//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.  (Read 11921 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mr. Bagus

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 349
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Sedang Apa
Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« on: 10 January 2009, 06:17:49 PM »
Saya baru saja diceritakan kalo "keponakan mereka" (hubungan kekeluargaan mereka kurang saya pahami) akan pergi ke Myanmar untuk mengikuti "pra-bhikkhuni" untuk 1 tahun.
Yang menceritakan ke saya (mereka berdua) non Buddhist.
Mereka mengatakan ke saya bahwa alasan sang anak ke Myanmar untuk mencari jati diri. Padahal (katanya) kalau anaknya mau buka bisnis apapun akan dibuatkan, namun sang anak kukuh untuk meditasi.
"Kok sudah umur segitu masih belum tahu jati dirinya?" ujarnya. Saya berkata: "Apakah Anda sudah tahu jati diri sendiri? Asalnya dari mana, Mau ke mana? Mengapa?". Salah satunya menyahut: "Saya sudah sejak dulu tahu jati diri, sehingga saya menjadi hamba Tuhan".
Saya sedih mendengar mereka menyesali tujuan sang Anak pergi ke Myanmar, dan saya khawatir akan berdebat karena mereka tidak akan bisa menerima apapun yg akan saya sampaikan.

Salut untuk sang Anak untuk memutuskan pergi ke Myanmar, semoga tercapai cita-citanya !
Juga kepada orang tuanya yg merelakan dan mendukung sang Anak, semoga memperoleh kebahagiaan.
(Maaf kalo kata2 saya kurang sopan: Bukannya lebih membahagiakan kalo sang anak pergi lamaa untuk meditasi dibandingkan pergi lamaa untuk kelahiran berikutnya? Suatu saat, bisa saja nanti, kita segera terlahir lagi! Jadi tidak ada alasan untuk merasa kehilangan, kan?)

:x Persepsi yang saya dapat dari pengalaman saya sendiri sebagai orang buta tidak bisa dibandingkan dengan orang yang melihat dengan terang. >:)<

Offline 7 Tails

  • Sebelumnya RAIN
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 864
  • Reputasi: 24
  • Gender: Male
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #1 on: 10 January 2009, 08:50:29 PM »
maaf apa seperti ini si anak tidak egois meninggalkan orang tuanya
yg sudah susah payah membesarkannya, memberikan tempat berlindung dari kecil sampai anak dewasa
dari sudut orang timur menurut saya, seorang orang tua akan berat melepaskan
apa ini tidak termasuk kamma buruk
mohon pencerahan
korban keganasan

Offline Equator

  • Sebelumnya: Herdiboy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.271
  • Reputasi: 41
  • Gender: Male
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #2 on: 10 January 2009, 09:34:06 PM »
Inilah yang biasanya terjadi di kalangan Buddhis
Semua senang jika ada bhikkhu, bahkan terkadang memuja2 bhikkhu tertentu
Menghormat dengan lebih dan mengikuti kegiatan beliau kemana ia pergi

Namun ketika anaknya ingin menjadi Bhikkhu malah bersedih dan merasa hari tua tidak akan terjamin
Sungguh dilematis dan ironis
Padahal secara Dhamma justru bagus sekali jika mata dhamma anak kita terbuka dan ingin berusaha merealisasikan 'jalan'

Namun sebaiknya dalam hal kasus ortu non buddhis, harus ekstra sabar menjelaskan kepada mereka, karena terkadangpun kita berbicara dhamma kepada yang mengaku buddhispun juga sulit jika yang diajak bicara sudah cenderung 'antipati' dan tidak respect duluan
Hanya padaMu Buddha, Kubaktikan diriku selamanya
Hanya untukMu Buddha, Kupersembahkan hati dan jiwaku seutuhnya..

