mr.jhonz ama mas tidar.. mungkin disini
http://agama.forumakers.com/t214-lankavatara-sutra-bab-viii-tentang-larangan-makan-daging
sebenarnya masih banyak sutra2 lain, kalau Sang Buddha memang menekankan, menganjurkan, mengajari bahwa tidak perlu menggkonsumsi daging makhluk hidup...
Dalam sutra ini saya melihat analisa Buddha meragukan.
Demi kecintaannya akan kemurnian, Mahāmati, seorang Bodhisattva harus menghindari memakan daging, yang berasal dari air mani, darah, dsb. Karena takut mengakibatkan teror bagi makhluk hidup, Mahāmati, hendaknya Bodhisattva yang sedang melatih diri untuk memperoleh kasih sayang, menghindari makan daging. Sebagai contoh, Mahāmati: Ketika seekor anjing melihat, bahkan dari kejauhan, seorang pemburu, seorang pariah, seorang nelayan, dsb. — yang keinginannya adalah makan daging — ia akan ketakutan dan berpikir: ‘Mereka adalah pembawa kematian, mereka akan membunuhku.’ Dengan cara yang sama, Mahāmati, bahkan binatang-binatang kecil yang tinggal di udara, di tanah, dan di air, tatkala melihat pemakan daging dari kejauhan, akan mengenali, dengan indra penciumannya yang tajam, bau rākṣasa dalam tubuh para pemakan daging tersebut, dan akan lari sejauh mungkin dari orang-orang itu; sebab bagi mereka, orang-orang itu adalah ancaman kematian. Untuk alasan inilah, Mahāmati, Bodhisattva yang sedang melatih dirinya sendiri hendaknya berdiam dalam kasih sayang agung. Karena dapat menakuti makhluk lain, makan daging hendaknya dihindari.
Pertama: mengapa seorang Buddha yang notabene super-bijak tidak mampu membedakan antara 'pembunuh' dan 'pemakan daging'? Seperti halnya wildebeest yang besar & kuat takut pada kawanan singa, macan tutul atau hyena karena mereka membunuh wildebeest. Namun wildebeest tidak takut pada burung bangkai walaupun burung bangkai memakan daging wildebeest, sebab burung bangkai tidak membunuhnya.
Di sini Buddha tidak mampu membedakan pembunuh dan pemakan daging, memukul rata sebagai teror. Dengan kata lain dalam kasus ekstrem, Buddha mengatakan Singa yang perkasa akan lari terbirit-birit melihat cacing tanah, sebab cacing tanah (yang adalah dekomposer) juga makan bangkai singa.
Mahāmati, akan ada banyak orang yang tidak bijak di masa mendatang, yang akan membeda-bedakan dan menciptakan aturan-aturan latihan moral yang baru, dan — karena pengaruh energi-kebiasaan sebagai makhluk karnivora — akan menginginkan rasa [daging] dengan rakusnya.
Ke dua: dalam sutra itu hanya disebutkan "makan daging = rakus". Apakah menurut Buddha yang mahatahu itu, yang rakus itu hanyalah pemakan daging, sedangkan vegetarian tidak ada yang rakus dan melekat pada citarasa?
Mahāmati, ketika putra dan putri berbudi dari keluarga baik-baik ingin membina diri dalam berbagai latihan, seperti memperoleh hati penuh kasih sayang, mempertahankan dhāraṇī, atau menyempurnakan kemampuan magis; atau mulai melangkah dalam Mahāyāna; atau hendak berdiam di pekuburan, di padang belantara, atau di hutan yang menjadi tempat berkumpul atau sering didatangi hantu-hantu; atau sewaktu mereka berusaha duduk (bermeditasi) di tempat latihan; mereka akan terhalang dari memperoleh kekuatan magis atau memperoleh Pembebasan [karena pengaruh makan daging].
Ke tiga: disinggung bahwa seseorang mencapai pembebasan adalah tergantung dari makanannya. Apakah di sini ada pengaruh nutrisi (yang adalah ragawi) pada pencapaian kesucian (yang berkenaan dengan bathin)?
Dalam teks-teks kanonik tertentu, proses latihan dikembangkan bertahap seperti tangga yang menanjak tingkat demi tingkat, dan terhubung dengan proses lainnya secara teratur dan metodis; setelah menerangkan tiap-tiap pokok, daging, yang diperoleh dalam keadaan khusus demikian, tidak dilarang.
Terakhir, jaman Buddha kok sudah ada teks tentang Ajaran Buddha? Disebut 'kanonik' pula? Bukannya aliran besar baik Theravada dan Mahayana mengakui penulisan sutta/sutra adalah setelah konsili ke tiga?
Bonus: kira-kira apa pendapat "Buddha" yang membuat sutra ini tentang kuda nil? Sebab kuda nil yang makan sayur tapi agresif menyerang dan membunuh hewan lain, bahkan manusia.