//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?  (Read 41415 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« on: 07 June 2011, 08:27:01 AM »
Dear All,

saya sedang ada tugas untuk menyusun paper yang pokok bahasannya tentang sang Buddha telah memberikan segala petunjuk untuk mengembangkan cara hidup secara benar, mencari kekayaan secara benar, mencapai kebahagiaan secara materi dan spirituil secara benar yang kemudian dikaitkan dengan realitas, negara Buddhist mana sajakah  yang berhasil menerapkan hal ini secara sukses? tentunya yang menjadi negara maju dan kaya.

karena tugas paper ini semua bahasan selalu harus dikaitkan dengan sutta, mohon tanggapan yang bersedia membantu saya disertai referensi sutta ya....thanks before and after.

mettacittena,
« Last Edit: 07 June 2011, 08:29:51 AM by pannadevi »

Offline kakao

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.197
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • life is never sure, but die is certain
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #1 on: 07 June 2011, 08:35:16 AM »
Bhutan,..negara Buddhis yang tergolong kaya. ini copasnya.
Meski menjadi salah satu yang terkecil di dunia, ekonomi Bhutan telah berkembang pesat sekitar 8% pada 2005 dan 14% pada 2006. Per Maret 2006, pendapatan per kapita Bhutan adalah US$1.321 yang membuatnya tertinggi di Asia Selatan. Standar hidup Bhutan berkembang dan merupakan salah satu yang terbaik di Asia Selatan.

Ekonomi Bhutan adalah salah satu yang terkecil dan kurang berkembang di dunia, yang berbasis pertanian, kehutanan, dan penjualan PLTA ke India. Pertanian menyediakan mata pencaharian buat lebih dari 80% penduduk. Praktek agraria sebagian besar terdiri atas pertanian subsisten dan peternakan hewan. Kerajinan tangan, khususnya menjahit dan produksi seni keagamaan untuk altar rumah merupakan industri kecil milik rakyat dan sumber sekian pendapatan. Pemandangan yang berbeda dari pegunungan berbukit yang kasar membuat pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya sulit dan mahal. Ini, dan tiadanya akses ke laut, menyebabkan Bhutan tidak pernah bisa dapat untung dari perdagangan yang signifikan dari produknya. Kini Bhutan currently tak memiliki jalur kereta api, meski Indian Railways merencanakan menghubungan Bhutan selatan dengan jaringannya yang luas di bawah persetujuan yang ditandatangani pada Januari 2005.[2] Jalur perdagangan masa lalu antara peguunungan Himalaya, yang menghubungkan India ke Tibet, telah ditutup sejak pengambilalihan militer atas Tibet pada 1959 (meski kegiatan penyelundupan tetap membawa barang-barang RRC ke Bhutan).

Sektor industri amat minim, produksinya termasuk jenis industri rakyat. Sebagian besar proyek pembangunan, seperti konstruksi jalan, brsandar pada buruh kontrak India. Produk pertanian antara lain beras, lombok, produk dari dairy (yak), soba, gerst, panenan akar, apel, dan pohon jeruk di ketinggian rendah. Industri lain seperti semen, produksi kayu, buah-buahan yang diproses, MiRas, dan kalsium karbida.

Mata uang Bhutan, ngultrum, ditautkan ke Rupee India. Rupee juga diterima sebagai penawaran resmi di negeri itu. Pendapatan lebih dari Nu 100,000 per tahun dikenakan pajak, namun penerima upah dan gaji yang amat sedikit memenuhi syarat. Tingkat inflasi Bhutan diperkirakan sekitar 3% pada 2003. Bhutan memiliki Produk Domestik Bruto sekitar USD 2.913 miliar (diatur ke keseimbangan daya beli), menjadikan ekonominya terbesar ke-162 di dunia. Pendapatan per kapita sekitar US$1.400 (€1.170), urutan ke-124. Jumlah penerimaan pemerintah €122 miliar (US$146 miliar), meski jumlah ekspenditur €127 miliar (US$152 miliar). Namun, 60%Templat:Inote ekspeditur anggaran belanja, dibiayai oleh Kementerian Luar Negeri India.[3] Ekspor Bhutan, khususnya listrik, kapulaga, gips, kayu, kerajinan tangan, semen, buah, batu mulia dan rempah-rempah, total €128 miliar (US$154 miliar) (perkiraan tahun 2000). Namun, impor berjumlah sekitar €164 miliar (US$196 miliar), menimbulkan defisit perdagangan. Barang utama yang diimpor termasuk bahan bakar dan minyak pelumas, gabah, mesin, kendaraan, pabrik, dan nasi. Mitra ekspor utama Bhutan adalah India, terhitung sekitar 87,9% barang ekspornya. Bangladesh (4,6%) dan Philipina (2%) ialah mitra ekspor terpentingnya setelah India. Karena perbatasannya dengan Tibet ditutup, perdagangan antara Bhutan dan RRC hampir tiada. Mitra impor Bhutan adalah India (71,3%), Jepang (7,8%) dan Austria (3%).

Dalam menanggapai tudingan pada 1987 oleh seorang wartawan dari Financial Times (Britania Raya) bahwa perkembangan di Bhutan lambat, sang Raja berkata bahwa "Kebahagiaan Nasional Bruto lebih penting daripada Produk Domestik Bruto." [4] Pernyataan ini memberi pertanda penemuan terkini oleh para psikolog ekonomi Barat, termasuk penerima Nobel 2002 Daniel Kahneman, yang mempertanyakan hubungan antara tingkat pendapatan dan kebahagiaan. Itu menandai komitmennya untuk membangun ekonomi yang cocok buat budaya Bhutan yang unik, berdasarkan pada nilai-nilai spiritual agama Buddha, dan telah berlaku sebagai visi persatuan untuk ekonomi. Di samping itu, nampaknya kebijakan itu mendapat hasil yang diharapkan seperti dalam survei terkini yang diatur oleh Universitas Leicester [1] di Britania Raya, Bhutan diurutkan sebagai tempat paling bahagia ke-8 di bumi [2].
"jika kau senang hati pegang jari, jika kau senang hati pegang jari dan masukan kehidungmu !!"
[img]http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c3/Sailor_moon_ani.gif[img]

Offline rooney

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.750
  • Reputasi: 47
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia...
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #2 on: 07 June 2011, 08:39:04 AM »
Kalau saya lihat, negara Buddhist yang maju ekonominya itu Thailand tapi perkembangan hal tersebut juga disertai dampak negatif seperti munculnya gaya hidup materialistis, menjamurnya tempat prostitusi, waria dimana-mana, dll. Jadinya agak bingung juga apakah Thai bisa disebut negara Buddhist yang ideal atau tidak  :-?

