//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dhamma dan Non-dualitas  (Read 2940 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Dhamma dan Non-dualitas
« on: 14 July 2013, 08:59:37 PM »
Dhamma dan Non-dualitas
 
 oleh: Bhikkhu Bodhi

Salah satu masalah yang paling menantang yang dihadapi Buddhisme Theravada dalam tahun-tahun belakangan adalah pertemuan antara meditasi vipassana Theravada klasik dan tradisi kontemplatif “non-dualistik” yang diwakili oleh Advaita Vedanta dan Buddhisme Mahayana. Tanggapan pada pertemuan ini telah menjangkau hal-hal ekstrem, yang berkisar dari konfrontasi yang berapi-api sepanjang jalan untuk berupaya pada sintesis dan hibridisasi. Sementara tulisan ini tidak dapat berpura-pura menjelaskan semua masalah yang ruwet dan mendalam yang terlibat dalam dialog yang kadangkala berubah-ubah ini, saya berharap ini dapat menyumbangkan secercah cahaya dari cara pandang Theravada yang berorientasi kanonik [berdasarkan kanon kitab suci].
 
Pernyataan pendahuluan saya akan bersikeras bahwa suatu sistem pelatihan meditatif tidak mengandung suatu disiplin yang terkandung dalam dirinya sendiri. Semua sistem pelatihan spiritual yang otentik selalu ditemukan menempel dalam suatu acuan konseptual yang mendefiniskan masalah-masalah di mana pelatihan itu bermaksud untuk menyelesaikannya dan tujuan ke arah di mana ia diarahkan. Oleh sebab itu menggabungkan teknik-teknik yang berlandaskan pada kerangka konseptual yang tidak sesuai adalah penuh resiko. Walaupun penggabungan demikian dapat memenuhi kegemaran terhadap percobaan atau pemilihan dari berbagai sumber, ini tampaknya mungkin bahwa pengaruh jangka panjang mereka akan menciptakan suatu “ketidakcocokan kognitif” yang akan bergema melalui tingkat-tingkat kejiwaan yang lebih mendalam dan menggerakkan bahkan kebingungan yang lebih besar.
 
Pernyataan kedua saya akan hanya menunjukkan bahwa tradisi spiritual non-dualistik adalah jauh dari konsisten satu sama lainnya, tetapi mengandung, alih-alih, suatu variasi yang luas atas pandangan-pandangan yang secara mendalam berbeda dan tidak dapat dihindarkan diwarnai oleh bentuk konseptual yang lebih luas dari filosofi-filosofi yang meliputinya.
 
Bagi Vedanta, non-dualitas (advaita) berarti ketiadaan suatu perbedaan yang pokok antara Atman, diri yang paling dalam, dan Brahman, realitas tertinggi, landasan yang mendasari dunia. Dari titik pandang realisasi tertinggi, hanya satu realitas tertinggi yang ada – yang  adalah Atman dan Brahman secara bersama-sama – dan tujuan pencarian spiritual adalah untuk mengetahui bahwa diri sejati seseorang, Atman, adalah realitas abadi yang adalah Makhluk, Kesadaran, Kebahagiaan. Karena semua aliran Buddhisme menolak gagasan Atman, tidak ada yang dapat menerima non-dualisme Vedanta. Dari cara pandang tradisi Theravada, semua pencarian untuk menemukan pribadi, apakah sebagai diri individual yang kekal atau sebagai diri universal yang mutlak, harus ditinggalkan sebagai suatu delusi, kekeliruan metafisik yang lahir dari suatu kegagalan untuk memahami dengan benar sifat pengalaman konkrit. Menurut Sutta-Sutta Pali, makhluk individual hanyalah suatu kesatuan kompleks dari lima kelompok unsur kehidupan, yang semuanya ditandai dengan tiga ciri dari ketidakkekalan, penderitaan, dan ketanpa-dirian. Semua dalil tentang pribadi berkenaan dengan gabungan dari fenomena yang berkondisi, yang bersifat sementara adalah contoh “pandangan personalitas” (sakkayaditthi), belenggu paling mendasar yang mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kelahiran kembali. Pencapaian pembebasan, bagi Buddhisme, tidak terjadi dengan realisasi suatu diri sejati atau “Aku” mutlak, tetapi melalui pelenyapan bahkan pengertian paling halus dari pribadi dalam hubungannya dengan lima kelompok unsur kehidupan, “pelenyapan dari semua pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan pada kesombongan yang mendasari.”
 
