//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha  (Read 13132 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sukuhong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 279
  • Reputasi: 8
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #15 on: 30 April 2010, 06:39:40 AM »
cuplikan bang Upasaka
Quote
Kronologisnya memang kurang lebih seperti itu... Agama Buddha yang pertama kali berkembang di Nusantara pada awalnya adalah Aliran Mulasavartivada (Hinayana). Menurut para ahli sejarah, mereka menemukan jejak sejarah bahwa ada seorang pangeran dari Negeri Khasmir yang menjadi bhikkhu dan tinggal di Srilanka. Dari Srilanka dia pergi ke Cho-p'o dan dengan pertolongan ibunya (seorang ratu yang memerintah di Jawa), ia pun menyebarkan Agama Buddha. Bukti-bukti arkeologis tentang pernah berkembangnya Agama Buddha Hinayana di Tanah Jawa diperoleh dari Situs Batujaya. Salah satu petunjuk sisa upacara dari Agama Buddha Hinayana adalah ditemukannya tsa-tsa dari tanah liat bakar. Tsa-tsa pada masa kini masih eksis di Myanmar, Laos dan Thailand; dimana sebagian besar masyaraktnya menganut kepercayaan Agama Buddha Theravada
bang Upasaka kejadian diatas pada tahun berapa ya ?
kam sia

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #16 on: 30 April 2010, 06:44:14 AM »
Agama Buddha yang pertama kali berkembang di Nusantara pada awalnya adalah Aliran Mulasavartivada (Hinayana). Menurut para ahli sejarah, mereka menemukan jejak sejarah bahwa ada seorang pangeran dari Negeri Khasmir yang menjadi bhikkhu dan tinggal di Srilanka. Dari Srilanka dia pergi ke Cho-p'o dan dengan pertolongan ibunya (seorang ratu yang memerintah di Jawa), ia pun menyebarkan Agama Buddha. Bukti-bukti arkeologis tentang pernah berkembangnya Agama Buddha Hinayana di Tanah Jawa diperoleh dari Situs Batujaya. Salah satu petunjuk sisa upacara dari Agama Buddha Hinayana adalah ditemukannya tsa-tsa dari tanah liat bakar. Tsa-tsa pada masa kini masih eksis di Myanmar, Laos dan Thailand; dimana sebagian besar masyaraktnya menganut kepercayaan Agama Buddha Theravada.


Saya pernah mendapatkan sumber demikian. Dikatakan bahwa menurut buku Kao-Seng-Chuan, sebelum  tahun 424 setelah Masehi, ada seorang pangeran dari Kashmir menjadi seorang bhikkhu dan dikenal sebagai Bhikkhu Gunavarman. Ia ditahbis di bawah sekte Sarvastivāda, kemudian pergi ke Sri Lanka dan mencapai kesucian Sakadagami. Karena keterkenalannya itu, menurut buku yang sama, berbagai macam persembahan diberikan kepadanya. Namun beliau sendiri melihat persembahan2 tersebut seperti layaknya api atau racun. Beliau kemudian memutuskan untuk pergi ke Campa (Vietnam) dan Jawa untuk menghindari persembahan2 tersebut. Selama tinggal di Jawa, ia bertemu dengan raja Vadhaka, penguasa tanah Jawa. Beliau kemudian berhasil meyakinkan raja dan ibunda raja tersebut untuk menganut ajaran Buddha dan mempraktikkan lima sīla. Raja tersebut dikatakan sangat berbakti dengan ajaran Buddha hingga ia sendiri berniat untuk menjadi seorang bhikkhu. Namun rakyat memohon sang raja untuk tidak menjadi bhikkhu. Sang raja kemudian menuruti kemauan rakyatnya dengan beberapa kondisi yakni:
- Mulai saat itu, rakyat harus menghormati Bhikkhu Gunavarman,
- Mereka harus menghentikan pembunuhan,
- kekayaan kerajaan harus diberikan kepada mereka yang miskin dan sakit.

Sebagai seorang raja yang berbakti ke ajaran Buddha, raja Vadhaka juga membangun vihara untuk bhikkhu Gunavarman dan dikatakn bahwa ia sendiri juga turut membawa dengan tangannya sendiri material2 vihara. Ketenaran Bhikkhu Gunavarman ternyata sampai terdengar di tanah Tiongkok sehingga bhiksu2 dari China yang dikepalai oleh Hui-Kan meminta raja Wu-ti ((424-452 Setelah Masehi) untuk mengundangnya ke China. Akhirnya, Sang raja meminta bhiksu Fa-chang dan beberapa bhiksu lainnya untuk mengundang Bhikkhu Gunavarman, namun setelah ia sampai di Jawa, bhikkhu Gunavarman telah pergi ke China terlebih dahulu.