Offline 7 Tails

  • Sebelumnya RAIN
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 864
  • Reputasi: 24
  • Gender: Male
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #3 on: 10 January 2009, 09:56:05 PM »
di Majjhima Nikaya Sutta 84, terdapat seorang Arahat yang mengajar dengan
sangat mengesankan dan seorang raja meminta untuk berlindung kepadanya. Arahat itu membalas
bahwa perlindungan tidak bisa dilakukan atas dirinya tetapi hanya kepada Buddha, Dhamma dan
Sangha. Raja kemudian bertanya dimana gerangan Sang Buddha. Arahat itu menjelaskan bahwa Sang
Buddha telah memasuki Pari-Nibbana, tetapi walaupun demikian, orang-orang masih seharusnya
berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Ini menunjukkan bahwa kita harus selalu mengakui
Sang Buddha sebagai Guru kita yang Terutama, yang sekarang diwujudkan dalam ajaran Beliau
(Dhamma-Vinaya). Dhamma merujuk kepada khotbahnya (Sutta). Sangha adalah komunitas
bhikkhu/bhikkhuni, idealnya mereka yang Mulia (Ariya)
2
.

Di dalam Maha Parinibbana Sutta (Digha Nikaya Sutta 16), yang merinci kemangkatan Sang
Buddha, Sang Buddha menasehati para bhikkhu: “Dhamma-Vinaya apapun yang telah saya tunjukkan
dan rumuskan untuk kalian, itu akan menjadi Guru kalian ketika saya tiada.” Ini adalah pernyataan
yang sangat penting yang maknanya telah diabaikan oleh banyak umat Buddhis. Karena banyak umat
Buddhis tidak pernah mendengar nasehat ini atau mengerti maknanya, mereka mencari kemana-mana
seorang guru, guru yang bisa dibanggakan dan disombongkan tentang pencapaiannya, dll. Beberapa
bahkan berkeliling separuh dunia atau lebih di dalam pencarian tersebut.
Orang-orang ini menciptakan sesosok kepribadiaan untuk dipuja berdasarkan kebaikan yang
dirasakan dari guru tersebut daripada Dhamma-Vinaya itu sendiri. Di dalam beberapa kasus, setelah
bertahun-tahun, guru mereka tiada, meninggalkan mereka sendirian. Meskipun waktu berjalan,
pengikut-pengikut  tersebut tidak membuat banyak kemajuan dan telah gagal merasakan intisari/pokok
dari Dhamma. Mereka akan merasa kosong. Oleh sebab itu, kita harus selalu mengingat bahwa
Dhamma-Vinaya adalah Guru kita yang Terutama.
Selanjutnya, di Digha Nikaya Sutta 16, Sang Buddha berkata: “Para bhikkhu, jadilah pelita
untuk diri kalian sendiri, jadilah pelindung untuk diri kalian sendiri, dengan tiadanya pelindung yang
lain. Jadikan Dhamma sebagai pelita kalian, jadikan Dhamma sebagai pelindungmu, dengan tiadanya
pelindung yang lain.“ Dengan kata lain, kita harus semata-mata tergantung pada diri kita sendiri dan
pada kumpulan Sutta tertua yang disebutkan di atas sebagai Guru kita.

dicomot sedikit dari ebook kebebasan sempurna: pentingnya sutta-vinaya
bagaimana dengan pandangan ini?
korban keganasan

Offline kiman

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 348
  • Reputasi: 13
  • Gender: Female
  • HUM !
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #4 on: 10 January 2009, 10:07:19 PM »
_/\_
U CAN GET DHARMA WITHOUT MONEY

Offline polandio

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 165
  • Reputasi: 3
  • Gender: Male
  • Old Solid Snake
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #5 on: 10 January 2009, 10:10:17 PM »
_/\_
Memang keberanian yang diceritakan diatas patut dipuji. Tetapi dasar untuk mengetahui jati diri apakah hal itu dibenarkan? Apakah einstein, edison, galilei harus menempuh cara itu untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya? Hal ini yang patut dipertanyakan.
I've Been Here

Offline Wolvie

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 805
  • Reputasi: 25
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #6 on: 11 January 2009, 05:06:28 PM »
Gak ada hak kita buat menghakimi si anak. Memang kalo mau nurutin orang tua terus mau sampai kapan juga tidak akan pernah benar di mata orangtua. Sy pernah lihat, malah cukup sering liat seseorang yang selalu patuh sama orangtuanya, toh tetep aja ortunya gak puas. Nah, memangnya karmanya orangtua yang tentuin? Ya kami puas, maka karma kamu baik. Kami tidak puas, karma kamu jelek, begitukah??

