Malam itu Pangeran Siddharta merasa gelisah. Berbagai fenomena penderitaan yang baru disaksikan di balik tembok istana mengusik nuraninya dan membuat hatinya terguncang.
Ia bergulat dengan pikirannya, “Mengapa penderitaan itu harus terjadi”. Muara kehidupan haruslah kebahagiaan, bukan penderitaan. Kebahagiaan akan terwujud manakala tak ada lagi ketakutan akan usia tua, sakit, kematian. Tak ada lagi air mata, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.
Akhirnya Pangeran Siddharta mengambil keputusan radikal. Kalau banyak orang menjadi pemimpin dengan mencari istana, Pangeran Siddharta justru meninggalkan istana. Kalau orang berjuang keras untuk menjadi kaya, Pangeran Siddharta dengan penuh kesadaran meninggalkan gemerlap kehidupan istana untuk hidup sederhana, sebagaimana layaknya rakyat biasa.
Ia rela melepas gelar kebangsawanan, kemewahan, kenikmatan hidup dunia, bahkan keluarga yang dicintainya. Pelepasan agung ini tak pernah bisa dicari analoginya dalam kenyataan sekuler.
Berpuluh tahun lalu, para pejuang kemerdekaan dengan tekad bulat, mengusir penjajah yang menjarah kekayaan alam dan mencabik-cabik harga dirinya dan saudara sebangsa. Mereka mengorbankan segalanya; harta, kehormatan, bahkan nyawa. Mereka adalah pahlawan.
Kekuatan ketulusan
Komitmen dan sikap Pangeran Siddharta serta para pahlawan pejuang untuk mengatasi penderitaan dan memerdekakan manusia adalah wujud semangat solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Mereka disatukan oleh kesederajatan, senasib, sepenanggungan sebagai makhluk yang sama-sama tercecer dan tersingkir ke pinggir-pinggir kehidupan.
Di atas semua itu, tak ada misi sedikitpun yang terselip dalam benak Pangeran Siddharta untuk mendirikan agama; pun tak ada secuil kepentingan untuk mencari pengikut. Pengorbanan dan perjuangan tanpa pamrih Sang Pangeran dan para pahlawan pejuang untuk mencari jalan pembebasan itu yang terus menggugah kita. Mereka dikenang karena ketulusan hatinya. Mereka akan tetap hidup dalam semangat luhur untuk menolong sesama; peduli pada pergumulan kehidupan.
Kekuatan ketulusan membuat para pejuang kehidupan tak pernah menyesali setiap pengorbanan yang telah dilakukan. Mereka meyakini apa yang dilakukan; bahwa melakukan kebajikan akan berbuah kebahagiaan. Sementara orang yang tidak tulus akan lebih banyak gelisah dan khawatir, bahkan tak jarang kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Dalam Anggutara Nikaya V, 2 Buddha Gotama menyatakan, “Seseorang yang sungguh-sungguh (tulus) dalam kebajikan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku terbebas dari penyesalan; karena seseorang yang bajik dengan sendirinya akan terbebas dari penyesalan. Dan bagi seseorang yang terbebas dari penyesalan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku berbahagia; karena orang yang terbebas dari penyesalan dengan sendirinya akan berbahagia”.
Tanpa pemilik kebajikan
Menurut Buddha Gotama, kita harus menghancurkan egoisme pribadi untuk menghentikan penderitaan secara total. Namun, sikap tanpa keakuan itu tidak dapat dimiliki hanya karena mengerti, keakuan adalah ilusi. Keakuan juga tidak akan lenyap karena telah memahami, keakuan menjadi sumber penderitaan.
Pengertian “tanpa aku” dan “tanpa diri” hanya kunci untuk membuka pintu kebenaran dan kebebasan, tetapi kebenaran tidak terletak pada kunci.
Pengertian bahwa keakuan hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran sendiri dan bermuara pada kehancuran pribadi maupun masyarakat merupakan pengertian yang harus menjadi wawasan kita. Namun, pengertian “tanpa aku” itu harus terwujud dalam setiap perilaku kita.