Be happy.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #17 on: 30 April 2010, 08:02:28 AM »
cuplikan bang Upasaka
Quote
Kronologisnya memang kurang lebih seperti itu... Agama Buddha yang pertama kali berkembang di Nusantara pada awalnya adalah Aliran Mulasavartivada (Hinayana). Menurut para ahli sejarah, mereka menemukan jejak sejarah bahwa ada seorang pangeran dari Negeri Khasmir yang menjadi bhikkhu dan tinggal di Srilanka. Dari Srilanka dia pergi ke Cho-p'o dan dengan pertolongan ibunya (seorang ratu yang memerintah di Jawa), ia pun menyebarkan Agama Buddha. Bukti-bukti arkeologis tentang pernah berkembangnya Agama Buddha Hinayana di Tanah Jawa diperoleh dari Situs Batujaya. Salah satu petunjuk sisa upacara dari Agama Buddha Hinayana adalah ditemukannya tsa-tsa dari tanah liat bakar. Tsa-tsa pada masa kini masih eksis di Myanmar, Laos dan Thailand; dimana sebagian besar masyaraktnya menganut kepercayaan Agama Buddha Theravada
bang Upasaka kejadian diatas pada tahun berapa ya ?
kam sia

Referensi saya tidak menyatakan pasti tahun berapa Agama Buddha Mulasavartivada masuk ke Nusantara. Namun pada sekitar tahun 664/665 Masehi, ada seorang bhiksu dari Tiongkok bernama Hui-Ning yang datang ke Jawa. Ia bekerjasama dengan Jnanabhadra untuk menerjemahkan kitab Agama Buddha yang berisi tentang Nirvana. Dikatakan bahwa isi kitab yang diterjemahkan ini tidak sama dengan isi yang terkandung dalam Mahaparinirvana Sutra dari Aliran Mahayana. Bagian yang diterjemahkan ini adalah bagian akhir yang memuat cerita tentang pembakaran jenazah Sang Buddha. Bhiksu Hui-Ning tinggal di Jawa selama 3 tahun untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Yang dengan kata lain, Agama Buddha Mulasavartivada sudah masuk ke Nusantara sebelum tahun 664/665 Masehi. Para ahli pun hanya bisa memperkirakan bahwa Agama Buddha pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-6 atau ke-7.

Offline bangun _pw

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: 49
  • Gender: Male
  • ehm..
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #18 on: 30 April 2010, 10:14:10 AM »
INTERESTING.....
"semoga semua makhluk hidup berbahagia"

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #19 on: 30 April 2010, 11:15:21 AM »
Thanks teman-teman semua atas informasinya........... Btw, mana link untuk Serat Dharmo Gandul dan Babad Tanah Jawanya ya????????????? :(  Saya adalah Pemales dan gagap teknologi nih............

Babad Tanah Jawa itu apa ya???????? :o





Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #20 on: 30 April 2010, 08:25:03 PM »
Teman-teman mohon koreksinya ya jika saya salah mengerti cerita Serat Dharmagandul dan Babad Tanah Jawa ya??????
 Saya dapat cerita SERAT DHARMAGANDUL dari   http://pupuklangka.byethost22.com/2009/08/serat-dharma-gandhul/. Ini link dari teman baik saya. Setelah membaca saya mendapatkan data bahwa:
1.   Serat Dharma Gandul menceritakan tentang penyebaran agama Islam dan bagaimana proses peralihan agama Buddha menjadi agama Islam di Jawa (pusat cerita di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yaitu pada masa kerajaan Majapahit pada pemerintahan Raden Brawijaya V. Hal ini terlihat dalam kalimat berikut:
“Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene “Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha salin agama Islam?”
Wangsulane Ki Kalamwadi: “Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin agama Rasul”.

2.   Agama Islam disebarkan oleh para Sunan. Jelas mereka tidak suka dengan kepercayaan local yang ada dan juga agama Buddha. Hal ini ditunjukkan pada saat Sunan Bonang berkomentar tentang adanya patung-patung dari batu sebagai berikut:
“Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar.”