Aliran-aliran Mahayana, walaupun banyak perbedaan, bersesuaian dalam menganut suatu tesis yang, dari sudut pandang Theravada, berbatasan dengan keterlaluan. Ini adalah klaim bahwa tidak ada perbedaan mutlak antara samsara dan Nirvana, kekotoran dan kesucian, ketidaktahuan dan pencerahan. Bagi Mahayana, pencerahan di mana jalan Buddhis bertujuan untuk tercerahkan terdiri atas persisnya dalam realisasi atas perspektif non-dualitik ini. Keabsahan dualitas konvensional ditolak karena sifat tertinggi semua fenomena adalah kekosongan, ketiadaan realitas substansial atau intrinsik, dan oleh sebab itu dalam kekosongannya semua fenomena yang berbeda, yang tampaknya berlawanan yang diusulkan ajaran Buddhis arus utama akhirnya serupa: “Semua dharma memiliki satu sifat, yang adalah tanpa-sifat.”
 
Ajaran Sang Buddha seperti yang ditemukan dalam kanon Pali tidak menyokong suatu filosofi non-dualisme dari jenis mana pun, ataupun, saya menambahkan, suatu perspektif non-dualistik tidak dapat ditemukan terletak secara implisit dalam kotbah-kotbah Sang Buddha. Namun demikian, pada waktu yang sama saya tidak mempertahankan bahwa Sutta-Sutta Pali mengusulkan dualisme, mengusulkan dualitas sebagai suatu hipotesis metafisik yang bertujuan pada pembenaran intelektual. Saya akan menggolongkan maksud Sang Buddha dalam Kanon terutama sebagai pragmatis alih-alih spekulatif, walaupun saya juga memenuhi syarat ini dengan mengatakan bahwa pragmatisme ini tidak bekerja dalam suatu kekosongan filosofi tetapi menemukan landasannya dalam sifat kenyataan seperti yang ditembus Sang Buddha dalam pencerahan-Nya. Bertentangan dengan sistem non-dualistik, pendekatan Sang Buddha tidak bertujuan pada penemuan atas suatu prinsip yang menyatukan di belakang atau di bawah pengalaman kita atas dunia. Alih-alih ini mengambil fakta konkrit dari pengalaman, dengan semua dengungan, kebingungan atas perbedaan dan tekanan, sebagai titik awal dan kerangkanya, di mana ia berusaha mendiagnosis masalah utama pada inti keberadaan manusia dan menawarkan suatu jalan menuju penyelesaiannya. Oleh sebab itu pedoman jalan Buddhis bukanlah suatu kesatuan akhir tetapi pelenyapan penderitaan, yang membawa pemecahan dilema eksistensial pada tingkatan yang paling mendasar.
 
Ketika kita menyelidiki pengalaman kita persis sebagaimana ia menyajikan dirinya sendiri, kita menemukan bahwa ia menyebar dengan sejumlah dualitas yang penting secara kritis dengan pengertian yang mendalam untuk pencarian spiritual. Ajaran Sang Buddha, seperti yang tercatat dalam Sutta-Sutta Pali, menetapkan perhatian kita tetap pada dualitas ini dan memperlakukan pengakuannya sebagai dasar yang sangat diperlukan untuk pencarian yang jujur atas kebijaksanaan yang membebaskan. Ini persisnya adalah antitesis – tentang baik dan buruk, penderitaan dan kebahagiaan, kebijaksanaan dan ketidaktahuan – yang membuat pencarian pencerahan dan pembebasan suatu perhatian yang demikian sangat penting.
 