Jadi orangtua memang berat, kita tidak memungkiri hal itu. Tapi kalo orangtua pamrih (seperti yang cukup banyak ada di sekitar kita), yah yang kena karma buruk ya orangtua itu sendiri. Karma buruk atau baik itu berlaku buat siapapun, gak cuma anak. Jadi harusnya orang ingat kedua belah pihak. Bagi yang Buddhist, hendaknya diingat, bagus punya anak mau masuk Sangha, daripada jadi bandit. Berarti setidak2nya agama Buddha diharapkan masih akan berkembang/ada. Ntar kalo gak ada satupun manusia yang mau masuk Sangha, siapa yang rugi??

Jadi ortu itu tidak mudah, makanya kalo merasa gak sanggup ya jangan jadi orangtua.

Jadi ortu bukan berarti jadi dewa, yang gak mau dikritik atau apapun. Contoh yang paling ekstrim, seperti yang ada di berita2, bapak dan kakek perkosa anak dan cucunya sendiri? Memang mereka ga kena karma buruk ya? Karena mereka (mentang2) ortu?

Soal bakti ke ortu, sy pernah nonton wawancara salah satu bhikkhuni di tv. Ditanya kenapa Anda memutuskan jadi bhikkhuni. Beliau jawab, sy memikirkan orangtua dan kerabat2 sy. Saudara2 sy ga ada yang masuk Sangha, beberapa bukan beragama Buddha dan tidak percaya hukum karma. Nah, sy mikir ke depannya nasib mereka ini, setelah mereka meninggal dan bertumimbal lahir. Siapa yang nanti mau mendoakan untuk pelimpahan jasa buat mereka kalo bukan sy...
« Last Edit: 11 January 2009, 05:08:31 PM by Wolvie »

Offline polandio

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 165
  • Reputasi: 3
  • Gender: Male
  • Old Solid Snake
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #7 on: 11 January 2009, 05:20:38 PM »
Yang patut dipertanyakan adalah apakah anak tersebut benar-benar akan mencapai tujuannya yaitu mencari jati dirinya? Apakah hal ini menjamin ketentraman dan jawaban? Apakah dengan berumat biasa tidak mencapai yang kita cari? Selama ada tekad tidak ada jalan yang sulit ditembus. Tetapi dengan cara seperti itu, wa rasa itu merupakan langkah yang benar-benar krusial dan patut dipertanyakan
I've Been Here

Offline Wolvie

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 805
  • Reputasi: 25
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #8 on: 11 January 2009, 05:29:57 PM »
Kalo pun ya, anak itu gak nemuin jati diri ,ya sudah. Gagal atau jatuh itu biasa. Nurut ortu juga belum tentu nemu jadi diri kok. Einstein pun awalnya dianggap eksentrik, begitu juga orang besar lainnya, tidak sedikit yang ditentang ortunya masing2. Lihat juga bagaimana akhirnya. Justru yang manut2 terus ya jadinya orang biasa. Tidak salah memang. Cuma pilih yang mana? Memangnya jalan hidup itu yang nentuin orangtua? Apa tujuan hidup? Menurut terus kata ortu atau terus mengatur anak? Mau sampai kapan mengatur anak? Sampai mampus? Anak yang diatur2 terus sama ortu setelah ortunya meninggal, bingung dia, mau ke mana ya sekarang? Kecuali kalo anak itu meninggal duluan...

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #9 on: 11 January 2009, 11:25:03 PM »
Kalo pun ya, anak itu gak nemuin jati diri ,ya sudah. Gagal atau jatuh itu biasa. Nurut ortu juga belum tentu nemu jadi diri kok. Einstein pun awalnya dianggap eksentrik, begitu juga orang besar lainnya, tidak sedikit yang ditentang ortunya masing2. Lihat juga bagaimana akhirnya. Justru yang manut2 terus ya jadinya orang biasa. Tidak salah memang. Cuma pilih yang mana? Memangnya jalan hidup itu yang nentuin orangtua? Apa tujuan hidup? Menurut terus kata ortu atau terus mengatur anak? Mau sampai kapan mengatur anak? Sampai mampus? Anak yang diatur2 terus sama ortu setelah ortunya meninggal, bingung dia, mau ke mana ya sekarang? Kecuali kalo anak itu meninggal duluan...

