Sebagian besar (bahkan mungkin semua) dari kita tentu mengetahui Kotbah Pertama yang disampaikan Buddha, yaitu Dhammacakka-ppavattana Sutta. Tapi masih ingatkah kita sutta kedua?
For ENGLISH please visit DISCOURSES OF THE BUDDHA and kindly scroll down until SECOND SUTTA
Pada saat bulan purnama di bulan Asadha, setelah Buddha membabarkan kotbahnya yang pertama, salah seorang dari lima petapa bekas muridNya yaitu Kondanna, mencapai tahap Sotapanna-phala. Dengan gembira Buddha mengatakan, "Annasi vata bho Kondanna! Annasi vata bho Kondanna!" (Kondanna sungguh telah melihat, Kondanna sungguh telah melihat). Sejak saat itu Kondanna terkenal sebagai Anna Kondanna.
Bagaimana dengan empat bekas muridNya yang lain?
Vappa mencapai Sotapanna-phala keesokan harinya. Bhaddiya pada hari berikutnya (hari kedua setelah bulan purnama). Mahanama pada hari ketiga setelah purnama, dan Assaji pada hari keempat.
Mereka semua mencapai tataran Sotapanna-phala.
Pada hari ke lima setelah bulan purnama Asadha, barulah Buddha menyampaikan kotbah tentang anatta. Kotbah tersebut diberi nama Anattalakkhana-Sutta. Setelah mendengarkan kotbah ini, barulah ke lima bhikkhu itu mencapai tataran Arahat.
Jadi kotbah ke dua ini sebenarnya amat penting.
Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut: (sumber
http://www.samaggi-phala.or.id)
Rupa (badan jasmani), Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh).
Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.'
Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.'
Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin sebagai lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:
"Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?"
"Mereka tidak kekal, Bhante."
"Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?"
"Di sana terdapat penderitaan, Bhante."
"Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah 'milikku', 'aku' dan 'diriku'?"
"Tidak tepat, Bhante."
Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut:
Karena kenyataannya memang demikian, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kchidupan/Kegemaran) semata-mata.
Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah milikmu atau kamu ataudirimu.
Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, akan melihatnya dengan jelas dari segi itu, dan akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.
Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.