Kalo yang ideal banget sih sebenarnya di Srilanka. Kehidupan sederhana, mall belum menjamur, banyak hutan yang masih dipelihara, lingkungan yang cocok untuk para bhikku berlatih.  :)

Kalo Myanmar sebenarnya juga OK, banyak guru besarnya. Tapi sayang masih dipimpin oleh Junta  :|


Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #3 on: 07 June 2011, 08:40:32 AM »
Bhutan,..negara Buddhis yang tergolong kaya. ini copasnya.
Meski menjadi salah satu yang terkecil di dunia, ekonomi Bhutan telah berkembang pesat sekitar 8% pada 2005 dan 14% pada 2006. Per Maret 2006, pendapatan per kapita Bhutan adalah US$1.321 yang membuatnya tertinggi di Asia Selatan. Standar hidup Bhutan berkembang dan merupakan salah satu yang terbaik di Asia Selatan.

Ekonomi Bhutan adalah salah satu yang terkecil dan kurang berkembang di dunia, yang berbasis pertanian, kehutanan, dan penjualan PLTA ke India. Pertanian menyediakan mata pencaharian buat lebih dari 80% penduduk. Praktek agraria sebagian besar terdiri atas pertanian subsisten dan peternakan hewan. Kerajinan tangan, khususnya menjahit dan produksi seni keagamaan untuk altar rumah merupakan industri kecil milik rakyat dan sumber sekian pendapatan. Pemandangan yang berbeda dari pegunungan berbukit yang kasar membuat pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya sulit dan mahal. Ini, dan tiadanya akses ke laut, menyebabkan Bhutan tidak pernah bisa dapat untung dari perdagangan yang signifikan dari produknya. Kini Bhutan currently tak memiliki jalur kereta api, meski Indian Railways merencanakan menghubungan Bhutan selatan dengan jaringannya yang luas di bawah persetujuan yang ditandatangani pada Januari 2005.[2] Jalur perdagangan masa lalu antara peguunungan Himalaya, yang menghubungkan India ke Tibet, telah ditutup sejak pengambilalihan militer atas Tibet pada 1959 (meski kegiatan penyelundupan tetap membawa barang-barang RRC ke Bhutan).

Sektor industri amat minim, produksinya termasuk jenis industri rakyat. Sebagian besar proyek pembangunan, seperti konstruksi jalan, brsandar pada buruh kontrak India. Produk pertanian antara lain beras, lombok, produk dari dairy (yak), soba, gerst, panenan akar, apel, dan pohon jeruk di ketinggian rendah. Industri lain seperti semen, produksi kayu, buah-buahan yang diproses, MiRas, dan kalsium karbida.

Mata uang Bhutan, ngultrum, ditautkan ke Rupee India. Rupee juga diterima sebagai penawaran resmi di negeri itu. Pendapatan lebih dari Nu 100,000 per tahun dikenakan pajak, namun penerima upah dan gaji yang amat sedikit memenuhi syarat. Tingkat inflasi Bhutan diperkirakan sekitar 3% pada 2003. Bhutan memiliki Produk Domestik Bruto sekitar USD 2.913 miliar (diatur ke keseimbangan daya beli), menjadikan ekonominya terbesar ke-162 di dunia. Pendapatan per kapita sekitar US$1.400 (€1.170), urutan ke-124. Jumlah penerimaan pemerintah €122 miliar (US$146 miliar), meski jumlah ekspenditur €127 miliar (US$152 miliar). Namun, 60%Templat:Inote ekspeditur anggaran belanja, dibiayai oleh Kementerian Luar Negeri India.[3] Ekspor Bhutan, khususnya listrik, kapulaga, gips, kayu, kerajinan tangan, semen, buah, batu mulia dan rempah-rempah, total €128 miliar (US$154 miliar) (perkiraan tahun 2000). Namun, impor berjumlah sekitar €164 miliar (US$196 miliar), menimbulkan defisit perdagangan. Barang utama yang diimpor termasuk bahan bakar dan minyak pelumas, gabah, mesin, kendaraan, pabrik, dan nasi. Mitra ekspor utama Bhutan adalah India, terhitung sekitar 87,9% barang ekspornya. Bangladesh (4,6%) dan Philipina (2%) ialah mitra ekspor terpentingnya setelah India. Karena perbatasannya dengan Tibet ditutup, perdagangan antara Bhutan dan RRC hampir tiada. Mitra impor Bhutan adalah India (71,3%), Jepang (7,8%) dan Austria (3%).

Dalam menanggapai tudingan pada 1987 oleh seorang wartawan dari Financial Times (Britania Raya) bahwa perkembangan di Bhutan lambat, sang Raja berkata bahwa "Kebahagiaan Nasional Bruto lebih penting daripada Produk Domestik Bruto." [4] Pernyataan ini memberi pertanda penemuan terkini oleh para psikolog ekonomi Barat, termasuk penerima Nobel 2002 Daniel Kahneman, yang mempertanyakan hubungan antara tingkat pendapatan dan kebahagiaan. Itu menandai komitmennya untuk membangun ekonomi yang cocok buat budaya Bhutan yang unik, berdasarkan pada nilai-nilai spiritual agama Buddha, dan telah berlaku sebagai visi persatuan untuk ekonomi. Di samping itu, nampaknya kebijakan itu mendapat hasil yang diharapkan seperti dalam survei terkini yang diatur oleh Universitas Leicester [1] di Britania Raya, Bhutan diurutkan sebagai tempat paling bahagia ke-8 di bumi [2].

