Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi => Mahayana => Topic started by: Riky_dave on 27 February 2010, 02:56:18 PM

Title: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 27 February 2010, 02:56:18 PM
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.

2) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata usianya telah habis dan mereka masih diterjunkan di 3
alam Kesedihan, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

3) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata semua badannya tidak berwarna emas sejati, maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!

4) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata warna kulit dan jasmaninya tidak serupa, paras dari
mereka juga berbeda-beda ada yang cantik dan ada yang jelek, maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!

5) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata mereka tidak menguasai pengetahuan Purvanivasanu ( daya
yang dapat mengingat tumimbal-lahir yang lampau ), dan mereka hanya mengerti
segala kejadian dari ratusan ribu Koti Nayuta Kalpa, , maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!

6) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki Caksu (mata batin) dan mereka hanya
biasa melihat ratusan ribu Koti Nayuta negeri-negeri Buddha, maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!

7) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki Divyasrotra (teliga Surga) dan
hanya bisa mendengar khotbah-khotbah dari ratusan ribu Koti Nayuta Buddha dan
banyak ajaran Buddha mereka tidak mampu menerima seluruhnya, maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!

8.) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki pengetehuan Paracittajnana (daya
intuisi), mampu membaca pikiran makhluk-makhluk dari ratusan ribu Koti Nayuta
negeri-negeri Buddha, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

9) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki pengetehuan Rddhividhi (langkah
Surga) dan mereka dalam selintas merenung hanya dapat mengarungi ratusan ribu
Koti Nayuta negeri-negeri Buddha saja, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!

10) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, andaikata mereka belum memiliki pengetehuan Asravaksaya (daya mampu
memusnahkan kekotoran batin) dan mereka hanya memiliki ide-egois dan selalu
memikirkan keperluan tubuh diri sendiri, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!

11) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, andaikata mereka tidak ditempatkan pada Samyaktveniyatasi (hakikat
mutlak untuk mencapai pahala yang sesuai Sang Praktek Dharma) agar semua dapat
mencapai Nirvana, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

12) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, andaikata sinar hidupku terbatas sehingga tidak dapat memancar ratusan
ribu Koti Nayuta negeri-negeri Buddha, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!

13) Apabila aku telah menjadi Buddha, andaikata masa hidupku
terbatas,meskipun sampai dengan ratusan ribu Koti Nayuta Kalpa, maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!

14) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Sravaka yang berada di
negeriku, andaikata jumlahnya dapat dihitung oleh para pratyekabuddha yang
berasal dari rakyat-rakyat di dunia Trisahasra-Mahasahasra Lokadhatu hingga
lamanya ratusan ribu Kalpa, mereka dapat mengerti jumlahnya dan tidak salah
hitung seorangpun, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

15) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, kehidupan atau usianya tidak terbatas,kecuali atas kehendaknya mereka
senang panjang atau pendek, jika tidak demikian, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!

16) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, andaikata diantara mereka kelakuan mereka terbukti kurang baik atau
berdosa, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

17) Apabila aku telah menjadi Buddha, andaikata para Buddha yang berada
di sepuluh penjuru dunia jumlah tak terhingga tidak memuliakan namaku, maka aku
tak akan mencapai samyaksambuddha!

18) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang berada di 10
penjuru dunia setelah mendengar namaku lalu timbul keyakinan dengan riang
gembira, ingin dilahirkan di negeriku dengan cara merenung atau menyebut namaku
(Namo Amitabha Buddhaya!), andaikata setelah pelaksanaanya genap 10 kalitidak
dilahirkan di negeriku, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha.Kecuali
mereka telah memiliki dosa Pancanantarya (5 perbuatan durhaka ) dan pernah
memfitnah Sad-Dharma dari para Tathagata.

19) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang berada di 10
penjuru dunia yang telah membangkitkan Bodhicitta (bercita-cita ingin mencapai
Kebuddhaan dan ingin menyelamatkan para makhluk), telah mempraktekkan dan
mengamalkan berbagai kebajikan dan Dharma,dengan ini mereka berjanji bertekad
dilahirkan di negeriku.Pada saat mereka akan mengakhiri kehidupannya,andaikata
aku tidak bersama-sama dengan rombonganku mengelilinginya serta menampakandiri
di depan mereka, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha! Supaya aku menjadi
perwira terunggul di Triloka!

20) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang berada di 10
penjuru dunia setelah mendengar namaku mengarahkan hatinya kepada negeriku dan
menanam berbagai benih kebajikan, kemudian jasa-jasanya di-Parinamanakan
(disalurkan) di negeriku.Andaikata cita-citanya tidak dipenuhi, maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!

21) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang berada di
negeriku, andaikata seluruh badannya tidak dilengkapi dengan
Dvatrimsa-Maha-Purusa Laksana (32 macam tanda fisik agung) seperti badan Buddha
dan Bodhisattva,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!

22) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka para Bodhisattva yang lahir
di negeriku yang berasal dari pelbagai alam Buddha, semua memiliki identitas
disebut Ekajatipratibaddha (hanya satu kali menitis telah menjadi Buddha-pilih)
kecuali:
a) Jika mereka telah mempunyai cita-cita akan menjelmakan raganya secara
bebas, kemudian dengan badan Nirmitanya dilengkapi perisai-ikrar. Demi
makhluk-makhluk sengsara mereka akan menimbun jasa-jasa sebanyak-banyakknya
untukmembebaskan segala umat dari belenggu penderitaan dan cita-citanya ini akan
tetap sukses;
b) Jika mereka akan menjelajah
ke pelbagai negeri Buddha, guna mempraktekkan Bodhisattva-Carita (pelaksaan
tugas Bodhisattva) disana, cita-citanya juga akan sukses;
c) Jika mereka bermaksud ingin mengadakan kebhaktian untuk mengabdi para
Buddha yang berada di 10 penjuru dunia, ini juga akan tercapai;
d) Jika mereka akan membimbing
para umat yang banyaknya bagaikan butiran pasir Sungai Gangga,agar umat-umat
tersebut dapat menegakkan Saddharma terangung di dalam hatinya dan dapat
meningkatkan status mereka hingga melampaui Bhumi-Bodhisattva yang setarap,agar
segala contoh-contoh tentang “Samantabhadra-Guna” dapat dihayati oleh para umat
yang dibimbingnya hingga sukses.
Andaikata, keadaan mereka tidak demikian,maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 27 February 2010, 02:56:36 PM
23) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku, setelah menerima Adhisthana (dikuatkan) tentang Rddhibala Buddha (tenaga gaib Buddha) dan hendak mengabdi para Tathagata,andaikata mereka tidak dapat megunjungi negeri-negeri Buddha yang banyaknya ber-Koti-Koti Nayuta yang
tak terhingga dengan waktu sekali santapan, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

24) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu, tiba di depan para Buddha di pelbagai dunia dan mereka sedang menampilkan jasa-jasanya guna menhasilkan bermacam-macam sajian agung serta alat-alat pujaan untuk mengabdi para Buddha. Andaikata, segala niat yang dimaksudkan oleh mereka itu tidak muncul dengan memuaskan, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

25) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu, tidak mampu berkhotbah tentang pengetahuan Sarvajna ( segala pengetahuan Buddha) kepada pengikutnya, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

26) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu, tidak memiliki badan Vajra-Narayana (badan sekuat seperti
Narayana) , maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

27) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa, manusia, serta segala
sesuatu yang berada di negeriku itu, bukan saja bermutu suci murni, bercahaya indah rupawan, melainkan juga berbentuknya, jenisnya serta warnanyapun demikian unik. Baik umat-umat maupun benda-benda semua demikian cantik, halus dan menakjubkan! Jumlah jenis-jenisnya pun sulit diperhitungkan! Juga, terdapat banyak umat yan berbakat cerdas, bahkan memiliki Mata-batin. Andaikata, mereka
dapat mengamati jenis-jenis benda tersebut; mereka dapat menjelaskan namanya serta jumlahnya, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

28) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu, karena tidak memiliki jasa sehingga tidak dapat melihat atau mengerti warna dan cahaya pohon Bodhi dari Mandalanya; Bahkan tinggi pohon yang hanya 4 juta Yojana pun juga tidak terlihat oleh mereka, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

29) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu, telah menerima ajaran-ajaran Buddha seperti Sutra-Sutra,
Gatha-Gatha, Dharani penting,Vibhasa-Vibhasa (keterangan-keterangan yang amat luas) dan sebagainya, tetapi mereka masih belum memiliki ketrampilan tentang Prajna (kebikjaksanaan terluhur) dan Pratibhana (berlidah fasih), maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

30) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di negeriku itu hanya memiliki ketrampilan Prajna dan Pratibhana yang terbatas, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 27 February 2010, 02:57:07 PM
31) Apabila aku telah menjadi Buddha, bumi-bumi di negeriku itu akan
tetap berkwalitas mulus, rapih, dan bersih; Sinar hidupku tetap menembus segala alam Buddha di 10 penjuru dan jumlahnya banyak sekali tak dapat diperkirakan, dan alam-alam tersebut tidak berbeda seperti wajah orang yang dicerminkan pada kaca mengkilap, seluruhnya amat terang benderang. Andaikata tidak demikian adanya, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

32) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka seluruh lingkungan di
negeriku mulai dari permukaan bumi terus ke angkasa terdapat banyak istana mestika yang mewah, gedung-gedung tinggi, kolam-kolam yang penuh dengan air 8 budijasa, bunga teratai yang bermacam-macam warna, pohon-pohon dari 7 mestika
serta segala harta benda seperti terdapat di pelbagai dunia. Dan benda-benda tersebut semua terbuat dari berbagai permata dan ribuan jenis wewangian. Setiap bangunan dihias dengan amat teliti, indah, megah, halus dan menakjubkan!
Kemuliaannya melampaui alam-alam manusia atau Surga; keharumannya meliputi 10 penjuru dunia, sehingga para Bodhisattva yang berada di dunia itu setelah mencium harumnya lalu melaksanakan Buddha-Carita ( pelaksanaan tingkat Kebuddhaan), andaikata tidak demikian adanya, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

33) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka makhluk apa saja yang berada di 10 penjuru alam Buddha tak terhingga serta sulit diperkirakan, bila badan mereka tersentuh oleh sinar hidupku, baik hati (pikiran) maupun jiwa-raganya akan merasakan kehalusan, lembut dan tanda sifat yang unik ini tetap melampaui para Dewata. Andaikata tidak demikian adanya, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

34) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka makhluk apa saja yang berada di 10 penjuru alam Buddha yang tak terhingga dan sulit diperkirakan, setelah mendengar namaku, andaikata mereka tidak dapat memiliki Anutpatika-Dharma-Ksanti (menetap batin pada Nirvana) serta berbagai Dharani penting, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

35) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka akan terdapat para wanita
yang berada di 10 penjuru alam Buddha yang tak terhingga dan sulit diperkirakan, dimana setelah mendengar namaku timbul keyakinan dan merasa amat riang gembira lamtas membangkitkan Bodhicittanya. Dan jika sejak itu mereka tidak senang akan tubuh wanitanya dan ingin menjelma menjadi tubuh pria pada masa mendatang.
Andaikata mereka masih tetap memiliki tubuh wanita dalam kehidupan berikut, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

36) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka akan terdapat banyak
Bodhisattva yang berada di 10 penjuru alam Buddha yang tak terhingga dan sulit diperkirakan, dimana setelah mereka mendengar namaku,baik sekarang maupun di masa mendatang selalu menjalankan Sila-Sila Brahma-Carita (mengendali nafsu indera,bebas dari perzinahan) hingga memperoleh Kebuddhaan. Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

37) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka akan terdapat para Dewa,
manusia, yang berada di 10 penjuru alam Buddha yang tak terhingga dan sulit
diperkirakan, dimana setelah mendengar namaku maka dengan sikap sangat khidmat
memberi penghormatan kepadaku sambil menimbulkan keyakinan dengan amat riang
gembira, kemudian melaksanakan Bohisattva-Carita (memanfaatkan para umat serta
diri sendiri agar sama-sama mencapai Kebuddhaan) dan berkelakuan amat suci dan
agung, sehingga selalu dimuliakan oleh para manusia dan para Dewa. Andaikata
tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

38) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka jika para Dewa, manusia,
yang berada di negeriku menginginkan beberapa stel pakaian atau jubah, mereka akan menerimanya dan selintas merenung pakaian lengkap serta jubah-jubah khusus untuk Dharma yang tertentu; Yang selalu dipujikan oleh Sang Buddha itu, dimana semua akan berada di atas tubuhnya. Andaikata pakaian yang mereka terima itu tidak sesuai kehendaknya atau bahannya belum jadi, harus dijahit, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

39) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka jika para Dewa, manusia,
yang berada di negeriku tidak dapat menikmati kebahagiaan yang sama besar dengan para Bhiksu yang berstatus Asravaksaya (segala kotoran batin dan penderitaan telah musnah), maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

40) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka para Bodhisattva yang berada di negeriku jika bermaksud ingin melihat alam Buddha yang suci murni dan indah di 10 penjuru banyaknya yang tak terhingga, biar pada saat apapun mereka dapat melihatnya melalui pohon-pohon mestika dan jelasnya seolah-olah wajah seseorang
tercemin pada kaca yang mengkilap, Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

41) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika terdapat para Bodhisattva
yang berada di pelbagai dunia, dimana setelah mendengar namaku dan tinggal sedikit saat lagi mereka akan mencapai Kebuddhaan, tapi pancainderanya atau organ-organ lain masih cacat atau fungsinya kurang normal, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

42) Apabila aku telah menjadi Buddha, dan terdapat para Bodhisattva
yang berada di pelbagai dunia, setelah mendengar namaku maka semua akan memiliki suatu Samadhi luhur yang disebut Suvibhaktavati (terbebas segala ikatan) dan mereka hanya sepintas piker semua telah berada di depan Buddha yang tak terhingga sulit diperkirakan mengadakan pemujaan, dan saat itu mereka masih tetap didalam keadaan Samadhi pada semula belum diakhirinya. Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

43) Apabila aku telah menjadi Buddha, dan terdapat para Bodhisattva
yang berada di pelbagai dunia, setelah mendengar namaku, andaikata, demi suatu
tugas penting mereka ingin dilahirkan di salah satu anggota keluarga yang mulia
saat ia telah tutup usianya, jika tidak dipenuhi keinginannya, maka aku tak akan
mencapai Samyaksambuddha!

44) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka akan terdapat para
Bodhisattva yang berada di pelbagai dunia setelah mendengar namaku merasa amat riang gembira dan tekad melaksanakan ‘Bodhisattva-Carya’ yang terluhur hingga sukses, disamping mereka mengumpulkan jasa-jasa yang terangung selengkap-lengkapnya guna perbekalan menyeberang ke Pantai-seberang. Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

45) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka akan terdapat para
Bodhisattva yang berada di pelbagai dunia, setelah mendengar namaku semua akan
memiliki suatu Samadhi lebih luhur yakni Samantanugata (secara luas dan seimbang
terhadap batin sepemuja), dan dalam Samadhi itu mereka bisa dengan Mata-batin
melihat para Buddha yang banyaknya tak terhingga dan sulit diperkirakan; Dan disamping itu dengan pelaksanaan Samadhi ini mereka mencapai Kebuddhaan.
Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

46) Apabila aku telah menjadi Buddha, para Bodhisattva yang berada di
negeriku itu, bila ingin mendengar khotbah Dharma biar pada waktu apapun tetap dapat ditangkap secara otomatis; Dan suara dari khotbahan Dharma dikumandangkan melalui sinar, arus, jarring-jaring, pohon-pohon, unggas-unggas dan sebagainya.
Andaikata tidak demikian, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

47) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di pelbagai dunia, setelah mendengar namaku, tidak segera memiliki
Avinivartaniya (memiliki status tanpa mundur atau berpaling terhadap Kebodhian)
dari Anuttara Samyaksambodhi itu, maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!

48) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva yang berada
di pelbagai dunia, setelah mendengar namaku, tidak segera memiliki 3 jenis
Dharma-Ksanti, atau hanya yang pertama: Ghosanugata-Dharma-Ksanti (dengan suara dapat mengerti makna-makna Dharma); atau hanya yang kedua:
Anulomiki-Dharma-Ksanti (batinya sangat halus dan lembut); atau komplet dengan
yang ketiga: Anutpattika-Dharma-Ksanti (batin tetapdi Nirvana atau dalam keadaan
tanpa lahir tanpa musnah); Demikian pula tentang Avinivartaniya yang berasal
dari Dharma luhur yang dipegang oleh para Buddha itu, maka aku tak akan mencapai
Samyaksambuddha!

Sumber : Sutra tentang Amitabha jilid 1
( Buddhavaca Amitayus Tathagata Sutra)
Halaman : 10-12

Adakah Sutra seperti ini didalam Mazhab Mahayana?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 28 February 2010, 08:48:07 AM
Benar, ini merupakan sutra mahayana.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 28 February 2010, 10:13:31 AM
48 ikrar Buddha Amitabha seperti yang disebut di atas tercantum dalam Larger Sukhavativyuha Sutra (Mahasukhavativyuha Sutra) atau Sutra on the Buddha of Eternal Life (Amitayus Sutra). Dalam sutra tersebut dikisahkan bagaimana Bhikshu Dharmakara di bawah bimbingan Buddha Lokesvararaja membuat 48 ikrar untuk menyelamatkan semua makhluk. Setelah tercapainya Kebuddhaan, beliau dikenal sebagai Buddha Amitayus (Amitabha) yang berdiam di Tanah Buddha Sukhavati di sebelah barat.

Berikut ini ada teks lengkap sutra tersebut dalam bahasa Inggris (sy gak ketemu sutra bhs Indonesia-nya pake Google):

http://www.buddhistdoor.com/oldweb/resources/sutras/larger_sutra.htm (http://www.buddhistdoor.com/oldweb/resources/sutras/larger_sutra.htm)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 28 February 2010, 12:12:12 PM
Quote
48 ikrar Buddha Amitabha seperti yang disebut di atas tercantum dalam Larger Sukhavativyuha Sutra (Mahasukhavativyuha Sutra) atau Sutra on the Buddha of Eternal Life (Amitayus Sutra). Dalam sutra tersebut dikisahkan bagaimana Bhikshu Dharmakara di bawah bimbingan Buddha Lokesvararaja membuat 48 ikrar untuk menyelamatkan semua makhluk. Setelah tercapainya Kebuddhaan, beliau dikenal sebagai Buddha Amitayus (Amitabha) yang berdiam di Tanah Buddha Sukhavati di sebelah barat.

Lho?yang di bold itu cerita darimana ya??berati ikrar tersebut tidak relevan dong?_/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 28 February 2010, 01:30:20 PM
Quote
48 ikrar Buddha Amitabha seperti yang disebut di atas tercantum dalam Larger Sukhavativyuha Sutra (Mahasukhavativyuha Sutra) atau Sutra on the Buddha of Eternal Life (Amitayus Sutra). Dalam sutra tersebut dikisahkan bagaimana Bhikshu Dharmakara di bawah bimbingan Buddha Lokesvararaja membuat 48 ikrar untuk menyelamatkan semua makhluk. Setelah tercapainya Kebuddhaan, beliau dikenal sebagai Buddha Amitayus (Amitabha) yang berdiam di Tanah Buddha Sukhavati di sebelah barat.

Lho?yang di bold itu cerita darimana ya??berati ikrar tersebut tidak relevan dong?_/\_

Maksudnya tidak relevan????
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 28 February 2010, 07:57:57 PM
Quote
48 ikrar Buddha Amitabha seperti yang disebut di atas tercantum dalam Larger Sukhavativyuha Sutra (Mahasukhavativyuha Sutra) atau Sutra on the Buddha of Eternal Life (Amitayus Sutra). Dalam sutra tersebut dikisahkan bagaimana Bhikshu Dharmakara di bawah bimbingan Buddha Lokesvararaja membuat 48 ikrar untuk menyelamatkan semua makhluk. Setelah tercapainya Kebuddhaan, beliau dikenal sebagai Buddha Amitayus (Amitabha) yang berdiam di Tanah Buddha Sukhavati di sebelah barat.

Lho?yang di bold itu cerita darimana ya??berati ikrar tersebut tidak relevan dong?_/\_

Maksudnya tidak relevan????

Bhiksu membuat "ikrar"??Jadi "ikrar" ini dapat darimana ya???Apakah Buddha Gotama pernah menceritakannya??

Apakah itu relevan??

Oh iya Buddha Amitabha itu sendiri apa ya??

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 28 February 2010, 09:36:49 PM
O gitu mksudny....

Coba sdr membaca sutra tsb lbh dulu (maaf kalau memang sdh bc). Dlm sutra tsb B.Sakyamuni mengisahkan kpd Ananda bhw jauh berkalpa2 yg lampau terdpt seorg Buddha bernama Lokesvararaja dg muridny Bhiksu Dharmakara. Bhiksu tsb bercita2 mencapai kebuddhaan & mewujudkan tanah buddha sendiri yg keagunganny melebihi tanah2 buddha lain. B.Lokesvararaja pun memberitahukan keagungan berbagai tanah buddha yg ad yg memakan wkt berkalpa2 utk menjelaskanny (dkatakan bhw usia Buddha tsb adl berkalpa2 jg lamany). Stlh itu,dg mengambil berbagai keunggulan tanah buddha lain,sang bhiksu membuat 48 ikrar utk mewujudkan tanah buddha sendiri stlh ia menjd buddha d mana para makhluk dpt berharap dlahirkan & mencapai Nirvana d sana. B.Sakyamuni lalu melanjutkan bhw bhiksu telah mewujudkan kebuddhaan & menjd B.Amitabha/Amitayus (Amitabha = infinite light & Amitayus = infinite life, Amita = infinite, Abha = light, spt pada "Abhassara", Ayus = ayu = life)  yg saat ini berdiam d tanah buddha bernama Sukhavati d barat. Oleh sebab itu,48 ikrar bhiksu Dharmakara jg dkenal sbg 48 ikrar B.Amitabha

Berdsrkan sutra ini,umat Mahayana yg berkeyakinan menyebut Namo Amitabha Buddhaya (Namo Amitofo) berulang2 agar dpt terlahir d Tanah Sukhavati sesuai ikrar2 tsb. Tentuny mnrt buku2 Mahayana yg prnh sy bc,penyebutan nama Buddha ini hrs dbarengi dg hati suci & menjalankan 10 sila (Dasasila) agar bs terwujud. Mnrt versi lain penyebutan nama Buddha ini sesungguhny adl meditasi Buddhanussati thd B.Amitabha spt dlm Amitayus Dhyana Sutra/Sutra of Contemplation of Amitayus.

Semoga jwbn ini dpt dterima
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 01 March 2010, 10:55:37 PM
O gitu mksudny....