Perilaku bajik yang dilakukan dengan penuh kesadaran (sati) itulah ketulusan sebenarnya. Kesadaran penuh tidak memberi peluang pada hadirnya pemikiran keakuan, baik keakuan sebagai pribadi yang telah berbuat baik, apalagi keakuan yang amat kasar, seperti kehausan akan pahala, keuntungan materi maupun ketenaran.
Kedamaian sejati akan tumbuh manakala kita mempraktikkan ketulusan altruistik yang sadar dilakukan dalam setiap tindakan. Ini berarti “aku” yang melakukan perjuangan dan pengorbanan tidak teridentifikasi. Tidak ada “aku” utuh yang melakukan perjuangan dan pengorbanan karena tidak ada “aku” yang berdiri sendiri tanpa ada kondisi-kondisi lain.
Betapa berharganya kesadaran akan hal ini karena gagasan “milikku, perjuanganku, pengorbananku”, lagi-lagi hanya akan menyuburkan ketamakan dan penderitaan mental yang tak berkesudahan. Gagasan tentang “aku” hanya akan membunuh perkembangan spiritual kita.
Pikiran sulit dikendalikan
Secara alamiah, pikiran yang tidak terlatih akan amat sulit dikendalikan. Pikiran itu merayu orang untuk menjadikannya sebagai makhluk yang diperbudak indera. Pikiran yang tidak terlatih itu menggoda manusia yang telah melakukan kebaikan menjadi sombong dan memamerkan kebaikannya, keilmuannya, hartanya, kedudukannya, pengalamannya, kekuatannya, dan aneka topeng duniawi lainnya yang dianggap dapat mengangkat citra dan pujian kepada dirinya. Demikianlah, khayalan dan emosi selalu menyesatkan manusia jika pikirannya tak pernah dilatih dengan benar.
Jadi, perbuatan baik saja tak cukup untuk mencapai kebebasan. Kebahagiaan tertinggi tak dapat dicapai tanpa memurnikan pikiran. Buddha Gotama mengajarkan, meditasi adalah pendekatan psikologis yang dapat dilakukan untuk melatih, mengembangkan, dan memurnikan pikiran.
Bangsa ini sudah terlalu lama jauh dari ketulusan; ketulusan yang membebaskan kita dari keserakahan, kebencian, dan berbagai ilusi yang selalu membakar mental.
Mari kita, mulai dari diri sendiri, melangkah kembali di jalan ketulusan. Berbuat baik dengan ketulusan hati, menganut agama dengan ketulusan beriman, memangku jabatan dengan ketulusan menunaikan kewajiban, memimpin dengan ketulusan mengabdi.
Selamat Trisuci Waisak 2551. Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan.
SRI PANNYAVARO
Bhikkhu, Kepala Vihara Mendut
Sumber: Harian Kompas, 2007
Biodata
Nama lahir: Husodo
Nama keagamaan: Pannyavaro
Nama lengkap (dengan gelar): Sri Pannyavaro Mahathera
Tempat dan tanggal lahir: Blora, 22 Juli 1954
Pendidikan akhir: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1972-1974)
Pentahbisan bhikkhu: 1977, Bangkok, Thailand
Gelar kehormatan: -Enam gelar dari Sangha (Pesamuhan Bhikkhu) Sri Lanka
-Satu gelar dari Raja Thailand Bhumibol Addulyadej/Rama IX.
Jabatan: - Kepala Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang
- Kepala Vihara Dhamma Sundara, Solo
Ia berbicara pelan, kadang bahkan sangat pelan. Suaranya halus. Kata-kata yang digunakan seperti dipilih secara ketat, membuat kalimat-kalimat yang keluar sebagai ucapan Sri Pannyavaro Mahathera (51) memiliki daya untuk menyapa nurani banyak orang. Suasananya hening dan teduh. Banyak peserta meneteskan air mata. Batuk-batuknya yang sangat mengganggu saat kami berbincang di Vihara Mendut, Magelang, sehari sebelumnya, hilang.
Peristiwa itu terjadi dalam penutupan Sidang Agung Gereja ka****k Indonesia (SAGKI) di Wisma Kinasih, Sukabumi, beberapa waktu lalu. Pannyavaro adalah pembicara terakhir—setelah beberapa tokoh agama lainnya—yang memberikan pemikirannya mengenai Habitus Baru.
Bagi Pannyavaro, Habitus Baru adalah ajakan bagi semua yang “nuraninya masih bisa berkata-kata”. Ajakan itu menjadi amat sulit dipahami bagi yang menganggap bahwa perilaku buruk bukan lagi hal buruk, bahkan bangga melakukannya.
Meski begitu, tak ada alasan untuk tidak optimistis. “Sekeras apa pun batu, tetesan air kesabaran, ketekunan, kasih sayang, kejujuran, dan kebijaksanaan akan membuat batu keburukan itu berlubang,” tuturnya. “Itulah kearifan Buddhis untuk kita semua,” ujar Kardinal J Darmoatmodjo.
“Melubangi batu keburukan” adalah pekerjaan besar, dimulai dari dalam diri dengan mengawasi gerak pikiran agar menuju kepada perilaku bajik. Dalam kebajikan, keserakahan dan kebencian tidak mendapat tempat.
Wawancara dengan Pannyavaro berikut ini mudah-mudahan dapat menjadi bagian dari perenungan ketika menapaki hari-hari di pengujung akhir tahun 2005.
Menurut Anda, apa tantangan terbesar saat ini sebagai individu, masyarakat, dan bangsa?
Yang menjadi keprihatinan kami, kalau semakin banyak saudara-saudara kita melakukan hal-hal yang tidak baik; mencuri, korupsi, memanfaatkan setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri, melakukan kekerasan atau perilaku-perilaku yang menurut keadaban bersama merupakan kekejaman, tetapi tidak merasa bersalah, bangga, bahkan bersikap seolah-olah seperti pahlawan. Yang lebih memprihatinkan, sikap mental seperti ini mudah menular kepada yang lain.
Sikap mental seperti itu, di dalam pandangan Buddhis, diumpamakan asawa atau racun, yang meracuni darah kita, pemikiran kita. Awalnya mengambil kecil-kecilan. Lama-lama menjadi kebiasaan. Mencuri, korupsi, dan tindak kekerasan lalu menjadi art.
Meskipun institusi-institusi baru dilahirkan, sistem diatur kembali dalam sinar keadilan, perundingan dilengkapi, tetapi kalau moral masih berorientasi pada kenikmatan indriawi, keserakahan akan menghancurkan segala harapan baik.
Mengapa itu terjadi?
Kenikmatan indriawi itu begitu pentingnya bagi setiap orang apalagi dengan berkembangnya teknologi. Perilaku buruk adalah kenikmatan yang membakar-bakar keinginan, membuat orang tak peduli cara mendapatkannya. Kalau saya tidak senang kepada Anda, saya hancurkan Anda, lalu saya merasa puas.
Kesenangan membakar kita menjadi serakah dan ketidaksenangan (kepada yang lain) menjadi kebencian. Keduanya menciptakan penderitaan pada diri sendiri dan orang lain.
Mengapa orang terjebak kenikmatan seperti itu?
Dunia saat ini didominasi oleh kebudayaan yang berpusat pada materi, karena itu cenderung membakar-bakar keinginan. Kecukupan materi, bukan hanya harta, tetapi terutama kedudukan, kekuasaan dijadikan parameter keberhasilan. Itulah paradigma dunia modern tentang sukses dan bahagia. Etos modernitas sekarang ini adalah etos kerakusan. Manusia modern sulit melihat dimensi internal sebagai faktor terpenting keberhasilan. Orang bisa menjadi sangat kejam karena tak bisa mengendalikan kebencian dan keserakahan.
bersambung...