+GRP dah meluncur...thanks ya bro....

tapi ga ada referensi suttanya ya....gpp deh....bantuannya udah amat berarti sekali. sorry sy tinggal dulu mo berangkat ke kampus. nanti siang setelah pulang saya sambung lagi. thanks bro.

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #4 on: 07 June 2011, 08:42:13 AM »
Kalau saya lihat, negara Buddhist yang maju ekonominya itu Thailand tapi perkembangan hal tersebut juga disertai dampak negatif seperti munculnya gaya hidup materialistis, menjamurnya tempat prostitusi, waria dimana-mana, dll. Jadinya agak bingung juga apakah Thai bisa disebut negara Buddhist yang ideal atau tidak  :-?

Kalo yang ideal banget sih sebenarnya di Srilanka. Kehidupan sederhana, mall belum menjamur, banyak hutan yang masih dipelihara, lingkungan yang cocok untuk para bhikku berlatih.  :)

Kalo Myanmar sebenarnya juga OK, banyak guru besarnya. Tapi sayang masih dipimpin oleh Junta  :|


thanks bro....+GRP dah meluncur...

mana nih suttanya...? hehehe....gpp deh...

sorry ya, ntar siang sy sambung lagi....

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #5 on: 07 June 2011, 08:54:56 AM »
Setahu saya (cmiiw) berdasarkan konstitusinya Thailand bukan negara Buddhis meskipun mayoritas masyarakatnya adalah Buddhis.

Mungkin perlu penegasan Samaneri mengenai negara Buddhis yang dimaksud, apakah negara agama atau mayoritas penduduknya yang Buddhis.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #6 on: 07 June 2011, 09:09:22 AM »
saya berpendapat:

- perlu diselidiki sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat negara2 buddhis, kemudian dibandingkan..nanti dikaitkan dgn sutta apakah sesuai dgn JMB8.
- perlu diselidiki tingkat pendapatan perkapita masyarakat negara tersebut, yang nantinya dibandingkan dengan tingkat konsumerisme masayarakat negara tsb...nanti dikaitakn dgn bagiaman sang buddha mengajarkan untuk mengelolah harta..(yang berapa bagian disimpan, disumbang, dijadikan modal)
- dll
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #7 on: 07 June 2011, 10:59:22 AM »
Dhammapada syair 204 :

Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga. Kepercayaan adalah saudara yang paling baik. Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi.


BHUTAN: NEGARA TERBAHAGIA DI DUNIA (1)
 
Bhutan terletak di bawah pegunungan Himalaya, tanahnya tidak subur, hasil tambangnya tidak banyak dan pendapatan warganya tidak tinggi, akan tetapi ia termasuk salah satu negara terbahagia di dunia.

Kerajaan Bhutan yang terletak di bawah pegunungan Himalaya antara Tiongkok dan India, pada 1865 menjadi protektorat Inggris dan 1949 dialihkan kepada India.

Nama negara Bhutan dalam bahasa lokal ialah: Druk Yul, yang bermakna Tanah Naga Guruh, lagu kebangsaannya ialah Drukyle (Kerajaan Naga Guruh). Arti Bhutan dalam bahasa Sansekerta ialah “Dataran tinggi di sebelah Tibet”, agama Buddha aliran Tibet (Tantrayana) mempengaruhi kepercayaan dan gaya hidup rakyat setempat. 

Dalam hal ini bisa dicermati dari bendera kebangsaan Bhutan, yakni bendera nasional Bhutan terbagi oleh garis diagonal yang membentuk 2 segitiga dengan warna kuning emas dan merah jeruk serta pada garis diagonalnya terdapat seekor naga terbang putih.

Warna kuning emas melambangkan kekuasaan raja; warna merah jeruk adalah warna jubah Lama (biksu) Tibet yang melambangkan kekuatan spiritual agama Buddha; naga putih nan bersih melambangkan negara Bhutan ini, sedangkan mutiara putih digenggamannya melambangkan kewibawaan dan kesucian.

Selama ratusan tahun Bhutan tidak memiliki sistem sensus kependudukan yang lengkap, maka itu statistik kependudukan Bhutan tidak akurat, diperkirakan berpenduduk sekitar 700.000 hingga 1.500.000 orang; terutama didominasi suku Tibet dan suku Nepal.

Suku Tibet terutama menetap dan tersebar di bagian barat, kurang lebih 65% dari populasi keseluruhan. Suku Nepal tersebar di bagian selatan, sekitar 35%. Selain itu masih ada suku India.

Bhutan adalah negara agama yang seluruh warganya beragama ada sebanyak 75% warga menganut agama Budha Tantrayana aliran Tibet, sebanyak 25% menganut agama Hindu.

Agama Budha aliran Tibet (Tantrayana) mempengaruhi kepercayaan dan gaya hidup setempat.

Pengalaman kebahagiaan Bhutan

Bhutan disebut sebagai “Shangrilla di kaki gunung Himalaya” yang 97% rakyatnya menganggap diri mereka sangat berbahagia.

Bukannya kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari keyakinan dan konsep tahu-cukup.

Orang Bhutan beranggapan kemiskinan yang sesungguhnya adalah apabila tak mampu beramal kepada orang lain, mereka sudah sangat puas asalkan memiliki sawah dan rumah.

Dikarenakan mereka adalah umat Buddha, maka mereka tidak membunuh makhluk berjiwa, itulah sebabnya mereka mengimpor daging dari India. Namun demikian di atas meja makan jarang terlihat makanan jenis daging, melainkan makan sayur-sayuran atau produk dari susu sudah membuat mereka puas.