3.   Penyebaran agam Islam dengan menggunakan jalur politik juga bahkan perang pun menjadi hal yang bisa saja dilakukan atas nama penyebaran agama. Sebagai contohnya, seorang Sunan bilang kepada anak Prabu Brawijaya yang bernama Babah Patah/Raden Patah yang tinggal di Demak untuk melawan bapaknya karena bapaknya beragama Buddha. Kutipannya seperti  ini:
“Sanadyan mungsuh bapa lan ratu, ora ana alane, amarga iku wong kapir, ngrusak kapir Buddha kawak:

4.   Setelah perang melawan Majapahit, kehancuran terhadap literature Buddhis juga terjadi. Selain itu, banyak orang yang juga memeluk agama Islam karena dengan memeluk agama Islam mendapat berbagai kemudahan, seperti bebas pajak. Kutipannya seperti ini:

“Sawise buku-buku pathokan agama Buddha diobongi, amarga mundhak ngrêribêdi agama Rasul, sanadyan buku kang padha disimpêni dening para wadya, iya dipundhut banjur diobongi, nalika sabêdhahe Majapahit, sapa kang durung gêlêm nganggo agama Islam banjur dijarah rajah, mula wong-wong ing kono padha wêdi marang wisesaning Ratu. Dene wong-wong kang wis padha gêlêm salin agama Rasul, banjur padha diganjar pangkat utawa bumi sarta ora padha nyangga pajêg, mulane wong-wong ing Majapahit banjur padha ngrasuk agama Islam, amarga padha melik ganjaran”

5 Agama Buddha dalam Serat Dharma  gandul dipahami sebagai agama yang menyembah dewa. Coba lihat di bawah ini:
“Saka panimbange Darmagandhul, kabeh iku iya bênêr, sênêngan salah siji êndi kang disênêngi, diantêpi salah siji aja nganti luput. Yen kang dipangan woh wit kayu Budi, agamane Buddha budi, panyêbute marang Dewa; manawa mangan woh wit kawruh, pênyêbute marang Kangjêng Nabi ‘Isa, agamane srani, yen sênêng mangan woh wit kayu Kuldi, agamane Islam, sambate marang nabi panutan; iya iku Gusti Kangjêng Nabi Rasul; dene yen dhêmên Godhong Kawruh Godhong Budi, panêmbahe marang Pikkong, sarta manut sarake Sisingbing lan Sicim; salah sijine aja nganti luput”.

Dalam kitab BABAD TANAH JAWA di http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=article&id=730:06-karajan-melayu&catid=90:isi-babad-tanah-jawi&Itemid=712,  ada beberapa informasi bahwa:
1.   Kerajaan Mataram Hindu/Buddha
(disebutkan disini bahwa ajaran Indhu (Hindu) berbeda dengan ajaran Buddha. Dan di tulisan ini juga telah diketahui bahwa ada Buddha Sakyamuni atau Buddha Gotama di India pada sekitar tahun 500 BC). Lalu bagaimana pertikaian antara penganut agama Buddha dan Hindu di India juga dilaporkan. Namun di Jawa dua agama ini dapat hidup rukun ditandai dengan adanya pembangaunan candi-candi yang bercorak Hindu-Buddha yang dibangun pada masa Mataram Hindu/Buddha. Kutipannya sebagai berikut:

“Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan Mataram.
Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau rusak déning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh padha ngungsi mangétan.
Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib iriban karo karajan Mataram kuna.

Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang déwa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga.
Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan, yaiku:
- para Brahmana           (bangsa pandhita)
- para Satriya                (bangsa luhur)
- para Wesya                 (bangsa kriya)
- para Syudra                (bangsa wong cilik)
Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur, jenengé Wedha.

Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun kr****n, ing tanah Indhu ana sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha.
Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau.
Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong.
Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan.
Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana pasulayan gedhé.
Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama Indhu.
Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu Buri, Thibet, Cina, Jepang.
Mungguh wong agama Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olèhe memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa Kulon).
Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé.
Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata:
- Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané
ratu darah Sanjaya.
- Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki
candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra.
- Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan
Mendut.
- Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana
candhi campuran Budha lan Syiwah.”

