//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera  (Read 6158 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Jayadharo Anton

  • Sebelumnya: Balaviro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.300
  • Reputasi: 19
  • Gender: Male
  • Namatthu Buddhassa
Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera
« on: 17 March 2011, 10:11:25 AM »
buku yang d luncurkan di Tenis Indoor Senayan, Jakarta. Buku itu mengisahkan perjalanan hidup Bhikkhu Saddhaviro MahaThera sebagai penyebar nilai-nilai Buddha dharma d nusantara sangat menarik karena di dalammnya juga terdapat foto foto perjalanan beliau dalam membabarkan dhamma ke daerah daerah
"Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,kepercayaan adalah saudara paling baik,nibbana adalah kebahagiaan tertinggi" [DHAMMAPADA:204]

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera
« Reply #1 on: 18 March 2011, 12:50:59 AM »
terus? adakah yg bisa anda share di sini?
Samma Vayama

Offline Jayadharo Anton

  • Sebelumnya: Balaviro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.300
  • Reputasi: 19
  • Gender: Male
  • Namatthu Buddhassa
Re: Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera
« Reply #2 on: 18 March 2011, 08:22:02 AM »
Pertanyaan seorang petugas Keamanan Parkir.

Sebagai pembimbing spiritual, saya terbuka berdiskusi dengan siapa saja. Tidak memandang status, suku, ataupun agamanya. Bantuan pengertian ini semata hanya bertujuan, agar mereka mendapatkan jawaban permasalahan hidupnya, sesuai kebenaran.

Ketika itu saya audiensi dengan Bapak Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal untuk gema Waisak. Karena panitia diterima setelah makan siang, sesampainya disana tidak dapat parkir. Akhirnya, umat mencari parkir di gedung sebelahnya.

Karena belum mengetahui medan parkir, akhirnya mobil diberhentikan di pinggir. Kami tidak turun dari mobil. Sambil menunggu, panitia hanya berbincang saja di dalam mobil, mengenai gema Waisak. Kami menggunakan mobil dengan kaca yang cukup gelap. Mungkin orang akan kesulitan melihat dari luar, tapi dari dalam kami dapat melihat.

Saat kami sedang berbincang, ada umat yang terheran-heran. Menurutnya, ada seorang petugas keamanan parkir yang terus menempel di pintu tempat di mana saya duduk. Saya duduk di depan, samping umat yang menyetir. Menurut pantauan umat, petugas ini mondar-mandir sambil melirik terus ke arah saya. Mendapat cerita ini, umat yang menyetirkan mobil, mengira karena kesalahan parkir. Maka ia membuka kaca mobil. Petugas itu menghampirinya.

Umat itu bertanya, “Pak, parkir di sini boleh?”

Petugas itu menjawab, spontan, “oh, boleh, boleh, pak!” lalu petugas itu berkata lagi, sambil kepalanya merunduk ke arah dalam mobil, dan menyapa saya, “Maaf, pak, Bapak Sang Buddha ya?”

Mendapat teguran seperti itu, rasanya ingin tertawa. Tapi kemudian saya paham yang dimaksud itu adalah Bhikkhu Buddha.

Saya menjawab, “Iya, ada apa Pak?”

“Anu, Pak. Apa boleh saya bertanya? Mau tukar pikiran gitu, Pak.” kata petugas itu dengan logat jawanya. Lantas saya menjawab, “Iya, boleh silahkan.” petugas itupun lantas berputar menuju sisi mobil, tempat saya duduk. Dan, kaca pun terbuka. Kami dapat berkomunikasi lebih dekat.

Bapak petugas keamanan parkir itu memulai percakapan dengan kalimat, “Begini Pak. Saya itu selalu diikuti makhluk halus, makhluknya jahat. Saya harus bagaimana, Pak?”

Inilah pertanyaan umum yang terjadi di masyarakat. Saya mesti menjawab, tapi dengan bahasa yang masuk di pikirannya.