Pengalaman kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, sang mantan raja yang tidak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan sebuah negara yang berbahagia sebagai amanah jabatannya, dengan kesetaraan, kepedulian dan konsep ekologi menyulap Bhutan menjadi negara besar dalam hal kebahagiaan.

 
Pada 2005, Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, “Model Bhutan” ciptaannya, teori Gross National Happiness (GNH) yang  ia usulkan memperoleh perhatian seksama masyarakat internasional dan menjadi tema pelajaran ilmu ekonomi yang digandrungi para pakar dan institut penelitian sebagian negara seperti AS, Jepang dan lain-lain. Konsep “baru” dalam pandangan negara maju pada abad-21 ini, di Bhutan diam-diam telah dijalankan selama hampir 30 tahun lamanya.

Yang disebut “Model Bhutan” ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional diletakkan di atas perkembangan ekonomi, standar untuk pengukuran perkembangan ialah Gross National Happiness (GNH).   

Raja Wangchuk sangat memperhatikan pelestarian lingkungan hidup Bhutan, ia memberlakukan larangan merokok di seluruh negeri, melarang impor kantong plastik. Selain itu pemerintah menentukan, setiap orang setiap tahun minimal harus menanam 10 batang pohon.

Angka cakupan hutan belantara di Bhutan sebesar 72%  berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak 26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional.

Pada 2005 Bhutan memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme, UNEP).

Demi melindungi lingkungan hidup dan kebudayaan mereka, Bhutan rela “mengurangi profit” dan mempunyai pertambangan tapi tidak dibuka.

Orang Bhutan beranggapan, “Kehidupan yang benar-benar bernilai, bukannya hidup di tempat dimana dapat menikmati materi tingkat tinggi, melainkan memiliki taraf spiritual dan kebudayaan yang kaya.”

Di sebelah selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Bhutan.

Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan dalam tempo 4 tahun, mereka malah memilih waktu 12 tahun untuk menembus gunung sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan raksasa tentang kisah sang Buddha.     

Oleh karena tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa sebesar US$ 200 (sekitar Rp 2 juta), membatasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami pencemaran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.

Pada akhir 2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh negeri. Ini adalah pelarangan merokok total kali pertama di dunia, para warganya dilarang  menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.

Bhutan menerapkan aturan umum bahwasanya laki-perempuan harus mengenakan model busana nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai dan disebut Kira.

Penghasilan Bhutan terutama berasal dari hasil pertanian. Dewasa ini, setiap warga Bhutan diperbolehkan mengajukan permohonan tanah pertanian di desa kepada pihak pemerintah. Mereka membajaknya dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pupuk kimia.

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #8 on: 07 June 2011, 11:01:36 AM »
BHUTAN: NEGARA TERBAHAGIA DI DUNIA (2)

Raja berinisiatif menegakkan demokrasi

Sewaktu dinobatkan sebagai raja pada 1972, Jigme Singye Wangchuck IV yang kala itu berusia 17 tahun adalah raja tampan termuda di dunia.  Setelah ia naik tahta, ia mengubah Bhutan yang sangat miskin menjadi negara berbasiskan modernitas berskala permulaan, terdapat empat buah PLTA ukuran besar yang menjamin pasokan aliran listrik, bersamaan dengan itu masih bisa mengekspor 71% nya ke India, dan menjadi sumber pemasukan terbesar Bhutan. Warganya menikmati pendidikan dan pengobatan gratis.   

Raja mengabaikan tentangan massa, telah membuka diri bagi pasar saluran TV satelit dan internet, telah membuka bagi orang Bhutan jendela untuk memahami dunia, 33 stasiun luar negeri bisa diakses dari negeri itu.

Ketika berusia 50 tahun (2005), ia memilih mengundurkan diri pada 2008, demi memberikan kepada rakyatnya sebuah “jaminan pemerintahan demokratis masa depan yang tentram dan makmur”. Rakyat merasa terkejut dan tak berdaya, rakyat menolak dan berharap sang raja melanjutkan tahtanya.

“Untuk melaksanakan demokrasi, raja Jigme Singye Wangchuck IV dan putranya Jigme Khesar Namgyel Wangchuck V yang naik tahta pada 9 Desember 2006 menjelajahi setiap dusun di Bhutan, menjelaskan kepada seluruh rakyat keniscayaan sistem demokrasi bagi masa depan Bhutan dan pentingnya, banyak orang mengurus negara lebih masuk akal daripada satu orang.”   

Mantan raja itu menjelaskan, ia bisa saja berupaya terus menjadi raja yang mencintai rakyatnya, tetapi ia tak mampu menjamin bahwa Bhutan setiap kali akan memiliki raja yang baik, demi kebahagiaan jangka panjang rakyat Bhutan, itulah mengapa harus melaksanakan demokrasi.

Sejak saat itu, meski raja masih bertugas sebagai pimpinan tertinggi Bhutan, tetapi kongres memiliki kekuasaan melakukan impeachment (meminta pertanggungjawaban) terhadap raja, asalkan voting melebihi 2/3, maka raja harus turun panggung. 

Tatkala sebelum ada TV, perwakilan Bhutan di PBB mempunyai sebuah tugas istimewa yakni secara berkala mengirimkan video pertandingan Liga Bola Basket AS guna didalami tekniknya oleh raja. Karena mantan raja adalah seorang penggemar berat bola basket. 

 Atraksi wisata Bhutan

Setiap tahun pada Maret hingga November adalah musim pariwisata Bhutan, terutama awal musim semi Bhutan pemandangannya teramat indah, tetapi demi melindungi sumber daya lingkungan hidup, jumlah pelancong tetap dibatasi.