Tidak heran, kalau ajaran BUDDHA dikatakan akan berkembang pesat di BARAT, yang pemikiran-nya lebih free will... dimana anak anak di atas umur 17 tahun sudah benar benar FREE. Lepas dari orang tua... Memang adat kita di TIMUR, ikatan kekeluargaan itu masih kuat sekali... Dari satu sisi memang bagus, ada saling memperhatikan. Dari sisi lain, bisa bagaikan BELENGGU (RAHULA).
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #10 on: 12 January 2009, 04:32:38 PM »
Menjadi Bhikku adalah satu tantangan dan keberanian yg bahkan seorang Jendral pun blm tentu sanggup melakukannya.

Apalagi keputusan menjadi Bhiksu bagi orang Tiongkok, ini satu tantangan yg dianggap melawan arus karena tradisi Konfucianisme yg sudah mengakar (Karena kaum konfucianis berpegang pada ucapan Mencius, "Ada 3 hal yg disebut Tidak Berbakti [pd ortu], Yang paling Berat adalah tidak memiliki keturunan (alias tidak kawin)".
Karena tidak kawin berarti tidak meneruskan garis silsilah keluarga. Silsilah keluarga yg sudah diturun temurunkan sejak ribuan tahun diputus bgt saja oleh Orang yg ga kawin ini, maka tentu dianggap satu sikap yg paling tidak memiliki rasa bakti.

Jadi jika seorang Tionghoa sekali memutuskan utk menjadi Bhiksu, maka keberanian nya dianggap mengalahkan keberanian seorang jendral di medan perang.

Namun bagaimanapun juga, Orang tua tetap memiliki hak utk melarang, itulah sebabnya Sang Buddha menetapkan Vinaya bagi siapa yg tidak mendapat persetujuan orang tua tidak diterima oleh Sangha.  Mengapa SAng Buddha melarang? Karena cinta kasih nya pada semua orang tua di dunia ini. Mengapa Sang Buddha setuju orang menjadi Bhikkhu pula? Karena menjadi bhikkhu membuka pintu kebebasan, dengan terbebas dari samsara sebenarnya adalah wujud bakti terbesar. Ayo siapa yg ingin mengalahkan keberanian seorang Jendral..
« Last Edit: 12 January 2009, 04:34:25 PM by chingik »

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #11 on: 12 January 2009, 05:01:57 PM »
dari buku RAPB halaman 385

Sulitnya Menjadi Seorang Bhikkhu

Bahkan makhluk luar biasa seperti Bodhisatta kita yang telah menerima ramalan yang pasti sejak masa Buddha Dãpaïkarà hanya dapat bertemu dengan dua puluh empat Buddha yang amatlah sedikit jika dibandingkan dengan lamanya waktu yang Beliau jalani. Bahkan dalam dua puluh empat masa Buddha tersebut, Beliau hanya sembilan kali berkesempatan menjadi seorang bhikkhu.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa menjadi bhikkhu adalah sangat sulit seperti yang tertulis dalam Kitab, “Pabbajitabhavo dullabo.” “Menjadi bhikkhu adalah sangat sulit dicapai.” Adalah sangat sulit menjadi bhikkhu bagi Bodhisatta yang telah menerima ramalan pasti, dan jauh lebih sulit bagi orang-orang biasa.

(hal 387) Pendapat lain adalah sebagai berikut:
Bahkan makhluk luar biasa seperti Bodhisatta kita yang telah menerima ramalan pasti, hanya menjadi bhikkhu sebanyak sembilan kali padahal Beliau bertemu dengan Buddha sebanyak dua puluh empat kali, dari sini dapat dikatakan, “Adalah sulit untuk menjadi bhikkhu.” Namun meskipun demikian, jika diperhatikan bahwa ada empat ratus ribu Arahanta yang menyertai Buddha Dãpaïkarà sewaktu mengunjungi Kota Rammavatã untuk menerima dàna makanan, dan ada seratus ribu Arahanta yang berkumpul pada pertemuan pertama dari tiga pertemuan para siswa, karena jumlah ini sangatlah besar, kita juga dapat berkesimpulan bahwa menjadi bhikkhu juga tidak sulit sekali

Kalimat yang mengatakan “Adalah sulit untuk menjadi bhikkhu” artinya “Sulit sekali memperoleh kondisi yang memungkinkan terjadinya situasi tersebut. Setiap kali Bodhisatta dalam kehidupannya berkesempatan bertemu Buddha, beliau jarang sekali berkesempatan untuk menjadi bhikkhu, karena situasinya tidak mendukung. Banyaknya Arahanta pada masa Buddha Dãpaïkarà memiliki situasi yang mendukung, tidak saja untuk menjadi bhikkhu, tetapi juga untuk mencapai kesucian Arahatta. Dalam usaha apa pun, adalah sulit untuk mencapai hasil yang diharapkan jika situasinya tidak mendukung; sebaliknya jika situasinya mendukung, usaha apa pun akan memberikan hasil yang diharapkan.

