//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika  (Read 24871 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #30 on: 30 November 2008, 06:49:39 AM »
 198. Secara emosional, keyakinan adalah sikap tenang dan ceria yang membebaskan kita dari keraguan dan ketidak-pastian yang mematikan. Bila keyakinan demikian kuat dalam batin, kita seakan melambung kegirangan, bukannya tertekan karena menyadari ketidak-sempurnaan kita, sebab kita yakin bahwa kita mengambil jalan yang benar. Selain dengan cara merenungkan kehidupan dan teladan-teladan dari Sang Buddha, maka ada beberapa hal yang dapat membangkitkan aspek emosional dari keyakinan, misalnya melakukan peribadatan Puja, ataupun sekadar membayangkan patung Sang Buddha. Hal lain yang dapat membangkitkan keyakinan adalah perjalanan ziarah ke empat Tempat Suci: Lumbini, tempat Beliau dilahirkan; Bodh Gaya, tempat Beliau mencapai Pencerahan; Sarnath, tempat Beliau mengajarkan Dhamma pertama kalinya; dan Kusinara, tempat Beliau mencapai Nibbana akhir. Ketegaran dan pengorbanan yang diperlukan untuk perjalanan ziarah, suasana spiritual yang kuat di Tempat-tempat Suci, dan pengetahuan bahwa kita telah mengikuti langkah kaki jutaan manusia yang telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelum kita, membuat perjalanan ziarah menjadi suatu pembangkit keyakinan dan kemurnian dari segalanya. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:

          Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? "Disini Sang Tathagata dilahirkan," adalah yang pertama. "Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna," adalah yang ke dua. "Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma," adalah yang ke tiga. "Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir," adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.11

      Keyakinan adalah penting sebab akan melibatkan dan memacu intelektual, kemauan dan emosi kita dalam pencarian Nibbana. Keyakinan sendiri tidak akan membawa ke Nibbana, tapi bila digabung dengan kebajikan, akan menghancurkan tiga dari Sepuluh Belenggu yang pertama dan menjadikan pencapaian Nibbana sesuatu yang telah pasti. Keyakinan adalah benih (saddha bijam)12 yang darinya bunga kebebasan akan tumbuh.

 199. Tahap berikut yang dicapai dan dilalui secara berangsur dalam perjalanan ke Nibbana, adalah apa yang disebut Yang-Kembali-Sekali (sakadagami). Tahap ini dicapai bila seorang, selain telah mengembangkan Empat Lengan Pemenang-Arus yang menghancurkan tiga Belenggu diatas, juga telah melemahkan dua belenggu berikutnya, nafsu-indriawi dan kehendak-jahat. Yang-Kembali-Sekali akan, seperti sebutannya, terlahir hanya sekali lagi di dunia, walau mungkin saja terlahir lebih dulu di alam dewa beberapa kali, sebelum akhirnya mencapai Nibbana. Bila nafsu-indriawi telah hancur secara lengkap dan kehendak-jahat telah terganti cinta, tahap Yang-Tak-Kembali (anagami) tercapai. Manusia seperti ini, sewaktu mati akan terlahir di alam dewa, dan dari sini akan mencapai Nibbana tanpa terlahir kembali di dunia.

      Dengan terhapusnya Sepuluh Belenggu secara keseluruhan berkat pengembangan kebijaksanaan, seseorang akan mencapai Pencerahan-penuh dan disebut sebagai Arahat. Istilah 'Arahat' secara harfiah berarti 'Yang Mulia', nama yang sangat tepat bagi seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dari pencapaian spiritual manusia. Arahat telah meleburkan semua kotoran-batin lewat kebijaksanaan yang mendalam, dan telah memiliki nilai-nilai spiritual, seperti welas-asih, tak-tergantung, kejujuran dan kebijaksanaan seutuhnya. Seorang Arahat, sewaktu kematian raganya, mencapai kedamaian dan kebahagiaan abadi Nibbana. Hal lain yang penting diketahui, ialah bahwa setelah menjadi Pemenang-Arus, seorang bisa dapat menyelesaikan tiga tahap selanjutnya dalam beberapa tahun, satu kehidupan, beberapa kehidupan, paling banyak dalam tujuh kali kehidupan.

 200. Apa perbedaan antara seorang Arahat dan Buddha? Ciri khas dari seorang Buddha adalah pengejawantahan dari kebijaksanaan yang sempurna (pañña) dan welas-asih yang sempurna (karuna). Kebijaksanaan sempurna adalah realisasi Buddha dari Pengetahuan Lipat-tiga (tevijja), pengetahuan kehidupan-kehidupan sebelumnya, pengetahuan muncul dan matinya makhluk-makhluk, dan pengetahuan tentang hancurnya kotoran-kotoran batin (lihat 210). Welas-asih yang sempurna mendorong dan merembes setiap aspek dalam perilaku seorang Buddha. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri "terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk", Beliau mengajarkannya dikarenakan "perasaan yang terbit dari welas-asih", Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena "perasaan yang terbit dari welas-asih", dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena "perasaan yang terbit dari welas-asih" Beliau sendiri berkata pada kita:

          Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.13

      Matrceta mengagungkan welas-asih yang mulia dari Sang Buddha lewat sajaknya yang indah, bernama Satapañcasatka:

          Dikau baik, walau tidak dipinta,
          Dikau mencintai tanpa alasan,
          Dikau sahabat bagi yang asing tercampakkan,
          Dan Dikau menjadi sanak bagi yang tak bersanak.

          Perbuatan baik Dikau puji,
          Perbuatan buruk Dikau persalahkan,
          Tapi pada mereka yang bertindak demikian,
          Dikau bebas dari 'memihak' atau 'tidak memihak'.

          Walau Dikau lebih menyenangi ketenangan menyendiri
          Welas-asih mendorong-Mu melewati waktu
          Bersama kerumunan orang-banyak.

          Bagaikan naga yang perkasa,
          Keluar dari danaunya dengan pesona
          Welas-asih mendorong-Mu pindah dari hutan ke kota
          Demi keselamatan mereka yang akan belajar.

          Dikau memperingatkan yang keras-kepala, menahan yang gegabah.
          Dan meluruskan yang menyimpang.
          Dikau memberi semangat pada yang lamban dan mengekang yang gegabah
          Sebenarnyalah, Dikau adalah penuntun yang tiada bandingannya bagi manusia.

          Permusuhan malah membangkitkan kehangatan-Mu,
          Kebejatan menerima bantuan-Mu,
          Yang ganas menemukan kelembutan-Mu.
          Betapa mempesona hati-Mu yang agung!

          Dengan batin yang tak-terikat.
          Dikau bekerja tenang demi kesejahteraan dunia.
          Betapa mengagumkan seorang Buddha - keberadaan alami seorang Buddha!

          Dikau makan makanan miskin, terkadang kelaparan.
          Dikau menelusuri jalan-jalan kasar dan Dikau tidur beralas tanah,
          Yang keras terinjak oleh kaki ternak

          Dikau adalah Raja,
          Tapi Dikau tidak bertindak seolah kuasa pada lainnya
          Semua dapat menggunakan Dikau seakan pelayannya
          Untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan

          Dikau membantu mereka yang ingin mencelakakan-Mu
          Melebihi orang yang membantu dia yang baik padanya.
          Kepada musuh yang berkehendak jahat,
          Dikau adalah sahabat yang berkehendak baik padanya.
          Kepada mereka yang senang mencari kesalahan-kesalahan
          Dikau malah, mencari kebajikan-kebajikannya.14


 201. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:

          "Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.15

      Sang Buddha bagaikan perintis yang membuka jalan di dalam hutan dan menemukan lembah subur nan indah, sedang para Arahat lain bagaikan mereka yang mengikuti jalan yang dibuka perintis itu dan lalu pindah menetap ke lembah itu pula. Seorang Buddha dan Arahat sama-sama berjalan di jalan yang sama dan juga sama-sama tiba di tujuan yang sama yakni Nibbana. Letak perbedaannya adalah Buddha adalah penemu dan tiba terlebih dahulu di Nibbana, sedang Arahat menemukannya sebagai hasil rintisan Buddha. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:

          "Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?"
          "Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua."
          "Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi."16


 202. Pada zaman Sang Buddha, banyak istilah yang digunakan untuk melukiskan seorang yang telah mencapai Nibbana - Buddha (Dia yang telah bangun), Tathagata (Dia yang telah datang; ataupun, Dia yang telah pergi), Arahat (Dia yang mulia), Muni (Dia yang tenang), Brahmin (Dia yang tertinggi), Vedagu (Yang mengetahui) - dan semua istilah ini digunakan baik untuk Sang Buddha maupun Siswa-siswa-Nya yang telah Tercerahi. Lalu, secara berangsur istilah Buddha dan Tathagata hanya digunakan untuk Buddha sendiri, hal ini untuk membedakan-Nya dari Siswa Tercerahi, yang seperti dikatakan diatas, disebut Arahat. Lalu, berabad-abad setelah Parinibbana Sang Buddha, dirasakan oleh sebagian pengikut Sang Buddha bahwa perbedaan antara Buddha dan Arahat, lebih dari sekadar perbedaan antara perintis dan pengikut. Mereka percaya bahwa Sang Buddha mencapai Nibbana lebih tinggi, lebih lengkap dari pada yang dicapai para Arahat. Mereka menganut paham yang salah ini, dengan sendirinya menganggap adalah lebih baik menjadi Buddha dari pada mencapai 'ke-Arahat-an kelas dua". Mereka yang memahami ajaran Sang Buddha dengan tepat, tetap bertahan bahwa perwujudan Buddha dan Arahat adalah sama. Kelompok yang lain mempertahankannya sebagai berbeda. Sejumlah legenda-legenda fantastik kemudian dicangkokkan pada riwayat kehidupan Sang Buddha, demi untuk menekankan "perbedaan kedua tingkat" tersebut. Akhirnya, perpecahan tidak dapat dihindari. Kelompok yang berkehendak mengambil Jalan ke Pencerahan "yang lebih sempurna", dan menyebut kelompoknya sebagai Mahayana, Jalan Besar atau Jalan Lebih-tinggi serta menyebut mereka yang memilih Jalan ke Pencerahan "kelas-dua" sebagai kelompok Hinayana, Jalan Kecil atau Jalan Lebih-rendah. Abad-abad berikutnya semakin ditandai dengan perbedaan-perbedaan pemahaman diantara ke dua kelompok ini, malah juga dalam kelompoknya sendiri masing-masing. Tetapi kenyataan sebenarnya, semua perbedaan ini timbul dari kemampuan untuk menyadari, bahwa hanya ada satu keadaan Nibbana dan bahwa hanya ada 'mereka yang sudah' dan 'mereka yang belum' Tercerahi.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #31 on: 30 November 2008, 06:51:24 AM »
KEHIDUPAN SANG BUDDHA

 203. Mungkin jalan yang terbaik, untuk dapat mengerti, bagaimana tipe manusia yang telah dapat mewujudkan Nibbana, adalah dengan mempelajari, kehidupan dan kepribadian dari Sang Buddha. Kehidupan Sang Buddha tidak hanya menunjukkan bahwa Nibbana adalah suatu yang mungkin (dicapai), tapi juga menunjukkan bagaimana sebenarnya perwujudan itu. Di dalam Tipitaka tidak ditemukan biografi (riwayat hidup, yang ditulis orang lain) aktual dari Sang Buddha, walaupun banyak bahan-bahan autobiografi (riwayat hidup, sesuai penuturan orangnya sendiri) dan informasi berupa suntingan-suntingan biografi tersebar di dalam bagian-bagian kitab ini. Sewaktu Sang Buddha hidup, dan mungkin satu generasi setelah kemangkatan-Nya, suatu biografi tidaklah diperlukan, sebab Sang Buddha masih ada, atau setidaknya sejumlah orang yang pernah mengenal Beliau masih dapat memberi informasi tentang Beliau. Dengan perjalanan waktu, seperti layaknya orang-besar, orang-orang kemudian ingin mengetahui secara lebih rinci setiap aspek kehidupan Sang Buddha, dan Tipitaka ternyata hanya merekam kejadian-kejadian utama dalam kehidupan Beliau. Legenda-legenda kemudian bermunculan untuk menutupi kekurangan itu. Dan waktu itu, suatu biografi telah dibutuhkan. Orang yang pertama kali berusaha mewujudkannya adalah Mahavastu, yang menghasilkan suatu karya yang bercampur-aduk antara kenyataan dan fiksi, sejarah dan legenda. Dalam riwayat-hidup ini Sang Buddha terkadang tampil sebagai manusia, tapi dalam beberapa bagian Beliau dilukiskan semakin menyerupai manusia super. Tulisan riwayat-hidup lain, Lalitavistara berisikan legenda yang dilebih-lebihkan dan bertele-tele sedemikian rupa, sehingga sisi sejarah dari riwayat Beliau telah kabur sama sekali. Kemungkinan tulisan riwayat hidup yang terbaik, Buddhacarita adalah karya pujangga Asvaghosa sekitar abad pertama sesudah Masehi.1 Di dalam karyanya, Asvaghosa sebagai pujangga, akhirnya menghasilkan biografi yang tepat dan dapat diterima. Semua keterangan mengenai Sang Buddha setelah itu didasarkan atas informasi Tipitaka dan bahan-bahan legendaris darinya serta karya-karya yang muncul belakangan. Kita akan melihat informasi tentang kehidupan Sang Buddha sesuai Tipitaka, tanpa mencampur-adukkan dengan laporan legendaris yang muncul belakangan.

