KITA PERLU MENYELAM DALAM UNTUK MENGETAHUI SUKACITA
Sedikit sekali dari kita yang bisa menikmati sesuatu. Kita sedikit sekali bersukacita melihat matahari terbenam, atau bulan purnama, atau seorang yang cantik, atau pohon yang indah, atau seekor burung yang terbang tinggi, atau suatu tarian. Kita tidak sungguh-sungguh menikmati apa pun. Kita memandangnya, kita terhibur atau bergairah secara dangkal terhadapnya, kita mengalami suatu perasaan yang kita namakan sukacita. Tetapi penikmatan adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, yang perlu dipahami dan diselami. ...Sementara kita bertambah tua, sekalipun kita ingin menikmati berbagai hal, yang terbaik telah hilang dari kita; kita ingin menikmati perasaan-perasaan lain—gairah, nafsu, kekuasaan, kedudukan. Semua itu adalah hal-hal yang normal dalam kehidupan, sekalipun dangkal; itu tidak perlu disalahkan, tidak perlu dibenarkan, melainkan dipahami dan diberi tempat yang wajar. Jika Anda menyalahkannya sebagai hal yang tak berguna, sebagai sensasional, bodoh, dan tidak spiritual, Anda menghancurkan seluruh proses kehidupan. ....
Untuk mengetahui sukacita, kita harus menyelam jauh lebih dalam. Sukacita bukan sekadar perasaan. Ia menuntut penghalusan batin yang luar biasa, tetapi bukan penghalusan diri yang terus-menerus menimbun bagi dirinya. Diri seperti itu, orang seperti itu, tidak pernah dapat memahami keadaan sukacita yang di situ dia yang menikmati tidak ada. Kita perlu memahami hal yang luar biasa ini; kalau tidak, hidup menjadi sangat kerdil, remeh, dangkal—lahir, belajar sedikit, menderita, punya anak, memiliki tanggung jawab, mencari nafkah, menikmati hiburan intelektual sedikit, lalu mati.
[J Krishnamurti - THE BOOK OF LIFE]
SEMAR:'Sukacita' yang dimaksud oleh Krishnamurti bukanlah kesenangan, kebahagiaan, kenikmatan yang berasal dari pengalaman duniawi atau rohani, melainkan bersumber jauh lebih dalam, yakni ketika batin tidak menimbun lagi, ketika si aku yang "menikmati", yang "mengalami" tidak ada lagi.