Coba sdr membaca sutra tsb lbh dulu (maaf kalau memang sdh bc). Dlm sutra tsb B.Sakyamuni mengisahkan kpd Ananda bhw jauh berkalpa2 yg lampau terdpt seorg Buddha bernama Lokesvararaja dg muridny Bhiksu Dharmakara. Bhiksu tsb bercita2 mencapai kebuddhaan & mewujudkan tanah buddha sendiri yg keagunganny melebihi tanah2 buddha lain. B.Lokesvararaja pun memberitahukan keagungan berbagai tanah buddha yg ad yg memakan wkt berkalpa2 utk menjelaskanny (dkatakan bhw usia Buddha tsb adl berkalpa2 jg lamany). Stlh itu,dg mengambil berbagai keunggulan tanah buddha lain,sang bhiksu membuat 48 ikrar utk mewujudkan tanah buddha sendiri stlh ia menjd buddha d mana para makhluk dpt berharap dlahirkan & mencapai Nirvana d sana. B.Sakyamuni lalu melanjutkan bhw bhiksu telah mewujudkan kebuddhaan & menjd B.Amitabha/Amitayus (Amitabha = infinite light & Amitayus = infinite life, Amita = infinite, Abha = light, spt pada "Abhassara", Ayus = ayu = life)  yg saat ini berdiam d tanah buddha bernama Sukhavati d barat. Oleh sebab itu,48 ikrar bhiksu Dharmakara jg dkenal sbg 48 ikrar B.Amitabha

Berdsrkan sutra ini,umat Mahayana yg berkeyakinan menyebut Namo Amitabha Buddhaya (Namo Amitofo) berulang2 agar dpt terlahir d Tanah Sukhavati sesuai ikrar2 tsb. Tentuny mnrt buku2 Mahayana yg prnh sy bc,penyebutan nama Buddha ini hrs dbarengi dg hati suci & menjalankan 10 sila (Dasasila) agar bs terwujud. Mnrt versi lain penyebutan nama Buddha ini sesungguhny adl meditasi Buddhanussati thd B.Amitabha spt dlm Amitayus Dhyana Sutra/Sutra of Contemplation of Amitayus.

Semoga jwbn ini dpt dterima

Bro,saya mau bertanya,setujukah anda bahwa Ajaran semua Buddha itu SAMA?

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 02 March 2010, 12:53:04 PM
Berdasarkan RAPB,ajaran smua Buddha adl sama. Walaupun Amitabha tdk dsebut dlm RAPB krn beda aliran/tradisi,mnrt sy ajaran Beliau jg sama dg ajaran Buddha Sakyamuni. Hny saja dlm sutra ini B.Sakyamuni tdk menyebut ttg ajaran B.Amitabha. Namun mnrt Mahayana, B.Amitabha sedang mengajar d Sukhavati,oleh sebab itu jk menginginkan bimbingan langsung dr seorg Buddha & kondisi ideal utk berlatih,umat Mahayana boleh bertekad utk terlahir d Sukhavati.

Tentu saja ini adl keyakinan pribadi,boleh saja kt tdk meyakini adany Sukhavati & Amitabha krn tdk ad dlm kitab suci aliran kt. Tetapi sy pribadi meyakini hal ini & ini tak perlu dperdebatkan apakah bnr/tdk.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 02 March 2010, 12:54:49 PM
^

setujuuuuuu.. pandangan anda sangat bijaksana  :x :x :x ....

GRP send
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 02 March 2010, 09:14:50 PM
Berdasarkan RAPB,ajaran smua Buddha adl sama. Walaupun Amitabha tdk dsebut dlm RAPB krn beda aliran/tradisi,mnrt sy ajaran Beliau jg sama dg ajaran Buddha Sakyamuni. Hny saja dlm sutra ini B.Sakyamuni tdk menyebut ttg ajaran B.Amitabha. Namun mnrt Mahayana, B.Amitabha sedang mengajar d Sukhavati,oleh sebab itu jk menginginkan bimbingan langsung dr seorg Buddha & kondisi ideal utk berlatih,umat Mahayana boleh bertekad utk terlahir d Sukhavati.

Tentu saja ini adl keyakinan pribadi,boleh saja kt tdk meyakini adany Sukhavati & Amitabha krn tdk ad dlm kitab suci aliran kt. Tetapi sy pribadi meyakini hal ini & ini tak perlu dperdebatkan apakah bnr/tdk.

Karena sudah masuk rana "keyakinan" ya sudah toh,saya hanya sedikit bingung,bagaimana ada seorang Bakal Buddha yang "ingin" melebihi Buddha Gotama?

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 02 March 2010, 09:33:58 PM
 [at] riky_dave:
Memang sekilas membaca sutra tsb seakan2 Buddha Amitabha lebih hebat drpd Buddha Gotama. Namun sesungguhny kemampuan/kekuatan para Buddha adl sama. Mnrt salah satu sutra Mahayana,B.Sakyamuni jg memiliki tanah Buddha yg tak kalah hebatny. Saat itu seorg siswa (kalau tdk salah Maugalyanana/Mogallana) protes kpd Buddha knp tanah para Buddha spt Amitabha begitu hebatny sedangkan bumi/dunia yg dtempati Beliau begitu buruk.

Buddha mengatakan, "Engkau tdk mengetahui kemurnian sesungguhny dr tanah Buddha-ku" lalu dg kekuatan batinny mewujudkan dunia ini spt Sukhavatti dg berbagai kemuliaanny. Dlm versi Mahayana sendiri dkatakan bhw dunia kt akan bagaikan surga saat kemunculan Buddha Maitreya kelak. Jd,kemampuan utk mewujudkan tanah Buddha yg "megah" adl kemampuan semua Buddha,bkn monopoli B.Amitabha saja.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 02 March 2010, 09:43:41 PM
[at] riky_dave:
Memang sekilas membaca sutra tsb seakan2 Buddha Amitabha lebih hebat drpd Buddha Gotama. Namun sesungguhny kemampuan/kekuatan para Buddha adl sama. Mnrt salah satu sutra Mahayana,B.Sakyamuni jg memiliki tanah Buddha yg tak kalah hebatny. Saat itu seorg siswa (kalau tdk salah Maugalyanana/Mogallana) protes kpd Buddha knp tanah para Buddha spt Amitabha begitu hebatny sedangkan bumi/dunia yg dtempati Beliau begitu buruk.

Buddha mengatakan, "Engkau tdk mengetahui kemurnian sesungguhny dr tanah Buddha-ku" lalu dg kekuatan batinny mewujudkan dunia ini spt Sukhavatti dg berbagai kemuliaanny. Dlm versi Mahayana sendiri dkatakan bhw dunia kt akan bagaikan surga saat kemunculan Buddha Maitreya kelak. Jd,kemampuan utk mewujudkan tanah Buddha yg "megah" adl kemampuan semua Buddha,bkn monopoli B.Amitabha saja.

Saya heran looo..kalau tidak salah pada saat Buddha akan menunjukan kekuataan gaibnya dan ditantang oleh 6 petapa aliran sesat,YM Moggalana datang dan meminta izin untuk mempertunjukan "kesaktiannya"[yang konon katanya no rank 2 dibawah Buddha],ketika itu Buddha bertanya apa yang akan ditunjukan oleh YM Moggalana,YM Moggalana berkata bahwa[setelah pertunjukan lainnya,saya hanya menyebutkan 1 diantaranya] dia akan membalikkan tanah subur yang berada dibawah bumi ke atas dan membagikan kepada semua masyarakat,sehingga mereka makmur,dan seterusnya,,,..kemudian Buddha melarangnya..[ada maksud di balik hal tersebut,dari beberapa komentator].

Saya melihat bahwa Buddha sendiri tidak menciptakan "tanah Buddha" atau segala sesuatu yang untuk "kebajikan" orang lain ,dikarenakan Buddha sendiri tidak mampu "melawan" Hukum Kamma,dan saya juga merenung bahwa SammaSambuddha adalah "penemu" Kebenaran,dia tidak menciptakan Kebenaran itu tetapi "hanya" menemukan,memahami dan merealisasikan Kebenaran tersebut...

Saya hanya heran dengan Ikrar Buddha Amitabha,yang sepertinya "tidak masuk akal",coba renungkan ke 48 ikrar Buddha Amitabha tersebut,saya yakin kita pernah mendengar bahwa dulunya Buddha Gotama sendiri saja enggan untuk membabarkan Dhamma[dan memilih lebih baik berdiam didalam Kebahagian dan menjadi Pacceka Buddha,menurut hemat saya memang tidak egois tindakan Buddha tersebut,lihat saja sendiri perjuangan Buddha selama 45 tahun,susahnya kasih tahu orang tentang Dhamma,malah Buddha dimaki dan dicerca..hehe..]..

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 02 March 2010, 09:50:15 PM
Quote
Saya hanya heran dengan Ikrar Buddha Amitabha,yang sepertinya "tidak masuk akal",coba renungkan ke 48 ikrar Buddha Amitabha tersebut,saya yakin kita pernah mendengar bahwa dulunya Buddha Gotama sendiri saja enggan untuk membabarkan Dhamma[dan memilih lebih baik berdiam didalam Kebahagian dan menjadi Pacceka Buddha,menurut hemat saya memang tidak egois tindakan Buddha tersebut,lihat saja sendiri perjuangan Buddha selama 45 tahun,susahnya kasih tahu orang tentang Dhamma,malah Buddha dimaki dan dicerca..hehe..]..



Kalau begitu ikrar yg bagaimana yg masuk akal?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 02 March 2010, 09:51:15 PM
Kalau begitu ikrar yg bagaimana yg masuk akal?

Maaf bro Bond,saya juga agak meragukan Ikrar Buddha Gotama..

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 02 March 2010, 09:52:48 PM
Kalau begitu ikrar yg bagaimana yg masuk akal?

Maaf bro Bond,saya juga agak meragukan Ikrar Buddha Gotama..

Anumodana _/\_

Ikrar Buddha Gotama yg mana bro?

Makanya kalau ikrar Buddha Gotama juga diragukan, maka ikrar yang mana yg tidak meragukan dan masuk akal?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 02 March 2010, 09:56:22 PM
Kalau begitu ikrar yg bagaimana yg masuk akal?

Maaf bro Bond,saya juga agak meragukan Ikrar Buddha Gotama..

Anumodana _/\_

Ikrar Buddha Gotama yg mana bro?

Makanya kalau ikrar Buddha Gotama juga diragukan, maka ikrar yang mana yg tidak meragukan dan masuk akal?

Sori saya ralat,maksud saya adalah Ikrar Petapa Sumedha..[cikal bakal Buddha Gotama]..

Saya rasa Ikrar Petapa Sumedha masih ada "korelasi" dan kecocokannya,walau saya sendiri bertanya tentang Ikrar tersebut,mungkin pandangan saya keliru..

Tetapi dari Sutra Amitabha ,saya benar2 tidak dapat memahaminya,bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi?bukankah ini hanya berupa "pengharapan" terhadap orang2 ?tidakkah ini malah [maap] "membodohkan" orang ?

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 02 March 2010, 10:03:23 PM
Kalau begitu ikrar yg bagaimana yg masuk akal?

Maaf bro Bond,saya juga agak meragukan Ikrar Buddha Gotama..

Anumodana _/\_

Ikrar Buddha Gotama yg mana bro?

Makanya kalau ikrar Buddha Gotama juga diragukan, maka ikrar yang mana yg tidak meragukan dan masuk akal?

Sori saya ralat,maksud saya adalah Ikrar Petapa Sumedha..[cikal bakal Buddha Gotama]..

Saya rasa Ikrar Petapa Sumedha masih ada "korelasi" dan kecocokannya,walau saya sendiri bertanya tentang Ikrar tersebut,mungkin pandangan saya keliru..

Tetapi dari Sutra Amitabha ,saya benar2 tidak dapat memahaminya,bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi?bukankah ini hanya berupa "pengharapan" terhadap orang2 ?tidakkah ini malah [maap] "membodohkan" orang ?

Anumodana _/\_

Ini dilema juga disatu sisi bro belum memahami disatu sisi yg memiliki keyakinan itu memahaminya. Nah kalau mungkin bro merasa itu pembodohan....darimana kita liat bahwa itu pembodohan? dari sisi pikiran kita? atau kenyataan yg sebenarnya?

Jika itu kenyataan sebenarnya? benarkah kita telah dengan jernih memastikan itu kenyataan melalui pengalaman langsung, atau hanya baru sebatas teori dan muncul suatu kesimpulan...

Kecuali membunuh secara membabi buta...lalu dikatakan boleh2 saja...tentu itu pembodohan, karena nyata.....bagaimana hal2 yg diperlukan pengalaman langsung dan bukan hanya sekedar teori terhadap hal2 yg tidak nyata, bahkan banyak kemungkinan intrepertasi dari 2 sisi?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 02 March 2010, 10:11:51 PM
Quote
Ini dilema juga disatu sisi bro belum memahami disatu sisi yg memiliki keyakinan itu memahaminya. Nah kalau mungkin bro merasa itu pembodohan....darimana kita liat bahwa itu pembodohan? dari sisi pikiran kita? atau kenyataan yg sebenarnya?
Saya tahu,karena saya tidak memahaminya maka saya mempostingkannya di thread Mahayana,dengan tujuan agar dapat memahaminya dari orang yang memiliki keyakinan yang telah memahami tentang sutra itu..Tentunya dari sisi pemikiran saya,karena saya bukanlah orang yang telah tercerahkan ,saya masih hidup didalam dualisme ini..Dari ke 48 Ikrar tersebut,saya melihat ketika muncul Buddha Amitbha maka umatnya hanya perlu bersantai2 saja,dan saya lihat kalau orang yang membaca sutra tersebut,bisa jadi berpandangan keliru,karena dia akan santai2 menjalani kehidupan sekarang,dan melepas kesempatan emas pada kehidupan sekarang[sebagaimana kita tahu bahwa sulit terlahir sebagai manusia,dan sangat sulit terlahir sebagai manusia yang memperoleh kesempatan mendengarkan Dhamma Bhagava],dengan anggapan bahwa nanti semuanya akan terpenuhi pada kehidupan2 yang akan datang[tanpa tahu kapan kehidupan itu datang?setelah menikmati neraka avici?setelah menjalani kehidupan jadi makhluk alam apaya?setelah menjadi makhluk di alam binatang?Saya yakin bahwa ajaran Buddha dititikberatkan pada perealiasasikan pada kehidupan sekarang,bukan kehidupan yang berikutnya.],dikarenakan sutra tersebut jelas tertulis,tanpa IKRAR tersebut tercapai maka Buddha Amitbha tidak akan merealisasikan keBuddhaanNya.. _/\_

Quote
Jika itu kenyataan sebenarnya? benarkah kita telah dengan jernih memastikan itu kenyataan melalui pengalaman langsung, atau hanya baru sebatas teori dan muncul suatu kesimpulan...
Sudah saya jawab diatas.. :)

Quote
Kecuali membunuh secara membabi buta...lalu dikatakan boleh2 saja...tentu itu pembodohan, karena nyata.....bagaimana hal2 yg diperlukan pengalaman langsung dan bukan hanya sekedar teori?
tidak perlu membunuh,ada juga pembodohan secara terselubung,seperti aliran Maitreya..terlihat Agung,tetapi didalamnya?[Kalau yang Maitreya ini,saya memiliki teman yang orang tuanya berhubungan dengan Aliran Maitreya ini,jadi saya memiliki fakta yang sangat jelas disini..]

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: g.citra on 02 March 2010, 10:18:49 PM
Aliran timbul karena adanya beberapa faktor ... salah satunya faktor 'pemikiran' yang menimbulkan dari 'sebuah kepentingan' ...

Gak mungkin pemikiran kita satukan menjadi sebuah pendapat ... Itu Realita !

Sebuah fakta yang hendaknya dijadikan 'pembelajaran' hidup buat orang-orang yang 'ingin sadar' ...
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 02 March 2010, 10:26:52 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 02 March 2010, 10:28:36 PM
Quote
Saya tahu,karena saya tidak memahaminya maka saya mempostingkannya di thread Mahayana,dengan tujuan agar dapat memahaminya dari orang yang memiliki keyakinan yang telah memahami tentang sutra itu..Tentunya dari sisi pemikiran saya,karena saya bukanlah orang yang telah tercerahkan ,saya masih hidup didalam dualisme ini..Dari ke 48 Ikrar tersebut,saya melihat ketika muncul Buddha Amitbha maka umatnya hanya perlu bersantai2 saja,dan saya lihat kalau orang yang membaca sutra tersebut,bisa jadi berpandangan keliru,karena dia akan santai2 menjalani kehidupan sekarang,dan melepas kesempatan emas pada kehidupan sekarang[sebagaimana kita tahu bahwa sulit terlahir sebagai manusia,dan sangat sulit terlahir sebagai manusia yang memperoleh kesempatan mendengarkan Dhamma Bhagava],dengan anggapan bahwa nanti semuanya akan terpenuhi pada kehidupan2 yang akan datang[tanpa tahu kapan kehidupan itu datang?setelah menikmati neraka avici?setelah menjalani kehidupan jadi makhluk alam apaya?setelah menjadi makhluk di alam binatang?

Tau darimana bahwa mereka hanya perlu bersantai2 dsb, pernahkah bro survey secara nyata?

Yang pasti saat ini pun entah mereka umat amithaba yg mahayanis atau theravada atau umat Buddha pada umumnya, sekalipun tau bahwa itu ajaran Sang Buddha, banyak yg belum sanggup melaksanakannya dengan baik...tetapi ada pula umat amithaba atau umat Buddha pada umumnya yg mengerti maksud kalimat tersebut atau hal yg diyakininya dan dapat menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik sesuai tujuan yg ingin mereka capai.
Quote
Saya yakin bahwa ajaran Buddha dititikberatkan pada perealiasasikan pada kehidupan sekarang,bukan kehidupan yang berikutnya.],dikarenakan sutra tersebut jelas tertulis,tanpa IKRAR tersebut tercapai maka Buddha Amitbha tidak akan merealisasikan keBuddhaanNya..

sebuah kalimat tidak bisa kita artikan secara mentah.....itu hanya menandakan kesungguhan tekad ... :).

Makanya saya tanya kembali, menurut bro ikrar yg bagaimana yg bukan pembodohan?

Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 02 March 2010, 10:40:15 PM
ijinkan saya utk berkomentar jg  ;D

dulu saya jg penganut mahayana, dalam mempraktekkan ajaran Mahayana, tdk ada namanya yg bersantai santai lgsg masuk sukkhavati,,,,  dari mana seseorg bisa mengclaim org lain bersantai santai sementara dia sendiri tdk bisa melihat kehidupan sehari hari secara penuh aktivitas seorg mahayanis........
Seseorg yg mempraktekkan Dharma sesuai pandangan Mahayana, dilakukan dengan mengembangkan cinta kasih yg tdk kalah dari praktek Theravada, latihan jg tdk kalah, didalamnya memang digunakan cara pelafalan, untuk membangkitkan Saddha dan konsentrasi, serta merenungi sifat sifat ke Buddha yg didalam Theravada dikenal sebagai Buddhanussati....... secara konsisten umat mahayana selalu menjaga keyakinan yg teguh terhadap Buddha, dan jg mempraktekkan cinta kasih dalam hal ini jalan yg ditempuh adalah melalui vegetarian sesuai dgn anggapan dan kecocokan mereka......\
selain itu jg mereka mempraktekkan kebijaksanaan yg disana disebut sebagai prajna... sama halnya dgn Theravada mempraktekkan kebijaksanaan yg disebut dgn Panna.

Disini pandangan mahayana mencangkup moralitas, Samadhi, dan jg Prajna. tentu hal ini jg merupakan praktek yang luar biasa.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 02 March 2010, 10:41:26 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.



Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 02 March 2010, 10:42:36 PM
 [at] riky:
IMO jika seorg umat Mahayana krn sutra ini/ikrar2 ini berpikir bhw ia tdk perlu berusaha utk menjalankan Dharma lg krn sudah djamin oleh ikrar2 tsb pasti diselamatkan,mk sy katakan bhw yg bodoh itu adl sang umat,bkn sutra/ajaranny. Tdk mgkn hny mengulang2 nama Buddha scr membabi buta bs terlahir d Sukhavati, tanpa sila & samadhi yg benar.

Sebenarny ad artikel menarik ttg praktek yg benar atas penyebutan nama Buddha dr forum tetangga. D sana djelaskan bhw praktek yg benar lah yg bs membawa seseorg k Sukhavati. Bsk atau kpn sempat sy akan memposting artikel tsb. Thx
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 03 March 2010, 12:10:18 PM
Benar seperti yang dikatakan bro Seniya. Tidaklah benar seorang praktisi Mahayana yang berkeyakinan pd metode praktik Sukhavati ini hanya terpaku pada keyakinan lalu tinggal santai2, atau Sukhavati vyuha Sutra itu adalah sutra pembodohan.  Mengkaji Sutra Mahayana tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi, secara sepotong-potong.
Secara konsep, Sukhavati memang tidak terdapat dalam tradisi lain (Theravada) , tetapi utk garis besarnya masing2 memiliki prinsip yang sama seperti berkeyakinan pada Triratna, menjalani tiga aspek pelatihan Sila, Samadhi, Prajna, berpegang pd prinsip Tilakhana, mempraktikkan 8 jalan kebenaran, dll.
 Sedangkan perbedaan2 seperti konsep Tanah Buddha, Bodhisatva, Kearahatan, yang tidak sama itu tentu kembali pada kecocokan masing2. 

Berbalik pada masalah keyakinan , misalnya dalam Theravada pun terdapat kisah Matthakundali yang hanya berkeyakinan pada Buddha tanpa melakukan kebajikan dapat terlahir di alam Surga. Jika mencernanya secara harafiah, maka mungkin saja dapat "menggiring" orang utk bersantai2 tanpa mau berbuat kebajikan, yang penting yakin dgn Sang Buddha. Tapi tentu tidak benar pemahaman demikian, bukan? 
Begitu juga saat mempraktikkan metode ajaran Sukhavati dalam tradisi Mahayana. Di dalamnya sebenarnya terdapat aspek2 penting lainnya utk dilatih agar pikiran selaras dengan Dharma, yang mengarah ke pengikisan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: truth lover on 03 March 2010, 04:18:26 PM
Quote
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
isinya yang nggak logis atau salah terjemahan?

-Apabila aku telah menjadi Buddha :berarti belum menjadi Buddha
-jika masih terdapat Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
:berarti jika disana masih ada alam sengsara maka aku tak akan menjadi Buddha. alam sengsaranya hilang kemana?
- Apabila aku telah menjadi Buddha, jika...........dsbnya, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha: Aneh ? jika telah menjadi Buddha kok bisa tidak mencapai samyaksambuddha?

Apa salah terjemahan?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 03 March 2010, 04:50:49 PM
Quote
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
isinya yang nggak logis atau salah terjemahan?

-Apabila aku telah menjadi Buddha :berarti belum menjadi Buddha
-jika masih terdapat Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
:berarti jika disana masih ada alam sengsara maka aku tak akan menjadi Buddha. alam sengsaranya hilang kemana?
- Apabila aku telah menjadi Buddha, jika...........dsbnya, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha: Aneh ? jika telah menjadi Buddha kok bisa tidak mencapai samyaksambuddha?

Apa salah terjemahan?

Bro TL, ijinkan saya utk berkomentar :D.
Berdasarkan pandangan Mahayana, sebelum beliau menjadi Seorg Buddha, beliau pernah membuat 48 iklar (itu sebelum beliau jd Buddha), dan karena iklar beliau itulah, dan dengan usaha beliau, ahkirnya beliau menjadi Buddha. dan konon menurut pandangan Mahayana, di Surga Barat , Alam Sukhavati (alam Buddha Amitabha), tdk terdapat alam alam menderita, karena beliau selalu mengajarkan Dhamma yang ada, dan mahkluk mahkluk yang terlahir disana adalah mahkluk yang memiliki kualitas batin yang baik , dan penuh weles asih, karena berkat Kekuatan Buddha Amitabha maka alam disana tdk terdapat yg namanya alam penderitaan. ini menurut pandangan Mahayana. kira kira penjelasannya seperti itu,  coba baca Amitaba Sutra. disana ada. diceritakan....

tentu saja setiap org memiliki keyakinan masing masing mao yakin pada Buddha Amitabha atau tdk, semuanya diserahkan kepribadi masing masing
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 03 March 2010, 04:58:29 PM
Quote
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
isinya yang nggak logis atau salah terjemahan?

