//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika  (Read 24772 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #15 on: 30 November 2008, 06:29:06 AM »
PENGHIDUPAN SEJATI

  99.      Agama Buddha sering dituduh terlalu menjauhi keduniawian dan tidak mengajarkan masalah praktis sehari-hari. Pada kenyataannya malah Sang Buddha lebih banyak mengajar aspek kehidupan ekonomi dibanding dengan pengajar agama yang lain, baik aspek perorangan ataupun aspek nasional, yang adalah kepentingan orang banyak. Justru karena menganggap penting masalah kehidupan ekonomi, maka Beliau mengajarkan Penghidupan Sejati (samma ajiva). Melalui ajaran itu Sang Buddha mengajarkan bagaimana kita berusaha dan apa yang hendaknya diperbuat dengan kekayaan yang kita peroleh, sebagai salah satu langkah Jalan ke Nibbana. Alasan untuk itu sangat jelas. Pada umumnya manusia mengisi bagian besar dari waktu hidupnya dengan bekerja, pekerjaan yang kita lakukan itu dengan sendirinya akan turut membentuk kepribadian kita, baik positif ataupun negatif. Sewajarnya, bila agama melibatkan seluruh aspek pengalaman manusia, maka agama seyogyanya juga memberi petunjuk cara bagaimana mengusahakan dan bagaimana menggunakan kekayaan, Sang Buddha ternyata memberi petunjuk itu.

 100.      Dalam masyarakat, pengumpulan kekayaan sering dihubungkan dengan kejahatan, terutama dalam topik-topik keagamaan. Tapi agama Buddha, walau mengakui bahwa uang dan keserakahan kadang-kadang berhubungan, namun juga menyadari bahwa dengan dorongan dan pengertian yang benar, banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan dengan terkumpulnya kekayaan melebihi kebutuhan. Telah kita kenal sebelumnya, bahwa agama Buddha membagi hal-hal sebagai hal intrinsik dan hal sebagai sarana (67). Bila uang hanya dilihat sebagai hal intrinsik saja, yakni sekadar benda/hal dalam batasnya sendiri, maka manusia akan melangkahi dasar-dasar moral, semena-mena pada lainnya, mencelakakan dirinya sendiri, hanya demi mengumpul uang sebanyak mungkin. Namun, bila uang dilihat sebagai benda/hal sebagai sarana, yakni yang menjadi sesuatu yang berarti karena apa yang dapat dilakukan dengannya, maka uang akan menjadi sumber kebahagiaan bagi diri sendiri juga pada diri sesama kita. Dengan sumber keuangan yang memadai, kita dapat melengkapi kebutuhan primer diri kita dan keluarga kita. Untuk tujuan ini sendiri uang adalah sesuatu yang mutlak. Bila kita telah mengumpulkan lebih banyak, kita dapat melengkapi baik kebutuhan sekarang maupun kebutuhan masa depan, yang pada gilirannya membebaskan kita dari kekwatiran. Lalu, bila telah mengumpulkan lebih banyak lagi, kita dapat menyumbang pada lembaga keagamaan atau sosial lainnya, yang pada gilirannya juga akan memberi kita kebahagiaan, kepuasan dan juga keuntungan lainnya. Sang Buddha menyadari nilai kebahagiaan, dan melukiskan tiga macam kebahagiaan yang dapat dinikmati dari kekayaan.

          Dan apakah kebahagiaan dari kepemilikan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaan berkat usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, secara jujur dan tak melanggar hukum. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
          Dan apakah kebahagiaan dari kekayaan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaannya dengan jujur dan tak melanggar hukum, dan dengan kekayaannya dia berbuat banyak kebaikan. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
          Dan apakah kebahagiaan dengan terbebas dari hutang? Menyangkut hal ini, perumah tangga tidak berhutang pada siapapun besar ataupun kecil. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.1

      Semua diatas, pula segala macam kebahagiaan dengan sendirinya akan menuntun seorang sehingga memperoleh kecakapan dalam ketrampilan (sippanca)2, dapat mengatur pekerjaannya dengan baik dan hati-hati (susamvihita-kammantam)3 serta melaksanakannya dengan rajin (atanditam)4.

 101.      Ada dua ciri yang hendaknya dipenuhi didalam melaksanakan pekerjaan, baik sebagai pengusaha atau sebagai profesi, agar sejalan dengan ajaran Penghidupan Sejati. Pertama, pekerjaan itu dapat mencukupi kebutuhan hidup kita, yakni makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Ke dua, pekerjaan tersebut secara etis, adalah baik. Kenyataannya banyak pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, malah yang mungkin dapat melebihi dari cukup, tapi melibatkan kecurangan, kesemenaan ataupun kekerasan. Sang Buddha menyebutkan beberapa pekerjaan yang ada pada zaman kehidupan Beliau yang adalah tak sejalan dengan moral.

          Ada lima perdagangan yang wajib dihindari oleh para perumah tangga. Apa lima itu? Berdagang senjata, berdagang manusia, berdagang daging, berdagang minuman keras dan berdagang racun.5

      Pada zaman kita sekarang daftar tersebut tentunya sudah bertambah. Industri periklanan (yang keunggulan produknya dilebih-lebihkan, hanya benar sebagian atau sama sekali tidak benar), jurnalistik kuning, industri pertahanan/persenjataan, penjualan sistim piramid (sistim penjualan dengan keuntungan berlebihan), prostitusi, membuat dan menjual produk pornografi dan penujuman/peramalan adalah contoh dari cara penghidupan yang salah. Perdagangan atau pekerjaan yang tidak merugikan orang lain, yang tidak menyebabkan kecurangan, dan yang diharapkan memberi pengaruh positif pada masyarakat adalah cara penghidupan yang secara etis adalah benar. Ini termasuk menjadi guru, perawat, berdagang perdagangan tertentu, bertani yang tidak melibatkan pembunuhan, bertoko, pelayanan masyarakat, dan sebagainya.

 102. Namun, ber-Penghidupan Sejati bukan sekadar masalah apa yang dikerjakan, tetapi juga bagaimana mengerjakannya. Suatu pekerjaan mungkin secara etis adalah baik, tapi kita bisa saja tidak melaksanakannya dengan cara yang etis. Praktek kedokteran sebagai contohnya, adalah pekerjaan yang secara etis adalah baik, namun seorang dokter mungkin saja menarik pembayaran yang terlalu tinggi atau malah menghancurkan kehidupan dengan melakukan pengguguran kehamilan. Demikian pula, berdagang tidak mesti tidak-jujur, tapi dapat dilakukan secara tidak jujur. Seperti dikatakan Aryasura:

          Cara yang umum, untuk menawarkan barang adalah memuji mutunya, tapi menyembunyikan kekurangannya.6

      Menggaji pekerja terlalu rendah, membayar gaji tidak sesuai hari atau jam kerja akan merubah cara penghidupan yang telah benar menjadi salah. Seorang Buddhis, oleh karenanya seyogyanya berusaha agar pekerjaan atau usahanya berada dalam norma yang etis, berusaha dengan jujur dan terpadu. Etik senantiasa menjadi bagian pada pekerjaan atau usahanya, tidak hanya ketrampilan dan profesionalisme.

 103. Seperti telah disebutkan sebelumnya, uang tidak mempunyai nilai dalam dirinya, namun nilainya tergantung dari bagaimana mendapatkannya dan bagaimana menggunakannya. Apabila, nafkah telah kita peroleh melalui usaha yang rajin dan jujur, maka hasil tersebut bukannya untuk ditimbun saja, namun untuk digunakan dengan baik. Sang Buddha menganjurkan agar membagi penghasilan dan menggunakannya dalam empat tujuan khusus. Pertama, digunakan untuk mencukupkan diri kita dan para tanggungan kita akan kebutuhan-kebutuhan utama serta rasa aman.

          Menyangkut hal ini, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan membahagiakan dirinya, ibu dan ayahnya, isteri dan anak-anaknya, pelayan dan para pekerjanya, teman-teman dan kerabatnya, dia menciptakan kebahagiaan yang sejati. Inilah manfaat pertama yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.7

 104. Selanjutnya, sebagian dari penghasilan hendaknya ditabung untuk digunakan sewaktu dalam keadaan sulit dikemudian hari. Pada zaman Sang Buddha ini berarti menyembunyikan harta atau emas didalam tanah; zaman sekarang hal ini dapat dilakukan dengan menabung di bank, ikut dana pensiun ataupun usaha semacamnya.

          Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan menjadikan dirinya merasa aman dalam keadaan bencana yang buruk seperti kebakaran, banjir, para raja dan bangsawan penakluk, para musuh penakluk, atau para pewaris tahta yang tak dikehendaki. Dia akan mengambil langkah untuk membela dirinya dan membuat dirinya aman. Inilah manfaat kedua yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.8

      Dalam khotbah yang lain, Sang Buddha menganjurkan agar separuh dari penghasilan kita digunakan untuk menambah modal usaha kita, dan seperempat disimpan untuk dipergunakan pada masa-masa sulit seperti diatas.9 Saat ini, mungkin tidak perlu dan tidak mungkin dibagi sedemikian persentasenya, namun hal diatas menunjukkan betapa Sang Buddha menekankan pentingnya rasa-aman dalam hal keuangan bagi kita.

 105.      Sebagaimana keuangan hendaknya dicadangkan untuk apa yang disebut pada zaman India kuno sebagai persembahan berganda-lima.

          Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan berganda-lima, yakni para handai taulan, para tamu-tamu, para handai taulan yang akan pergi, para raja-raja, dan para dewata. Ini manfaat ketiga yang diraihnya, digunakan untuk kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.10

      Saat ini, hal di atas berarti membayar kewajiban perpajakan.

 106. Dan terakhir, sebagian dari penghasilan kita hendaknya digunakan untuk mendukung para rohaniawan dan lembaga keagamaan.

          Terakhir, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan pada para pertapa dan kaum brahmin, yang tidak bermalas-malasan, yang menjalankan kebajikan dan kesabaran, yang telah mengendalikan, menenangkan dan mendinginkan dirinya sendiri. Kepada merekalah, dia mempersembahkan pemberian yang akan mengantarnya pada kebijaksanaan, pada kelahiran kembali yang berbahagia, pada kehidupan di alam surga yang menyenangkan.11

      Para bhikkhu dan bhikkhuni, tentunya, tidak diberi uang, tapi diberi perlengkapan utama mereka, seperti jubah, makanan, pernaungan dan sebagainya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, karena sudah meninggalkan keduniawian demi kepentingan Dhamma dan pula telah mengakhiri kepemilikan uang atau benda lain, mempunyai kebutuhan yang berbeda dibanding dengan apa yang mereka miliki semasa hidup sebagai orang biasa. Para bhikkhu dan bhikkhuni hendaknya hidup dalam cinta kasih, bukan dalam uang dan harta benda lain. Sang Buddha berkata:

          Dan apakah kekayaan seorang bhikkhu? Menyangkut hal ini, dia telah tinggal-berdiam dalam pikiran yang penuh cinta kasih, ber-welasasih, ber-simpati dan penuh keseimbangan, meliputi perempat pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dia tinggal-berdiam meliputi seluruh dunia-keatas, kebawah, keseberang, kesemua penjuru dengan pikiran dipenuhi oleh cinta kasih, welas asih, simpati dan keseimbangan, berlimpah kebahagiaan, tidak terbatas, tanpa kebencian atau keinginan-jahat. Inilah kekayaan seorang bhikkhu.12

      Uang hanya dapat dipersembahkan untuk membangun vihara, mencetak buku Dhamma dan menyokong pelayanan keagamaan dan amal lainnya.

 107. Suatu hal yang menarik, ialah bahwa ternyata Sang Buddha mengajarkan agar dukungan hendaknya diberikan kepada setiap rohaniawan yang benar dan tulus, tidak hanya kepada rohaniawan agama Buddha semata.13 Pada zaman Sang Buddha, kebanyakan guru agama lain menganjurkan kedermawanan pada agamanya sendiri, tapi tidak menganjurkan menyokong keyakinan lain. Sikap licik dan picik ini masih menonjol dalam praktek keagamaan tertentu pada saat ini. Agama Buddha sebaliknya, seperti telah dibahas didepan menyadari segi-segi kebajikan pada agama lain dan turut bergembira pada hal tersebut, dengan demikian seorang Buddhis dapat dan pada tempatnya turut memberi dukungan pada lembaga keagamaan non Buddhis. Sang Buddha mengingatkan kita, bahwa kemurahan hati yang memihak akan menghalangi kita sama halnya menahan pemberian kita pada orang lain.

          Vacchagota berkata pada Sang Buddha: "Saya pernah mendengar, bahwa Dikau, Gotama yang baik, pernah berkata bahwa sumbangan hendaknya hanya diberikan pada-Mu, bukan pada yang lainnya; pada para pengikut-Mu, bukan pada pengikut guru lainnya. Mereka yang berkata demikian, apakah benar-benar sesuai pendapat-Mu, tanpa melebih-lebihkannya? Apakah mereka berbicara sesuai ajaran-Mu? Oleh karenanya, Gotama yang baik, saya kwatir berprasangka yang salah pada-Mu."
          Sang Buddha berkata: "Vaccha, perkataan mereka bukanlah pendapat Saya, mereka berprasangka yang salah dengan mengatakan yang tidak benar. Sebenarnya, siapapun yang menganjurkan orang lain agar tidak berderma sebenarnya telah menghalangi pula tiga hal. Apa yang tiga itu? Dia menghalangi si pemberi untuk berbuat kebaikan, dia menghalangi si penerima untuk menerima kebaikan, dan pula dia telah menghancurkan dirinya sendiri dengan kepicikannya."14

 108. Karena kekayaan adalah penting untuk kehidupan, sebab dapat memberi keamanan jasmani dan rohani, dan karena dengannya banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan, maka Sang Buddha menganjurkan agar kita menggunakan penghasilan kita dengan teliti dan berhati-hati. Menurut Sang Buddha, mengawasi kekayaan, yang telah kita peroleh melalui usaha keras yang jujur adalah salah satu faktor yang mengantar ke keberhasilan di dunia ini.

          Dan apakah tujuan berwaspada? Menyangkut hal ini, apapun cara seseorang mencari nafkahnya, apakah bertani, berdagang, memelihara ternak, pemanah, pelayan raja ataupun seniman, dia akan menjadi trampil dan bergairah, berbakat dan cekatan dalam tata-cara dan peralatan, dan mampu mengatur dan menyelesaikan pekerjaannya. Dan apakah tujuan dari berhati-hati? Menyangkut hal ini, apapun yang diusahakan dan dikerjakan seseorang, yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, dia akan berhemat, berwaspada dan bersiaga sedemikian rupa sehingga raja penakluk tidak akan merampasnya, pencuri tidak akan mencurinya, air atau api tidak akan menghancurkannya, dan para pewaris tahta yang tak diinginkan tidak akan menyitanya.15

 109. Beliau juga mewejangkan apa yang disebut-Nya sebagai penghidupan seimbang, yang berarti membuat perimbangan antara pengeluaran dan pemasukan kita. Untuk itu, tentunya diperlukan penentuan anggaran, penghematan dan menejemen yang baik.

          Dan apakah penghidupan yang seimbang? Menyangkut hal ini, seseorang yang mengetahui pemasukan dan pengeluarannya, tidak berfoya-foya tidak pula hidup sengsara, mengetahui bahwa pemasukan harus berimbang dengan pengeluaran, dan pengeluaran tidak melebihi pemasukan. Seperti seorang pandai emas atau pembantunya, mengetahui cara menggunakan timbangan, seberapa banyak jarum timbangan naik dan turun, sedemikian pula dia harus mengetahui pemasukan dan pengeluarannya. Seorang yang pemasukannya kecil, tapi hidup berfoya-foya, merekalah yang dikatakan: "Dia menikmati kekayaannya seperti seorang rakus pelahap buah-buahan di hutan." Demikian pula, bila seseorang dengan penghasilan yang bercukupan namun hidup sengsara, merekalah yang dikatakan: "Dia akan mati seperti seorang pengemis."
          Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan habis: kebejatan moral, mabuk-mabukan, berjudi dan berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, seorang menutup keran masuk tapi membiarkan keran keluar terbuka. Bila tak ada hujan, maka jumlah air akan berkurang. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seorang akan menghabiskan kekayaannya.
          Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan terjaga: menghindari kebejatan moral, tidak mabuk-mabukan, tidak berjudi dan tidak berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, dan seorang membuka keran masuk tapi menutup keran keluar terbuka. Dengan melakukan hal itu dan bila hujan turun, maka jumlah air akan bertambah. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seseorang dapat menjaga kekayaannya.16

 110. Sebagian orang sangat menikmati pekerjaannya, pekerjaan memberi mereka kepuasan, mereka menikmati tantangan-tantangan dalam bekerja, pekerjaan memberi arti bagi hidupnya yang bagi orang lain justru hidupnya itu kelihatan tak mempunyai arti lagi. Sebagian orang lagi, tidak menikmati pekerjaannya, tapi menikmatinya lewat apa yang dihasilkan melalui pekerjaan.

      Konsekwensinya, adalah mudah bagi sebagian orang untuk berpikir, bahwa bekerja dan menimbun kekayaan adalah bagian yang terpenting dalam hidupnya, atau malah dijadikan tujuan hidupnya. Mereka tidak tertarik pada masalah lain selain bekerja dan menjadi kaya, dengan demikian bila dia kehilangan pekerjaan, atau tidak dapat lagi bekerja, atau sewaktu dia kehilangan kekayaannya, mereka merasa benar-benar kehilangan daya dengan perasaan hancur luluh. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa walau pekerjaan dan kekayaan adalah penting, namun bukanlah segala-galanya; pekerjaan dan kekayaan adalah tetap hal yang berprasyarat, mempunyai keterbatasan dan senantiasa berubah. Pekerjaan dan kekayaan adalah sesuatu yang bernilai, karena dapat menopang kehidupan kita, sementara kita mengembangkan nilai spiritual yang pada akhirnya membawa kita kealam dimana perjuangan keras tidak diperlukan lagi dan kebahagiaan adalah satu-satunya kekayaan kita. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Sangatlah tidak berarti hilangnya hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan kehilangan kebijaksanaan. Sangatlah tidak berarti menimbun hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan menimbun kebijaksanaan.17
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #16 on: 30 November 2008, 06:30:40 AM »
ETIKA PERGAULAN

 111. Manusia adalah makhluk sosial, saling bergantung satu sama yang lain. Selama paling kurang sepuluh tahun pertama dalam kehidupan kita, kita sangat tergantung pada orang-tua kita; dan pada usia tua mereka mungkin berbalik tergantung pada kita. Kita tergantung pada guru-guru dalam hal pendidikan kita, pula dalam menyiapkan masa depan kita; sebaliknya mereka mungkin menggantungkan nafkahnya dengan membagi ilmu dan pengalamannya pada kita. Kita memiliki kawan-kawan dan dimiliki oleh kawan-kawan. Kita menjual keahlian kita pada para majikan yang usahanya tergantung pada kita sebagai para pekerjanya. Sebagian besar manusia akan kawin, dengan pasangannya, mereka akan saling mengasihi secara emosional dan seksual. Para rohaniawan sekali pun, yang telah meninggalkan keduniawian untuk mencari kebenaran sejati, juga tetap tergantung pada orang lain untuk pemenuhan kebutuhan utamanya; yang kemudian pada gilirannya akan diminta petunjuknya dalam hal-hal yang menyangkut spiritual. Jalinan jaringan diantara manusia satu sama lainnya dan interaksi diantara mereka inilah, yang kita sebut sebagai masyarakat.

 112. Disebabkan karena keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, masyarakat sekeliling kita sering diwarnai oleh kesemenaan dan kekerasan; sekelompok orang dengan posisi politik atau ekonomi yang kuat dapat menindas secara tidak adil pada kelompok yang lain. Kelompok yang tidak beruntung akan merasa dendam pada mereka yang mengeksploitasi mereka, dengan akibat timbulnya pengelompokan sosial, perang saudara dan kejahatan-kejahatan lainnya. Lalu, pada akhirnya pola keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin ini akan mengembangkan keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin baru lainnya. Sang Buddha menyadari, bahwa tatanan masyarakat yang adil dan seimbang akan memberikan kesempatan yang maksimal pada manusia untuk mencapai kebahagiaan dan pula kesempatan untuk mengembangkan kehidupan spiritual. Beliau juga menunjukkan, bahwa bila kita mencita-citakan masyarakat seperti itu, etika harus dikembangkan dalam hubungan antar manusia sama pentingnya dengan pengembangan etika dan perilaku perorangan. Tatanan masyarakat yang adil dan seimbang segera akan bersinar cemerlang, bila kita mulai memperlakukan sesama kita dengan cinta-kasih, adil dan seimbang. Oleh karenanya dapat dikatakan, bahwa etika pergaulan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang Buddhis.


 113. Dalam salah satu khotbah yang sangat terkenal, yang dikenal sebagai "Wejangan pada Sigala" (Sigalovada Sutta), Sang Buddha merumuskan enam macam hubungan utama antar manusia, yang didalamnya, pada umumnya setiap insan manusia akan terlibat dalam masa hidupnya. Pada tiap macam hubungan itu, Beliau mewejangkan bagaimana hendaknya tata cara pergaulan itu dilaksanakan. Dalam khotbah ini akan tampak betapa Sang Buddha menekankan pentingnya kepercayaan, cinta dan saling pengertian diantara manusia. Juga terkesan cara Sang Buddha mengajar yang senantiasa persuasif, namun penuh kecermatan. Di zaman India kuno, menyembah ke enam penjuru setiap hari, adalah suatu cara praktek keagamaan yang telah umum dilaksanakan. Dalam riwayat hidup Sang Buddha, seorang lelaki muda bernama Sigala melakukan hal itu setiap pagi, bukan karena dia adalah seorang penganut agama yang saleh, tapi karena hal itu dianjurkan oleh orang tuanya sebelum meninggal.1 Sang Buddha yang kebetulan melihat Sigala yang sedang menyembah ke enam penjuru tersebut menanyakan kepadanya alasan melakukan hal itu, Sigala lalu menceritakan perihal pesan ayahnya tadi. Sang Buddha ternyata tidak meremehkan kebiasaan Sigala diatas, walau Sang Buddha tahu jelas, bahwa tata cara ritual seperti itu sangat kecil nilainya; pula Sang Buddha tidak mengkritiknya karena Sigala ternyata melakukan hal itu tanpa pengertian sama sekali; namun Beliau melihat betapa lelaki muda itu melakukannya dengan tujuan yang tulus, sebagai penghormatan pada (pesan) ayahnya. Dengan bijaksana dan penuh kasih-sayang, Sang Buddha menganjurkan agar penyembahan ke enam arah tersebut dilaksanakan dengan cara lain, yang lebih berarti. Selanjutnya, Beliau kemudian memberi tafsiran pada penyembahan enam arah tersebut dalam lingkup pengembangan cinta-kasih, saling percaya dan saling hormat didalam enam macam hubungan antar manusia. Mari kita bahas apa yang diajarkan Sang Buddha tentang itu satu persatu:

 114. Yang pertama dan paling penting adalah hubungan, yang mungkin berlangsung seumur hidup yakni hubungan antara orang-tua dan anak-anaknya. Disini, seperti halnya tipe hubungan yang lain, Sang Buddha menunjukkan keseimbangan antara tanggung-jawab dan hak, yang mendasari adanya perasaan "damai dan aman" diantara orang-tua dan anak. Dalam melukiskan hak dan tanggung-jawab itu, Sang Buddha bersabda:

          Dengan lima cara, seorang anak hendaknya memperlakukan ibu dan ayahnya sebagai arah timur. Dia harus mencamkan: "Setelah disokong oleh mereka, maka saya harus mengganti menyokongnya. Saya harus menggantikan tugas mereka demi kebaikan mereka. Saya akan memelihara tradisi keluarga. Saya akan menghargai warisan saya. Setelah mereka meninggal, saya akan membagi pemberian atas nama mereka."
          Dengan lima cara, orang-tua berbalas memperlakukan anak-anaknya sebagai arah timur. Mereka menghindarkan mereka dari kejahatan, menganjurkan mereka berbuat kebaikan, mengajarkan mereka keahlian, mencarikan mereka pasangan yang tepat, dan pada waktu yang tepat memberi mereka warisan. Dengan cara ini, arah timur diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan pada rasa takut.2

      Bila tanggungjawab-tanggungjawab ini dilaksanakan secara penuh, maka dengan mudah akan terlihat betapa norma-norma tersebut akan membawa rasa-syukur, hormat dan cinta, dan betapa norma-norma tersebut akan menuntun kita pada suatu ikatan kekeluargaan yang kuat. Sang Buddha menyebutkan, bahwa menyokong ayah dan ibu (mata pitu upatthanam) dan menyayangi isteri dan anak (putta darassa sangaho) adalah salah satu kehidupan yang sangat terbekahi.3

 115. Pada beberapa tradisi Konfusius, penghormatan anak-anak pada orang-tuanya ditekankan sedemikian rupa, sehingga seakan anak-anak berhutang budi pada ke dua orang-tuanya selama-lamanya. Hal ini dapat menuntun pengertian, bahwa apapun yang dilakukan anak pada orang-tuanya, tidak pernah akan cukup; hal ini akan menyebabkan perasaan bersalah dan perasaan seakan tak memenuhi kewajiban pada seorang anak terhadap orang-tuanya. Dengan menyadari pengorbanan ke dua orang-tua dalam membesarkan anak-anaknya, Sang Buddha berkata bahwa seorang anak dapat membayar kembali jasa orangtua dengan memperkenalkan Dhamma pada mereka. Beliau bersabda:

          Ada dua orang manusia yang padanya engkau tidak pernah dapat membayarnya? Siapa mereka berdua? Ayah dan ibumu. Walau engkau mendukung mereka dipunggungmu ratusan tahun, menyokong mereka, mengurapi mereka dengan obat-obatan, memandikan dan menguruti anggota tubuh mereka dan membersihkan kekotorannya; hal itu tidak akan membayar kembali jasa mereka. Walau untuk itu engkau memberinya kekuasaan pada seluruh dunia, engkau tidak akan membayar kembali jasanya. Kenapa? Sebab orang-tua berbuat demikian banyak pada anak-anaknya - mereka membesarkannya, memberi mereka makan, mengenalkan isi dunia ini. Tetapi barang siapa dapat menyebabkan orang-tuanya yang tidak percaya menjadi percaya, orang-tuanya yang tak bermoral menjadi bermoral, orang-tuanya yang kikir menjadi dermawan, orang-tuanya yang dungu menjadi bijaksana, dialah seorang yang dengan melakukan hal diatas dapat membayar jasa orang-tua mereka, bahkan lebih dari sekadar pembalasan jasa.4

 116. Para guru memainkan peranan penting dalam membangkitkan dan mematangkan daya intelektual seorang murid, dengan demikian sepantasnya mereka dihargai dan didengarkan secermat mungkin. Dengan sendirinya, tanggung jawab guru adalah sangat penting, seorang guru yang baik tidak hanya tertarik pada pendidikan muridnya sebagai obyek, tapi juga terlibat secara fisik dan emosi. Tanggung jawab murid pada usaha gurunya adalah menaruh hormat, memperhatikan dan menyiapkan diri untuk belajar.