 204. Suku Sakya adalah suku ksatria yang bertempat tinggal di suatu kerajaan kecil yang dibatasi di sebelah Utara oleh kaki pegunungan Himalaya. Ibu-kotanya Kapilavatthu "kaya, bermasa-depan cerah, terkenal, banyak lelaki, serta dihuni oleh banyak orang".2 Tampaknya, orang-orang Sakya diperintah raja, yang diangkat bukan berdasar keturunan, tapi dipilih oleh dan diantara sesepuh. Salah satu dari raja itu, Suddhodana, mempunyai dua permaisuri, Maha Maya dan Maha Pajapati Gotami, yang adalah bersaudara. Sewaktu Ratu Maha Maya hamil dan hampir tiba waktunya melahirkan, beliau meninggalkan Kapilavatthu untuk mengunjungi orang-tuanya, untuk melahirkan ditempat mereka, sesuai tradisi di masa itu. Sewaktu ratu dan rombongannya mendekati Taman Lumbini, rasa sakit sebagai tanda kelahiran mulai dirasakan oleh ratu, oleh karenanya mereka memutuskan untuk berhenti di taman itu. Maha Maya diistirahatkan dinaungan pohon sal dan dengan dikelilingi oleh para dayang-dayang, beliau melahirkan seorang anak laki-laki. Saat itu adalah bulan purnama dibulan Mei (Vesaka) di tahun 563 sebelum Masehi.

 205. Pada saat itu, ditempat lain, seorang pertapa bernama Asita, terhentak karena menyadai bahwa semua makhluk di surga serentak bersorak gembira, dia lalu menanyakan alasan kegembiraan mereka itu, mereka menjawab:

          Disuatu desa bernama Lumbini di wilayah suku Sakya, seorang Bodhisattva telah dilahirkan, suatu permata tanpa bandingan. Inilah yang menyebabkan kami begitu gembira, begitu senang, bersorak-riang.

          Dia adalah yang terbesar diantara makhluk, terpuncak, pemimpin diantara manusia, yang tertinggi. Raja para makhluk, terkuat, mengaum seperti singa, akan memutar roda Dhamma di Isipatana.3

      Lalu, Asita bergegas meninggalkan tempatnya untuk menemui anak yang khusus ini. Sementara itu, ratu dan rombongannya telah meninggalkan Taman Lumbini, pulang kembali ke Kapilavatthu. Dikarenakan bayi yang baru lahir ini adalah laki-laki, Suddhodana dan seluruh isi istana bergembira merayakannya, dan sementara perayaan berlangsung, pertapa Asita tiba dan bermohon agar dapat melihat pangeran yang masih bayi itu.

          Jadi mereka memperlihatkan anak itu pada Asita. Dia begitu bersinar, berkilauan dan cantik. Melihat anak itu, bagaikan melihat mas yang masih panas diambil dari tungku oleh pandai-mas.

          Begitu melihat anak itu, berkilat bagaikan api, bercahaya bagaikan bintang yang melintasi langit di malam hari, bersinar bagaikan matahari dilangit yang cerah, sang pendeta merasakan kegembiraan dan kebahagiaan.4

      Kekuatan meditasi Asita yang telah dilatihnya bertahun-tahun dan juga kehidupannya yang suci, memungkinkan dia memiliki kekuatan yang dapat menerawangi bahwa Sang Pangeran tidaklah seperti anak biasa pada umumnya, dan bahwa di kemudian hari akan mencapai Pencerahan dan mempermaklumkan ajaran baru demi kebaikan semua orang. Tetapi setelah dia menyadari bahwa dia telah akan mati sebelum peristiwa itu terjadi dan karenanya dia tidak akan dapat mendengarkan ajaran baru itu, dia mulai meratap sedih. Suddhodana menyaksikan semua ini dengan cemas, karena berpikir bahwa mungkin Asita telah melihat tanda tidak baik pada diri sang pangeran di hari depannya; Asita kemudian menjelaskan pada raja, hal yang menyebabkan dia menangis, dan kembali menenangkan raja.

          Melihat orang-orang Sakya bersusah-hati, pendeta kemudian berkata: "Saya tidak melihat nasib sial pada diri pangeran. Ataupun halangan yang akan merintanginya. Sebab dirinya adalah bayi yang amat istimewa. Oleh karenanya janganlah kwatir.

          "Pangeran ini akan mencapai Pencerahan Sempurna dan dengan penglihatan agung dia akan memutar roda Dhamma demi welas-asih pada semua makhluk. Dia akan mengajarkan kehidupan suci secara menyeluruh.

          "Tapi tinggal sedikit usia kehidupan saya. Saya akan mati sebelum kejadian itu terjadi dan tidak akan mendengarkan Dhamma. Inilah yang menyebabkan saya demikian sedih dan tidak berbahagia.5


 206. Segera setelah itu, upacara pemberian nama dilaksanakan, sang pangeran diberi nama Siddhattha, yang berarti 'dia yang mencapai cita-citanya'. Nama keluarganya adalah Gotama, dengan demikian nama lengkapnya adalah Siddhattha Gotama. Tujuh hari setelah kelahirannya ibu pangeran meninggal dunia, dan selanjutnya beliau dirawat dan dibesarkan oleh bibinya, Pajapati Gotami.

 207. Sebagai anak raja, Pangeran Siddhattha terlatih baik dalam latihan keperkasaan, pula dalam hal tradisi dan kesusasteraan suku Sakya. Dia dikawinkan pada usia muda pada seorang gadis bangsawan bernama Yasodhara6, dan hidup dalam kemewahan dan keagungan.

          Saya dibesarkan dengan kelembutan, sangat lembut dibesarkan, teramat lembut dibesarkan. Kolam dengan teratai biru, putih dan merah, dibuat di rumah ayahku semata-mata untukku. Saya tidak menggunakan kayu cendana selain yang didatangkan dari Benares, turban, serban, jubah, pakaian bawah dan jubah-luar semuanya buatan Benares. Payung putih senantiasa menaungiku siang dan malam, sehingga tidak ada dingin atau panas, debu, kotoran atau embun yang akan mengotoriku. Saya memiliki tiga istana - satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Di dalam istana untuk musim hujan, saya dihibur oleh para pemusik wanita, dan selama empat bulan di musim hujan itu, saya tidak pernah meninggalkan istana. Dirumah-rumah orang lain, hanya serpihan nasi dan sup miju-miju yang diberikan pada para pelayan, tapi dirumah ayahku, para pelayan memakan nasi putih yang baik dan daging.7

      Namun, walaupun memperoleh semua kekayaan dan kekuasaan yang dapat dibelinya, Pangeran Siddhattha tidaklah berbahagia. Secara berangsur Beliau menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya datang dari kepuasan batin, bukan dari pemilikan dan penghormatan semata, oleh karenanya dari hari ke bari Beliau tambah tidak tertarik lagi pada kesenangan duniawi yang disediakan untuknya. Suatu hari, sewaktu perayaan panen, ketika ayahanda-Nya menanam benih pertama pada upacara tersebut, Pangeran Siddhattha merasa masuk ke dalam keadaan meditasi yang dalam dan damai. Sejak saat itu, Beliau tambah tertarik pada kehidupan rohaniah dibanding kehidupan jasmaniah. Menurut legenda, suatu hari ketika mengendarai kereta-Nya melewati jalan-jalan di Kapilavatthu, Beliau melihat apa yang kemudian disebut sebagai Empat Penglihatan: orang-tua disanggah oleh tongkatnya, pengemis berpenyakit, mayat yang diusung menuju perabuan, dan seorang pertapa pengembara. Bagi Pangeran Siddhattha, tiga pemandangan yang pertama melambangkan penderitaan manusia, sedang pemandangan ke empat melambangkan usaha untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Dia melukiskan pengalamannya sebagai berikut:

          Sekarang, sebelum Pencerahan, ketika saya masih seorang bodhisatta, belum tercerahi, masih akan mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian, saya masih mencari hal-hal yang menyebabkan kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian. Lalu, saya berpikir: "Kenapa saya lakukan ini? Menjadikan diri saya mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian dan melihat kesulitan-kesulitan didalamnya, mengapa saya tidak mencari hal yang menyebabkan tidak terlahir, keamanan sempurna yang tak tertandingi - Nibbana?8

      Pada usia ke dua puluh sembilan, Pangeran Siddhattha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Isterinya Yasodhara baru saja melahirkan seorang putra, yang kemudian diberi nama Rahula; kelahiran putranya dan ketidaksetujuan ayahandanya, menyebabkan keputusan yang diambil itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan menyakitkan. Tapi dia teguh dalam tekadnya:

          Lalu, setelah melewati masa muda, dengan rambut hitam pekat, masa keceriaan pemuda, masa terbaik dalam hidup, dan walau diratapi dan ditangisi oleh orang-tuaku yang tak merelakanku, saya memotong rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan pergi jauh dari rumah menjadi tak-berumah.9


 208. Beliau mengembara dari wilayah orang Sakya menuju kerajaan Magadha untuk mencari guru. Di India, pada masa itu, sangat banyak guru dan filsuf pengembara, semuanya mengemukakan teori yang berbeda dan berusaha menarik murid-murid diantara para pertapa maupun para perumahtangga. Pangeran Siddhattha memutuskan untuk belajar pada Alara Kalama, salah satu guru yang terkenal pada saat itu. Dia berkata:

          Setelah pergi lebih jauh, menjadi pencari kebaikan, mencari jalan kedamaian yang tak terbandingkan, tak tertandingi, Saya mendekati Alara Kalama dan berkata: "Saya ingin kehidupan suci didalam ajaran dan asuhanmu." Alara Kalama berkata pada saya: "Bila demikian, marilah, tuan, ajaran ini menjadikan orang pandai dengan segera, dengan bantuan guru, wujudkanlah, berdiamlah didalamnya." Tidak lama kemudian, saya telah dapat menguasai ajarannya. Saya permaklumkan, sepanjang hanya menyangkut pengulangan dan penghafalan, saya dapat berbicara dengan pengetahuan dan kepastian. Saya tahu dan mengerti, dan tidak hanya saya.

          Lalu saya berpikir: "Tidak berdasar keyakinan saja Alara Kalama mengajarkan ajaran, tapi karena dia mewujudkannya lewat pengetahuan langsung, dia mengetahui dan mengerti secara pasti." Lalu, saya menemui Alara Kalama dan berkata padanya: "Bagaimana engkau dapat mengetahui dan mewujudkannya lewat pengetahuan langsung sendiri?" Lalu dia mengajarkan saya tentang masalah kekosongan. Lalu, saya berpikir: "Bukan Alara Kalama saja yang mempunyai keyakinan, tenaga, kemawasan, konsentrasi-pikiran dan pengertian; saya juga memilikinya. Bagaimana kalau saya berlatih mengendalikan dan mewujudkan ajaran yang telah diwujudkan lewat pengetahuan langsung?" Tak lama setelah saya melakukan ini, dan berhasil mewujudkannya saya memberitahu Alara Kalama, dan dia berkata: "Suatu keberuntungan, yang mulia, benar-benar suatu keberuntungan bahwa kami mempunyai sahabat seiring dalam kehidupan suci ini. Ajaran yang telah saya wujudkan lewat pengetahuan langsung, juga telah kau miliki. Apa yang saya tahu, engkau juga tahu; seperti saya, demikian pula engkau. Marilah, tuan yang mulia, mari kta pimpin bersama kelopok kita ini." Kemudian Alara Kalama, guruku menempatkan saya, muridnya, pada derajat yang sama dengannya dan menganugerahi saya kehormatan tertinggi.10


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #32 on: 30 November 2008, 06:51:54 AM »
 209. Tetapi Pangeran Siddhattha tidak berkeinginan menjadi guru, pemimpin dalam kelompok ini; beliau ingin mencapai kebebasan batin sempurna. Dengan penuh rasa terima kasih pada Alara Kalama, namun karena yakin bahwa Alara Kalama tidak dapat mengajarnya lebih jauh, Pangeran lalu berpamit-diri untuk mencari guru lain lagi. Dia menemui Uddaka Ramaputta, seorang guru termahsyur lainnya kala itu, dan mulai belajar dibawah bimbingannya. Uddaka Ramaputta mengajarnya cara pencapaian tingkat meditasi yang disebutnya 'Tingkat yang Bukan-Pencerapan, bukan pula Bukan-Pencerapan', tapi juga Uddaka Ramaputta tidak dapat mengajarnya sesuatu yang lebih tinggi, beliau pun meninggalkannya lagi. Sesudah itu, beliau memutuskan untuk mencoba metoda 'pemusnahan diri' demi menghapus seluruh nafsu dan memurnikan batin. Pertama Beliau mencoba sekuat mungkin untuk menghentikan batin.

          Lalu, saya berpikir: "Dengan mengatupkan gigi dan menekan lidah kelangit-langit, mengapa saya tidak dapat menundukkan, menahan dan mengendalikan batin saya?" Saya lalu melakukannya, begitu melakukannya, keringat bercucuran dari bawah bahuku bagaikan seorang kuat memukul seorang yang lebih lemah pada kepala dan bahunya serta menundukkan, menahan dan mengendalikannya.11

      Berikutnya, beliau mencoba cara meditasi menahan napas:

          Lalu saya berpikir: "Mengapa saya tidak mencoba cara meditasi penghentian-napas?" Jadi, saya mencoba berhenti napas, melalui hidung maupun mulut, begitu saya lakukan, timbul suara yang keras mendengung, bagaikan desis puputan pandai besi melewati telingaku.12

      Berikutnya, beliau mencoba menundukkan badan dengan mengurangi makan.