Hanya karena mereka telah memiliki Kesempurnaan yang telah terpenuhi pada kehidupan-kehidupan lampau mereka, maka mereka tidak hanya dapat menjadi bhikkhu namun juga mencapai kesucian Arahatta

Dalam Bàlapandita Sutta, Su¤¤àata Vagga dari Uparipa¤¤àsa (Majjhima Nikàya) ada perumpamaan mengenai seekor kura-kura buta sehubungan dengan kalimat, “Manussattabhavo dullabho,” “Sulitnya terlahir menjadi manusia.” Misalnya ada seseorang yang melemparkan sebuah pelampung yang berlubang di tengahnya ke tengah lautan. Pelampung tersebut akan mengapung dan hanyut ke barat jika tertiup angin timur dan ke hanyut ke timur jika tertiup angin barat; hanyut ke selatan jika tertiup angin utara dan hanyut ke utara jika tertiup angin selatan. Dalam lautan tersebut, ada seekor kura-kura buta yang naik ke permukaan air seratus tahun sekali. Kemungkinan kepala kura-kura tersebut dapat masuk ke dalam lubang pelampung yang hanyut tersebut adalah jarang sekali. Sebagai makhluk yang telah mengalami penderitaan di alam sengsara dalam salah satu kehidupannya, adalah seratus kali lebih sulit terlahir menjadi manusia. Banyak teks-teks lain dalam Tipiñaka yang menjelaskan sulitnya terlahir menjadi manusia.

Di satu pihak, kelahiran sebagai manusia sulit dicapai seperti dijelaskan sebelumnya, namun di pihak lain, ada ajaran seperti di dalam kitab Apadana, Vimanavatthu, dan lain-lain, alam manusia dan dewa dapat dicapai dalam beberapa kehidupan bahkan hanya dengan satu kali berdana bunga; dan ini bisa dianggap bahwa “kelahiran sebagai manusia tidaklah sulit tetapi mudah.” Kitab Apadana dan yang sejenisnya ditujukan kepada mereka yang sulit terlahir sebagai manusia karena kurangnya persyaratan yang diperlukan; Kitab Balanpandita dan sejenisnya ditujukan kepada mereka yang mungkin terlahir sebagai manusia dalam beberapa kelahiran hanya dengan berdana bunga; sulitnya menjadi bhikkhu juga harus dipahami dengan cara yang sama.

Sehubungan dengan kelahiran sebagai manusia, walaupun dapat dianggap (jika seseorang tidak merenungkan dalam-dalam) bahwa tidaklah sulit terlahir menjadi manusia jika melihat bahwa populasi manusia di dunia malah bertambah hari demi hari, harus dimengerti bahwa populasi makhluk-makhluk di empat alam sengsara adalah jauh lebih banyak daripada manusia; ditambah lagi di alam binatang terdapat tidak terhitung banyaknya spesies; jika kita hitung jumlah semut saja, jika dibandingkan dengan menusia, semut sudah pasti jauh lebih banyak. Membandingkan jumlah manusia dan jumlah makhluk di empat alam sengsara, jelas bahwa terlahir sebagai manusia adalah suatu hal yang sangat jarang terjadi.

Demikian pula, adalah sulit sekali bergabung dalam Saÿgha dalam masa kehidupan seorang Buddha di dunia. Mereka yang potensial untuk menjadi bhikkhu dalam masa kehidupan seorang Buddha, tidak hanya sekadar bhikkhu namun juga potensial mencapai kesucian Arahatta; oleh karena itu jumlahnya juga agak sedikit. Namun bukan berarti bahwa adalah mudah untuk menjadi bhikkhu hanya karena bertemu dengan seorang Buddha dalam sitausi yang mendukung

