinya panjang),

- Majjhima Nikaya (kumpulan sutra yang isinya tidak terlalu panjang),

- Samyutta Nikaya (kumpulan sutra yang isinya secara kelompok),

- Anguttara Nikaya (kumpulan sutra atas beberapa topik utama),

- Khuddaka Nikaya (kumpulan sutra dari berbagai bahan).

 

Selain itu dalam Buddhisme Mahayana masih terdapat banyak sutra lainnya yang diperkirakan sekitar 300 sutra, dimana terdapat beberapa yang tersusun sesudah Parinirvana Sang Buddha. Sutra-sutra yang kebanyakan berasal dari bahasa Sansekerta telah berhasil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa saat ini berkat jasa-jasa dari para sesepuh Mahayana, seperti Kashyapamatanga dan Mdian Dharmaraksha, Tao-an, Kumarajiva, Siksananda, Buddhabhadra, Buddhajiva, Buddhayasas, Bodhiruci, Bhodiyasa, Gunabadra, Dhamakshema, Punyatara, Paramartha, I-ching, Fa-hsien, Hsuan-tsang, Subhakarasinha, Divakara, dan lain-lain. Kebanyakan sutra yang diterjemahkan pada awalnya ke dalam bahasa Mandarin tersebut dibawa dari India ataupun Srilanka melalui jalan darat yang dikenal sebagai Jalan Sutra (Silk Road). Sekarang sutra-sutra tersebut sudah ada dalam berbagai bahasa khususnya bahasa Tibet, Jepang, Korea, Vietnam dan malahan terdapat banyak sutra yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda.

 

Di Indonesia, pada jaman kejayaan Sriwijaya dalam masa keprabuan Syailendra (sekarang Palembang, Sumatera), telah tercatat dalam sejarah sebagai pusat pendidikan Agama Buddha Mahayana dimana terdapat seorang guru agama Buddha yang terkenal bernama Sakyakirti (Dharmakirti). Demikian juga di tanah Jawa dimana sempat juga didatangi oleh beberapa tokoh yang terkenal dalam sejarah perkembangan Buddhisme dengan berbagai peninggalan sejarahnya seperti candi Borobudur, Mendut, Pawon dan lain-lain. Bhikshu Fa-hsien dari Cina pada tahun 414 M sempat tinggal selama lima bulan di Ho-ling (Jawa) yang sesuai catatannya bahwa di Jawa telah menerima agama Buddha yang beraliran Hinayana. Setelah itu Gunawarman dari Kashmir yang datang ke Jawa pada sekitar tahun 421 M. Bhikshu lainnya dari Cina, Hui-ning juga pernah ke Jawa pada sekitar tahun 664 M dan sempat tinggal selama tiga tahun. I-ching sempat dua kali ke Sriwijaya dimana pada tahun 685 M sempat tinggal selama empat tahun untuk menyelesaikan tugasnya menerjemahkan berbagai kitab dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin. Atisa (hidup tahun 982-1054) dari keluarga bangsawan Bengala yang menjadi bhikshu pernah datang ke Srivijaya untuk belajar filsafat dan logika agama Buddha Mahayana selama 12 tahun (antara tahun 1011-1023) dibawah bimbingan guru besar Sakyakirti (Dharmakirti).

 

Beberapa sutra dalam Mahayana yang dianggap sangat penting, antara lain :

 

- Avatamsaka Sutra (Hua Yen Cing)

- Maha Ratnakuta Sutra (Ta Pao Ci Cing)

- Maha Sanghata Sutra (Ta Ci Cing)

- Astasahasrika Prajnaparamita Sutra (Pa Chien Sung Phan Jo Cing)

- Maha Prajnaparamita Sutra (Ta Phan Jo Cing)

- Prajnaparamita Hrdaya Sutra (Sim Cing)

- Sad-Dharma Pundarika Sutra (Fa Hua Cing)

- Mahaparinirvana Sutra (Ta Ch'eng Nie Phan Cing)