      Lalu saya berpikir: "Mengapa tidak saya ambil makananku, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kecil atau sop-kacang, sedikit demi sedikit, secuil demi secuil?" Saya lalu melakukannya, begitu saya lakukan, badanku menjadi kurus kering. Karena saya makan sangat sedikit, anggota tubuhku seperti buku-buku tumbuhan menjalar; karena saya makan sangat sedikit, bokongku seperti kuku lembu; karena saya makan sangat sedikit, tulang belakangku menonjol seperti deretan bola; karena saya makan sangat sedikit, tulang rusukku yang cekung seperti kasau gubuk yang rubuh; karena saya makan sangat sedikit, mataku terbenam kedalam lobangnya; karena saya makan begitu sedikit, dahi di kulit kepalaku menjadi mengisut dan berkerut, bagaikan labu putih pahit yang dipotong sebelum matang mengisut dan berkerut karena udara panas. Bila saya berpikir: "Saya akan menyentuh perutku," saya raih pula tulang-punggungku, dan bila saya pikir: "saya akan menyentuh tulang-punggungku," saya raih pula perutku. Karena demikian kurus, sehingga perutku hampir berdempetan dengan punggungku. Bila saya pikir: "Saya akan ke peturasan," saya terjatuh di wajahku, sebab saya makan sangat sedikit. Bila saya mengusap anggota tubuhku untuk menyejukkannya, rambut-rambut tercabut dari akarnya, terlepas, karena saya makan sangat sedikit.13

      Selama masa itu, Pangeran Siddhattha ditemani lima pertapa lain yang terkesan pada kekerasan-hatinya, mereka berlima yakin cepat atau lambat, rekan mereka ini akan mencapai tingkat spiritual yang mulia. Enam tahun kemudian berlalu sejak mulai bertapa, beberapa tahun diantaranya dilewati dengan cara tapa penyiksaan-diri, namun Sang Pangeran belum juga mendapatkan Pencerahan-Sempurna. Beliau mulai ragu bahwa cara-cara yang dilakukanya akan dapat mengantarnya ke Pencerahan, dia lalu mengenang kedamaian yang dialaminya semasa muda dulu, dan memutuskan untuk mencoba seakan merasakannya kembali.

          Lalu saya berpikir: "Beberapa pertapa dan Brahmin pada masa lalu mengalami, beberapa di masa mendatang mungkin akan mengalami, atau beberapa pada saat ini sedang mengalami, perasaan-perasaan yang demikian menyakitkan, tajam dan keras, tapi tidak lebih atau menyamai seperti yang saya rasakan ini. Namun, tetap saya belum mencapai tingkat manusia yang lebih tinggi, pengetahuan dan penglihatan sempurna yang dialami oleh Para Mulia sebagai hasil kesungguhannya. Apakah ada jalan lain untuk mencapai Pencerahan?" Saya lalu berpikir: "Saya ingat sewaktu ayahanda orang Sakya membajak, dan saya duduk di bawah naungan pohon, terbebas dari kesenangan indriawi dan batin yang tidak terlatih, saya memasuki dan berdiam di Jhana Pertama, yang masih ditandai oleh pikiran dan khayalan, dan diisi oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterlepasan," dan saya berpikir: "Apakah ini jalan ke kebangkitan?" Dan sebagai hasil perenungan itu, saya menyadari bahwa sebenarnya inilah jalan ke kebangkitan.14


 210. Walau demikian, beliau maklum, bahwa dia seharusnya beristirahat dan memulihkan kekuatan badannya terlebih dahulu sebelum mulai bermeditasi lagi. Begitu dia mulai makan secukupnya, lima rekan pertapanya menuduhnya, bahwa dia telah melemahkan tekadnya, mereka lalu meninggalkannya.

          Lalu saya berpikir: 'Adalah tidak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu, bila badan demikian kurus tersiksa. Bagaimana kalau saya mulai makan - nasi dan susu asam?' Jadi saya mulai makan. Sewaktu, lima pertapa dulu menemui saya, berpikir: "Apabila pertapa Gotama mewujudkan sesuatu, dia akan mengajarkan kita pula." Tapi, sewaktu saya mulai makan, pertapa-pertapa itu memalingkan muka seakan jijik, seraya berkata: "Pertapa Gotama telah hidup dalam kemewahan, dia telah goyah dalam usahanya, dia telah kembali ke kehidupan mewah."15

      Sekarang Pangeran Siddhattha seorang diri, beliau lalu melewati beberapa waktu untuk memulihkan tenaga dari penyiksaan-diri sebelumnya, lalu mencari tempat yang cocok untuk mulai lagi bermeditasi. Akhirnya, dia tiba di sebuah desa kecil di Uruvela, yang sekarang disebut Bodh Gaya.

          Lalu, untuk mencari kebajikan, mencari kedamaian yang tak tertandingi dan terbandingi, sewaktu dalam perjalanan melewati Magadha, saya tiba di Uruvela, kota para ksatria. Disana saya lihat sebidang tanah yang indah, lekukan tanah ditumbuhi pepohonan yang indah, sungai yang mengalir bening dapat diarungi dan sebuah desa didekatnya yang dapat menunjang. Saya berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang indah. Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk seorang muda mulai berjuang." Oleh karenanya saya duduk disitu, berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk berjuang."16

      Dibawah naungan pohon, Pangeran Siddhattha memulai meditasinya, mencoba untuk mengalami kembali jhana yang pernah dialaminya sewaktu muda. Tahun-tahun yang dilewati sebelumnya memungkinkan dia memiliki pengendalian mental yang kuat. Dia mencapai jhana pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat, batinnya bertambah murni dan bercahaya setiap tingkat. Lalu, dengan batin yang "murni, jernih, tak-tercemar, sangat-bersih, dapat-ditempa, dapat-bekerja, mapan dan mantap,"17 Tiga kesadaran atau pengertian tiba-tiba muncul padanya. Tiga pengetahuan (tevijja) itu adalah: pengetahuan tentang kehidupan sebelumnya (pubbe nivasanussati ñana), yang dengannya Beliau dapat mengingat dengan rapih semua kehidupan sebelumnya dan membuktikan kebenaran kelahiran-kembali, pengetahuan tentang muncul dan matinya semua makhluk hidup (yatha kammupaga ñana), yang dengannya Beliau menyadari tata-kerja hukum Kamma, dan yang terpenting, pengetahuan tentang penghancuran kotoran batin (asava-kkhaya ñana).

          Ketika Saya mengetahuinya semua, ketika Saya melihatnya, batin Saya terbebas dari kotoran-batin, dari kesenangan-indriawi, dari pembentukan-kembali dan dari ketidak-tahuan. Saya terbebas dan Saya tahu Saya bebas. Dan Saya tahu bahwa kelahiran-kembali telah berakhir, kehidupan suci telah hidup, Saya telah mencapai apa yang seharusnya dicapai, dan bahwa bagi Saya tidak ada lagi kedatangan-kembali.18

      Dengan demikian, Pangeran Siddhattha menjadi Buddha, Manusia Yang-telah-sadar sepenuhnya.

 211. Setelah melalui banyak pertimbangan, Beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma yang telah diwujudkan-Nya, Sang Buddha lalu mulai memikirkan untuk menemui kedua guru-Nya yang pertama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, tapi setelah menyadari bahwa keduanya telah mati, Beliau kemudian memutuskan untuk mengajar ke lima pertapa pengikut-Nya yang telah meninggalkan-Nya. Karena mengetahui, bahwa mereka berlima tinggal di taman yang disebut Isipatana, dekat kota Benares, Beliau pun memulai perjalanan-Nya ke sana. Dalam perjalanan Beliau bertemu dengan seorang pertapa pengembara.

          Lalu pertapa telanjang bernama Upaka melihat Saya datang dari jalan antara Gaya dan tempat Pencerahan-Ku, dia berkata: "Tuan Yang Mulia, indra-Mu murni dan wajah-Mu bersinar dan bercahaya. Pada siapa Engkau belajar? Siapa guru-Mu? Dhamma siapa yang Engkau ikuti? Saya pun menjawab:
          Pemenang dari segalanya, mengetahui segalanya,
          Tak ternoda dari segalanya, melepaskan segalanya,
          Dan dengan meleburkan keserakahan, Saya terbebas.
          Dengan melakukannya sendiri, siapa yang menunjukkan?

          Saya tidak punya guru,
          Sebab tiada suatu di dunia ini, dewa sekali pun yang menyamai-Ku.

          Saya sempurna, Guru tertinggi di dunia ini.
          Saya sendiri mencapai Pencerahan.
          Nafsu telah kupadamkan, Saya telah mencapai Nibbana.

          Sekarang Saya akan ke Benares untuk memutar Roda Dhamma,
          Menabuh genderang keabadian. Di dunia yang telah menjadi buta.

          Dan Upaka menjawab: "Menurut apa yang Engkau katakan, Engkau pastilah Pemenang alam-semesta.

          Pemenang sejati adalah mereka yang telah menghancurkan kekotoran-batin,
          Olehnya, Saya adalah Pemenang.

          Ketika Saya katakan demikian, Upaka berkata: "Mungkin, demikian," sambil menggoyangkan kepalanya, dia pun berlalu mengambil jalan lain.19

      Kejadian di atas adalah sangat penting sebab melambangkan sikap Sang Buddha pada mereka yang diajar-Nya selama empat puluh tahun yang berikut. Sang Buddha tidak mengejar Upaka untuk mencoba meyakinkannya pada kebenaran Pencerahan-Nya, juga tidak melaknat atau mengutuk dia karena menolaknya. Pada kejadian ini dan dimanapun, Sang Buddha senantiasa berbicara mengenai kebenaran-Nya secara datar dan tenang, selanjutnya terserah pada Upaka (dan kita) untuk mempertimbangkannya.

 212. Setelah pertemuan-Nya dengan Upaka, Sang Buddha meneruskan perjalanan-Nya ke Benares. Pada akhirnya, Dia berhasil menemui lima pertapa pengikut-Nya di Isipatana, kira-kira delapan mil dari Benares. Isipatana juga disebut Taman Kijang (Migadaya) sebab tempat itu dihuni oleh banyak hewan liar, terutama kijang.

          Lima pertapa melihat Saya datang dari kejauhan, dan mereka sepakat, berkata: "Pertapa Gotama datang. Dia sudah hidup dalam kemewahan, Dia tidak kokoh lagi dalam usaha-Nya, Dia telah kembali pada kehidupan duniawi. Dia tidak pantas diberi salam, kita tidak usah berdiri, tidak usah mengambilkan mangkuk dan jubah-Nya. Namun, biarkan Dia duduk, bila Dia mau duduk." Tapi begitu Saya mendekat, mereka tidak lagi melaksanakan kesepakatan-nya. Ada yang mengambilkan mangkuk dan jubah-Ku, ada yang menyiapkan tempat duduk, ada yang mengambilkan air untuk mencuci kaki-Ku, dan mereka semua menyapa-Ku sebagai "yang terhormat". Lalu, saya berkata pada ke limanya: "Jangan menyapa Tathagatha sebagai "yang terhormat", sebab Tathagatha adalah "Yang Mulia" (Arahat), yang Tercerahi. Dengarkanlah, keabadian telah ditemukan, dan Saya akan menuntun, Saya akan mengajar Dhamma."20

      Tapi kelima pertapa tidak mempercayai bahwa sahabat lama mereka benar-benar telah mencapai Pencerahan. Mereka berkata kepada-Nya:

          Tapi, Gotama yang baik, Engkau tidak mencapai keadaan Yang Mulia atau pun pengetahuan dan penglihatan yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, yang dicapai melalui latihan dan tata-tertib yang teguh. Bagaimana Engkau dapat mencapainya dengan hidup mewah, tidak teguh dalam usaha dan kembali dalam kemewahan?21


 213. Tiga kali Sang Buddha memberitahu mereka bahwa Beliau benar-benar Tercerahi dan bahwa Beliau tidak hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya, akhirnya Beliau berkata pada mereka: "Apakah engkau merasa Saya pernah berkata seperti ini sebelumnya pada engkau?" Ternyata mereka berlima mengakui, bahwa Beliau tak pernah berkata seperti itu, dan menyadari bahwa Beliau berkata yang sebenarnya, mereka lalu duduk mendengarkan-Nya. Sang Buddha, lalu mempermaklumkan Dhamma pada dunia untuk pertama kalinya. Khotbah-Nya yang pertama, yang menggarisbawahi Empat Kebenaran Mulia dan konsep Jalan Tengah kemudian dikenal sebagai "Khotbah Pemutaran Roda Dhamma" (Dhammacakkapavattana Sutta)22. Sebutan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Dhamma menyerupai roda besar, yang sekali berputar, akan berputar terus tanpa rintangan di seluruh penjuru dunia. Berselang kemudian Sang Buddha menyampaikan khotbah yang ke dua yang disebut "Khotbah Ketiadadirian" (Anattalakkhana Sutta),23 setelah mendengarkan khotbah itu, lima pertapa - Kondañña, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji mencapai pencerahan. Sang Buddha kemudian menganjurkan agar mereka berangkat ke dunia luar, mengajarkan Dhamma supaya seluruh dunia mendapat kesempatan mengalami kebebasan dan kebahagiaan Nibbana.

          Pergi jauhlah, demi kebaikan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas-asih bagi dunia, demi kesejahteraan, demi kebajikan dan kebahagiaan dewa dan manusia. Janganlah dua darimu mengambil jurusan yang sama. Ajarkanlah Dhama yang indah pada awalnya, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Permaklumkan isi dan semangat kehidupan suci nan murni sempurna dan lengkap terisi.24


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #33 on: 30 November 2008, 06:52:09 AM »
 214. Selama kurun-waktu empat puluh tahun kemudian, Sang Buddha mengembara disebelah utara India menyampaikan Dhamma kepada yang ingin mendengarkannya. Biasanya didampingi oleh dua siswa utamanya, Sariputta dan Moggallana, dan dalam dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan-Nya oleh Ananda, sahabat yang selalu setia mendampingi-Nya. Sejak masa-masa awal Beliau mengajar, orang-orang senantiasa berkerumun mendengar-Nya, diakhir hidup-Nya Beliau mempunyai ratusan ribu orang murid-murid, terdiri atas bhikkhu, bhikkhuni dan perumahtangga biasa. Apa yang diajarkan dan diperbuat Beliau selama empat puluh tahun tidak mungkin dirangkum dalam satu bab, satu buku atau satu perpustakaan sekalipun; karena demikian penuh dan istimewanya. Selanjutnya, kita akan melangkah hanya membahas riwayat Beliau pada beberapa bulan terakhir kehidupan-Nya.