Pada puncak dari pasangan yang berlawanan itu berdiri dualitas yang berkondisi dan Yang Tidak Berkondisi: samsara sebagai lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang di mana semuanya adalah tidak kekal, tunduk pada perubahan, dan tidak bebas dari penderitaan, dan Nibbana sebagai keadaan pembebasan akhir, yang tidak dilahirkan, tidak berubah, dan tanpa kematian. Walaupun Nibbana, bahkan dalam teks-teks awal, secara pasti dimasukkan sebagai realitas tertinggi dan bukan semata-mata suatu keadaan etis atau psikologis, tidak ada sedikit pun sindiran secara tidak langsung bahwa realitas ini secara metafisik tidak terbedakan pada suatu tingkatan yang mendalam dari lawannya yang nyata, samsara. Sebaliknya, ajaran Sang Buddha yang berulang-ulang adalah bahwa samsara adalah dunia penderitaan yang dikuasai keserakahan, kebencian, dan delusi, di mana kita telah meneteskan air mata lebih banyak daripada air samudera, sedangkan Nibbana adalah pembebasan yang tidak dapat dibalik dari samsara, yang dicapai dengan melenyapkan keserakahan, kebencian, dan delusi, dan dengan melepaskan semua keberadaan yang berkondisi.
 
Demikianlah Theravada membuat antitesis samsara dan Nibbana sebagai titik awal dari seluruh pencarian atas pembebasan. Bahkan lebih lanjut, ia memperlakukan antitesis ini sebagai tujuan akhir yang menentukan, yang persisnya adalah melampaui samsara dan pencapaian Nibbana. Di mana Theravada berbeda secara signifikan dari aliran-aliran Mahayana, yang juga memulai dengan dualitas samsara dan Nirvana, adalah dalam penolakannya atas sifat yang berlawanan ini sebagai semata-mata suatu pelajaran persiapan yang disesuaikan untuk mereka dengan kemampuan yang tumpul, untuk akhirnya digantikan oleh suatu realisasi non-dualitas yang lebih tinggi. Dari pendirian Sutta-Sutta Pali, bahkan bagi Sang Buddha dan para Arahant penderitaan dan pelenyapannya, samsara dan Nibbana, tetap berbeda.
 
Para pencari spiritual masih menjelajahi tradisi-tradisi kontemplatif yang umumnya mengasumsikan bahwa ajaran spiritual tertinggi pasti adalah yang menyatakan suatu penyatuan metafisik sebagai landasan filosofis dan tujuan akhir dari pencarian atas pencerahan. Menganggap asumsi ini sebagai yang sudah jelas kebenarannya, mereka mungkin kemudian menyimpulkan bahwa ajaran Buddhis Pali, dengan desakan pada penilaian yang seadanya atas dualitas, adalah tidak cukup dan bersifat sementara, yang membutuhkan pemenuhan oleh suatu realisasi nondualistik. Bagi mereka dengan kecenderuang demikian, pelenyapan dualitas dalam suatu penyatuan akhir akan selalu muncul lebih mendalam dan lengkap.
 
Namun, adalah hanya asumsi ini yang akan saya tantang. Saya akan menegaskan, dengan menunjuk pada ajaran asli Sang Buddha, bahwa kedalaman dan kelengkapan tidak perlu dibeli dengan harga perbedaan, bahwa mereka dapat dicapai pada tingkatan yang tertinggi sementara dengan mempertahankan secara utuh dualitas dan perbedaan sedemikian jelasnya untuk mendewasakan perenungan pada dunia. Saya akan menambahkan, lebih lanjut, bahwa ajaran yang bersikeras mengenali dualitas yang nyata sebagaimana adanya  akhirnya lebih memuaskan. Alasan ini lebih memuaskan, meskipun penolakannya pada hasrat pikiran atas suatu penyatuan yang komprehensif, adalah karena ia memperhitungkan faktor lain yang menolak dalam pentingnya pencarian atas penyatuan. “Sesuatu yang lain” ini adalah perlunya untuk tetap berlandaskan pada kenyataan.
 