- Surangama Sutra (Leng Yeng Cing/ Ta Fo Ting Shuo Leng Yeng Cing)

- Amitabha Sutra (O Mi Tho Cing)

- Sukhavati Vyuha Sutra (Wu Liang Shuo Cing / Fo Shuo A Mi Tho Cing)

- Amitayur Dhyana Sutra (Kuang Wu Liang Shuo Cing)

- Vaipulya-mahavyuha Sutra (Ta Cuang Yen Cing)

- Vimalakirti Nirdesa Sutra (Wei Mo Cing)

- Suvarnaprabhasa Sutra (Cin Kuang Ming Cui Sen Wang Cing),

- Lankavatara Sutra (Leng Cia Cing)

- Sandhi Nirmocana Vyuha Sutra (Cie Sen Mi Cing)

- Vajrachedika-prajna-paramita Sutra (Cin Kang Cing)

- Mahavairocanabhi-sambhodi Sutra (Ta Re Ru Lai Cing)

- Lalita Vistara Sutra (P'u Yao Cing)

- Suvarna Prabhasa Sutra (Cin Kuang Ming Cui Sen Wang Cing)

- Dasabhumika Sutra (Se' Ti Cing)

- Mahayana Buddha Pacchimovada Pari Nirvana Sutra (I Chia Yu Cing)

- Brahmajala Sutra (Fan Wang Cing)

- Dasa Kausalya Karma Sutra (Se' San Ye Tao Cing)

- Maha Samnipata Sutra (Ta Chi Cing)

- Tathagatagarbha Sutra (Ta Fang Teng Ju Lai Tsang Cing)

- Yogacarabhumi Sutra / Dharmatara Dhayna Sutra (Ta Mo To Lo Ch'an Cing)

- Bhaishajyaguru Vaiduryaprabha Tathagata Sutra (Yo Shi Liu Li Kuang Ju Lai Pen

Yuan Khung Te Cing)

- Sanmukhi Dharani Sutra (Liu Men To Lo Ni Cing)

- Sutra Hui Neng atau Sutra Altar (Liu Cu Than Cing)

- Ksitigarbha Bodhisattva Sutra (Ti Chang Phu Sat Pen Yuan Cing)

- Bodhisattva Treasury Sutra (Phu Sat Tsang Cing)

 

Abhidharma Pitaka [Abhidhamma Pitaka]

 

Merupakan kumpulan berdasarkan klasifikasi yang detail mengenai fenomena kejiwaan, logika, analisa metafisik dan informasi penting dari kosa kata. Kitab Abhidhamma dapat juga disebut sebagai ilmu psikologi Buddhisme yang mengajarkan analisis yang mendalam mengenai berbagai komponen dan proses dari batin dan jasmani.

 

Abhidhamma Pitaka sesuai uraian dari kaum Sthaviravada (Pali canon) dapat diuraikan menjadi tujuh jilid buku [pakarana], yaitu :

 

a.      Dhammasangani, menguraikan mengenai etika dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa

b.      Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini dapat dibagi lagi dalam delapan bab [vibhanga], dan masing-masing bab memiliki tiga bagian yaitu Suttantabhajaniya, Abhidhammabhajaniya dan Pannapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.

c.      Dhatukatha, menguraikan mengenai unsur-unsur batin yang terbagi atas empat belas bagian.

d.      Puggalapannatti, menguraikan berbagai watak manusia [puggala] yang terkelompok dalam sepuluh urutan kelompok.

e.      Kathavatthu, terdiri dari dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan [katha] dan sanggahan terhadap pandangan salah yang dikemukan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.

f.       Yamaka, terdiri dari sepuluh bab [yamaka], yaitu Mula, Khanda, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.

g.      Patthana, menerangkan mengenai sebab-sebab yang berkenaan dengan dua puluh empat hubungan antara batin dan jasmani [Paccaya].