      Dengan lima cara, seorang murid hendaknya memperlakukan gurunya sebagai arah selatan, dengan bangkit menghormatinya, menunggunya, menyimak padanya, melayaninya, dan dengan menguasai apa yang diajarkannya. Dengan lima cara, seorang guru berbalas memperlakukan muridnya sebagai arah selatan. Mereka mengajarnya dengan hati-hati, membuat mereka mengerti apa yang harus dimengerti, memberi mereka dasar yang kuat dalam segala keahlian, merujuk mereka ke teman-teman dan rekan-rekannya, dan melindungi mereka dari segala arah. Dengan cara ini, arah selatan diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.5

 117. Hidup serumah bersama seorang selama bertahun-tahun memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Bila seorang suami atau isteri tak dapat akrab satu sama lain, cinta yang mungkin pernah mereka berikan satu sama lain, bisa hancur, berubah menjadi kepahitan dan kebencian. Perkawinan yang tidak bahagia bisa menghancurkan kehidupan seorang seumur hidup, sebaliknya perkawinan yang bahagia akan menjadi sumber kebahagiaan selama hidup. Perkawinan yang berbahagia juga penting dalam satu segi, sebab perkawinan akan melibatkan anak-anak. Latar belakang orang-tua yang stabil adalah faktor yang penting dalam perkembangan emosi anak yang seimbang. Sang Buddha menyebutkan bahwa dengan saling setia, saling berbagi tanggung-jawab dan beban pikiran, yang adalah pencerminan rasa hormat dan cinta, adalah faktor kunci dalam kebahagiaan perkawinan. Perkawinan hendaknya adalah suatu persekutuan yang seimbang.

          Dengan lima cara, seorang suami hendaknya memperlakukan isteri sebagai arah barat. Dia menghormati isterinya, dia tidak meremehkannya, dia setia kepadanya, memberinya keleluasaan, dan memberinya perhiasan. Dengan lima cara, seorang isteri hendaknya berbalas memperlakukan suaminya sebagai arah barat. Dia mengatur pekerjaannya dengan rapih, dia baik pada pelayan-pelayannya, dia setia kepada suaminya, dia melindungi apa yang dibawa pulang oleh suaminya, dan dia cermat dan rajin dalam semua yang dikerjakannya. Dengan cara ini, arah barat diperlakukan, membawa kedamainan dan kebebasan dari rasa takut.6



 118. Agama Buddha melihat perkawinan sebagai suatu hubungan yang penting dalam kehidupan manusia dan sebagai salah satu sendi dari bangunan masyarakat yang kokoh dan sehat. Namun, adalah kenyataan bahwa cinta antara sepasang manusia bisa memudar, dan oleh karenanya mereka sering memutuskan untuk bercerai. Banyak hal-hal yang lebih mengerikan bisa terjadi, bila memaksakan dua manusia yang tidak saling mencintai, malah saling membenci, untuk hidup bersama. Mereka pada kenyatannya mungkin bisa mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan yang lain. Agama Buddha tidak menganggap perceraian sebagai suatu dosa, tapi sebagai suatu cara penyelesaian masalah yang bersifat lebih resmi.

 119. Hubungan antar manusia yang banyak ditekankan oleh Sang Buddha, adalah hubungan antar sahabat (mitta). Alasan dalam hal ini, mungkin adalah karena semua tipe pergaulan juga dapat dikembangkan menjadi persahabatan - seorang isteri, pada waktu yang sama juga adalah seorang kawan; demikian pula guru, majikan, saudara, rohaniawan dan rohaniawati. Persahabatan hendaknya terjalin pada setiap tipe hubungan. Alasan lain, adalah sebagai dimaklumi, bahwa bila dari satu sisi kedua orang-tua berperan dalam membentuk manusia macam apa diri kita sewaktu muda, maka sahabat dengan mudah menuntun kita berbuat baik, sebaliknya juga dengan mudah dapat menjerumuskan untuk berbuat yang tidak baik. Sang Buddha mengingatkan kita:

          Menuruti para sahabat, seorang bertindak;
          Menuruti para sahabat, seorang meneladani.
          Demikian seorang akan jadinya,
          Seperti para sahabatnya, demikian pula dia jadinya.7


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #17 on: 30 November 2008, 06:30:54 AM »
 120. Agama Buddha mengenal tiga macam sahabat - sahabat yang tidak baik, sahabat baik, dan sahabat spiritual. Sahabat yang tidak baik (papa mitta) adalah tipe sahabat yang menyukai kita, bukan karena siapa kita, tapi karena apa yang dapat diperolehnya dari kita. Mereka mungkin juga menyukai kita, atau setidaknya berpura-pura menyukai kita, karena mengharapkan kita berada dipihaknya bila dia melaksanakan suatu tindakan yang salah atau berbahaya. Tentu saja, tidak semua sahabat adalah tidak baik dalam arti menjerumuskan atau memanfaatkan diri kita. Banyak sahabat dalam pergaulan sehari-hari, yang mempunyai sifat dan kehendak yang tidak khusus, dan kita juga cenderung sama pada mereka; puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata dan kita pun puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata pula. Sahabat-sahabat seperti ini dapat tetap menyenangkan dalam waktu yang lama, tapi mereka tidak akan memberi tantangan bagi kita untuk berubah dan menjadi bijaksana.

      Ada empat tipe manusia yang seharusnya dikenal sebagai "musuh yang menyaru sebagai teman": orang yang serakah, orang yang berkata tapi tak melaksanakan, penyanjung dan pemboros. Si serakah adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", karena empat alasan. Dia serakah; dia memberi sedikit tapi meminta banyak; dia hanya melakukan hanya bila terpaksa demi pamrih tertentu; dia hanya mengejar kepentingannya sendiri semata. Dia yang berkata tapi tidak melaksanakan adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", juga karena empat alasan. Dia mengingatkan engkau kebaikannya di masa lalu yang dilakukan atas namamu; dia mengatakan kebaikan yang akan dibuatnya atas namamu di masa mendatang; dia mencoba mengalahkan kebaikanmu atas ucapan yang tak berdasar; bila ada kesempatan untuk menolong, dia berdalih seakan dalam keadaan yang tak bisa menolong. Si penyanjung adalah "musuh yang menyaru sebagai sahabat", karena empat alasan. Dia membiarkan engkau berbuat salah; dia tak menganjurkan berbuat baik; dia memuji didepanmu; tapi mencela dibelakangmu. Si pemboros adalah "musuh yang menyaru sebagai teman", juga karena empat alasan. Dia menemanimu, ketika engkau minum bermabuk-mabukan, ketika engkau menelusuri jalan dalam waktu-waktu tak terbatas, ketika engkau mengunjungi tempat pertunjukan dan keramaian yang tak senonoh, dan ketika engkau berjudi.

          Sahabat yang selalu hanya ingin mengambil,
          Sahabat yang berkata tapi tidak melaksanakan,
          Sahabat yang selalu menggunakan kata sanjungan,
          Sahabat yang menemanimu dalam berbuat kesalahan.

          Empat macam sahabat ini sebenarnya adalah musuh,
          Dan seorang yang bijaksana, dengan pengertian ini,
          Akan menghindari mereka dari kejauhan,
          Sebab mereka adalah jalan yang salah.8

 121.

      Sahabat yang baik (puñña mitta) atau seperti yang sering disebutkan oleh Sang Buddha sebagai sahabat berbaik-hati (suhada mitta)9 adalah tipe sahabat yang diinginkan semua orang - dapat dipercaya, bermurah hati, berkepentingan atau berminat yang sama dengan kita, dan memperhatikan kesejahteraan kita. Sang Buddha menjelaskan, cara terbaik untuk mendapatkan sahabat yang baik ialah dengan berusaha menjadi sahabat yang baik terlebih dahulu pada yang lainnya.

          Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para sahabatnya sebagai arah utara. Dia harus bermurah hati, berbicara yang baik padanya, memperhatikan kesejahteraannya, memperlakukannya seperti memperlakukan diri sendiri, dan dia hendaknya menepati kata-katanya.
          Dengan lima cara, para sahabat berbalas memperlakukan sahabatnya sebagai arah utara; dengan melindunginya ketika dia tidak berwaspada, dengan melindungi miliknya ketika dia tidak berwaspada, dengan menghiburnya ketika dia dalam ketakutan, dengan menyertainya sewaktu dia dalam kesulitan, dan dengan turut menjaga anak-anaknya. Dengan cara ini arah utara diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.10


 122. Namun, tipe sahabat yang terbaik yang dapat kita miliki adalah sahabat spritual (kalyana mitta). Istilah 'kalyana' secara harfiah berarti indah, dan mengacu pada kenyataan bahwa seorang sahabat spiritual memiliki (atau akan berusaha untuk dapat memenuhi) semua nilai-nilai yang diagungkan dalam agama Buddha - cinta-kasih, dapat dipercaya, pengertian, tak terikat, murah-hati dan kedamaian didalam hatinya. Bila seorang sahabat baik dapat menuntun kita untuk mendapatkan sarana-sarana kebaikan, maka seorang sahabat spiritual akan menuntun langsung secara intrinsik untuk menemukan kebaikan. Oleh karena itu, menurut Sang Buddha, sahabat spiritual adalah salah satu faktor penting dalam menempuh Jalan.

          Lalu Ananda menghadap Sang Buddha dan berkata:
          "Setengah dari kehidupan suci adalah persahabatan, persekutuan dan keintiman pada nilai spiritual."
          "Jangan berkata demikian, Ananda, jangan katakan demikian! Adalah semua dari kehidupan suci ini, bukan hanya setengah, persahabatan ini, persekutuan ini, keintiman ini pada nilai spiritual."11

      Tujuan hidup utama dari seorang sahabat spiritual adalah menjalani Jalan Berjalur Delapan serta untuk membantu setiap orang yang bertujuan sama. Bila persahabatan biasa diantara sahabat baik bercirikan daya tarik badaniah, keinginan-disertai dan kepentingan bersama; maka persahabatan diantara sahabat spiritual bercirikan keterbukaan, kepercayaan dan kejujuran. Diantara sahabat spiritual hendaknya secara bebas dapat didiskusikan kekurangan masing-masing tanpa kekwatiran akan timbulnya perselisihan. Mereka hendaknya tetap bersahabat walau diwarnai pertentangan paham. Mereka hendaknya dapat merasakan bahwa mereka dapat menyingkap pikiran-pikiran dan keinginan mereka yang paling mendalam satu sama lainnya. Dan, tentunya, sahabat spiritual hendaknya dapat mendengarkan dengan baik dan mempertimbangkan sepenuhnya saran-saran diantara mereka. Pernyataan "Dhamma harus dipahami oleh para bijaksana demi dirinya sendiri", tidaklah berarti kita harus menyendiri. Sahabat spiritual adalah lebih dari sekadar sekutu dalam Jalan - dia dapat menunjukkan pelaksanaan Buddha Dhamma secara pribadi sesuai harkat manusia.

 123. Hubungan antar majikan dan pekerja sering terlaksana tidak sewajarnya. Sebelum terbentuknya serikat pekerja, dan perhimpunan pengusaha dalam dua abad terakhir ini, para pekerja sering diwajibkan bekerja melampaui batas kemampuan dengan kondisi kerja yang tidak aman, dan dengan bayaran yang sangat kecil. Oleh karenanya Sang Buddha mendesak agar para majikan mempunyai tanggung jawab pada pekerjanya. Tanggungjawab-tanggungjawab tersebut adalam dalam bentuk hak-hak yang saat ini telah dinikmati para pekerja di negara-negara maju dalam bentuk gaji yang wajar, izin sakit, bonus dan cuti. Sebagai imbalannya, para pekerja diharapkan bekerja dengan jujur dan pula jujur pada majikannya.

          Dengan lima cara, seorang majikan hendaknya memperlakukan para pelayan dan pekerjanya sebagai arah nadir (arah bawah). Dia memberi mereka pekerjaan sesuai kemampuannya, memberinya makanan dan upah yang setimpal, menyantuninya sewaktu sakit, membaginya manisan serta meliburkannya secara berkala.
          Dengan lima cara, pelayan dan pekerja, berbalas memperlakukan majikannya sebagai nadir. Mereka harus bangun sebelum majikannya bangun, beristirahat sesudah majikan beristirahat, mengambil hanya yang diberikan, melakukan pekerjaannya dengan tepat, dan mereka hendaknya menjunjung nama baiknya sendiri. Dengan cara ini, arah nadir diperlakukan, membawa kedamaian dan rasa bebas dari takut.12


 124. Dari sudut pandang pengajaran dan penyebarluasan Dhamma, hubungan sosial yang sangat penting adalah hubungan antar umat awam dengan para bhikkhu dan bhikkhuni. Umat berdana kebutuhan utama para bhikkhu, yang memungkinkan mereka menggunakan waktunya untuk belajar, menerapkan dan mengajar Dhamma. Sebaliknya, para bhikkhu mengajarkan Dhamma, memberi wejangan dalam masalah etika dan memberi dukungan spiritual sewaktu umat dalam masa krisis. Rasa saling hormat dan mendukung adalah jiwa dari hubungan antara umat-awam dan bhikkhu. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Yang berumah dan yang telah meninggalkan rumah,
          Dengan saling tergantung satu sama lain
          Datang untuk menjalankan Dhamma dengan baik,
          Kebebasan mutlak dari perhambaan.13


      Seperti hubungan yang lain, hubungan ini juga didasari cinta kasih. Tapi lebih jauh lagi, kebajikan dan kasih sayang, memberi dan menerima; akan menyebabkan ikatan yang serasi antara umat-awam dan para bhikkhu yang kemudian berbuah kebijaksanaan dan kekuatan positif dalam masyarakat.

          Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para pertapa dan kaum brahmin sebagai arah zenith (atas). Dia hendaknya bersikap baik dalam tatakrama jasmaniah, hendaknya bersikap baik dalam berbicara, bersikap baik dalam berpikir tentang mereka, membuka rumah bagi mereka, dan berdana kebutuhan utama bagi mereka.
          Dengan enam cara, para pertapa dan kaum brahmin hendaknya membalas memperlakukan orang itu. Mereka menghindarkan dia dari perbuatan jahat, menganjurkan dia berbuat baik, memperlihatkan kebajikan dan kasih sayang pada dia, mengajarnya hal-hal yang belum didengarnya, mengoreksi dan memperjelas hal-hal yang sudah didengarnya dan menunjukkan dia jalan ke surga.14
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #18 on: 30 November 2008, 06:32:20 AM »
Latihan Kejiwaan

Tata Cara peribadatan

 125. Selain Jalan Berunsur Delapan yang telah kita pelajari, agama Buddha juga mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai puja. Istilah 'puja' berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita pada Tiratana - Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha. Ada pendapat yang menganggap 'puja' adalah 'suatu upacara ritual tak berarti', berdasar pengertian bahwa dalam agama Buddha, tidak diakui adanya makhluk-agung atau dewa-agung yang padanya kita harus bermohon dan dengan demikian upacara adalah mubazir. Pandangan diatas jelas salah. Pertama, tidak ada upacara yang 'tak punya arti' bila kita berusaha mencari makna artinya; ke dua, keikutsertaan dalam upacara tidak perlu bertentangan dengan keberadaan kita sebagai manusia yang kritis. Upacara ritual memang ganjil bila dikaitkan dengan ilmu gaib, tapi upacara agama Buddha bukanlah hal yang demikian. Pelaksanaan 'puja' mempunyai nilai yang tinggi karena mampu menguatkan keyakinan dan menanamkan pengertian yang khusus dalam batin kita. Pemujaan (pelaksana Puja) bukan keharusan dalam pelaksanaan keagamaan Buddha, tapi karena sebagian besar orang dapat melihat dampak positif-nya, maka kita akan mempelajari arti dan pelaksanaannya secara terinci. Ada bermacam-macam cara pemujaan tergantung budaya dimana tata pemujaan itu berkembang, ada yang sederhana dan anggun, ada yang rumit dan ramai. Mari kita teliti Nava Puja (lihat appendiks I). Istilah 'nava' berarti 'baru' dan juga berarti 'sembilan', karena Nava Puja adalah penyesuaian moderen dari Puja Buddha yang kuno di Sri Lanka, dan karena Nava Puja terdiri atas sembilan bagian. Seperti 'puja' yang lain, maka Nava Puja dapat dilaksanakan dalam bahasa sehari-hari kita ataupun dalam bahasa Pali.

 126. Pemujaan paling tepat dilakukan di depan meja-sembahyang (Inggris: shrine) di vihara ataupun di rumah. Ada umat yang salah mengartikan dengan menyamakan serta menyebut meja-sembahyang dirumahnya sebagai 'altar'. Pada kenyataannya secara harfiah, altar berarti tempat pelaksanaan korban, yang tentunya tidaklah tepat untuk menggambarkan meja-sembahyang agama Buddha. Meja-sembahyang terdiri dari suatu meja atau panggung yang agak ditinggikan, yang diatasnya diletakkan patung Buddha (Buddha rupa) dan obyek-obyek lain yang digunakan pada pemujaan tersebut. Meja-sembahyang secara estetis hendaknya terawat, menyenangkan dan senantiasa rapih. Pada dasarnya, kita hendaknya merawat meja-sembahyang seperti hati kita - bersih, indah dan rapih. Meja-sembahyang hendaknya dibersihkan setiap hari dari debu, abu dupa dan guguran bunga. Meja-sembahyang hendaknya indah, ditempati peralatan sembahyang terbaik, diletakkan simetris agar baik dipandang mata. Lebih jauh, meja-sembahyang hendaknya tidak menjadi kacau karena adanya foto-foto para bhikkhu, guru kebatinan, patung dewa-dewa Tao ataupun segala macam obyek yang tak ada hubungannya dengan puja.

 127. Sekarang mari kita lihat setiap bagian dari sembilan bagian Naya Puja tersebut. Bagian 1 adalah pernyataan Penghormatan (Vandana), suatu pendahuluan yang secara tradisional juga dilaksanakan pada tata sembahyang agama lain, yang biasanya diulangi tiga kali. Bagian 2 adalah Tiga Perlindungan (Tisarana), yang maknanya telah kita pelajari. Walau, ketika pertama kali menjadi Buddhis, kita mengakui Tiga Perlindungan, tapi tentunya amat baik bila diulangi setiap hari untuk mengokohkan janji dan senantiasa mengingatkan kita kembali padanya. Pembacaan Tiga Perlindungan diulangi tiga kali untuk meyakinkan, lebih meyakinkan kita pada apa yang kita lakukan. Bagian ke 3 dari Nava Puja adalah Lima Janji (Pañca sila), pelaksanaan yang adalah sangat penting bagi setiap insan Buddhis. Setiap janji atau aturan mempunyai dua aspek menghindar (varitta), kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menghindari kelakuan yang negatif, dan berperilaku (caritta), kita berjanji untuk berbicara dan bertindak dengan cara yang positif.

 128. Bagian ke 4 terdiri atas Pujian (kittisadda) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagian 4 A terdiri atas ucapan Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan nilai-nilai dalam diri-Nya sendiri.1 Berpengetahuan dan bertindak tanduk Sejati (vijja carana sampanno) mengacu pada kenyataan bahwa tidak ada pertentangan antara yang diajarkan-Nya dengan tindak-tanduk-Nya sendiri; Beliau melaksanakan apa yang Beliau ajarkan. Beliau juga mencapai Mencapai dengan Sempurna (sugato), dalam hal ini mencapai Nibbana, yang menyebabkan Beliau selalu bergembira dan berbahagia. Sang Buddha juga disebut sebagai Pengenal Alam Semesta - mengetahui dunia-dunia (lokavidu), sebab Beliau dapat melihat semua alam-alam keberadaan dan melihat bagaimana makhluk-makhluk terlahir pada alam-alam itu. Sebagai guru yang paling ahli dan sangkil yang pernah ada, Sang Buddha juga penuntun tiada taranya dari para manusia (anuttaro purisa damma sarathi). Telah kita pelajari di depan bahwa para dewa masih diliputi kekotoran batin seperti halnya manusia, sedang Sang Buddha telah bersih dari kekotoran batin; sebagai dampak dari keberadaan Beliau tersebut, maka baik manusia maupun para dewa dapat memanfaatkan Dhamma Sang Buddha. Dengan demikian Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (satta devamanusanam). Pada bagian 4 B, kita mengukuhkan penghormatan kita pada semua Buddha, dan bahwa Sang Buddha adalah pelindung tertinggi kita dan akan demikian selama hidup kita.