Di sini saya berpikir ajaran Buddha, seperti yang dipertahankan dalam tradisi Theravada, melampaui semua upaya lain untuk memecahkan dilema spiritual atas kemanusiaan adalah dalam penolakan gigihnya untuk mengorbankan kenyataan demi penyatuan. Dhamma Sang Buddha tidak menunjukkan kita pada suatu kemutlakan yang mencakup semuanya di mana tekanan kehidupan sehari-hari melebur dalam kesatuan metafisik atau kekosongan yang tidak dapat dipahami. Ini  menunjukkan kita, alih-alih, pada kenyataan sebagai keadaan akhir dari pemahaman, pada hal-hal sebagaimana adanya (yathabhuta). Yang terpenting, ini menunjuk kita pada Empat Kebenaran Mulia tentang penderitaan, asal mulanya, pelenyapannya, dan jalan menuju pelenyapannya sebagai pernyataan yang membebaskan atas hal-hal sebagaimana adanya. Empat kebenaran ini, Sang Buddha nyatakan, adalah kebenaran-kebenaran mulia, dan apa yang membuat mereka sebagai kebenaran-kebenaran mulia tepatnya bahwa mereka adalah nyata, tidak menyimpang, tidak berubah (tatha, avitatha, anannatha). Adalah kegagalan untuk menghadapi kenyataan dari kebenaran-kebenaran ini yang telah menyebabkan kita berkelana sangat lama melalui perjalanan samsara yang panjang. Adalah dengan menembus kebenaran-kebenaran ini persisnya sebagaimana adanya sehingga seseorang dapat mencapai kesempurnaan sejati dari pencarian spiritual: mengakhiri penderitaan.
 
Dalam sambungan pada tulisan sebelumnya ini, saya bermaksud untuk membahas tiga wilayah utama perbedaan antara Ajaran Sang Buddha, di mana kita dapat menyebutnya di sini sebagai “Ariya Dhamma”, dan filosofi-filosofi dari non-dualitas. Wilayah-wilayah ini berhubungan dengan tiga pembagian jalan Buddhis – moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.
 
Sehubungan dengan moralitas, perbedaan antara dua ajaran itu tidak begitu nyata, karena keduanya secara umum menegaskan pentingnya berbagai perilaku baik pada awal pelatihan. Perbedaan yang penting antara keduanya muncul, bukan pada permulaannya, tetapi hanya belakangan, dalam cara mereka menilai peranan moralitas dalam tahap-tahap yang lebih lanjut dari sang jalan. Bagi sistem non-dual, semua dualitas akhirnya terlampaui dalam realitas non-dualitas, Yang Mutlak atau landasan dasar. Karena Yang Mutlak meliputi dan melampaui semua perbedaan, bagi seseorang yang telah merealisasinya perbedaan antara baik dan buruk, kebajikan dan bukan-kebajikan, kehilangan keabsahan tertingginya. Perbedaan demikian, dikatakan, sah hanya pada tingkatan konvensional, bukan pada tingkatan realisasi akhir; perbedaan itu mengikat orang yang masih berlatih, bukan yang sudah ahli. Demikianlah kita menemukan bahwa dalam bentuk historis (khususnya dalam Tantra Hindu dan Buddhis), filosofi non-dualitas menyatakan bahwa perilaku orang bijaksana yang telah tercerahkan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan moral. Orang bijaksana itu telah melampaui semua perbedaan konvensional tentang baik dan buruk. Ia bertindak secara spontan dari intuisinya terhadap Yang Mutlak dan oleh sebab itu tidak lagi terikat oleh aturan moralitas yang berlaku bagi mereka yang masih berjuang menuju cahaya. Perilakunya adalah sesuatu yang mengalir keluar yang sukar ditangkap, yang tidak dapat dipahami dari apa yang disebut “kebijaksanaan gila.”
 
Bagi Ariya Dhamma, perbedaan antara kedua jenis perilaku, bermoral dan tidak bermoral, adalah menyolok dan jelas, dan perbedaan ini tetap ada sepanjang jalan melalui penyempurnaan sang jalan: “Perbuatan jasmani ada dua jenis, Ku-katakan, yang harus dikembangkan dan yang tidak boleh dikembangkan, dan perbuatan demikian adalah salah satu atau yang lain” (MN 114). Perilaku orang bijaksana ideal Buddhis, Arahant, tentunya mewujudkan standar tertinggi dari ketulusan moral dalam semangat dan dalam hurufnya, dan baginya kesesuaian dengan huruf adalah bersifat spontan dan alami. Sang Buddha mengatakan bahwa orang yang tercerahkan hidup mengendalikan diri oleh aturan Vinaya, melihat bahaya dalam kesalahan kecil. Ia tidak dapat secara sengaja melakukan pelanggaran aturan moral, ataupun ia tidak akan pernah melakukan tindakan yang didorong oleh nafsu, kebencian, delusi, atau ketakutan.
 
Dalam lingkup latihan meditasi atau konsentrasi, kita lagi-lagi menemukan perbedaan yang menyolok dalam pandangan antara sistem non-dual dan Ariya Dhamma. Karena, bagi sistem non-dual, perbedaan pada akhirnya tidak nyata, latihan meditasi tidak secara eksplisit berorientasi pada pelenyapan kekotoran batin dan pengembangan keadaan pikiran yang baik. Dalam sistem ini, sering dikatakan bahwa kekotoran hanyalah penampilan tanpa realitas intrinsik, bahkan manifestasi dari Yang Mutlak. Oleh sebab itu terlibat dalam program latihan untuk melenyapkannya adalah suatu latihan yang sia-sia, seperti melarikan diri dari setan yang muncul tiba-tiba: mencari untuk melenyapkan kekotoran adalah memperkuat ilusi dualitas. Tema-tema meditatif yang berdesir melalui pemikiran non-dual saat ini menyatakan: “tidak ada kekotoran dan tidak ada kesucian”; “kekotoran pada intinya sama dengan kebijaksanaan yang mendalam”; “adalah dengan nafsu maka nafsu dilenyapkan.”
 
Dalam Ariya Dhamma, latihan meditasi terbentang dari awal sampai akhir sebagai suatu proses pemurnian batin. Proses itu mulai dengan pengenalan bahaya-bahaya dalam keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat: mereka adalah polutan nyata dari keberadaan kita yang perlu dikendalikan dan dilenyapkan. Penyempurnaannya dicapai dalam penghancuran sepenuhnya kekotoran batin melalui pengembangan keadaan penangkalnya yang bermanfaat. Keseluruhan arah latihan membutuhkan suatu pengenalan atas perbedaan antara kualitas gelap dan terang dari pikiran, dan menyerah pada upaya dan kesungguhan: “Ia tidak mentolerir munculnya pikiran yang tidak bermanfaat, ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengakhirinya, meniadakannya.” (MN 2). Rintangan-rintangan adalah “sebab kebutaan, sebab ketidaktahuan, bersifat merusak kebijaksanaan, tidak kondusif untuk Nibbana” (SN 46:40). Latihan meditasi membersihkan pikiran dari keburukannya, yang mempersiapkan jalan untuk penghancuran noda-noda (asavakkhaya).
 
Akhirnya, dalam bidang kebijaksanaan Ariya Dhamma dan sistem non-dual sekali lagi bergerak pada arah yang berbeda. Dalam sistem non-dual tugas kebijaksanaan adalah untuk menembus penampilan yang berbeda-beda (atau kemunculan perbedaan) untuk menemukan realitas yang menyatukan yang mendasarinya. Fenomena konkrit, dalam perbedaan dan pluralitasnya, hanyalah penampilan, sedangkan realitas sejati adalah Yang Satu: suatu Yang Mutlak yang substansial (Atman, Brahman, sifat Ketuhanan, dst.), atau suatu kekosongan metafisik (Sunyata, Sifat Kosong dari Pikiran, dst.). Bagi sistem demikian, pembebasan muncul dengan tibanya pada kesatuan fundamental di mana yang berlawanan menyatu dan perbedaan menguap bagaikan embun.
 
Dalam Ariya Dhamma kebijaksanaan bertujuan untuk melihat dan mengetahui hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadasana). Oleh karena itu, untuk mengetahui hal-hal sebagaimana adanya, kebijaksanaan harus menganggap fenomena dalam kekhususan yang tepat. Kebijaksanaan membiarkan perbedaan dan pluralitas tidak tersentuh. Alih-alih ia mencari untuk menemukan karakteristik fenomena, untuk memperoleh pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas dan strukturnya. Ia bergerak, bukan ke arah identifikasi yang mencakup semuanya dengan Yang Semuanya, tetapi menuju pelepasan dan ketidakmelekatan, pembebasan dari Yang Semuanya. Pengembangan kebijaksanaan sama sekali tidak “meruntuhkan” fenomena konkrit dengan mereduksinya menjadi penampilan, ataupun ia tidak memperlakukannya sebagai jendela-jendela yang terbuka pada suatu landasan yang mendasar. Alih-alih ia menyelidiki dan membedakan, untuk memahami hal-hal sebagaimana adanya: “Dan apakah seseorang yang memahami sebagaimana adanya? Seseorang memahami: Demikianlah bentuk, demikianlah munculnya dan lenyapnya. Demikianlah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, demikianlah munculnya dan lenyapnya.” “Ketika seseorang melihat, ‘Semua bentukan adalah tidak kekal, semua bentukan adalah penderitaan, semuanya adalah bukan diri,’ seseorang berbalik dari penderitaan: inilah jalan menuju kesucian.”
 
Sistem-sistem spiritual diwarnai sebanyak perumpamaan favoritnya dengan pandangan-pandangan yang dirumuskan. Bagi sistem non-dual, dua perumpamaan berdiri sebagai yang utama. Satu adalah ruang kosong, yang secara bersamaan mencakup semuanya dan menembus semuanya tetapi tidak ada yang konkrit dalam dirinya sendiri; yang lain adalah samudera, di mana tetap hal yang sama dengan sendirinya di bawah banyak perubahan gelombangnya. Perumpamaan-perumpamaan yang digunakan dalam Ariya Dhamma sangatlah bermacam-macam, tetapi satu tema yang menyatukan banyak darinya adalah ketajaman penglihatan – penglihatan yang membedakan panorama dari bentuk-bentuk yang terlihat dengan jelas dan pasti, masing-masing dalam individualitasnya sendiri: “Ini sama seperti seakan-akan terdapat sebuah danau di sebuah ceruk di gunung, jernih, bening, tidak terganggu, sehingga seorang laki-laki dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang-kerang, batu kerikil, dan batu koral, dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari dan beristirahat. Ia mungkin berpikir: ‘Terdapat danau ini, jernih, bening, tidak terganggu, dan terdapat di sana kerang-kerang, batu kerikil, dan batu koral, dan juga kawanan ikan ini yang berenang ke sana kemari dan beristirahat.’ Demikian juga seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: “Inilah penderitaan, inilah asal mula penderitaan, inilah lenyapnya penderitaan, inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda-noda, dan dengan pembebasan pikiran itu ia mengetahui bahwa ia telah terbebaskan” (MN 39).
 
Sumber: Dhamma and Non-duality
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dewa17

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 1
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Dhamma dan Non-dualitas
« Reply #1 on: 17 November 2015, 02:56:02 AM »
Sangat menarik.....!!! Saya dulu berasumsi demikian...!! 

 

anything