Dengan kata lain, mereka yang memiliki dua faktor berikut kemungkinan besar dapat menjadi bhikkhu: (1) “terlahir dalam masa adanya ajaran Buddha dan menjadi Buddh’uppàda dullabha” yang sangat jarang terjadi, dan (2) “Kehidupan sebagai manusia yang sangat jarang terjadi,” manusatta dullabha. Tidak mungkin menjadi bhikkhu pada masa tidak adanya ajaraan Buddha; juga tidak mungkin menjadi bhikkhu jika ia adalah dewa, sakka, brahmà atau makhluk di alam sengsara meskipun mereka terlahir dalam masa adanya ajaran Buddha. Dari dua faktor ini, terlahir dalam masa adanya ajaran Buddha yang disebut Buddh’uppàda Navama adalah lebih sulit terjadi. Hanya jika muncul seorang Buddha, maka terdapat ajaran Buddha; dan untuk munculnya seorang Buddha, membutuhkan waktu paling sedikit empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa sejak diterimanya ramalan bahwa seseorang tersebut pasti akan menjadi Buddha, dan dalam waktu yang sangat lama tersebut ia harus dengan tekun memenuhi Kesempurnaan dengan empat jenis pengembangan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketika akhirnya muncul seorang Buddha, dan ajarannya berkembang luas, jika seseorang tidak terlahir sebagai manusia, atau jika terlahir sebagai manusia namun menghadapi rintangan, ia tidak akan dapat menjadi bhikkhu. Dengan pertimbangan ini, dapat dikatakan bahwa menjadi bhikkhu adalah lebih lebih jarang terjadi daripada mendengarkan ajaran-ajaran Buddha di dunia ini.

Mereka yang karena jasa-jasa kebajikannya memiliki dua faktor ini dapat menerima ajaran Buddha dan terlahir menjadi manusia, yang dua-duanya sulit dicapai, tidak akan menemui kesulitan dalam usahanya menjadi bhikkhu yang dikondisikan oleh kedua faktor ini. Meskipun sepertinya mudah menjadi bhikkhu melihat banyaknya Arahanta pada masa Buddha Dãpaïkarà yang memiliki dua faktor ini, yaitu terlahir pada masa yang terdapat ajaran Buddha dan terlahir sebagai manusia, namun sebenarnya sangatlah sulit untuk memiliki dua penyebab langsung yang mendukung untuk menjadi bhikkhu, oleh karena itu dikatakan, “Menjadi bhikkhu adalah sulit.”


VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Sunce™

  • Sebelumnya: Nanda
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.350
  • Reputasi: 66
  • Gender: Male
  • Nibbana adalah yang Tertinggi
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #12 on: 14 January 2009, 07:57:44 AM »
jika seseorang menjadi bikkhu, maka keluarga akan mendapat kebahagian.. :)

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #13 on: 16 January 2009, 03:28:11 AM »
 [at] atas: kalau jadi bikhu2 an?
Samma Vayama

Offline Mr. Bagus

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 349
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Sedang Apa
Re: Anak yg meninggalkan ortu untuk menjadi samaneri.
« Reply #14 on: 16 January 2009, 05:11:33 PM »
Yang patut dipertanyakan adalah apakah anak tersebut benar-benar akan mencapai tujuannya yaitu mencari jati dirinya? Apakah hal ini menjamin ketentraman dan jawaban? Apakah dengan berumat biasa tidak mencapai yang kita cari? Selama ada tekad tidak ada jalan yang sulit ditembus. Tetapi dengan cara seperti itu, wa rasa itu merupakan langkah yang benar-benar krusial dan patut dipertanyakan
Saya tidak tahu apakah si anak bertujuan mencari jati diri, mungkin saja lebih. Sebab apa yg diceritakan oleh mereka tentunya sudah dari sudut pandang mereka juga. Bisa saja si anak berkata mencari jati diri agar mereka lebih mengerti daripada mengatakan "saya ingin mencapai pencerahan".

Kalo saya suatu saat misal ingin menjadi bhikkhu, saya punya persiapan kata, yakni: "saya sungguh-sungguh ingin membuktikan ajaran Sang Buddha, karena ajarannya dikatakan bisa dibuktikan oleh siapa saja." saya rasa semua pihak bisa menerima

(hmm, I guess ?? )
:x Persepsi yang saya dapat dari pengalaman saya sendiri sebagai orang buta tidak bisa dibandingkan dengan orang yang melihat dengan terang. >:)<

 

anything