-Apabila aku telah menjadi Buddha :berarti belum menjadi Buddha
-jika masih terdapat Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
:berarti jika disana masih ada alam sengsara maka aku tak akan menjadi Buddha. alam sengsaranya hilang kemana?
- Apabila aku telah menjadi Buddha, jika...........dsbnya, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha: Aneh ? jika telah menjadi Buddha kok bisa tidak mencapai samyaksambuddha?

Apa salah terjemahan?

Dalam konsep Mahayana, ada 2 jenis Tanah Buddha:
1. Tanah Buddha Murni ---> tanpa alam buruk
2. Tanah Buddha tidak murni ----> memiliki alam buruk

Setiap Buddha memiliki Tanah Buddha yang murni dan tidak murni. Yang Murni merupakan manifestasi dari hasil adhitana dan pengumpulan paramitanya. Bila makhluk yang memiliki keselasaran dan jodoh karma yang tepat akan dapat terlahir di Tanah Murni Buddha. Sedangkan yang belum selaras akan berada di alam yang kondisinya tidak murni.

Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Tanah Buddha Amitabha juga demikian. Yang murni itu tanpa alam2 buruk, seperti dalam Vimalakirti nirdesa Sutra menyebutkan bahwa fondasi dari tanah murni yg dikembangkan bodhisatva terletak pada elemen2 kebajikan. Pikiran lurus adalah tanah murni bodhisatva, karena makhluk yg memliki pikiran lurus akan terlahir di tanah murni itu. Di sini merefleksikan bahwa tanah murni yg dikembangkan oleh setiap bodhisatva adalah elemen2 batin yg bajik. Setelah dikembangkan hingga mencapai Samyaksambuddha, maka tanah murni itu termanifestasikan tanpa ada kondisi alam yg buruk. Bukan karena alam buruknya hilang. Karena pada dasarnya kemurnian batinnya telah memanifestasikan semua dimensi kemurnian, sehingga tidak ada dimensi keburukan (alam buruk). Jadi yang diadhitanakan oleh Bhiksu Dharmakara itu adalah logis dan akhirnya terwujud menjadi Sukhavati.  Ingat, perwujudan tanah murni demikian itu bersifat transenden, yang mana dalam hal ini merupakan jenis tanah murni dalam arti seperti yang dimiliki Buddha Sakyamuni dalam kondisi kemurniannya, bukan jenis yang tidak murni seperti Tanah Buddha  SAHA.  Dengan kata lain, Buddha Amitabha dalam perwujudan Nirmanakaya juga ada sisi alam yg tidak murni , yang bukan Sukhavati, di mana terdapat siswa2 utama, nama ayahnya, ibunya, dll. Ini disebutkan dalam salah satu sutra, saya lupa, nanti ada kesempatan akan dipost.

Mungkin ini terdengar tidak logis dari sisi Theravada, tapi saya tidak ingin lagi mendebatkan dua sudut pandang yg berbeda ini, karena masing2 berpegang pada logika masing2. Semua dikembalikan pada kecocokan masing2 saja. SEmoga dapat dipahami. :)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 03 March 2010, 05:26:06 PM
Akhirny,para ahli Mahayana pun berbicara....
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Indra on 03 March 2010, 05:38:52 PM
Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Saya tertarik dengan Tanah Buddha Sakyamuni ini, bisakah menjelaskan lebih jauh tentang Tanah Buddha Sakyamuni yg murni? karena selama ini yg sering kita dengar hanyalah Sukhavati yg merupakan domain dari Amitabha _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: K.K. on 03 March 2010, 05:47:27 PM
Dalam konsep Mahayana, ada 2 jenis Tanah Buddha:
1. Tanah Buddha Murni ---> tanpa alam buruk
2. Tanah Buddha tidak murni ----> memiliki alam buruk

Setiap Buddha memiliki Tanah Buddha yang murni dan tidak murni. Yang Murni merupakan manifestasi dari hasil adhitana dan pengumpulan paramitanya. Bila makhluk yang memiliki keselasaran dan jodoh karma yang tepat akan dapat terlahir di Tanah Murni Buddha. Sedangkan yang belum selaras akan berada di alam yang kondisinya tidak murni.

Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Tanah Buddha Amitabha juga demikian. Yang murni itu tanpa alam2 buruk, seperti dalam Vimalakirti nirdesa Sutra menyebutkan bahwa fondasi dari tanah murni yg dikembangkan bodhisatva terletak pada elemen2 kebajikan. Pikiran lurus adalah tanah murni bodhisatva, karena makhluk yg memliki pikiran lurus akan terlahir di tanah murni itu. Di sini merefleksikan bahwa tanah murni yg dikembangkan oleh setiap bodhisatva adalah elemen2 batin yg bajik. Setelah dikembangkan hingga mencapai Samyaksambuddha, maka tanah murni itu termanifestasikan tanpa ada kondisi alam yg buruk. Bukan karena alam buruknya hilang. Karena pada dasarnya kemurnian batinnya telah memanifestasikan semua dimensi kemurnian, sehingga tidak ada dimensi keburukan (alam buruk). Jadi yang diadhitanakan oleh Bhiksu Dharmakara itu adalah logis dan akhirnya terwujud menjadi Sukhavati.  Ingat, perwujudan tanah murni demikian itu bersifat transenden, yang mana dalam hal ini merupakan jenis tanah murni dalam arti seperti yang dimiliki Buddha Sakyamuni dalam kondisi kemurniannya, bukan jenis yang tidak murni seperti Tanah Buddha  SAHA.  Dengan kata lain, Buddha Amitabha dalam perwujudan Nirmanakaya juga ada sisi alam yg tidak murni , yang bukan Sukhavati, di mana terdapat siswa2 utama, nama ayahnya, ibunya, dll. Ini disebutkan dalam salah satu sutra, saya lupa, nanti ada kesempatan akan dipost.

Mungkin ini terdengar tidak logis dari sisi Theravada, tapi saya tidak ingin lagi mendebatkan dua sudut pandang yg berbeda ini, karena masing2 berpegang pada logika masing2. Semua dikembalikan pada kecocokan masing2 saja. SEmoga dapat dipahami. :)
Saya pikir dari sisi Theravada pun tetap logis. Dalam Tradisi Theravada misalnya ada Vemanika Peta (setengah deva setengah peta) yang dikatakan menjadi seperti sipir di neraka setengah waktu hidup (siang) dan menikmati kebahagiaan deva setengah hidup sisanya (malam). Di dalam neraka ini, yang konon apinya sangat mengerikan, mereka tidak terbakar. Jadi saya berpikir api neraka yang membakar makhluk di sana adalah hasil dari pikiran akibat kamma buruk mereka sendiri. Mereka yang tidak memiliki pikiran demikian, tidak terkena efeknya (atau mungkin juga bahkan tidak ada api).

Jadi menurut saya, sepertinya tanah murni Buddha menurut paham Mahayana adalah karena manifestasi pikiran baik, bukan tidak logis pula dari sisi Theravada.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 06:50:41 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.
saya tidak setuju dengan yang dibold diatas...atas dasar apa Mahayana memiliki pandangan seperti itu?bisa disharekan? Saya rasa Buddha tidak menganjurkan untuk "mudah percaya"[Buddha mengajurkan "saddha" yang didasari oleh pengertian,penyelidikan,pemahaman,dan pembuktian],Buddha mengajurkan didalam Kalama Sutta untuk "membuktikan" ajaranNya,dan Buddha dengan jelas melarang "pertunjukan gaib" untuk "mengaet" umat..

Ini :

BRAHMAVIHARAPHARANA

Aham sukhito homi
Semoga aku berbahagia   

Niddukho homi
Bebas dari penderitaan   

Avero homi
Bebas dari penyakit

Anigho homi
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharami
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagianku sendiri   

Sabbe satta sukhita hontu
Semoga semua makhluk berbahagia

Niddukha hontu
Bebas dari penderitaan

Avera hontu
Bebas dari kebencian   

Abyapajjha hontu
Bebas dari kesakitan

Anigha hontu
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharantu
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaanku sendiri   

Sabbe satta dukkha pamuccantu
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan   

Sabbe satta ma laddhasampattito vigacchantu
Semoga semua makhluk tidak kehilangan  Kesejahteraan yang telah mereka peroleh   

Sabbe satta
Semoga semua makhluk   

Kammassaka
Memiliki karmanya sendiri   

Kammadayada
Mewarisi karmanya sendiri   

Kammayoni
Lahir dari karmanya sendiri   

Kammabandhu
Berhubungan dengan karmanya sendiri   

Kammapatisarana
Terlindung oleh karmanya sendiri   

Yam kammam karissanti kalyanam va
papakam va tassa dayada bhavissanti
Apapun karma yang diperbuatnya baik atau buruk itula yang akan diwarisinya


= Itu yang diboldkan jelas bahwa "manusia" tunduk pada Hukum Kamma,apakah Buddha melebihi Hukum Kamma itu sendiri?Saya rasa TIDAK,Buddha sendiri tidak bisa melawan Hukum Anicca,kalau Buddha melawan Hukum tersebut,maka saya akan mempertanyakannya lebih jauh lagi,bagaimana mungkin seorang MANUSIA yang NOTABENE menemukan[Bukan menciptakan] sesuatu KEBENARAN bisa merubah KEBENARAN tersebut atau melawan KEBENARAN tersebut? :)

Quote
Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.
= Nah,saya rasa karena memiliki 2 komentar maka komentar pertama saya "anggap" gugur,karena "tidak masuk" akal[terlebih lagi bagaimana badan jasmani ini bisa bertahan begitu lama,padahal jelas didalam RAPB by Dhammacitta press,tertulis ada Buddha yang masa pengajarannya bertahan lama ada yang tidak bertahan lama,dan Buddha Gotama adalah pengajarannya yang bertahan lama]..Coba anda bayangkan sendiri Petapa Sumedha yang berikrar dihadapan Buddha Dipankara[ingat ini adalah "sumpah" Petapa Sumedha,padahal kita ketahui bahwa ada ciri2 seseorang menjadi bakal Buddha,dan Sumedha memenuhi kriteria tersebut untuk mencapai Savaka Buddha pada masa Buddha Dipankara,tetapi entah atas dasar apa,Petapa Sumedha malah memilih menjadi SammaSambuddha dengan menyempurnakan "parami"nya berkalpa2..] untuk mencapai KeBuddhaan,setelah bersusah payah[dari yang saya baca di Jataka,Khuddaka Nikaya],masak dia meninggal begitu saja[kalau memang bisa hidup sampai 1 siklus dunia?]..Apakah "metta" Buddha Gotama kurang kali ya?sampai2 baru umur 80 tahun sudah meninggal dunia begitu saja[padahal masih banyak Makhluk yang BELUM TERCERAHKAN,lebih banyak daripada yang TERCERAHKAN..],agaknya kita tidak lupa dengan Ayacana Sutta :
Demikianlah telah saya dengar. Pada suatu ketika, sewaktu Sang Bhagava baru
saja mencapai Pencerahan Sempurna, beliau tinggal di Uruvela di tepi sungai
Neranjara, di kaki pohon Banyan Gembala Kambing. Kemudian, tatkala beliau
sedang sendirian dan dalam penyepian, jalan pikiran ini muncul dalam benak
beliau: "Dhamma yang telah kucapai ini dalam, sulit untuk dilihat, sulit... See More
untuk disadari, damai, halus, melampaui jangkauan penalaran, lembut,untuk
dialami oleh orang bijak. Namun generasi ini bergembira dalam kemelekatan,
bergairah oleh kemelekatan, menyenangi kemelekatan. Bagi sebuah generasi
yang bergembira dalam kemelekatan, bergairah oleh kemelekatan, menyenangi
kemelekatan, kebersebaban ini/itu dan kemunculan bersyarat
(paticcasamuppada) sulit untuk dilihat. Keadaan ini pun sulit untuk dilihat:
diamnya semua kondisi, lepasnya segala keberadaan, lenyapnya kehausan,
tiadanya nafsu, penghentian, Nibbana. Dan bila aku mengajarkan Dhamma dan
bila orang-orang lain tidak mampu mengerti, itu akan melelahkanku,
menyulitkanku."

Kemudian saja syair-syair ini, yang tidak pernah diucapkan pada masa lampau,
yang tidak pernah didengar sebelumnya, timbul pada Sang Bhagava:

"Mengapa kini mengajarkan
apa yang dengan sulit kucapai.
Dhamma ini tak mudah disadari
oleh mereka yang takluk
pada kebencian & nafsu.

Apa yang halus, lembut,
dalam, sulit untuk dilihat,
yang pergi melawan arus -
mereka yang bergembira dalam nafsu,
terselubung dalam kegelapan total,
takkan mampu melihat."

Ketika Sang Bhagava merenung demikian, pikirannya condong untuk berdiam
dalam kenyamanan, untuk tidak mengajarkan Dhamma.

Kemudian Brahma Sahampati, setelah mengetahui dengan benaknya sendiri jalan
pikiran dalam benak Sang Bhagava, berpikir: "Dunia kehilangan! Dunia runtuh!
Pikiran dari Sang Tathagata, Arahat, Tercerahi Sempurna condong untuk
berdiam dalam kenyamanan, untuk tidak mengajarkan Dhamma!" Kemudian,
sebagaimana seorang laki-laki yang kuat bisa menjulurkan lengannya yang
terlipat atau melipat lengannya yang terjulur, Brahma Sahampati lenyap dari
dunia Brahma dan tampak kembali di hadapan Sang Bhagava. Mengatur
jubah-atasnya menutup satu bahu, ia berlutut dengan lutut kanannya di atas
tanah, memberi hormat pada Sang Bhagava dengan tangannya di depan dada, dan
berkata pada beliau: "Bhante, sudilah Sang Bhagava mengajarkan Dhamma!
Sudilah Sang Sugata mengajarkan Dhamma! Terdapat makhluk-makhluk dengan
sedikit debu di mata mereka yang mengalami kemunduran karena mereka tidak
mendengar Dhamma. Akan ada mereka yang bisa mengerti Dhamma."

Itulah apa yang Brahma Sahampati katakan. Setelah mengatakannya, ia
melanjutkan berkata demikian:

"Pada masa lampau muncul di Magadha
Dhamma kotor yang ditemukan orang bernoda.
Bukakanlah pintu Nirmati (Amata)!
Biarkanlah mereka mendengar Dhamma
yang disadari oleh Yang Tak Bernoda!

Seperti layaknya orang berdiri di atas karang
dapat melihat orang-orang sekitar di bawah,
Maka, O sang arif, dengan melihat ke sekitar,
dakilah istana yang diciptakan Dhamma.
Bebas dari dukacita, pandangilah orang-orang
yang terbenam dalam dukacita,
yang terhimpit oleh kelahiran & penuaan.

Bangunlah, O pahlawan, pemenang pertempuran!
O Guru, mengembara tanpa beban dalam dunia.
Ajarkanlah Dhamma, O Sang Bhagava:
Akan ada mereka yang bisa mengerti Dhamma."

Kemudian Sang Bhagava, setelah memahami undangan Brahma, didorong rasa welas
asih kepada makhluk-makhluk, meninjau dunia dengan mata dari seorang Buddha.
Ketika beliau melakukannya, beliau melihat makhluk-makhluk yang dengan
sedikit debu di mata mereka dan yang banyak debu, yang dengan daya-daya yang
tajam dan yang tumpul, yang dengan sifat-sifat yang baik dan yang buruk,
yang mudah diajar dan yang sulit, beberapa dari mereka melihat aib dan
bahaya di dunia seberang. Sebagaimana dalam sebuah kolam teratai biru atau
merah atau putih, beberapa teratai - lahir dan tumbuh dalam air - dapat
tumbuh subur selagi terbenam dalam air, tanpa muncul dari air; beberapa
dapat berdiri pada tingkat yang rata dengan air; beberapa dapat muncul dari
air dan berdiri tanpa dilumuri oleh air - demikian pula, meninjau dunia
dengan mata dari seorang Buddha, Sang Bhagava melihat makhluk-makhluk yang
dengan sedikit debu di mata mereka dan yang banyak debu, yang dengan
daya-daya yang tajam dan yang tumpul, yang dengan sifat-sifat yang baik dan
yang buruk, yang mudah diajar dan yang sulit, beberapa dari mereka melihat
aib dan bahaya di dunia seberang.

Setelah melihat ini, beliau menjawab Brahma Sahampati dalam syair:

"Terbuka pintu-pintu Nirmati (Amata)
bagi mereka yang dapat mendengar.
Biarkan mereka memperlihatkan keyakinannya.
Mencerap kesulitan, O Brahma,
Aku dulu tidak mengajarkan umat manusia
Dhamma yang halus, agung.

Kemudian Brahma Sahampati, berpikir, "Sang Bhagava telah memberi
persetujuannya untuk mengajar Dhamma," memberi hormat kepada Sang Bhagava
dan, mengitari beliau di sebelah kanan, lenyap dari sana.

Quote
Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)
Dibagian mana yang "melengkapi" itu?saya rasa ada ketidakselarasaan paham antara saya dan anda..anda menyebut bahwa kemampuan Buddha sebagai acinteyya[tidak terpikirkan oleh manusia biasa],saya menyebut bukan "kemampuan" Buddha tetapi "Batin" Buddha sebagai acinteyya[tidak terpikirkan oleh manusia biasa],alasannya menurut hemat saya simple saja,dikarena Buddha adalah orang yang sudah "tersempurnakan" beda dengan manusia biasa yang notabene masih "meleket" terhadap "aku" dan noda2..Seperti cerita soal orang yang pernah makan apel dengan orang yang belum pernah makan apel,bagaimana mungkin orang yang belum pernah makan apel tahu rasa "apel" tersebut?

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: truth lover on 03 March 2010, 06:53:33 PM
Quote
Quote
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
isinya yang nggak logis atau salah terjemahan?

-Apabila aku telah menjadi Buddha :berarti belum menjadi Buddha
-jika masih terdapat Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
:berarti jika disana masih ada alam sengsara maka aku tak akan menjadi Buddha. alam sengsaranya hilang kemana?
- Apabila aku telah menjadi Buddha, jika...........dsbnya, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha: Aneh ? jika telah menjadi Buddha kok bisa tidak mencapai samyaksambuddha?

Apa salah terjemahan?

Bro TL, ijinkan saya utk berkomentar :D.
Berdasarkan pandangan Mahayana, sebelum beliau menjadi Seorg Buddha, beliau pernah membuat 48 iklar (itu sebelum beliau jd Buddha), dan karena iklar beliau itulah, dan dengan usaha beliau, ahkirnya beliau menjadi Buddha. dan konon menurut pandangan Mahayana, di Surga Barat , Alam Sukhavati (alam Buddha Amitabha), tdk terdapat alam alam menderita, karena beliau selalu mengajarkan Dhamma yang ada, dan mahkluk mahkluk yang terlahir disana adalah mahkluk yang memiliki kualitas batin yang baik , dan penuh weles asih, karena berkat Kekuatan Buddha Amitabha maka alam disana tdk terdapat yg namanya alam penderitaan. ini menurut pandangan Mahayana. kira kira penjelasannya seperti itu,  coba baca Amitaba Sutra. disana ada. diceritakan....

tentu saja setiap org memiliki keyakinan masing masing mao yakin pada Buddha Amitabha atau tdk, semuanya diserahkan kepribadi masing masing

Coba mas teks perhatikan dan cerna tulisan saya, apabila aku telah menjadi Buddha (jadi jika telah menjadi), andaikata jika aku .... maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha. Sudah menjadi Buddha kok tidak akan mencapai Samyaksambuddha?

Banyak hal yang belum terjawab mengenai tanah Buddha Amitabha ini, Bagaimanakah cara terbentuknya tanah Buddha tersebut? apakah sudah ada begitu saja? kalau terbentuk sama seperti alam lain mengapa tak ada alam sengsara? Bila sebelumnya ada alam sengsara lalu tidak ada alam sengsara, bagaimana cara lenyapnya?
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 07:01:07 PM
Quote
Saya tahu,karena saya tidak memahaminya maka saya mempostingkannya di thread Mahayana,dengan tujuan agar dapat memahaminya dari orang yang memiliki keyakinan yang telah memahami tentang sutra itu..Tentunya dari sisi pemikiran saya,karena saya bukanlah orang yang telah tercerahkan ,saya masih hidup didalam dualisme ini..Dari ke 48 Ikrar tersebut,saya melihat ketika muncul Buddha Amitbha maka umatnya hanya perlu bersantai2 saja,dan saya lihat kalau orang yang membaca sutra tersebut,bisa jadi berpandangan keliru,karena dia akan santai2 menjalani kehidupan sekarang,dan melepas kesempatan emas pada kehidupan sekarang[sebagaimana kita tahu bahwa sulit terlahir sebagai manusia,dan sangat sulit terlahir sebagai manusia yang memperoleh kesempatan mendengarkan Dhamma Bhagava],dengan anggapan bahwa nanti semuanya akan terpenuhi pada kehidupan2 yang akan datang[tanpa tahu kapan kehidupan itu datang?setelah menikmati neraka avici?setelah menjalani kehidupan jadi makhluk alam apaya?setelah menjadi makhluk di alam binatang?

Tau darimana bahwa mereka hanya perlu bersantai2 dsb, pernahkah bro survey secara nyata?

Bro bond,kalau anda menggunakan kata "survei" tersebut maka perbandingannya menjadi harus sangat jauh,kita disini adalah orang yang berdiskusi berdasarkan "pemahaman" masing2..dan lagi yang saya tuliskan diatas bahwa dengan "sutra" tersebut sangat mungkin terjadi "penafsiran yang salah",saya rasa anda sendiri sudah membaca ke 48 ikrar tersebut..Dan oleh karena itu,untuk "mencegah" penafsiran yang salah maka disinilah diadakan "diskusi" di thread Mahayana berkaitan dengan ini adalah sutra Mahayana,untuk "mengklarifiskasikan" arti dari 48 ikrar ini..biar saya pun tidak bingung jikalau suatu saat ditanya oleh orang soal 48 ikrar ini..:)

Quote
Yang pasti saat ini pun entah mereka umat amithaba yg mahayanis atau theravada atau umat Buddha pada umumnya, sekalipun tau bahwa itu ajaran Sang Buddha, banyak yg belum sanggup melaksanakannya dengan baik...tetapi ada pula umat amithaba atau umat Buddha pada umumnya yg mengerti maksud kalimat tersebut atau hal yg diyakininya dan dapat menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik sesuai tujuan yg ingin mereka capai.
Bro..Ajaran Buddha perlu dipahami dulu baru bisa direalisasikan sesuai dengan "konsep" 4 Kebenaran Mulia[Ini adalah penderitaan,Penderitaan ini telah dipahami,Ini lah Akhir dari Penderitaan,Ini lah Jalan Menuju Pengakhiran Penderitaan(biasa disebut pariyatti,patipatti,pativedha)]

Quote
sebuah kalimat tidak bisa kita artikan secara mentah.....itu hanya menandakan kesungguhan tekad ... :).
Kesungguhan tekad?apa bisa saya artikan bahwa itu hanya "semangat" yang mengebu2 tetapi pada "perealisasiaannya" adalah mustahil?