“Gini ya mas, panggil mas aja ya, dari Jawa juga kan?”

“Inggih pak,” jawabnya.

“Perasaan bahwa ada makhluk yang mengikuti kita itu sebenarnya yang jahat, mas. Belum tentu ada makhluk yang mengikuti kita.” baru berkata seperti ini, langsung dibantah,

“Tapi bener itu Pak, katanya naga.”

Saya menambahkan, “Kalaupun itu benar, mas, ada makhluk yang mengikuti, belum tentu jahat. Apalagi mau menjahati kita. Itu belum tentu.”

Sampai di sini, dia mengangguk-angguk.

Penjelasanpun disambung, “Kalo mas mau caranya supaya makhluk itu tidak jahat dengan kita, saya kasih tahu caranya.”

Petugas itu terlihat antusias sekali, “Iya, Pak. Mau..!”

“Begini, mas. Pertama, jangan takut. Setelah tidak takut, diri kita akan tenang. Sesekali, kalau ada waktu, mas rileks kan seluruh tubuh dan pikiran. Beri waktu untuk rileks, terutama buat pikiran. Jangan bebani pikiran dengan macam-macam keinginan yang belum terjadi, dan jangan mengingat masalah yang sudah terjadi. Setelah fisik ini rileks, pikiran juga rileks, rasa rileks itu akan membuang ketegangan. Kita jadi tenang berpikir, jernih melihat masalah. Kalau sudah tenang, setiap mas berbuat baik, entah habis shalat atau sedekah, coba mas merenung dalam diri. dan mengarahkan pikiran dengan berpikir, semoga semua makhluk berbahagia. Kalau ini dilakukan terus menerus, makhluk seram seperti apapun tidak berani menjahati kita. Kita jangan menuduh dulu dia jahat. Karena tidak semua makhluk itu jahat. Ada yang baik juga, mas.” begitu penjelasan saya.

Petugas itu berkata, “Oh, gitu ya, berarti yang pertama tidak boleh takut ya, Pak. Tapi bener ndak, Pak? Kalau makhluk yang ikut saya itu, tidak jahat.”

Mengatasi orang dalam kondisi labil, harus diberi penegasan.

Saya katakan, “Tidak, Mas…! Malah kalau orang tertentu kan mengatakan naga itu bagus…, masak makhluknya aja belum tentu ada, sudah dikatakan jahat toh mas?”

Petugas itu pun tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih.

Itulah fakta di dalam hidup ini, manusia kadang menakut-nakuti dirinya sendiri…
"Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,kepercayaan adalah saudara paling baik,nibbana adalah kebahagiaan tertinggi" [DHAMMAPADA:204]

Offline Jayadharo Anton

  • Sebelumnya: Balaviro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.300
  • Reputasi: 19
  • Gender: Male
  • Namatthu Buddhassa
Re: Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera
« Reply #3 on: 19 March 2011, 09:54:33 AM »
MENGIKUTI CARA BUDDHA

Ketika jari-jari ini terus menuliskan cerita, pikiran teringat kepada kejadian di tahun 1996, ketika di Vihara Dhammasoka, Banjarmasin, ketempatan menjadi tuan rumah bagi terselenggaranya acara dialog antara anggota DPR dari Jogyakarta, tokoh masyarakat, dan ulama. Mereka mengadakan studi banding di Kalimantan Selatan. Tema yang diangkat adalah mengenai kemajemukkan agama, budaya, dan etnis.

Dalam dialog itu, moderator membuka acara, dan saat tiba sesi tanya jawab, hadirin dipersilahkan bertanya. Karena diskusi di vihara, maka bila itu berkenaan dengan agama Buddha, saya diminta menjawab. Begitu pertanyaan dimulai, ternyata sosok seorang Bhikkhu ini menarik perhatian hadirin. Mungkin mahluk langka, aneh..!