 129. Di bagian 4 C, juga adalah penggambaran Sang Buddha sendiri pada ajaran-Nya.2 Dhamma dibabarkan dengan indah dan sempurna (svakkhato) dengan lengkap, relevan, jelas dan digambarkan dengan perumpamaan yang menggena. Karena kita tidak perlu harus menunggu kematian untuk membuktikan kebenaran Dhamma, maka Dhamma disebut sebagai 'tampak-seketika' (sanditthiko). Dhamma adalah abadi (akaliko) dalam dua pengertian. Pertama, Sang Buddha mengajarkan tentang sifat alami dari batin manusia dan karena batin manusia berubah sedikit saja selama berabad-abad ini, maka Dhamma tetap relevan, sekarang seperti halnya pertama kali diajarkan. Pula, Dhamma tidak melibatkan waktu sebab bila dalam agama lain, seorang harus mempercayai sesuatu yang terjadi pada masa lampau atau akan terjadi pada masa yang akan datang, maka Dhamma adalah pengertian tentang diri kita saat ini. Dhamma, seperti yang diajarkan, secara alami mengundang atau secara lebih harfiah sesuatu yang hendaknya didatangi dan dilihat sendiri (ehipassiko). Agama Buddha tidak pernah memaksakan, menjanjikan hadiah, melakukan sulapan-sulapan, apalagi menakut-nakuti agar orang-orang menerima ajaran Sang Buddha. Dhamma tersedia bagi setiap orang yang berharap menyelidikinya, dan dengan demikian setiap orang bebas menerima atau menolaknya. Dhamma senantiasa berkembang menuntun (opanayiko) sebab akan menuntun kita ke depan atau ke atas bila kita menerapkannya dalam hidup kita. Agama Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan Nibbana dicapai melalui pemahaman oleh diri sendiri, sama sekali bukan sesuatu yang dapat dikerjakan oleh orang atau makhluk lain untuk kita. Tidaklah mungkin ada seorang yang bisa mengerti sesuatu untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa menempuh dan lulus ujian untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa makan untuk kita. Sang Buddha mengajar kita, menjelaskan pada kita, menuntun kita, dan memberi dorongan pada kita, tapi pada akhirnya, kita sendiri yang harus mengerti. Jadi Dhamma hendaknya dicapai oleh para bijaksana bagi dirinya sendiri (paccattam veditabho viññuhiti). Pada bagian 4 D, sekali lagi kita mengukuhkan pengabdian kita pada Dhamma dan berlindung padanya seumur hidup.

 130. Pada bagian 4 E, Sang Buddha menggambarkan sifat-sifat dari Sangha, yang terdiri atas Yang Memenangi-Arus, Yang Kembali-Sekali, Yang Tak-Kembali dan Arahat (lihat 191,199).3 Para Siswa Sang Buddha bertindak dengan gembira (supatipanno), dikarenakan telah mencapai Nibbana atau telah di ambang Nibbana, hidup mereka ditandai kegembiraan dan kebahagiaan. Para Siswa bertindak secara lurus (ujupatipanno) dalam arti mereka bebas dari kepalsuan, tipu muslihat dan kelicikan. Mereka bertindak dengan benar (nayapatipanno) dan secara metodik (samici) yang berarti mereka berjalan lurus mantap di Jalan, tidak menyimpang. Secara tradisional, mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat diatas, dibagi masing-masing atas dua bagian, mereka yang mencapai jalan (magga) dan mereka yang telah mengalami dan menikmati buah (phala) dari pencapaian tersebut; oleh karena itu kesemuanya menjadi empat pasang pribadi (cattari purisayugani) dan delapan tipe dari manusia (attapurisa puggala).

      Setelah mencapai keadaan Nibbana melalui usaha sendiri, Siswa-siswa Sang Buddha adalah patut untuk menerima persembahan (ahuneyyo), menerima keramahtamahan (pahuneyyo), menerima pemberian (dakkhineyyo) dan patut menerima 'anjali' (añjalikaraniyo) yang adalah salam tradisional Buddhis dan sekaligus untuk menunjukkan rasa hormat, dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan didepan dada.

      Karena telah menjalani Jalan lebih jauh dari kita, Siswa-siswa ini dapat menjadi pembimbing yang berpengalaman bagi kita, dengan demikian mereka adalah sumber kebajikan tak ada bandingannya di dunia ini (annutaram puññakkhetam lokassati). Sekali lagi di bagian 4 F kita mengukuhkan pengabdian kita pada Sangha dan menjadikannya pelindung selama hidup kita.

 131. Akan sangat bermanfaat membacakan empat bagian pertama dari Nava Puja setiap pagi. Tapi sekali dalam seminggu adalah baik untuk menjalankan bagian 5 dari Nava Puja - Persembahan Utama. Masing-masing dari persembahan itu adalah simbol kekuatan, yang padanya kita dapat mencerminkan diri, pada waktu kita mempersiapkannya, meletakkannya di meja-sembahyang dan membacakan paritta yang sesuai dengan persembahan itu. Persembahan Utama yang pertama adalah cahaya (lilin) yang secara universal dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, sedangkan halnya kegelapan yang dihalaunya adalah lambang universal dari ketidak tahuan. Sementara meletakkan lilin diatas meja-sembahyang, kita membacakan paritta sambil mengungkapkan cita-cita atau niat kita untuk mengembangkan pengertian dan kejernihan batin. Persembahan Utama yang berikut adalah bunga, yang dapat berartikan beberapa hal. Dalam agama Buddha, bunga melambangkan kepemilikan dan kesenangan duniawi sebab seperti kedua hal itu, walau indah bagaimanapun bunga akan segera layu dan mati. Kita membayangkan hal itu sambil meletakkan bunga diatas meja-sembahyang, dengan harapan membantu kita mengembangkan sikap ketakterikatan pada kepemilikan dan kesenangan duniawi. Persembahan Utama yang terakhir adalah dupa. Pada zaman India kuno, kebajikan selalu dilambangkan wangi-wangian, karena sama halnya dengan wangi-wangian, kebajikan selalu harum dan dapat menyebar kemana-mana walau jauh sekalipun. Di dalam Dhammapada, sebagai contoh, Sang Buddha bersabda:

          Bukanlah keharuman kayu cendana, tagara atau melati
          Yang menyebar menentang angin
          Tapi keharuman dari kebajikanlah
          Menyebarkan bau yang harus ke segala penjuru.4

      Dupa, karenanya, melambangkan kebajikan akan mengingatkan kita betapa pentingnya kebajikan; mengingatkan kita untuk menambah kebajikan setiap kali kita mempersembahkan dupa. Persembahan bunga, lilin dan dupa hendaknya dilaksanakan sekurang-kurangnya seminggu sekali.

 132. Bagian ke 6 dari Nava Puja terdiri dari Persembahan Khusus yang dapat dilaksanakan pada kesempatan yang khusus. Persembahan Khusus yang pertama adalah makanan yang melambangkan kekuatan, kesejahteraan dan pemberi kehidupan. Sewaktu kita mempersembahkan makanan hendaknya kita memikirkan mereka yang lapar pada makanan, pada cinta dan pada Dhamma, dan berharap agar mereka dapat terbebas dari kelaparan-kelaparan itu. Makanan yang dipersembahkan dapat dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, beras misalnya; daging tentu saja tidak digunakan. Persembahan Khusus yang ke dua adalah air, yang adalah lambang kebersihan dan kemurnian. Sewaktu mempersembahkan air, kita berharap agar mereka yang batinnya ternodai oleh keserakahan, kemarahan dan iri hati akan bersih, terbebas dari keadaan itu. Persembahan Khusus yang ke tiga adalah obat-obatan, yang melambangkan pulihnya kesehatan jasmani dan rohani. Sewaktu kita mempersembahkan obat-obatan (ramuan jamu dan madu juga dapat digunakan) hendaknya kita membayangkan mereka yang rohani dan atau jasmaninya sakit dan berharap agar mereka dapat sembuh seperti sediakala. Bila pada Persembahan Utama kita memikirkan diri kita dan pengembangkan batin kita, maka pada waktu melaksanakan Persembahan Khusus kita memikirkan orang lain serta berharap agar mereka sejahtera.

 133. Bagian ke 7 dari Puja adalah Pemurnian yang terdiri atas perenungan kesalahan-kesalahan kita, kesalahan-kesalahan orang lain serta kebajikan dan nilai-nilai yang baik dari orang lain. Bagian pertama adalah Pengakuan. Mengaku pada seseorang berarti kita menyadari kesalahan-kesalahan kita dan berniat merubahnya. Pengakuan juga akan mengurangi perasaan penyesalan yang dalam, dengan demikian membebaskan kita dari masa lalu dan memungkinkan kita memulai lagi sesuatu yang baru. Karena alasan-alasan inilah maka Sang Buddha selalu memaafkan atau pelanggaran seseorang, bila si pelaku mengakui kesalahannya kepada Beliau. Sewaktu melaksanakan bagian pertama dari Pemurnian, dengan jujur dan terbuka kita melihat kesalahan-kesalahan kita, dan mengharapkan maaf. Setelah itu, selanjutnya kita kemudian mengingat kesalahan-kesalahan yang seorang telah perbuat pada kita, memaafkannya, lalu menghapus sakit-hati, dendam dan kemarahan dari batin kita (lihat 77). Bila ternyata, kita sulit memaafkan seseorang, maka hendaknya kita merenungkan kembali bahwa kita sendiri baru saja mohon dimaafkan, pula bagaimana mungkin bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha bila kita masih dipenuhi perasaan jahat, tidak rela memberi maaf, seperti itu.

      Pada bagian terakhir dari Pemurnian, kita mengingat kembali perbuatan-perbuatan baik yang telah kita perbuat, dan merasakan kebahagiaan karenanya. Adalah penting merenungkan kebajikan diri sendiri, sebab akan menjadi keseimbangan sehat bagi perenungan kesalahan. Pula, keingatan pada perbuatan baik diri sendiri dan berbahagia karenanya, akan menggairahkan keinginan untuk menambah kebaikan. Sang Buddha bersabda:

          Si Pembuat kebaikan bahagia disini, bahagia disana,
          Berbahagia baik disini, juga disana
          Dia berbahagia dan gembira
          Begitu mengingat perbuatan-perbuatan baiknya.5


 134. Bagian ke 8 dari Nava Puja adalah Berbagi-Jasa; secara batiniah kita membagi kebajikan yang telah kita perbuat juga membagi kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik itu, pada semua makhluk. Bagian terakhir Puja adalah pengucapan kata 'sadhu' sebanyak tiga kali, yang adalah cara tradisional untuk mengucapkan rasa bahagia dan gembira karena berbuat sesuatu yang berharga.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #19 on: 30 November 2008, 06:33:33 AM »
DAYA UPAYA SEJATI

 135.      Dhamma terdiri atas idaman dan gagasan, asas-asas dan ajaran-ajaran yang di dalam dirinya sendiri adalah pasif. Upaya atau usaha adalah katalisator yang menyebabkannya bergerak dan menimbulkan kekuatan yang dinamis yang pada gilirannya dapat merubah kehidupan kita. Dhamma hanya dapat merubah hidup kita bila kita mempunyai kemauan untuk menerapkan dan melaksanakannya. Seperti dikatakan Aryasura:

          Tenaga adalah mutlak,
          Tak ada sesuatu dapat diperbuat tanpa tenaga,
          Tenaga membuat semuanya jadi mungkin.
          Bila tak ada tenaga, semua tak ada kecuali kejahatan.

          Seorang akan mendapatkan air,
          Bila dia menggali dengan tenaga.
          Api dapat timbul,
          Bila kayu api saling digosokkan dengan tenaga.

          Dengan mengalir terus menerus,
          Sungai dapat mencuci semuanya, gunung sekalipun.
          Dan dengan meditasi,
          Seorang dapat memperoleh buah dari jerih payahnya
          Dengan membajak tanah
          Dan merawat ladangnya dengan rajin
          Seorang memperoleh panen yang gemilang
          Dengan menyelam jauh kedalam lautan
          Seorang memperoleh mutiara

          Dengan menaklukkan musuh dengan panah,
          Seorang menikmati kemegahan martabat sebagai raja
          Karenanya berupayalah untuk mencapai ketenangan,
          Karena semua kesejahteraan datang dari tenaga.1


 136. Sang Buddha bersabda, bahwa Daya-Upaya Sejati (samma vayama) bermanifestasi dalam empat bentuk:

          Ada empat daya-upaya yang sejati. Apa empat itu? Menyangkut hal ini: seorang membangkitkan keinginan untuk mencegah timbulnya pikiran jahat tak menguntungkan yang belum timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dia membangkitkan keinginan untuk melepaskan pikiran jahat tak menguntungkan yang telah timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dia membangkitkan keinginan untuk menimbulkan pikiran baik menguntungkan yang belum timbul; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu. Dan, dia mempertahankan pikiran baik yang tak membingungkan, berkembang lebih jauh, meningkat, menyuburkan dan memuaskan; dia berupaya, dengan sekuat tenaga, menanggulangi dan menguasai pikiran untuk tujuan itu.2

      Bila kita teliti empat manifestasi dari upaya ini, terlihat mempersyaratkan beberapa hal penting: mempertimbangkan, kewaspadaan dan adanya dambaan/idaman. Kita seharusnya mempunyai pikiran dan pertimbangan dalam membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kita seharusnya dapat mundur, bila diperlukan, dan mengembangkan kewaspadaan pada apa yang semestinya kita pikir, kita ucapkan dan kita perbuat. Dan akhirnya, kita seharusnya mempunyai kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk berubah dan memiliki idaman yang kita ingin perjuangkan. Bila kita telah melakukan kesemua diatas, keinginan untuk menghindari kejahatan dan mengembangkan kebaikan, pula tekad untuk mengembangkan moral akan timbul dengan sendirinya.

 137. Tapi tentunya, walau kita telah bertekad bulat untuk membersihkan batin, grafik upaya kita senantiasa akan naik-turun; terkadang kita sangat antusias, lain waktu merosot, kadang-kadang kita sangat bersemangat, kadang pula menjadi malas. Ada beberapa hal yang dapat kita perbuat untuk membangkitkan kemauan pada saat gairah tersebut menurun. Seringkali, sangatlah bermanfaat untuk merenungkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapai oleh orang-orang sekeliling kita, dan merenungkan bahwa kita bisa saja terbebani masalah serupa di kemudian hari. Hal diatas akan menggairahkan dan membulatkan tekad untuk kembali menggunakan waktu sebaik mungkin, dan menggelorakan tenaga kita selama kita masih mampu.

          Menyangkut hal ini, seseorang merenungkan: "Saya sekarang masih muda, dengan rambut hitam, masih perkasa, masih dalam tahap pertama dalam hidup saya. Tapi akan tiba waktunya, ketika badan saya akan dicengkeram oleh usia tua dan saya tidak dengan mudah lagi dapat merenungkan kata-kata Sang Buddha, tidak dengan mudah lagi dapat tinggal di hutan atau menyepikan diri. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui itu datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan sakit?"
          Kemudian, dia merenungkan: "Saya sekarang sehat dan baik, dengan pencernaan yang tidak terlalu dingin ataupun panas, tapi seimbang dan cocok untuk berusaha-keras. Tapi mungkin akan tiba waktunya, ketika badan saya dicengkeram oleh usia tua dan daya tidak dengan mudah lagi dapat untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha, tidak dengan mudah lagi dapat tinggal di hutan atau menyepikan diri. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan sakit?"
          Kemudian, dia merenungkan: "Sekarang banyak makanan tersedia, panen lagi baik, mudah memperoleh pemberian makanan dan hidup dari persembahan. Tapi sekali waktu, mungkin datang paceklik dan panen tak berhasil; mungkin akan sulit memperoleh pemberian makanan dan hidup dari persembahan. Dalam musim paceklik, orang-orang akan berpindah tempat dimana ada makanan, dan tempat seperti itu akan penuh sesak dan kacau balau, dengan demikian akan sulit untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha.
          Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam keadaan paceklik?"
          Sekali lagi, dia merenungkan: "Sekarang orang-orang hidup rukun dan bersahabat dengan pandangan kasih sayang. Tapi mungkin akan tiba waktu yang dipenuhi ketakutan, ketika terjadi kerusuhan diantara suku-suku di hutan, ketika orang-orang mengemasi kereta dan mengungsi ketempat yang aman. Tempat seperti itu akan penuh sesak dan kacau balau, dengan demikian akan sulit untuk merenungkan kata-kata Sang Buddha. Sebelum keadaan yang tak dihendaki, tak diinginkan dan tak disetujui ini datang, mengapa saya tidak berusaha keras untuk mencapai yang belum tercapai, menggapai apa yang belum digapai, mewujudkan apa yang belum terwujud, sebab dengan keadaan seperti itu, bukankah saya akan berbahagia walau dalam waktu orang-orang ketakutan?"3


 138. Dengan merenungkan hal-hal diatas kita akan berpikir betapa bahagianya kita berada dalam situasi seperti sekarang. Kadang-kadang kita harus membiarkan hal-hal kecil yang menghalangi kemajuan batin kita dan juga membiarkan kesulitan-kesulitan yang sebenarnya tak perlu dirisaukan yang dapat mengendurkan usaha kita. Bila, sebaliknya, kita merenungkan keberuntungan sejati yang telah kita nikmati, akan timbul tekad agar orang lain dapat menikmati kesempatan yang sama. Tenaga yang kita buang untuk mencari-cari alasan, penyesalan pada diri sendiri dan segala keluh kesah dapat diarahkan ke pencarian nilai spiritual. Perenungan seperti ini dapat membantu kita menanamkan di kalbu kita:

          Tak terhitung jumlah dan wujud dari kelahiran yang pernah dialami setiap makhluk. Saya telah terlahir sebagai manusia.

          Tak terhitung, mereka yang tak dapat berbicara atau mendengar apa yang dikatakan kepadanya, mereka yang tak dapat melihat untuk membaca dan mereka yang tak bertenaga untuk memberi alasan dan pertimbangan. Saya telah lahir dengan anggota badan dan indera yang lengkap.

          Banyak diantara mereka yang tinggal di tempat yang penuh pertentangan dan permusuhan serta terampas keamanan dan kesejahteraannya. Saya sekarang tinggal di tempat yang penuh kedamaian.

          Tak dapat dihitung mereka yang terpaksa membanting tulang tanpa akhir, menanggung lapar dan serba kekurangan. Saya memiliki kekayaan untuk memelihara badan dan waktu untuk memberinya istirahat.

          Amat banyak yang badan dan batinnya terikat, mereka tidak memiliki dirinya sendiri, tak dapat pergi kemana mereka kehendaki, tak dapat berpikir sebagaimana mereka kehendaki. Saya menikmati kebebasan.

          Tanpa dihitung lagi mereka yang tinggal di daerah dimana Dhamma tak bersinar, atau dimana pesan-pesan Dhamma tak terdengar, teratasi oleh hingar-hingar ajaran yang tidak benar. Saya telah mendengar dan mengerti Dhamma yang baik.

          Sangatlah berharga nilai kehidupan manusia ini dan sangatlah besar berkah yang saya nikmati. Saya, disini dan sekarang, didepan Sang Buddha merenungkan keberuntungan saya sendiri dan berketetapan hati untuk memanfaatkan kesempatan yang langka ini untuk bekerja demi kebaikan saya dan kebaikan orang lain. Dengan tekad yang kuat, saya akan mengatasi segala rintangan besar dan kecil.4

 139. Hal lain yang dapat membangkitkan gairah yang telah menurun adalah dengan merenungkan kenyataan bahwa kita sekarang adalah murid Sang Buddha, yang oleh karenanya telah mewarisi suatu tradisi spiritual yang agung yang telah berkembang selama ribuan tahun dan telah dipeluk jutaan orang. Sang Buddha berkata pada kita:

          Jadilah pewaris Dhamma, bukannya pewaris benda-benda materi.5

      Untuk menjadi pewaris Dhamma yang benar, dan berharga di depan Guru kita, kita harus melaksanakannya dengan rajin dan konsisten. Buddhagosa memberi nasehat pada kita untuk senantiasa merenungkan:

          Saya harus menjadi pewaris Dhamma nan agung, dan ini tidak dapat dilaksanakan oleh seorang pemalas.6

      Kenyataannya, sebagian mereka yang mengaku Buddhis meremehkan Tiga Permata (Sang Ti Ratana), mereka tidak sepenuhnya melaksanakan ajaran Sang Buddha atau malah tidak sama sekali. Bila kita mengenal Dhamma dengan benar, bila kita melaksanakannya sepenuhnya, dan bila kita berbagi dengan orang lainnya, bermurah-hati dan penolong; maka dengan cara diatas kita telah turut menunjukkan tata-cara kehidupan yang diajarkan Sang Buddha, kita telah bertindak lebih tepat dari pada beradu argumentasi. Berkehidupan murni dan bersemangat adalah cara terbaik untuk menghormati Sang Buddha.

          Lihatlah para Siswa yang selaras dengan sempurna,
          Berteguh-hati dan selalu berupaya,
          Selalu teguh didalam kemajuannya;
          Inilah cara terbaik untuk memuja Sang Buddha.7

 140. Sering terjadi, sewaktu kita baru mulai menjalani Jalan, kegairahan kita menggelora dengan pengharapan yang sangat tinggi. Tapi setelah disadari, bahwa ada kebiasaan-kebiasaan lama misalnya sifat keras kepala serta bahwa dalam usaha merubah sifat tersebut, diperlukan usaha yang keras dan penuh kesabaran; maka minat mungkin mulai berkurang. Atau sebaliknya, kegairahan awal kita demikian membara sehingga menguras habis tenaga kita, sehingga tidak tersisa tenaga lagi untuk menjalani Jalan pada langkah selanjutnya. Kita hendaknya mawas pada upaya kita dengan bersabar dan senantiasa menilai kemampuan diri sendiri secara realistis. Tidaklah penting seberapa banyak upaya yang telah kita lakukan, tapi adalah lebih penting "kapan dan bagaimana" kita berupaya. Upaya akan berhasil-guna bila dilakukan dengan seimbang, walau harus diselesaikan secara bertahap dari waktu ke waktu. Seperti diumpamakan Sang Buddha sebagai "menangkap burung puyuh dengan tangan". Bila kita menggunakan terlalu banyak tenaga, burung puyuhnya akan mati terperas; bila kita tidak menggunakan tenaga sama sekali burung puyuhnya akan terbang melewati jari-jari kita. Pada suatu kesempatan Sang Buddha mengibaratkan upaya dengan cara seseorang menyetem peralatan musik.

          Yang Mulia Sona, bermeditasi dengan kusuknya, berpikir dalam dirinya sendiri: "Para Siswa Sang Buddha hidup dengan aktif bersemangat, padahal pikiran saya belum terlepas dan bebas dari kotoran batin. Keluargaku kaya; saya bisa meninggalkan latihan, kembali ke kehidupan berumah tangga, menikmati kekayaan sambil berbuat baik."
          Saat itu, Sang Buddha membaca pikirannya, dan semudah seperti merentangkan lengannya, Sang Buddha muncul dihadapan Sona dan berkata: "Apa yang kau pikirkan, Sona? Dimasa lampau sewaktu kau masih di rumah, bukankah engkau ahli dalam musik kecapi?"
          "Ya, demikianlah, Tuanku."
          "Dan bila tali kecapi terlalu kencang, apakah kecapi dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?"
          "Tidak, Tuanku."
          "Bila tali kecapi terlalu longgar, apakah kecapi dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?"
          "Tidak, Tuanku."
          "Tapi, bila tali kecapi tidak terlalu kencang, juga tidak terlalu longgar, namun disetem pada nada yang sedang, apakah kecapi kemudian dapat dimainkan dan memberi nada yang baik?'
          "Ya, Tuanku."
          "Demikian pula, Sona, upaya yang terlalu kencang akan berakhir dengan kebingungan, bila terlalu longgar akan berakhir dengan kemalasan. Oleh karenanya, teguhlah dalam keseimbangan, kembangkan keseimbangan indera dan dengannya tercapailah hal-hal yang bernilai."8

      Demikian pula pada beberapa aspek dalam Jalan; jalan tengah antara ketelitian berlebihan, terlalu kokoh dan kekuatan yang kasar dipihak yang satu dan sikap lesu di pihak yang lain, akan memantapkan perjalanan kita dengan laju ke Nibbana.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #20 on: 30 November 2008, 06:35:31 AM »
KESADARAN SEJATI DAN PEMUSATAN PIKIRAN SEJATI

 141.      Bila dalam tradisi agama lain perhatian sepenuhnya ditujukan kepada Tuhan, sebab dengan mengerti kehendaknya akan menyebabkan keselamatan; maka dalam agama Buddha perhatian ditujukan pada pikiran, sebab pikiran adalah perantara yang olehnya segala sesuatu berarti, ditafsirkan dan dipahami. Menjinakkan pikiran adalah menjinakkan dunia. Santideva menuangkan hal ini dengan sempurna dalam sajaknya:

          Semua harimau dan macan,
          Semua gajah, beruang dan ular,
          Makhluk-makhluk neraka,
          Setan dan dedemit,

          Semuanya itu dikuasai
          Dengan menguasai pikiran
          Dan cukup dengan menundukkan pikiran,
          Kesemuanya dapat ditundukkan,

          Sebab dengan dibentuk oleh pikiran
          Semua ketakutan dan kekwatiran datang
          Inilah yang telah diajarkan
          Oleh Si Pembicara Kebenaran

          Para musuh tak terukur seperti angkasa
          Bagaimana saya dapat memerangi semuanya?
          Tapi bila saya menghancurkan kemurkaan saya
          Pikiran tentang adanya "musuh" terhancurkan

          Tidak akan cukup banyak kulit
          Untuk menyelimuti dunia
          Tapi dengan menggunakan sendal kulit,
          Saya dapat menjelajahi dunia
          Sama halnya, semua lingkungan diluar
          Tak dapat dijaga secara menyeluruh
          Tapi bila saya menjaga pikiran saya
          Perlindungan apa lagi yang saya butuhkan?1

      Dalam banyak khotbah, Sang Buddha menekankan hal yang sama.