Quote
Makanya saya tanya kembali, menurut bro ikrar yg bagaimana yg bukan pembodohan?
Ikrar Buddha Gotama tidak muluk2.. :-)

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 03 March 2010, 07:11:08 PM
Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Saya tertarik dengan Tanah Buddha Sakyamuni ini, bisakah menjelaskan lebih jauh tentang Tanah Buddha Sakyamuni yg murni? karena selama ini yg sering kita dengar hanyalah Sukhavati yg merupakan domain dari Amitabha _/\_

Mengenai Tanah Murni Hyang Buddha Sakyamuni, dapat ditemukan dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra- Bagian Tanah Buddha, saat Sariputra berpikir "Jika dikatakan pikiran bodhisatva murni, maka tanah buddhanya menjadi murni, saat Hyang Bhagava sebagai bodhisatva apakah pikiranNya tidak murni sehingga mencapai Kebuddhaan di dunia yang tidak murni seperti ini? Hyang Buddha mengetahui pikiran Sariputra, lalu berkata, "Bagaimana pendapat mu, apakah Bulan dan matahari itu tidak bersih/jelas hingga orang buta tidak dapat melihatnya? Sariputra menjawab, "Tidak, itu kesalahan orang buta, bukan pada bulan mataharinya. "Karena kesalahan para makhluk hidup lah yang tidak dapat melihat kemurnian tanah Buddha Sang Tathagata, ini bukan kesalahan Tathagata. Oh Sariputra, Tanah Buddha Ku adalah murni sedangkan engkau tidak dapat melihatnya.

....kemudian Buddha Sakyamuni menggunakan kekuatan iddhi dengan jari kakinya menekan ke tanah lalu muncul pemandangan Tanah Buddha Sakyamuni yang murni dan cemerlang  dihiasi berbagai permata disaksikan oleh Sariputra dan para peserta pesamuan.

Selain itu, Hyang Buddha juga mengungkapkan tanah murninya di Maha Parinirvana Sutra dan Saddharmapundarika Sutra.

 

 
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 07:12:04 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Apakah ini yang anda maksudkan?
Pada suatu waktu,Yang Terberkati tinggal di Kosambi di tengah hutan simsapa.Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para Bhikkhu,"O,para Bhikkhu,bagaimana menurut kalian,manakah yang lebih banyak[dedaunan yang saya gengam atau daun2 yang berada pada pohon2 di hutan]? "
'Dedaunan dalam genggaman Yang Terberkati lebih sedikit;daun2 di hutan lebih banyak'
"Demikian pula,O para Bhikkhu,hal2 yang Saya ketahui melalui pemahaman langsung adalah jauh lebih banyak;hal2 yang telah saya beritahukan kepadamu hanya sedikit saja."
"Mengapa saya tidak memberitahukanmu semua?Sebab hal2 tersebut tiada membawa manfaat,tidak membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena tidak menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya tidak memberitahukannya."

"Dan apakah yang telah saya beritahukan?[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan.Itulah yang telah Saya beritahukan kepadamu.Mengapa saya memberitahumu?Karena hal2 tersebut membawa manfaat,membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya memberitahukannya."

"Oleh karena itu wahai para Bhikkhu,buatlah demikian menjadi tugasmu :[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan."

[Samyutta Nikaya,LVI,31]

Saya rasa Buddha tidak memberitahukannya jelas karena tidak membawa pada Nibbana.. :)


Quote
Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.
Lihat yang diatas :)


Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 07:14:37 PM
[at] riky:
IMO jika seorg umat Mahayana krn sutra ini/ikrar2 ini berpikir bhw ia tdk perlu berusaha utk menjalankan Dharma lg krn sudah djamin oleh ikrar2 tsb pasti diselamatkan,mk sy katakan bhw yg bodoh itu adl sang umat,bkn sutra/ajaranny. Tdk mgkn hny mengulang2 nama Buddha scr membabi buta bs terlahir d Sukhavati, tanpa sila & samadhi yg benar.

Sebenarny ad artikel menarik ttg praktek yg benar atas penyebutan nama Buddha dr forum tetangga. D sana djelaskan bhw praktek yg benar lah yg bs membawa seseorg k Sukhavati. Bsk atau kpn sempat sy akan memposting artikel tsb. Thx

Makanya Seniya yang baik,maka uraikan lah artikel yang anda maksudkan disini,biar saya paham dan bisa memberitahukan kepada yang lainnya terhadap Ikrar Buddha Amitbha tersebut..

Saya melihat ada 3 aspek yang membawa orang pada pandangan salah[saya sangat berharap untuk tidak menyalahkan "pendengar" atau "umatnya" belaka]:
1.Aspek pertama bahwa memang ajarannya yang salah.
2.Aspek kedua bahwa memang penafsirannya yang salah.
3.Aspek ketiga bahwa memang manusianya yang salah.

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 03 March 2010, 07:49:28 PM
 [at] riky_dave:
Menurut saya, lagi2 ini adalah perbedaan konsep dan penekanan dari kedua aliran. Mahayana sendiri meyakini bahwa Buddha Sakyamuni memiliki kemampuan luar biasa yang dapat mengatasi hukum karma dan kelahiran kembali seperti pada kutipan salah satu bab dari Saddharma Pundarika Sutra berikut

Quote

Panjang Kehidupan Sang Tathagata

(Sebuah Bab dari Saddharma Pundarika Sutra)
[/b]

Pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada para Bodhisattva dan seluruh perkumpulan besar itu, “Orang-orang baik, kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.” Sekali lagi Beliau berkata kepada perkumpulan besar tersebut, “Kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.” Beliau berkata lagi kepada perkumpulan besar itu, “Kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.”

Kemudian perkumpulan besar para Bodhisattva, yang dipimpin oleh Maitreya, mendekatkan telapak tangan mereka bersama dan berkata kepada Sang Buddha, “Yang Dijunjung Dunia kami hanya memohon agar Anda akan mengatakannya. Kami akan meyakini dan menerima kata-kata Sang Buddha.” Mereka mengulangi hal ini tiga kali.

Lagi mereka berkata, “Kami hanya memohon agar Anda akan mengatakannya. Kami akan meyakini dan menerima kata-kata Sang Buddha.”

Pada waktu itu Yang Dijunjung Dunia, mengetahui bahwa para Bodhisattva tidak akan berhenti dalam tiga permohonan, berkata kepada mereka, “Kalian harus mendengarkan dengan penuh perhatian.”

“Kekuatan penembusan spiritual Sang Tathagata diketahui oleh semua dewa, manusia, dan asura di dunia. Mereka mengatakan bahwa Sakyamuni Buddha, setelah meninggalkan istana kaum Sakya dan setelah pergi ke tempat yang tidak jauh dari kota Gaya untuk duduk di Bodhimanda, sekarang telah mencapai anuttarasamyaksambodhi.”

“Namun, orang-orang baik, Aku sesungguhnya telah merealisasi Kebuddhaan tak terhingga ratusan ribu sangat banyak koti nayuta kalpa yang lampau.”

“Misalkan seseorang akan menggiling menjadi partikel-partikel debu halus lima ratus ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya dari tiga ribu sistem seribu dunia yang besar. Kemudian, misalkan ia berjalan ke timur melewati lima ratus ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya negeri, dan di sana ia menyimpan satu partikel debu. Misalkan ia terus-menerus melakukan hal ini, berjalan ke timur, sampai semua partikel debu habis.”

“Orang-orang baik, apakah pendapat kalian? Dapatkah jumlah dunia yang ia lewati dapat dihitung?”

Maitreya Bodhisattva dan yang lainnya semuanya berkata kepada Sang Buddha, “Yang Dijunjung Dunia, sistem dunia yang demikian akan tak terhingga banyaknya, melebihi perhitungan, dan melebihi kekuatan pikiran untuk diketahui. Semua Sravaka dan Pratyekabuddha, dengan menggunakan kebijaksanaan mereka yang tidak mengalir keluar, tidak dapat membayangkan hal ini ataupun mengetahui batas atau jumlahnya.”

“Kami sekarang berdiam pada tingkat avaivartika, tetapi kami tidak dapat memahami hal ini, Yang Dijunjung Dunia, dan demikianlah sistem dunia yang seperti itu akan tak terhingga banyaknya.”

Pada saat itu Sang Buddha berkata kepada sekumpulan besar Bodhisattva, “Orang-orang baik, Aku sekarang akan menjelaskan hal ini dengan jelas untuk kalian. Jika semua sistem dunia ini apakah sebuah partikel debu disimpan padanya atau tidak dibuat menjadi partikel-partikel debu, dan setiap partikel debu sama dengan satu kalpa, waktu yang telah berlalu sejak Aku menjadi Buddha akan melampaui bahkan sampai ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya kalpa.”

“Sejak saat itu, Aku selalu berada di Dunia Saha, mengatakan Dharma untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk. Juga, di tempat-tempat lain, pada ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya dunia, Aku telah membimbing dan memberi manfaat pada makhluk-makhluk hidup.”

“Orang-orang baik, selama periode waktu tersebut, Aku mengatakan tentang Buddha Dipankara dan yang lainnya, dan Aku lebih lanjut mengatakan tentang Mereka memasuki Nirvana, tetapi ini hanyalah pembedaan yang dibuat dengan bijaksana.”

“Orang-orang baik, jika suatu makhluk datang ke hadapan-Ku, Aku mengamati dengan mata Buddha-Ku keyakinan dan sifat-sifat lainnya, serta ketajaman dan kelambanan sifat-sifatnya, dan Aku membimbingnya dengan cara yang sesuai.”

“Di semua tempat, walaupun nama-nama yang Ku-gunakan pada diri-Ku sendiri berbeda dan Aku mungkin lebih tua atau lebih muda, Aku juga muncul dan mengumumkan bahwa Aku akan memasuki Nirvana. Aku juga menggunakan berbagai cara yang bijaksana, dengan mengatakan Dharma yang mendalam dan mengagumkan dan memungkinkan makhluk-makhluk hidup dibimbing menuju kebahagiaan dalam pikiran mereka.”

“Orang-orang baik, Sang Tathagata, dengan melihat makhluk-makhluk menyukai dharma-dharma yang lebih rendah, makhluk-makhluk yang sedikit kebajikannya dan tebal kekotoran batinnya, berkata kepada orang-orang ini, ‘Ketika masih muda, Aku meninggalkan kehidupan rumah dan mencapai anuttarasamyaksambodhi.’ Namun sesungguhnya, Aku menjadi Buddha lama sebelum itu. Aku berkata dengan cara ini semata-mata sebagai jalan yang bijaksana untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk hidup dan menyebabkan mereka memasuki Jalan Buddha.”

“Orang-orang baik, Sutra-Sutra yang dikumandangkan oleh Sang Tathagata semuanya bertujuan untuk menyelamatkan dan membebaskan makhluk-makhluk hidup. Ia dapat mengatakan tentang tubuh-Nya sendiri, atau Ia dapat mengatakan tentang tubuh orang lain. Ia dapat menjelma dalam tubuh-Nya sendiri, atau Ia dapat menjelma dalam tubuh orang lain. Ia dapat memanifestasikan pekerjaan-Nya sendiri, atau Ia memanifestasikan pekerjaan orang lain, tetapi semua yang Ia katakan benar dan tidak salah.”

“Apakah alasannya? Sang Tathagata mengetahui dan melihat ketiga alam sebagaimana adanya. Tidak ada kelahiran atau kematian, tidak ada kemunduran atau kemajuan, tidak ada keberadaan di dunia atau jalan menuju peristirahatan. Tidak ada kenyataan atau ketidaknyataan, tidak ada kesamaan atau perbedaan. Ia melihat ketiga alam tidak seperti ketiga alam. Hal-hal seperti ini, Sang Tathagata dengan jelas melihat, tanpa kesalahan.”

“Makhluk-makhluk hidup memiliki berbagai sifat, berbagai keinginan, berbagai tingkah laku, dan berbagai gagasan, pemikiran, dan perbedaan. Berharap untuk membimbing mereka menghasikan akar-akar kebajikan, Ia menggunakan sebab dan kondisi, perumpamaan, dan ungkapan yang berbeda-beda untuk menjelaskan berbagai dharma, melakukan tugas Buddha tanpa henti.”

“Demikianlah sejak Aku merealisasi Kebuddhaan pada masa lampau yang sangat jauh, panjang kehidupan-Ku tak terhingga asamkhyeya kalpa, abadi dan tidak pernah habis. Orang-orang baik, panjang kehidupan yang Aku alami ketika dulu melaksanakan jalan Bodhisattva masih belum selesai dan dua kali dari jumlah di atas.”

“Seperti Aku sekarang mengumumkan bahwa Aku akan memasuki peristirahatan, Aku tidak benar-benar wafat. Sang Tathagata menggunakan kemangkatan ini hanya sebagai jalan yang bijaksana untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk hidup.”

“Apakah alasannya? Jika Sang Buddha tetap berdiam di dunia ini dalam waktu yang lama, mereka yang sedikit kebajikannya yang tidak menanam akar kebajikan, yang rendah, yang mendambakan objek-objek lima nafsu keinginan, dan yang terperangkap dalam jaring pola pikir dan pandangan salah, dengan melihat Sang Tathagata selalu hadir dan tidak memasuki ketenangan, akan menjadi sombong, lalai, dan acuh tak acuh. Mereka tidak akan memikirkan betapa sulitnya untuk berjumpa-Nya, ataupun hati mereka akan tidak hormat.”

“Oleh sebab itu, Sang Tathagata dengan bijaksana berkata, ‘Para bhikshu, kalian harus mengetahui bahwa sulit untuk berjumpa dengan seorang Buddha yang muncul di dunia ini.’ Apakah alasannya? Mereka yang sedikit kebajikannya mungkin melewati tak terhingga ratusan ribu banyak sekali koti kalpa, selama waktu tersebut mereka dapat atau tidak dapat melihat seorang Buddha. Karena itu, Aku berkata kepada mereka, ‘Para bhikshu, Sang Tathagata sulit untuk dijumpai.’ Para makhluk hidup ini, dengan mendengarkan kata-kata ini, akan menyadari betapa sulitnya untuk menjumpai Sang Buddha dan akan memendam kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya. Mereka akan menanam akar-akar kebajikan. Itulah sebabnya Sang Tathagata, walaupun Ia tidak memasuki ketenangan, mengatakan tentang peristirahatan.”

 “Lebih jauh, orang-orang baik, Dharma semua Buddha, Tathagata, adalah seperti ini dan digunakan untuk menyelamatkan makhluk-makhluk hidup. Ini sepenuhnya benar dan tidak salah.

“Ini bagaikan terdapat seorang tabib yang baik, bijaksana dan sangat menguasai ilmu pengobatan dan pandai, yang ahli menyembuhkan banyak penyakit. Orang ini juga memiliki banyak putra, sepuluh, dua puluh atau bahkan seratus. Kemudian, dipanggil dalam suatu urusan, ia mengadakan perjalanan ke negeri yang jauh.”

“Sementara itu, anak-anaknya meminum sejenis racun, yang menyebabkan mereka berguling-guling di tanah dalam keadaan mabuk.”

“Lalu ayah mereka pulang ke rumah. Karena mereka meminum racun tersebut, beberapa putranya kehilangan kesadaran, sedangkan yang lain tidak. Melihat ayah mereka dari jauh, mereka semua sangat gembira. Mereka membungkuk kepada sang ayah, berlutut, dan bertanya kepadanya,

“Selamat datang kembali dengan selamat. Karena kebodohan kami, kami salah meminum racun tertentu. Kami mohon ayah akan menyelamatkan dan menyembuhkan kami, dan mengembalikan kehidupan kami.’”

“Melihat anak-anaknya dalam penderitaan yang demikian, sang ayah membaca buku-buku pengobatannya dan kemudian mencari tanaman obat yang baik yang memiliki warna, bau, dan rasa yang baik. Lalu ia menggiling, mengayak, dan mencampurkan semuanya bersama, dan memberikan bahan campuran ini kepada putra-putranya untuk diminum.”

“Dan ia berkata kepada mereka, ‘Ini adalah obat yang bagus dengan warna, bau, dan rasa yang baik. Minumlah. Penderitaan kalian akan berkurang, dan kalian tidak akan menderita siksaan yang lebih jauh.’”

“Beberapa di antara anak-anak tersebut tidak kehilangan akal sehat mereka. Melihat obat yang bagus dengan warna dan bau yang baik, mereka langsung meminumnya dan penyakit mereka sepenuhnya disembuhkan.”

“Walaupun yang lain yang kehilangan akal sehatnya bergembira saat kedatangan ayah mereka, telah menanyakan tentang keadaan sang ayah, dan telah meminta agar disembuhkan dari penyakit mereka, mereka menolak untuk meminum obat tersebut. Apakah alasannya? Uap beracun telah merasuki mereka sangat dalam sehingga mereka kehilangan akal sehat mereka, dan dengan demikian mereka mengatakan bahwa obat dengan warna dan bau yang baik itu tidak bagus.”

“Sang ayah kemudian berpikir, ‘Kasihan sekali anak-anak ini! Racun telah mengacaukan pikiran mereka. Walaupun mereka bergembira bertemu denganku dan memintaku untuk menyelamatkan dan menyembuhkan mereka, mereka masih menolak obat yang baik seperti ini. Aku sekarang harus mengatur suatu cara yang bijaksana untuk membujuk mereka meminum obat ini.’”

“Segera ia berkata, ‘Kalian harus tahu bahwa aku sekarang sudah tua dan lemah, dan waktu kematianku telah tiba. Aku sekarang akan meninggalkan obat yang baik ini di sini agar kalian minum. Jangan khawatir tidak dapat sembuh.’ Setelah memberitahukan mereka dengan cara ini, ia kemudian kembali ke negeri yang jauh dan mengirimkan utusan kembali untuk mengumumkan, ‘Ayah kalian telah meninggal dunia.’”

“Ketika anak-anak tersebut mendengar bahwa ayah mereka telah meninggal dunia, hati mereka terpukul dengan kesedihan, dan mereka berpikir, ‘Jika ayah kita di sini, beliau akan mengasihi dan menyayangi kita, dan kita memiliki seorang seorang penyelamat dan pelindung. Sekarang beliau meninggalkan kita dan wafat di negari lain, dengan meninggalkan kita sebagai anak yatim, tanpa seorang pun untuk bergantung.’ Terus-menerus bersedih, pikiran mereka lalu menjadi tersadarkan. Mereka memahami bahwa obat tersebut memiliki warna, bau, dan rasa yang baik. Mereka meminumnya, dan penyakit beracun mereka sepenuhnya tersembuhkan.”

“Sang ayah, mendengar bahwa para putranya telah sembuh sepenuhnya, kemudian kembali, dan mereka semua bertemu dengan ayah mereka.”

“Orang-orang baik, apakah pendapat kalian, dapatkah seseorang berkata bahwa tabib yang baik ini telah melakukan kejahatan berdusta?”

“Tidak, Yang Dijunjung Dunia.”

Sang Buddha berkata, “Aku juga seperti itu. Aku telah mencapai Kebuddhaan tak terhingga ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya kalpa yang lampau. Demi kepentingan makhluk-makhluk hidup, Aku menggunakan kekuatan kebijaksanaan dan berkata bahwa Aku akan memasuki peristirahatan. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan dengan tepat bahwa Aku telah melakukan kejahatan berdusta.”

Pada waktu itu, Yang Dijunjung Dunia, bermaksud untuk mengulangi pemahaman ini, mengucapkan syair-syair berikut,

“Sejak Aku mencapai Kebuddhaan,
Kalpa-kalpa yang telah dilalui
Tak terhingga ratusan ribuan banyak sekali
Koti asamkhyeya jumlahnya.
Aku selalu mengatakan Dharma untuk mengajarkan dan mengubah
Tak terhitung jutaan makhluk hidup,
Hingga mereka memasuki Jalan Buddha.
Dan selama kalpa-kalpa tak terhitung ini,
Untuk menyelamatkan makhluk-makhluk hidup,
Aku dengan bijaksana memanifestasikan Nirvana.
Tetapi sesungguhnya Aku tidak memasuki peristirahatan.
Aku tetap di sini, selalu mengatakan Dharma.
Aku selalu berdiam di sini,
Dan menggunakan kekuatan penembusan spiritual,
Aku menyebabkan makhluk-makhluk hidup yang berbalik.
Walaupun berada di dekat-Ku, tidak melihat Aku.
Banyak orang melihat-Ku ketika memasuki peristirahatan.
Mereka secara besar-besaran memberikan persembahan kepada sharira-Ku.
Semuanya menyimpan kerinduan yang besar terhadap Aku,
Dan hati mereka mencari-cari Aku dalam dahaga.
Makhluk-makhluk hidup, kemudian menjadi yakin dan lembut,
Terus-menerus, dengan pikiran yang tunduk,
Dengan satu tujuan untuk berjumpa dengan Buddha,
Tidak mempedulikan kehidupan mereka saat ini juga.
Pada waktu itu Aku dan perkumpulan Sangha
Semuanya muncul bersama pada Gunung Burung Nazar Ajaib
Di mana Aku berkata pada makhluk-makhluk hidup
Bahwa Aku selalu di sini dan tidak pernah berhenti.
Tetapi menggunakan kekuatan cara yang bijaksana
Aku memanifestasikan ‘penghentian’ dan ‘bukan penghentian’.
Untuk makhluk-makhluk hidup di negeri lain,
Yang menghormati, yakin, dan memiliki cita-cita,
Aku mengatakan Dharma yang Tak Tertandingi.
Namun kalian yang tidak mendengar hal ini
Berpikir bahwa Aku telah memasuki peristirahatan.
Aku melihat makhluk-makhluk hidup
Tenggelam dalam penderitaan, dan masih
Aku menahan diri untuk bermanifestasi kepada mereka
Untuk menyebabkan mereka mencari-cari dalam kehausan,
Kemudian, ketika pikiran mereka dipenuhi dengan kerinduan,
Aku muncul dan mengucapkan Dharma.
Dengan penembusan spiritual yang demikian kuat,
Sepanjang ber-asemkhyeya kalpa,
Aku selalu berdiam pada Gunung Burung Nazar Ajaib
Dan juga berdiam di tempat-tempat lain.
Ketika makhluk-makhluk melihat akhir kalpa
Dan dihancurkan oleh api besar,
Negeri-Ku damai dan aman,
Selalu terisi oleh para dewa dan manusia,
Taman dan hutan, aula dan paviliun
Dan berbagai perhiasan berharga.
Terdapat pohon-pohon permata dengan banyak bunga dan buah
Di mana makhluk-makhluk hidup berkeliling dengan gembira.
Para dewa memainkan genderang surgawi,
Selalu menyanyikan berbagai jenis lagu,
Dan bunga-bunga mandarava
Bertaburan di atas Sang Buddha dan perkumpulan besar-Nya
Tanah Suci-Ku tidak hancur,
Tetapi banyak orang melihatnya terbakar seluruhnya.
Khawatir, ketakutan, dan menderita,
Orang-orang demikian ada di mana-mana.
Semua mahkluk ini dengan kejahatan-kejahatan,
Karena sebab dan kondisi karma buruk,
Melalui ber-asamkhyeya kalpa,
Tanpa mendengar nama Triratna.
Semua yang telah mengembangkan jasa dan kebajikan,
Yang tunduk, serasi, dan jujur
Mereka semuanya melihat-Ku
Di sini, mengucapkan Dharma.
Kadangkala untuk perkumpulan ini,
Aku mengatakan panjang kehidupan Buddha tak terbatas.
Kepada mereka yang melihat Buddha hanya setelah jangka waktu yang lama,
Aku mengatakan Buddha sulit untuk dijumpai.
Kekuatan kebijaksanaan-Ku
Pancaran kebijaksanaan-Ku yang tak terbatas
Adalah sedemikian sehingga panjang kehidupan-Ku satu kalpa tidak terhitung
Yang dicapai melalui pengembangan dan usaha yang panjang.
Kalian semua dengan kebijaksanaan,
Tidak seharusnya memiliki keraguan tentang hal ini.
Hapuskan semua sepenuhnya dan selamanya,
Karena kata-kata Sang Buddha adalah benar, tidak salah.
Ini bagaikan jalan bijaksana yang cekatan dari sang tabib
Yang, untuk menyembuhkan anak-anaknya yang hilang akal,
Sebenarnya masih hidup, tetapi mengatakan ia sudah meninggal,
Dan tidak ada yang dapat mengatakan bahwa ia berkata dusta.
Aku juga bagaikan bapak dunia,
Menyelamatkan semua dari penderitaan dan kesengsaraan.
Tetapi kepada makhluk-makhluk hidup, yang berbalik seperti mereka adanya,
Aku mengatakan penghentian, walaupun Aku sebenarnya tetap ada.
Jika tidak, karena mereka sering bertemu dengan-Ku,
Mereka akan berkembang menjadi sombong dan lalai.
Tidak patuh dan melekat pada lima nafsu keinginan,
Mereka akan jatuh ke dalam jalan kejahatan.
Aku selalu sadar akan makhluk-makhluk hidup
Mereka yang menjalankan Sang Jalan dan mereka yang tidak.
Aku mengatakan berbagai Dharma untuk kepentingan mereka
Untuk menyelamatkan mereka dengan cara yang sesuai.
Aku selalu berpikir,
‘Bagaimana Aku dapat menyebabkan makhluk-makhluk hidup
Untuk memasuki Jalan yang Tak Tertandingi
Dan dengan cepat menyempurnakan tubuh seorang Buddha?’”