Oleh karena Bhutan belum secara total membuka diri untuk pariwisata, maka jumlah kota pariwisata dengan atraksinya tidak banyak. Sebagai lokasi wisata utama ada di lembah sungai pegunungan Himalaya di wilayah tengah, pasar minggu ibu kota Thimphu yang sering dikunjungi wisatawan, setiap hari Minggu selalu dipadati pengunjung.   

Di tempat itu selain dijual barang keperluan sehari-hari dan benda yang bercirikan lokal, juga terdapat benda kesenian rakyat seperti buku kuno dan barang antik, selalu saja menyedot banyak sorotan mata dan dana wisatawan.

Juga terdapat pemandangan yang wajib dikunjungi wisatawan seperti: bangunan bercorak Dzongpa, perpustakaan negara (tampak luarnya mirip kuil Lama), istana sungai Wang Chu dan kompleks stupa Sarira Maha Guru Padmasambhava. 

Tashicho Dzong (大西丘宗), kuil Lama (biksu) tertua dari abad ke-13 sebagai pusat politik dan ekonomi penting, juga merangkap sebagai parlemen Bhutan. Dewasa ini di dalam kuil itu masih tinggal sejumlah 1.500 hingga 2.000 orang Lama. Politik-ekonomi dan agama di Bhutan senantiasa eksis dengan damai pada sebuah gedung yang sama.

Bangunan klasik itu dipergunakan sebagai kantor kerja sang raja beserta para pejabat tingginya, bersamaan juga sebagai lokasi aktivitas politik dan ekonomi pemerintah setempat. (Catatan: pusat politik-ekonomi di berbagai lokasi di Bhutan disebut Zhong (宗))

Paro Dzong yang terletak di kota Paro didirikan di atas Walled City dengan ketinggian 2.000 meter DPL (Di atas Permukaan Laut), bekas gedung kongres lama, pernah pula sebagai benteng yang kokoh tak bisa dibobol. Paro adalah kota terbesar ke dua di Bhutan, disebut sebagai kampung halaman sang Naga Guntur, satu-satunya bandara di Bhutan, penduduknya sekitar 6.000 orang. 

Dongay Dzong adalah kuil kuno yang didirikan pada abad 17 di atas tebing terjal setinggi 900 meter, goa harimau tempat Maha Guru Padmasambhava berkultivasi, juga sebagai lokasi latar belakang pengambilan film Budha-Hidup Cilik, masih bisa disaksikan bekas kebakaran pada 1951. 

Kuil Goa Harimau (Taktshang Goemba) adalah kompleks kuil Budha paling disucikan di seluruh Bhutan. Menurut catatan kitab/buku kuno, tatkala pada abad ke-8, Maha Guru Padmasambhava menunggang seekor harimau-terbang dari Tibet tiba di tempat tersebut untuk menaklukkan siluman iblis, dan pernah berkultivasi di tempat itu selama 3 bulan.

Sebuah menara pengamatan yang pada mulanya didirikan di atas gunung pada 1641 kemudian dinamakan Ta Dzong, tampak luarnya bagaikan sebuah benteng silindris. Kini telah diubah menjadi museum sejarah.

Tarian topeng Bhutan adalah pertunjukan kesenian ternama di seluruh dunia, ia adalah tarian bermakna ajaran keagamaan.

Selain itu, pabrik kertas Bhutan masih mewarisi teknik zaman nenek moyang, selain memberitahu kepada para wisatawan semacam teknik pembuatan kertas yang tanpa mencemari lingkungan, juga ia sendiri mewujudkan suatu spiritualitas. Bertindak selaras dengan hukum alam selain tidak bakal mencemari lingkungan, orang-orang masih bisa hidup dengan gembira di bawah naungan alam.   

Sebetulnya konseplah yang menggerakkan perasaan manusia, bukan materi yang terlihat di permukaan. Sejak zaman kuno hingga kini dalam berbagai macam lingkungan, perasaan manusia tetap sama.

Manusia beranggapan mengejar kesuksesan ekonomi barulah sumber muasal kebahagiaan total, akan tetapi negara bahagia Bhutan menunjukkan kepada kita, sesungguhnya bukanlah demikian.


tambahan...

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #9 on: 07 June 2011, 11:06:11 AM »
Tambahan


Banyak orang terbiasa beranggapan, "Asalkan saya punya uang, maka saya akan bergembira." Ada lagi yang mengatakan, "Asalkan saya dapat memperoleh jabatan lebih baik, maka saya akan bergembira." Dan lebih banyak orang lagi keliru mengidentikkan kebahagiaan dengan harta benda.

Pada kenyataannya, orang miskin takut tidak memperolehnya dan orang kaya takut kehilangan hal tersebut, namun kebahagiaan yang abadi tak bakal berasal dari kondisi materi yang kasat mata.

Pada 2007, University of Leicester, Inggris menunjukkan, di dalam hasil survei "Atlas Kebahagiaan Dunia" yang meliputi 178 negara. Bhutan yang memperoleh posisi nomor 8 telah menyedot perhatian para pakar dan ilmuwan.

Sesungguhnya negara kecil dengan lahan pertanian tidak subur, dengan pendapatan rata-rata yang rendah, bagaimana caranya memperoleh quotient  kebahagiaan sedemikian tinggi?

Maka sejumlah wartawan berbagai negara berdatangan melakukan survei dengan harapan bisa memperoleh resep kebahagiaan. Namun mereka terkejut dengan ditemukan, resep kebahagiaan orang Bhutan, faktor terbesar berasal dari "rasa puas". Sebanyak 97% rakyat Bhutan merasa bergembira sehingga puas terhadap kehidupannya sendiri.

Namun, di balik kejadian menakjubkan ini, juga terdapat tokoh krusial yakni mantan raja Jigme Wangchuck yang belum lama ini pensiun.

Ia pemimpin pemerintahan pertama (di dunia) yang mengajukan prinsip, "Dengan kegembiraan mendirikan negara." Ia memimpin rakyatnya meraih kesetaraan, kehormatan, dan mencintai warisan kebudayaan serta respek terhadap alam semesta, itulah faktor-faktor terpenting keberhasilan Bhutan yang legendaris.

KERAJAAN BHUTAN

Kota Punakha tempat kantor pemerintahan Distrik Punakha, tinggi dari permukaan laut 1310 meter, terletak di tempat pertemuan Sungai Po dan Mo.
 
Sebanyak 97% masyarakat Bhutan merasa dirinya bahagia. Kebahagian ini bukan berasal dari pemuasan hasrat materi, melainkan dari keyakinan dan kesadaran merasa puas dengan nasib mereka.

Orang Bhutan beranggapan bahwa kemiskinan yang sesungguhnya adalah sama sekali tidak berdaya untuk beramal ( kerelaan memberi ) kepada orang lain. Asalkan memiliki ladang dan rumah mereka sudah sangat puas.

Mayoritas penduduk Bhutan menganut agama Buddha, mereka tidak membunuh, oleh karena itu daging diimpor dari India. Di atas meja makan jarang ditemukan lauk dari daging, namun mereka menyantap sayuran dan produk susu yang membuat mereka semua merasa puas. 

Menjadi manusia yang tahu akan kepuasan, tidak menuntut secara berlebihan, suasana hati dengan sendirinya akan selalu merasa gembira, hal ini disebut “tahu merasa puas akan selalu bergembira, keserakahan membuat susah hati.”

Bhutan memiliki banyak julukan, karena di dalam wilayahnya terdapat banyak pegunungan salju, ada yang menyebutnya sebagai “Swiss di negeri timur”; karena pemandangannya indah bagaikan taman sentosa dalam khayalan, maka mendapat julukan “Shangri-La yang sesungguhnya”; masyarakat lokal justru berkeyakinan bahwa wilayahnya berlembah sungai yang berkelok-kelok, suara guntur bergelegar dan kaya air hujan, menurut cerita karena negara ini merupakan “Negeri Naga Guntur” yang dilindungi para Dewa dan Buddha.

Untuk memelihara sumber daya alam lingkungannya, mereka membatasi jumlah orang bertamasya. Karena Bhutan belum mencabut pembatasan ini, maka kota dan lokasi tamasya tidak banyak, lembah sungai pegunungan Himalaya di wilayah tengah merupakan lokasi wisata utama.

Kesadaran masyarakat Bhutan untuk memelihara lingkungan sangatlah kuat, setiap orang setiap tahun setidaknya akan menanam 10 batang pohon, merupakan salah satu negara di dunia yang jarang ada yang memelihara ekologi alam lingkungannya dengan baik. Di seluruh negeri Bhutan hanya memiliki sebuah Bandar udara, tidak memiliki kereta api, hutan perawan mencakup 72%, menduduki urutan nomor satu di Asia, 26% lahan seluruh negeri adalah taman negara.

Puncak Qomolangma, yang berarti puncak Dewi, juga disebut Puncak Everest, sepanjang tahun tertutup salju. Tingginya 8844,43 meter, merupakan puncak gunung yang tertinggi di dunia. 
 
Jenis pepohonan di hutan Bhutan sangat banyak, mutunya tinggi, bahan kayu yang tersimpan kira-kira 670 juta meter kubik, tidak terjadi penebangan liar, mereka mengeksploitasi hutan dengan memenuhi kelayakan secara ilmiah. Untuk memelihara lingkungan dan kebudayaan, mereka rela “kurang mendapat keuntungan”, meskipun memiliki sumber daya alam namun tidak dieksploitasi.

Semoga Bermanfaat




Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #10 on: 07 June 2011, 11:18:42 AM »
Kalau mau berani jujur, tidak ada Negara Buddhis yang maju* dan kaya*. Thailand tergolong maju di Asia Tenggara; namun belum cukup spektakuler di kancah internasional, pun hanya sebuah negara dengan mayoritas umat Buddha (Bukan Negara Buddhis). Taiwan cukup maju, namun juga bukan Negara Buddhis. Korea Selatan, Jepang dan China sangat maju dan kaya, namun lagi-lagi bukan Negara Buddhis. Khususnya di Jepang dan China, meski negara-negara ini seolah identik dengan banyaknya umat Buddha; namun justru umat Buddha hanya menjadi kaum minoritas di sana.

Negara-negara Buddhis seperti Tibet, Bhutan, Sri Lanka, dsb. bisa dikatakan sebagai negara yang belum maju dan tidak kaya.

Spoiler: ShowHide
*Maju dalam arti semua sumber daya negaranya modern dan berkembang, dan kaya dalam arti memiliki perekonomian yang bagus.

Link menarik
« Last Edit: 07 June 2011, 11:25:12 AM by upasaka »

Offline bluppy

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.163
  • Reputasi: 65
  • Gender: Female
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #11 on: 07 June 2011, 12:31:57 PM »
kalau maju dan kaya dalam hal spiritualitas?

kayanya bhutan contoh yg ok banget tuh
sempat menggemparkan dunia
setelah terpiliih menjadi negara paling bahagia di seluruh dunia
memang tidak maju dan kaya dalam hal materi
tapi menurut saya cara hidup nya
seperti "dhamma hidup yg dipraktekan sehari-hari"


Sebanyak 97% masyarakat Bhutan merasa dirinya bahagia. Kebahagian ini bukan berasal dari pemuasan hasrat materi, melainkan dari keyakinan dan kesadaran merasa puas dengan nasib mereka.


Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #12 on: 07 June 2011, 03:52:25 PM »
Sedikit referensi samaneri, semoga membantu  _/\_

Spoiler: ShowHide
Buddhism In Singapore

Editor : The following is the text of the speech delivered by the Deputy Prime Minister, Lee Hsien Loong at the Opening Ceremony of the 7th World Buddhist Sangha Council Extraordinary General Meeting held on 24 Nov at Swissotel The Stamford.

Buddhism is gaining wide appeal across the globe. The large international membership of the World Buddhist Sangha Council is clear evidence. There are a growing number of internet sites that offer information about Buddhism. Many companies produce music, videos, and multi-media educational material on Buddhism. Buddhism has even influenced pop culture and permeated into the psyche of the masses. In Singapore too, Buddhism has not only retained its relevance, but is gaining popularly. Between 1990 and 2000, the percentage of Singaporeans above 15 years old who are Buddhists increased from 31% to 43%, the largest increase amongst all major religions. Dharma talks in Singapore are now also conducted in English, to reach out to young Singaporeans, including professionals. Devotees today do not just visit the temples to pray. They are eager to delve deeper into the Buddhist scriptures and reflect upon their philosophical and spiritual significance.

The rise in popularity of Buddhism is part of a global revival of religious consciousness. This is a natural human response to the tumultuous times that we are living through. Globalisation brings greater economic opportunities, especially to a small economy like Singapore. But it is also fundamentally reshaping the world that we are living in, generating unpredictable and disorienting changes, and creating apprehension, uncertainty and discontent. Religions help people cope with such uncertainties, and provide them a moral and spiritual anchor during disruptive times. While religion provides certainty and reassurance, we live in a diverse world, in which people belong to different religions and hold conflicting beliefs. With globalisation, it becomes even more important to live with this diversity, and respect the faiths of others. Singapore is itself an outcome of globalisation. We are situated at a major junction for trade, which explains why major ethnic groups and religions are present and living side by side in Singapore. Tolerance and harmony are therefore fundamental principles of our society. We must harness the common principles of all religions, which are to uphold universal values of peace, harmony, goodness and tolerance. Buddhism itself is above all a religion of tolerance and peace. Since its founding more than two thousand years ago, no country has gone to war in the name of Buddhism.

Those principles need to be emphasised now more than at any other time in recent history. There are of course people who exploit the name of religion to commit crimes and atrocities. But religious leaders should take a clear stand to disavow and condemn such extremists, as they have done. We must show beyond doubt that these extremists and their atrocities are against the teachings of all reputable religions. While the common values and principles of different religions can be a unifying strength for a multi-racial society like Singapore, we also need to make a conscious effort to respect the sensitivities and needs of each religion, to compromise with and accommodate one another. So in Singapore, every school canteen serves both Muslim and non-Muslim food. Taoists refrain from burning enormous joss-sticks during seventh moon dinners; and mosques lower the volume of the azan - the Muslim call to prayer, replacing it with radio broadcasts. We are developing a Code on Religious Harmony, which will guide social interaction in a multi-religious society, and reaffirm the values and principles that have helped maintain religious harmony over the years. I hope that religious organisations in Singapore will further pursue inter-religious group collaboration. For example, the Federation could explore teaming up with another non-Buddhist group to jointly run some social services. Such collaboration can be a useful way to improve understanding and trust.

A second challenge of globalisation is wider social disparity. We cannot hold back enterprising and capable people who seize global opportunities to create wealth and generate jobs for others. But as these people surge ahead, many others who are less capable or lucky will be left behind. As the social divide widens, we risk creating dangerous fault-lines within society. To bridge this gap, successful individuals must show that they care for and will commit themselves to improve the lives of the less successful. We must promote philanthropy to help the needy and make them feel valued as equal members of society. Religious institutions are an effective channel to bring together those who can help, and those who need help. In this respect, the leaders of the Buddhist community in Singapore have shown much wisdom and social consciousness, putting into practice the imperative of compassion. In particular, I would like to commend two initiatives by the Singapore Buddhist Federation. First, the Federation has run the Singapore Buddhist Free Clinic for over 33 years, treating more than 12 million patients. There are now six branches spread across the island, serving mainly lower income Singaporeans. Another social service by the Singapore Buddhist Federation is Ren Ci Hospital. It is a community hospital for the chronic sick, and caters to patients of all races and religions. These facilities would not be sustainable without the contributions from donors and well-wishers.

This is the first time that the Singapore Buddhist Federation is hosting an event of this size, bringing together so many delegates from around the world. The theme of this year's conference is how Buddhists can contribute to community service, education and social affairs. The topic reflects the positive contribution that religion and religious values bring to society. It is a timely forum, in the light of global developments.

Sumber:
http://www.4ui.com/eart/165eart2.htm

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #13 on: 07 June 2011, 05:21:51 PM »
IMO,
sesuai judul, tidak ada.
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline wang ai lie

  • Sebelumnya: anggia.gunawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.204
  • Reputasi: 72
  • Gender: Male
  • Terpujilah Sang Bhagava,Guru para Dewa dan Manusia
Re: Dimanakah Negara Buddhist yang Maju dan Kaya ?
« Reply #14 on: 07 June 2011, 05:47:05 PM »
Quote
VIVAnews - Kekuatan ekonomi suatu negara biasanya diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB). Menilik angka itu, Amerika Serikat masih menduduki posisi tertinggi sebagai negara kaya melampaui China dan Jepang, Agustus silam.

Namun, PDB tidak mampu menunjukkan kekayaan negara yang sesungguhnya karena bisa jadi uang itu hanya terkonsentrasi di sejumlah pengusaha, bukan pemerintah. Itulah mengapa nilai Pendapatan Nasional Bruto (PNB) menjadi penting untuk mengukur kekayaan suatu negara.

Berikut 10 negara dengan PNB tertinggi per kapita, berdasar data terbaru Bank Dunia, seperti dikutip dari laman Daily Finance:

1. Luxemburg
PNB per kapita: $58,810
Tingkat buta huruf: 1%
Tingkat pengangguran: 4,8%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 3,7%

Merupakan daratan kecil yang berbatasan dengan Prancis, Jerman, dan Belgia. Diapit sejumlah negara besar, negara ini tumbuh menjadi salah satu pusat bisnis utama di Benua Eropa. Dalam tiga tahun ke depan, negara ini berencana menyediakan layanan bandwidth dengan kapasitas supertinggi untuk mendorong pengembangan ekonomi digital yang canggih.