          Bagi seseorang yang masih belajar dan belum menjadi penguasa dari pikirannya sendiri, tapi tetap bercita-cita agar damai dari ikatan-ikatan, demi kebaikan dirinya sendiri, baginya Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih menolong dari pada memperhatikan dengan ketat pikirannya sendiri.2

          Karena pikiran yang sesat, seorang menjadi sesat
          Karena pikiran yang murni, seorang menjadi murni.3

          Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling tak dapat bekerja selain pikiran yang tak dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang tak berkembang adalah sesuatu yang tak dapat bekerja. Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling bekerja selain pikiran yang dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang berkembang adalah sesuatu yang dapat bekerja.4

 142. Ketika kita lahir, kita datang ke dunia ini dengan pikiran yang telah dipengaruhi oleh kebiasaan mental kita masing-masing, yang terbawa dari kehidupan sebelumnya - kebiasaan mental yang mungkin telah dikembangkan selama kurun waktu yang panjang dan mungkin pula telah sulit untuk dirubah atau diberi nuansa yang lain. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan kita pada kehidupan ini, orang-tua dan guru-guru mengajar kita bagaimana seharusnya bertindak, namun tidak banyak diajarkan bagaimana seharusnya mengendalikan pikiran kita. Dengan demikian, walau mungkin kehidupan kita dari luar tampak selaras, namun kehidupan-kehidupan kita-pikiran kita, mungkin kacau tak beraturan. Demi mencapai kebahagiaan abadi, pikiran yang tak disiplin harus dapat dikendalikan dan dirubah. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Sangatlah menakjubkan, melatih pikiran itu.
          Bergerak lincah, meraih apa yang dikehendakinya.
          Sangat baik memiliki pikiran yang terlatih baik.
          Karena pikiran yang terlatih baik akan membawa kebahagiaan.

          Sulit ditangkap dan sangat licik,
          Pikiran meraih apa yang diinginkan.
          Oleh karenanya para bijaksana menjaga pikirannya,
          Karena pikiran yang terjaga akan membawa kebahagiaan.5

      Dalam agama Buddha usaha menjinakkan dan menjaga pikiran dilakukan melalui meditasi. Istilah yang sering diterjemahkan sebagai meditasi adalah kata bhavana, yang secara harfiah berarti 'mengolah' atau 'mengembangkan'. Jadi dalam pengertian Buddhis, meditasi yang benar adalah suatu proses dinamis, dimulai dengan mendisiplinkan, kemudian menanamkan pengertian, lalu terakhir membebaskan pikiran.

 143. Ada beberapa teknik meditasi yang berbeda, beberapa diajarkan sendiri oleh Sang Buddha, beberapa yang lain dikembangkan oleh Guru-guru sesudah-Nya, namun keseluruhannya dapat dicakup dalam dua pokok utama, pertama adalah Konsentrasi (Pemusatan-pikiran) Sejati (samma samadhi). Istilah 'samadhi' berarti mengumpulkan atau menyatukan, dan mengacu pada pemusatan atau penyatuan pikiran. Siswa wanita Sang Buddha, Dhammadina mendefinisikan pemusatan-pikiran (konsentrasi), sebagai berikut:

          Semua penyatuan pikiran adalah konsentrasi.6

      Buddhagosa mendefinisikannya lewat kata-kata:

          Apa konsentrasi itu? Adalah pemusatan dari kesadaran dan semua yang menyertainya secara merata dan sempurna pada satu titik.7

      Dengan demikian jelas, bahwa konsentrasi tiada lain adalah suatu usaha untuk menghentikan pergerakan perhatian pikiran (yang sebelumnya selalu bergerak) dengan memancangkannya pada satu titik. Dengan melaksanakannya, baik badan maupun pikiran cenderung akan diam dan tenang; oleh karenanya teknik-teknik meditasi yang tercakup sebagai konsentrasi (Pemusatan-Pikiran) Sejati sering disebut juga Teknik Penenangan (samatha bhavana).

 144. Meditasi ke dua, yakni pelaksanaan meditasi melalui Kesadaran Sejati (samma sati), istilah 'sati' berarti pengingatan, kemawasdirian atau perhatian-penuh. Seorang bhikkhu termasyhur Nyanaponika menyebut 'perhatian penuh' sebagai perhatian "kosong" dalam bentuknya yang paling mendasar, serta mendefinisikannya sebagai berikut:

          ...... kesadaran batin yang menyatu dan terang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kita dan dalam diri kita, pada pencerapan-pencerapan secara berkesinambungan. Disebut 'kosong', karena pikiran itu mengikuti fakta-fakta kosong dari pencerapan tanpa bereaksi melalui perbuatan, ucapan atau pikiran.8

      Mawas-diri oleh karenanya, walau bersifat pasif tapi adalah suatu kesiagaan batin, pada pikiran-pikiran yang timbul dan pada pengalaman-pengalaman pikiran. Pengaruh-pengaruh yang membelokkan kesiagaan itu, berupa prasangka yang timbul dari dalam pikiran, ide-ide yang timbul sebelumnya, rasa suka dan tidak suka akan berkurang bila ada kemawasan-diri, lalu secara bertahap, seseorang akan dapat melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Kenyataan terlihat secara langsung. Oleh karenanya, teknik-teknik yang dicakup sebagai Kesadaran Sejati juga disebut Teknik Pengembangan Wawasan (vipassana bhavana) (Inggris: insight meditation).

 145. Walau tidaklah mutlak, bahwa kita harus menenangkan dan memusatkan pikiran (samatha bhavana) dulu sebelum mencoba mengembangkan kesadaran/kemawasan (vipassana bhavana), tapi kebanyakan orang lebih berhasil dengan melaksanakannya berurutan. Adalah penting dipahami, bahwa ada unsur kemawasan dalam pemusatan-pikiran, pula sebaliknya ada unsur pemusatan-pikiran dalam kemawasan, dan bila dilaksanakan, dikembangkan dan dimatangkan, keduanya akan "muncul bersamaan" (yaganadha)9 dan akan saling menguatkan.

      Dalam khotbah tentang Buah dari Kehidupan Bermeditasi (Samaññaphala Sutta), Sang Buddha menggambarkan semua langkah-langkah pelaksanaan meditasi secara sangat rinci dan pencapaiannya. Oleh karenanya kita sebaiknya tidak mempelajari Pemusatan-Pikiran Sejati dan Kesadaran Sejati secara terpisah, namun kita memeriksa kedua bagian terakhir dari Jalan Berjalur Delapan ini sebagai satu kesatuan melalui khotbah ini.

 146. Persiapan

      Sebelum kita mulai bermeditasi, kita hendaknya mempunyai keyakinan (saddha) dan secara moral siap melaksanakan Lima Janji (pañca sila), yang keduanya telah kita lihat sebelumnya. Nilai kebajikan dari meditasi jangan di lebih-lebihkan sebab kebajikan pada dasarnya menuntun ke bahagiaan karena "tak-dipersalahkan" (anavajjasukha)10, dan seperti berulang kali dikatakan Sang Buddha "pikiran dari mereka yang berbahagia menjadi terpusat" (sukhino cittam samadhiyanti).11 Setelah mencapai dengan baik hal diatas, hal penting selanjutnya sebagai persiapan meditasi adalah menjaga pintu indera (indriya samvara). Alat indera kita senantiasa berjaga-jaga menunggu rangsang yang datang. Bila kita selalu menyerah pada permintaan indera atau malah secara aktif mencari rangsangan indriawi, maka baik badan maupun mental selalu dalam keadaan tanpa-istirahat. Mencoba memuaskan rangsangan indera, seperti dikatakan Sang Buddha, adalah seperti anjing yang mencoba menghilangkan laparnya dengan mengunyah tulang kering.12 Lagi pula, kesanggupan batin untuk menghayati dan mengertikan sesuatu akan terhalangi apabila selalu tergoncang. Seperti dikatakan Subasitaratnakhosa:

          Keputusan cermat sekalipun akan gagal,
          Pikiran tersandung, kebijaksanaan dihancurkan,
          Dan keteguhan seorang akan remuk,
          Bila pikiran diracuni oleh kesenangan indriawi.13

      Menghindari rangsangan indera secara berangsur menuntun pikiran menjadi tenang, yang pada gilirannya akan menyebabkan pelaksanaan meditasi menjadi mudah. Hal diatas dengan sendirinya dapat dilakukan dengan menghindari pergaulan dengan orang-orang kasar, tidak terlalu sering mengunjungi pertunjukan-pertunjukan, pesta-pesta, bioskop-bioskop dan tempat-tempat seperti itu; adalah lebih bijaksana menghabiskan waktu sendiri dengan tenang dari pada mencari teman bergunjing ataupun mencari apa saja yang mengasyikkan dan menyenangkan kita. Bila pintu indera dijaga, kita akan mengalami apa yang disebut Sang Buddha sebagai "kebahagiaan karena tak terganggu" (avyasekasukha)14, dan seperti disebutkan didepan "pikiran yang bahagia akan mudah berkonsentrasi."

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #21 on: 30 November 2008, 06:35:54 AM »
 147. Sekarang kita sudah siap bermeditasi. Pertama, kita mencari tempat yang cocok untuk itu. Tempat dimana kita bisa menyendiri tanpa gangguan, adalah yang terbaik. Waktu terbaik untuk bermeditasi tergantung pada suasana dan kecenderungan setiap pribadi. Untuk sebagian orang, pagi yang dini sewaktu lingkungan masih sepi dan setelah beristirahat dengan baik dimalam hari adalah waktu terbaik; untuk sebagian orang lagi, malam hari sebelum tidur adalah waktu terbaik. Setelah mendapat tempat yang tepat, kita lalu "duduk bersila dan badan ditegakkan".15 Kita dapat saja duduk dengan bermacam posisi, namun yang terbaik adalah duduk dilantai beralaskan batal, kaki dilipat, tangan diletakkan diatas pangkuan, dengan badan yang tegak.

 148. Kesadaran Pada Pernapasan.

      Meditasi Buddhis yang paling dasar adalah Kesadaran pada pernapasan (anapana sati). Teknik sederhana namun sangkil ini akan berbuah ketenangan (relaksasi) dan mengembangkan disiplin mental serta tentunya memudahkan pemusatan pikiran. Dalam menggambarkan manfaatnya, Sang Buddha berkata:

          Pemusatan pikiran yang tekun pada masuk dan keluarnya nafas, bila dipupuk dan dikembangkan, adalah suatu kedamaian dan suatu yang istimewa, suatu yang sempurna dan pula suatu cara hidup yang menyenangkan. Tidak hanya itu, juga akan menghalau pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang telah timbul dan membuatnya hilang seketika. Bagaikan, ketika bulan terakhir dari musim panas, debu dan kotoran beterbangan, lalu hujan deras yang turun tiba-tiba menenangkan dan menurunkannya ke bumi seketika.16

      Duduk dengan posisi yang enak sambil menutup mata, lalu perhatian dipusatkan pada gerakan masuk dan keluarnya nafas. Menghitung (ganana) nafas dimulai dari satu sampai tiga-puluh akan membantu mencegah pikiran berkeliaran. Hal lain yang membantu adalah mengusahakan badan agar tetap diam. Namun bila perhatian mulai teralih oleh gangguan dari luar (misalnya suara) ataupun gangguan dari dalam sendiri (misalnya pikiran-pikiran, khayalan, ingatan-ingatan) atau rangsangan pada badan (misalnya gigitan nyamuk) ataupun posisi yang kurang santai kita hendaknya dengan sabar kembali menghitung nafas seperti diatas. Senantiasa membawa perhatian kembali (ke pernafasan) secara berkesinambungan, seperti inilah yang akan menjadi kunci sukses. Kita berteguh-hati sebagai berikut:

          Sebelumnya pikiran ini mengembara semaunya,
          Sesuai kehendaknya dan sesuai kesenangannya,
          Tapi hari ini saya akan menguasainya penuh perhatian
          Seperti pawang menguasai gajah dengan kaitannya.17

 149. Berapa lama kita bermeditasi? Untuk memulainya, kita hendaknya melaksanakan latihan "kesadaran pada pernapasan" selama lima belas menit sekurang-kurangnya sekali sehari. Waktu kemudian diperpanjang lima menit setiap minggu sehingga kita dapat mencapai empat puluh lima menit. Lalu, hendaknya kita bermeditasi selama empat puluh lima menit setiap hari. Sampai kita mencapai keadaan, yang ditandai dengan kemampuan untuk menyadari secepatnya bila perhatian menyimpang dan dengan mudah dapat kembali menariknya - memperhatikan pernapasan.


      Mungkin karena sebelumnya belum pernah mencoba mendisiplinkan pikiran, dan karena pola kebiasaan yang telah tertanam sebelumnya; maka kita akan menghadapi kesulitan dan rintangan-rintangan, paling tidak pada tahap permulaan. Yang paling nyata dalam hal ini adalah pikiran-pikiran yang terus menerus berusaha menarik perhatian kita dari keluar masuknya nafas. Sang Buddha menyarankan lima cara mengatasi pikiran-pikiran seperti itu mengganti, mempertimbangkan untung-ruginya, tak memperdulikan, membiarkannya reda atau-pun dengan menaklukkan pikiran-pikiran itu.

          Seseorang yang berkeinginan mengembangkan pikiran yang lebih tinggi, hendaknya memikirkan lima hal dari waktu ke waktu. Apa lima itu?
          Bila, sewaktu memikirkan sesuatu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin timbul; dia hendaknya lalu memikirkan sesuatu pikiran yang terlatih. Dengan demikian pikiran-pikiran jahat tak-terlatih akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, tukang kayu atau pembuatnya mengetok, mencabut, menarik keluar pasak besar dengan menggunakan pasak kecil.
          Bila, sewaktu memikirkan sesuatu yang terlatih, pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih muncul; dia hendaknya lalu merenungkan kejelekan-kejelekan dari pikiran seperti itu, dengan berpikir: "Sebenarnya pikiran-pikiran ini tak terlatih, dipersalahkan dan membawa penderitaan." Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang pemuda atau wanita yang berpakaian indah tapi berkalungkan bangkai ular, anjing atau manusia dilehernya, akan dijauhi, dipermalu dan menimbulkan perasaan jijik.
          Namun, bila sementara merenungkan kejelekan-kejelekan pikiran-pikiran ini, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya lalu berusaha melupakannya, tidak memperhatikannya. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang dengan penglihatan yang baik tapi menutup mata atau memalingkan muka agar tidak melihat sesuatu.
          Tapi bila, sewaktu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang, yang merasa tak perlu berlari, lalu berjalan; merasa tak perlu berjalan, lalu berdiri-diam; merasa tak perlu berdiri, lalu duduk; merasa tak perlu duduk, lalu berbaring. Jadi, dia yang sebelumnya bergerak dengan susah-payah lalu bisa menjadi santai.
          Tapi, bila, sewaktu membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul, lalu, dengan gigi terkatup dan lidah ditekan kelangit-langit dia hendaknya menahan, menaklukkan dan menekan batin dengan batin. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang yang kuat mengalahkan seorang yang lebih lemah dengan memukulnya pada kepala dan bahunya.
          Seorang yang melakukan semua diatas disebut penguasa jalan pikiran. Pikiran yang dikehendaki untuk dipikir, dia pikirkan; pikiran yang tak dikehendaki untuk dipikir, dia tidak pikirkan. Dia telah memotong kemelekatan, melepaskan belenggu, menguasai kesombongan dan mengakhiri penderitaan.18

 150. Mungkin sekali waktu, sewaktu bermeditasi kita merasakan sesuatu yang aneh, yang kemudian mungkin menarik perhatian kita dan menyebabkan ketegangan atau keingin-tahuan. Perasaan itu mungkin berupa; walau badan masih tetap tegak, badan serasa seakan bersandar pada satu sisi (dinding), tangan atau anggota badan lain terasa menghilang, perasaan aneh dari badan, atau cahaya terang terlintas di batin. Semua hal diatas, juga fenomena-fenomena serupa lain yang bisa terjadi pada kita, sebaiknya dianggap hanyalah sekadar tipuan batin yang mempesonakan dan membetot pikiran kita; semuanya tidak berbahaya, dan semuanya akan hilang berlalu bila tak dihiraukan. Hal lain yang dapat terjadi, terutama bila meditasi kita telah mengalami kemajuan, ialah pernafasan yang menjadi dangkal sedemikian rupa sehingga tak dirasakan lagi. Bila kita menyadari bahwa nafas seakan berhenti, maka mungkin menyebabkan kita kaget dan kwatir. Namun, hendaknya dicatat dalam pikiran, bahwa sebenarnya pernafasan tidak berhenti dan tidak akan berhenti. Secara alami pernafasan memang menjadi lembut dan dangkal, bila badan dalam keadaan tenang, karena tubuh kita membutuhkan hanya sedikit oksigen. Satu hal lagi, yang sering mengganggu para pemeditasi adalah perasaan kesemutan atau yang serupa pada tungkai. Karena perasaan ini biasanya ringan dan akan segera hilang bila tungkai telah bersila, maka sebaiknya perasaan ini dihiraukan saja. Namun, bila perasaan kesemutan ini berlangsung terus dan cenderung menyakitkan, maka mungkin lebih baik kita mencoba posisi lain saja. Hal yang harus dipahami ialah bahwa posisi apapun juga akan menimbulkan perasaan yang tidak enak pada permulaan, dan walau kita bergerak atau merubah posisi kaki, perasaan sedemikian akan tetap juga ada. Bila kita telah dengan mudah bertahan memperhatikan pernafasan, maka kita bisa mengabaikan "cara hitung" tadi, dan dengan demikian pikiran kita terfokus pada gerakan pernafasan semata.

 151. Perenungan-perenungan.

      Dengan melaksanakan meditasi pernafasan secara teratur; lalu sewaktu kita telah mencapai tingkat dimana perhatian kita telah lebih mantap terpaku pada pernafasan, maka kita telah siap untuk menambah latihan Perenungan (anusati) pada meditasi kita. Ada beberapa Perenungan yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang terpenting adalah Perenungan Pada Buddha (Buddhanussati), Dhamma (Dhammanussati) dan Sangha (Sanghanussati); Perenungan Pada Kebajikan (Silanussati), Kemurahan-hati (Caganussati), sahabat-sahabat Spiritual Kedamaian (Kalyanamittanussati)19, Pada Kematian (Maranasati) dan Pada Kedamaian. (Upasamanussati)20 Perenungan dilakukan dengan mengarahkan pikiran kita pada obyek-obyek tertentu dan dengan hati-hati merenungkannya. Sang Buddha bersabda:

          Apapun yang sering seseorang renungkan dan pikirkan, batin akan bersandar padanya.21

      Pernyataan diatas sangat tepat. Pikiran apapun yang menonjol dalan batin kita, akan berpengaruh pada kepribadian dan perilaku kita. Bila dengan sadar dan sengaja, kita memenuhi batin kita dengan pikiran-pikiran positif, maka pikiran-pikiran sedemikian akan muncul dengan sendirinya, lalu pada gilirannya akan berbuah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan pikiran-pikiran itu.

          Sewaktu Siswa-siswa yang agung merenungkan (hal-hal ini), batinnya akan bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Pada saat itu, batinnya mantap dan tertuju pada hal-hal itu, dan dengan batin yang mantap dia menunjukkan kegembiraan dari kebajikan, kegembiraan dari Dhamma dan kegembiraan berjalan bersama Dhamma. Pada mereka yang gembira, timbul keceriaan; disebabkan keceriaan, jasmani menjadi tenang; dengan jasmani yang tenang seseorang akan bahagia, dan batin seorang yang bahagia senantiasa terkonsentrasi.22

      Sewaktu pelaksanaan Puja, kita juga melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Perenungan pada Buddha juga dapat dilakukan dengan membaca literatur-literatur peribadatan yang membangkitkan pikiran-pikiran yang seperti yang disajikan dalam Kamalañjli.

          Engkau ramah pada yang kejam, adil pada yang semena-mena, baik pada yang jahat, penuh kebaikan pada yang berbahaya, dan Engkau bertindak dengan cara yang tak pernah dilakukan oleh siapapun. Oh, Pemenang, Pengasih, Yang Adil, Tempat Kediaman Kebajikan, Yang Berbudi, Yang hidup-Nya semata demi kesejahteraan orang lain, sebenarnyalah dalam diri-Mu lah hatiku menemukan kebahagiaan.

          Walau Engkau hidup dalam Alam Kekacauan, Engkau selalu bertindak penuh kemuliaan, dengan menjaga keseimbangan di-tengah-tengah luapan kesenangan duniawi, Engkau memancarkan Kesempurnaan; dengan mengingat-Mu siang dan malam, dalam mimpi, setiap waktu, Oh, Pemenang, Yang Bijaksana, didalamnyalah hatiku menemukan kebahagiaan.

          Engkau memberi hal-hal yang paling sulit diberikan, melakukan hal-hal yang paling sulit dilakukan dan mengampuni mereka yang berbuat kesalahan besar, Oh, Harta Tak Tertandingi - kediaman dari welas-asih dan Oh, Guru Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.

          Sebenarnya Engkau melaksanakan hal yang paling sulit dalam perilaku moral dan menjinakkan mereka yang tak terkendalikan; demikian pula, dengan hati penuh kasih-sayang Engkau mendekatkan cinta-Mu pada mereka yang keras-hati sekalipun; oleh karenanya, Oh, Guru Yang Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.23

      Sebelum kita dapat melakukannya tersendiri, maka untuk membantu menuntun pikiran-pikiran kita; ada baiknya kita membiasakan membaca dengan hikmat dan tenang semua Penerungan dibawah ini.24

 152. Sang Buddha bersabda dalam Perenungan Kebajikan:

      Engkau hendaknya merenungkan kebajikan-kebajikanmu sendiri sebagai lengkap, utuh, tak bernoda, tak berbercak, memberi-kebebasan; sebagai terpuji oleh para bijaksana, murni dan mengantar kearah konsentrasi pikiran.25

      Perenungan Kebajikan dapat dilakukan dalam empat bagian, satu setiap harinya. Olehnya kita akan dituntun agar dapat memaafkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita, memaafkan diri sendiri atas kegagalan-kegagalan dan kekurangan-kekurangan, bergembira atas perbuatan-perbuatan baik kita sendiri dan akhirnya bergembira atas perbuatan-perbuatan baik orang lain.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #22 on: 30 November 2008, 06:41:59 AM »
PERENUNGAN KEBAJIKAN

bagian I

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, mereka yang lain telah berbuat salah pada saya; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha dengan tulus memaafkan mereka dan menghapus dendam ini.

Saya memaafkan, karena mengingat betapa seringnya saya juga berbuat salah.

