http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/22/opi01.htmlCap Go Meh, Merayakan Perbedaan
Oleh
Tom Saptaatmaja
Pesta Cap Go Meh sebagai puncak Tahun Baru Imlek telah tiba. Seperti diketahui,
Imlek adalah tahun baru paling unik dibanding sistem kalender yang lain, karena
dirayakan selama 15 hari, bukan cuma satu hari atau sekadar satu malam seperti
tahun baru Masehi.
Pada Kamis 7 Februari 2008 lalu adalah 1 Cia Gwee atau hari pertama Imlek dan
penutupannya jatuh pada hari ke-15 bertepatan dengan 23 Februari 2008 yang biasa
disebut Cap Go Meh. Istilah ini berasal dari dialek Hokkian dan secara harafiah
berarti hari kelima belas dari bulan pertama.
Lepas dari segala aspek ritualnya, Cap Go Meh telah menjadi pesta multibudaya
atau multi-etnis karena tidak hanya menonjolkan peran etnis Tiong-hoa saja. Di
Jakarta tempo doeloe, Cap Go Meh selalu menjadi ajang pawai budaya seluruh
kelompok masyarakat baik Tionghoa, Betawi, Arab dll. Bahkan kali ini, Gubernur
Fauzi Wibowo dikabarkan siap membuka pesta Cap Go Meh di Jakarta.
Malah Cap Go Meh di Singkawang dimanfaatkan untuk mendukung program Visit
Indonesia Year 200, sedang di kawasan lain di tanah air, Cap Go Meh menjadi
pesta keragaman budaya yang menarik. Bayangkan, pelaku ritual tatung berasal
dari penganut Khonghucu, penari barongsai dari kelompok pesilat Tionghoa,
penabuh tambur dari suku Madura, etnik Melayu mengambil peran sebagai pengangkat
tandu (Toa Khio). Malam harinya giliran pertunjukan wayang potehi (wayang boneka
katun dari Fujian, RRC) yang mengangkat cerita klasik dari Tiongkok dengan
dalang dari suku Jawa.
Memang sejak pencabutan Inpres No 14/1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 2000 lalu, ada pemandangan yang membanggakan setiap kali pesta Cap Go Meh.
Semua lapisan masyarakat, khususnya yang bukan Tionghoa, ikut beramai-ramai
dalam kemeriahan atraksi budaya barongsai, liang-liong. Partisipasi warga
non-Tionghoa itu mengingatkan Cap Go Meh sebelum tahun 1965. Partisipasi itu
jelas layak diapresiasi.
Merayakan Perbedaan
Jadi jika dikaji, pesta Cap Go Meh kini berada dalam proses pergeseran dari
pesta milik masyarakat Tionghoa menjadi pesta milik bangsa Indonesia secara
keseluruhan, tentunya dengan dipelopori oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Proses pergeseran atau lebih tepatnya integrasi itu, paling tampak dalam sajian
lontong Cap Go Meh yang bisa kita temui di restoran, rumah makan atau warung.
Makanan ini disajikan pada hari ke-15 yang merupakan penutupan rangkaian acara
perayaan Imlek. Dengan demikian lontong ini menjadi simbol atau representasi
pertautan lintas entis. Pasalnya lontong bukanlah makanan asli China, tapi jenis
makanan asli negeri ini.
Apalagi kalau kita tanya siapa yang suka lontong Cap Go Meh, rasanya juga bukan
monopoli satu etnis saja. Dengan demikian, lontong menjadi simbol etnis Tionghoa
tidak alergi pada apa yang baik yang berasal dari luar etnisnya. Lontong itu
juga menjadi ungkapan bahwa jika kita bisa meramu perbedaan, yang satu ini bisa
menjadi berkah dan memberi nilai tambah bagi kebudayaan nasional kita.
Karena itu, pesta Cap Go Meh menjadi momentum tepat untuk menggelorakan semangat
toleransi dan penghargaan pada perbedaan. Pada masa lalu kita sudah seringkali
melihat perbedaan etnis atau agama dijadikan sarana oleh penjajah untuk
memecahbelah (Politik devide et impera).
Pada 10 tahun reformasi inipun masih ada sebagian anak bangsa yang masih alergi
pada perbedaan. Yang lain dianggap sebagai kendala yang halal untuk
dienyahkan.Tidak heran, jika kemudian bahasa prasangka dipakai bahkan untuk
melegitimasi kebencian dan segala kebenaran hanya diukur dari kacamata sendiri.
Bukan hanya itu saja, konflik sosialpun kerap terjadi. Energi kita seringkali
habis untuk hal-hal yang kontraproduktif seperti kerusuhan rasial atau
pembakaran toko atau tempat ibadah.
Melawan Diskriminasi
Yang menggembirakan, pemerintah, setidaknya pemerintah pusat, kini punya
kehendak baik untuk tidak lagi menerapkan politik segregasi seperti di masa
lalu. Sekat-sekat antara pribumi dan nonpri sudah dihapus lewat UU No 12/2006
tentang Kewarganegaraan.
Kecemasan akan praksis birokrasi yang diskriminatif dan rasis perlahan-lahan
mulai dibenahi. Terbukti misalnya,sebanyak 328 warga stateless (tak punya
kewarganegaraan) di Surabaya dan Malang menjelang Imlek tahun ini telah
berstatus WNI. Itu karena perjuangan mereka mencari status dikabulkan
pemerintah. Teman saya Biao Wan, aktivis antidiskriminasi asal Surabaya, sangat
berperan dalam hal ini.
Di Jakarta, sekitar 1.000 lebih warga China Benteng yang selama ini tanpa KTP
kabarnya juga sudah diberi status WNI.
Jelas perkembangan seperti itu layak diapresiasi, meskipun masih ada aparat
pemerintahan di tingkat bawah yang masih mempertanyakan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam pembuatan KTP.
Terkait masih adanya praktik diskriminasi, Presiden Yudhoyono pun menaruh
perhatian besar. Dalam dua kali perayaan imlek berturut-turut, pesan Presiden
Yudhoyono juga tetap sama.
Pada perayaan Imlek 2558 (2007), Yudhoyono mengirimkan pesan penting: ”Sudah
bukan saatnya lagi ada diskriminasi. Sudah bukan saatnya saling mencurigai,
membeda-bedakan orang berdasarkan asal etnis dan keyakinan yang dianut.” (SH,
25/02/2007). Pesan yang sama kini diulang kembali oleh Yudhoyono pada perayaan
imlek 2559 (2008). Di hadapan para undangan, Yudhoyono juga menyatakan: “Jangan
ada lagi diskriminasi” (SH,18/02/2008).
Karakter bangsa dan negeri ini adalah pluralitas dan perbedaan, karena negeri
ini dihuni beragam etnis, beragam agama dan latar belakang lain yang berbeda.
Cap Go Meh sudah mengajarkan bahwa perbedaan bisa dirayakan, bukan malah
dijadikan kendala dalam menjalin kebersamaan.
Keunikan dan potensi setiap elemen masyarakat di negri jika dikelola dengan
bijak dan cerdas sungguh akan bisa mengangkat martabat bangsa ini. Namun jika
perbedaan yang ada terus dijadikan sarana untuk berkonflik, menumbuhkan
prasangka dan iri hati, maka kita tidak akan bisa meraih apapun.
Penulis adalah teolog dan aktivis Kemanusiaan. Tinggal di Surabaya
SUARA PEMBARUAN DAILY
------------------------------------------------------------ --------------------
"Cap Go Meh Bersama Indonesia Bersatu"
Mengangkat Masa Kelam Tionghoa
Abimanyu
Operet kolosal selama satu jam tentang sejarah dan perjuangan etnis Tionghoa di
Indonesia digelar dalam puncak acara perayaan "Cap Go Meh Bersama Indonesia
Bersatu" di Hall D, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Kamis (21/2) malam.
[JAKARTA] Operet kolosal selama satu jam tentang sejarah dan perjuangan etnis
Tionghoa di Indonesia digelar dalam puncak acara perayaan "Cap Go Meh Bersama
Indonesia Bersatu" di Hall D, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Kamis (21/2) malam.
Acara yang dihadiri Presiden dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono itu
menyertakan sejumlah artis seperti Titiek Puspa, Alena, Nugie, Four Season, dan
Fiona.
Operet yang disutradarai Kardi Syarief dengan koreografer Sentot S tersebut,
melibatkan 80 orang yang rata-rata berasal dari Bintang Terpadu Indonesia.
Operet diawali kedatangan Laksamana Cheng-Ho yang membawa pesan damai dari
Kerajaan Dinasti Ming ke Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Dari sini, adegan
pun beralih mengenai kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada saat bangsa ini
berada dalam penjajahan Belanda selama 3,5 abad, penjajahan Jepang, hingga
Presiden Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945.
Operet juga menampilkan kondisi saat etnis Tionghoa teraniaya karena dituduh
sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Adegan terakhir dari operet
adalah ketika masyarakat etnis Tionghoa mengalami penghinaan dan penganiayaan
saat tragedi Mei 1998.
Operet tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya etnis Tionghoa sudah mengakui
kalau dirinya adalah orang Indonesia, yang mencintai negeri ini dengan turut
berjuang membela martabat bangsa Indonesia dari penjajah. Saat operet
berlangsung, Presiden tampak tersenyum ketika artis senior Titiek Puspa
mendamaikan dua kelompok anak kecil yang berseteru karena saling ejek mengenai
jati diri mereka.
"Apakah kamu-kamu anak Indonesia asli?," tanya Titiek Puspa pada kelompok anak
yang mengaku dirinya sebagai manusia Indonesia asli yang sebelumnya mengejek
sekelompok anak etnis Tionghoa. Ternyata setelah ditanya satu persatu, anak-anak
itu adalah keturunan etnis Arab, India, Eropa, bahkan Tionghoa.
Lalu, seorang anak kecil menghampiri Titiek Puspa sambil bertanya, "Kalau
begitu, Eyang Titiek, siapa dong orang Indonesia asli?" kata sang anak. Titiek
spontan menjawab, "Orang Indonesia asli adalah SBY".
Bersatu
Sebelum operet, Presiden mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu.
Sebab, hanya dengan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akan maju.
Menurut Presiden, pranata diskriminasi sudah ditiadakan dengan lahirnya Undang-
undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 dan UU nomor 23 tahun 2006. Bangsa Indonesia
adalah majemuk dan beragam, terdiri dari berbagai suku, agama, etnis, dan
daerah. Namun bangsa Indonesia memiliki tradisi yang baik. Tradisi untuk
merayakan beberapa Tahun Baru, seperti Tahun Baru Masehi, Hijriah, Saka, dan
Imlek.
"Yang kuat harus membantu yang lemah, yang kaya harus membantu yang miskin, yang
maju harus bantu yang belum maju. Kalau kita tidak terpecah belah, kalau kita
saling menyalahkan, dan bermusuhan, maka bangsa kita bukan hanya kuat tetapi
maju dan sejahtera," ujar Presiden.
Di acara itu, Presiden juga menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta
Kelahiran secara simbolis kepada perwakilan etnis Tionghoa dari tujuh provinsi
di Indonesia.
Ketua Forum Bersama Etnis Tionghoa Indonesia, Murdaya Po menyampaikan ucapan
terima kasih karena bangsa Indonesia sudah melakukan perjuangan secara
revolusioner untuk mengakhiri diskriminasi terhadap penduduk etnis Tionghoa di
Indonesia. [F-4]