 215. Pada usia ke delapan puluh, Beliau meninggalkan Rajagaha yang kemudian ternyata menjadi perjalanan terakhir-Nya. Beliau melewati desa-desa dan kota-kota yang masih ada sampai saat ini - Nalanda, Pataligama (sekarang disebut Patna), Vesali dan lainnya. Namun, Beliau sudah demikian lemah dan renta, setelah mengembara di India Utara selama empat puluh tahun lamanya. Pada tahap kehidupan-Nya ini, Beliau melukiskan diri-Nya sebagai berikut:

          Saya sekarang tua, sudah letih, dimuliakan, seorang yang telah menjalani Jalan, Saya telah mencapai akhir hidup-Ku, pada usia ke delapan puluh ini. Seperti pedati tua yang hanya dapat berjalan dengan mengikatkan tali disetiap bagiannya, demikian pula tubuh Tathagata hanya dapat berjalan dengan pembalut.25

      Beliau tiba di Vesali, ketika musim hujan tiba, dan oleh karenanya Beliau memutuskan untuk melewati musim hujan di sebuah desa di dekatnya yang bernama Beluva.

          Selama musim hujan, Yang Mulia diserang penyakit yang berat dan menusuk, menyebabkan kesakitan. Tetapi Beliau bertahan dengan penuh kesadaran, mawas sempurna dan tidak mengeluh.26

      Setelah musim hujan, bersama rombongan bhikkhu yang sangat besar jumlahnya mereka meneruskan perjalanan ke arah timur-utara, tampaknya menuju Kapilatthu. Namun karena Sang Buddha demikian tua dan sakit, rombongan sering-sering berhenti dan beristirahat. Ketika rombongan tiba di Pava, mereka menginap di hutan mangga milik Cunda, tukang besi. Oleh Cunda Beliau diundang makan, dan disajikan sukaramaddava, namun setelah menyantapnya "Beliau diserang penyakit luar biasa, murus bercampur darah disertai rasa sakit yang keras dan menusuk, tetapi Beliau tetap bertahan dengan kesadaran penuh, mawas sempurna, tanpa keluhan."27

 216. Semua ini terjadi sehari sebelum Beliau mangkat, sering orang berpendapat bahwa kemangkatan Beliau disebabkan memakan makanan yang tidak baik dan beracun. Sebenarnya ini tidak benar. Seperti disebutkan di depan Sang Buddha telah berusia delapan puluh tahun dan telah berkali-kali jatuh sakit. Beliau mati wajar karena usia tua. Salah pengertian lain adalah menyangkut makanan terakhir itu. Sukaramaddava berasal dari dua akar kata, 'sukara' (babi) dan 'maddava' (lunak, lembut, lemas) yang mungkin adalah makanan yang terdiri dari daging babi atau makanan yang disukai babi - kemungkinan semacam cendawan/jamur. Umat Buddha yang menganjurkan vegetarisme berpendapat bahwa itu adalah sejenis makanan vegetaris. Mereka yang salah duga karena mengira Sang Buddha adalah vegetarian dan mereka yang kwatir pada tersebarnya hal yang menurut mereka adalah kemunafikan, karena berpikir bahwa makanan terakhir Sang Buddha adalah suatu yang memalukan bagi kaum Buddhis, menafsirkan bahwa istilah sukaramaddava bukanlah daging babi sebagai usaha menutup kebenaran. Dua kelompok ini tidak memahami bahwa dalam Tipitaka banyak rekaman kejadian, malah sekali waktu Beliau menolak untuk menjadikan vegetarisme sebagai kewajiban diantara murid-murid-Nya (lihat 92). Kebenaran yang sebenarnya sederhana dalam hal ini adalah bahwa tidak seorang pun mengetahui pasti, makna sukaramaddava itu.



 217. Walau demikian, Sang Buddha menyadari bahwa Cunda mungkin merasa bersalah karena menganggap dirinya bertanggung jawab pada kematian-Nya. Lalu, dengan welas-asih, Beliau meyakinkan Cunda lewat murid-Nya.

          Ananda, ada kemungkinan Cunda, tukang besi itu merasa menyesal berpikir: "Ini adalah kesalahanmu, Cunda, ini perbuatan salah, yang menyebabkan Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah memakan sajianmu." Tapi hendaknya engkau menawarkan penyesalannya, katakan: "Ini adalah suatu jasa, Cunda, ini adalah hasil perbuatan baikmu bahwa Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah menyantap santapan terakhir darimu. Sepanjang yang saya dengar dan ketahui dari bibir Yang Mulia sendiri, adalah bahwa ada dua kali pemberian makan yang paling berbuah kebajikan, tidak ada makanan-pemberian yang lebih berbuah dari keduanya ini. Apa yang dua itu? Makanan-pemberian sebelum Tathagata mencapai Pencerahan-sempurna, dan makanan pemberian sebelum Beliau mencapai Nibbana-akhir. Dua makanan-pemberian inilah yang paling berbuah dan paling baik dari yang lainnya. Kebajikan Cunda akan berbuah berupa umur-panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemahsyuran, surga dan kekuatan." Dengan cara ini, penyesalan Cunda hendaknya dihapuskan.28

      Kejadian menarik lain yang terjadi sebelum Nibbana-akhir adalah perubahan wajah Sang Buddha. Setelah Beliau mengajar Dhamma pada seorang yang bernama Pukkusa, yang kemudian memutuskan berlindung pada Tiga Perlindungan. Lalu sebagai ungkapan terima kasih, Pukkusa ingin memberi persembahan pada Sang Buddha.

          Lalu Pukkusa berseru pada orangnya: "Pergi dan ambilkan saya dua jubah yang dibuat dari benang keemasan terbaik, terpoles dan siap dikenakan." Baik, tuan, kata orang tersebut, dan dia melakukannya. Lalu Pukkusa menawarkan jubah itu pada Yang Mulia, seraya berkata: "Ini, Yang Mulia, dua jubah yang terbuat dari benang emas terbaik. Semoga Yang Mulia berkenan menerimanya."
          "Baik, Pukkusa, Saya terima dan yang satunya persembahkanlah pada Ananda."
          "Baik, Yang Mulia," kata Pukkusa, dia pun melakukannya. Lalu Sang Buddha mewejangkan, menggugah dan membahagiakan Pukkusa dengan Dhamma, kemudian Pukkusa bangkit dari tempat duduknya, menghormat Sang Buddha, berjalan disamping kanan, berjalan meninggalkan tempatnya. Segera setelah, Ananda mengenakan jubah tersebut pada Sang Buddha, jubah malah tampak kusam dibanding kulit tubuh Sang Buddha. Ananda berkata: "Sangat menakjubkan, benar-benar mengagumkan, betapa bersih dan bersinar kulit Yang Mulia! Tampak lebih bersinar daripada jubah keemasan yang dikenakan-Nya." "Memang demikian, Ananda. Ada dua peristiwa, dimana kulit Sang Tathagata akan tampak bersih dan bersinar secara khusus. Apa dua peristiwa itu? Pada malam Dia mencapai Pencerahan Sempurna, dan pada malam Dia mencapai Nibbana Sempurna.29


 218. Segera setelah itu, rombongan Sang Buddha tiba di Kusinara, dimana mereka berhenti di suatu hutan kecil yang ditumbuhi pohon sal.

          Di situ Yang Mulia berkata pada Ananda: "Sediakan pembaringan untuk-Ku diantara dua pohon sal ini. Dengan kepala menghadap ke Utara. Saya capai dan berharap dapat berbaring.30

      Telah semakin jelas, bahwa Sang Buddha tidak dapat pergi lebih jauh lagi, dan telah dekat pada kematian. Ketika suku Malla dari Kusinara mendengar berita ini, mereka datang berkelompok ke hutan sal tersebut untuk menyampaikan hormat. Pada saat yang sama, seorang pertapa pengembara bernama Subhadda, yang sementara berada di Kusinara, mendengar bahwa Sang Buddha akan mangkat, diapun memutuskan untuk mengunjungi-Nya untuk bertanya beberapa pertanyaan yang dianggapnya penting. Ketika dia tiba di hutan sal tersebut, walau sulit mendekat karena kerumunan orang, dia akhirnya berhasil juga, namun disapa oleh Ananda dengan berkata: "Cukup, kawan Subhadda, jangan ganggu Tathagata, sebab Beliau sangat capai." Tapi ketika Sang Buddha mendengar ini, Beliau berkata:

          Cukup Ananda, jangan menghalangi Subhadda, biarkan dia mendekati Tathagata. Sebab apapun yang dia akan tanyakan, dia lakukan itu dengan tulus demi mencari pengetahuan, bukan untuk mengganggu Saya, dan jawaban Saya padanya akan cepat dia pahami.31

      Walau telah berada di ranjang kematian, Sang Buddha tetap mengajarkan Dhamma pada Subhadda, Subhadda pun mencapai Pencerahan. Dengan demikian Subhadda adalah murid Sang Buddha yang terakhir.
 219.

      Tidak lama setelah itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata terakhir-Nya pada siswa-siswa-Nya.

          Sekarang, para bhikkhu, Saya katakan pada engkau sekalian: Semua yang berprasyarat tidaklah kekal-berusahalah dengan sungguh-sungguh.
          (Vayadhamma sankhara. Appamadena sampadetha).32

      Setelah Sang Buddha mangkat, para murid yang belum menanggulangi nafsunya meratap dan mencabut rambutnya, memukul-mukulkan tangannya, terjatuh dan melempar-lemparkan badannya, meratap: "Terlalu cepat Mata Dunia berlalu."33

      Tapi mereka yang sudah bebas dari kemelakatan, tetap sadar dan menguasai diri, berkata: "Semua benda yang terbentuk dan merupakan gabungan tidaklah kekal, jadi apa gunanya bersedih?" Bhikkhu Anuruddha berkata: "Sahabat-sahabat, cukup tangis dan ratap itu! Apakah Yang Mulia belum cukup mengajarkan bahwa semua yang menyenangkan dan menggembirakan akan berubah, akan berurai dan menjadi sesuatu yang lain? Jadi mengapa berkelakuan seperti itu, para sahabat? Semua yang terlahir, datang dan tergabung, akan lapuk; tidak akan terjadi hal yang lain dari itu."34

      Lalu sepanjang malam itu bhikkhu melewatkan waktu dengan membahas Dhamma, dan pada pagi harinya Ananda mengumumkan kemangkatan Sang Buddha pada suku Malla di Kusinara. Begitu mereka mendengar berita ini, mereka terliputi kesedihan serta mulai meratap tersedu-sedu. Mereka kemudian berdatangan membawa dupa dan bunga, memainkan musik untuk menghormati Sang Buddha. Pada hari ke enam upacara kremasi dilaksanakan. Setelah upacara kremasi, utusan dari Raja Ajasattu, suku Licchavi dari Vesali, keluarga-keluarga Sang Buddha sendiri dari suku Sakya, suku Bulaya, suku Koliya, dan Brahmin Vethadipa yang sangat dihormati serta suku Malla dari Pava, semuanya tiba dan mohon dibagikan abu dari jenasah Sang Buddha untuk mereka letakkan dalam stupa, untuk penghormatan. Namun suku Malla dari Kusinara tidak menyetujui permintaan itu. Akhirnya Brahmin Dona mengangkat suara:

          Dengarkan, tuan-tuan, saranku ini.
          Kesabaran adalah salah satu ajaran Sang Buddha.
          Sangatlah tidak pantas terjadi suatu percekcokan.
          Dikarenakan pembagian abu jazad dari Orang yang terbaik ini.
          Hendaknya timbul kedamaian dan keselarasan
          Demi persahabatan, marilah kita membaginya dalam delapan bagian,
          Dan dibangunkan stupa tersendiri dan besar,
          Sehingga semua dapat melihat dan bangkit dalam keyakinan.35

      Semua akhirnya menyetujuinya dan meminta agar Dona yang membaginya dalam delapan bagian. Atas jasanya, dia lalu menerima kendi, tempat abu sebelumnya dikumpulkan. Setelah semua selesai, suku Moriya dari Pipphalavana tiba, mereka terlambat mendengar berita kemangkatan Sang Buddha, namun mereka pun berharap mendapatkan abu jenazah Sang Buddha. Karena tiada lagi abu yang tersisa, mereka hanya mengambil abu bekas kayu bakar dari perabuan. Sepuluh stupa kemudian dibangun untuk menyimpan relik-relik ini, dan inilah yang kemudian merupakan sepuluh stupa yang pertama; dalam perjalanan sejarah berabad-abad kemudian stupa-stupa dibangun dimana-mana sebagai penghormatan pada kebesaran Sang Buddha.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #34 on: 30 November 2008, 06:53:04 AM »
LEGENDA SANG BUDDHA

 220.      Legenda senantiasa tumbuh dan berkembang diantara orang-orang besar, malah terkadang orangnya sendiri masih hidup. Kata-kata yang tidak pernah dia ucapkan dan tindakan-tindakan yang tidak pernah dia lakukan, sering dihubungkan dengan dirinya. Walaupun legenda ini mungkin tidak benar dalam arti tidak pernah terjadi, tapi mungkin benar dalam arti melambangkan nilai-nilai dari orang yang diceritakan. Socrates, mungkin tidak pernah berkata 'ketahui olehmu sendiri' tapi pernyataan itu mewakili seluruh kehidupan dan falsafahnya dengan sempurna. Oleh karenanya perdebatan tentang apakah seseorang berkata demikian atau tidak, bisa menghilangkan makna sesungguhnya dari pandangannya. Hal yang serupa terjadi pada diri Sang Buddha. Disamping sejarah hidup-Nya, tumbuh pula banyak cerita legenda, yang bernilai simbolik dan pendidikan. Sang Buddha telah menyadari akan timbulnya legenda mengenai diri-Nya, Beliau telah memperingatkan Siswa-siswa-Nya agar membedakan kenyataan dan legenda; dan dengan demikian, menurut Beliau, akan menuntun ke pengertian sebenarnya dari ke dua nilai itu.