2. Norwegia
PNB per kapita: $55,190
Tingkat buta huruf: 0%
Tingkat pengangguran: 1,7%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 6,7%

Merupakan negara superkaya yang mendapat keuntungan besar dari ekspor minyak bumi pada 1970-an. Pendapatan utama negara ini berasal dari sektor minyak dan gas, juga teknologi dan komunikasi. Saking kayanya, negara ini mampu mendanai berbagai program sosial dan pendidikan tanpa membebani pajak. Tak heran jika tak ada warga buta huruf di sana. 

3. Kuwait
PNB per kapita: $53,390
Tingkat buta huruf: 6%
Tingkat pengangguran: 1,3%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 3,8%

Negara kecil di Timur Tengah ini memiliki 9 persen dari cadangan minyak dunia. Tidak seperti negara penghasil minyak di sekitarnya, negara ini cukup stabil secara politik. Dibanding dengan negara Teluk lainnya, tingkat pendidikan di Kuwait cukup baik. Daya serap tenaga kerja mencapai lebih 98 persen, baik di bidang perminyakan atau ekspor semen dan bata.

4. Macau
PNB per kapita: $52,410
Tingkat buta huruf: 7%
Tingkat pengangguran: 3%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 2,2%

Daerah administrasi khusus di daratan China ini mendapat banyak pemasukan dari ekspor tekstil dan aneka produk manufaktur. Negara ini juga sangat terkenal sebagai salah satu destinasi perjudian dunia yang cukup masyur. Bahkan pada 2006, pendapatan dari sektor judi melebihi Las Vegas. Mayoritas warga memanfaatkannya sebagai ladang bisnis dengan membuka kasino, hotel, dan pembangunan resor untuk menarik wisatawan mancanegara.

5. Brunei
PNB per kapita: $50,920
Tingkat buta huruf: 5%
Tingkat pengangguran: 3,7%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 3,7%

Seperti Norwegia dan Kuwait, sumber utama pendapatan pemerintah adalah dari industri minyak. Sebanyak 60 persen warganya bergantung hidup di sektor itu. Kemapanan finansial membuat pemerintah sanggup memberikan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Sekadar catatan, Sultan Brunei bahkan pernah menjadi orang terkaya di dunia. Namun belakangan, ada kekhawatiran, menipisnya cadangan minyak mentah akan menjatuhkan standar hidup negara itu.

6. Singapura
PNB per kapita: $50,780
Tingkat buta huruf: 5%
Tingkat pengangguran: 3,95%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 2,2%

Singapura mempromosikan diri sebagai pelabuhan yang ramah bagi perdagangan internasional. Pemerintah setempat sangat ketat mengontrol perekonomian rakyat melalui kemajuan bidang industri elektronik dan farmasi. Selain mengedepankan kesejahteraan umum dan jasa publik, pemerintah sangat peduli terhadap tingkat pendidikan masyarakatnya.

7. Amerika Serikat
PNB per kapita: $46,760
Tingkat buta huruf: 1%
Tingkat pengangguran: 9,6%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 5,6%

Jumlah penduduk dan kondisi geografis membuat negara adidaya ini tak muncul sebagai negara paling kaya di dunia. Bahkan angka pengangguran dua kali Luxemburg. Negara ini mengedepankan perekonomi kapitalis yang tak terlalu memprioritaskan program sosial. Namun, negara ini tak ragu menghabiskan anggaran besar untuk pendidikan. Meski tergolong maju, kesenjangan sosial-ekonomi di negara ini cukup kentara.

8. Hong Kong
PNB per kapita: $44,090
Tingkat buta huruf: 3,4%
Tingkat pengangguran: 3,6%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 3,3%

Ekonomi negara ini sangat bergantung pada re-ekspor sejumlah produk. Hong Kong mendapat keuntungan dari transisi ekonomi eksportir industri ke pusat perbankan internasional. Pemerintah Hong Kong pro perdagangan bebas. Negara ini memprioritaskan anggarannya untuk kesejahteraan publik dan pendidikan warganya.

9. Swiss
PNB per kapita: $43,440
Tingkat buta huruf: 1%
Tingkat pengangguran: 4%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 5,3%

Masyarakat Swiss mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah yang sangat ramah bisnis. Ini membuat Swiss menjadi pusat investasi dan perbankan internasional. Kebijakan pajak yang sangat ringan juga membuat Swiss tumbuh bak surga bagi para pengusaha kaya dunia untuk menghamburkan uangnya. Sektor jasa makmur telah berkembang untuk memenuhi tuntutan kelompok tersebut. Negara ini juga mendapat keuntungan besar dari ekspor mesin industri dan bahan kimia.

10. Belanda
PNB per kapita: $40,940
Tingkat buta huruf: 1%
Tingkat pengangguran: 3%
Anggaran belanja pendidikan per PDB: 5,5%

Pemerintah Belanda memainkan peran aktif dalam mempertahankan standar hidup tinggi bagi warganya. Belanda adalah model kebijakan ekonomi sosial liberal dan laissez-faire. Belanda memiliki ekonomi pasar bebas, yang didukung kekuatan pasar penyulingan minyak bumi dan industri mesin listrik. Kebijakan sosial liberal juga mendatangkan keuntungan melalui sektor obat-obatan terlarang dan wisata seks.http://bisnis.vivanews.com/news/read/189772-10-negara-terkaya-di-dunia     http://bisnis.vivanews.com/news/read/189774-10-negara-terkaya-di-dunia--ii-
10 negara diatas adalah negara terkaya di dunia lalu yang manakah penduduknya yang mayoritas agama buddhis  , mungkin bisa sedikit membantu sis
« Last Edit: 07 June 2011, 05:49:28 PM by wang ai lie »
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

 

anything