Diterjemahkan dari: Lotus Sutra - Chapter Sixteen The Thus Come One's Life Span (http://buddhistdoor.com/resources/sutras/lotus/sources/lotus16.htm (http://buddhistdoor.com/resources/sutras/lotus/sources/lotus16.htm))

Buddha memang mengajarkan untuk tidak mudah percaya seperti dalam Kalama Sutta dan menurut saya konsep Mahayana tentang kekuatan tak terbatas seorang Buddha bukan untuk membuat orang mudah percaya, tetapi hanya untuk meneguhkan bahwa seorang Buddha jauh di atas kemampuan manusia biasa karena pencapaian Kebuddhaan-nya.

Mengenai hukum karma, memang manusia biasa tunduk pada hukum karma, tetapi tidak untuk seorang Buddha seperti pada kutipan di atas.

Soal mengapa Buddha yang bisa hidup berkalpa-kalpa cuma bisa hidup 80 tahun dalam sejarah yang kita kenal, pandangan anda sesuai dengan RAPB memang benar jika dilihat dari konsep Theravada. Namun konsep Mahayana memandang seorang Buddha memanifestasikan hukum ketidakkekalan untuk membuat semua makhluk lebih berjuang sungguh2 dalam Dharma seperti kutipan sutra di atas.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 03 March 2010, 08:07:28 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Apakah ini yang anda maksudkan?
Pada suatu waktu,Yang Terberkati tinggal di Kosambi di tengah hutan simsapa.Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para Bhikkhu,"O,para Bhikkhu,bagaimana menurut kalian,manakah yang lebih banyak[dedaunan yang saya gengam atau daun2 yang berada pada pohon2 di hutan]? "
'Dedaunan dalam genggaman Yang Terberkati lebih sedikit;daun2 di hutan lebih banyak'
"Demikian pula,O para Bhikkhu,hal2 yang Saya ketahui melalui pemahaman langsung adalah jauh lebih banyak;hal2 yang telah saya beritahukan kepadamu hanya sedikit saja."
"Mengapa saya tidak memberitahukanmu semua?Sebab hal2 tersebut tiada membawa manfaat,tidak membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena tidak menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya tidak memberitahukannya."

"Dan apakah yang telah saya beritahukan?[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan.Itulah yang telah Saya beritahukan kepadamu.Mengapa saya memberitahumu?Karena hal2 tersebut membawa manfaat,membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya memberitahukannya."

"Oleh karena itu wahai para Bhikkhu,buatlah demikian menjadi tugasmu :[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan."

[Samyutta Nikaya,LVI,31]

Saya rasa Buddha tidak memberitahukannya jelas karena tidak membawa pada Nibbana.. :)


Quote
Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.
Lihat yang diatas :)


Anumodana _/\_

belum nangkap juga maksud saya.... ^-^ 

Saya kasi clue...Bila ada Buddha muncul dalam meditasi anda/dihadapan anda, lalu memberi tahu sesuatu, apa reaksi anda...bagaimana anda mengetahui apa yg dikatakan Dhamma yg membawa pencerahan atau dhamma yg bukan membawa pencerahan, dan mengetahui itu Buddha atau bukan? nah ini harus dipilah daun yg mana membawa kita ke nibbana dan yg tidak....kedua jenis daun muncul pada hampir bersamaan....Anda tidak bisa menolak kemunculan fenomena itu...hanya sikap setelah kemunculan yg bisa kita lakukan....
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 08:22:21 PM
Benar seperti yang dikatakan bro Seniya. Tidaklah benar seorang praktisi Mahayana yang berkeyakinan pd metode praktik Sukhavati ini hanya terpaku pada keyakinan lalu tinggal santai2, atau Sukhavati vyuha Sutra itu adalah sutra pembodohan.  Mengkaji Sutra Mahayana tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi, secara sepotong-potong.
Secara konsep, Sukhavati memang tidak terdapat dalam tradisi lain (Theravada) , tetapi utk garis besarnya masing2 memiliki prinsip yang sama seperti berkeyakinan pada Triratna, menjalani tiga aspek pelatihan Sila, Samadhi, Prajna, berpegang pd prinsip Tilakhana, mempraktikkan 8 jalan kebenaran, dll.
 Sedangkan perbedaan2 seperti konsep Tanah Buddha, Bodhisatva, Kearahatan, yang tidak sama itu tentu kembali pada kecocokan masing2. 
benar kalau sudah masuk ke "ranah" keyakinan,tetapi disini yang saya ajukan adalah "diskusi" soal 48 ikrar ini apakah "relevan" atau tidak,dan mencari tahu penjelasan atau makna dari ke 48 Ikrar Buddha Amitbha ini.. :)

Quote
Berbalik pada masalah keyakinan , misalnya dalam Theravada pun terdapat kisah Matthakundali yang hanya berkeyakinan pada Buddha tanpa melakukan kebajikan dapat terlahir di alam Surga. Jika mencernanya secara harafiah, maka mungkin saja dapat "menggiring" orang utk bersantai2 tanpa mau berbuat kebajikan, yang penting yakin dgn Sang Buddha. Tapi tentu tidak benar pemahaman demikian, bukan? 
Begitu juga saat mempraktikkan metode ajaran Sukhavati dalam tradisi Mahayana. Di dalamnya sebenarnya terdapat aspek2 penting lainnya utk dilatih agar pikiran selaras dengan Dharma, yang mengarah ke pengikisan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.
Kisah Matthakundali bisa dijelaskan sebagai berikut :

Syair 2 ( I:2. Kisah Matthakundali )

Seorang brahmana bernama Adinnapubbaka mempunyai anak tunggal yang amat dicintai dan disayangi bernama Matthakundali. Sayang, Adinnapubbaka adalah seorang kikir dan tidak pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Bahkan perhiasan emas untuk anak tunggalnya dikerjakan sendiri demi menghemat upah yang harus diberikan kepada tukang emas.

Suatu hari, anaknya jatuh sakit, tetapi tidak satu tabibpun diundang untuk mengobati anaknya. Ketika menyadari anaknya telah mendekati ajal, segera ia membawa anaknya keluar rumah dan dibaringkan di beranda, sehingga orang-orang yang berkunjung ke rumahnya tidak mengetahui keadaan itu.

Sebagaimana biasanya, di waktu pagi sekali, Sang Buddha bermeditasi. Setelah selesai, dengan mata Ke-Buddha-an Beliau melihat ke seluruh penjuru, barangkali ada makhluk yang memerlukan pertolongan. Sang Buddha melihat Matthakundali sedang berbaring sekarat di beranda. Beliau merasa bahwa anak itu memerlukan pertolongannya.

Setelah memakai jubah-Nya, Sang Buddha memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Akhirnya Beliau tiba di rumah brahmana Adinnapubbaka. Beliau berdiri di depan pintu rumah dan memperhatikan Matthakundali. Rupanya Matthakundali tidak sadar sedang diperhatikan. Kemudian Sang Buddha memancarkan sinar dari tubuh-Nya, sehingga mengundang perhatian Matthakundali, brahmana muda.

Ketika brahmana muda melihat Sang Buddha timbullah keyakinan yang kuat dalam batinnya. Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan hati yang penuh keyakinan terhadap Sang Buddha dan terlahir kembali di alam surga Tavatimsa.

Dari kediamannya di surga, Matthakundali melihat ayahnya berduka-cita atas dirinya di tempat kremasi. Ia merasa iba. Kemudian ia menampakkan dirinya sebagaimana dahulu sebelum ia meninggal, dan memberitahu ayahnya bahwa ia telah terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka ia menganjurkan ayahnya mengundang dan berdana makanan kepada Sang Buddha.

Brahmana Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan. Selesai makan, ia bertanya, "Bhante, apakah seseorang dapat, atau tidak dapat, terlahir di alam surga; hanya karena berkeyakinan terhadap Buddha tanpa berdana dan tanpa melaksanakan moral (sila)?"

Sang Buddha tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian Beliau memanggil dewa Matthakundali agar menampakkan dirinya. Matthakundali segera menampakkan diri, tubuhnya dihiasi dengan perhiasan surgawi, dan menceritakan kepada orang tua dan sanak keluarganya yang hadir, bagaimana ia dapat terlahir di alam surga Tavatimsa. Orang-orang yang memperhatikan dewa tersebut menjadi kagum, bahwa anak brahmana Adinnapubbaka mendapatkan kemuliaan hanya dengan keyakinan terhadap Sang Buddha.

Pertemuan itu diakhiri oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair kedua berikut ini :

"Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutnya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya."

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Matthakundali dan Adinnapubbaka langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kelak, Adinnapubbaka mendanakan hampir semua kekayaannya bagi kepentingan Dhamma.


Saya rasa pernyataan anda kurang tepat,karena kita tahu bahwa Buddha Gotama memiliki kemampuan yang melebihi murid2nya salah 1 nya adalah kemampuan mengajarnya yang berbeda dengan murid2nya..Buddha Gotama jelas diatas "mensurvei" dunia dan mengetahui bahwa Matthakundali dapat mendapatkan manfaat dari kedatangan Buddha..

Saya rasa pemahaman disana sangat jelas,dan 3 hal yang mencirikan Sotapanna adalah hancurnya keraguan2 terhadap Tiratana,dan Matthakundali telah berhasil menghancurkan salah 1 dari ke 10 belenggu tersebut,adalah wajar dia bisa terlahir di alam surga..dan tepat seperti syair ke 2 yang dibabarkan oleh Buddha Gotama ,"Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutnya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya."

Syair tersebut juga sesuai dengan Hukum kamma yang dijelaskan bagaimana seseorang dapat terlahir di alam tertentu..faktor2 yang menentukan salah satu adalah "pikiran" menjelang kematian.. :)

Sedangkan yang saya tangkap atau pahami sampai saat ini tentang 48 Ikrar tersebut,terlalu muluk2 menurut saya kecuali para pakar Mahayana disini bisa membantu saya untuk memahaminya dengan rujukan,referensi dari Sutra Mahayana.. :)

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 08:32:09 PM
ijinkan saya utk berkomentar jg  ;D

dulu saya jg penganut mahayana, dalam mempraktekkan ajaran Mahayana, tdk ada namanya yg bersantai santai lgsg masuk sukkhavati,,,,  dari mana seseorg bisa mengclaim org lain bersantai santai sementara dia sendiri tdk bisa melihat kehidupan sehari hari secara penuh aktivitas seorg mahayanis........
Seseorg yg mempraktekkan Dharma sesuai pandangan Mahayana, dilakukan dengan mengembangkan cinta kasih yg tdk kalah dari praktek Theravada, latihan jg tdk kalah, didalamnya memang digunakan cara pelafalan, untuk membangkitkan Saddha dan konsentrasi, serta merenungi sifat sifat ke Buddha yg didalam Theravada dikenal sebagai Buddhanussati....... secara konsisten umat mahayana selalu menjaga keyakinan yg teguh terhadap Buddha, dan jg mempraktekkan cinta kasih dalam hal ini jalan yg ditempuh adalah melalui vegetarian sesuai dgn anggapan dan kecocokan mereka......\
selain itu jg mereka mempraktekkan kebijaksanaan yg disana disebut sebagai prajna... sama halnya dgn Theravada mempraktekkan kebijaksanaan yg disebut dgn Panna.

Disini pandangan mahayana mencangkup moralitas, Samadhi, dan jg Prajna. tentu hal ini jg merupakan praktek yang luar biasa.

yang di bold itu..jadi sekarang anda beraliran apa? :)

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 08:34:00 PM
untuk yang Matthakundali lihat RAPB saya kira RAPB by Dhammacitta Press sangat bagus dijadikan referensi untuk hal semacam ini,karena penjelasannya sudah cukup untuk menjelaskan,alasan2 yang berkaitan dengan hal ini.. :)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 03 March 2010, 08:39:04 PM
 ;D itu adalah urusan pribadi saya, mao aliran apa, tdk berhubungan dengan diskusi yang ada  ;D
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 08:48:11 PM
;D itu adalah urusan pribadi saya, mao aliran apa, tdk berhubungan dengan diskusi yang ada  ;D

emangnya saya bilang urusan saya? :D
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 03 March 2010, 08:51:10 PM
emanknya saya ada nulis itu urusan anda  ;D  ? saya kan menjawab pertanyaan anda

yang di bold itu..jadi sekarang anda beraliran apa?

 ;D ;D ;D

back to topic
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 08:54:21 PM
emanknya saya ada nulis itu urusan anda  ;D  ? saya kan menjawab pertanyaan anda

yang di bold itu..jadi sekarang anda beraliran apa?

 ;D ;D ;D

back to topic

itu adalah urusan pribadi saya, mao aliran apa

:)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 03 March 2010, 09:35:11 PM
 [at]  Riky_dave:
Sori, tampaknya artikel yang dimaksud belum saya temukan (lupa apakah baca di forum tertentu atau baca dari buku), tetapi seingat saya intinya artikel menyatakan bahwa praktek penyebutan nama Buddha Amitabha (atau Buddha lainnya) baru dapat memberikan hasil yang maksimal jika memenuhi persyaratan berikut:
1. Keyakinan (meyakini adanya Buddha Amitabha beserta tanah Buddha-Nya)
2. Tekad (memiliki tekad kuat untuk terlahir di tanah Buddha tersebut)
3. Sila (memiliki sila yang tanpa cacat, kalau tidak salah harus menjalankan 10 sila/Dasasila)
4. Konsentrasi (memiliki pemusatan pikiran terhadap Buddha tersebut dengan praktek meditasi Buddhanussati/Buddhanusmrti)

Berikut ini ada kutipan artikel menarik tentang Buddhanusmrti dalam pandangan Mahayana:

Quote
Buddhanusmëti – recollection of the Buddha

The Sutta Nipata of the Pali Canon is generally held by scholars to be one of the oldest
extant Buddhist texts. At the very end of the Sutta Nipata, in a section also held to be among
the oldest strata of that text, is a wonderfully moving and, I think, potentially significant
discussion. A Brahmin named Pingiya ‘the wise’ praises the Buddha in heartfelt terms:

"They call him Buddha, Enlightened, Awake, dissolving darkness, with total vision, and
knowing the world to its ends. . . . This man . . . is the man I follow. . . . This prince, this
beam of light, Gotama, was the only one who dissolved the darkness. This man Gotama
is a universe of wisdom and a world of understanding."[1]

Why is it, Pingiya is asked, that you do not spend all your time with the Buddha, that
wonderful teacher? Pingiya replies that he himself is old, he cannot follow the Buddha
physically, for ‘my body is decaying’. But:

"there is no moment for me, however small, that is spent away from Gotama, from this
universe of wisdom, this world of understanding . . . with constant and careful vigilance
it is possible for me to see him with my mind as clearly as with my eyes, in night as well
as day. And since I spend my nights revering him, there is not, to my mind, a single moment
spent away from him."

In this ancient and extraordinary discussion Pingiya indicates that it was possible through
his awareness, through his meditation, for him to be constantly in the presence of the Buddha
and constantly to revere him. Towards the end the Buddha himself testifies that Pingiya
too will go to ‘the further shore’ of enlightenment.

The interpretation of this discussion is perhaps difficult. One certainly should not
assume that we have here a fully-fledged devotionalism. Nevertheless, Pingiya’s praise of
the Buddha and his reference to seeing him with the mind appear to connect with the
practice of buddhnnusmrti, recollecion of the Buddha, a practice known from other contexts
in the Pali Canon and practised by, as far as we can tell, all schools of Buddhism.

According to the Theravada commentator Buddhaghosa, a meditator who wishes to practise
recollection of the Buddha should go to a favourable spot for retreat:

"and recollect the special qualities of the Enlightened One . . . as follows: ‘That Blessed
One is such since he is accomplished, fully enlightened, endowed with (clear) vision and
(virtuous) conduct, sublime, the knower of worlds, the incomparable leader of men to
be tamed, the teacher of gods and men, enlightened and blessed’."[2]

The meditator recollects the features of the Buddha systematically and in detail. Among
the results of such a meditation are that, in the words of Buddhaghosa, the meditator:
attains the fullness of faith, mindfulness, understanding and merit. . . . He conquers fear
and dread. . . . He comes to feel as if he were living in the Master’s presence. And his
body . . . becomes as worthy of veneration as a shrine room. His mind tends towards the
plane of the Buddhas.[3]

If tempted to wrongdoing, our meditator feels as much shame as if face to face with
the Buddha. Even if his spiritual progress stops at this stage, he will progress to a ‘happy
destiny’.

Three points are particularly worth noting here. First, there is the connection of
buddhanusmrti with attaining to a higher plane, a happy destiny, or the ‘plane of the
Buddhas’. Second, through recollection of the Buddha one becomes free from fear. We
know from a Sanskrit sutra source that buddhanusmrti was particularly recommended as an
antidote to fear. Fear, and the desire to see the Buddha, were, I think, important feelings in the centuries, perhaps even the decades, after the death of the Buddha. The Gandavyuha Sutra speaks for many Buddhists when it states that:

"It is difficult, even in the course of hundreds of kotis of aeons, to hear a Buddha preach;
How much more to see him, his sight being the supreme remover of all hesitations . . .
Better it is to roast for Kotis of aeons in the three states of woe, terrible though they are,
Than not to see the Teacher . . .
Annulled are all the sufferings when one has seen the Jina, the Lord of the world,
And it becomes possible to enter on gnosis, the sphere of the supreme Buddhas."

And third, through recollecting the Buddha, Buddhaghosa says, the meditator comes to feel
as if he were living in the presence of the Buddha himself – so much so, that shame would
deter him from evil deeds.[4]

There is a passage contained in the Mainstream Buddhist Ekottaragama, part of the canon
which survives in Chinese translation, in which there is given a far more detailed account
of recollection of the Buddha than can be found in the Pali Canon. In this sutra, recollection
of the Buddha is said to lead to magic powers and even to nirvaua itself. With the Mahayana doctrine of infinite Buddhas and Bodhisattvas dwelling in infinite Buddha Lands of the 10 directions (a doctrine perhaps itself influenced by the experiences of buddhanusmrti) the practice of recollection of the Buddha gained still further in importance as a means of contacting those Buddhas and their realms. The Saptasatika Prajnaparamita describes the ‘Single Deed Samadhi’ by which one can quickly attain supremeenlightenment. The meditators:

"should live in seclusion, cast away discursive thoughts, not cling to the appearance of
things, concentrate their minds on a Buddha, and recite his name single-mindedly. They
should keep their bodies erect and, facing the direction of that Buddha, meditate upon
him continuously. If they can maintain mindfulness of the Buddha without interruption
from moment to moment, then they will be able to see all the Buddhas of the past, present,
and future right in each moment."[5]

Pratyutpanna Sutra

The Pratyutpanna Sutra was first translated into Chinese by Lokakwema in perhaps 179 CE.
This makes it one of the earliest Chinese translations of a Buddhist setra. It contains the
earliest datable literary reference to Amitayus (= Amitabha) and his Buddha Field, his Pure
Land, in the west.[6] Among the many interesting and unusual features of this early sutra is
the detail with which it describes and discusses the pratyutpanna samadhi, which appears to
be the principal message of the sutra.

The basis for practising the pratyutpanna samadhi is strict morality. A practitioner, lay or
monastic, male or female, is requested to fulfil completely the moral code before entering
into retreat. The meditator then retires to a secluded place and reflects on which direction
the Buddha Amitayus dwells. He or she concentrates on that Buddha, presumably
facing the correct direction. The meditation conforms to what we have seen already of
buddhanusmrti practices. The practitioner contemplates the Buddha as being directly in front:

"Bodhisattvas should concentrate on the Tathagatas . . . as sitting on the Buddha-throne
and teaching the Dharma. They should concentrate on the Tathagatas as being endowed
with all the finest aspects, handsome, beautiful, lovely to behold, and endowed with
bodily perfection [etc.]."[7]

Elsewhere cognitive as well as bodily excellences of the Buddha are noted and contemplated.
Moreover, meditators are exhorted not to give rise to the notion of ‘self ’ in any way for
three months, or be overcome by ‘sloth and torpor’ (i.e. sleep), or sit down ‘except to defecate
and urinate’ for three months. Thus they should concentrate on Amitayus for one day and one night, or for two, or three, or four, or five, or six, or seven days and nights. If they concentrate their thoughts with undistracted minds on the Tathagata Amitayus for seven days and nights, then, when a full seven days and nights have elapsed, they see:

"the Lord and Tathagata Amitayus. Should they not see that Lord during the daytime,
then the Lord . . . will show his face to them in a dream while they are sleeping."

And having seen the Buddha, our meditator can worship him, and receive teachings. This
seeing of the Buddha is not with the ‘divine eye’, it is not the result of magic powers. The
meditator does not need to develop the various supernormal faculties such as the divine
eye which, as we saw in the previous chapter, are only developed at the third Bodhisattva
stage, and were thought in other texts to be the means by which one can see the Buddhas
of the 10 directions. The Buddhas seen in the pratyutpanna samAdhi are said to be apprehended
on the analogy of dreams. This is possible because all is empty of intrinsic existence,
and all is likewise Mind Only.

Notes:
1. Trans. by Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. the translation by Norman (Sutta NipAta
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, in Buddhaghosa 1975, quoting from the standard formula found in
the Pali Canon. Harrison 1992a: 228–31 argues that anusmVti is better understood as
‘commemoration’ than simply ‘recollection’.
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4. Note the expression ‘a happy destiny’, and also ‘the plane of the Buddhas’. What, or
where, is the plane of the Buddhas? As we shall see, the most famous of the ‘Pure
Lands’ where in Mahayana a Buddha even now dwells teaching the Dharma is called
Sukhavati, literally ‘the Happy Place’. It is there that one can still live in the presence
of the Buddha, free from fear.
5. Trans. in Chang 1983: 110. From the Chinese. Cf. the translation by Conze 1973b: 101.
6. The actual expression ‘Pure Land’ translates the Chinese jingtu (ching-t’u; Japanese: jodo),
and as such appears to have been coined in China.
7. Notice the Buddhas are plural; Amitayus is given here only as an example. Trans. in
Harrison 1990: 68. See also Harrison 1978.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 03 March 2010, 09:36:32 PM
Ini tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra):

Quote
The notion of a Buddha Field (buddhaksetra)

From the perspective of Buddhist cosmology space, like time, is infinite. Infinite space is
full of infinite universes, world systems, stretching to the 10 directions (the four cardinal
points, four intermediate directions, up and down). Within these infinite reaches some
universes are known as Buddha Fields or Buddha Lands. Generally, this term denotes an
area, a cosmos, where a Buddha exerts his spiritual influence.

The concept of a Buddha Field, while of considerable importance in Mahayana thought,
is not unique to the Mahayana. The Mahavastu, which is a Lokottaravada text, points out
that there are many, many universes or world systems which are devoid of a Buddha, for
Buddhas are relatively very rare. Moreover, the Mahavastu notes, there cannot be two Buddhas
in the same Buddha Field, for this would imply that one Buddha is not adequate to his task.
And even though Buddhas are relatively rare, still, throughout the infinite universes there
are innumerable Buddhas, and innumerable tenth-stage Bodhisattvas who are about to become
Buddhas. Each leads infinite beings to liberation, and yet there is no chance that eventually
all will be liberated and no one will be left. For with infinite sentient beings, even if infinite
Buddhas each liberate another infinite being, still there are infinite suffering sentient beings
left (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).

Human beings live in a world sphere called Saha, said to be in the south, for which the
current Buddha is Sakyamuni.[15] The notion of a Buddha Field may have arisen from a consideration of Sakyamuni’s knowledge on the one hand, the field of his awareness, and his
authority and influence on the other – his field of activity.[16] In addition, one can refer to
the actual geographical area where the Buddha was born. Naturally the sizes of these three
fields are different. The Buddha’s knowledge (and from a Mahayana perspective, his compassion)
is often held in Mahayana to be infinite, although his direct spiritual power is exerted
over a vast but finite area, his Buddha Field in the primary sense, the area in the centre of
which the Buddha appeared.

The principal function of a Buddha is to teach sentient beings in his Buddha Field. But
the Buddha Field in this primary sense is not simply a place where the Buddha happens to
have appeared. Rather, during his career as a Bodhisattva the Buddha-to-be is said to ‘purify’
his Buddha Field, and the Buddha Field is in some sense the result of his great compassion
(Fujita 1996a: 34–5). In other words, the very existence of a Buddha Field depends upon
the Buddha’s wonderful career as a Bodhisattva. The Buddha’s infinite deeds of wisdom
and compassion have created his Buddha Field as an area where he can ‘ripen’ sentient beings.
Beings themselves also contribute, for it is a place where they have been reborn through
their deeds, as beings potentially able to be ripened. Moreover, a Bodhisattva can himself
be reborn in the Buddha Field of a Buddha, in the Buddha’s direct presence, or travel there
in meditation. The Buddha Field is precisely a place where conditions are obviously advantageous
to his spiritual progress. Thus a Buddha Field is both a place where a Bodhisattva
can see the Buddha and pursue his or her career, and also the goal of the Bodhisattva’s striving,
his own Buddha Field purified for sentient beings through his own efforts (Rowell 1935:
385 ff., 406 ff.). And from his place within his realm one text rather poetically informs us
that three times a day, and three times a night, the Buddha surveys his Buddha Field in
order to see who can be morally and spiritually helped (Lamotte 1962: 396–7).

So the Bodhisattva purifies his Buddha Field, and the realm within which the Buddha
exerts his activity is the result of his purifying deeds as a Bodhisattva. This gives rise to
a problem. It is agreed on all counts that the Saha world of Sakyamuni is not a very
pure place.[17] This world is indeed a thoroughly impure Buddha Field. Some Mahayana texts
speak of three types of Buddha Field: pure, impure, and mixed. For example, in an impure
Buddha Field there are non-Buddhists, seriously suffering beings, differences of lineage
etc., immoral beings, lower realms such as hells, inferior conduct and Inferior Vehicles (the
Mainstream Buddhist traditions), and so on. Bodhisattvas of excellent conduct, and the actual
appearance of a Buddha, are rare.[18] In fact this world of Sakyamuni is pretty grim for the
pious follower of Mahayana. A pure Buddha Field, on the other hand, such as Amitayus’
Sukhavatc, will be something like this:

"well adorned, having no filth or evil, no tiles or pebbles, no thorns or thistles, no excrement
or other impurities. Its soil shall be flat and even, having no high or low, no hills
or crevices. It shall have vairerya [‘beryl’, following Paul Harrison] for earth, and jewelled
trees in rows. With cords made of gold shall its highways be bordered. It shall be everywhere
clean and pure, with jewelled flowers scattered about."
(Lotus Sutra, in Hurvitz 1976: 120)

Such a pure Buddha Field – in East Asia it is spoken of as a ‘Pure Land’ – has a Buddha
who lives for a very long time (perhaps for all eternity), who does not abandon his flock,
as Sakyamuni appears to have done after only 40 years or so. There are many Bodhisattvas
in that realm, and the devil, Mara, and his evil host cannot work their vicious ways.
Obviously such a Pure Land is an excellent place for developing the path to enlightenment,
while our Saha world, particularly since the death of the Master, is not really so very good.
Since there are infinite Buddha Fields and therefore also infinite Pure Lands at this very
moment throughout the 10 directions, surely the overriding immediate task must be to visit
these Pure Lands if at all possible and eventually to be reborn there.

Earlier Buddhism had taught that merit led to a heavenly rebirth after death, but all
heavens are samsara, impermanent and pervaded with final frustration and suffering. A Pure
Land is emphatically not, in Buddhist terminology, a heaven (svarga).[19] Rather, one should
practise the correct meditations (i.e. buddhanusmrti) and skilfully direct the fruit of one’s
good deeds, merit, to be reborn not in a heaven but in the chosen Pure Land. While it may
certainly not be easy to get to a Pure Land, in a Pure Land because of the presence of a
Buddha and his teachings one can relatively easily attain nirvaua, or significantly advance
on the path to Buddhahood, as we know from the stories people were able to do in India
at the time of Sakyamuni.
Indeed, attaining nirvana in a Pure Land is much easier than
it was in India at the time of Sakyamuni, since a Pure Land is much more conducive to
practising the Dharma than impure India was and is. Thus, unlike a heaven, from a Pure
Land there need be no further uncontrolled samsaric rebirth.

This is all quite logical, and perfectly consistent with the development of Buddhist
thought. The present world bereft of a Buddha is a difficult place in which to attain enlightenment.
Nevertheless, in infinite universes there are still Buddhas, perhaps even Sakyamuni
himself. It is possible to see them in meditation, and to hear their wonderful teachings. There
is thus nothing to prevent one from being reborn in their presence. Consequently, the quest
for nirvana, or even Perfect Buddhahood, requires in most cases the immediate goal of rebirth
in a Pure Land in the presence of a Buddha. In ensuring that he or she will be reborn in a
Pure Land after death, the practitioner becomes here and now a ‘non-returner’ (anagamin),
one who will no longer be reborn in this world, but will attain enlightenment very soon,
perhaps in the very next life.[20] This is a very advanced stage of Buddhist practice indeed,
much more advanced than most people would normally expect to attain under present conditions
in the world as it is now bereft of a Buddha.

But where does this leave poor Sakyamuni? His Buddha Field is impure, therefore
Sakyamuni and his purifying activity as a Bodhisattva were obviously strikingly ineffective.
To quote from Sariputra in the Vimalakirtinirdesa Sutra:

"If the buddha-field is pure only to the extent that the mind of the bodhisattva is pure,
then, when Sakyamuni Buddha was engaged in the career of the bodhisattva, his mind
must have been impure. Otherwise, how could this buddha-field appear to be so impure?"

Moreover, Sakyamuni has now gone, while there are still many sentient beings here in this
world to be saved. His compassion must therefore be defective.

There are a number of ways in which one can deal with these problems. First, one could
simply say that all Buddhas are in fact identical. Sakyamuni appeared to help sentient beings
at a particular time and place. Although he has died there are many other Buddhas, and
also there are Pure Lands elsewhere. These Buddhas are continuing to help beings in this
Saha world. One could combine this with the scheme of the Buddha bodies. Sakyamuni was
a Transformation Body, an emanation of another Buddha, who remains in a pure Buddha
Field, still active in all ways for the benefit of sentient beings here on earth. In other words,
the impure Buddha Field is not the primary Buddha Field, but is a skilful means of a Buddha
who necessarily, as a Buddha, really has a Pure Buddha Field. Alternatively this supramundane
Buddha could himself be Sakyamuni (as in the Lotus Sutra).

Another strategy would be to see the Buddha Field as the range of a Buddha’s activity, but not necessarily completely purified by his previous activity. Since he is compassionate, a Buddha creates his Buddha Field as the most suitable place for particular beings to be saved. This strategy was strikingly adopted by the Karunapundarika Sutra, a sutra which sought to restore Sakyamuni to
pre-eminence in the face of Pure Land cults centred on Amitayus and Aksobhya. These
other Buddhas teach sentient beings who can reach their Pure Lands. But the greatest
Bodhisattvas, the real Bodhisattvas, vow to appear as Buddhas in impure realms, tainted Buddha
Fields, out of their great compassion (Yamada 1968: I, 78). The very fact that Sakyamuni
appeared in this Saha realm, a ghastly place, indicates his remarkable compassion.

The most common solution to Sariputra’s dilemma, however, and of crucial importance
in subsequent East Asian Buddhism, is that given by the Vimalakirtinirdesa itself. This impure
Buddha Field is indeed the Pure Land. It only appears impure because of the minds of
sentient beings dwelling in it. If there are mountains in this world, and all is flat in the
Pure Land, that is because there are mountains in the mind. Sakyamuni is not a deficient
Buddha. To him all is pure. The impurity that we see is the result of impure awareness,
and also the Buddha’s compassion in creating a world within which impure beings can grow
(Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Thus the real way to attain a Pure Land
is to purify one’s own mind. Put another way, we are already in the Pure Land if we but
knew it. Whatever the realm, if it is inhabited by people with enlightened pure minds then
it is a Pure Land. This is very much like the Buddha-nature/tathagatagarbha assertion that
we are already fully-enlightened Buddhas if we but recognize the fact, and it is only a short
step from the Chan (Zen) notion that the Pure Land is really simply the tranquil, clear,
radiant, pure Mind. The Pure Land is truly, therefore, not a ‘heavenly abode’ but is rather
demythologized as enlightenment itself.[21]

Notes:
15. For a good introduction to Mainstream Buddhist cosmology, see Gethin 1998: Ch. 5.
For some diagrams, see also Gómez 1996: 257–60.
16. See Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. For a more recent study, see Fujita 1996a. Paul
Harrison has drawn my attention to the very plausible suggestion in Davidson 2002:
132–3 that ksetra, ‘field’ may have some connection here with the Indian political notion
of a royal ‘domain’. If so, then buddhaksetra would be better translated as ‘Buddha Domain’.
17. Purity, incidentally, was and is an important cultural notion in India, pervading
(Brahmanic) Indian society and underlying, for example, caste divisions. The more pure
a person is the higher their religious status. Derivatively, the more pure their environment
is the more they preserve their high religious status.
18. Samdhinirmocana Sutra, in Lamotte 1962: 397. Note, however, that in the early model of
Aksobhya’s Pure Land of Abhirati there are also found non-Mahayana practitioners.
Indeed, in various ways the early model of Abhirati does not always fit with the developed
Mahayana view of a Pure Land.
19. See Ducor 2004: 380–1. On the similarities and dissimilarities of Sukhavatc with a
heaven, in the light of Japanese understandings of Amitabha’s Pure Land as a ‘world
of another dimension’, in fact i.e. enlightenment itself, see Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita
1996b: 26.
20. On these ‘fruits of the Path’ in Mainstream Buddhism, see Gethin 1998: 194.
21. Perhaps I should also mention here another model of the Pure Land related to this
found in, e.g., Nichiren traditions, and popular among modern Buddhist social activists.
As we saw at the end of the chapter on the Lotus Sutra, there is the suggestion
that at some point in the future, when enough people are practising the true Dharma
(or when, through Buddhist-inspired action social and political conditions are right)
at that time this very world will then be the Pure Land. The Pure Land here is not the
pure mind as such, nor is it the world as seen by a pure mind. Rather, it is the properly
ordered society that results from the activities of those with pure minds (i.e. right thinking
Buddhists). This view of the Pure Land also has links with East Asian Buddhist
millenarianism (see, e.g., Overmyer 1976: 157).

Sumber kedua kutipan di atas adalah buku Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundations 2nd edition oleh Paul Williams
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 09:39:25 PM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Apakah ini yang anda maksudkan?
Pada suatu waktu,Yang Terberkati tinggal di Kosambi di tengah hutan simsapa.Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para Bhikkhu,"O,para Bhikkhu,bagaimana menurut kalian,manakah yang lebih banyak[dedaunan yang saya gengam atau daun2 yang berada pada pohon2 di hutan]? "
'Dedaunan dalam genggaman Yang Terberkati lebih sedikit;daun2 di hutan lebih banyak'
"Demikian pula,O para Bhikkhu,hal2 yang Saya ketahui melalui pemahaman langsung adalah jauh lebih banyak;hal2 yang telah saya beritahukan kepadamu hanya sedikit saja."
"Mengapa saya tidak memberitahukanmu semua?Sebab hal2 tersebut tiada membawa manfaat,tidak membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena tidak menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya tidak memberitahukannya."

"Dan apakah yang telah saya beritahukan?[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan.Itulah yang telah Saya beritahukan kepadamu.Mengapa saya memberitahumu?Karena hal2 tersebut membawa manfaat,membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya memberitahukannya."

"Oleh karena itu wahai para Bhikkhu,buatlah demikian menjadi tugasmu :[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan."

[Samyutta Nikaya,LVI,31]

Saya rasa Buddha tidak memberitahukannya jelas karena tidak membawa pada Nibbana.. :)


Quote
Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.
Lihat yang diatas :)


Anumodana _/\_

belum nangkap juga maksud saya.... ^-^ 

Saya kasi clue...Bila ada Buddha muncul dalam meditasi anda/dihadapan anda, lalu memberi tahu sesuatu, apa reaksi anda...bagaimana anda mengetahui apa yg dikatakan Dhamma yg membawa pencerahan atau dhamma yg bukan membawa pencerahan, dan mengetahui itu Buddha atau bukan? nah ini harus dipilah daun yg mana membawa kita ke nibbana dan yg tidak....kedua jenis daun muncul pada hampir bersamaan....Anda tidak bisa menolak kemunculan fenomena itu...hanya sikap setelah kemunculan yg bisa kita lakukan....

Apakah anda mau bilang Sutra Mahayana tentang Ikrar Buddha Amitabha juga merupakan daun yang dimaksudkan oleh Bhagava? :o

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 03 March 2010, 10:13:45 PM
 [at] Seniya

Bro Seniya yang baik,agar diskusi ini lancar dan saya bisa memahami Mahayana sebagai 1 rumpun dengan Theravada yang sama2 menyakini Buddha Gotama sebagai guru manussa dan deva,maka saya memohon agar Bro Seniya berkenan mentranslate kata bahasa inggris yang ada diartikel tersebut kedalam bahasa Indonesia..

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: bond on 04 March 2010, 08:53:00 AM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Apakah ini yang anda maksudkan?
Pada suatu waktu,Yang Terberkati tinggal di Kosambi di tengah hutan simsapa.Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para Bhikkhu,"O,para Bhikkhu,bagaimana menurut kalian,manakah yang lebih banyak[dedaunan yang saya gengam atau daun2 yang berada pada pohon2 di hutan]? "
'Dedaunan dalam genggaman Yang Terberkati lebih sedikit;daun2 di hutan lebih banyak'
"Demikian pula,O para Bhikkhu,hal2 yang Saya ketahui melalui pemahaman langsung adalah jauh lebih banyak;hal2 yang telah saya beritahukan kepadamu hanya sedikit saja."
"Mengapa saya tidak memberitahukanmu semua?Sebab hal2 tersebut tiada membawa manfaat,tidak membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena tidak menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya tidak memberitahukannya."

"Dan apakah yang telah saya beritahukan?[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan.Itulah yang telah Saya beritahukan kepadamu.Mengapa saya memberitahumu?Karena hal2 tersebut membawa manfaat,membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya memberitahukannya."

"Oleh karena itu wahai para Bhikkhu,buatlah demikian menjadi tugasmu :[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan."

[Samyutta Nikaya,LVI,31]

Saya rasa Buddha tidak memberitahukannya jelas karena tidak membawa pada Nibbana.. :)


Quote
Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.
Lihat yang diatas :)


Anumodana _/\_

belum nangkap juga maksud saya.... ^-^ 

Saya kasi clue...Bila ada Buddha muncul dalam meditasi anda/dihadapan anda, lalu memberi tahu sesuatu, apa reaksi anda...bagaimana anda mengetahui apa yg dikatakan Dhamma yg membawa pencerahan atau dhamma yg bukan membawa pencerahan, dan mengetahui itu Buddha atau bukan? nah ini harus dipilah daun yg mana membawa kita ke nibbana dan yg tidak....kedua jenis daun muncul pada hampir bersamaan....Anda tidak bisa menolak kemunculan fenomena itu...hanya sikap setelah kemunculan yg bisa kita lakukan....

Apakah anda mau bilang Sutra Mahayana tentang Ikrar Buddha Amitabha juga merupakan daun yang dimaksudkan oleh Bhagava? :o

Anumodana _/\_

Tidak ada maksud  mengatakan tentang sutra mahayana seperti yg anda tanyakan dan dugaan anda.....silakan Anda cerna sendiri....daun2 itu...dan kelihatannya belum mudeng juga...it's ok

Yang pasti belum terjawab pertanyaan saya yakni ikrar yang bagaimana menurut bro bukan pembodohan?   ;)
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 04 March 2010, 07:06:51 PM
 [at] bro Riky
Metode penafsiran dalam mahayana berbeda dengan theravada. Lebih-lebih lagi mengambil perspektif Theravada dalam menafsirkan Mahayana adalah sangat kontraproduktif.
Tidak pernah ada guru besar agama Buddha yang membangun pemikiran Buddhis dengan mencampur adukkan dua tradisi yang berbeda, apalagi menafsirkannya. Ketika pemikiran seperti ini muncul, semua tetap dapat dipatahkan karena jelas-jelas kerangka pemikiran Theravada dan Mahayana sudah berbeda.
Jika seseorang ingin memahami Mahayana, maka harus dibangun dari asas pemikiran dan falsafah mahayana. Demikian juga dalam Theravada. 
Kecuali membuat studi banding, itu tentu berbeda lagi. Tetapi patut diingat juga, bahwa dalam studi banding pun, tidak pernah ada metodologi yg mempertanyakan suatu tradisi dengan cara dilihat dari perspektif tradisi lain. Yang ada hanya membuat kajian tradisi a dan b lalu menarik kesimpulan tanpa memberi judgement tradisi mana yang benar dan salah.

Jadi, bila ingin memahami tradisi Mahayana, maka silakan membangunnya dari kerangka falsafah Mahayana, maka apa yang terlihat tidak masuk akal, menjadi masuk akal, apa yang terlalu muluk menjadi wajar saja. Begitu juga dalam kerangka berpikir Theravada , bila saya membangun dari arus pemikiran mahayana, maka bagi saya Theravada pada sisi tertentu menjadi tidak masuk akal. Tetapi metode berpikir demikian bagi saya hanyalah menghabiskan waktu dan sia-sia. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar memahami suatu tradisi tanpa mencari titik kelemahannya hanya karena kita melekat pada kebenaran sepihak,  kebenaran yang masih bertautan dengan logika panca khanda, tidak kokoh.

Maka dari itu adalah percuma menguasai kitab suci, bila tidak dipraktikkan. Ini menjadi tugu peringatan buat saya juga. Melihat kebenaran dari membaca segelintir teori tidak serta merta menandakan bahwa kita telah mencapai kebenaran itu lalu menilai tradisi lain sebagai jalan yang salah.

Kembali pada Ikrar Amitabha, itu diyakini sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni. Terlepas dari itu masuk akal atau tidak, tentu apa yang diucapkan buddha, bagi siswa Mahayana merasa patut menaruh keyakinan pada ucapan Hyang Buddha.  Karena secara asas, dia tidak bertentangan dengan falsafah yg dibangun dalam mahayana. Kecuali berbicara tentang anjuran perbuatan jahat yg tidak masuk akal, ini tentu wajar harus ditolak, walaupun dikatakan ucapan Buddha. Terus, ajaran tentang Buddha Amitabha tidaklah membuat praktisi Mahayana menjadi apatis. Anda bisa lihat sendiri sejarah pemikiran Mahayana di Tiongkok yang melahirkan banyak guru2 besar. Mereka sangat taat menjalani Sila, Samadhi dan Prajna. Lebih-lebih konsep pemikiran Zen dan Sukhavati yang pada sejarah perkembangannya akhirnya dapat saling terjembatani. Padahal keduanya secara sepintas  (sepintas lho ya) terlihat sangat berbeda. Semua ini perlu dikaji secara komprehensif, bukan menilainya dari aspek yang sepotong-sepotong.
Demikian, bila ada penjelasan yg tidak dipahami, mohon dimaklumi. Terima kasih.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Tekkss Katsuo on 04 March 2010, 07:16:46 PM
Yup. semua sudah dijelaskan dengan mantap oleh Bro chingik.......... beda tradisi beda pemikiran, tdk bisa karena kita terpaku pada tradisi kita langsung mengclaim tradisi yg lain gini gitu.. apalagi sudah tertanam dalam pikiran kita bahwa tradisi/kepercayaan kita yg paling benar, dengan demikian penjelasan seperti apapun juga tetap tdk bermanfaat........... jika ingin benar benar mengetahui tradisi org lain, maka kosongkan gelas yg penuh,,,,, jika gelas tdk kosong dituangkan air maka akan tumpah juga. semoga saya jg bisa merenungkan hal ini. _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 04 March 2010, 09:23:03 PM
[at] Seniya

Bro Seniya yang baik,agar diskusi ini lancar dan saya bisa memahami Mahayana sebagai 1 rumpun dengan Theravada yang sama2 menyakini Buddha Gotama sebagai guru manussa dan deva,maka saya memohon agar Bro Seniya berkenan mentranslate kata bahasa inggris yang ada diartikel tersebut kedalam bahasa Indonesia..

Anumodana _/\_

Ini terjemahannya dalam bahasa Indonesia (beberapa istilah diterjemahkan secara bebas):

Quote
Buddhanusmrti – perenungan terhadap Buddha

Sutta Nipata dari Kanon Pali umumnya dianggap oleh para ahli sebagai teks Buddhis tertua yang masih ada. Pada akhir Sutta Nipata, pada bagian yang juga dianggap sebagai tingkatan paling tua dari teks tersebut terdapat bagian yang sangat mengharukan dan, saya pikir, percakapan yang penting. Seorang brahmin bernama Pingiya ‘sang bijaksana’ memuliakan Sang Buddha dalam kata-kata yang tulus:

“Mereka menyebutnya Buddha, Yang Tercerahkan, Yang Telah Sadar, yang melenyapkan kegelapan, dengan pandangan menyeluruh, dan mengetahui dunia ini sampai akhirnya.... Orang ini... adalah sosok yang aku ikuti.... Pangeran ini, secercah cahaya ini, Gotama, adalah satu-satunya yang melenyapkan kegelapan. Orang ini Gotama adalah semesta kebijaksanaan dan dunia pemahaman.”[1]

Pingiya ditanya mengapa ia tidak menghabiskan waktunya dengan Sang Buddha, guru yang mengagumkan tersebut? Pingiya menjawab bahwa ia sendiri sudah tua, ia tidak dapat mengikuti Buddha secara fisik, karena ‘tubuhku sedang melapuk’. Namun:

“tidak ada waktu sedikit pun bagiku yang dihabiskan jauh dari Gotama, dari semesta kebijaksanaan ini, dunia pemahaman ini... dengan kewaspadaan yang terus-menerus dan hati-hati, adalah memungkinkan bagiku untuk melihat-Nya dengan pikiranku sejernih [melihat dengan] mataku, siang dan malam. Dan karena aku menghabiskan malamku dengan menghormati Beliau, tidak ada, dalam pikiranku, sesaat pun jauh dari-Nya.”

Dalam percakapan yang luar biasa dan kuno ini Pingiya menunjukkan bahwa adalah memungkinkan melalui perhatiannya, melalui pemusatan pikirannya, agar ia terus-menerus berada di hadapan Sang Buddha dan terus-menerus menghormati Beliau. Pada akhir [teks ini], Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa Pingiya juga akan menuju ‘pantai yang lain’ dari Pencerahan.

Penafsiran percakapan ini mungkin sulit. Seseorang pastinya tidak akan menganggap bahwa kita di sini memiliki sistem keyakinan yang sudah baku. Walaupun demikian, pujian Pingiya terhadap Sang Buddha dan penghormatannya agar dapat melihat Beliau dalam pikirannya tampaknya berhubungan dengan praktek buddhanusmrti, perenungan terhadap Buddha, sebuah praktek yang telah diketahui dari konteks lain dalam Kanon Pali dan dijalankan, sejauh yang dapat kita katakan, semua aliran Buddhisme.

Berdasarkan komentator Theravada Buddhaghosa, seorang meditator yang ingin menjalankan perenungan terhadap Buddha harus pergi ke tempat yang cocok guna mengasingkan diri:
“dan merenungkan sifat-sifat khas dari Sang Buddha... sebagai berikut: ‘Demikianlah Sang Bhagava yang adalah yang telah menyelesaikan, tercerahkan sepenuhnya, memiliki pandangan (yang jernih) dan tindak tanduk (yang baik), mulia, pengenal dunia, pemimpin yang tak tertandingi dari para manusia yang dijinakkan, guru para manusia dan dewa, yang telah mencapai pencerahan dan yang dirahmati’.”[2]

Sang meditator merenungkan sifat-sifat Sang Buddha secara teratur dan terperinci. Di antara hasil dari meditasi yang demikian adalah bahwa, dalam kata-kata Buddhaghosa, sang meditator:
Mencapai sepenuhnya keyakinan, perhatian, pengertian dan kebajikan.... Ia menaklukan rasa takut dan kengerian.... Ia merasa seakan-akan ia tinggal dalam kehadiran Sang Guru. Dan tubuhnya... menjadi layak dihormati seperti ruang pemujaan. Pikirannya cenderung menuju pada kediaman para Buddha.[3]

Jika tergoda untuk melakukan perbuatan salah, sang meditator merasa sangat malu seakan-akan ia berhadapan langsung dengan Buddha. Bahkan jika perkembangan batinnya berhenti pada titik ini, ia akan maju menuju ‘tujuan bahagia’.

Tiga poin yang patut dicatat di sini. Pertama, terdapat hubungan antara buddhanusmrti dengan pencapaian taraf [spiritual] yang lebih tinggi, sebuah tujuan yang bahagia, atau ‘kediaman para Buddha’. Kedua, melalui perenungan terhadap Buddha seseorang menjadi bebas dari rasa takut. Kita mengetahui bahwa dari sumber sutra Sanskerta bahwa buddhanusmrti dianjurkan terutama sebagai penangkal rasa takut. Takut, dan keinginan untuk melihat Buddha, di sini saya pikir, adalah perasaan yang penting selama berabad-abad, bahkan berdekade-dekade, setelah wafatnya Sang Buddha. Gandavyuha Sutra mengatakan untuk banyak umat Buddha ketika ia menyatakan:

 “Adalah sulit, bahkan dalam waktu ratusan koti kalpa, untuk mendengar seorang Buddha mengajar;
Betapa semakin banyak melihat-Nya, penampakan-Nya menjadi penghapus utama semua keraguan....
Lebih baik terbakar selama berkoti kalpa dalam tiga keadaan yang menderita, walaupun mereka sangat mengerikan,
Daripada tidak melihat Sang Guru....
Lenyaplah semua penderitaan ketika seseorang telah melihat Sang Jina, Penguasa Dunia,
Dan menjadi mungkin untuk mencapai pengetahuan mendalam, dunia para Buddha yang tertinggi.”

Dan ketiga, melalui perenungan terhadapa Buddha, Buddhaghosa mengatakan, sang meditator akan merasa seakan-akan ia tinggal dalam hadapan Sang Buddha sendiri – sedemikian sehingga, bahwa rasa malu akan mencegahnya dari perbuatan jahat.[4]

Terdapat sebuah teks yang terdapat pada Ekottaragama milik Buddhisme awal, bagian dari kitab suci yang bertahan dalam terjemahan bahasa Cina, di mana diberikan sebuah kisah yang lebih rinci tentang perenungan terhadap Buddha daripada yang ditemukan dalam Kanon Pali. Dalam sutra ini, perenungan terhadap Buddha dikatakan membawa pada kekuatan batin dan bahkan pada Nirvana itu sendiri. Dalam ajaran Mahayana tentang para Buddha dan Bodhisattva yang tak terhingga banyaknya yang mendiami tak terhingga Tanah Buddha dari 10 arah mata angin (sebuah ajaran yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman buddhanusmrti), praktek perenungan terhadap Buddha mendapatkan kedudukan yang jauh lebih penting sebagai cara untuk berhubungan dengan para Buddha dan kediaman mereka. Saptasatika Prajnaparamita menjelaskan ‘Samadhi Perbuatan Tunggal’ di mana seseorang bisa dengan cepat mencapai pencerahan sempurna. Sang meditator:

“harus tinggal dalam kesunyian, membuang pikiran yang mengganggu, tidak melekat pada benda-benda, memusatkan pikiran mereka pada seorang Buddha, dan membaca nama-Nya denga tulus. Mereka harus menjaga tubuh mereka tetap tegak dan, dengan menghadap pada arah dari Buddha tersebut, bermeditasi terhadap-Nya secara terus-menerus. Jika mereka dapat menjaga perhatian terhadap Buddha tersebut tanpa henti dari waktu ke waktu, maka mereka akan dapat melihat semua Buddha dari masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang setiap waktu.”[5]

Pratyutpanna Sutra

Pratyutpanna Sutra pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Lokaksema mungkin sekitar tahun 179 M. Ini membuat ia salah satu terjemahan tertua sutra Buddhis ke dalam bahasa Cina. Ia berisi referensi literatur tertua yang dapat diidentifikasi datanya tentang Amitayus (= Amitabha) dan Tanah Buddha-Nya, Tanah Murni, di timur.[6] Di antara banyak ciri khas yang menarik dan tidak biasa dari sutra tertua ini adalah detail yang menggambarkan dan mendiskusikan pratyutpanna samadhi, yang tampaknya menjadi pesan penting sutra ini.

Dasar untuk menjalankan pratyutpanna samadhi adalah sila yang ketat. Seorang praktisi, umat awam atau viharawan, laki-laki atau perempuan, diminta untuk memenuhi sepenuhnya pelatihan sila sebelum memasuki pengasingan diri. Meditator kemudian mengasingkan diri di sebuah tempat terpencil dan menghadap ke arah di mana Buddha Amitayus berdiam. Ia memusatkan pikiran pada Buddha tersebut, dengan menghadap pada arah yang benar. Meditator melakukan apa yang telah kita bahas sebelumnya dalam praktek buddhanusmrti. Praktisi merenungkan Buddha tersebut langsung di hadapan:

“Para Bodhisattva harus memusatkan pikiran pada Sang Tathagata tersebut... yang sedang duduk di tahta Buddha dan mengajarkan Dharma. Mereka harus berkonsentrasi pada para Tathagata yang diberkahi dengan semua sifat yang mulia, gagah, menarik, menyenangkan untuk diperhatikan, dan dikaruniai dengan kesempurnaan tubuh [dst].”[7]

Selain itu kemulian tubuh dan kemampuan seorang Buddha dicatat dan direnungkan. Lebih jauh lagi, sang meditator diajarkan untuk tidak membiarkan timbulnya gagasan “diri” dalam cara apa pun selama tiga bulan, atau pun dikalahkan oleh ‘kemalasan dan kelambanan’ (yaitu tertidur), atau duduk ‘kecuali untuk buang air’ selama tiga bulan. Mereka harus berkonsentrasi pada Amitayus selama satu hari satu malam, atau selama dua, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam, sehingga, ketika telah terlewati penuh tujuh hari tujuh malam, mereka melihat:

“Yang Dimuliakan Tathagata Amitayus. Jika mereka tidak melihat Buddha tersebut selama siang hari, maka Sang Buddha tersebut... akan mempelihatkan wajah-Nya kepada mereka dalam mimpi ketika mereka tidur.”

Dan setelah melihat Buddha tersebut, meditator dapat menghormati Beliau dan menerima ajaran [dari Beliau]. Penglihatan atas Buddha ini bukan dengan ‘mata dewa’, [karena] ia bukan hasil dari kekuatan batin. Meditator tidak perlu mengembangkan berbagai kemampuan supernormal seperti mata dewa yang, seperti yang kita bahas dalam bab sebelumnya, hanya dapat dikembangkan pada tingkat Bodhisattva ketiga [dari Dasabhumi atau 10 tingkat Bodhisattva dalam Mahayana], dan dipikirkan dalam teks lain sebagai alat di mana seseorang dapat melihat para Buddha dari 10 penjuru arah. Para Buddha yang dilihat dalam pratyutpanna samadhi dikatakan dapat dipahami dengan perumpamaan mimpi. Ini memungkinkan karena semua [fenomena] adalah kosong dari wujud yang hakiki, dan oleh sebab itu semuanya hanya [produk] pikiran [Mind Only = Hanya Pikiran, sebuah ajaran dalam Mahayana bahwa semua fenomena yang kita rasakan, amati hanyalah berasal dari pikiran kita].

Catatan:
1. Terjemahan oleh Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. terjemahan oleh Norman (Sutta Nipata
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, dalam Buddhaghosa 1975, mengutip dari rumusan standar yang ditemukan dalam Kanon Pali [Buddhanussati]. Harrison 1992a: 228–31 berpendapat bahwa anusmrti [anussati] lebih baik diterjemahkan sebagai ‘commemoration’ (peringatan) daripada ‘recollection’ (perenungan).
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4.Patut dicatat tentang ungkapan ‘tujuan bahagia’ dan juga ‘kediamana para Buddha’. Apa, atau, di mana, kediaman para Buddha? Seperti yang akan kita lihat, ‘Tanah Murni’ yang paling terkenal di mana dalam ajaran Mahayana seorang Buddha saat ini berdiam mengajar Dharma disebut Sukhavati, secara harfiah ‘Tempat Bahagia’. Di sanalah seseorang dapat tinggal dalam hadapan para Buddha, bebas dari rasa takut.
5. Terjemahan dalam Chang 1983: 110. Dari bahasa Cina. Cf. terjemahan oleh Conze 1973b: 101.
6. Ungkapan aktual ‘Tanah Murni’ diterjemahkan dalam bahasa Cina jingtu (ching-t’u; bahasa Jepang: jodo), dan ini tampaknya tercipta di Cina.
7. Perhatikan bahwa para Buddha adalah jamak; Amitayus di sini diberikan hanya sebagai contoh. Terjemahan dalam Harrison 1990: 68. Lihat juga Harrison 1978.

Di sini saja dulu kutipan kedua akan menyusul kemudian......
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 06 March 2010, 10:26:39 AM
Saya rasa d sini hny lah perbedaan interpretasi thd kekuatan seorg Buddha. Menurut Theravada,Buddha itu memiliki kemampuan d atas manusia biasa tetapi msh dbatasi oleh hukum karma & yg lainny. Menurut Mahayana,Buddha itu lbh d atas itu lg shg bs melangkahi batasan hukum karma. Hal ini dsebabkan krn perbedaan penekanan pd kedua pandangan: Theravada menekankan pd aspek manusiawi Buddha yg walaupun pny kemampuan luar biasa msh bs dterima oleh org2 yg kebijaksanaanny lbh menonjol (panna-carita) atau yg tdk mudah percaya/yakin, Mahayana menekankan pd aspek adi-manusiawi Buddha yg seolah2 Beliau adl "Tuhan" & hal ini lbh menarik bg org2 yg mudah percaya (saddha-carita) atau umat awam yg percaya pd hal2 supranatural yg demikian.

Tetapi bkn berarti Theravada hny utk org2 "intelek" & Mahayana hny utk org2 "bodoh". Dlm Mahaparinibbana Sutta pun kt menemukan bibit adi-manusiawi saat Buddha mengatakan bhw Beliau bs hidup 1 kappa atau lebih sedikit. Walaupun dlm komentar,Theravada scr resmi menyatakan itu adl ayukappa (masa hidup yg wajar,yaitu sekitar 100/120 th),namun ad yg menginterpretasikan itu adl kappa dlm arti masa dunia krn istilah ayukappa tdk pernah dtemukan d sutta2 lain (umumny jk Buddha mengatakan ttg kappa mk masa 1 siklus dunia lah yg dmaksud). Di lain pihak sutra2 Mahayana bnyk jg yg memberikan ajaran "tingkat tinggi" spt ttg prajna & sunyata yg agak sulit dpahami scr intelektual.

Mnrt sy kedua interpretasi tsb bkn saling bertentangan,melainkan saling melengkapi. Apalagi kt mengetahui bhw kemampuan seorg Buddha adl acinteyya (tdk terpikirkan oleh manusia biasa)

Benar sekali berbicara tentang Buddha itu acinteya..

Buddha pernah mengatakan bahwa segenggam daun yg ditangannya adalah inti dari ajaran yg mengarah pada kesucian dan itulah Dhamma yg mengarah pada aspek kesucian....
Dan daun2 simsapa lainnya adalah Dhamma juga sekalipun itu bukan inti dari mencapai kesucian tetapi tetaplah Dhamma. Dan jangan lupa ketika kita mulai menjalankan ajaran Sang Buddha...kita akan melewati Dhamma2 lainnya dan juga Dhamma yang mengarahkan kita mencapai kesucian.

Apakah ini yang anda maksudkan?
Pada suatu waktu,Yang Terberkati tinggal di Kosambi di tengah hutan simsapa.Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para Bhikkhu,"O,para Bhikkhu,bagaimana menurut kalian,manakah yang lebih banyak[dedaunan yang saya gengam atau daun2 yang berada pada pohon2 di hutan]? "
'Dedaunan dalam genggaman Yang Terberkati lebih sedikit;daun2 di hutan lebih banyak'
"Demikian pula,O para Bhikkhu,hal2 yang Saya ketahui melalui pemahaman langsung adalah jauh lebih banyak;hal2 yang telah saya beritahukan kepadamu hanya sedikit saja."
"Mengapa saya tidak memberitahukanmu semua?Sebab hal2 tersebut tiada membawa manfaat,tidak membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena tidak menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya tidak memberitahukannya."

"Dan apakah yang telah saya beritahukan?[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan.Itulah yang telah Saya beritahukan kepadamu.Mengapa saya memberitahumu?Karena hal2 tersebut membawa manfaat,membawa kemajuan dalam Kehidupan Suci,dan karena menuju pada pupusnya hawa-nafsu,pada pemudaran,pada berakhirnya,pada heningnya,pada pemahaman langsung,pada pencerahan,pada Nibbana.Itulah sebabnya saya memberitahukannya."

"Oleh karena itu wahai para Bhikkhu,buatlah demikian menjadi tugasmu :[Mengenali bahwa] Inilah Penderitaan,Inilah Sumber Penderitaan,Inilah Berakhirnya Penderitaan,Inilah Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan."

[Samyutta Nikaya,LVI,31]

Saya rasa Buddha tidak memberitahukannya jelas karena tidak membawa pada Nibbana.. :)


Quote
Nah banyak yg terjadi Dhamma2 itu muncul, karena keterbatasan kita menggunakan Dhammacakkhu, kita langsung memvonis itu bukan Dhamma karena hanya berpatokan pada teori saja. Tanpa menelaah pengalaman itu lebih lanjut sehingga mengalami stagnasi dalam pandangan. Sehingga ada sesuatu yg terlihat benar malah sebenarnya salah, karena belum meneliti keseluruhan aspek. Ada baiknya jika kita tidak tahu dgn pasti lebih baik wait and see sambil praktek sampai kita mencapainya. Mengenai keyakinan kembali kepada diri masing2.
Lihat yang diatas :)


Anumodana _/\_

belum nangkap juga maksud saya.... ^-^ 

Saya kasi clue...Bila ada Buddha muncul dalam meditasi anda/dihadapan anda, lalu memberi tahu sesuatu, apa reaksi anda...bagaimana anda mengetahui apa yg dikatakan Dhamma yg membawa pencerahan atau dhamma yg bukan membawa pencerahan, dan mengetahui itu Buddha atau bukan? nah ini harus dipilah daun yg mana membawa kita ke nibbana dan yg tidak....kedua jenis daun muncul pada hampir bersamaan....Anda tidak bisa menolak kemunculan fenomena itu...hanya sikap setelah kemunculan yg bisa kita lakukan....

Apakah anda mau bilang Sutra Mahayana tentang Ikrar Buddha Amitabha juga merupakan daun yang dimaksudkan oleh Bhagava? :o

Anumodana _/\_

Tidak ada maksud  mengatakan tentang sutra mahayana seperti yg anda tanyakan dan dugaan anda.....silakan Anda cerna sendiri....daun2 itu...dan kelihatannya belum mudeng juga...it's ok

Yang pasti belum terjawab pertanyaan saya yakni ikrar yang bagaimana menurut bro bukan pembodohan?   ;)

hehe..ya saya cerna anda juga cerna..Sama2 cerna :-)

Saya sudah bilang,jawaban anda itu saya tidak tahu,karena ikrar Petapa Sumedha sendiri belum saya uraikan dan cerna..kebetulan saya membaca soal Ikrar Buddha Amitbha yang berbeda menurut saya,maka saya bertanya disini.. :)

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: Riky_dave on 06 March 2010, 10:42:14 AM
[at] bro Riky
Metode penafsiran dalam mahayana berbeda dengan theravada. Lebih-lebih lagi mengambil perspektif Theravada dalam menafsirkan Mahayana adalah sangat kontraproduktif.
Tidak pernah ada guru besar agama Buddha yang membangun pemikiran Buddhis dengan mencampur adukkan dua tradisi yang berbeda, apalagi menafsirkannya. Ketika pemikiran seperti ini muncul, semua tetap dapat dipatahkan karena jelas-jelas kerangka pemikiran Theravada dan Mahayana sudah berbeda.
Jika seseorang ingin memahami Mahayana, maka harus dibangun dari asas pemikiran dan falsafah mahayana. Demikian juga dalam Theravada. 
Nah,,..ini muncul dari pernyataan anda sendiri ya..boleh tidak saya mengasumsikan bahwa Theravada dan Mahayana memiliki pengajaran yang berbeda,bahkan bisa bertolak belakang antara yang 1 dengan yang lainnya? :)


Quote
Kecuali membuat studi banding, itu tentu berbeda lagi. Tetapi patut diingat juga, bahwa dalam studi banding pun, tidak pernah ada metodologi yg mempertanyakan suatu tradisi dengan cara dilihat dari perspektif tradisi lain. Yang ada hanya membuat kajian tradisi a dan b lalu menarik kesimpulan tanpa memberi judgement tradisi mana yang benar dan salah.
benar,kita tidak mengatakan atau membuat judgement bahwa ini salah itu benar...kita disini hanya berdiskusi berdasarkan pengetahuan masing2,dan menarik kesimpulan berdasarkan pemikiran masing2 juga..tidak untuk menjudgement .. :)
dan setahu saya apa yang diajarkan oleh Buddha Gotama[anda juga percaya bukan bahwa Buddha Gotama adalah guru bagi semua aliran Buddhisme?] adalah sama,bahkan didalam Kalama Sutta dikatakan bahwa apabila Bhagava sudah tidak ada maka yang menjadi pedoman adalah Dhamma Vinaya,dan oleh karena itu lah demi menjaga kemurniaan Ajaran Buddha dilakukannya Sidang Sangha Agung 1 oleh YM Mahakassapa[karena Beliau pernah menukar jubah dengan Buddha Gotama,sehingga mungkin beliau yang memiliki tanggung jawab melindungi Buddha Dhamma]..Jadi tidak ada namanya "kerangka" Theravada dan "kerangka" Mahayana,kalau kita mau bijaksana dalam menyikapinya karena rujukan mazhab tersebut dari "Dhamma" Bhagava..Jadi kalau menurut saya dilakukan perbandingan menggunakan sutta maupun sutra harusnya bisa selaras...kalau ada perbedaan maka marilah kita bersama2 mendiskusikan mengapa ada perbedaan tersebut,darimana sumbernya.. :)

Quote
Jadi, bila ingin memahami tradisi Mahayana, maka silakan membangunnya dari kerangka falsafah Mahayana, maka apa yang terlihat tidak masuk akal, menjadi masuk akal, apa yang terlalu muluk menjadi wajar saja. Begitu juga dalam kerangka berpikir Theravada , bila saya membangun dari arus pemikiran mahayana, maka bagi saya Theravada pada sisi tertentu menjadi tidak masuk akal Tetapi metode berpikir demikian bagi saya hanyalah menghabiskan waktu dan sia-sia. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar memahami suatu tradisi tanpa mencari titik kelemahannya hanya karena kita melekat pada kebenaran sepihak,  kebenaran yang masih bertautan dengan logika panca khanda, tidak kokoh.
boleh saya ketahui yang dibold diatas?
saya rasa ini hanya soal persepsi karena tidak ada yang sedang mencari kelemahan atau apapun itu,yang dilakukan disini hanya lah Sharing Dhamma,berbagi ilmu dan pengetahuan,agar dilain waktu apabila ada yang bertanya maka saya bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan sudut pandang Mahayana bukan hanya sudut pandang Theravada saja..sehingga saya memerlukan rujukan dari Sutra Mahayana dan kajian2 lebih lanjut dari para pakar disini,agar saya bisa memahaminya..

Quote
Maka dari itu adalah percuma menguasai kitab suci, bila tidak dipraktikkan. Ini menjadi tugu peringatan buat saya juga. Melihat kebenaran dari membaca segelintir teori tidak serta merta menandakan bahwa kita telah mencapai kebenaran itu lalu menilai tradisi lain sebagai jalan yang salah.
Ini bukan soal menguasai kitab suci,ini adalah proses pembelajaran,dari sanalah kita bisa memperoleh kebijaksanaan duniawi[lokiya]..


Quote
Kembali pada Ikrar Amitabha, itu diyakini sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni. Terlepas dari itu masuk akal atau tidak, tentu apa yang diucapkan buddha, bagi siswa Mahayana merasa patut menaruh keyakinan pada ucapan Hyang Buddha.  Karena secara asas, dia tidak bertentangan dengan falsafah yg dibangun dalam mahayana. Kecuali berbicara tentang anjuran perbuatan jahat yg tidak masuk akal, ini tentu wajar harus ditolak, walaupun dikatakan ucapan Buddha. Terus, ajaran tentang Buddha Amitabha tidaklah membuat praktisi Mahayana menjadi apatis. Anda bisa lihat sendiri sejarah pemikiran Mahayana di Tiongkok yang melahirkan banyak guru2 besar. Mereka sangat taat menjalani Sila, Samadhi dan Prajna. Lebih-lebih konsep pemikiran Zen dan Sukhavati yang pada sejarah perkembangannya akhirnya dapat saling terjembatani. Padahal keduanya secara sepintas  (sepintas lho ya) terlihat sangat berbeda. Semua ini perlu dikaji secara komprehensif, bukan menilainya dari aspek yang sepotong-sepotong.
Demikian, bila ada penjelasan yg tidak dipahami, mohon dimaklumi. Terima kasih.
Nah permasalahan kemudian muncul,ketika dikatakan sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni,seharusnya ada bukti otentik tentang hal tersebut,karena Sutra ini memiliki banyak celah dan kejanggalan didalamnya..

Semoga anda bersedia terus menerus berdiskusi agar semua pembaca di DC memahami apa sebenarnya yang terjadi diantara Theravada dan Mahayana,sudah saatnya bagi kita untuk meninggalkan "persepsi" lama bahwa Theravada sebagai yang benar,Mahayana sebagai yang salah...sudah saatnya kita melihat berdasarkan fakta ,pemikiran dan persepsi kita bukan berdasarkan "judgement" masa lalu..dan juga sudah saatnya kita berhenti bermusuhan seperti yang terjadi di masa lampau,dan sampai saat ini juga dipercayai begitu..Lihat saja diskusi yang saya buka...seakan2 saya ingin menyerang Mahayana[menurut beberapa rekan Mahayana]..

Semoga diskusi ini bermanfaat bagi kita semua..

Anumodana _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 06 March 2010, 03:28:44 PM
Ini hasil terjemahan kutipan artikel kedua tentang Buddhaksetra (Tanah Buddha):

Quote
Gagasan tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra)

Dari perspektif kosmologi Buddhis, ruang, seperti juga waktu, adalah tidak terbatas. Ruang yang tidak terbatas dipenuhi oleh tak terhingga alam semesta, sistem dunia, yang membentang ke 10 penjuru arah (4 arah mata angin, 4 arah di antaranya, arah atas dan bawah). Dalam ketidakterhinggaan ini beberapa alam semesta dikenal sebagai Tanah Buddha. Secara umum, istilah ini menunjuk pada sebuah wilayah, sebuah jagad raya, di mana seorang Buddha mengupayakan pengaruh spiritual-Nya.

Konsep Tanah Buddha, walaupun dianggap penting dalam pemikiran Mahayana, bukan khas Mahayana saja. Mahavastu, yang merupakan teks Lokottaravada, menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali alam semesta atau sistem dunia yang tidak ada Buddha, karena para Buddha adalah sangat langka [kemunculannya], lebih jauh lagi, Mahavastu mencatat, tidak mungkin terdapat dua orang Buddha pada Tanah Buddha yang sama, karena ini mengimplikasikan bahwa seorang Buddha tidak dapat menjalankan tugas-Nya. Dan walaupun para Buddha sangat langka, tetapi pada keseluruhan alam semesta yang tidak terbatas terdapat tak terhingga Buddha dan tak terhingga Bodhisattva tingkat sepuluh yang akan menjadi Buddha. Ini membawa tak terhingga makhluk untuk mencapai pembebasan, tetapi tidak akan ada kemungkinan bahwa pada akhirnya semua akan terbebaskan dan tidak ada yang tersisa. Karena dengan tak terhingga makhluk, bahkan jika tak terhingga Buddha masing-masing membebaskan tak terhingga makhluk lainnya, akan masih terdapat tak terhingga makhluk yang tersisa (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).

Manusia tinggal di dunia yang disebut Saha, yang dikatakan berada di selatan, di mana Buddha masa sekarang adalah Sakyamuni.[15] Gagasan Tanah Buddha mungkin muncul dari anggapan tentang pengetahuan Sakyamuni pada satu pihak, jangkauan perhatian-Nya, dan kemampuan dan pengaruh Beliau pada yang lain – medan aktivitas-Nya.[16]. Pengetahuan Sang Buddha (dan dari pandangan Mahayana, welas asih Beliau) sering dipandang tidak terbatas dalam Mahayana, walaupun kemampuan spiritual Beliau secara langsung menjangkau sebuah wilayah yang sangat luas namun terbatas, Tanah Buddha-Nya dalam pengertian pokok, wilayah pada pusat di mana Sang Buddha muncul.

Fungsi utama seorang Buddha adalah untuk mengajar para makhluk dalam Tanah Buddha-Nya. Namun Tanah Buddha dalam pengertian pokok ini bukan hanya sebuah tempat di mana Buddha kebetulan muncul. Alih-alih, selama karir-Nya sebagai seorang Bodhisattva sang calon Buddha dikatakan ‘memurnikan’ Tanah Buddha-Nya, dan Tanah Buddha dalam beberapa pengertian adalah hasil dari mahakaruna-Nya (Fujita 1996a: 34-5). Dengan kata lain, kemunculan Tanah Buddha bergantung pada karir mengagumkan Buddha tersebut sebagai Bodhisattva. Perbuatan tak terbatas Buddha dalam kebijaksanaan dan cinta kasih telah menghasilkan Tanah Buddha sebagai wilayah di mana ia dapat “mematangkan” para makhluk. Para makhluk sendiri juga berkontribusi, karena ini adalah tempat di mana mereka terlahir melalui perbuatan mereka, sebagai makhluk yang secara potensial dapat dimatangkan. Lebih lanjut lagi, seorang Bodhisattva dapat dengan sendirinya dilahirkan dalam Tanah Buddha dari seorang Buddha, di hadapan Buddha tersebut, atau berjalan ke sana melalui meditasi. Tanah Buddha secara lebih tepat adalah tempat di mana kondisi-kondisi sangat menguntungkan untuk kemajuan spiritual Bodhisattva. Dengan demikian Tanah Buddha merupakan tempat di mana Bodhisattva dapat menjumpai seorang Buddha dan menjalankan karirnya, dan juga tujuan perjuangan seorang Bodhisattva, Tanah Buddha-Nya sendiri yang dimurnikan untuk para makhluk melalui usahanya sendiri (Rowell 1935: 385 ff., 406 ff.). Dan dari tempat-Nya dalam dunia-Nya sebuah teks memberitahukan kita bahwa tiga kali sehari dan tiga kali semalam, Buddha mengamati Tanah Buddha-Nya untuk melihat siapakah yang dapat secara moral dan spiritual ditolong (Lamotte 1962: 396–7).

Jadi Bodhisattva memurnikan Tanah Buddha-Nya dan dunia di mana Buddha mengupayakan aktivitas-Nya merupakan hasil pemurnian perbuatan-Nya sebagai Bodhisattva. Ini menimbulkan sebuah masalah. Disetujui dalam semua kasus bahwa dunia Saha milik Sakyamuni bukan tempat yang murni.[17] Dunia ini sesungguhnya Tanah Buddha yang tidak murni sepenuhnya. Beberapa teks Mahayana mengatakan tiga jenis Tanah Buddha: murni, tidak murni, dan campuran. Sebagai contoh, dalam Tanah Buddha yang tidak murni terdapat non-Buddhis, makhluk-makhluk yang sangat menderita, perbedaan keturunan [suku bangsa] dll, makhluk-makhluk tidak bermoral, alam-alam rendah seperti neraka, perilaku yang buruk, dan Wahana Kecil (tradisi Buddhis awal), dsb. Para Bodhisattva yang berperilaku baik, dan kemunculan sejati seorang Buddha, adalah jarang.[18] Kenyataannya dunia Sakyamuni ini sangat suram bagi pengikut Mahayana yang taat. Tanah Buddha yang murni, pada sisi lain, seperti Sukhavati milik Amitayus, digambarkan seperti ini:
“dihiasi dengan indah, tidak ada kekotoran atau kejahatan, tidak ada kerikil atau bebatuan, tidak ada semak berduri, tidak ada kotoran atau ketidakmurnian lainnya. Tanahnya datar dan rata, tanpa dataran tinggi atau rendah, tidak ada lembah atau celah. Terdapat permata vairerya [‘beryl’ menurut Paul Harrison] pada tanahnya, dan pepohonan permata yang berbaris. Dengan pita yang terbuat dari emas jalannya dibatasi. Di mana-mana selalu bersih dan murni, dengan bunga-bunga permata tertaburan.” (Sutra Teratai, dalam Hurvitz 1976: 120)

Tanah Buddha yang murni demikian – di Asia Timur disebut ‘Tanah Murni’ – memiliki seorang Buddha yang hidup selama waktu yang sangat lama (mungkin untuk selamanya), yang tidak meninggalkan para pengikutnya, seperti Sakyamuni yang kelihatannya hanya melakukannya selama 40 tahun atau lebih. Terdapat banyak Bodhisattva di dunia tersebut, dan Mara yang jahat, dan para pengikutnya tidak dapat melakukan ulahnya. Jelasnya Tanah Murni demikian adalah tempat yang mengagumkan untuk mengembangkan jalan menuju pencerahan, sedangkan dunia Saha kita, khususnya sejak wafatnya Sang Guru, tidak lagi sangat baik. Karena terdapat tak terhingga Tanah Buddha dan oleh sebabnya juga ada tak terhingga Tanah Murni pada saat ini di seluruh penjuru 10 arah mata angin, pastinya tugas segera yang dikesampingkan adalah untuk mengunjungi Tanah-Tanah Murni ini jika semuanya memungkinkan dan akhirnya terlahir di sana.

Agama Buddha awal telah mengajarkan bahwa kebajikan membawa pada kelahiran di surga setelah kematian, tetapi semua surga adalah samsara, tidak kekal dan diliputi dengan kekecewaan dan penderitaan. Sebuah Tanah Murni secara tegas bukan, dalam istilah Buddhis, sebuah surga (svarga).[19] Alih-alih, seseorang seharusnya menjalankan meditasi yang benar (yaitu Buddhanusmrti) dan dengan terampil mengarahkan buah perbuatan baik, jasa kebajikan, untuk terlahir bukan di surga tetapi pada Tanah Murni yang dipilih. Sementara tentunya tidak mudah untuk dapat sampai di Tanah Murni, berada dalam Tanah Murni karena dengan kehadiran seorang Buddha dan ajaran-Nya seseorang dapat dengan relatif mudah untuk mencapai Nirvana, atau mengembangkan jalan menuju Kebuddhaan, seperti yang kita ketahui dari kisah orang-orang yang dapat melakukan demikian di India pada zaman Sakyamuni. Sesungguhnya, mencapai Nirvana di Tanah Murni lebih mudah daripada hal yang sama di India pada masa Sakyamuni, karena Tanah Murni lebih kondusif untuk menjalankan Dharma dibandingkan dengan India yang tidak murni saat itu dan sekarang. Dengan demikian, tidak seperti surga, dari Tanah Murni tidak terdapat kebutuhan untuk mengatasi kelahiran di samsara yang tidak terkendali.

Ini sangat logis dan sangat konsisten dengan perkembangan pemikiran Buddhis. Dunia saat ini setelah wafatnya seorang Buddha adalah tempat yang sulit dimana seseorang mencapai pencerahan. Namun demikian, pada tidak terhingga alam semesta masih terdapat para Buddha, bahkan mungkin Sakyamuni sendiri. Adalah memungkinkan untuk melihat Mereka dalam meditasi, dan mendengar ajaran Mereka yang mengagumkan. Dengan demikian tidak ada yang mencegah seseorang untuk terlahir di hadapan para Buddha tersebut. Akibatnya, pencarian Nirvana, atau mungkin Kebuddhaan yang sempurna, membutuhkan dalam kebanyakan kasus tujuan untuk segera terlahir di Tanah Murni di hadapan seorang Buddha. Dalam memastikan seseorang akan terlahir di sebuah Tanah Murni setelah kematian, praktisi saat ini dan di sini menjadi seorang ‘yang tidak kembali lagi’ (anagamin), seseorang yang tidak akan terlahir kembali ke dunia ini, tetapi akan mencapai pencerahan segera, mungkin dalam kehidupan berikutnya.[20] Ini sesungguhnya adalah tahap yang lebih maju dalam praktek Buddhis, lebih maju daripada kebanyakan orang yang secara normal mengharapkan untuk mencapai hal tersebut di bawah kondisi-kondisi saat ini di dunia ini karena saat ini Buddha sudah wafat.

Tetapi di mana ini menyisakan tempat untuk Sakyamuni yang malang? Tanah Buddha Beliau tidak murni, oleh sebabnya Sakyamuni dan aktivitas pemurnian-Nya sebagai seorang Bodhisattva jelas sekali tidak efektif. Mengutip dari pernyataan Sariputra dalam Vimalakirtinirdesa Sutra:
“Jika Tanah Buddha murni hanya karena tingkat pikiran dari para Bodhisattva yang murni, maka ketika Buddha Sakyamuni menjalankan karir Bodhisattva, pikiran-Nya pasti tidak murni. Kalau tidak, bagaimana mungkin Tanah Buddha ini sangat tidak murni?”

Lebih jauh lagi, Sakyamuni sekarang sudah wafat, sementara masih banyak makhluk di sini di dunia ini yang harus diselamatkan. Oleh sebab itu, mahakaruna Beliau pasti tidak sempurna.

Terdapat sejumlah cara di mana seseorang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa semua Buddha kenyataannya identik. Sakyamuni telah muncul untuk menolong para makhluk pada waktu dan tempat tertentu. Walaupun Beliau telah wafat, masih ada banyak Buddha lainnya, dan juga Tanah Murni di luar sana. Para Buddha ini sedang melanjutkan menolong para makhluk di dunia Saha ini. Seseorang dapat menggabungkan jawaban ini dengan konsep tubuh Buddha [Trikaya], Sakyamuni merupakan Tubuh Perubahan [Nirmalakaya], sebuah perwujudan dari Buddha lain, yang berdiam di Tanah Buddha yang murni, masih aktif dalam semua cara demi kepentingan semua makhluk di dunia ini. Dengan kata lain, Tanah Buddha yang tidak murni bukan Tanah Buddha yang utama, tetapi merupakan upaya kausalya seorang Buddha yang tentunya, sebagai seorang Buddha, sesungguhnya memiliki Tanah Buddha yang murni. Kemungkinan Buddha di luar dunia ini tak lain adalah Sakyamuni sendiri (seperti dalam Sutra Teratai).

Strategi lain adalah melihat Tanah Buddha sebagai jangkauan aktivitas seorang Buddha, tetapi tidak mesti dimurnikan melalui aktivitas-Nya yang sebelumnya. Karena Beliau berbelas kasih, seorang Buddha membuat Tanah Buddha-Nya sebagai tempat yang paling sesuai untuk para makhluk tertentu yang akan ditolong. Strategi ini dipakai dalam Karunapundarika Sutra, sebuah sutra yang bertujuan memulihkan Sakyamuni kembali ke keunggulan dalam menghadapi kultus Tanah Murni yang dipusatkan pada Amitayus dan Aksobhya. Para Buddha lainnya mengajar para makhluk yang dapat sampai di Tanah Buddha mereka. Namun yang teragung di antara para Bodhisattva, Bodhisattva yang sejati, berikrar untuk muncul sebagai seorang Buddha di dunia yang tidak murni, Tanah Buddha yang bernoda, semata-mata karena mahakaruna-Nya (Yamada 1968: I, 78). Kenyataan bahwa Sakyamuni muncul di dunia Saha, tempat yang tidak menguntungkan, menunjukkan mahakaruna Beliau yang luar biasa.

Namun pemecahan atas dilema Sariputra [di atas] yang paling umum dan paling penting dalam Buddhisme di Asia Timur diberikan oleh Vimalakirtinirdesa itu sendiri. Tanah Buddha yang tidak murni ini sesungguhnya Tanah Murni. Ia hanya kelihatannya tidak murni karena pikiran para makhluk yang berdiam di dalamnya. Jika terdapat gunung di dunia ini, dan semuanya rata di Tanah Murni, itu karena terdapat gunung dalam pikiran. Sakyamuni bukan Buddha yang tidak sempurna. Bagi Beliau semuanya adalah murni. Ketidakmurnian yang kita lihat adalah hasil kesadaran yang tidak murni, dan juga belas kasih Buddha dalam membuat sebuah dunia yang di dalamnya para makhluk yang tidak murni dapat berkembang (Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Dengan demikian jalan sejati untuk mencapai Tanah Murni adalah dengan memurnikan pikiran kita. Dengan kata lain, kita telah berada dalam Tanah Murni jika kita mengetahuinya. Apa pun dunianya, jika ia dihuni oleh orang-orang dengan pikiran murni yang tercerahkan maka itulah Tanah Murni. Ini sangat mirip dengan konsep sifat Kebuddhaan/Tathagatagarbha bahwa kita sudah menjadi Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna jika kita menyadari kenyataannya, dan ini bukan hanya langkah [mencapai pencerahan] singkat dari gagasan Chan (Zen) bahwa Tanah Murni sesungguhnya hanya pikiran yang tenang, jernih, cerah, dan murni. Oleh sebab itu, Tanah Murni sesungguhnya bukan ‘kediaman surgawi’ namun di-demitologi-kan sebagai pencerahan itu sendiri.[21]

Catatan:
15. Untuk perkenalan yang baik pada kosmologi Buddhis awal, lihat Gethin 1998: Ch. 5. Untuk beberapa diagram, lihat juga Gómez 1996: 257–60.
16. Lihat Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. Untuk studi yang lebih baru, lihat Fujita 1996a. Paul Harisson telah menarik perhatian saya pada anjuran yang masuk akal dalam Davidson 2002: 132-3 bahwa ksetra ‘tanah’ [secara harfiah ‘ladang’ dalam bahasa Pali ‘kheta’ (seperti dalam Sanghanussati ‘punnakkhetam’)] mungkin berhubungan dengan gagasan politis sebuah ‘domain’ kerajaan. Jika demikian, maka Buddhaksetra akan lebih baik diterjemahkan sebagai ‘Domain Buddha’.
17. Kemurnian, secara kebetulan, merupakan gagasan kultural yang penting di India, yang meliputi masyarakat India (brahmanis) dan yang paling pokok, sebagai contoh, pembedaan kasta. Semakin murni seseorang semakin tinggi status religiusnya. Turunannya, semakin murni lingkungan mereka semakin lebih mereka mempertahankan status religiusnya.
18. Samdhinirmocana Sutra, dalam Lamotte 1962: 397. Tetapi dicatat bahwa model awal Tanah Murni Aksobhya Abhirati juga ditemukan dalam praktisi non-Mahayana. Sesungguhnya, dalam banyak hal model awal Abhirati tidak selalu cocok dengan pandangan Mahayana yang telah berkembang tentang Tanah Murni.
19. Lihat Ducor 2004: 380–1. Tentang kesamaan dan perbedaan antara Sukhavati dengan surga, dalam pandangan pemahaman orang Jepang terhadap Tanah Murni Amitabha sebagai ‘dunia dari dimensi lain’, kenyataannya adalah pencerahan itu sendiri, lihat Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita 1996b: 26.
20. Tentang ‘buah dan jalannya’ ini dalam Buddhisme awal, lihat Gethin 1998: 194.
21. Mungkin saya juga harus menyebutkan di sini model lain dari Tanah Murni yang berkaitan dengan hal ini ditemukan dalam, misalnya, tradisi Nichiren, dan populer di antara para aktivis sosial Buddhis modern. Seperti yang kita lihat pada akhir bab pada Sutra Teratai, terdapat pernyataan bahwa pada beberapa lama di masa yang akan datang, ketika cukup banyak orang menjalankan Dharma sejati (atau saat, melalui aksi yang diinspirasi umat Buddhis, situasi politik dan sosial membaik), pada waktu itu dunia ini akan menjadi Tanah Murni. Tanah Murni di sini bukan pikiran murni seperti yang demikian, atau dunia yang dilihat oleh pikiran yang murni. Alih-alih, ia adalah masyarakat yang tertata dengan baik yang dihasilkan dari aktivitas mereka yang berpikiran murni (yaitu umat Buddhis yang pikiran benar). Pandangan Tanah Murni ini juga berhubungan dengan milenarianisme Buddhis (lihat Overmyer 1976: 157).

Semoga bermanfaat.
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 06 March 2010, 05:38:51 PM
 [at] bro Seniya,
Sebagai informasi tambahan, jejak mahayana sesungguhnya telah memperlihatkan wujudnya dalam berbagai teks Buddhisme awal. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah Ekottaragama Sutra yang notabene merupakan teks Non-mahayana yang secara eksplisit menyebutkan bahwa ada sebuah Tanah Buddha di luar lokadhatu sini, Buddha yang hidup satu masa dengan Buddha Sakyamuni. Dalam teks Mahayana , ini sangatlah lumrah, namun menjadi menarik saat teks itu muncul di Ekottargama Sutra.
Tersebutlah bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan iddhi muncul di sebuah Tanah Buddha yg berjarak 7x jumlah tanah buddha sebanyak jumlah pasir sungai gangga, di sana terdapat seorang Buddha bernama QiGuang Rulai  atau Guangming Wang Rulai (Svarnaraja Buddha?).



 

Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: chingik on 06 March 2010, 06:10:24 PM
 [at] bro Ricky,
Baiklah jika telah memahami, bahwa ketika dalam memahami sebuah tradisi, maka teruslah mengkaji pengertian yg berdasarkan kaidah dan falsafah yang dicanangkan tradisi tersebut.
Misalnya ketika anda melihat seseorang menulis teks demikian "kucing bisa terbang", maka anda tidak perlu merasa itu tidak benar dan menyimpulkan sendiri. Karena yang namanya berusaha mememahami sebuah skriptur yang bukan dari tradisi kita, maka metodologi pembelajarannya adalah mempertanyakan bagaimana dalam menjelaskan kalimat tersebut menurut konteks sang penulis, bukan menyatakan bahwa ah itu tidak relevan, tidak masuk akal.  :)
Intinya, bagaimana kita memahami dari konteks hermeneutika, dan bagaimana karakteristik hermeneutika yg dibangun oleh tradisi mahayana, tentu berbeda lagi dgn theravada.
Teori interpretasi juga bermacam2, bisa dari aspek historis, metafisik, spiritual.
Jadi yang anda tanyakan tentang "kejanggalan" ikrar Amitabha dari aspek mana? Apakah anda men set up dulu bahwa teori yg berangkat dari Theravada sudah benar dan final, sehingga timbul pertanyaan bahwa teori yg muncul dlm ikrat Amitabha ini jadi janggal. Cara demikian ya tentu saja akan kembali pada sikap judgement yang tanpa perlu judgement dalam diri anda sendiri.
Memang benar kita sama2 sepakat bahwa ajaran Buddha adalah sama, tetapi tentu juga sepakat bahwa pada masa tertentu terjadi perbedaan interpretasi dan kehilangan jejak keakuratan historis.
 
Ok, silakan lanjutkan, mungkin yg dipost bro Seniya cukup memberikan satu pemahaman baru.



 _/\_
Title: Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
Post by: seniya on 06 March 2010, 08:58:30 PM
[at] bro Seniya,
Sebagai informasi tambahan, jejak mahayana sesungguhnya telah memperlihatkan wujudnya dalam berbagai teks Buddhisme awal. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah Ekottaragama Sutra yang notabene merupakan teks Non-mahayana yang secara eksplisit menyebutkan bahwa ada sebuah Tanah Buddha di luar lokadhatu sini, Buddha yang hidup satu masa dengan Buddha Sakyamuni. Dalam teks Mahayana , ini sangatlah lumrah, namun menjadi menarik saat teks itu muncul di Ekottargama Sutra.
Tersebutlah bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan iddhi muncul di sebuah Tanah Buddha yg berjarak 7x jumlah tanah buddha sebanyak jumlah pasir sungai gangga, di sana terdapat seorang Buddha bernama QiGuang Rulai  atau Guangming Wang Rulai (Svarnaraja Buddha?).

Thx atas tambahan infonya. Bisa diberikan kutipan teks Ekottaragama yang dimaksud....?