          Ada dua macam orang yang salah menanggapi Tathagata. Apa dua itu? Dia yang menanggapi khotbah dari makna yang tidak langsung sebagai khotbah dari makna yang langsung, dan dia yang menanggapi khotbah dari makna langsung sebagai khotbah dari makna yang tidak langsung.1

      Suatu khotbah dari makna langsung (nitattha) adalah yang diucapkan tepat seperti maknanya dengan arti yang jelas, sedangkan khotbah dari makna yang tidak langsung (neyyattha) adalah yang menggunakan mitos, lambang dan kiasan untuk melukiskan maksud yang maknanya harus ditafsirkan. Khotbah dari makna langsung ditujukan pada batin yang sudah sadar, khotbah dari makna tidak langsung ditujukan pada batin yang tidak sadar. Dibagian-bagian terdahulu kita telah menelusuri sejarah kehidupan Sang Buddha; sekarang marilah kita lihat sisi legendaris, cerita-cerita dengan makna tidak langsung, dan mempelajari arti dan nilai simbolik dan pendidikan yang terkandung di dalamnya.

      Banyak diantara kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Sang Buddha dibumbui legenda yang bermaksud untuk mempertegas dan mengambil makna yang lebih mendalam dari kejadian itu. Akan kita lihat dua legenda dari setiap kejadian dalam kelahiran-Nya, Pencerahan dan Nibbana-akhir (Parinibbana/kemangkatan) Buddha.


 221. Khotbah Nilai-nilai Indah dan Mempesonakan (Acchariyabbhutadhamma Sutta) bercerita bahwa ketika Pangeran Siddhattha dilahirkan, Dia melangkah tujuh langkah, dan setelah melihat ke empat penjuru, berkata: "Sayalah pemimpin dunia ini; Sayalah yang terbaik di dunia ini; Sayalah tertua di dunia ini." Lalu atas pengaruh tradisi yang berkembang, kemudian ditambahkan, bahwa dari setiap jejak kaki Sang Pangeran tumbuh bunga teratai indah. Mudah dimengerti, bahwa cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha:

          Ketika Sang Bodhisatta muncul dari rahim ibunya, cahaya yang sangat terang melebihi cahaya para dewa bersinar ke bumi. Dan pada daerah kegelapan yang hitam, kelam diantara bimasakti-bimasakti, dimana cahaya bulan dan matahari sekalipun, walau demikian perkasa dan anggunnya, tak dapat mencapainya, namun disitu cahaya itu bersinar dengan terangnya. Para makhluk-makhluk yang tinggal menetap di daerah itu, terhentak satu sama lain karena cahaya itu, dan mereka berkata: "Lihatlah, tampaknya ada makhluk lain yang juga tinggal disini."2

      Sering agama Buddha dipandang oleh berbagai pihak sebagai jalan yang harus ditemukan sendiri, tanpa memandang segi kemanusiaan seutuhnya. Namun melalui kiasan seperti diatas, kita peringatkan bahwa cahaya kebijaksanaan Sang Buddha hendaknya tidak menjadikan kita memakluminya sendiri tapi juga menyadari kehadiran orang lain, segi manusiawi yang kita sama-sama miliki.


 222. Salah satu kejadian yang juga termahsyur adalah apa yang disebut sebagai Godaan Mara. Kejadian ini banyak diabadikan dalam batu prasasti dan dilukiskan dalam prosa dan syair. Khotbah Perjuangan (Padhana Sutta) menceritakan kejadian seperti ini:

          Saya sedang tinggal di tepi Sungai Nerañjra, berusaha sekuat mungkin, melaksanakan tapa meditasi dengan seluruh tenaga Saya, berusaha mencapai kebebasan dari perhambaan.

          Lalu Mara mendekati Saya, dan dengan berpura-pura mengasihani, berkata: "Engkau demikian kurus dan pucat. Tampaknya kamu sudah dekat pada kematian."

          "Seribu banding satu, Engkau akan mati; kematian akan tiba. Hiduplah, Tuan yang baik, hiduplah! Engkau akan dapat mengumpulkan jasa bila tetap hidup."

          "Engkau dapat tetap memimpin kehidupan agamis, memuja dewa api, apa yang akan memberi-Mu jasa. Oleh karenanya buat apa bersusah payah?"

          "Jalan yang susah dan menantang adalah berat, menjemukan dan penuh kesulitan." Demikian dikatakan Mara, yang berdiri disamping Sang Tuan.

          Lalu Sang Tuan menjawab Mara: "Mengapa engkau datang kesini, oh, si-jahat, benih kemalasan?"

          "Saya tidak memerlukan jasa, oh Mara. Jadi, bicaralah tentang jasa hanya pada yang membutuhkannya.

          "Saya punya keyakinan, kemauan dan kebijaksanaan, dan oleh karenanya Saya menerapkannya sendiri. Jadi, mengapa mempertanyakan kehidupan-Ku?

          "Yang pertama dari bala tentaramu adalah nafsu, ke dua adalah keenggangan. Ke tiga adalah lapar dan haus, dan ke empat adalah kemelekatan.

          "Ke lima adalah kelambanan dan kemalasan, dan keenam adalah ketakutan. Ke tujuh adalah keraguan dan ke delapan adalah ketidakjujuran pada diri sendiri serta keras-kepala.

          "Juga hadir keinginan pada keuntungan-keuntungan, penghormatan dan kemahsyuran yang diperoleh dengan cara yang salah, bersama pengagungan diri-sendiri dan pengremehan orang-lain.

          "Semua ini, oh Mara, adalah kekuatanmu, bala tentara dari kejahatan. Seorang yang bukan pahlawan, tidak akan memerangi mereka untuk mencapai kebahagiaan.

          "Saya bisa melihat pasukan-pasukan disekeliling Saya, dipimpin Mara diatas gajahnya, dan Saya akan memeranginya.

          "Walau seluruh dunia termasuk para dewa tidak dapat mengalahkan pasukanmu, Saya akan menghancurkannya dengan kebijaksanaan, bagaikan batu yang dilempar pada kendi tanah-liat yang belum dibakar.

          "Dengan pikiran terlatih dan kemawasan yang berpijak kokoh, Saya akan berjalan dari kerajaan ke kerajaan, melatih banyak murid-murid.

          "Mereka berwaspada dan bergairah dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Ku dan bertentangan dengan kehendakmu; mereka akan mencapai yang mesti tercapai, mereka akan bebas dari penyesalan.

          Dan Mara berkata: "Saya telah mengikuti Tuan selama tujuh tahun. Saya mengamati setiap langkah-Nya, dan tidak sekalipun saya berhasil mempengaruhi-Nya, Dia yang Tercerahi sempurna dan penuh kesadaran."3

      Arti dari legenda ini sangat jelas. Mara (kematian) dan pasukannya adalah personifikasi atau lambang nafsu-keinginan dan emosi negatif yang merintangi seseorang yang belum membebaskan batinnya. Bila seorang berusaha memurnikan batinnya, kotoran batin akan tampak seperti bala-tentara yang akan menyerang, dan oleh karenanya dia harus berjuang melawannya. Seperti yang digambarkan dalam cerita diatas, seseorang mengalahkan kotoran-batin, tidak dengan kekuatan fisik/badaniah tapi dengan kewaspadaan dan pengertian.

 223. Legenda lain yang menyangkut Pencerahan-sempurna adalah seperti yang dikisahkan dalam Khotbah Pencarian Agung (Ariyapariyesana Sutta). Dikatakan bahwa setelah Pencerahan, Sang Buddha bimbang, apakah akan mengajar apa yang telah ditemukannya atau tidak, sebab Beliau menyadari betapa sedikit manusia yang bisa memahami ajaran-Nya. Tiba-tiba, Brahma Sahampati muncul didepan-Nya, menundukkan kepala, dan berkata kepada-Nya:

          Pernah muncul di Magadha sebelum Engkau,
          Dhamma yang tak jelas dipikirkan oleh batin-batin yang tidak murni.
          Karenanya bukalah pintu keabadian,
          Agar semuanya dapat mendengarkan Dhamma
          Yang diwujudkan oleh Yang Murni.

          Seperti seorang berdiri di puncak gunung,
          Memandang orang-orang yang ada di bawah lembah,
          Demikian pula, oh, Yang bijaksana.
          Mendaki bukit kebenaran dan bebas dari kesedihan
          Lihatlah mereka yang ada dibawah
          Terjebak kesedihan, kelahiran dan umur-tua

          Oleh karenanya bangkitlah Pahlawan, Pemenang perang
          Engkau adalah pemimpin kalifah
          Tanpa beban, pergi lebih jauh ke dunia ini
          Ajarkanlah Dhamma, Yang Terbekahi
          Mereka yang mempelajarinya akan bertumbuh.4

      Setelah mempertimbangkan imbauan Brahma Sahampati, Sang Buddha meneliti keseluruhan dunia.

          Seperti yang telah Saya teliti di dunia ini dengan mata Buddha, Saya melihat makhluk-makhluk yang sedikit debu di matanya, yang banyak debu dimatanya, yang indranya tajam, yang indranya tumpul, berwatak baik, berwatak buruk, bersifat pasif, bersifat aktif. Ibarat kolam berisi teratai biru, merah atau putih, dengan teratai yang masih bertunas dalam air, sedang tumbuh dalam air, masih belum muncul di permukaan air.5

      Setelah menilai kembali daya-pikir manusia untuk mengerti Dhamma, dan melihat bahwa sebagian dari manusia akan dapat memahaminya, Sang Buddha memutuskan untuk mengajarkannya. Dia mempermaklumkan pada Brahma Sahampati dan dunia:

          Pintu-pintu keabadian sekarang terbuka
          Hendaknya mereka yang dapat mendengar,
          Memanfaatkan dengan keyakinan.6

      Istilah 'brahma' sebenarnya berarti 'tertinggi', dan tentunya memang cinta-kasih (metta) dan welas-asih (karuna) adalah dua nilai yang luhur dari keluhuran tertinggi (brahma vihara) (lihat 158). Jadi, Brahma Sahampati adalah perlambang cinta-kasih dan welas-asih. Cinta-kasih dan welas-asih lah yang menyebabkan Sang Buddha memutuskan untuk mengajar Dhamma yang telah ditemukan-Nya.


 224. Dua legenda terakhir yang akan kita teliti, menyangkut hari-hari terakhir Sang Buddha, yang bermaksud menggarisbawahi beberapa hal yang penting. Legenda yang pertama adalah sarana pengingat kiasan-kiasan yang sering ada di dalam Tipitaka. Kiasan itu adalah tentang Penyeberangan Arus. Samsara sering diibaratkan sebagai sungai yang berbahaya arusnya. Nibbana adalah tepi yang aman diseberang sana, dan mereka yang telah Tercerahi adalah mereka yang berhasil menyeberangi sungai itu. Legenda itu ditemukan dalam Khotbah Nibbana-akhir nan Agung (Mahaparinibbana Sutta), disebutkan bahwa khotbah ini disampaikan beberapa bulan sebelum Nibbana-akhir (kemangkatan Sang Buddha).

      Sang Buddha pergi ke sungai Gangga yang pada waktu itu sedang meluap sehingga burung gagak dapat minum darinya. Beberapa orang sedang mencari perahu, beberapa lainnya mencari rakit, beberapa lainnya mengikat bambu untuk membuat rakit; agar dapat menyeberangi sungai itu. Tetapi semudah seorang yang kuat meluruskan lengannya dan membengkokkannya lagi, Sang Buddha menghilang di tepi sini dan muncul diseberang sana. Seraya memandang mereka yang sedang mencari bambu dan rakit, Sang Buddha mengucapkan syair ini:

          Bila ingin menyeberangi laut, sungai atau danau,
          Orang-orang membuat jembatan atau rakit,
          Tetapi Yang Bijaksana telah berhasil menyeberang.7


 225. Legenda yang ke dua sangat istimewa karena indah dan sangat bermakna. Terjadi ketika Sang Buddha berbaring di antara dua pohon sal, sesaat sebelum Nibbana-akhir-Nya.

          Dan Sang Tuan berkata: "Ananda, siapkan pembaringan menghadap ke arah ini di antara dua pohon sal, saya merasa kurang nyaman dan ingin berbaring." Ananda lalu melakukannya, Sang Buddha kemudian berbaring diatas sisi kanan-Nya, satu kaki bersandar diatas lainnya, seperti posisi singa, sambil tetap mawas diri dan sadar. Lalu, tiba-tiba kedua pohon sal itu berbunga, walau bukan musimnya dan bunga-bunga berjatuhan sebagai penghormatan pada Tathagata, disertai terdengarnya nyanyian dan musik surgawi, semuanya untuk menghormati Tathagata. Lalu Sang Buddha menoleh kepada Ananda dan berkata: "Lihatlah berkembangnya pohon sal dan bunga-bunga surgawi, bubuk cendana, nyanyian dan musik. Tapi, ini bukanlah cara untuk menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Tapi, para bhikkhu, bhikkhuni, serta umat awam yang tenang dalam Dhamma, merekalah yang menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Oleh karenanya, laksanakanlah Dhamma. Inilah hendaknya cara engkau melatih dirimu sendiri."8

      Baik selama Sang Buddha masih hidup maupun berabad-abad setelah Nibbana-akhir-Nya, orang-orang menunjukkan rasa hormatnya dengan mempersembahkan bunga, dan kadang-kadang diselingi dengan pelaksanaan upacara-upacara yang rumit dan megah. Walau hal ini mamang bermaksud baik, tapi kadang-kadang penampilan luar seperti itu menyebabkan kita melupakan bahwa perubahan di dalam batin adalah jauh lebih penting. Orang-orang mungkin tidak pernah melupakan melepas sandal atau sepatunya sebelum memasuki ruangan vihara, namun melupakan bahwa kita hendaknya bertutur-kata dengan jujur. Seorang Buddhis tradisional mungkin mencibirkan bibir pada orang yang memegang dupa dengan cara yang tidak tepat, atau pada orang yang menyembah dengan cara yang salah atau pada mereka yang membacakan paritta dengan suara sumbang dan pengucapan yang salah; tapi dia sendiri tidak dermawan dalam uangnya atau jauh dari kejujuran dalam berdagang. Cerita diatas, yang juga dari Khotbah Nibbana-akhir nan Agung (Mahaparinibbana Sutta), adalah sarana untuk mengingatkan kita, bahwa persembahan atau upacara hebat bagaimanapaun tidaklah lebih penting dibanding dengan pelaksanaan Dhamma dengan tepat, dan bahwa cara penghormatan tertinggi yang dapat kita berikan pada Sang Buddha adalah dengan melaksanakan ajaran-Nya.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #35 on: 30 November 2008, 06:55:04 AM »
Sumber - Sumber

 226. Semua agama memiliki kumpulan naskah suci, buku atau buku-buku yang dipercayai memiliki kewenangan dan yang menjadi dasar kepercayaan. Pada umumnya dinyatakan, bahwa naskah itu berdasarkan wahyu (anussava), yang adalah kata-kata dari Tuhan atau Dewa dari masing-masing agama dan oleh karenanya dianggap sempurna dan memiliki kekuasaan penuh. Sang Buddha mengajarkan, bahwa agama yang didasarkan pada naskah-naskah berdasar wahyu tidaklah cukup (anassasikam)1, karena beberapa alasan.

