Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Buddhisme dan Kehidupan => Tolong ! => Topic started by: Huiono on 13 February 2008, 10:24:48 AM

Title: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: Huiono on 13 February 2008, 10:24:48 AM
Halo teman2 semuanya...
Aku lagi butuh informasi tentang Sukong (Bhante Ashin)...
Minta bantuannya dunk bagi yang tau link2nya...

Atau kalo bersedia, tolong tulis n post di sini aja... :)

Anumodana...

 _/\_
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: JackDaniel on 13 February 2008, 03:41:38 PM
wahh.. buku pelajaran agama Buddha gua ada...
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: Huiono on 13 February 2008, 05:50:40 PM
Benarkah?
Kalo Bro Jack berkenan, tolong di post dunk riwayatnya kira2 dari sebelum jadi Bhikkhu sampai dikremasi...
Thanks banget sebelumnya...
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: JackDaniel on 13 February 2008, 07:23:30 PM
Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.

Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.

Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.

Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.

Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.

Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide brelian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai meyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.

Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang sramanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang).

Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang sramanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya.

Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. “I am just a servant of the Buddha”, ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.

Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.

Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: andry on 13 February 2008, 07:28:42 PM
masa lo gak tau?? u kan anak vvd...
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: GiNong on 14 February 2008, 09:07:22 AM
ikut aja puja relic nya,biar lebih kenal
kwkwkwkkwkw
puja relic nya di Palembang akhir maret ntar wa kabarin tepat nya
kwkwkkwkwkwk
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 14 February 2008, 01:35:03 PM
Quote
Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

Alasan yang saya dengar dari mulut pertama (salah satu mantan Bhikkhu dari 5 Bhikkhu tersebut) bukan begitu...

Karena pada waktu itu ada yang bilang Theravada tidak ada tuhan.
Pada waktu itu tidak ada tuhan berarti komunis, subversif, dll
5 Bhikkhu Theravada memisahkan diri untuk mendefinisikan "tuhan", dalam AD/ART mereka, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, dll yang diambil dari Kitab Udana. Sebenarnya mereka tidak mau memisahkan diri, kalau tidak ada yang bilang Theravada tidak ada tuhan.
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: Huiono on 14 February 2008, 08:50:00 PM
Ok thanks banget ya, Bro Jack....
Komplit tuh...

Soal Komen2 pemisahan Sangha: Theravada, Mahayana sampai Tantrayana... itu di luar pemahaman kita... Generasi sebelumnya yang lebih tau... Meski kita mendengar begini, begitu, tapi yach ternyata seperti itu... :)

 _/\_
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: Hikoza83 on 19 February 2008, 01:05:28 AM
berbeda untuk bersatu.
bukan satu yang dicari-cari bedanya.

Indonesia adalah permadani yang indah,
mari bersatu demi kemajuan, kesejahteraan dan kedamaian negeri ini,
demi perkembangan Buddhadharma di bumi Nusantara,
demi kebahagiaan semua makhluk.
 _/\_


By : Zen
Title: Re: Info tentang perjalanan Bhante Asin Jinarakkhita (Sukong)
Post by: waliagung on 30 May 2011, 09:39:07 PM
itu yg oke....................
apapun sektenya tapi guru kita satu,kitabnya satu,tujuannya satu,untuk masalah sunahnya,itu harus dilihat daerahnya,karena setiap daerah memiliki tradisi kuat yg mempengaruhi agama buddha,,,,

lebih sederhananya logat parita aja beda jgnkan per kota,,,,,beda kecamataan aja beda......oke bro.....................