Pertanyaan yang diajukan lucu-lucu. Kenapa bhikkhu itu dicukur sampai gundul? Mengapa pakai jubah? Apakah boleh berkeluarga? Jika tidak boleh, apakah selama menjadi bhikkhu tidak pernah ada perasaan terhadap lawan jenis? Dari mana biaya hidupnya? Dan, lain-lain yang lebih mengarah ke pribadi seorang bhikkhu.

Mungkin, karena bhikkhu memang langka jadi mereka ingin tahu. Singkatnya saya menjawab semua pertanyaan itu dengan logika, juga kebenaran. Sesekali tepuk tangan riuh terdengar, tanda setuju dengan pernyataan saya. Ada yang tersenyum-senyum, bahkan tertawa geli karena melihat ada orang yang memilih hidup tidak lazim dari umumnya. Yah..macam-macamlah reaksinya. Apa pembaca ingin tahu jawabannya? Ahh.. di kesempatan lain saja bertanya. Karena ini pribadi seorang bhikkhu, lho..! he he.

Mengapa menuliskan jawaba atas pertanyaan-pertanyaan itu saya tinggalkan? Karena pertanyaan itu kurang ada substansinya. Bila berminat, nanti kita bahas di vihara saja..!

Yang menarik dalam kejadian ini, adalah pertanyaan seperti ini, “Pak Bhikkhu, masyarakat Dayak yang berkepercayaan kaharingan, kan belum memeluk salah satu dari lima agama yang diakui negara. (Waktu itu belum ada Kong Hu Cu, jadi hanya lima yang diakui). Apakah pak bhikkhu ada usaha menjadikan mereka sebagai pemeluk agama Buddha?”

Ini kategori pertanyaan krisis tapi dilematis. Ini berhubungan dengan meng-agamakan orang. Apalagi yang bertanya adalah anggota Dewan. Misi saya sebagai pembina umat harus sesuai kebenaran. Jadi perlu hati-hati dan tidak boleh lepas dari subtansi dalam menjawab pertanyaan.

Saya menjawab begini, “Buddha mengajarkan ajaranNya tidak dengan cara orang itu mengaku menjadi penganutnya. Tujuan Buddha mengajarkan kebaikan dan kebenaran (Dhamma) adalah agar makhluk khususnya manusia, bebas dari penderitaan. Caranya dengan memahami kebenaran dan berbuat kebajikan dan membersihkan pikiran. Itulah ajaran para Buddha. Nah seperti yang diajarkan oleh Buddha, guru kami. Maka, para Bhikkhu mengikuti cara Buddha mengajar.”

Melihat penjelasan saya, wajah peserta terlihat serius. Untuk mencairkan suasana, sayapun berkata,”Sekarang ganti bapak-ibu, saya yang bertanya. Apakah bapak dan ibu ada upaya mencegah berbuat jahat?”

“Pasti”, begitu jawabnya.

“dan apa ada upaya berbuat baik terus-menerus?” saya bertanya lagi.

“Iya ada.” Mereka menjawab lagi.

Lalu saya tanya kembali, “apa ada juga usaha mencapai kesucian, kefitrian, kekudusan itu sendiri?”

Wah, semua dengan kompak menjawab, “adaaa”

Langsung saya menimpali jawaban mereka, “Nah, walaupun bapak dan ibu tidak menyatakan diri sebagai Buddhis, karena memang bukan umat Buddha, tapi bapak dan ibu sudah berbuat baik yang benar, itu sudah Buddhis secara alami.”

Ruangan itupun riuh, ada yang tertawa, ada yang berkomentar, lalu ada yang komentar. “Wah, bhiksu ini bisa saja jawabnya.”

Setelah mereka mengerti, barulah saya menjawab, “Buat apa saya menarik masyarakat khususnya masyarakat di Balangan menjadi Buddhis, jika tidak baik. Lebih baik mengajak berbuat baik agar menjadi manusia yang baik, itu akan lebih baik. Karena, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.”