 227. Masalah pertama dari wahyu adalah ada demikian banyak agama, semuanya menyatakan naskah-suci mereka adalah kata-kata dari Tuhan, tetapi semua naskah berisi ajaran dan pemahaman yang berbeda. Tentu saja, tidaklah mungkin, bahwa semuanya adalah wahyu yang sejati dan masalahnya ialah kita tidak memiliki metode untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Masalah ke dua dari wahyu adalah adanya kecenderungan bersikap terlalu "membuku", semuanya dirujuk ke buku. Mereka yang kepercayaannya disandarkan pada yang disebut naskah berdasar wahyu cenderung menghabiskan waktu memperdebatkannya kata demi kata, ayat demi ayat, sebab semua naskah dapat ditafsirkan bermacam-macam, mereka terlibat dalam perdebatan tentang 'yang mana adalah' dan 'yang mana bukanlah' tafsiran yang benar. Agama-agama berdasarkan wahyu cenderung terlalu memperhatikan buku-buku, sehingga mengabaikan penelitian oleh diri sendiri yang cermat dan pada pertumbuhan nilai spiritual sejati. Masalah ke tiga yang membuat kita ragu pada pernyataan-pernyataan agama yang berdasar wahyu, adalah seperti yang diutarakan dengan sangat baik oleh Ananda. Beliau berkata:

          Beberapa guru, yang adalah penganut tradisi berpegang pada kebenaran wahyu dan mengajarkan hal-hal yang berdasarkan wahyu, berdasar apa yang telah diwariskan oleh kekuasaan kitab-suci. Sekarang, para guru itu mungkin mempunyai daya-ingat yang baik pada wahyu, mungkin juga mempunyai daya-ingat yang tidak baik pada wahyu; dan pada keadaan ini bisa benar dan bisa pula salah. Orang yang berakal-budi dengan merenungkan kenyataan ini, dan setelah merenungkannya, dia akan melihat bahwa agama seperti itu tidaklah memadai dan dengan demikian akan tidak tertarik dan meninggalkannya.2

      Walau "Tuhan" menyampaikan wahyu itu lewat nabi, juga tidak ada cara untuk dapat memastikan sepenuhnya, apakah nabi itu telah mendengarkan dan mengerti wahyu itu dengan tepat atau tidak. Walau didengarkan dan dimengerti dengan baik sekali pun, maka wahyu itu dapat saja tidak direkam dengan baik untuk pewarisannya kemudian. Dan memang pada kenyataannya, banyak naskah-naskah suci dari beberapa agama memiliki versi-versi yang berbeda dan beberapa bagian telah dikurangi atau ditambah, yang karenanya telah membuat kita ragu pada keasliannya.


 228. Agama Buddha tidak menghadapi masalah-masalah seperti ini, karena tidak ada pernyataan yang mengatakan bahwa naskah-naskah suci adalah wahyu. Sebaliknya, naskah agama Buddha adalah penyampaian seorang manusia, yakni Sang Buddha, juga direkam oleh manusia. Demi keselamatan, penganut agama lain mampercayai segala sesuatu yang ada di naskah-suci, sedangkan seorang Buddhis harus mengerti dan memahaminya sendiri, naskah-suci hanyalah sarana untuk melaksanakan hal ini. Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam salah satu khotbah-Nya yang sangat terkenal, Khotbah pada suku Kalama (Kalama Sutta):

          Janganlah bertindak hanya atas dasar kekuasaan kitab-suci (pitaka sampada) .... tapi bila engkau mengetahui sendiri: "Hal-hal ini adalah baik, hal-hal ini tidak akan dipersalahkan, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilaksanakan serta diikuti, membawa kebajikan dan kebahagiaan," maka ikuti dan mantaplah dengannya.3

      Untuk agama lain, hal yang sangat penting adalah siapa yang mengucapkan naskah-suci itu, tapi bagi seorang Buddhis hal yang paling penting adalah apa yang diucapkan, dan apakah itu tepat dan berfaedah. Bila kita membaca sabda-sabda Sang Buddha, kita hendaknya membiarkan sabda-sabda itu menyarankan pemahaman bagi kita, kita merenungkan pemahamannya, mengerti dan membandingkannya dengan pengalaman sendiri.

 229. Pula, umat Buddha tidak menyatakan kebenaran mutlak dari naskah-suci mereka dan memandang kitab-suci yang lain sebagai hal yang berbahaya. Seorang Buddhis dengan gembira dapat mengetahui nilai spiritual dari literatur suci lain dan darinya dapat menambah wawasannya sebab perhatian utama umat Buddha tidak pada pertahanan dan memperteguh dogma, tapi mengetahui kebenaran.

      Walau demikan, nasehat dan petunjuk yang disampaikan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha dan kebijaksanaan yang dikandungnya, hendaknya diberi penghormatan yang layak. Sering sebelum menyampaikan suatu khotbah, Beliau berkata pada orang yang berkumpul untuk mendengarkan-Nya:

          Dengarkan baik-baik, perhatikanlah dan Saya akan berbicara.4

      Demikian pula hendaknya kita pada saat ini bila membaca khotbah-khotbah Beliau, penuh perhatian dan bersikap terbuka. Sang Buddha mendorong agar semua murid-Nya terbiasa dengan ajaran-Nya. Beliau berkata:

          Beginilah hendaknya engkau melatih dirimu: Khotbah-khotbah yang diajarkan oleh Yang Mulia - dalam, mendasar, amat luhur - dari waktu ke waktu, kita akan melewatkan hari-hari kita untuk mempelajarinya." Dengan cara inilah hendaknya engkau melatih dirimu.5



 230. Dimasa-masa awal agama Buddha, seperti diketahui belum ada buku, khotbah-khotbah Sang Buddha dihafal sampai mengendap dalam ingatan. Untuk melakukan hal ini, seseorang duduk di dekat seorang yang menguasainya dan mendengarkannya dengan penuh perhatian secara berulang-ulang. Oleh karenanya, mereka yang mengetahui khotbah-khotbah sering disebut sebagai yang 'banyak mendengar' (bahusuta). Pada zaman ini, kata tadi mungkin maknanya sama dengan 'pembaca yang baik'. Sekarang khotbah-khotbah Sang Buddha telah tersebar dimana-mana dalam bentuk cetakan, dan tentunya tidak perlu lagi dihafalkan seperti dahulu kala. Namun demikian, akan bermanfaat untuk mengetahui beberapa bagian atau ayat yang penting di dalam hati, agar kebijaksanaan atau petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dibangkitkan setiap saat. Beberapa orang dengan mudah dapat mengutip demikian banyak bagian kitab-suci, namun tindakannya bertolak belakang dengan apa yang dikutipnya itu. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa pengetahuan teoritis dan menghafal kitab-suci adalah sesuatu yang tidak berharga, bila tidak di latar belakangi dengan usaha untuk berubah, tumbuh dan sadar. Beliau berkata:

          Bila seseorang banyak menghafal naskah-naskah suci,
          Tapi tidak bertindak sesuai dengannya,
          Orang yang demikian adalah bagaikan pengembala sapi
          Yang menghitung sapi milik orang lain.
          Dia tidak mengambil bagian dalam berkah kehidupan suci.6

      Suatu peta yang digambar oleh seorang yang telah pernah mengunjungi suatu tempat yang akan pula kita datangi adalah suatu yang berharga. Seorang yang bijaksana akan menggunakan peta itu walau orang-orang lain hanya berbicara tentangnya tanpa bersama menuju ke tujuan itu. Demikian pula, walau orang-orang lain cukup puas dengan mengetahui naskah Buddhis tanpa menerapkannya, namun hendaknya tidak mencegah kita untuk mempelajari dan kemudian dengan hati-hati menjalani Jalan. Seperti dikatakan Aryasura:

          Naskah suci dalah cahaya yang menghalau kegelapan dari kegelapan-batin; kekayaan yang tak dapat dicuri; senjata yang mengalahkan musuh yang bernama 'nafsu-keinginan'; penasehat terbaik bagi seorang untuk bertindak; teman yang tabah dalam keadaan yang sulit, obat yang tidak menyakitkan bagi penyakit yang diderita; prajurit perkasa yang kuat untuk mengalahkan pasukan kejahatan; harta tertinggi dari kemenangan dan kebahagiaan.7
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #36 on: 30 November 2008, 06:55:43 AM »
MASA AWAL KEPUSTAKAAN BUDDHIS

 231. Selama empat puluh tahun masa mengajar, Sang Buddha telah menyampaikan ribuan khotbah dengan berbagai metoda mengajar. Kadang-kadang Beliau hanya menyampaikan pembicaraan sederhana, lalu mungkin merangkum kambali topik utamanya dalam bentuk ayat-ayat, kadang-kadang pula Beliau bertanya-jawab, menggunakan pepatah, persamaan dan perumpamaan untuk memperjelasnya. Khotbah-khotbah, pepatah-pepatah dan ayat-ayat diingat secara rinci oleh orang yang mendengarkannya langsung, lalu meneruskannya pada orang lain. Dapat dipahami bahwa sampai akhir pengabdian Sang Buddha, beredar sangat banyak pelajaran-pelajaran lisan. Walau orang telah tahu menulis pada masa itu, namun tidak ada usaha untuk menjadikannya tertulis, sebab masyarakat India kuno pada masa itu menganggap ingatan lebih dapat dipercaya daripada pena seorang penulis dan ingatan jelas lebih dapat bertahan lebih lama di kepala seseorang dibanding lembaran-lembaran daun (yang ditulisi diatasnya). Memang, pada kenyataannya masa itu masyarakat India kuno telah mengembangkan dan menyempurnakan teknik untuk mengabdikan literatur di dalam ingatan mereka secara luar biasa.

 232. Sewaktu Sang Buddha mencapai Nibbana-akhir di Kusinara, salah seorang murid senior Beliau, Maha Kassapa, dan sekelompok bhikkhu sedang dalam perjalanan menuju Kusinara untuk menjumpai Sang Buddha, namun mereka belum mendengar berita kemangkatan Guru mereka. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang pertapa pengembara yang kemudian menyampaikan berita kemangkatan Sang Buddha yang telah beberapa hari sebelumnya. Begitu mendengar berita ini, beberapa bhikkhu mulai meratap sedih, tapi salah seorang dari mereka, Subhadda, yang menjadi bhikkhu pada usianya yang sudah lanjut, malah berkata:

          Sudahlah, kawan-kawan, tidak usah meratap atau menangis! Kita sebenarnya beruntung telah terlepas dari Pertapa Agung itu. Dia selalu saja menjemukan kita dengan berkata: "Adalah baik bila engkau berbuat begini atau adalah baik bila engkau tidak berbuat begitu!" Sekarang kita dapat berbuat atau tidak berbuat, sesuka hati kita.1

      Maha Kassapa kemudian menyadari bahwa andaikata banyak bhikkhu seperti Subhadda, ketidaksesuaian paham mengenai Dhamma akan segera muncul. Oleh karenanya diputuskan bahwa tiga bulan kemudian, pertemuan besar akan dilaksanakan. Lima ratus Arahat berkumpul untuk mendiskusikan ajaran Sang Buddha, menyusunnya, dan mengulanginya dan memantapkannya masing-masing dalam ingatan mereka. Pertemuan besar ini dilaksanakan di Gua Sattapanni di Rajagaha, pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Pertama. Sewaktu konsili bersidang, Maha Kassapa menyambut lima ratus Arahat itu, dengan berkata:

          Marilah, Para Yang Mulia, kita mengulangi Dhamma dan Tata-tertib (vinaya), sebelum apa yang bukan Dhamma berkembang dan apa yang Dhamma malah tertutup, sebelum apa yang bukan Tata-tertib berkembang dan apa yang Tata-tertib tertutup, sebelum mereka yang berucapkan bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang berucapkan bukan Tata-tertib menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Tata-tertib menjadi lemah.2

      Sidang menunjuk Upali untuk mengulangi peraturan-peraturan untuk para bhikkhu dan bhikkhuni sebab dia memang ahli dalam bidang (Vinaya) itu, dan Ananda dipilih untuk mengulangi khotbah-khotbah, sebab dia lah yang menjadi pendamping dan senantiasa menyertai Sang Buddha selama dua puluh tahun, dia mendengarkan khotbah lebih sering dari yang lainnya. Sebagian dari diskusi diambil dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan Maha Kassapa kepada Ananda:

          "Dimanakan, Ananda yang terhormat, Brahmajala Sutta diucapkan?"
          "Tuan yang terhormat, diantara Rajagaha dan Nalanda di rumah peristirahatan agung di Ambalatthika."
          "Kepada siapa?"
          "Suppiya si-pengembara dan Brahmadatta si-Brahmin muda."
          Lalu, Maha Kassapa menanyakan Ananda tentang tema dan perincian Samaññaphala Sutta.
          "Dimanakah, Ananda yang terhormat, Samaññaphala Sutta diucapkan?"
          "Di Rajagaha, di kebun mangga kepunyaan Jivaka."
          "Kepada siapa?"
          "Kepada Ajatasattu, putra dari ibunda Videhan."3

      Dengan cara ini pula Maha Kassapa bertanya tentang Lima Nikaya, dan setiap pertanyaan dapat terjawab oleh Ananda. Ananda selalu mengawali menjawab pertanyaan tentang setiap khotbah dengan berkata: "Sesuai yang saya dengar" (evam me sutam), yang berarti "Inilah yang saya ingat pernah dengarkan", oleh karenanya hampir setiap khotbah diawali dengan kata-kata tersebut.