 

Abhidharma Pitaka dari kaum Sarvastivada (Sansekerta) dapat dikelompokkan dalam tujuh kitab, yaitu :

 

a.      Jnana-prasthana,

b.      Sangitiparyaya,

c.      Prakaranapada,

d.      Vijnanakayasya,

e.      Dhatukaya,

f.       Dharmaskandha,

g.      Prajnaptisastra.

 

Disamping itu terdapat juga beberapa kitab komentarnya, seperti Abhidhamma Maha Vaibasha Sastra dan Abhidhamma Kosa Sastra. Demikian juga yang ditulis oleh kaum Madhyamika, antara lain Madhyamika Karika, Dwi-dasa-Sastra, Sata Sastra. Asanga dari kaum Vijanavada yang dikenal dengan Yogacara menyusun beberapa karyanya yang berhubungan dengan Abhidhamma, yaitu : Saptadasabhumi Sastra Yoga-caryabhumi, Sutralankara-Tika, Madhyatavibhaga Sastra Grantha, Vajracheda Sutra Sastra, Yogavibhaga Sastra dan Mahayanasamparigraha Sastra. Vasubandhu juga menulis beberapa kitab yang berhubungan dengan Abhidhamma, yaitu : Vidyama-trasiddhi, Pancaskandhaka Sastra, Vidyamatrasiddhi Tridasa Sastra Karika, Karma- siddhaprakarana Sastra, Dasabhumika Sastra, Gayasirsha Sutra Tika dan Saddharmapundarika Sutra Upadesa.

 

Keahlian seseorang dalam menguasai berbagai kitab suci yang ada dalam Buddhisme bukanlah sebagai jaminan akan memperoleh manfaat kehidupan suci, tetapi yang penting adalah berbuat sesuai ajaran dalam kehidupan sehari-hari baik melalui pikiran, ucapan ataupun perbuatan.

 

Sang Buddha bersabda : "Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana, maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci." (Dhammapada, 19, 20)

 

 

Ketika kita menyatakan berlindung kepada Dharma (Dhammang Saranang Gacchami) berarti kita harus memiliki pengertian yang benar terhadap Ajaran Sang Buddha dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari secara bijaksana.
 
 
 
 _/\_
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« Reply #3 on: 07 October 2009, 10:29:12 AM »
 _/\_

salam kenal bro Virya,

salam sejahtera selalu buat anda,
ijinkan saya menambah info di thread anda, jika kurang berkenan dapat dihapus saja.

Berdasarkan on the spot saya th.2006 (entah klo sekarang) bangunan museum disana tidak terawat, penuh debu, meja berserakan, lemari utk menyimpan Tipitaka juga tidak rapi tersusun, berdebu, sehingga tidak ada kesan kita memasuki ruangan suci, dimana untuk pertama kalinya Kitab Suci Tipitaka di tuliskan (sekitar abad 1Masehi).

proses pembuatan daun lontar dapat kita ikuti dari gambar2 foto di dinding, sehingga kita tahu utk mendapatkan buku Tipitaka yang berasal dari daun lontar itu dengan cara merebus daun mudanya, kemudian dikeringkan, setelah kering, baru dituliskan dengan pena yg ujungnya lancip, tentunya tulisan blm dapat dibaca krn blm diberi warna, setelah selesai apa yg dituliskan tsb, baru dimasak dg pewarna, kemudian dikeringkan, dari situ baru proses penulisan selesai kitab dapat kita baca hingga sekarang, warna tulisan tidak luntur karena proses pewarna melalui dimasak.

Beda penulisan kitab "Visuddhimagga" di Srilanka dengan di Burma oleh YM.Buddhaghosa adalah bahan baku lontar, di Srilanka yang muda, sedangkan di Burma yang tua, bahkan YM.Buddhaghosa memunguti dari yang sudah jatuh2.

Di Srilanka jaman kuno Vinayadhara memilih tinggal di gua2 batu, jauh dari penduduk, sehingga banyak sekali terdapat vihara batu di Srilanka, dimana Vinayadhara dipercaya selalu mencapai arahat.