Saya memaafkan, karena menyadari betapa saya selalu membela diri, padahal mengharapkan maaf atas kesalahan sendiri.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa dengan menyimpan keinginan jahat, saya akan merugikan diri sendiri lebih besar dari pada yang dapat diperbuat orang lain pada saya.
Saya memaafkan, berjanji dalam hati tidak akan membicarakan kesalahannya ini pada orang lain.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa keinginan membalas hanya akan menyebabkan kekalutan dan kegoncangan hati.

Saya memaafkan, karena dengan jalan inilah cinta-kasih dan penglepasan akan berkembang dalam hati.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa sama seperti saya, merekapun masih terbakar oleh keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin.

Semoga pemberian maaf hari ini akan membantu saya agar dapat memberi maaf lagi esok hari.

Semoga pemberian maaf ini mendorong mereka yang lain agar juga memberi maaf pada saya.

Semoga pemberian maaf ini memupuk penglepasan, kebaikan dan membantu pembebasan hati.


Bagian II

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat salah pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha mengakui pelanggaran-pelanggaran itu dan memohon maaf.

Saya mohon maaf, bukan untuk menutupi kesalahan-kesalahan saya atau beralasan pada mereka.

Saya mohon maaf, karena mengetahui betapa tak berarti, seharusnya saya mengeluh bila seseorang berbuat salah pada saya.

Saya memohon maaf, berharap agar perbuatan saya yang jelek tidak akan dicontohi mereka yang lain.

Saya memohon maaf, benar-benar merasa menyesal dan berjanji akan memperbaiki-diri.

Saya memohon maaf, dan berjanji untuk melaksanakan pengendalian diri di kemudian hari.

Semoga semua makhluk bebas dari pembalasan. Semoga semua makhluk dimaafkan atas kesalahan-kesalahannya.

Semoga kesalahan-kesalahan saya selalu tak berarti dan mudah teratasi.


Bagian III

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat baik pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi kebahagiaan orang lain, berkat hasrat melatih diri atau penghormatan pada Tiga Permata, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, berjanji tidak akan memperbandingkan diri saya dengan orang lain atau membicarakan kebaikan-kebaikan yang telah saya perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dengan bahagia membagi kegembiraan ini pada semua makhluk dimana-pun berada.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dengan pengharapan agar perbuatan-perbuatan itu akan membangkitkan keinginan orang-orang lainnya agar melaksanakan Dhamma.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melepaskan beban-beban makhluk lain.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melindungi saya dari segala kejahatan dan penderitaan.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya dan jasa yang ditimbulkan oleh-nya membantu pembebasan hati.


Bagian IV

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah melihat atau mendengar perbuatan-baik dilakukan oleh orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi keberuntungan saya ataupun orang lainnya, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, semata-mata karena itu, bukan karena perbuatan salah yang telah mereka perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa akan memuji mereka yang baik dan menjadikannya suri tauladan.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan menyadari bahwa walau dunia ini dipenuhi rasa ke-aku-an ini, namun masih banyak orang yang berhati mulia.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang lain tidak pernah menimbulkan cemburu, dengki dan iri-hati.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain membantu mengembangkan rasa terimakasih dan kepedulian.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain memelihara kebajikan dalam diriku dan membantu pembebasan hati.

 153.      Pada pelaksanaan Perenungan Kemurahan-hati, kita merenungkan nilai-nilai kemurahan-hati (kedermawaan) dan juga agar kita dapat menambah kemurahan-hati itu pada orang lain. Sang Buddha menyarankan merenungkannya dengan cara berikut:

          Engkau hendaknya merenungkan kemurahan-hati dirimu sendiri seperti ini: "Ini adalah keberuntungan saya sendiri. Sebenarnya, ini adalah suatu keberuntungan dengan berdiri teguh diantara yang picik, saya berumah-tangga dengan batin yang bebas dari kepicikan; tangan saya terbuka; tangan saya murni, bergembira bila dapat membagi pada siapa saja, orang tempat memohon kebaikan pula orang yang bergembira bila memberi sesuatu."26


Perenungan Kemurahan-hati

      Apakah hari ini saya membagi keberuntungan besar yang saya nikmati, namun dengan perasaan enggan? Terbenam di dalam milik saya, tanpa memikirkan mereka yang lain; apakah saya menikmatinya sendiri? Tanpa kepicikan atau keserakahan, apakah saya telah bergembira karena dapat memberi? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji menjadi seorang yang selalu memberi dan membagi.

      Saya akan memberi, tapi tak memberikannya benda yang bisa mencelakakannya, walaupun diminta.

      Saya akan memberi, tidak hanya pada mereka yang saya senangi, tapi juga pada orang tak dikenal, pada mereka yang memusuhi sekalipun.

      Saya akan memberi karena menyadari kebutuhan mereka, tak menunggu permintaan.

      Saya akan memberi dengan kerendahan-hati, tanpa keinginan akan penghargaan.

      Saya akan memberi dan juga memberi kesempatan pada mereka untuk juga memberi pada saya.

      Saya akan memberi, tak akan membiarkan pikiran lain menodai kemurahan-hati saya.

      Saya akan memberi, menyadari bahwa kemurahan-hati akan membantu pengembangan penglepasan.

      Semoga kemurahan-hati saya, menghapus kepicikan dan meredakan permusuhan.

      Semoga kemurahan-hati saya, mengundang persahabatan baru dan menggembirakan mereka yang tak berbahagia.

      Semoga kemurahan-hati saya, melumerkan semua keserakahan dan keterikatan dan membantu pembebasan hati.


 154. Pada perenungan yang berikut Sang Buddha berkata:

          Engkau hendaknya merenungkan para sahabat spiritual seperti ini: "Sebenarnya adalah keberuntungan bagi saya. Sebenarnyalah, sangat baik bagi saya memiliki sahabat-sahabat yang indah, penuh kasih-sayang, senantiasa mengharap kesejahteraan bagi saya, senantiasa memberi dorongan dan mengajar saya.27

      Perenungan Sahabat Spiritual mendorong kita untuk memikirkan hubungan kita dengan orang lain dan usaha-usaha yang hendaknya kita lakukan demi menambah erat tali persahabatan yang saling mengasihi itu.


Perenungan Persahabatan

      Apakah hari ini saya gagal menunjukkan persahabatan sejati pada mereka yang saya temui? Apakah saya, melalui badan, ucapan dan pikiran: memusuhi, tak mengacuhkan atau bersikap kasar pada makhluk lain? Apakah saya berusaha mengambil keuntungan dari yang lainnya, tidak memperlakukan mereka seakan mereka adalah kakek dan nenek, ayah dan ibu, saudara lelaki dan wanita, sendiri? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji berlaku seperti Yang Mulia, sahabat sejati dari seluruh dunia.

      Sebagai sahabat, saya akan menolong yang kesulitan, mengarahkan yang sesat, dan menghibur yang kesepian.

      Sebagai sahabat, saya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan orang lain pada saya dengan berlaku curang dan menipunya.

      Sebagai sahabat, saya tidak akan membiarkan mereka berbuat-kejahatan dan berbuat-kebodohan, sebab bila saya membiarkannya, siapa lagi yang akan membimbingnya?

      Sebagai sahabat, saya mengabaikan rasa tak berterima-kasih, pula rasa tak percaya; saya akan terus menawarkan persahabatan.

      Sebagai sahabat, senantiasa mengharapkan kedamaian, saya akan membicarakan perbuatan baik seseorang dan tak akan membicarakan kesalahan-kesalahannya.

      Sebagai sahabat, saya akan senantiasa mengingat perbuatan baik yang telah diperbuat pada saya dan segera terlupakan yang tidak baik.

      Semoga keramahan saya memenangkan persahabatan pada yang lainnya.

      Semoga keramahan saya melindungi saya dari sikap bermusuhan, kemarahan dan penyerangan.

      Semoga keramahan saya bertumbuh menjadi cinta-kasih dan welas-asih dan membantu membebaskan hati.

 155. Perenungan pada Kematian, yang adalah merenungkan maut yang senantiasa membayangi diri kita, akan bermanfaat untuk mendorong kita untuk hidup sebagaimana seharusnya dan agar tidak dihantui ketakutan bila kematian telah mendekati kita.


Perenungan Kematian

      Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa Beliau dan Mereka yang mengenal-Nya, sekarang telah tiada. Sejak kemangkatan-Nya, tak terhitung makhluk telah datang, menunggu waktunya, lalu pergi lagi. Nama-nama dan amal-perbuatannya hanya sedikit yang masih dikenang. Penderitaan mereka, kegembiraan mereka, kemenangan mereka, kekalahan mereka, seperti halnya mereka sendiri, saat ini hanya bayangan. Hal yang sama akan terjadi diantara yang saya kenal. Bersamaan dengan waktu, maka akan terjadi bencana yang saya kwatirkan, kemungkinan yang saya takutkan; kesenangan yang saya kejar menjadi bayangan semata. Oleh karenanya, saya akan merenungkan kenyataan akan kematian saya sendiri, agar saya mengerti nilai hidup yang sejati.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan melunasi segala hutang saya, memaafkan segala kesalahan dan tak bertengkat dengan siapapun.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya tidak akan menghabiskan waktu menyesali kesalahan-kesalahan di masa yang lalu, tapi akan merencanakan hari-hari dengan baik seakan itulah hari terakhir.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan memurnikan batin saya, bukannya memanjakan jasmani saya.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, pula perpisahan dengan yang saya cintai, saya akan mengembangkan perasaan kasih-sayang yang bebas, bukannya kepemilikan dan ketergantungan.

      Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan menggunakan hari-hari saya sebaik mungkin, tidak menghamburkannya mengejar dan merindukan hal-hal yang tak berguna.

      Semoga saya telah siap sewaktu kematian datang.

      Semoga saya tidak takut sewaktu kehidupan terbenam.

      Semoga keterlepasan saya akan membebaskan hati ini.

 156. Tujuan Perenungan pada Kedamaian adalah sebagai pendorong agar kita hidup selaras dengan yang lainnya, mengembangkan perdamaian dan menghindari pertikaian. Juga mengingatkan kita bahwa kedamaian abadi hanya dapat dialami dengan tercapainya Nibbana.


Perenungan pada Perdamaian

      Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa dengan melihat unsur-kehidupan sebagai kekosongan, Beliau dapat mencapai kedamaian. Ketenangan-Nya yang kokoh dan cinta-Nya yang damai akan menjiwai saya. Mereka yang murka karena ketak-adilan, tak sabar untuk perubahan, putus-asa karena bencana, ceria hari ini dan murung besok hari, akan segera kehabisan tenaga dengan sendirinya. Tapi mereka yang batinnya senantiasa tenang dan mereka yang hidup dalam kedamaian akan berlimpah tenaga. Mereka, seperti Sang Buddha, adalah pulau kedamaian di lautan nan penuh gejolak, yang menjadi pulau perlindungan bagi semua makhluk.

      Oleh karenanya, saya akan mencari kedamaian dan ketenangan; menghindari kelantangan, keributan dan dia yang senang perselisihan.

      Saya akan berusaha sekuat mungkin untuk meselaraskan kembali mereka yang sedang berselisih.

      Saya akan bertutur tidak menyimpang dan tidak kasar; senantiasa tepat dengan kata-kata yang baik dan benar.

      Saya akan berusaha sekuat mungkin berdamai dan mengalah, dan tidak akan menjadi penyebab pertengkaran di antara mereka yang lain.

      Semoga mereka yang hidup dalam kekacauan menemukan kedamaian yang didambakannya.

      Semoga hati saya bebas dari rongrongan kotoran batin.

      Semoga dengan hidup dalam kedamaian saya, akan membebaskan hati ini.

 157. Berapa lama meditasi perenungan dilaksanakan? Tergantung pada perasaan kita pada waktu-waktu tertentu. Sekali waktu, mungkin cukup lima sampai sepuluh menit untuk melakukannya dengan tenang, pada waktu lain mungkin diperlukan waktu dua puluh sampai tiga puluh menit. Hal lain yang penting diingat ialah, bahwa walau sangat baik untuk melakukan salah satu meditasi perenungan setiap hari setelah meditasi pernapasan, namun meditasi perenungan sendiri dapat dilakukan setiap saat. Sang Buddha berpesan meditasi perenungan "hendaknya dikembangkan sementara engkau berjalan, sementara berdiri dan berbaring, sementara melaksanakan usaha dan sementara berada di rumah yang penuh dengan anak-anak."28

 158. Meditasi Cinta-Kasih

      Pelaksanaan meditasi berikut yang kita pelajari adalah Meditasi Cinta-Kasih (metta bhavana). Tujuan dari meditasi ini adalah untuk menghalau permusuhan dan menguatkan nilai yang paling tinggi dari segalanya, yakni cinta-kasih (metta).
      Buddhaghosa melukiskan cinta-kasih sebagai berikut:

          Cinta-kasih ditandai dengan hasrat memajukan kesejahteraan orang lain. Gunanya adalah menginginkan kesejahteraan. Perwujudannya adalah hilangnya kekesalan-kekesalan. Penyebab terdekatnya adalah ingin melihat cinta di antara makhluk-makhluk.29

      Cinta-kasih, dengan demikian, adalah perasaan yang kuat dalam bentuk kehangatan dan kasih-sayang yang dicurahkan kepada mereka yang lain, yang diwujudkan dalam bentuk usaha untuk menyenangkan mereka yang dicintai (lihat 79-80). Cinta-kasih (metta) adalah salah satu dari empat nilai yang disebut sebagai Empat Keadaan Luhur (brahma vihara), tiga yang lain adalah Welas-Asih (karuna), Bersimpati (mudita) dan Keseimbangan-Batin (upekkha).
      Welas-Asih adalah perasaan kasihan yang timbul ketika kita menyaksikan penderitaan makhluk-makhluk lain. Dhammapada Atthakata secara jitu mendefinisikan Welas-Asih sebagai berikut:

          Welas-Asih adalah sesuatu yang menggerakkan hati karena menyaksikan penderitaan orang-lain. Menghancurkan dan meleburkan penderitaan orang-lain, jadi disebut Welas-Asih. Disebut Welas-Asih karena menaungi dan merangkul mereka yang menderita.30

      Yang mengimbangi Welas-Asih adalah Simpati, yang adalah perasaan turut bergembira atas kebahagiaan atau keberhasilan orang lain. Keseimbangan-Batin adalah keadaan batin yang bebas dari perasaan yang menonjol, yang mendukung atau melawan salah satu pihak. Keseimbangan-Batin adalah keseimbangan emosi.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #23 on: 30 November 2008, 06:42:26 AM »
 159. Empat Keadaan Luhur dapat dilihat dari beberapa sudut pandang - sebagai empat nilai yang berhubungan tapi terpisah atau sebagai aspek-aspek berbeda dari Cinta. Tentang Empat Keadaan Luhur sebagai nilai-nilai yang terpisah tapi saling mendukung, Nyanaponika berkata:

          Cinta-Kasih secara bebas mengawal Welas-Asih agar tidak memihak, mencegahnya agar tidak membeda-bedakan dengan memilih atau mengeluarkan pihak tertentu, dengan demikian melindunginya agar tidak terjatuh ke pemihakan atau keengganan pada pihak yang dikeluarkan.

          Cinta-Kasih membagi pada Keseimbangan-Batin, perasaan yang tak mementingkan diri sendiri, perasaan yang tak terikat, dan malah kesungguhannya. Karena sesungguhan sendiri, merubah dan mengendalikan, adalah juga bagian dari Keseimbangan-Batin yang sempurna, memperkokoh kekuatannya pada penghayatan yang dalam dan pengendalian diri yang bijaksana.

          Welas-Asih mencegah Cinta-Kasih dan Simpati agar tidak terlupa, pada waktu keduanya sedang menikmati atau memberi kebahagiaan yang sementara dan terbatas, bahwa masih ada kesengsaraan yang sangat mengerikan di dunia pada saat itu. Welas-Asih mengingatkan ke duanya bahwa kebahagiaan timbul bersamaan dengan penderitaan tak terukur, yang mungkin hanya di depan pintu. Welas-Asih adalah pengingat pada Cinta-Kasih dan Simpati bahwa masih lebih banyak penderitaan di dunia ini dari pada yang mereka (cinta-kasih dan simpati) telah berhasil mereka kurangi; bahwa, setelah dampak dari pengurangan itu hilang, penyesalan dan penderitaan pasti akan timbul lagi sampai penderitaan ditumbangkan sama sekali sewaktu pencapaian Nibbana. Welas-Asih tidak memperbolehkan Cinta-Kasih dan Simpati menutup diri diri dari dunia luar dengan sekadar mengikat diri mereka pada kedangkalan tertentu saja.

          Welas-Asih tidak akan membiarkan Cinta-Kasih dan Simpati berputar haluan pada kepuasan diri di dalam kebahagiaan yang diiringi oleh iri hati. Welas-Asih mendesak dan mendorong Cinta-Kasih untuk meluaskan cakupannya; mendesak dan mendorong Simpati untuk mencari penyegaran. Jadi menolong keduanya untuk bertumbuh dalam Keadaan Tak Terikat yang sejati (appamañña).

          Welas-Asih menjaga Keseimbangan-Batin agar tidak terjatuh pada keengganan yang dingin, dan menjauhkannya dari kelambanan atau menyendiri demi kepentingan diri sendiri. Welas-Asih akan mendesak Keseimbangan Batin agar memasuki lagi kancah pertempuran duniawi berulang kali, agar dapat menahan ujian, dengan memperteguh dan menguatkan dirinya sendiri, sampai pada akhirnya Keseimbangan-Batin mencapai kesempurnaan.

          Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak terselubungi melulu oleh pemandangan kesengsaraan duniawi, agar tidak terlarut oleh karenanya dan dengan demikian melalaikan segala yang lainnya. Simpati melepaskan ketegangan batin, menyejukkan keperihan hati yang berwelas-asih. Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak bermurung tanpa tujuan, agar tidak terlarut sia-sia dalam keharuan yang hanya akan melemahkan dan melelahkan batin dan hati. Simpati mengembangkan belas-kasih menjadi simpati yang aktif.

          Simpati memberi ketentraman pada Keseimbangan-Batin yang kemudian dapat melunakkan ketegangannya. Simpati adalah senyum luhur pada wajah Yang Tercerahi, senyum yang menetap, walau Beliau melihat keperihan yang mendalam di dunia ini, senyum yang memberi harapan dan hiburan, menghilangkan ketakutan serta menanamkan kepercayaan diri: "Pintu menuju Pembebasan telah terbuka lebar," demikian dilantungkannya.

          Keseimbangan-Batin tertanam dihayati pada tiga Keadaan Luhur lainnya lewat kekuatan menuntun dan menahan dari ke tiganya, menunjukkan mereka arah yang seharusnya diambil, dan memperlihatkan padanya jalan yang seharusnya diikuti.

          Keseimbangan-Batin menjaga Cinta-Kasih dan Welas-Asih agar tidak menghamburkan waktu dalam pencarian yang sia-sia, agar tidak tersesat dalam labirin emosi yang tak terkendali. Keseimbangan-Batin adalah kendali diri yang demi pencapaian tujuan akhir, tidak akan memperbolehkan Keseimbangan-Batin berpuas-diri pada hasil tak bermakna, dan yang karenanya melupakan tujuan perjuangan kita yang sejati.

          Keseimbangan-Batin, yang berarti 'berpikir seimbang', memberi kesetiaan dan keteguhan yang kokoh dan seimbang pada Cinta-Kasih. Keseimbangan-Batin memberkati Cinta-Kasih dengan harkat tertinggi dari kesabaran. Keseimbangan-Batin melengkapi Welas-Asih dengan keberanian dan ketakgentaran yang seimbang dan tak tergoyahkan, memungkinannya untuk menghadapi jurang kesengsaraan dan keputusasaan yang mengerikan, yang olehnya Welas-Asih diperhadapkan berkali-kali. Pada sisi yang aktif dari Welas-Asih, Keseimbangan-Batin adalah tangan yang kokoh dan tenang, dengan diarahkan oleh kebijaksanaan, diulurkan pada mereka yang hendak melaksanakan seni menolong orang lain yang terkadang memang sulit. Sekali lagi, disini Keseimbangan-Batin berarti kesabaran, kesetiaan menunggu hasil kerja Welas-Asih.31

      Dari sisi yang lain, Empat Keadaan Luhur dapat dilihat sebagai cara-cara yang berbeda untuk mewujudkan cinta tergantung situasi; ibarat cahaya yang dapat memantulkan bermacam-macam warna dari permukaan-permukaan berbeda dari suatu permata yang sama. Dengan demikian Cinta-Kasih, dalam arti kasih-sayang dan kehangatan, adalah jawaban Buddhis bagi orang-orang yang terbuka dan bersahabat, Welas-Asih adalah jawaban bagi mereka yang tercekam, Simpati adalah jawaban bagi mereka yang dalam keadaan berbahagia, dan Keseimbangan-Batin adalah jawaban bagi mereka yang bersikap bermusuhan atau tak menyenangkan.

 160. Setiap orang merasakan cinta sekurangnya pada beberapa orang tertentu - ayah dan ibu, suami atau isteri, anak-anak atau kawan-kawan. Tetapi, pada waktu yang bersamaan, cinta itu kadang-kadang terwarnai atau timbul bersama perasaan cemburu, rasa pemilikan dan keinginan untuk menguasai atau mengendalikan. Demikian pula, adalah mungkin seseorang mencintai beberapa orang, namun membenci ataupun tidak memihak pada yang lainnya. Cinta yang lebih beradab dan bernilai tinggi adalah yang terbebas dari kekotoran batin negatif dan menembus kemana-mana, dapat dirasakan merata oleh semua makhluk - pada semua manusia maupun binatang - kepada mereka yang bersahabat maupun yang bersikap bermusuhan - kepada mereka yang baik maupun yang jahat. Sebenarnyalah, memiliki hati yang mencintai adalah teragung dibanding semua sikap dan perbuatan baik lain.

          Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta-kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi; maka akan jauh lebih bermanfaat yang ke dua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta-kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh diatasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya."32

      Inilah cinta-kasih yang mewarnai setiap aspek kehidupan Sang Buddha, Siswa-siswa-Nya, dan kita hendaknya berupaya sekuat mungkin untuk mengembangkan cinta-kasih yang sama.

          Meditasi Cinta-Kasih hendaknya
          Dilakukan demi diri sendiri dan orang lain.
          Semua hendaknya diliputi cinta-kasih.
          Inilah ajaran Sang Buddha.33


 161. Bagaimana Meditasi pengembangan Cinta-Kasih dilaksanakan? Bila, sementara atau sesudah melakukan latihan harian Kesadaran pada pernapasan, batin kita terasa tentram, damai dan bahagia, inilah waktu yang terbaik untuk melatih Meditasi Cinta-Kasih. Tetaplah pada posisi meditasi, renungkanlah keadaan diri sendiri terlebih dahulu, sadarilah betapa kita telah merasakan kebahagiaan dan kedamaian, lalu berharaplah agar senantiasa dalam keadaan sejahtera. Hal diatas dapat dilaksanakan dengan berkata dalam hati: "Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia. Semoga saya terbebas dari ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin saya terbebas dari pikiran jahat. Semoga hati saya diisi dengan cinta-kasih. Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia." Setelah itu, kita melangkah memikirkan orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang netral, lalu terakhir pada orang yang kita tidak senangi satu demi satu, berharap agar setiap dari mereka sejahtera seperti yang kita harapkan pada diri kita sendiri, dengan mengulangi kata-kata seperti telah kita ucapkan dalam hati diatas. Setelah itu, kita mengucapkan: "Semoga semua makhluk sejahtera dan bahagia. Semoga mereka bebas dari ketakutan ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin mereka terbebas dari keinginan jahat. Semoga hati mereka diisi dengan cinta-kasih. Semoga semua makhluk senantiasa sejahtera dan bahagia." Meditasi Cinta-Kasih hendaknya tidak dilaksanakan tergesa-gesa, ambillah waktu kira-kira sepuluh sampai lima belas menit untuk melaksanakannya.

 162. Pada pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kadang-kadang sementara pikiran cinta-kasih kita pancarkan pada orang yang tidak kita senangi dan berharap mereka bahagia dan sejahtera, namun juga terasa betapa kita tidak merasa mencintai dan menyayangi orang tersebut sama sekali. Apakah ini, seperti dikatakan sementara orang, adalah tindakan berpura-pura saja? Tidak, sama sekali tidak. Walau, mungkin saja kita saat itu, belum merasakan itikad baik pada orang tersebut, namun keinginan merubah perasaan negatif itu menjadi perasaan positif, adalah sasuatu yang sangat penting. Akan tiba saatnya, berkat usaha itu, kebencian akan berubah menjadi keseimbangan dan dari situ akan berubah lagi menjadi persahabatan dan kepedulian. Bila, melalui pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kita telah belajar untuk tidak menghiraukan segala penghinaan (bukannya menjadi dendam), melupakan (bukannya merencanakan pembalasan), menjadi baik (bukannya kasar, lancang atau tak punya kepedulian); maka interaksi kita pada orang-lain akan secara nyata lebih dinikmati dan hidup kita secara umum akan lebih bahagia. Sang Buddha menyebutkan beberapa dampak positif dari pelaksana Meditasi Cinta-Kasih dan kesemuanya berhubungan dengan kebahagiaan.

          Sebelas keuntungan dapat dicari dalam pembebasan batin melalui pelaksanaan cinta-kasih, dengan menumbuhkan cinta-kasih, dengan menambahnya, dengan menjadikan cinta-kasih dasar dan sarana dalam segala tindakan, dengan berdiri kokoh diatasnya, membiasakannya, dan mengembangkannya dengan baik. Apa yang sebelas itu? Seorang akan tidur dan bangun dalam keadaan bahagia, tidak bermimpi buruk, disayangi semua manusia maupun makhluk lain, dijaga para dewata; racun, api dan pedang tidak akan mencelakakannya, pikirannya dapat cepat berkonsentrasi, wajahnya bersih bercahaya, bila dia mati akan tiada kegelisahan dalam dirinya, dan bila dia tidak mengembangkan lebih jauh sekurang-kurangnya dia akan mencapai alam Brahma.34


 163. Apa yang telah kita perbincangkan diatas adalah apa yang dapat disebut sebagai pengembangan cinta-kasih melalui cara pasif, namun tentunya adalah sama pentingnya dengan pengembangan cinta-kasih melalui cara aktif. Hal terakhir ini, mengacu pada usaha untuk meninggikan dan menguatkan cinta-kasih kita dengan bertindak lebih langsung dalam mewujudkan cinta tersebut. Cariyapitaka Atthakata menyebutkan hal ini sebagai berikut:

          Seorang hendaknya berpikir: "Saya tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap mata. Saya harus berusaha untuk mewujudkannya."35

      Mencintai berarti mengesampingkan kepentingan dan keinginan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Mencintai berarti bersikap menolong seseorang, walau orang tersebut pernah menyakiti kita sebelumnya. Mencintai berarti meluangkan waktu untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Semua tindakan diatas diperlukan demi memurnikan batin. Dengan melaksanakannya tanpa mementingkan diri sendiri dan disertai kehendak yang murni, maka tindakan-tindakan diatas tentunya adalah sama pentingnya dengan duduk bersila melaksanakan Meditasi Cinta-Kasih.

 164. Lima Rintangan

      Begitu kita mulai melatih meditasi, kita akan merasakan bahwa kita berhadapan dengan bermacam kesulitan. Bila kita tidak sungguh-sungguh berkeinginan bermeditasi, maka kita selalu saja menunda melakukannya atau selalu mencari alasan untuk tidak melakukannya. Pada waktu lain, mungkin segala pikiran-pikiran/rencana-rencana demikian menetap sehingga kita akhirnya tidak dapat bertahan memusatkan kesadaran pada pernapasan. Juga, dari waktu ke waktu, perasaan badan yang kurang nyaman, suara-suara atau khayalan-khayalan, akan lebih menarik perhatian batin serta meyebabkan meditasi menjadi sulit. Sang Buddha melihat adanya Lima Rintangan atau halangan (pañca nivarana) dalam melaksanakan meditasi dan memaklumkan kita bahwa selama ke limanya masih ada, kita tidak akan dapat melihat apa yang baik bagi diri sendiri dan diri orang lain, dan bahwa pengembangan batin yang sejati hanya akan bisa dapat dimulai setelah kita berhasil melemahkan lima rintangan tersebut. Ke Lima Rintangan adalah nafsu-indriawi (kamacchanda), kehendak-jahat (vyapada), kelambanan dan kemalasan (thina middha), keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca), dan keraguan (vicikiccha).

          Ada lima unsur yang menurunkan nilai emas, yang dikarenakannya emas tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak akan berkilau; tapi menjadi rapuh dan tak akan menjadi karya yang anggun. Apa yang lima itu? Besi, tembaga, timah-putih, timah-hitam dan perak. Tapi bila emas bebas dari lima unsur merugikan itu, maka emas akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh dan dapat dijadikan karya yang anggun. Lalu, perhiasan apapun yang seorang inginkan - cincin stempel, anting-anting, kalung atau gelang - dapat dibuat darinya.

          Sama halnya, ada lima unsur yang menurunkan nilai batin, yang dikarenakannya batin tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak berkilauan, tapi menjadi rapuh dan tidak tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Apa yang lima itu? Nafsu-indriawi, kehendak-jahat, kelambanan dan kemalasan, keresahan dan kekwatiran, dan keraguan. Tapi bila batin bebas dari lima unsur merugikan itu, batin akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh tapi tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Lalu, seseorang dapat mengarahkan batinnya pada terwujudnya pengetahuan batiniah atau apapun yang dapat diwujudkan dengan pengetahuan batiniah dan dapat melihatnya dengan langsung, betapa pun jaraknya.36


 165. Setiap pengalaman indriawi yang menyenangkan, walau telah lama dialami, dapat 'menggema' berulang-ulang di batin dalam bentuk kenang-kenangan dan fantasi-fantasi yang mengisi batin secara sangat menetap. Ini akan menyebabkan nafsu-indriawi (kammacchanda), suatu kerinduan untuk dapat mengalami rangsangan indriawi itu lagi, yang pada akhirnya menyebabkan kegelisahan dan kekecewaan. Persiapan pada kemungkinan pemuasan nafsu-indriawi sendiri juga akan menyebabkan kegelisahan pula. Dengan menggunakan analogi yang tepat, Sang Buddha mengibaratkan kesenangan indriawi sebagai luka borok, makin di garut makin gatal "garutan hanya akan sedikit melegakan."37 Semakin hebat dan akan semakin sulit untuk menenangkannya serta mengkonsentrasikan pikiran. Seperti dikatakan Sang Buddha:

          Kesenangan indriawi memang manis seperti madu,
          Tetapi membuat batin menyimpang dan kacau.38

      Ada beberapa langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari nafsu-indriawi. Yang paling nyata ialah dengan menjaga pintu indera (lihat 146). Menyederhanakan tidur dan makan; menyendiri dengan tenang, juga akan membantu. Langkah yang lain adalah memotong atau menghentikan khayalan begitu kita menyadari bahwa kita mulai terlibat dan terseret olehnya. Perpaduan dari semua langkah-langkah diatas akan meredakan nafsu-indriawi sedikit demi sedikit, dan akan bergeser terlepas sedikit demi sedikit dari kesadaran kita, sementara kita melaksanakan meditasi.


 166. Bila nafsu-indriawi adalah reaksi pada pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Kehendak-jahat (vyapada) adalah reaksi pada yang tidak menyenangkan. Ratusan situasi setiap hari dalam kehidupan kita dapat menyebabkan timbulnya kehendak-jahat; keadaan yang tidak terlaksana sesuai yang kita harapkan, berurusan dengan orang yang tidak menyenangkan atau canggung, dan sebagainya. Sang Buddha menggambarkan dengan jelas dampak negatif dari kemurkaan dan kehendak-jahat yang membara, dengan berkata:

          Kebencian menyebabkan kemalangan besar;
          Kebencian mengacaukan dan membahayakan batin.
          Bahaya yang menakutkan ini tertanam dalam pada mereka yang
          Tidak menyadarinya.

          Tak berfaedah, seorang tak akan mengetahui kebaikan
          Tidak dapat melihat sesuatu seperti apa adanya
          Hanya kebutaan dan kegelapan yang menonjol
          Bila seseorang diliputi kebencian.39

      Kehendak-jahat juga dapat timbul dalam meditasi. Kita mungkin merasa jengkel pada mereka yang membuat kegaduhan sewaktu kita sedang bermeditasi, jengkel pada tubuh yang kurang nyaman, atau jengkel pada diri sendiri karena sulit berkonsentrasi pada pernapasan. Kadang-kadang pula, kita teringat pada kesalahan atau ketidak-adilan yang telah diperbuat orang lain pada kita di masa lampau, lalu menimbulkan amarah dan pikiran untuk membalas. Ada beberapa cara untuk mengatasi hal sedemikian, pula segala bentuk kehendak-jahat seperti itu. Bila kehendak-jahat ditujukan pada orang tertentu, agar dapat menenangkan batin, Buddhagosa menyarankan agar kita berbicara dengan diri sendiri dengan berpikir seperti berikut:

          Seandainya musuh telah menyakitimu,
          Didaerah kediamannya sendiri.
          Mengapa engkau mesti mengganggu dirimu sendiri,
          Dan menyakiti batinmu di kediamanmu sendiri.

          Dengan air mata engkau meninggalkan keluargamu,
          Mereka yang senantiasa baik serta menolong dirimu
          Jadi, mengapa tidak engkau tinggalkan saja musuhmu,
          Pula amarah yang sedemikian membahayakan dirimu?

          Amarah yang engkau rangkul,
          Menggerogoti sampai keakar-akarnya,
          Semua kebajikan yang dengan susah payah engkau capai
          Siapa pula yang akan sedemikian bodohnya?

          Orang lain melakukan perbuatan tercela,
          Tapi engkau yang marah. Mengapa?
          Apakah engkau memang berharap menirunya.
          Dan bertindak seperti dia?

          Seandainya seorang, dengan cara menjengkelkan,
          Menggusar dirimu agar berbuat jahat.
          Mengapa membiarkan amarah bangkit dan dengan
          Demikian bertindak seperti apa yang diinginkannya darimu?

          Bila engkau menjadi marah,
          Mungkin mereka menderita, mungkin juga tidak
          Tetapi dengan mengalami kemarahan itu,
          Dirimu sendiri pasti telah mengalami penderitaan.

          Bila para musuh dibutakan oleh amarah,
          Sesuai untuk menjalani jalan kesengsaraan,
          Apakah engkau berharap mengikutinya,
          Dengan juga menjadi marah?

          Bila musuh menggusarkanmu,
          Menyakitimu dengan membangkitkan amarah,
          Biarkan amarah itu mereda.
          Jangan merugikan dirimu tanpa guna.40

      Bila kita marah pada diri sendiri dikarenakan sulitnya memusatkan pikiran ketika bermeditasi, sikap bersabar dan menerima akan sangat membantu. Tidak diragukan lagi, cara yang paling sangkil untuk membebaskan diri sendiri dari segala kehendak-jahat dan angkara-murka picik yang hinggap di batin kita, adalah dengan melaksanakan Meditasi Cinta-kasih.


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #24 on: 30 November 2008, 06:43:28 AM »
 167. Hal yang ke tiga dari Lima Rintangan, dan yang selalu dihadapi dalam latihan meditasi, adalah kelambanan dan kemalasan (thina midha). Kelambanan dan kemalasan berbeda dengan kelelahan yang adalah masalah yang cukup diatasi dengan istirahat seperlunya. Rintangan yang dimaksud disini adalah keinginan setengah-hati dan kehilangan gairah yang menyebabkan kita menunda bermeditasi atau bila sedang bermeditasi ingin menghentikannya segera. Bila perasaan seperti itu timbul sementara bermeditasi, biasanya dapat teratasi dengan membuka mata sebentar serta menarik nafas yang dalam-dalam beberapa kali. Sang Buddha menganjurkan beberapa cara yang lain untuk menghilangkan kantuk sewaktu bermeditasi.

          Lalu Sang Buddha berkata pada Maha Moggallana: "Apakah engkau mengantuk, Moggallana? Apakah engkau mengantuk?"
          "Ya, Tuanku."
          "Baiklah, apabila pikiran malas menimpamu, janganlah perhatikan pikiran itu, jangan tinggal-berdiam dengannya. Dengan demikian, perasaan itu mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya memikirkan dan merenungkan Dhamma di dalam batinmu - mengulanginya dalam batin sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya membacakan Dhamma secara rinci sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya menarik telingamu dan menggosok anggota badanmu dengan telapak tangan. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, bangkitlah dari tempat dudukmu, basuhlah mukamu, pandanglah ke segala penjuru dan tataplah langit yang berbintang. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya mengembangkan pencerapan cahaya dengan kuat-seperti pada siang hari, demikian pula malam hari; seperti pada malam hari, demikian pula pada siang hari. Jadi dengan batin yang bersih dan tak terhalang, engkau hendaknya mengembangkan kesadaran yang memancar. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya sadar pada apa yang ada di depan dan di belakangmu. Berjalanlah naik turun dengan perasaan yang menatap ke dalam dan batinmu jangan mengembara kemana-mana. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu."
          "Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, berbaringlah diatas sisi kananmu seperti posisi singa dengan satu kaki diatas lainnya, dalam kesadaran penuh dan bersih, dengan pikiran bahwa engkau akan segera bangkit kembali. Setelah bangkit, engkau hendaknya meluruskan badan, berpikir: "Saya tidak akan menuruti kesenangan berbaring, bersandar dan tidur." Latihlah dirimu seperti ini."41

      Dengan senantiasa mengingat waktu yang sia-sia habis dengan bermalas-malasan, tidur dan selalu menunda-nunda meditasi; maka kita dapat menghalau kemalasan dan memperkuat tekad kita, seperti yang dapat kita capai pada pelaksanaan Perenungan pada Kematian.


 168. Lawan dari Kelambanan dan Kemalasan adalah keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca). Bila satunya disebabkan oleh energi yang terlalu sedikit, maka yang satunya disebabkan oleh energi berlebihan, dikarenakan ketidak sabaran dan pengharapan yang tidak realistik. Kita memacu diri sendiri, lalu bila hasil yang diharapkan tak kunjung tiba pada waktu dan dalam bentuk yang diinginkan, kita akan berusaha lebih gigih lagi, sehingga malah menyebabkan kekacauan. Hal lain yang menyebabkan timbulnya Keresahan dan Kekwatiran adalah bila kita terlalu teliti dalam perilaku etika, terlalu kwatir secar berlebihan dalam mempraktekkan pantangan-pantangan dan mengikuti peraturan-peraturan secara terlalu ketat. Ketika seseorang bertanya pada Sang Buddha tentang cara mencapai Nibbana, Beliau menjawab bahwa Beliau mencapainya dengan "tidak berlambat-lambat (appatittham) dan tidak tergesa-gesa (anayuham)", sebab bila terlambat-lambat Beliau akan tenggelam dan bila terlalu tergesa-gesa Beliau akan dipusingkan olehnya.42 Kita dapat menghindari Keresahan dan Kekwatiran pula Kelambanan dan Kemalasan dengan cara usaha yang merata dan bertahap, singkatnya, dengan menerapkan Jalan Tengah dalam penggunaan tenaga kita. Perenungan Dalam Kedamaian, juga berfaedah untuk menenangkan diri kita bila kita merasa telah terburu-nafsu.

 169. Yang terakhir dari Lima Rintangan adalah Keraguan (vicikiccha), yang adalah perasaan ketidak-pastian, menyebabkan kita bingung dan bimbang. Kita mungkin saja ragu pada ajaran Buddha, juga mungkin ragu pada kemampuan diri sendiri untuk melaksanakan ajaran-Nya. Orang-orang yang agamis niscaya berusaha menghalau keraguan dalam hatinya, tapi hendaknya tidak dengan cara menutup rapat batin diri sendiri dan menolak pendapat orang lain. Mereka yang menutup diri sendiri, mungkin saja memiliki keyakinan yang kokoh, namun sebenarnya keyakinannya penuh kecemasan, karena harus selalu siap bertahan, oleh karenanya tidak memberi ketentraman yang seharusnya diperoleh pada keyakinan yang sejati. Keyakinan seperti itu tidak berdasarkan kenyataan; keyakinan sejati justru tumbuh setelah penelitian secara hati-hati pada kenyataan-kenyataan. Jadi, cara penanggulangan terbaik pada keraguan adalah dengan mempelajari sabda-sabda Sang Buddha dengan menggunakan pemikiran sepenuhnya, membandingkannya secara terbuka dengan tradisi-tradisi yang lain dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dengan tulus. Bila kita mengetahui Dhamma seutuhnya, kita dapat menjalankannya dengan tepat; pelaksanaan yang tepat akan membawa hasil, hasil yang gemilang lalu memperkokoh keyakinan, keyakinan yang kokoh, lalu akan menghalau keraguan. Selama perlangsungan proses yang memakan waktu seperti diatas, maka untuk membantu, kita sebaiknya acap kali melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

 170. Melalui pengamatan yang baik, maka kita akan menyadari bahwa selain sebagai pengguna meditasi, Lima Rintangan juga adalah pengganggu dalam kehidupan sehari-hari. Kehendak-jahat dan Keraguan dapat saja mengganggu hubungan kita dengan orang lain; Kelambanan dan Kemalasan berdampak pada pekerjaan dan pelajaran kita; Keresahan dan Kekwatiran berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani kita. Apabila Lima Rintangan dapat dihancurkan dominasinya di dalam batin kita, kehidupan kita akan mendapatkan keberuntungan, sama halnya dengan yang dicapai oleh meditasi kita. Perasaan lega, perasaan sentosa, perasaan bebas dan aman akan menembus ke batin kita dan olehnya kita merasa lebih berbahagia.

          Dengan menghentikan nafsu-duniawi, seseorang tenang berdiam dengan batin yang bebas dari nafsu-duniawi dan menjadi murni. Dengan menghentikan kehendak-jahat dan kebencian, kita berdiam dengan batin dipenuhi welas-asih dan cinta-kasih demi kesejahteraan semua makhluk, dan memurnikan batinnya dari kehendak-jahat dan kebencian. Dengan menghentikan kelambanan dan kemalasan, dia merasakan cahaya serta penghayatan yang sadar dan jelas, dia memurnikan batinnya dari kelambanan dan kemalasan. Dengan menghentikan keresahan dan kekwatiran dan tetap tenang di dalam batin, dia memurnikan batinnya dari keresahan dan kekwatiran. Dengan menghentikan keraguan, dia tenang-berdiam setelah mengatasi keraguan, tanpa ketakpastian dalam dirinya sebagai layaknya seorang terlatih, dia memurnikan batinnya dari keraguan.

          Bagaikan seorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya, dan setelah usahanya berkembang, dia melunasi hutangnya dan berkecukupan untuk menunjang seorang isteri, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya berhutang, tapi sekarang bebas dari hutang," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang sakit dan menderita, tak ada nafsu makan dan lemah, lalu beberapa waktu berselang pulih kesehatannya, nafsu makannya dan kekuatannya, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya sakit, tapi sekarang saya sehat," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang dipenjarakan, sesudah beberapa waktu, dibebaskan tanpa penyitaan harta bendanya, dan olehnya ia berkata dalam hati: "Sebelumnya saya dipenjarakan, tapi sekarang bebas," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang budak, tidak menjadi tuan dari dirinya sendiri, dikendalikan oleh orang lain dan tak dapat melaksanakan apa yang dikehendakinya, lalu suatu waktu dibebaskan, lalu berkata dalam hati: "Dulu saya seorang budak, tapi sekarang saya telah dipersamakan," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Bagaikan seorang yang membawa barang-barang dan harta kekayaan mengembara seorang diri di dalam keganasan hutan yang penuh bahaya, namun bebekal hanya sedikit makanan, tapi setelah beberapa waktu, tiba dengan selamat dan terdengar sampai di pinggiran desa, dan akan berkata dalam hati: "Sebelumnya saya dalam keadaan berbahaya, tapi sekarang saya sudah aman," dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

          Dengan cara yang sama, selama Lima Rintangan tidak diatasi, seseorang akan merasa berhutang, sakit, dipenjarakan, diperbudak, hilang dalam hutan belantara. Tetapi setelah Lima Rintangan teratasi, seorang akan merasa bebas dari hutang, sehat, bebas, dipersamakan dan aman. Dan ketika seorang menyadari bahwa Lima Rintangan telah teratasi, kegembiraan timbul, dari kegembiraan timbul keceriaan, dari keceriaan tubuh akan tenang, dari tubuh yang tenang seorang akan berbahagia, dan batin yang berbahagia senantiasa terkonsentrasi.43


 171. Pencapaian Jhana

      Bila semua langkah-langkah yang telah diperbincangkan di atas dilaksanakan secara teratur, maka dalam waktu yang cukup panjang dan bila prasyaratnya memungkinkan, keadaan batin yang disebut jhana akan dicapai. Kata jhana berarti 'mempertimbangkan' atau 'mematangkan-pikiran', Sang Buddha melukiskan empat tingkat dari keadaan ini, setiap tingkat lebih murni dan halus dari tingkat sebelumnya. Keadaan batin inilah yang dialami oleh Sang Buddha beberapa saat sebelum Pencerahan dan yang menuntun Beliau mencapai Pencerahan (lihat 209, 210). Di dalam Dhammapada, Beliau menggarisbawahi pentingnya Jhana, dengan bersabda:

          Tanpa jhana, tak ada kebijaksanaan;
          Tanpa kebijaksanaan, tak ada jhana;
          Tapi dia yang telah memiliki jhana dan kebijaksanaan,
          Sebenarnya telah dekat pada Nibbana.44

      Sang Buddha melukiskan Jhana pertama, sebagai berikut:

          Terlepas dari kesenangan-indriawi dan keadaan batin yang tak-terlatih, seorang memasuki dan menetap di Jhana Pertama, yang ditandai oleh batin yang berpikir dan berkhayal, diisi kegembiraan dan kebahagiaan yang terlahir dari keterlepasan. Dan dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang lahir dari keterlepasan, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari keterlepasan. Bagaikan seorang penjaga permandian yang terlatih atau pembantunya, mengadoni bubuk mandi yang telah disirami air, membentuk darinya sebuah gelembung di dalam sebuah mangkuk logam, yang darinya tidak ada embun yang terbebas- dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh.45

 172. Kita akan melihat dengan teliti Jhana Pertama sehingga dapat dikenal sewaktu dicapai. Berpikir (vitakka, dari kata 'takka' yang berarti menalar) mengacu pada berpikir dengan sadar dan langsung, biasanya dalam bentuk atau usaha pemecahan masalah. Berkhayal (vicara, dari kata 'carati' yang berarti bergerak atau mengembara) mengacu pada pikiran yang terpencar dan tak berhubungan satu sama lain yang sudah demikian jauh mewarnai pikiran yang biasa.

          Berpikir adalah tangan yang memegang dengan kuat, dan berkhayal adalah seperti tangan yang menggosok; pada seorang yang dengan kuat memegang sebuah piring logam bernoda dengan satu tangan, sedang tangan yang lain menggosoknya dengan bubuk-penggosok, minyak dan sabut penggosok.46

      Pada Jhana Pertama, batin sangat tenang dibanding biasanya, dan walau masih Berpikir dan Berkhayal, namun tidak ada satu pun dari Lima Rintangan yang tersisa. Perhatian terpusat pada pernapasan, digunakan hanya sedikit usaha yntuk bernapas, disertai timbulnya perasaan Kegembiraan secara umum (piti) dan Kebahagiaan (sukha). Perasaan positif ini dilahirkan dari keterlepasan (vivekaja), yang merupakan hasil terbebas dari Lima Rintangan, bila hanya sementara. Kegembiraan mungkin datang seperti kilat, seperti gelombang, atau seperti menyebabkan seluruh tubuh terasa ringan, tapi lebih sering merupakan perasaan sesuatu yang meresap dengan halus, datang tiba-tiba dan memudar secara perlahan.47

 173. Pada tahap permulaan, Jhana Pertama bertahan hanya sebentar, walau demikian, dapat membangkitkan keinginan kuat untuk mempertahankannya, dan juga untuk merasakannya kembali pada saat meditasi yang berikut. Keinginan ini malah dapat menimbulkan goncangan dan tekanan, yang mementalkan kembali batin kita pada keadaan batin sebelumnya atau akan menyebabkan kita akan merasa tidak puas serta kecewa pada meditasi-meditasi yang berikut. Ketika Jhana Pertama dicapai hendaknya kita merasakan dan menikmatinya secara penuh, lalu bila mulai menghilang, kita melepaskannya, layaknya sebagai kawan yang mengunjungi kita, yang kunjungannya telah memberi kesenangan dan sekarang tiba saatnya untuk berpamit. Tugas dari pemeditasi sekarang adalah melanjutkan latihan meditasi secara teratur, sehingga tidak sekadar memasuki (upasampajjatri) sebentar dari waktu ke waktu, tapi datang dan berdiam (viharati) dalam jhana untuk waktu yang lebih panjang. Walau Jhana Pertama adalah tahapan jhana paling rendah dari ke Empat Jhana, namun pencapaiannya memberi dampak yang sangat positif pada batin, yang pada gilirannya akan menyebabkan banyak perubahan yang penting dan berfaedah bagi kepribadian.

 174. Begitu Jhana Pertama dicapai, maka tidak lama berselang perhatian bisa terpusat (ekodibhava) dan terpaku pada gerakan pernapasan, pikiran-pikiran berhenti sama sekali (avitaka avicara), ketenangan mendalam dialami (sampasadana) dan batin terkonsentrasi penuh. Keadaan ini disebut Jhana Kedua dan dilukiskan oleh Sang Buddha, sebagai berikut:

          Dengan terhentinya Pikiran dan Khayalan, dengan mencapai ketenangan mendalam dan batin yang menyatu, seseorang memasuki dan berdiam di Jhana Kedua, tidak ada Pikiran dan Khayalan lagi dalam batin, terisi Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi. Dan dengan Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagian pun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi.
          Bagaikan kolam yang terisi oleh mata-air, tanpa sumber dari jurusan manapun, dengan hujan yang dikirim dewa menyiraminya dari waktu ke waktu, air sejuk dari mata-air dibawahnya akan menutupi, mengisi dan merembesi kolam itu dengan air sejuk sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh lagi olehnya - dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.48

      Kegembiraan dan Kebahagiaan masih terasa pada Jhana Kedua, tapi sekarang disebut sebagai terlahir dari konsentrasi (samadhija), yang tidak lagi merupakan reaksi dari rangsangan indriawi. Perasaan positif ini bukan lagi kebahagiaan biasa (pemuasan indriawi). Dengan tercapainya Jhana Kedua, Pemusatan-Pikiran Sejati telah berkembang, dan kita sekarang siap untuk memulai mengembangkan Kesadaran Sejati.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #25 on: 30 November 2008, 06:43:44 AM »
 175. Telah dikatakan sebelumnya bahwa kita terbentuk dari Lima Unsur (60-63), yang kesemuanya bercirikan ketak-langgengan, ketidak-puasan dan ketiada-diri-alamian; dan bahwa bila kita dapat melihat hal ini sebagaimana kenyataannya, maka akan menyebabkan perubahan mendasar dalam diri kita. Kita dapat hidup bebas dari keserakahan, penuh kebahagiaan dan kedamaian. Tapi pengertian teoritis dan konseptual saja tidak akan cukup untuk menyebabkan perubahan itu. Apa bila kita berharap melihat kenyataan seperti apa adanya, kita mesti menelitinya dengan hati-hati. Secara normal, kita bereaksi terhadap semua pengalaman, dengan menyukainya atau pun tidak menyukainya, dengan membandingkannya dan memutuskannya, dan pula tentunya mengindentifikasikannya pada semua pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan dengan selalu berusaha mencari letaknya didalam 'milikku'. Secara singkat, dalam kehidupan keseharian, kita terlibat pada pengalaman-pengalaman dan semua dampaknya, yang kita tidak lihat seperti apa adanya. Pelaksanaan Kesadaran/kemawasan, akan memungkinkan kita untuk 'melangkah keluar' dari pengalaman-pengalaman itu, dan mengamatinya dengan kewaspadaan yang tidak terikat. Dengan melakukan hal ini, kita akan mendapatkan wawasan atau pengetahuan yang lebih tepat dan sama sekali berbeda, dan berkat sikap tak-terikat dan tak-terlibat berarti kita dapat bereaksi pada pengalaman itu dengan cara yang paling tepat, tidak sekadar bereaksi tiba-tiba tak berhati-hati dengan menurutkan kata hati saja.

 176. Sang Buddha mengajarkan Empat Dasar Kesadaran (satipatthana), empat hal yang darinya kita akan menggembangkan kesadaran/kemawasan kita atau mengarahkan kesadaran kita padanya (Empat Dasar Kesadaran tersebut). Bisa dimaklumi, Empat Dasar Kesadaran adalah Kesadaran pada tubuh-jasmani (kayanupassana), Kesadaran pada Perasaan (vedananupassana), Kesadaran pada Batin (cittanupassana), dan Kesadaran pada Keadaan-Keadaan/Obyek-obyek mental (dhammanupassana). Kesadaran pada Tubuh-jasmani berarti kita menyadari pergerakan-pergerakan, ketegangan-ketegangan, datang dan perginya tubuh kita. Sang Buddha melukiskannya sebagai berikut:

          Sewaktu berjalan, dia menghayatinya: "Saya berjalan," atau sewaktu dia berdiri diam, dia menghayatinya: "Saya berdiri diam," atau sewaktu dia duduk, dia menghayatinya: "Saya duduk." Atau sewaktu dia berbaring, dia menghayatinya: "Saya berbaring." Dengan demikian, bagaimanapun kecenderungan tubuhnya, dia menghayatinya bahwa demikianlah keadaannya. Demikian pula, sewaktu dia pergi atau datang, dia bertindak dalam keadaan sadar sepenuhnya; sewaktu dia melihat ke depan atau menoleh ke belakang, sewaktu dia membengkokkan atau merentangkan lengannya, sewaktu dia membawa jubah-luarnya, jubahnya atau mangkuknya, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran penuh. Sewaktu dia makan, minum, mengunyah atau mengecap, sewaktu dia ke peturasan, sewaktu dia berjalan, berdiri, duduk, tertidur atau terbangun, berbicara atau diam, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran sepenuhnya. Sewaktu dia dalam keadaan seperti berikut - rajin, bergairah, berketetapan-hati - semua ingatan-ingatan dan rencana-rencana duniawi dihapusnya, maka dengan sendirinya batin akan reda, tenang, kesatu-titik dan terkonsentrasi. Dengan cara ini seseorang mengembangkan Kesadaran pada Tubuh-jasmani.49

      Kesadaran pada Perasaan-perasaan berarti kita menyadari bermacam-macam sensasi-sensasi/perasaan-perasaan yang timbul dalam diri kita, dan sekali lagi kita sekadar mengamatinya, seakan-akan dari kejauhan terlepas darinya.

          Bagaimana seorang melaksanakan Kesadaran pada Perasaan-perasaan? Sewaktu mengalami perasaan yang menyenangkan, dia mengetahuinya: "Saya sedang mengalami perasaan yang menyenangkan." Sewaktu mengalami perasaan yang menyakitkan, dia mengetahui: "Saya sedang mengalami perasaan yang menyakitkan," dan sewaktu mengalami perasaan yang netral, dia mengetahuinya: "Saya sedang mengalami perasaan yang netral." Sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang duniawi, dia mengetahui bahwa itu adalah duniawi, dan sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang tidak-duniawi, dia mengetahui bahwa itu tidaklah duniawi. Dengan demikian, dia tinggal-berdiam, merenungkan perasaan-perasaan ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya perasaan, atau kesadarannya bahwa "itu adalah perasaan" telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.50

      Kesadaran pada Batin adalah kemawasan pada nilai-nilai dalam batin dari waktu ke waktu; apakah banyak pikiran, apakah terlibat suatu emosi, apakah sedang kacau, dan seterusnya.

          Bagaimana seorang, hidup dengan melaksanakan Kesadaran pada Batin? Menyangkut ini, dia mengetahui batin yang serakah sebagai batin yang serakah, batin yang tidak serakah sebagai batin yang tidak serakah. Batin yang membenci sebagai batin yang membenci, batin yang tidak membenci sebagai batin yang tidak membenci. Batin yang gelap-berkhayal sebagai batin yang gelap-berkhayal, batin yang tidak gelap-berkhayal sebagai batin yang tidak gelap-berkhayal. Batin yang patuh-menurut sebagai batin yang patuh-menurut, batin yang kacau-teralihkan sebagai batin yang kacau-teralihkan, batin yang berkembang sebagai batin yang berkembang, batin yang belum berkembang sebagai batin yang belum berkembang. Dia mengetahui batin yang 'keadaan mental yang tertentu' nya menonjol sebagai batin yang 'keadaan mental-tertentu' nya menonjol, batin yang tidak ditandai 'keadaan mental-tertentu' yang menonjol sebagai batin yang tidak ditandai 'keadaan mental-tertentu' yang menonjol. Dia mengetahui batin yang berkonsentrasi sebagai batin yang terkonsentrasi dan batin yang tidak berkonsentrasi sebagai batin yang tidak terkonsentrasi, batin yang bebas sebagai batin yang terbebas dan batin yang belum bebas sebagai batin yang belum terbebas.

          Jadi, seorang tinggal-berdiam merenungkan batinnya ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya isi batin, atau kesadarannya bahwa "itu adalah batin" telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.51

      Kesadaran pada obyek-obyek mental adalah kemawasan terhadap isi benak dalam batin kita; mendengarkan isi batin, bukannya bereaksi terhadap isi batin.

 177.      Bagaimana melaksanakan Meditasi Kesadaran? Seperti sebelumnya, kita duduk dalam posisi yang nyaman, menutup mata, tangan di pangkuan, lalu melaksanakan meditasi kesadaran pada pernapasan sebentar, sekitar sepuluh menit. Lalu kita memilih salah satu dari Empat Dasar Kesadaran, Kesadaran pada Keadaan-mental adalah yang terbaik untuk memulai latihan kita. Setelah segala pikiran-pikiran memudar, kita semata-mata mengamati pikiran-pikiran yang timbul, menetap sebentar dan menghilang, tanpa beraksi padanya, Sang Buddha melukiskan latihan ini, sebagai berikut: "Lihatlah,pikiran-pikiran timbul; lihatlah, pikiran-pikiran menetap; lihatlah, pikiran-pikiran pergi" (vidita vitakka uppajjanti, vidita upatthahanti, vidita abbattham gacchanti).52 Kita hendaknya menjadi sebagai apa yang disebut oleh Sang Buddha "pengamat-lepas dari isi batin" (ajjhupekkhita).53 Bila tidak ada pikiran (untuk diperhatikan) yang muncul, maka kita kembali saja memperhatikan masuk-keluarnya napas. Sebaliknya juga, bila pikiran sangat kuat menggoda timbul, sehingga sangat sulit menghindar, maka sebaiknya kita juga kembali sebentar memperhatikan pernapasan. Latihan sebaiknya dilakukan sedikitnya satu jam setiap hari. Ada dua hal yang akan berkembang maju, seiring dengan kemajuan meditasi kita, yakni Kesadaran/kemawasan/kewaspadaan (sati), dan Keseimbangan (upekkha), dan bersamanya memberi kebahagiaan yang tenang dan santai. Keadaan ini disebut sebagai Jhana Ketiga dan dilukiskan oleh Sang Buddha sebagai berikut:

          Dengan memudarnya Kegembiraan, seorang tetap seimbang, sadar sepenuhnya, dan dia mengalami di dalam dirinya sendiri kebahagiaan yang disebut oleh Yang Mulia sebagai: "Sangatlah bahagia dia yang tinggal-menetap dalam Keseimbangan dan kesadaran" sebab dia memasuki dan tinggal-menetap dalam Jhana Ketiga. Dan dengan Kebahagiaan yang bebas dari Kegembiraan dia menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagianpun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh Kebahagiaan.
          Bagaikan kolam yang terisi teratai biru, merah atau putih, bunga-bunga tersebut terlahir di dalam air, tumbuh di dalam air dan diberi makan oleh air, tapi belum muncul di permukaan air dan oleh karenanya tertutupi, terisi dan terembesi dengan air sejuk kolam itu; dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.54

      Apabila 'Kesadaran pada obyek-obyek mental' telah berkembang baik, maka hendaknya kesadaran/kemawasan secara bertahap diperluas pada Kesadaran tubuh-jasmani, perasaan, dan pada semua pengalaman-pengalaman, dengan demikian kewaspadaan menyeluruh tercapai.

 178.      Pada tahap ini, perhatian hendaknya semakin bertambah banyak ditujukan untuk mempertahankan Kesadaran, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih salah satu kegiatan sehari-hari kita (sebagai obyek latihan), dan bertekad menerapkan kesadaran sepenuhnya sewaktu melakukan kegiatan tersebut. Kita dapat memilih berbenah-diri di pagi hari, menyiapkan makanan, makan, mandi, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan sebagainya. Bila seorang memilih kegiatan makan, misalnya, maka sewaktu makan dia hendaknya tidak sambil membaca, berbicara, melamun, atau memikirkan rencana-rencana yang akan dilakukan setelah makan; namun mengerahkan perhatian sepenuhnya pada apa yang dihadapinya. Dia hendaknya mengetahui dan mengikuti secara sadar pergerakan tangannya, mengunyah dan merasakan makanan sepenuhnya. Tidaklah harus, bahwa semua gerakan dilakukan secara sangat perlahan, namun dengan sendirinya gerakan akan lebih perlahan dari biasanya. Juga tidak berarti bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan wajah kosong - tanpa ekspressi. Ada pendapat salah yang mengatakan seorang Buddhis hendaknya tidak lagi tersenyum, dan hendaknya tampak serius dari waktu ke waktu. Malah bila Meditasi Kesadaran dilakukan dengan benar, seperti dikatakan Sang Buddha, "roman wajahmu akan jernih" dan "corak kulitmu akan terang dan bercahaya". Penampilan seperti itu hanya dapat diharapkan pada mereka yang bebas dari keruwetan dari dalam dan luar, yang pada umumnya menyeret kebanyakan orang-kebanyakan. Mereka yang sudah mengembangkan kesadaran/kewaspadaan yang kuat, seperti Sang Buddha sendiri, adalah bagaikan bunga teratai, tumbuh ditengah-tengah Lumpur, tapi tidak ternodai karenanya.

          Sang Tathagata hidup bebas, tak tergantung dan terlepas dari tubuh-jasmani, perasaan-perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental, kesadaran-hidup, kelahiran kembali, kelapukan dan gairah-nafsu. Bagaikan teratai biru, merah ataupun putih dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, ketika mencapai permukaan air, tetap seperti itu tak tersentuh oleh air, demikian pula Sang Tathagata, terbebas, tak-melekat dan terlepas dari semuanya tinggal-menetap dengan batin yang batas-batasnya telah dilumpuhkan.55

      Pencapaian Jhana ke empat, dan pelaksanaan/latihan-latihan yang menyusulinya, yang akan mengantar ke pencapaian Nibbana, adalah hal yang sebaiknya dipahami langsung dari mulut seorang guru yang telah terlatih melaksanakannya. Langkah-langkah akhir dari Jalan adalah tapal-batas yang hendaknya dimasuki hanya oleh mereka yang memang telah siap untuk menghentikan segalanya dan bertekad menempuh perjalanan selanjutnya.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #26 on: 30 November 2008, 06:45:38 AM »
Realisasi

TIGA PERLINDUNGAN

 179.      Setelah mempelajari ajaran Sang Buddha, maka diantara mereka yang merasakan kebesaran dan kebenaran ajaran Buddha, banyak yang cukup puas dengan mengagumi ajaran itu dari kejauhan. Penghargaan pada Sang Buddha (dan ajaran-Nya) semata-mata belum menjadikan seseorang menjadi Buddhis. Di negara-negara Buddhis tradisional, penduduk ke vihara-vihara, mengikuti acara ritual dan melaksanakan Dhamma sebagai bagian kebudayaan mereka; tetapi tentunya seseorang tidak langsung menjadi Buddhis hanya karena dia terlahir di negara Buddhis. Sebagian orang lagi menelusuri lebih jauh, mempelajari Dhamma dan berusaha sekuat mungkin untuk melaksanakannya, tapi tentunya hanya sepanjang hal tersebut tidak berarti pengorbanan. Sebenarnya, melaksanakan Dhamma hanya bila hal itu mudah atau bila menyenangkan, belum menjadikan seorang menjadi Buddhis. Lalu, bagaimana seorang Buddhis itu? Seorang Buddhis adalah seorang yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

          "Bagaimana, Tuan-ku, seorang menjadi murid awam?"
          "Bila seorang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, maka dia menjadi murid awam."1


 180. Perlindungan (sarana) adalah tempat dimana seseorang menghindar dari bahaya - jadi suatu tempat yang aman, pernaungan aman. Seorang Buddhis melihat samsara, lingkaran lahir dan mati, sebagai bahaya dan penderitaan, dan kemudian melihat Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai suatu tawaran keamanan dan kebahagiaan. Dengan sendirinya dorongan untuk menjalani Jalan hendaknya lebih dari sekadar keinginan terbebas dari samsara. Hendaknya diikutkan, sesuatu yang lebih kuat, yakin keinginan untuk mencapai Nibbana. Keagungan dan kesempurnaan Buddha, Dhamma dan Sangha, bila dimengerti maknanya, akan menarik perhatian kita kepada Mereka. Jadi, Buddha, Dhamma dan Sangha disebut Tiga Perlindungan, sebab kepadanya kita berlindung dari samsara; tetapi dapat dengan tepat juga disebut sebagai Tiga Permata (tiratana) sebab, sebagai permata yang berharga, ke Tiga-nya membangkitkan rasa penghargaan dan kekaguman kita.


 181. Sang Buddha adalah perlindungan dalam arti Beliau mewakili potensi pencapaian kesempurnaan manusia yang paling hakiki. Ucapan dan tindakan-Nya, kasih sayang-Nya pada yang menderita, kesabaran-Nya pada mereka yang tercampak, kebajikan-Nya yang tak ternoda dan kecermatan-Nya; tetap adalah contoh yang sempurna bagi kita untuk dijadikan dasar kehidupan.

      Bila kita bercita-cita kuat untuk meneladani Sang Buddha pada setiap aspek kehidupan kita, maka kita sebenarnya telah siap berlindung pada Buddha, dengan demikian kita memberi arah dan makna baru bagi kehidupan kita. Dhamma adalah perlindungan sebab memberi kita keterangan yang jelas dan rinci mengenai setiap langkah dari Jalan dan tentang tujuan yang kita cita-citakan. Istilah Sangha berarti perhimpunan spiritual atau persahabatan spiritual, dan dalam pengertian teknis, mengacu pada mereka semua yang telah mencapai titik-tanpa-balik dalam Jalan, yakni para Pemenang-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, dan Arahat (lihat 191, 199). Karena mereka jauh lebih maju secara spiritual dibanding kita, maka mereka dapat sangat membantu kita dalam dengan menunjukkan hal-hal yang belum kita lihat atau dengan menjelaskan hal-hal yang tidak dapat kita pahami. Juga, kehadirannya mengisi kita dengan tenaga dan tekad sebab Pencapaian mereka memberi bukti bagi kita bahwa pelaksanaan itu berhasil, bahwa Jalan itu benar menuntun ke kesempurnaan. Tetapi, dalam pengertian umum, Sangha juga berarti mereka yang melaksanakan Dhamma dengan tulus dan bertanggung-jawab, apakah dia bhikkhu, bhikkhuni atau penganut awam sekalipun. Banyak persoalan yang kita hadapi, yang tidak mesti memerlukan bantuan orang Tercerahi untuk memecahkannya. Kadang-kadang kita cukup memerlukan bantuan sahabat sesama Buddhis yang sedikit lebih bijaksana dan lebih berwawasan dari pada kita sendiri. Sahabat sesama Buddhis dapat menawarkan persahabatan, ilham dan petunjuk, dan pada waktu yang sama memberi kita kesempatan untuk mengembangkan diri kita dengan berbagi dan membantu mereka. Bila kita telah siap untuk berperan-serta di dalam persahabatan spiritual yang positif (dalam salah satu dari ke dua pengertian Sangha diatas), maka kita juga telah siap berlindung pada Sangha. Dengan demikian perlindungan pada Tiga Perlindungan memberi kita kekuatan, kepercayaan dan kepastian yang tidak dapat diberi oleh perlindungan yang lain. Sang Buddha bersabda:

          Ke bukit-suci, hutan suci dan belukar-suci
          Ke pohon-suci dan ke kuil-kuil
          Orang-orang pergi, karena tercekam takut.

          Tapi tempat-tempat itu bukanlah perlindungan aman
          Bukan perlindungan terbaik
          Tidak dengan pergi kesana
          Seseorang akan bebas dari penderitaan.

          Tapi siapapun yang berlindung
          Di dalam Buddha, Dhamma dan Sangha
          Akan mengerti kebijaksanaan
          Empat Kebenaran Mulia
          Penderitaan, penyebabnya, penanggulangannya
          Dan Jalan Berjalur Delapan
          Menuntun untuk mengatasinya

          Dan inilah perlindungan yang aman,
          Perlindungan terbaik.
          Dengan berlindung disini,
          Seseorang akan terbebas dari semua penderitaan.2


 182. Menurut seorang komentator terkenal, Buddhagosa, berlindung mempunyai empat aspek.3 Pertama adalah penghormatan. Orang tertentu, bila bertemu dengan orang-lain yang lebih unggul darinya, akan bereaksi dengan kecemburuan atau berusaha menjatuhkan orang-lain. Pikiran bahwa seorang mungkin lebih unggul darinya seakan mengancam keberadaannya. Mereka yang sudah matang sebaliknya akan bereaksi dengan kekaguman dan penghormatan, dan dalam agama Buddha, penghormatan pada kebajikan seseorang atau karena tingkat spiritualnya, adalah suatu sikap mental yang bermanfaat.4 Perasaan hormat kadang-kadang demikian besar sehingga diekspresikan dalam bentuk bahasa badan. Berdiri tegak ketika lagu kebangsaan dikumandangkan, atau sewaktu orang yang lebih tua memasuki ruangan, adalah contoh dari sikap tersebut. Bila kita berlindung pada Tiga Perlindungan, kita menyerahkan diri atau tunduk di depan simbol atau gambar Sang Buddha, sikap badan adalah perwujudan keluar dari perasaan hormat dan syukur dari dalam hati kita. Kita berjanji seperti ini:

          Sejak hari ini, saya akan memberi penghormatan, selalu akan setia, menghormat dengan telapak tangan menyatu dan berlindung hanya pada ke tiga ini: Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian kupermaklumkan!


 183. Pengakuan sebagai murid (sissabhavupagamana) adalah perwujudan lain dari perlindungan tersebut. Di dalam agama Buddha, seperti hal-nya pada umumnya agama timur lain, hubungan antara guru dan murid sangat ditekankan (lihat 116). Sang Buddha menerangkan alasan untuk itu:

          Seorang guru hendaknya memandang muridnya sebagai anaknya sendiri. Seorang murid hendaknya memandang gurunya sebagai ayahnya sendiri. Jadi, ke duanya, disatukan dalam rasa hormat satu sama lain serta tinggal dalam kerukunan bersama, mencapai perkembangan dan kemajuan di dalam Dhamma dan tata-tertib.5

      Walau kita mungkin mempunyai guru yang masih hidup ketika menerima perlindungan ini, namun Sang Buddha tetaplah guru utama kita. Keyakinan yang kokoh yang mendorong kita untuk meminta perlindungan pada Tiga Perlindungan, juga akan menciptakan hubungan spiritual yang unik antara kita dan Sang Buddha, walau dalam kenyataannya Sang Buddha telah mencapai Nibbana. Menyangkut hal ini, Sang Buddha bersabda:

          Dia yang keyakinannya pada Tathagata telah mapan, mantap, tetap, kokoh, tak-tergoyah oleh pertapa atau Brahmin manapun, dewa manapun, Mara, Brahmana, atau siapapun di dunia ini, dapat dengan sebenarnya berkata: "Saya adalah anak sebenarnya dari Tuanku, terlahir dari mulut-Nya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, dan pewaris Dhamma.6

      Kita dapat melihat Sang Buddha dan berhubungan dengan-Nya pada tahap dimana pikiran, ucapan dan tindakan kita sudah selaras dengan Dhamma yang diajar-Nya. Lagi, Beliau bersabda:

      Walau seseorang dapat meraih ujung keliman jubah-Ku dan berjalan selangkah demi selangkah di belakang-Ku; tapi bila dia serakah demi keinginan, sengit dalam kerinduan, dengki dalam hati, batinnya menyimpang, tak berhati-hati dan tak-tertahan, berpikiran-kacau dan ribut, dan batinnya tak-terkendali, dia sebenarnya jauh dari-Ku. Mengapa? Karena dia tidak melihat Dhamma, dan karena tidak melihat Dhamma, maka dia tidak melihat Saya. Namun, walau tinggal ratusan mil jauhnya dari Saya, dia yang tidak serakah dalam keinginan, tidak sengit dalam kerinduan, dengan hati yang baik dan batin yang murni, mawas, sabar, tenang, memusatkan-pikiran, dan batin yang terkendali, maka sebenarnya dia dekat pada Saya, dan Saya dekat pada dia. Mengapa? Karena dia melihat Dhamma, dan karena melihat Dhamma, maka dia melihat Saya.

          Walau badannya dekat membayangi dibelakng-Ku,
          Bila dia tamak dan gelisah,
          Betapa jauhnya dia
          Yang bergolak dari Yang telah damai,
          Yang terbakar dari Yang telah dingin,
          Yang rakus dari Yang telah puas!

          Tetapi dengan mengerti Dhamma sepenuhnya,
          Dan terbebas dari keinginan, berkat wawasannya,
          Yang bijaksana, bersih dari keinginan,
          Tenang bagaikan kolam tak terhembus angin.
          Betapa dekatnya dia
          Yang penuh kedamaian dari Yang telah damai,
          Yang terdinginkan dari Yang telah dingin,
          Yang terpuaskan dari Yang telah puas!7


 184. Namun hubungan bisa terlaksana lebih jauh dari sini. Melalui perenungan berkesinambungan pada kebajikan-kebajikan Sang Buddha, dan ketulusan pada kebesaran-Nya serta dengan mengingat sabda-sabda-Nya, maka kita dapat mengisi seluruh batin kita dengan pengaruh-Nya, sedemikian rupa sehingga kita seakan merasakan kehadiran-Nya. Dan bila kita merasakan kehadiran-Nya, kita bertindak seakan ada dalam kehadiran-Nya, dan kita merasakan kepercayaan-diri sepenuhnya yang dikarenakan kehadiran-Nya.8 Hanya mereka yang benar-benar bersikap setia dan menerima, yang dapat merasakannya. Bagi mereka Sang Buddha bukan lagi pribadi yang jauh dalam sejarah, namun kekuatan yang hidup dengan kesanggupan merubah dan memberi kekuatan. Pengalaman kehadiran Sang Buddha secara baik digambarkan oleh Pingiya, yang melakukan perjalanan panjang untuk melihat dan mendengarkan Sang Buddha. Ketika dia kembali, dia memuji Sang Buddha di depan gurunya, yang kemudian mempertanyakan masalahnya, karena sebagai murid Pingiya jauh dari guru seperti Buddha, lalu Pingiya menjawab:

          Saya tidak dapat jauh, Brahmin, walau sebentar,
          Dari Gotama yang adalah kebijaksanaan agung,
          Dari Gotama yang adalah pengertian agung.

          Dari-Nya, yang mengajarkan saya Dhamma
          Yang tampak-seketika, tak terbatas-waktu,
          Demi penghancuran keserakahan,
          Yang tiada bandingannya dimana pun.

          Dengan mengindahkan-Nya siang dan malam, Brahmin,
          Saya melihat-Nya dengan batin, pula dengan mata,
          Oleh karenanya saya tidak jauh pula dengan Dia.

          Keyakinan, kegembiraan, batin dan kesadaran-Ku
          Tak pernah meninggalkan ajaran Gotama yang agung.
          Disitu saya menundukkan kepala.

          Saya sekarang telah tua, kekuatan telah memudar,
          Oleh karenanya badan ini tidak lagi ke mana-mana,
          Tetapi saya tetap bepergian dengan batin
          Karenanya, Brahmin, saya ada dalam kehadiran-Nya.9

      Aspek selanjutnya dari perlindungan adalah Menerima Petunjuk (tapparayanata), yang telah kita pelajari sebelumnya (lihat 181).

 185. Perwujudan terakhir dari perlindungan adalah Penyerahan-Diri (atta sanniyyatana). Dengan mengambil perlindungan berarti kita mempermaklumkan bahwa kita tidaklah sempurna dan diliputi ketidaktahuan dan bahwa kita memohon petunjuk dan peringatan dari Mereka yang telah mengetahui lebih dari kita.

          Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru dan hidup selaras dengannya, pemahamannya adalah: "Sang Guru adalah Tuan; saya adalah murid. Tuan-ku mengetahui, saya tidak." Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru akan bertumbuh lebih jauh, pemberi kekuatan.10

      Penyerahan diri juga berarti bahwa kita siap menghentikan keinginan sendiri, nafsu yang picik, ambisi duniawi - semuanya, bila memang harus demikian demi pencapaian Nibbana. Kita mewujudkan sikap itu, seperti ini:

          Pada Sang Buddha saya menyerahkan diri saya, pada Dhamma saya menyerahkan diri saya, pada Sangha saya menyerahkan diri saya; saya menyerahkan hidup saya. Penyerahan adalah diri saya, penyerahan adalah hidup saya! Sampai akhir hayatku, saya akan berlindung pada Buddha. Sang Buddha adalah perlindunganku, pernaunganku dan pelindungku.

      Tak diragukan, aspek penyerahan diri dalam Perlindungan memungkinkan Tiga Permata memasuki jiwa kita, mengubahnya tanpa dihalangi oleh keangkuhan dan kesombongan.

 186. Telah kita lihat, menerima Tiga Perlindungan adalah langkah terpenting dalam hidup kita. Sebagai langkah pertama dari Jalan, maka hendaknya pengakuan perlindungan hanya dilaksanakan bila keyakinan dan pengertian kita telah kuat dan bila kita telah sepenuhnya memaklumi makna dari perlindungan itu. Sedemikian pentingnya Perlindungan tersebut, maka orang atau mereka yang menuntun kita untuk menerima Perlindungan itu sebenarnya telah melakukan kebajikan yang sangat tinggi dan oleh karenanya hendaknya dihargai seumur hidup. Sang Buddha bersabda:

          Tiga macam manusia sangatlah membantu pada yang lainnya. Siapa yang tiga itu? Dia yang padanya seseorang memohon perlindungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha; dia yang darinya seseorang mengerti Empat Kebenaran Mulia; dan dia yang padanya seseorang datang untuk menghancurkan kekotoran-batinnya dan untuk mengetahui kebebasan batin sempurna dalam kehidupan ini. Mereka-lah ketiga macam manusia itu.11


 187. Upacara Permohonan Perlindungan (Tisarana Puja) adalah suatu upacara tertua dari segala upacara Buddhis dan berubah hanya sedikit dalam perjalanan sejarah. Orang-orang pertama yang mendengar Dhamma dan kemudian menerimanya adalah dua orang saudagar, Tapussa dan Bhallika yang mewujudkan pengertiannya dengan memohon perlindungan pada Sang Tuan (bhagava) dan pada Dhamma. Hal ini disebut Rumus Lipat-dua (dvevacika), karena pada masa itu, Sangha belum terbentuk.12 Belakangan, kemudian istilah "Buddha" menggantikan istilah "Tuan", dan Perlindungan ke tiga, Sangha ditambahkan dan jadilah Rumus Lipat-tiga (tevacika)13. Tiada perbedaan diantara penganut awam biasa dengan bhikkhu ataupun bhikkhuni, tata cara perjanjian diwujudkan dalam cara yang sama. Setelah mendengarkan Dhamma secara langsung, orang-orang biasanya kemudian menundukkan kepala di depan Sang Buddha sendiri, dan berseru:

          Sangat istimewa Gotama yang baik, sangat istimewa. Ibarat seorang menegakkan sesuatu yang telah bengkok, atau menyingkap sesuatu yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan pada seorang yang tersesat, atau membawakan lampu pada seorang dalam kegelapan sehingga dia dapat melihat segala sesuatunya - demikian pula, dengan berbagai cara Dhamma telah diuraikan oleh pertapa Gotama. Oleh karenanya saya memohon Sang Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai perlindunganku. Semoga pertapa Gotama menerima saya sebagai murid awam, memohon perlindungan sejak hari ini dan selanjutnya sepanjang hidup saya.14

      Pada awalnya, Sang Buddha sendiri yang melaksanakan penahbisan para bhikkhu, tetapi dengan berkembangnya jumlah yang mohon ditahbiskan, Beliau kemudian menunjuk Siswa-Nya untuk melaksanakannya dan menetapkan tata cara pelaksanaannya:

          Saya mengizinkan yang lainnya untuk pergi lebih jauh, menahbis di perkampungan atau dusun manapun. Dan inilah cara seorang pergi lebih jauh, atau menahbis. Pertama, setelah mencukur rambut dan jenggotnya, setelah dia mengenakan jubah kuning, setelah dia dapat mengatur jubah luarnya melalui bahunya, setelah dia bersembah di kaki bhikkhu, setelah dia berlutut dan menyembah dengan mengatupkan kedua telapak tangan, dia hendaknya diberitahu: "Ulangilah ini:
          Saya berlindung pada Buddha,
          saya berlindung pada Dhamma,
          saya berlindung pada Sangha.
          Untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Buddha,
          untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Dhamma,
          untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Sangha.
          Untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Buddha,
          untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Dhamma,
          untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Sangha." Saya memberi izin untuk pergi lebih jauh, untuk menahbiskan mereka yang minta Tiga Perlindungan ini.15

      Dengan berlalunya waktu, keadaan menyebabkan tata cara penahbisan bhikkhu atau bhikkhuni berubah, tetapi permohonan Tiga Perlindungan berlangsung terus dan sampai saat ini tetaplah sebagai pertanda seseorang telah memasuki masyarakat Buddhis.


 188. Setelah akrab dengan kehidupan Buddhis, ajaran Buddha dan mungkin teladan keseharian seorang Buddhis yang kita kenal, membangkitkan keyakinan dan penghargaan kita pada Tiga Perlindungan, kita akan merasakan sendiri kesiapan menerima Perlindungan. Cara-cara pemaksaan, penggusuran, bujukan oleh agama lain untuk merubah agama seseorang, sangat bertentangan dengan pemahaman Buddhis yang mementingkan kematangan penerimaan. Keyakinan dan pengertian sejati adalah setangkai bunga yang semestinya ditunggu mekar sendiri, setelah akarnya diberi pupuk dengan hati-hati melalui penelitian dan pertimbangan matang serta pemikiran.

      Setelah kita siap, kita hendaknya meminta seorang bhikkhu atau bhikkhuni ataupun seorang awam terhormat (pandita), untuk mengurus permohonan Tiga Perlindungan. Setelah ini terlaksana, dan selama kita berjuang dengan kesungguhan di Jalan, maka kita dapat menganggap diri kita sebagai murid sejati dari Sang Buddha. Kita dapat mengucapkan dalam hati, seperti yang pernah diucapkan Santideva:

          Hari ini hidupku telah lengkap,
          Untuk tujuan baik, saya terlahir sebagai manusia.
          Saya terlahir dalam keluarga Sang Buddha,
          Dan sekarang, saya adalah anak Sang Buddha.

          Oleh karenanya apapun tindakan saya sejak sekarang,
          Semestinya sesuai dengan kebiasaan keluarga saya.
          Saya tidak akan pernah menodai atau mencemarkannya,
          Keturunan agung nan tak-tercela ini.16
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #27 on: 30 November 2008, 06:47:41 AM »
TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN

 189.      Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.

          Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1


 190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.

          Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2

      Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:

          Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
          "Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
          Setetes demi setetes tempayan air terisi.
          Demikian pula, sedikit demi sedikit,
          Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3

      Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.

 191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:

          Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
          Lebih mulia dibanding terlahir di surga
          Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
          Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4


 192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.

 193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:

          Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5


 194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha "keyakinan" dipandang sangat berbeda.


 195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:

          Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
          Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
          Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
          Tapi keyakinan mendahuluinya.7


 196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:

          Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8


 197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:

          "Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."
          "Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"
          "Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"
          "Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"
          "Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."9

      Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.

      Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.

          Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"
          "Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."
          "Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"
          "Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
          "Berilah perumpamaan."
          "Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."
          "Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"
          "Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
          "Berilah perumpamaan."
          "Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."10


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #28 on: 30 November 2008, 06:48:04 AM »
 198. Secara emosional, keyakinan adalah sikap tenang dan ceria yang membebaskan kita dari keraguan dan ketidak-pastian yang mematikan. Bila keyakinan demikian kuat dalam batin, kita seakan melambung kegirangan, bukannya tertekan karena menyadari ketidak-sempurnaan kita, sebab kita yakin bahwa kita mengambil jalan yang benar. Selain dengan cara merenungkan kehidupan dan teladan-teladan dari Sang Buddha, maka ada beberapa hal yang dapat membangkitkan aspek emosional dari keyakinan, misalnya melakukan peribadatan Puja, ataupun sekadar membayangkan patung Sang Buddha. Hal lain yang dapat membangkitkan keyakinan adalah perjalanan ziarah ke empat Tempat Suci: Lumbini, tempat Beliau dilahirkan; Bodh Gaya, tempat Beliau mencapai Pencerahan; Sarnath, tempat Beliau mengajarkan Dhamma pertama kalinya; dan Kusinara, tempat Beliau mencapai Nibbana akhir. Ketegaran dan pengorbanan yang diperlukan untuk perjalanan ziarah, suasana spiritual yang kuat di Tempat-tempat Suci, dan pengetahuan bahwa kita telah mengikuti langkah kaki jutaan manusia yang telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelum kita, membuat perjalanan ziarah menjadi suatu pembangkit keyakinan dan kemurnian dari segalanya. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:

          Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? "Disini Sang Tathagata dilahirkan," adalah yang pertama. "Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna," adalah yang ke dua. "Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma," adalah yang ke tiga. "Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir," adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.11

      Keyakinan adalah penting sebab akan melibatkan dan memacu intelektual, kemauan dan emosi kita dalam pencarian Nibbana. Keyakinan sendiri tidak akan membawa ke Nibbana, tapi bila digabung dengan kebajikan, akan menghancurkan tiga dari Sepuluh Belenggu yang pertama dan menjadikan pencapaian Nibbana sesuatu yang telah pasti. Keyakinan adalah benih (saddha bijam)12 yang darinya bunga kebebasan akan tumbuh.

 199. Tahap berikut yang dicapai dan dilalui secara berangsur dalam perjalanan ke Nibbana, adalah apa yang disebut Yang-Kembali-Sekali (sakadagami). Tahap ini dicapai bila seorang, selain telah mengembangkan Empat Lengan Pemenang-Arus yang menghancurkan tiga Belenggu diatas, juga telah melemahkan dua belenggu berikutnya, nafsu-indriawi dan kehendak-jahat. Yang-Kembali-Sekali akan, seperti sebutannya, terlahir hanya sekali lagi di dunia, walau mungkin saja terlahir lebih dulu di alam dewa beberapa kali, sebelum akhirnya mencapai Nibbana. Bila nafsu-indriawi telah hancur secara lengkap dan kehendak-jahat telah terganti cinta, tahap Yang-Tak-Kembali (anagami) tercapai. Manusia seperti ini, sewaktu mati akan terlahir di alam dewa, dan dari sini akan mencapai Nibbana tanpa terlahir kembali di dunia.

      Dengan terhapusnya Sepuluh Belenggu secara keseluruhan berkat pengembangan kebijaksanaan, seseorang akan mencapai Pencerahan-penuh dan disebut sebagai Arahat. Istilah 'Arahat' secara harfiah berarti 'Yang Mulia', nama yang sangat tepat bagi seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dari pencapaian spiritual manusia. Arahat telah meleburkan semua kotoran-batin lewat kebijaksanaan yang mendalam, dan telah memiliki nilai-nilai spiritual, seperti welas-asih, tak-tergantung, kejujuran dan kebijaksanaan seutuhnya. Seorang Arahat, sewaktu kematian raganya, mencapai kedamaian dan kebahagiaan abadi Nibbana. Hal lain yang penting diketahui, ialah bahwa setelah menjadi Pemenang-Arus, seorang bisa dapat menyelesaikan tiga tahap selanjutnya dalam beberapa tahun, satu kehidupan, beberapa kehidupan, paling banyak dalam tujuh kali kehidupan.

 200. Apa perbedaan antara seorang Arahat dan Buddha? Ciri khas dari seorang Buddha adalah pengejawantahan dari kebijaksanaan yang sempurna (pañña) dan welas-asih yang sempurna (karuna). Kebijaksanaan sempurna adalah realisasi Buddha dari Pengetahuan Lipat-tiga (tevijja), pengetahuan kehidupan-kehidupan sebelumnya, pengetahuan muncul dan matinya makhluk-makhluk, dan pengetahuan tentang hancurnya kotoran-kotoran batin (lihat 210). Welas-asih yang sempurna mendorong dan merembes setiap aspek dalam perilaku seorang Buddha. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri "terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk", Beliau mengajarkannya dikarenakan "perasaan yang terbit dari welas-asih", Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena "perasaan yang terbit dari welas-asih", dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena "perasaan yang terbit dari welas-asih" Beliau sendiri berkata pada kita:

          Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.13

      Matrceta mengagungkan welas-asih yang mulia dari Sang Buddha lewat sajaknya yang indah, bernama Satapañcasatka:

          Dikau baik, walau tidak dipinta,
          Dikau mencintai tanpa alasan,
          Dikau sahabat bagi yang asing tercampakkan,
          Dan Dikau menjadi sanak bagi yang tak bersanak.

          Perbuatan baik Dikau puji,
          Perbuatan buruk Dikau persalahkan,
          Tapi pada mereka yang bertindak demikian,
          Dikau bebas dari 'memihak' atau 'tidak memihak'.

          Walau Dikau lebih menyenangi ketenangan menyendiri
          Welas-asih mendorong-Mu melewati waktu
          Bersama kerumunan orang-banyak.

          Bagaikan naga yang perkasa,
          Keluar dari danaunya dengan pesona
          Welas-asih mendorong-Mu pindah dari hutan ke kota
          Demi keselamatan mereka yang akan belajar.

          Dikau memperingatkan yang keras-kepala, menahan yang gegabah.
          Dan meluruskan yang menyimpang.
          Dikau memberi semangat pada yang lamban dan mengekang yang gegabah
          Sebenarnyalah, Dikau adalah penuntun yang tiada bandingannya bagi manusia.

          Permusuhan malah membangkitkan kehangatan-Mu,
          Kebejatan menerima bantuan-Mu,
          Yang ganas menemukan kelembutan-Mu.
          Betapa mempesona hati-Mu yang agung!

          Dengan batin yang tak-terikat.
          Dikau bekerja tenang demi kesejahteraan dunia.
          Betapa mengagumkan seorang Buddha - keberadaan alami seorang Buddha!

          Dikau makan makanan miskin, terkadang kelaparan.
          Dikau menelusuri jalan-jalan kasar dan Dikau tidur beralas tanah,
          Yang keras terinjak oleh kaki ternak

          Dikau adalah Raja,
          Tapi Dikau tidak bertindak seolah kuasa pada lainnya
          Semua dapat menggunakan Dikau seakan pelayannya
          Untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan

          Dikau membantu mereka yang ingin mencelakakan-Mu
          Melebihi orang yang membantu dia yang baik padanya.
          Kepada musuh yang berkehendak jahat,
          Dikau adalah sahabat yang berkehendak baik padanya.
          Kepada mereka yang senang mencari kesalahan-kesalahan
          Dikau malah, mencari kebajikan-kebajikannya.14


 201. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:

          "Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.15

      Sang Buddha bagaikan perintis yang membuka jalan di dalam hutan dan menemukan lembah subur nan indah, sedang para Arahat lain bagaikan mereka yang mengikuti jalan yang dibuka perintis itu dan lalu pindah menetap ke lembah itu pula. Seorang Buddha dan Arahat sama-sama berjalan di jalan yang sama dan juga sama-sama tiba di tujuan yang sama yakni Nibbana. Letak perbedaannya adalah Buddha adalah penemu dan tiba terlebih dahulu di Nibbana, sedang Arahat menemukannya sebagai hasil rintisan Buddha. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:

          "Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?"
          "Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua."
          "Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi."16


 202. Pada zaman Sang Buddha, banyak istilah yang digunakan untuk melukiskan seorang yang telah mencapai Nibbana - Buddha (Dia yang telah bangun), Tathagata (Dia yang telah datang; ataupun, Dia yang telah pergi), Arahat (Dia yang mulia), Muni (Dia yang tenang), Brahmin (Dia yang tertinggi), Vedagu (Yang mengetahui) - dan semua istilah ini digunakan baik untuk Sang Buddha maupun Siswa-siswa-Nya yang telah Tercerahi. Lalu, secara berangsur istilah Buddha dan Tathagata hanya digunakan untuk Buddha sendiri, hal ini untuk membedakan-Nya dari Siswa Tercerahi, yang seperti dikatakan diatas, disebut Arahat. Lalu, berabad-abad setelah Parinibbana Sang Buddha, dirasakan oleh sebagian pengikut Sang Buddha bahwa perbedaan antara Buddha dan Arahat, lebih dari sekadar perbedaan antara perintis dan pengikut. Mereka percaya bahwa Sang Buddha mencapai Nibbana lebih tinggi, lebih lengkap dari pada yang dicapai para Arahat. Mereka menganut paham yang salah ini, dengan sendirinya menganggap adalah lebih baik menjadi Buddha dari pada mencapai 'ke-Arahat-an kelas dua". Mereka yang memahami ajaran Sang Buddha dengan tepat, tetap bertahan bahwa perwujudan Buddha dan Arahat adalah sama. Kelompok yang lain mempertahankannya sebagai berbeda. Sejumlah legenda-legenda fantastik kemudian dicangkokkan pada riwayat kehidupan Sang Buddha, demi untuk menekankan "perbedaan kedua tingkat" tersebut. Akhirnya, perpecahan tidak dapat dihindari. Kelompok yang berkehendak mengambil Jalan ke Pencerahan "yang lebih sempurna", dan menyebut kelompoknya sebagai Mahayana, Jalan Besar atau Jalan Lebih-tinggi serta menyebut mereka yang memilih Jalan ke Pencerahan "kelas-dua" sebagai kelompok Hinayana, Jalan Kecil atau Jalan Lebih-rendah. Abad-abad berikutnya semakin ditandai dengan perbedaan-perbedaan pemahaman diantara ke dua kelompok ini, malah juga dalam kelompoknya sendiri masing-masing. Tetapi kenyataan sebenarnya, semua perbedaan ini timbul dari kemampuan untuk menyadari, bahwa hanya ada satu keadaan Nibbana dan bahwa hanya ada 'mereka yang sudah' dan 'mereka yang belum' Tercerahi.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Dasar Pandangan Agama Buddha : oleh Venerable S. Dhammika
« Reply #29 on: 30 November 2008, 06:49:25 AM »
TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN

 189.      Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.

          Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1


 190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.

          Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2

      Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:

          Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
          "Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
          Setetes demi setetes tempayan air terisi.
          Demikian pula, sedikit demi sedikit,
          Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3

      Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.

 191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:

          Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
          Lebih mulia dibanding terlahir di surga
          Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
          Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4


 192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.

 193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:

          Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5


 194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha "keyakinan" dipandang sangat berbeda.


 195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:

          Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
          Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
          Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
          Tapi keyakinan mendahuluinya.7


 196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:

          Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8


 197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:

          "Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."
          "Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"
          "Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"
          "Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
          "Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"
          "Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"
          "Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"
          "Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."9

      Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.

      Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.

          Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"
          "Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."
          "Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"
          "Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
          "Berilah perumpamaan."
          "Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."
          "Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"
          "Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
          "Berilah perumpamaan."
          "Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."10


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything