Beberapa Tafsiran
Pada tahun 1975 Departemen P dan K menerbitkan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditetapkan sebagai buku standar bagi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Jilid II membahas Zaman Kuna, disusun oleh Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edhie Wuryantoro, Hasan Djafar, Oei Soan Nio, Soekarto K. Atmojo dan Suyatmi Satari, dengan editor Bambang Sumadio. Tafsiran mereka terhadap isi prasasti Kedukan Bukit adalah sebagai berikut: Dapunta Hyang memulai perjalanan dari Minanga Tamwan, kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53).
Dr. Buchari, ahli epigrafi terkemuka, dalam tulisannya “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hh. 26-28, memberikan penafsiran yang berbeda: Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga = muara = kuala = kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.
Dr. Slametmulyana, ahli filologi ternama, dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hh. 73-74, berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya, dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slametmulyana melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.
Thanks buat Narasumber