Alu Vihara di Matale, juga merupakan gua batu pertama kalinya, tapi sekarang museumnya berupa bangunan berdinding, bukan museum di dlm gua batu, gua batu berisi rupang2 para arahat yg menceritakan bagaimana proses penulisan Tipitaka, ada yg disangga punggungnya dg batu, ada yg rebahan, hal ini menurut kepala arama saya (saya mengunjungi bersama beliau) karena kelaparan selama proses penulisan Tipitaka, sehingga kondisi tubuh melemah, walau sudah arahat, tapi tubuh tetap membutuhkan makanan, sehingga kondisi tubuh mereka melemah krn kelaparan. Sungguh prihatin kondisi mereka saat itu mengingat karya mereka demi menyelamatkan dhamma dari pembelokkan (counterfeit dhamma).

Lempengan emas ada di istana Kandy (Kerajaan Srilanka yang terakhir istananya di Kandy, raja yang terakhir yang masih berumur 9 thn dipancung oleh Inggris), Relik Gigi Sang Buddha juga disini (tdk saya beri tambahan info nanti OOT).

semoga tambahan sedikit ini ada manfaatnya

may all beings be happy

mettacittena,

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« Reply #4 on: 07 October 2009, 09:50:53 PM »
[at] pannadevi

Anumodana  _/\_

senang bro/sis ::) mao share disini .....
bole share relik gigi Sang Buddha
buka aja thread baru ......
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI)
« Reply #5 on: 07 October 2009, 11:01:08 PM »
[at] pannadevi

Anumodana  _/\_

senang bro/sis ::) mao share disini .....(bro/sis..??  :o  :o klo nama pake devi kyk nya org langsung tahu gendernya deh..)
bole share relik gigi Sang Buddha
buka aja thread baru ......

Sadhu3x...(setahu saya Anumodana itu smg anda menikmati kebahagiaan yg sama dg saya rasakan, CMIIW)

senang juga bisa sedikit memberi info, smg ada manfaat.
sebenarnya yang mencatat pertama kali kisah penulisan kitab suci Tipitaka adalah Dipavamsa, sedangkan Dipavamsa telah ada sejak abad 3 Masehi sedang Mahavamsa abad 5 Masehi. Dalam Dipavamsa (hal.103, bab.20, syair 20-21) tertuliskan "pitakattayapalin ca tassa atthakatham pi ca mukhapathena anesum pubbe bhikkhu mahamti/20. hanim disvana sattanam tada bhikkhu samagata ciratthitattham dhammassa potthakesu likkhapayum/21" yang artinya :(maafkan saya copas bhs.inggris) "before this time , the wise Bhikkhus had orally handed down the text of the three Pitakas and also the Atthakatha/20, At this time, the Bhikkhus who perceived the decay of created beings, assembled and in order that the religion might endure for a long time, they recorded (the above - mention texts) in written books/21". Author dari Dipavamsa adalah kaum Bhikkhunis sehingga yang selalu digembor2kan dalam penulisan pitaka pali adalah Mahavamsa dimana authornya Bhikkhus (kembali ke masalah gender, maaf jika kurang berkenan)...

saya mencantumkan Dipavamsa ini selain bermaksud menambahkan dan melengkapi info tentang penulisan kitab suci Tipitaka pertama kali juga ingin menyampaikan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya sejak jaman dulu kami kaum perempuan telah mampu berprestasi, terbukti adanya Dipavamsa yang mencatat First Buddhist Council (persamuan Agung Pertama) hingga Third Buddhist Council (Persamuan Agung Ketiga) terlebih dahulu dibanding Mahavamsa. (kalo cerita Dipavamsa OOT juga ya mod)

Thanks atas saran anda Bro Virya utk membuka Thread baru ttg Relik Gigi Sang Buddha (Relik Gigi beliau hanya ada 2, satu di Tavatimsa, satu di Srilanka).

semoga info saya ada manfaat.

may all beings be happy

mettacittena,
« Last Edit: 07 October 2009, 11:03:52 PM by pannadevi »