 233. Dalam beberapa abad kemudian, Dhamma masih tetap dihafalkan dengan berhati-hati, diingat dan diteruskan pada yang lainnya. Walau ini adalah kewajiban yang biasanya dilakukan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni, tapi terdapat banyak bukti bahwa para umat awam laki-laki dan wanita, juga banyak mengetahui Dhamma di dalam hati dan memainkan peran dalam penerusannya. Didalam naskah-naskah, kita membaca seorang wanita menghafal bagian dari Samyutta Nikaya.4 Didalam catatan-catatan lama lainnya, diabad ke tiga sebelum Masehi, nama-nama beberapa umat awam biasa disebut-sebut bersama julukan mereka, antara lain 'penghafal Dhamma' (dhammakathika), 'yang mengetahui keranjang' (petakin), 'yang mengetahui khotbah-khotbah' (sutantika) dan 'yang mengetahui Lima Kumpulan' (pañcanekayika). Kira-kira seratus tahun sesudah Sang Buddha, dilaksanakan lagi suatu Konsili Ke dua, yang dihadiri sekitar tujuh ratus bhikkhu-bhikkhu pemimpin, semula mereka membicarakan beberapa pertentangan paham menyangkut tata-tertib kehidupan vihara, setelah bagian ini selesai, mereka menghafal Dhamma bersama. Pertemuan ini berlangsung di Vesali. Lalu kira-kira 230 tahun sesudah Sang Buddha, Raja Asoka melaksanakan Konsili ke tiga di ibu kota kerajaannya di Pataliputta, dan sekali lagi Dhamma secara keseluruhan dihafalkan bersama. Kemungkinan pada konsili inilah diputuskan untuk memasukkan buku Abhidhamma sebagai bagian ke tiga dari Kitab suci Buddhis. Juga kemungkinan untuk pertama kalinya disepakati untuk mengabadikan Dhamma dalam bentuk tertulis, walau tidak ada rekaman bahwa ini dilakukan sebelum tahun 50 Sebelum Masehi di Sri Lanka, dimana agama Buddha telah menyebar disana pada waktu itu. Sejak masa itu, kitab suci Buddhis tertulis di kitab-kitab yang dibuat dari daun palma, kulit kayu, sutra, dan terakhir seperti zaman kita ini, diatas kertas. Jadi kata-kata Sang Buddha benar adalah "indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya", dan dengan sangat hati-hati diwariskan pada kita.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #37 on: 30 November 2008, 06:56:29 AM »
TIPITAKA

 234. Sekarang marilah kita mengenal susunan dari kitab-suci Buddhis Tipitaka. Istilah 'pitaka' berarti 'keranjang', istilah yang dipakai, sebab bagaikan para pekerja di zaman India kuno meneruskan keranjang tanah dari kepala seseorang ke kepala rekannya, Dhamma juga diteruskan dari ingatan seorang guru ke ingatan muridnya. Awalan 'ti' berarti 'tiga', dengan demikian Tipitaka berarti Tiga Keranjang. Tiga Keranjang tersebut, adalah - Sutta Pitaka - keranjang dari khotbah-khotbah, Vinaya Pitaka - keranjang dari peraturan (disiplin), dan Abhidhamma Pitaka - keranjang analisa (uraian). Istilah 'Sutta' sebenarnya berarti 'benang', khotbah-khotbah Sang Buddha disebut demikian, karena setiap darinya memiliki 'benang arti' atau 'untaian argumentasi'.

 235. Sutta Pitaka dibagi atas lima kumpulan atau koleksi (nikaya). Yang pertama, Digha Nikaya - kumpulan dari Khotbah-khotbah Panjang - terdiri atas 34 khotbah-khotbah yang, seperti terlukis dinamanya, adalah khotbah-khotbah yang sangat panjang. Yang ke dua, Majjhima Nikaya - Kumpulan dari Khotbah-khotbah Setengah-Panjang - terdiri atas 150 khotbah-khotbah yang juga seperti namanya, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Yang ke tiga adalah Samyutta Nikaya - Kumpulan khotbah-khotbah Yang-berhubungan - didalamnya 7562 khotbah-khotbah dikelompokkan sesuai obyeknya. Yang ke empat adalah Anguttara Nikaya - Kumpulan Khotbah Bertahap. 'Anguttara' berarti 'selesai dalam satu', sebab 9557 khotbah-khotbah dalam kumpulan ini dikelompokkan dalam satu urutan dari satu sampai sebelas. Lima Nikaya yang terakhir adalah Khuddaka Nikaya - Kumpulan Campuran - yang terdiri dari 15 hasil karya yang agak terpisah, yang karena perbedaannya, tidak dapat digabung dalam salah satu dalam empat Nikaya yang lainnya. Kita akan meninjau secara singkat beberapa yang penting-penting dari kumpulan ini. Dhammapada, tidak diragukan adalah karya dalam Tipitaka yang paling populer dan termahsyur. Ini merupakan kumpulan dari 423 ayat (gatha) diucapkan oleh Sang Buddha pada waktu yang berbeda-beda, disusun dalam 23 bab tergantung dari pokok bahasannya. Dhammapada merupakan bagian kitab-suci Buddhis yang paling banyak diterjemahkan dibanding bagian yang lainnya. Udana - Ayat-ayat Peningkatan (atau melegakan) - sesuai namanya merupakan kenyataan bahwa setiap bagian dari 80 khotbah, isinya diselesaikan dalam satu atau lebih ayat yang memberi peningkatan atau semangat (udana). Yang sangat mirip dengan Udana adalah Itivuttaka - Seperti Dikatakan - yang terdiri atas 112 khotbah, yang juga dirangkum pada bagian akhir dalam satu atau beberapa ayat.

 236. Sutta Nipata - Kumpulan Khotbah - terdiri atas 55 khotbah dalam bentuk sajak, yang keseluruhannya berjumlah 1149 ayat. Mangala Sutta, Metta Sutta dan beberapa khotbah yang populer lainnya ditemukan dalam karya ini. Karena semua khotbah-khotbah ini diucapkan pada masa-masa awal Sang Buddha mengajar, dan karena kebanyakan darinya dianggap jasa kesusasteraan, maka Sutta Nipata adalah salah satu buku-buku terpenting dalam Tipitaka. Dua hasil karya indah lainnya adalah Theragatha - Ayat-ayat para Bhikkhu, dan Therigatha - Ayat-ayat para Bhikkhuni, masing-masing terdiri atas 164 dan 72 sajak, ditulis oleh beberapa Siswa-siswa Sang Buddha. Beberapa sajak adalah riwayat-hidup sendiri (autobiografi), beberapa adalah pujian-pujian bagi Sang Buddha, yang lainnya merupakan pujian keberadaan dan kebahagiaan Pencerahan. Buku yang terbesar dalam Khuddaka Nikaya adalah Jataka - kisah kelahiran-kelahiran. Jataka terdiri atas 547 cerita, yang diambil dari hikayat atau cerita-cerita rakyat India kuno, lalu diberi warna Buddhis dengan menjadikan Sang Buddha (dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya) sebagai pahlawan dalam setiap cerita. Walau Jataka hanyalah legenda, tapi setiap dari cerita itu mempunyai nilai pengajaran moral yang tinggi. Pada kenyataannya, memang cerita Jataka digunakan selama berabad-abad sebagai teladan moral bagi rakyat jelata, kaum Buddhis yang sederhana dan lugu. Buku-buku di dalam Khuddaka Nikaya lainnya muncul belakangan setelah bagian Tipitaka yang lain dan tidak dianggap seberapa penting saat ini.

 237. Bagian ke dua yang besar dari Tipitaka adalah Vinaya Pitaka - Keranjang Tata-tertib - yang terdiri atas lima buku. Vinaya berisi peraturan-peraturan bagi bhikkhu dan bhikkhuni, tatacara kehidupan vihara, dan beberapa kejadian penting dalam kehidupan Sang Buddha yang berhubungan dengannya. Juga ada rekaman tentang sejarah atau masa-masa awal kehidupan masyarakat vihara, termasuk laporan-laporan dari Konsili Pertama dan Konsili Ke dua.

 238. Bagian ke tiga dan yang terakhir adalah Abhidhamma Pitaka - Keranjang Penguraian - yang terdiri atas tujuh buku. Salah satu dari buku ini, Kathavattu - Butir-butir Ketidaksesuaian/kontroversial - berisi masalah-masalah sekitar doktrin yang diperdebatkan dalam Konsili ke tiga, dan inilah buku terakhir yang digabung dengan Tipitaka. Buku-buku lain dari Abhidhamma terdiri atas daftar unsur-unsur batin dan benda, penyebab dan akibatnya, dan penguraian tipe-tipe kepribadian yang berbeda. Buku pertama dari Abhidhamma mungkin ditulis sekitar 150 tahun setelah kemangkatan Sang Buddha dan yang terakhir, yang adalah Kathavattu diatas, ditulis sekitar tahun 253 Sebelum Masehi. Dengan demikian, Abhidhamma Pitaka tidak dibacakan pada Konsili Pertama, tapi ditambahkan pada Tipitaka pada masa-masa belakangan. Berdasar asal-usulnya, gaya penyajiannya dan waktu dituliskannya, dapat disimpulkan bahwa Abhidhamma adalah bagiam Tipitaka yang paling kurang kepenadaannya. Vinaya, yang kita ketahui berhubungan dengan keberadaan bhikkhu dan bhikkhuni, dan Sutta Pitaka, yang adalah Dhamma dari kata-kata Sang Buddha sendiri; adalah bagian terpenting dari literatur Buddhis.

 239. Seperti apa yang dapat kita lihat diatas, Sutta Pitaka sangatlah padat dan panjang; sebagai gambaran dapat diutarakan, bahwa ternyata terjemahan bahasa Inggeris-nya terdiri atas lebih dari 30 jilid buku. Walau demikian, seperti diperhatikan pada khotbah-khotbah yang telah banyak dituliskan diatas, banyak diantaranya ditandai dengan pengulangan-pengulangan kata-kata, yang menyebabkan bertambah panjangnya khotbah-khotbah tersebut; hal demikian, dapat dipahami, terjadi sebagai usaha agar khotbah-khotbah mudah dihafalkan; jadi demi kepentingan pewarisan ajaran-ajaran itu dalam bentuk lisan, pada masa-masa sebelum khotbah-khotbah direkam dalam bentuk tulisan. Pula, khotbah-khotbah ada yang diulangi kata demi kata atau dalam bentuk yang sama pada dua tempat yang berbeda. Salah satu contoh adalah Satipatthana Sutta ada di dalam Digha Nikaya maupun di Majjhima Nikaya,1 pula hampir semua bagian Brahma Vagga dalam Dhammapada diulangi di Sutta Nipata.2 Hal yang juga dapat dipahami, karena Sutta Nipata berisi khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Siswa-siswa utama Sang Buddha.

 240. Tipitaka diwariskan dan akhirnya sampai pada kita dalam bahasa India kuno yang dikenal sebagai Magadhi, disebut demikian karena merupakan bahasa daerah dari kerajaan Magadha, bagian dari Kosala, dimana Sang Buddha paling banyak melewatkan masa hidup-Nya. Bahasa Magadhi kemudian dikenal sebagai bahasa Pali, yang berarti 'naskah', artinya bahasa dari naskah-naskah. Tidak semua cendekiawan sependapat bahwa Sang Buddha berbicara dalam bahasa Pali, tetapi bila tidak demikian, setidaknya bahasa tersebut adalah bahasa yang sangat mirip bahasa Pali. Filsuf besar Wilhelm Geiger berkata "bahasa Pali semestinya dipandang sebagai bahasa Magadhi, bahasa yang digunakan Sang Buddha dalam khotbah-khotbah-Nya."3 Professor Rhys Davids dalam pengantar buku kamus Pali-Inggeris karyanya, mengatakan: "Bahasa Pali di dalam buku-buku peraturan-peraturan adalah didasarkan pada bahasa daerah Kosala baku yang digunakan pada abad ke 6 dan ke 7 Sebelum Masehi ..... bahasa daerah ini adalah bahasa-ibu Sang Buddha."4 Kadang-kadang dipertanyakan penting tidaknya seseorang mengerti bahasa Pali agar dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada dua bhikkhu yang mengharapkan agar digunakan bahasa Sanskerta (chandaso) dalam kata-kata Sang Buddha, dengan alasan bahasa Sanskerta adalah bahasa mati, tidak berubah lagi dan dengan demikian diharapkan agar pemahaman kata-kata Sang Buddha tidak akan hilang. Sang Buddha menolak, dan berkata:

          Saya memperkenankan engkau, para bhikkhu, untuk mempelajari kata-kata Sang Buddha dalam bahasamu sendiri-sendiri.5

      Pesan-pesan kemanusiaan Sang Buddha berhubungan dengan pengalaman-pengalaman dan dapat dimengerti lewat pengalaman, tidak dengan melestarikan dalam bahasa. Tidak diragukan lagi, walau mungkin perlu memahami sedikit istilah Pali, tapi Sang Buddha menginginkan kita belajar Dhamma dalam bahasa kita sendiri, karena Beliau mengetahui bahwa itulah cara terbaik untuk mengerti dan untuk berkomunikasi satu sama lain.
 241. Adalah mudah untuk menemukan acuan dalam kitab-kitab suci, karena biasanya kitab-kitab suci telah terbagi dengan baik atas bab-bab dan kemudian terbagi lagi atas ayat-ayat. Namun disebabkan karena ukuran dan sebaran yang luas dari Tipitaka, maka masih perlu dipikirkan suatu sistim acuan yang terbaik bagi Tipitaka. Saat ini, mungkin sistim acuan yang baik dan paling banyak digunakan adalah seperti yang dipergunakan dalam edisi-edisi dan terjemahan-terjemahan oleh Pali Text Society, dan oleh karenanya kita akan lebih terbiasa dengan sistim ini. Di sudut kanan atas halaman sebelah kiri dari setiap buku terjemahan ke bahasa Inggeris oleh PTS dituliskan angka Romawi diikuti nomor. Yang pertama (angka) merujuk ke jilid dari karya yang dimaksud dan yang ke dua (nomor) merujuk ke halaman dari naskah Pali asli. Jadi, bila kita sedang membaca sebuah buku yang mengutip Tipitaka dan dalam daftar acuannya disebutkan A II 150, dan bila kita ingin meneliti kutipan itu, inilah yang kita lakukan: Periksa Tipitaka, cari Anguttara Nikaya ('A' adalah singkatan dari Anguttara Nikaya, Kumpulan Khotbah Bertahap), ambil jilid Dua (II berarti Jilid Dua) dan buka halaman-halamannya, lihat pada sudut kanan atas dari halaman sebelah kiri, sampai kita menemukan 150. Di halaman itu atau sekitar itu akan kita temukan sumber yang dikutip oleh buku yang kita baca. Beberapa karya Tipitaka lainnya, misalnya Dhammapada, Sutta Nipata, Theragatha dan Therigatha, kesemuanya dalam bentuk ayat-ayat, dengan demikian acuan dari kitab-kitab ini hanya pada karya dan nomor ayat-nya saja. Jadi acuan ayat ke 53 dalam Dhammapada ditulis Dp 53, atau ayat ke 410 dari Sutta Nipata ditulis Sn 410. mungkin akan membutuhkan waktu untuk terbiasa dalam menggunakan sistim acuan ini, tapi sekali kita lakukan, maka Tipitaka akan mengungkapkan banyak harta kebijaksanaan bagi kita.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #38 on: 30 November 2008, 06:58:09 AM »
SINGKATAN-SINGKATAN
A   Anguttara Nikaya   S     Samyutta Nikaya
D   Digha Nikaya             Sn       Sutta Nipata
Dp   Dhammapada          Thag    Theragatha
It   Itivuttaka                Thig      Therigatha
M   Majjhima Nikaya            Ud         Udana
J   Jataka                        Vin   Vinaya

CATATAN-CATATAN

Alam Semesta

   1. Genesis 1, 1-31
   2. Genesis 2, 4-22
   3. S, II: 178
   4. D, III: 84
   5. A, I: 227
   6. M, III: 120
   7. S, II: 181
   8. M, I: 430
   9. M, I: 377

Hidup Dan Alam Kehidupan

   1. John Reader. The Rise of Life. New York, 1986
   2. Sir Fred Hoyle and Chandra Wickramasinghe. Lifecloud. New York, 1978
   3. D, III: 85
   4. D, III: 85
   5. A, I: 173
   6. Bodhicaryavatara IX: 121
   7. J, VI: 208
   8. S, II: 262
   9. Lihat, sebagai contoh, Assalayana Sutta - M, II: 147; Ambattha Sutta - D, I: 88; Vasala Sutta - Sn: 116
  10. Sn: 601-602
  11. Dhammasangahni 633-634
  12. Vin, V: 254
  13. S, I: 129
  14. D, II: 104
  15. M, III: 250
  16. S, IV: 206
  17. M, I: 197

Kamma

   1. Atthasalani 272
   2. A, III: 415
   3. M, III: 135
   4. A, I: 134
   5. A, I: 135
   6. A, II: 230
   7. A, III: 414
   8. A, IV: 246
   9. A, III: 414
  10. A, I: 248
  11. A, I: 173
  12. S, IV: 229, lihat juga A, II: 86

Kelahiran Kembali

   1. M, I: 265
   2. S, V: 370
   3. Dr. HaroldI Lief dalam Journal of Nervous and Mental Disease, Vol. 165, No. 3, 1977
   4. Dr. Ian Stevenson, Twenty Cases Suggestive of Reincarnation. University Press of Virginia, 1974.
   5. A, II: 59
   6. Evolution and Ethics and Other Essay, hal 60-61
   7. The Soul and the Universe
   8. San Francisco Examiner, 28/8/1928.

Empat Kesunyataan Mulia

   1. S, V: 420
   2. D, III: 221
   3. Dp: 218
   4. M, I: 140
   5. Sn: 1075-1076
   6. M, I: 140
   7. A, I: 10
   8. D, I: 223
   9. Jataka Nidanakatha 22-23
  10. Ud: 80
  11. Ud: 80
  12. Thig: 513
  13. M, II: 5
  14. A, V: 194
  15. M, I: 169
  16. Dp: 273-275
  17. S, II: 105
  18. S, V: 10

Latihan Intelektual -Pengenalan

   1. M, II: 171
   2. M, I: 379
   3. Dp: 256
   4. Vin, IV: 355
   5. Ud: 68
   6. D, II: 349

Pengertian Sejati

   1. S, III: 68
   2. Dp: 278-280
   3. M, I: 511
   4. D, III: 219

Latihan Etika - Pengenalan

   1. S, IV: 251
   2. M, I: 431
   3. A, IV: 141
   4. Dp: 67-68, lihat juga A, II: 117
   5. M, I: 97
   6. S, V: 354
   7. Milindapañha 84
   8. A, I: 58

Pikiran Sejati

   1. Dp: 1
   2. S, I: 39
   3. M, III: 251
   4. It: 82
   5. A, I: 103
   6. Dp: 3,4,5
   7. Vin, IV: 56
   8. Soma Thera dan Piyadassi Thera, terjemahan The Lamp of the Law Wh: 38, BPS
   9. Jataka Nidanakatha 168-169
  10. Sn : 149
  11. It: 84
  12. M, III: 156
  13. M, III: 156
  14. A, II: 94
  15. A, II: 146

Pembicaraan Sejati

   1. Sn: 657
   2. Sn: 449-450
   3. M, I: 395
   4. M, I: 288
   5. Sn: 454
   6. A, II: 51
   7. A, III: 184
   8. A, III: 195
   9. A, IV: 196
  10. D, I: 64
  11. A, V: 79
  12. Sn: 720-721
  13. A, I: 288
  14. M, I: 288
  15. D, I: 116
  16. Dhammapada Atthakata 254
  17. M, I: 126

Tindakan Sejati

   1. Dp: 129-130
   2. It: 101
   3. Milindapañha 335
   4. Vin, IV: 301
   5. A, III: 144
   6. Subhasitaratnakhosa 1229
   7. Sn: 244-246
   8. Vin, IV: 216-219
   9. Vin, V: 205
  10. Vin, V: 196
  11. M, I: 369
  12. A, III: 38
  13. A, II: 61
  14. Dp: 354
  15. Paramitasamasa I: 36-40
  16. Sn: 707
  17. Sn: 398-399

Penghidupan Sejati

   1. A, II: 68
   2. Sn: 261
   3. J: 341
   4. J: 341
   5. A, III: 207
   6. Jatakamala XVII 9
   7. A, III: 44
   8. A, III: 45
   9. D, III: 188
  10. A: III: 45
  11. A: III: 46
  12. D: III: 188
  13. M, I: 379
  14. A, I: 161
  15. A, IV: 281
  16. A, IV: 281
  17. A, I: 15

Etika Pergaulan

   1. D, III: 181
   2. D, III: 189
   3. Sn: 262
   4. A, I: 61
   5. D, III: 189
   6. D, III: 190
   7. It: 68
   8. D, III: 186
   9. D, III: 187
  10. D, III: 190
  11. S, V: 2
  12. D, III: 191
  13. It: 111
  14. D, III: 191

Latihan Kejiwaan - Tata Peribadatan

   1. M, I: 37
   2. M, I: 37
   3. M, I: 37
   4. Dp: 54
   5. Dp: 16

Daya - Upaya Sejati

   1. Saundaranandakavya XVI: 94, 97
   2. D, II: 313
   3. A, III: 102
   4. dikarang oleh Ven. Dhammika
   5. M, I: 12
   6. Visuddhimagga IV: 55
   7. Thig: 161
   8. A, II: 373

Kesadaran Sejati dan Pemusatan - Pikiran Sejati

   1. Bodhicaryavatara V: 4, 5, 6, 12, 13, 14
   2. It: 9
   3. S, III: 151
   4. A, I: 4
   5. Dp: 35, 36
   6. M, I: 301. Ya kho .... cittassa ekaggata ayam samadhi.
   7. Visuddhimagga 84
   8. Ven. Nyanaponika. The Power of Mindfulness. Wh: 121, 122 BPS
   9. M, III: 289
  10. D, I: 73
  11. M, I: 364
  12. M, I: 346
  13. Subasitaratnakhosa 1645
  14. D, I: 71
  15. D, I: 71
  16. S, V: 321
  17. Dp: 326
  18. M, I: 119
  19. A, V: 335
  20. A, I: 29
  21. M, I: 115
  22. A, V: 332
  23. Kamalañjali 17-20
  24. Perenungan-perenungan dikarang oleh Ven. Dhammika
  25. A, V: 334
  26. A, V: 334
  27. A, V: 336
  28. A, V: 334
  29. Visudhimagga 318
  30. Dhammapada Atthakata 192
  31. Ven. Nyanaponika. The Four Sublimes States. Wh: 6, BPS
  32. S, II: 264
  33. Milindapañha 394
  34. A, V: 342
  35. Cariyapitaka Atthakata 292
  36. A, V: 342
  37. M, I: 505
  38. Sn: 50
  39. It: 84
  40. Visuddhimagga 300
  41. A, IV: 85
  42. S, I: 1
  43. D, I: 72
  44. Dp: 372
  45. D, I: 73
  46. Visuddhimagga 142
  47. Visuddhimagga 143
  48. D, I: 74
  49. M, I: 57
  50. M, I: 59
  51. M, I: 59
  52. S, V: 181
  53. S, V: 332
  54. D, I: 75
  55. A, V: 151

Tiga Perlindungan

   1. A, IV: 219
   2. Dp: 188-192
   3. Kutipan-kutipan tanpa sumber acuan dikutip dari Majjhima Nikaya Atthakata, diterjemahkan dalam The Threefold Refuge oleh Nyanaponika, Wh: 76 BPS
   4. Sn: 259
   5. Vin, IV: 45
   6. D, III: 84
   7. It: 91
   8. lihat Visuddhimagga 213
   9. Sn: 1140-1144
  10. M, I: 480
  11. A, I: 123
  12. Vin, IV: 3
  13. Vin, IV: 16
  14. Vin, IV: 36
  15. Vin, IV: 21
  16. Bodhicaryavatara III: 25-26

Tahap-tahap Dalam Menempuh Jalan

   1. Ud: 54
   2. S, III: 154
   3. Dp: 122
   4. Dp: 178
   5. S, V: 396
   6. M, I: 320
   7. Ratnavali 5
   8. Visuddhimagga 129
   9. M, III: 269
  10. Milindapañha 129
  11. D, II: 140
  12. Sn: 77
  13. M, I: 46
  14. Satapañcasatka 11, 47, 60, 61, 102, 103, 105, 114
  15. S, III: 66
  16. Vin, I: 3

Kehidupan Sang Buddha

   1. E.H. Johnson, ed. Dan terj. Buddhacarita. Calcutta, 1935
   2. S, V: 369
   3. Sn: 683-684
   4. Sn: 686-687
   5. Sn: 692-694
   6. Didalam Tipitaka, Yasodhara sering cukup disebut sebagai 'ibunya Rahula' misalnya dalam Vin, I: 82
   7. A, I: 145
   8. M, I: 163
   9. M, I: 163
  10. M, I: 164
  11. M, I: 242
  12. M, I: 243
  13. M, I: 245
  14. M, I: 246
  15. M, I: 247
  16. M, I: 167
  17. M, I: 248
  18. M, I: 249
  19. M, I: 171
  20. M, I: 171
  21. M, I: 172
  22. S, V: 420
  23. S, II: 67
  24. Vin, IV: 20
  25. D, II: 100
  26. D, II: 99
  27. D, II: 127
  28. D, II: 135
  29. D, I: 133
  30. D, II: 137
  31. D, II: 149
  32. D, II: 156
  33. D, II: 157
  34. D, II: 158
  35. D, II: 166

Legenda Sang Buddha

   1. A, I: 59
   2. M, III: 123
   3. M, III: 123
   4. Sn: 425-431, 436-439, 442-446
   5. M, I: 168
   6. M, I: 169
   7. M, I: 169
   8. D, II: 89
   9. D, II: 137

Sumber-sumber - Pengenalan

   1. M, I: 520
   2. M, I: 520
   3. A, I: 187
   4. M, I: 1
   5. S, V: 407
   6. Dp: 19
   7. Jatakamala XXXI: 32-33

Masa awal kepustakaan Buddhis

   1. D, II: 163
   2. Vin, V: 284
   3. Vin, V: 286
   4. A, V: 46

Tipitaka

   1. D, II: 290 dan M, I: 56
   2. Dp: 396-423 dan Sn: 620-647
   3. W. Gieger. Pali language and literatur. New Delhi, 1978
   4. T.W. Rhys Davis dan W. Stede. Pali English Dictionary. London, 1979
   5. Vin, V: 139
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #39 on: 30 November 2008, 09:55:16 AM »
Ryu, intinya apa? coba tuliskan kesimpulannya dalam 3 baris... :)

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #40 on: 30 November 2008, 10:18:56 AM »
Ryu, intinya apa? coba tuliskan kesimpulannya dalam 3 baris... :)

Intinya bisa dijadiin ebook nich :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #41 on: 30 November 2008, 07:48:42 PM »
Jangan berbuat jahat
Tambahlah kebajikan
Sucikan Batin
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #42 on: 12 February 2010, 09:49:57 PM »
:)
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Mr. Wei

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.074
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #43 on: 13 February 2010, 10:59:55 PM »
:)

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything