//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: [INFO] Cacing / Vermes  (Read 60325 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
[INFO] Cacing / Vermes
« on: 28 October 2008, 08:32:59 AM »
Mendengar kata cacing, tentu pikiran kita akan membayangkan binatang yang bulat panjang tanpa tulang yang hidup di tempat kotor. Sudah barang tentu kita juga sudah tahu macam macam cacing baik cacing yang hidup di tanah yang biasa digunakan sebagai umpan maupun cacing yang hidup di air. Cacing yang hidup di tanah disamping bisa digunakan sebagai umpan, juga sangat membantu pak tani dalam menggemburkan tanah pertanian.
Sayangnya ada saudaranya cacing tanah yang doyan hidup di dalam usus manusia. Karena cacing merupakan salah satu makhluk hidup yang harus makan untuk mempertahankan hidupnya, maka di dalam perut pun cacing ini akan makan segala hal yang bisa dimakan. Nggak perduli apakah makanan itu dibutuhkan oleh yang punya perut, asal bisa dimakan akan dimakan oleh sang cacing. Curangnya si cacing ini, kalau jumlahnya banyak maka disamping yang makan ikut ikutan banyak, juga secara mekanis akan menyumbat saluran pencernaan. Bertambahlah penderitaan manusia yang mempunyai cacing indekos di perutnya.

Cacing pada manusia dalam menginfeksi sesungguhnya tidak memandang bulu. Asal bisa masuk, doi akan masuk ke tubuh manusia. Perantaranya pun bermacam macam namun yang paling sering adalah makanan terutama makanan yang tidak bagus secara hygines dalam penyajiannya. Walaupun menginfeksi manusia, cacing tidak meninggalkan sifat aslinya yang senang dengan lingkungan yang kotor dan lembab, itu sebabnya infeksi cacing sering ditemukan pada lingkungan masyarakat yang kumuh dan lembab. Bukan berarti orang orang yang selalu menjaga kebersihan akan bebas cacing 100 persen karena walau diri kita sendiri bersih, kita tidak bisa menghindari kontak dengan orang lain yang bisa saja membawa telur cacing.
Sebenarnya cacing pada manusia pun banyak jenisnya, ada cacing gelang, cacing pita dan cacing pipih. Tapi yang kita bahas disini adalah cacing gelang karena kasusnya paling banyak diantara infeksi cacing yang ada.

Baiklah, sekarang kita bahas satu satu :

1. Cacing Perut (Askariasis)




Biasanya disebabkan oleh keluarga cacing Askaris lumbricoides yang merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia. Cacing dewasa hidup di dalam usus manusia bagian atas, dan melepaskan telurnya di dalam kotoran manusia. Infeksi pada manusia terjadi melalui jalan makanan yang tercemar oleh kotoran yang mengandung telur cacing. Telur yang tertelan akan mengeluarkan larva. Larva ini akan menembus dinding usus masuk ke aliran darah yang akhirnya sampai ke paru paru lalu akan dibatukan keluar dan ditelan kembali ke usus. Penyakit yang timbul dari infeksi ini antara lain anemia, obstruksi saluran empedu, radang pankreas dan usus buntu.


2. Cacing Kremi (Enterobiasis)



 

Cacing yang memegang peranan disini adalah Enterobius vermikularis yang sering banget terjadi pada anak kecil. Cacing dewasa akan tinggal di usus besar. Cacing betina yang akan bertelur meninggalkan usus besar menuju anus yang merupakan tempat bertelur yang paling ideal. Saat inilah si anak akan menangis karena lubang anusnya gatal. Secara kasat mata, cacing ini akan terlihat sebesar parutan kelapa disekitar lubang anus. Transmisi cacing ini seperti halnya cacing perut masuk langsung melalui mulut baik dengan perantara makanan maupun dimasukan secara tidak sengaja oleh penderita yang habis menggaruk lubang anusnya yang gatal. Sehingga pada anak anak sering terjadi reinfeksi akibat tindakan itu.


3. Cacing Tambang



 

Paling sering disebabkan oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing dewasa tinggal di usus halus bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan bersama dengan kotoran manusia. Telur akan menetas menjadi larva di luar tubuh manusia, yang kemudian masuk kembali ke tubuh korban menembus kulit telapak kaki yang berjalan tanpa alas kaki. Larva akan berjalan jalan di dalam tubuh melalui peredaran darah yang akhirnya tiba di paru paru lalu dibatukan dan ditelan kembali. Gejala meliputi reaksi alergi lokal atau seluruh tubuh, anemia dan nyeri abdomen.

4.Cacing Cambuk (Trichuriasis)



 

Cacing dewasa akan tinggal di usus bagian bawah dan melepaskan telurnya ke luar tubuh manusia bersama kotoran. Telur yang tertelan selanjutnya akan menetas di dalam usus halus dan hidup sampai dewasa disana. Gejala yang timbul pada penderita cacing cambuk antara lain nyeri abdomen, diare dan usus buntu.

Cara pencegahan sebenarnya cukup simpel yaitu kita harus menjaga kebersihan diri sendiri dan lingkungan terutama dalam penyajian makanan. Dalam membeli makanan, kita harus memastikan bahwa penjual makanan memperhatikan aspek kebersihan dalam mengolah makanan. juga secara teratur minum obat anti cacingan

Jika salah satu anggota keluarga/orang disekitar kita yg lama contack dengan kita mengalami cacingan maka sebaiknya seluruh anggota keluarga mengkonsumsi obat cacing, karena sangat mungkin parasit ini menyebar cepat ke tubuh yg laen, dan perhatikan hewan peliharaan anda terjaga jg kebersihannya



Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua  _/\_
« Last Edit: 28 October 2008, 06:06:00 PM by FoxRockman »

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Macam-macam cacing yg ada di tubuh kita
« Reply #1 on: 28 October 2008, 04:29:56 PM »
Cemana cara berantas cacing2 itu? dan obat apa sajakah?
Smile Forever :)

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
Re: Macam-macam cacing yg ada di tubuh kita
« Reply #2 on: 28 October 2008, 04:35:18 PM »
Jadi ingat masa kecil...kalo minum obat cacing...keluarnya juga cacing ... yang model ini...


walaupun sekarang ada obat (combantrin) yg langsung menghancurkan cacing...aye masih takut.... ;D

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: Macam-macam cacing yg ada di tubuh kita
« Reply #3 on: 28 October 2008, 06:04:19 PM »
Cemana cara berantas cacing2 itu? dan obat apa sajakah?
Seingat saya ada beberapa obat yang biasa digunakan
1. Pirantel Pamoat
2. Piperazin Sitrat
3. Mebendazole.
4. Praziquantel

Itu nama generiknya, berhubung nama paten sangat banyak sekali, dan yang paling banyak digunakan itu biasanya pirantel pamoat, dengan contoh paten : Combantrin

Combantrin efektif untuk mengobati cacing2 dari golongan nematode seperti yang telah diuraikan oleh bro Markos.
Sedikit ralat untuk sis Lily, prinsip kerja pirantel pamoat seingat saya adalah dengan depolarisasi senyawa penghambat neuromuscular, sehingga cacing akan kehilangan daya gerak / lumpuh dan terkeluarkan tanpa membutuhkan obat pancahar. Jadi jangan heran jika mengkonsumsi obat ini kadang masih ada kelihatan yang bergerak2 karena cacing ini belum mati.

Pengalaman saya pribadi, ketika membuat sediaan cair (emulsi), saya cenderung mengkombinasikan pirantel pamoat ini dengan minyak. Minyak seperti yang kita tahu memiliki efek laxantif, jadi saya memanfaatkan efek laxantif dari minyak ini (dulu saya menggunakan minyak jarak / oleum ricini (Ricinus communis)) dengan harapan selain cacingnya terkeluarkan, saya juga menginginkan telur2 cacing yang ada pada saluran cerna juga akan terkeluarkan dengan efek laxantif dari minyak.
Jadi induknya keluar, telur2nya juga ikut diusir.. :P
 
 

Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #4 on: 28 October 2008, 06:19:59 PM »
Btw thanks u/ bro Markos..
Kalau ada artikel selain nematoda tolong dipost donk.. masih ada Cestoda (Cacing pita) seperti Taenia saginata yang dengan host sapi, dan Taenia solium dengan host babi.

Lalu tambahan nematode yang tidak asing lagi, juga yang menyebabkan kaki gajah, perantara berupa Nyamuk Culex yang membawa mikrofilaria, nama cacingnya kalau gak salah Wuchereria brancofti. Pembengkakan terjadi karena penyerangan pada saluran limpa. Pengobatan biasanya digunakan DEC(Dietil Carbamazine Sitrat) yang merupakan turunan dari Camabazine. (CMIIW soalnya gak sempat cross cek dan seingat otak aja :P)


 
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #5 on: 29 October 2008, 09:47:23 AM »
Cemana cara berantas cacing2 itu? dan obat apa sajakah?
Seingat saya ada beberapa obat yang biasa digunakan
1. Pirantel Pamoat
2. Piperazin Sitrat
3. Mebendazole.
4. Praziquantel

Itu nama generiknya, berhubung nama paten sangat banyak sekali, dan yang paling banyak digunakan itu biasanya pirantel pamoat, dengan contoh paten : Combantrin

Combantrin efektif untuk mengobati cacing2 dari golongan nematode seperti yang telah diuraikan oleh bro Markos.
Sedikit ralat untuk sis Lily, prinsip kerja pirantel pamoat seingat saya adalah dengan depolarisasi senyawa penghambat neuromuscular, sehingga cacing akan kehilangan daya gerak / lumpuh dan terkeluarkan tanpa membutuhkan obat pancahar. Jadi jangan heran jika mengkonsumsi obat ini kadang masih ada kelihatan yang bergerak2 karena cacing ini belum mati.

Pengalaman saya pribadi, ketika membuat sediaan cair (emulsi), saya cenderung mengkombinasikan pirantel pamoat ini dengan minyak. Minyak seperti yang kita tahu memiliki efek laxantif, jadi saya memanfaatkan efek laxantif dari minyak ini (dulu saya menggunakan minyak jarak / oleum ricini (Ricinus communis)) dengan harapan selain cacingnya terkeluarkan, saya juga menginginkan telur2 cacing yang ada pada saluran cerna juga akan terkeluarkan dengan efek laxantif dari minyak.
Jadi induknya keluar, telur2nya juga ikut diusir.. :P
maksudnya mam obat  sekaligus minum minyak jarak / oleum ricini ya?
Smile Forever :)

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #6 on: 29 October 2008, 01:08:47 PM »
Bukan.. tetapi saya memformulasi dalam sediaan cair yaitu dalam bentuk emulsi, karena manusia tidak ada yang suka meminum minyak. Maka harus diformulasi agar rasanya lebih enak. Jadi waktu itu saya mengkombinasikan Pirantel Pamoat dengan Oleum Ricini yang distabilkan oleh emulgator Tween 80 dan Span 60, ditambah sedikit pengawet Nipagin dan Nipasol, dan dicampur sedikit perasa OMP untuk memberikan rasa mint.

Sedangkan untuk anak2, saya mengganti perasanya dengan Oleum citri dan ditambah pewarna Tartrazin untuk memberikan warna kuning dengan rasa jeruk.

_/\_
 
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #7 on: 29 October 2008, 01:26:45 PM »
CESTODA: PARASIT CACING PADA IKAN DAN  KE MANUSIA
 
Oleh:

Gunarto Latama

NRP. C061020021

E-mail:  gunlatipb [at] yahoo.co


Pendahuluan

          Cestoda adalah salah satu klass dari Phyllum Plathehelminthes, yang merupakan salah satu kelompok parasit pada ikan dan juga pada manusia.  Parasit ini menyebabkan kerugian secara ekonomi terutama pada penurunan kualitas hasil perikanan, dan dapat merugikan kesehatan manusia.  Studi tentang parasit cestoda pada ikan yang berhubungan dengan siklus hidupnya dan kesehatan manusia telah banyak dilakukan dinegara maju yang berada didaerah sub tropis.  Di daerah tropic yang terdiri dari negara-negara yang berkembang penelitian ini sangat kurang (Palm 1997).   Dilain pihak usaha negara berkembang untuk meningkatkan eksport produk perikanan diusahakan agar meningkat dari tahun ke tahun.  Persyaratan eksport terutama pada tujuan negara maju yang menuntut produk dengan standart kualitas yang tinggi.  Keadaan ini menuntut negara pengeksport untuk mempelajari dan menerapkan pengetahuan yang bisa menjaga kualitas produk perikanan.

          Pada parasit cacing dapat dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau ikan yaitu:

1.                  Cacing dapat menyebabkan penyakit dengan cara: (a). Melukai secara mekanik, (b). Mengambil nutrien yang dibutuhkan oleh inangnya, (c). Meracuni inangnya. (d). Memfasilitasi masuknya microorganisme patogen ke dalam tubuh inang.

2.                  Adanya parasit cacing dalam tubuh ikan menyebabkan terjadinya reaksi jaringan tubuh berupa pembengkakan jaringan yang dicirikan dengan “encapsulation” dari cacing pada jaringan tubuh ikan.

3.                  Stress lingkungan kemungkinan dapat menambah penurunan resistensi inang pada patogen.

4.                  Kegiatan manusia yang memasukkan cacing dari satu habitat kehabitat yang lain kemungkinan dapat menyebabkan tersebarnya penyakit(Epizootic) dan mortalitas pada populasi setempat.

5.                  Parasit cacing adalah umum terdapat pada ikan laut , tetapi biasanya  memperlihatkan status patogen yang jelas apabila kehadirannya dalam jumlah yang besar pada setiap induvidu inangnya (Sinderman, 1990).

 

Taxonomi

Klas Cestoda merupakan terdiri dari dua subklas yaitu Cestodaria dan Eucestoda.  Subklas Cestodaria terdiri dari 2 (dua) orde yaitu Amphilidae dan Gyrocotylidae.  Subklas Eucestoda terdiri dari 5 (lima) orde yaitu Tetraphalidae, Proteocephalidae, Tryphanorhyncha, Pseudophyllidae dan Cyclophyllidae (Hickman 1967).

Dari kedua Subklas cestoda tersebut Euscestoda yang banyak didapatkan baik parasit pada ikan dan manusia. Mereka tidak mempunyai mulut dan intestine.  Tubuh terdiri dari bagian kepala yang disebut scolex dan bagian tubuh yang disebut strobila.  Strobila terbentuk dari segmen yang tersusun dari proglottid.  Makanan diambil diambil melalui tegument. Cestodaria mempunyai ciri berupa strobila yang berbentuk daun, seperti yang ditemukan pada ratfish dan Sturgeon untuk species Gyrocotyle urna, dengan ukuran dapat mencapai 1,2 cm (Möler dan Anders 1986).  Sedangkan eucestoda  mempunyai strobila yang panjang, dapat mencapai 12 m,  pada species Diphylobothrium latum  yang dapat menginfeksi manusia sebagai final host.  Selain manusia, mamalia lainnya yang memakan ikan dapat diinfeksi oleh parasit ini seperti kucing, anjing, babi dan beruang (Schistosome Research Group Cam.University 1998).  Bagian tubuh yang digunakan untuk membedakan species Cestoda adalah: Scolex length (SL), Scolex width at level of pars bothridialis (SW), pars bothridialis (pbo), pars vaginalis (pv), pars bulbosa (pb), pars postbulbosa (ppb), appendix (app), velum (vel) dan oriantasi dari tentakel (Palm 1997).

Studi tentang identifikasi species telah menemukan banyak spesis-spesis baru utamanya didaerah tropik.  Penelitian ini juga dilakukan untuk spesis yang belum teridenfikasi di mesium-mesium.  Palm dan Thorsten (2000), berhasil mengindetifikasi 17 spesis yang ada di musium nasional d’Histoire naturale.  Pada studi di perairan Australia di dapati genus baru dari orde Triphanorhincha (Cestoda) yaitu Kotorelliella (Palm dan Beveridge, 2002).   

 

Part 1


Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #8 on: 29 October 2008, 01:27:50 PM »
Siklus hidup

          Siklus hidup pada Cestoda yang menginfeksi ikan, membutuhkan lebih dari satu inang perantara untuk mencapai “final host” yaitu mamalia atau vertebrata.  Parasit ini pada final host hidup di dalam intestin dan lambung inangnya.  Cestoda adalah hewan yang hemaprodit.  Tubuh terdiri dari bagian kepala yang disebut Scolex dan bagian badan yang disebut strobila.  Strobila merupakan deretan segmen yang disebut proglottid-proglottid. Setiap proglottid mempunyai sepasang sel kelamin jantan dan betina dan dapat melepaskan/menghasilkan telur.  Telur-telur ini dibuahi dengan cara pembuahan sendiri (self fertilisation) yaitu sel telur dibuahi oleh sel sperma dalam proglottid yang sama, perkawinan antara proglottid yang satu dengan yang lain pada strobila yang sama atau perkawinan antara proglottid dari strobila yang berbeda (Hickman 1967).  Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh satu ekor cacing seperti pada D. latum dapat mencapai 1.000.000 butir perhari dengan jumlah proglottid yang dapat mencapai 3.000 buah, dengan panjang strobila lebih dari 10 m. Telur yang  terbawah oleh kotoran yang masuk keperairan akan menetas dan membentuk Coracidium yang diperlengkapi silia untuk berenang bebas.  Copepoda yang ada diperairan kemudian diinfeksi oleh Coracidium yang berubah menjadi procercoid.  Procercoid termakan oleh ikan bersama Copepoda dan berubah menjadi Plerocercoid.  Apabila ikan ini termakan oleh manusia atau hewan yang memungkinkan Cestoda tersebut dapat hidup, seperti ikan yang tidak dimasak atau setengah matang sehingga larva cestoda masih tetap hidup, maka Cestoda akan menjadi dewasa dan siklus akan berlanjut.  Jika ikan tersebut dimakan oleh ikan lain maka parasit tersebut pindah dan dapat hidup pada ikan tersebut tetapi tidak mengalami perkembangan. Sehingga ikan tersebut berfungsi sebagai paratenic host (inang transport) (Gambar 1).

 


 

 
 Gambar 1. Siklus hidup Diphylobothrium latum

                (Dikutip dari: Cam.University Schistosome Research Group, 2002)

 

Meskipun pada contoh diatas final host adalah mamalia, ada pula yang ditemukan dengan final host adalah ikan.  Diantaranya Proteocephalus longicollis (Cestoda: Proteocephalidae), yang diteliti di Republik Check dan menginfeksi ikan-ikan salmon yang menjadi final hostnya dengan prevalensi 17-36% dan intensitas 1-6.  Pada kasus ini, ikan salmon terinfeksi karena memakan ikan Sculpins, Cottus gobio L. (Prevalensi 60%, intensitas 1-11 [rata-rata 5]) atau karena kanibalisme berupa salmon yang berukuran lebih kecil yang mengandung parasit cacing tersebut dimangsa oleh yang berukuran besar.   Sculpins mendapatkan parasit tersebut dari copepoda (Moravek 2001). 

 

Zoogeograpy

Penyebaran Cestoda pada populasi di alam, ada yang kosmopolitan dan ada yang penyebaranya dilakukan secara tidak langsung oleh manusia.  Penyebarannya yang kosmopolitan misalnya Diphylobothrium latum yang menyebar utamanya di daerah Boltik, Rusia dan daerah disekitar Great Lake USA (Schistosome Research Group Cam.University 1998).  Sedangkan penyakit Diphyllobothriasis didapatkan menginfekasi manusia mulai dari Eropa, NIS Soviet Union, Amerika utara, Asia, Uganda dan Chile.

Bothriocephalus acheilognathi telah menyebar di Asia yang berasal dari Siberia.  Penyebarannya ini terjadi melalui penyebaran ikan mas, Cyprinus carpio (Hickman 1967).   Bahkan laporan terakhir menunjukan bahwa parasit ini telah menyebar ke bagian Selatan dan Barat Amerika Serikat yang masuk bersama ikan “grass carp” dan telah menginfeksi berbagai spesis cyprinids.   

Penyebaran dialam dapat terjadi secara luas seperti dua tempat yang sangat berjauhan misalnya pada hasil studi identifikasi Cestoda yang ada di Northeast Brazil dan Afrika Barat yang menemukan 5 (lima) spesis Cestoda: N. lingualis, N. rougetcampanae, Poecilancistrum caryophyllum, Tentacularia coryphaenae dan Callitetrarhynchus gracilis  terdapat pada ke dua daerah tersebut (Palm 1997).  Studi parasit cestoda pada ikan laut di Indonesia telah mulai dilakukan dalam bentuk indentifikasi spesis.  Dari hasil studi di dapatkan spesis baru dan juga spesis yang merupakan rekort baru (Palm 2000).  Penelitian yang telah dilakukan pada cestoda bukan hanya pada identifikasi dengan menggunakan morfologi tetapi juga dengan menggunakan analisa genetik.  Bahkan studi terhadap cestoda telah meluas dalam berbagai aspek yang meliputi juga penggunaan cestoda sebagai indikator biologi terhadap pencemaran.

 

Interaksi parasit dan inang

Parasit Cestoda pada ikan bisa didapatkan dalam bentuk dewasa misalnya Bothriocephalus scorpii mempunyai final host yaitu “flatfish” atau dalam larva dan mempunyai final host pada mamalia misalnya Diphylobothrium latum (Möler dan Anders 1986).   Dalam menginfeksi ikan, satu species dapat menginfeksi lebih dari satu spesis ikan misalnya Callitetrarhynchus gracilis dapat menginfeksi 10 species dari ikan dengan prevalensi tertinggi 72% (Palm 1997).

Infeksi Cestoda dapat memperlihatkan adanya ketergantungan ukuran dan umur seperti pada larva Trypanorhychus; Poecilancistrium caryophylum yang menginfeksi ikan Sciaenid di daerah perairan Pantai Texas di dapatkan bahwa ikan yang berumur kurang dari satu tahun tidak diinfeksi oleh parasit ini, dan penurunan prevalensi terjadi pada ikan yang berumur lebih dari 3 (tiga) tahun. Pada ikan trout laut, infeksi tidak di temukan pada ukuran kurang dari 140 mm dan infeksi dapat mencapai 40% dari populasi (Sindermann 1990).  Untuk ikan sculpins yang terinfeksi adalah ikan yang berukuran 6-9 cm (Moravek 2001).

Apabila parasit ini berada dalam tubuh ikan dalam jumlah yang banyak, dapat menyebabkan terjadinya perubahan patalogi pada pada tubuh ikan.  Seperti respon imflamasi pada otot dan luka yang meluas pada permukaan tubuh dilaporkan terjadi pada ikan “striped bass”, Morone saxatitlis di perairan California yang disebabkan oleh Lacistorhynchus tenuis.  Infeksi pada organ tubuh penting lainnya seperti tulang insang (gill arches) di laporkan di Australia terjadi pada ikan Scomberomorus commersoni yang menyebabkan imflamasi, melanisasi dan erosi tulang (Sindermann 1990).  Fenomena ini juga terjadinya pada ikan “Blue shark”, Prionace glauca (L.)  yang diinfeksi oleh Tentacularia sp. menyebabkan terjadi luka pada usus sehingga infeksi sekunder untuk penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisma karena terjadi kerusakan sel/jaringan secara mekanis (Borucinska dan Dunham 2000).  Kematian bahkan terjadi pada spesis yang menginfeksi organ yang penting seperti jantung pada ikan “Brown trout” dan “Sea trout” yang diinfeksi oleh cestoda Diphyllobothrium dendriticum di Muonio Fish Farm (Rahkonen 1998).

Selain aspek negatif diatas didapatkan pula kasus tertentu dimana ikan yang mengandung parasit dapat tumbuh lebih cepat.  Hal ini terlihat pada ikan “stickleback”, Gasterosteus aculeatus yang diinfeksi oleh cestode Schistocephalus solidu (Arnott et all. 2000).  Pengaruh parasit cestoda pada ikan “stickleback” hanya terjadi pada waktu tertentu yang menyebabkan perut ikan tersebut mengalami pembengkakan perut yang membuat kemudahan dalam pemangsaan dan parasit tersebut sudah siap untuk berkembang menjadi dewasa pada final host (Barber  1997).  Percobaan pada ikan ini juga memperlihatkan bahwa ada satu mekanisme khusus yang terjadi pada pengolmpokkan ikan-ikan yang mengalami parasit dengan yang tidak mengalami parasit.  Dimana ikan yang sehat akan menghidari untuk bergabung dengan kelompok ikan yang terinfeksi parasit (Barber et al. 1998).

          Pada final host Cestoda dapat mencapai ukuran sangat panjang dan dapat mencapai dengan umur 30-35 tahun,  misalnya Dibothriocephalus latus (Pseudophylidae) dengan demikian dapat menghambat proses pencernaan (Hickman 1967).   


Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #9 on: 29 October 2008, 01:28:15 PM »
Pengaruh Ekonomi

Kerugian yang diakibatkan oleh Cestoda pada parasit ikan utamanya, pada industri perikanan.  Di teluk Meksiko banyak dijumpai parasit Poecilancistrium robustum (Tetrarhynchoidea) yang menginfeksi ikan ekonomis penting seperti “ikan drum” (Pogonius cromis),  “Sea trout” (Cyanoscion nebulosus).  Setiap ekor ikan yang terinfeksi terdapat ratusan cacing pada ototnya sehingga cestoda ini biasa disebut “spaghetti worms” (Sindermann 1990).  Contoh yang lain adalah Gymnorhynchus gigas dan di Australia, G. thyrsitae di Afrika Selatan (Sinderman 1990).  Pada budidaya ikan-ikan salmon yang diinfeksi oleh Eubothrium spp. sering mendatangkan masalah pada hatchery dan keramba jaring apung (net culture).  Pada budidaya ikan “Brown trout” dan “Sea trout” yang diinfeksi oleh cestoda Diphyllobothrium dendriticum di Muonio Fish Farm diperkirakan kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai 5-10% dari total populasi (Rahkonen 1998).

Infeksi yang terjadi pada manusia seperti pada Cestoda dari ikan air tawar, Diphylobothrium latum dapat menyebabkan terjadi anemia dan kekurangan vitamin B12, bahkan dapat menghambat saluran pencernaan.  Obat yang digunakan jika terinfeksi penyakit cacing ini adalah Praziquantel, dan pemberian vitamin B12 mungkin dibutuhkan untuk menutupi kekurangnya. Untuk menghindari parasit ini, ikan sebaiknya dimasak sempurna sehingga mematikan cacing yang terikut (Schistosome Research Group Cam.University 1998). 

Di Brasil, pada daerah ini juga ditemukan dua spesis yang hidup diotot ikan yaitu Pterobothrium kingstoni dan Callitetrarhynchus gracilis yang menginfestasi jenis ikan masing-masing Citharichthys spilopterus dan Hyporhamphus aurolineatum (Palm 1997). 

Organ lain yang mungkin diserang adalah sel-sel reproduksi yang dapat menyebabkan ikan menjadi steril, misalnya  Proteocephalus amploplitis pada ikan “Bass”.



Daftar Pustaka

 

Arnott SA, Barber I & Huntingford FA 2000.  Parasite-associated growth enhancement in a fish-cestode system. Proc. Roy. Soc. B. 267: 657-663.

 

Barber I, Downey LC and Braithwaite VA.  1998.  Parasitism oddity and mechanism of shoal choice.  Journal Fish Biology. 53:1365-1368.

 

Barber I 1997.  A non-invasive morphometric technique for estimating cestoda plerocercoid burden in small fersh water fish.  Journal Fish Biology 51:654-658.

 

Borucinska dan Dunham A. 2000.  Blue shark, Prionacea glauce infected by Tentacularia sp.  Journal of fish diseases.  23:353-359.

 

Hickman CP 1967.  Invertebrates.  The CV. Mosby Company. Kiel.  Germany.

 

Möler H and Anders A. 1986.  Diseases and parasites of marine fishes.  Verlag Möler.

     

Moravek F 2001.  Common sculpin Cottus gobio as natural paratenic host of Proteocephalus longicollis (Cestoda: Proteocephalidae), a parasite salmonids, in Europe. Dist. Aquat. Org.  Vol. 45:155-158.

 

Palm HW 1997. Trypanorhynch Cestodes of Commercial Fishes from Northeast Brazilian Coastal Waters. Memórias do Instituto Oswaldo Cruz.Vol. 92(1): 69-79.

 

Palm HW 2000.  Trypanorhynnch cestodes from Indonesian coastal waters (East Indian Ocean). Folio Parasitologica. 47:123-134.

 

Palm HW and Overstreet RM 2000.  New records of trypanorhynch cestodes from the Gulf of Mesxico, including Kartorella pronosoma (Stossich, 1901) and Hyteronybelinia palliata (Linton,1924) comb.n. Folio Parasitologica. 47:293-302.

 

Palm HW and Walter T 2000.  Tentaculariid cestodes (Trypanorhyncha) from the Muséum national d’histoire naturalle, Paris.  Zoosysterma.  22(4): 641-666.

 

Palm HW and Beveridge, 2002.  Tentaculariid cestodes of the order Trypanorhyncha (Plathyhelminthes) from the Australian region.  Records of the South Australian Museum. 35(1):49-78.

 

Rahkonen R 1998. Interactions between a gull tapeworm Diphyllobothrium dendriticum (Cestoda) and trout (Salmo trutta L.) [Abstrak].

 

Schistosome Research Group Cam.University 1998.  Diphylobothrium latum. http//www.pact.cam.ac.uk/˜schisto/. [15 Septerber 2002].

 

Sindermann CJ 1990.  Principal diseases of marine fish and shellfish. Ed ke-2. New York: Academic Press, Inc.

 

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #10 on: 29 October 2008, 01:29:31 PM »
Bukan.. tetapi saya memformulasi dalam sediaan cair yaitu dalam bentuk emulsi, karena manusia tidak ada yang suka meminum minyak. Maka harus diformulasi agar rasanya lebih enak. Jadi waktu itu saya mengkombinasikan Pirantel Pamoat dengan Oleum Ricini yang distabilkan oleh emulgator Tween 80 dan Span 60, ditambah sedikit pengawet Nipagin dan Nipasol, dan dicampur sedikit perasa OMP untuk memberikan rasa mint.

Sedangkan untuk anak2, saya mengganti perasanya dengan Oleum citri dan ditambah pewarna Tartrazin untuk memberikan warna kuning dengan rasa jeruk.

_/\_
 

ic saya udah ngerti, thanks atas infonya _/\_
Smile Forever :)

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #11 on: 29 October 2008, 01:33:52 PM »
Kelas Cestoda (Cacing Pita)

Ciri-ciri

Cacing pita (Cestoda) memiliki tubuh bentuk pipih, panjang antara 2 - 3m dan terdiri dari bagian kepala (skoleks) dan tubuh (strobila). Kepala (skoleks) dilengkapi dengan lebih dari dua alat pengisap. Sedangkan setiap segmen yang menyusun strobila mengandung alat perkembangbiakan. Makin ke posterior segmen makin melebar dan setiap segmen (proglotid) merupakan satu individu dan bersifat hermafrodit.

Cacing ini biasanya hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata dan tanpa alat pencernaan. Sistem eksresi terdiri dari saluran pengeluaran yang berakhir dengan sel api. Sistem saraf sama seperti Planaria dan cacing hati, tetapi kurang berkembang.
 

Contoh Cestoda yaitu:

a) Taenia saginata (dalam usus manusia)
b) Taenia solium (dalam usus manusia)
c) Choanotaenia infudibulum (dalam usus ayam)
d) Echinococcus granulosus (dalam usus anjing)
e) Dipylidium latum (menyerang manusia melalui inang protozoa)

Selanjutnya akan diuraikan beberapa dari cacing parasit tersebut, antara lain:

a. Taenia saginata

  Cacing ini parasit dalam usus halus manusia. Perbedaannya dengan Taenia solium hanya terletak pada alat pengisap dan inang perantaranya. Taenia saginata pada skoleksnya terdapat alat pengisap tanpa kait dan inang perantaranya adalah sapi. Sedangkan Taenia solium memiliki alat pengisap dengan kait pada skoleksnya dan inang perantaranya adalah babi.
 

Daur hidup Taenia saginata

  Dalam usus manusia terdapat proglotid yang sudah masak yakni yang mengandung sel telur yang telah dibuahi (embrio). Telur yang berisi embrio ini keluar bersama feses. Bila telur ini termakan sapi, dan sampai pada usus akan tumbuh dan berkembang menjadi larva onkoster. Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot lurik dan membentuk kista yang disebut Cysticercus bovis (larva cacing).

Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut Cysticercus (sistiserkus). Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang.

Dinding Cysticercus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh membentuk proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi.

Selanjutnya telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Perhatikan gambar daur hidup Taenia saginata berikut!
  

Gambar 21. Daur hidup Taenia saginata

b. Taenia solium

  Daur hidup Taenia solium sama dengan daur hidup Taenia saginata, hanya saja inang perantaranya adalah babi. Sedangkan kista yang sampai di otot lurik babi disebut Cysticercus sellulose.

c. Coanotaenia infudibulum

  Cacing pita lainnya adalah Coanotaenia infudibulum yang parasit pada usus ayam tetapi inang perantaranya adalah Arthropoda antara lain kumbang atau tungau.


source

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #12 on: 29 October 2008, 01:37:31 PM »
Daur Hidup Beberapa Cacing Kelas Trematoda

Nah, berikut ini akan diuraikan mengenai daur hidup beberapa jenis cacing yang termasuk kelas Termatoda.

• Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba. Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
• Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siput selama + 2 minggu).
• Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung secara partenogenesis.
• Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam air.
• Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk beberapa lama. Serkaria melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola hepatica.
• Apabila rumput tersebut termakan oleh domba, maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan dewasa di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan siklus ini terulang lagi.
 

Gambar 18. Tahap perkembangan larva Fasciola hepatica

Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam tuan rumah yaitu:

1. Inang perantara yaitu siput air
2. Inang menetap,yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan domba.

Perhatikan gambar daur hidup Fasciola hepatica berikut:


Gambar 19. Daur hidup Fasciola hepatica

a. Daur hidup Chlonorchis sinensis

Daur hidup Chlonorchis sinensis sama seperti Fasciola hepatica, hanya saja serkaria pada cacing ini masuk ke dalam daging ikan air tawar yang berperan sebagai inang sementara. Struktur tubuh Chlonorchis sinensis sama seperti tubuh pada Fasciola hepatica hanya berbeda pada cabang usus lateral yang tidak beranting.

b. Daur hidup Schistosoma japonicum (cacing darah)

Cacing darah ini parasit pada manusia, babi, biri-biri, kucing dan binatang pengerat lainnya.
Cacing dewasa dapat hidup dalam pembuluh balik (vena) perut.
Tubuh cacing jantan lebih lebar dan dapat menggulung sehingga menutupi tubuh betina yang lebih ramping.
Cacing jantan panjangnya 9 – 22 mm, sedangkan panjang cacing betina adalah 14 – 26 cm.


Gambar 20. Schistosoma japonicum jantan dan betina 

Selanjutnya diuraikan tentang daur hidup Schistosoma japonicum.

• Cacing darah ini bertelur pada pembuluh balik (vena) manusia kemudian menuju ke poros usus (rektum) dan ke kantong air seni (vesica urinaria), lalu telur keluar bersama tinja dan urine.

• Telur akan berkembang menjadi mirasidium dan masuk ke dalam tubuh siput. Kemudian dalam tubuh siput akan berkembang menjadi serkaria yang berekor bercabang. Serkaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman atau menembus kulit dan dapat menimbulkan penyakit Schistomiasis (banyak terdapat di Afrika dan Asia). Penyakit ini menyebabkan kerusakan dan kelainan fungsi pada hati, jantung, limpa, kantong urine dan ginjal.

Jadi secara singkat tahap perkembangan larva fasciola hepatica adalah


 
 
 
 

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #13 on: 29 October 2008, 01:48:21 PM »
Filariasis Limfatik (Kaki Gajah) di Indonesia


Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .

Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa.

Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.

Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.

W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia. Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural.

Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).

Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.

Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total.

Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

Tokoh Utama Filariasis

Seluruh parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata pada Loa loa.

Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang sekitar 200 hingga 250 µm serta lebar 5 hingga 7 µm yang bersarung. Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh.

Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan.

Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu, jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-daerah perkampungan yang endemis filariasis.

Tanda dan Gejala Klinis

Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut.

Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini.

Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.

ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut.

Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.

Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal.

Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

Diagnosis Praktis

Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif.

Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.

Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.

Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe.

Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital.

Pengobatan

Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah.

Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.

Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder.

Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi hingga menjadi sangat minim.

Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah.

Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati.

Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah.

Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia. (farid)

sumber: majalah-farmacia.com


Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: [INFO] Cacing / Vermes
« Reply #14 on: 29 October 2008, 05:30:05 PM »
Keren2 artikelnya.. ^:)^
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148