Jawaban ini akan menyejukkan sebuah kebersamaan.
"Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,kepercayaan adalah saudara paling baik,nibbana adalah kebahagiaan tertinggi" [DHAMMAPADA:204]

Offline Jayadharo Anton

  • Sebelumnya: Balaviro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.300
  • Reputasi: 19
  • Gender: Male
  • Namatthu Buddhassa
Re: Cerita Tekad Orang Nekad BY Bhikkhu Saddhaviro Mahathera
« Reply #4 on: 19 March 2011, 09:55:51 AM »
Dikira Tidak BerTuhan.


Pada tahun 2000, saat saya sedang duduk sendiri diantara bangku2 di ruang tunggu Bandara Juanda, Surabaya, menunggu pesawat menuju Banjarmasin, ada seorang pria yang berjalan kearah saya. Matanya tertuju kepada saya. Pria itu duduk di sebelah saya. Ia menyapa dan membuka pertanyaan dengan kalimat, “Anda Hindu atau Buddha?”

Saya jawab, “Buddhist”

Lalu pria itu bertanya, “Apakah Buddhist mengenal Tuhan?”

Saya bergurau di kepala, “Ini tanya, apa mau ngetes?”

Ini memang pertanyaan umum. Pertanyaan mudah, tapi sulit menerangkan jawabannya. Karena, konsep Buddhist ttg Tuhan, berbeda dari umumnya.

Saya menjawab, bahwa Buddhist juga mengenal konsep ke Tuhanan. Karena, dalam agama Buddha ada konsep Nibbana, sebagai tujuan yang hendak dicapai. Tidak perlu diragukan, jawaban saya pasti membuat pria itu pusing…! Jangankan pria itu yang beda keyakinan, umat Buddha sendiri juga masih ada yang belum paham? Betul tidak? Ayo…jujur!

Melihat pria itu masih bingung, saya menjelaskan lagi, bahwa dalam konsep Buddhist, Tuhan itu berbeda dengan konsep umum. Misalnya kita bicara ttg “ada”, itu ada 3 tahapan.

Pertama, Ada, karena ada yang membuat atau menciptakan.

Kedua, Ada, yang tidak ada yang membuat atau menciptakan, tapi disebabkan.

Ketiga, Ada, yang tidak dibuat, diciptakan, juga disebabkan.

“Ada” karena dibuat, atau diciptakan. Itu hal2 duniawi. Contohnya meja, karena yang ada di depan kami saat itu adalah meja.

Kedua, “Ada” yang tidak dibuat, dan tidak diciptakan tapi disebabkan. Itu berupa Hukum Kebenaran Sebab Akibat.

Kalau meja ini dibuat, kolong meja tidak ada yang membuat. Tapi kolong meja itu ada.

Apakah kita katakan meja yang menciptakan kolong meja?

Penjelasan ini, membuat pria itu mengernyitkan alisnya tanda berpikir. Dan, sayapun menambahkan, “tidak tepat dikatakan meja sebagai pencipta kolong meja. Tapi meja sebagai penyebab adanya kolong meja.”

Pria itu mengangguk sambil tersenyum.

Nah, karena masih ada 1 lagi tahapan pemahaman, saya melanjutkan, “Ada jenis ketiga, ini adalah ada karena tidak ada yang menciptakan, tidak ada yang membuat, dan tidak ada yang menyebabkan. Itulah Nibbana. Itulah konsep Tuhan dalam agama Buddha.”

Pria itu mengangguk, sambil senyum dia berkata, “Waduh pak, ternyata dalam juga ajaran Buddha.”

Sekarang ganti saya yang tersenyum. Tidak lama kemudian, sayapun diundang masuk pesawat.

“Permisi pak…”

“Ya sampai bertemu lagi.”

Percakapan inipun selesai sudah…
"Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,kepercayaan adalah saudara paling baik,nibbana adalah kebahagiaan tertinggi" [DHAMMAPADA:204]

 

anything