//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Melawan Agama dengan Agama  (Read 3628 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sefung

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 189
  • Reputasi: 4
  • ajaran ini sangat sederhana tp sulit dipahami
Melawan Agama dengan Agama
« on: 28 February 2008, 07:12:18 AM »
Oleh Anick H.T.
11/06/2007

Kasus ini menunjukkan, ketika agama tak lagi tampil dengan wajah damai dan memanusiakan manusia, ia akan cenderung ditinggalkan pemeluknya. Ketika ia cenderung kaku dan tak berkompromi dengan konteks, ia akan kehilangan fungsi profetisnya. Ketika yang dominan muncul dari agama adalah institusinya, maka yang bicara adalah politik identitas, relasi kekuasaan.


14 Oktober 1956, Dr. Bhimarao Ambedkar, bapak konstitusi India, menyatakan diri keluar dari Hindu, agama yang melekat pada dirinya sejak lahir, dan memasuki gerbang agama baru, Buddha. Setelah melalui proses pencarian dan pengkajian yang panjang, hari itu ia sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak bisa berharap lagi dari agama yang dianggap telah menjeratnya itu.

Baginya, Hinduisme di India tidak bisa dilepaskan dari sistem kasta, dan sistem kasta itulah yang menjeratnya sebagai warga Dalit (warga yang dianggap setengah manusia, di bawah warga berkasta).

Baginya, ketika agama melanggengkan penindasan, ia tak bermakna lagi sebagai agama. Ketika suatu agama tak lagi membebaskan kemanusiaan, jawabannya adalah: tinggalkan agama itu. Secara simbolis, perpindahannya ke Buddha adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi ratusan tahun yang dialami kaumnya.

Tentu tak semua warga Hindu sepakat dengan Ambedkar. Sindiran Ambedkar terutama ditujukan pada sekelompok kaum fundamentalis Hindu yang mengembangkan semangat puritan yang disebut Hindutva. Spirit Hindutva ini pula yang dianggap ikut melanggengkan konflik antaragama di India. Spirit ini menegaskan penegasian terhadap orang dan agama lain (otherizing). Bagi mereka, India adalah Hindu, dan Hindu adalah India. Karena itu penganut agama lain harus diposisikan sebagai warga kelas dua.

Meski Hindutva tak tampak dominan di tingkat Hindu-kota dan warga India modern, namun gerakan ini sangat nyaring disuarakan dan ikut memengaruhi pelanggengan konflik dan diskriminasi di seantero India, terutama diskriminasi yang berbasis sistem kasta. Hasilnya, resistensi terhadap Hinduisme menjadi alat perlawanan kaum pinggiran. Dan bisa jadi kita akan terkesiap mendengar fakta yang baru terjadi beberapa hari lalu.

Memperingati 50 tahun konversi Ambedkar ke agama Buddha, lebih dari 50.000 orang berduyun-duyun mendatangi arena balap di Mumbai, Mahalaxmi, Minggu, 27 Mei lalu. Mereka menyelenggarakan upacara yang disebut Dhamma Deeksha. Mereka datang dari berbagai negara bagian di India untuk satu tujuan: menyatakan diri bukan bagian dari Hindu, lalu memeluk Buddha sebagai pilihan agama mereka.

Meski sebagian mereka juga tak mengaku beragama Hindu, tapi mereka merasa bahwa selama ini para pemimpin Hindu memperlakukan mereka sebagai bagian dari Hindu, dan karena itu penindasan terhadap mereka mendapat pengesahan. Ini adalah perpindahan agama paling massif yang terjadi dalam sejarah India modern. Oktober tahun lalu, acara serupa melibatkan sekitar 15.000 orang.

Mereka merasa lahir kembali sebagai manusia. Dan mereka memilih agama Buddha sebagai tempat berteduh. Justru karena Buddha adalah agama tanpa dorongan proselitisasi yang cenderung politis. Justru karena agama Buddha tidak terlalu peduli dengan aspek kelembagaan sebagai agama. Dan yang lebih penting, agama Budha dianggap memberi jawaban yang sangat mengena tentang kesetaraan dan keadilan antarmanusia.

Kasus ini menunjukkan, ketika agama tak lagi tampil dengan wajah damai dan memanusiakan manusia, ia akan cenderung ditinggalkan pemeluknya. Ketika ia cenderung kaku dan tak berkompromi dengan konteks, ia akan kehilangan fungsi profetisnya. Ketika yang dominan muncul dari agama adalah institusinya, maka yang bicara adalah politik identitas, relasi kekuasaan.

Yang menarik, masyarakat India menyikapi konversi ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Meski reaksi juga bermunculan dari kalangan pemimpin Hindu, namun tak terdengar kasus konflik dengan alasan konversi ini. Sebagai negara demokratis, India adalah contoh bagi kita. Memilih agama, atau memilih tidak beragama, adalah hak setiap warga negara.

Meski konstitusi Indonesia juga sudah menjamin hak ini, sejauh ini konversi masih menjadi masalah besar di negeri ini. Alih-alih menjadi bahan kritik ke dalam dan media introspeksi tiap-tiap agama, sering kali kita justru menyalahkan dan mempersekusi seseorang yang pindah dari agama kita.
memuliakan agama sendiri dengan merendahkan agama yg lain, justru mencoreng agamanya sendiri

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Melawan Agama dengan Agama
« Reply #1 on: 28 February 2008, 08:17:08 AM »
'Agama' sendiri tidak terlepas dari peran 'mayoritas-minoritas'.
Penindasan agama lebih kepada penindasan mayoritas terhadap minoritas. Penindasan agama tidak ada bedanya dengan penindasan ras, suku, dsbnya.

Mayoritas menindas minoritas.

Demikian juga di India, yg mayoritas beragama Hindu, agama Buddha akan mendapat tempat yg 'tidak nyaman'. Juga muslim di Amerika, Inggris, Perancis, dll. Falungong di China juga ditindas. Di Indonesia, yg majority agama Islam, agama2 minoritas lainnya agak 'susah' untuk berkembang.

Berita yg sy baca pagi ini di koran lokal Sumatera Barat:
Di Bukittinggi agama kr****n Bethel tidak diperkenankan melangsungkan kegiatan gereja di Hotel2 (ada SK yg khusus dikeluarkan untuk ini dari Pemko Bukittinggi). Akibatnya Gereja Bethel harus mencari tempat di ruko2, inipun tidak diperkenankan dengan alasan tidak adanya izin dari ninik mamak setempat. Ninik mamak yg majority umat adat islam, jika diminta persetujuan, mana ada yg mau mengizinkan. Akhirnya Gereja Bethel disarankan untuk memakai Gereja HKBP. Gereja Bethel kontan menolak, karena memang mereka berlainan aliran.

Ini salah satu contoh sempitnya toleransi beragama di Indonesia... yg akhir2 ini -menurutku- malah semakin parah.

Yah... untunglah kita umat Buddha, tidak memerlukan segala macam sarana peribadatan, juga ritual tidaklah hal yg utama, sehingga kita tidak terlalu terganggu dengan gangguan2 seperti diatas. Yang penting bagi umat Buddha adalah Kembangkan kebaikan, kurangi kejahatan dan sucikan pikiran.

Dengan pedoman ini, kita akan bisa hidup dalam situasi apapun.

::

Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)