2.   Permulaan agama Islam
(Setelah berakhirnya Mataram Hindu/Buddha di Jawa Tengah berkembanglah kerajaan Hindu/Buddha di Jawa Timur. Majapahit adalah kerajaan yang paling besar.
Di sini ada laporan mengenai kapan masuknya agama Islam ke Jawa. Lalu informasi bahwa Raden Patah menyerang Ayahnya di Majapahit, Raja Brawijaya V, seperti yang diceritakan di Serat Dharma Gandul). Saya kutip sedikit seperti di bawah ini:

Wiwitané ing Tanah Jawa ana agama Islam ing antarané tahun 1400 - 1425.
Bareng kuwasané karaton Majapait saya suwé saya suda, para bupati ing pasisir rumangsa gedhé panguwasané, wani nglakoni sakarep karep.
Para bupati mau lumrahè wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16 (tahun 1500 - 1525),
Jalaran saka iku kerep baé perang karo para raja agama Indhu kang manggon ing tengahing Tanah Jawa.
Miturut carita: Sang Prabu Kertawijaya ing Majapait iku wis tau krama karo putri saka ing Cempa (tanah Indhiya Buri).
Putri mau kapernah ibu alit karo Radèn Rahmat utawa Sunan Ngampel (sacedhaké Surabaya).
Sunan Ngampel kagungan putra kakung siji, asma Sunan Bonang, lan putra putri siji, asma Nyai Gedhé Malaka.
Nyai Gedhé Malaka iku marasepuhé Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun, yaiku kang sinebut: Sultan Demak kang kapisan.
Sunan Ngampel lan Sunan Bonang iku dadi panunggalané para wali.
Para wali mau kang misuwur: Sunan Giri (sakidul Gresik), ana ing kono yasa kedhaton lan mesjid; Ki Pandan Arang (ing Semarang) lan Sunan Kali Jaga (ing Demak).
Ing tahun 1458 ing Demak wis ana mesjid becik.



3.   Permulaan Penjajahan oleh Belanda
(memang sih, bangsa Indonesia tidak hanya dijajah oleh bangsa Belanda. Di Babad Tanah Jawa dalam situs ini juga diceritakan banyak penjajahan oleh negara lain seperti portugis dan spanyol. Termasuk juga bagaimana praktik monopoli dagang oleh VOC dan praktik cultuurstelsel ada di sini juga. Disini saya hanya mengutip satu, yaitu bukti kedatangan Belanda.
Kedatangan Cornelis de Houtman
“Ing tanggal 2 April tahun 1595 padha mancal saka dharatan, lakuné ana ing dalan ngrekasa banget, nanging tanggal 23 Juni 1596 kelakon tumeka ing Banten”.
   Kedatangan Yacob Van Neck
“Nalika tahun 1598 ana prau Walanda manèh teka ing Banten, kang manggedhéni Yacob van Neck”.
Terus informasi-informasi lain yang ada di Babad Tanah Jawa adalah bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa pada umumnya bercorak Islam pada masa penjajahan. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Mataram Islam juga ada di sini. Bagaimana kehidupan ajaran Buddha di Jawa pada saat ini ya?

KEMBALI KE PERTANYAAN SAYA DALAM TOPIK INI. SAYA MEMBUAT HIPOTHESIS BAHWA AGAMA BUDDHA MENGALAMI MATI SURI SETELAH MASA KERAJAAN-KERAJAAN YANG BERCORAK BUDDHA BERAKHIR DAN BERLANGSUNG MASA PENJAJAHAN. MATI YA TIDAK DAN HIDUP YA TIDAK. KALAUPUN HIDUP YA BERCAMPUR  DENGAN BERBAGAI LOCAL INDIGENOUS ATAU KEPERCAYAAN2 LOKAL YANG ADA  . BENARKAH?????????? ATAU ADA TAWARAN HIPOTHESIS YANG LEBIH BAIK.

SAYA  TUNGGU................... ^:)^

Offline mettiko

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 24
  • Reputasi: 4
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Agama Buddha setelah Mataram Hindu/Buddha
« Reply #21 on: 10 August 2010, 01:06:18 PM »


Mengungkap Budaya Buddhisme di Nusantara (2): Pasca Majapahit Oleh:
Bhikkhu Dhammasubho Thera

Peninggalan budaya pada Jaman Majapahit di Nusantara sekarang ini
dapat dilihat situsnya di Mojokerto. Di sana ada Situs Majapahit
tetapi karena bahan bakunya dari batu bata, maka tidak bisa bertahan
lama, kini tampak telah aus dimakan waktu/keropos, runtuh. Berbeda
dengan peninggalan Candi-candi Majapahit yang lain di mana bahannya
terbuat dari batu andesit, hingga kini masih utuh. Yang menarik
untuk diperhatikan dan dipelajari adalah bagaimana Agama Buddha yang
demikian besar di Jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran
hingga lenyap tidak dikenal sama sekali, yang tersisa tinggal berupa
kepingan-kepingan sejarah.

Hal yang patut dicatat bahwa suatu agama akan berkembang menjadi
besar bila didukung oleh beberapa syarat, sekurang-kurangnya ada
lima, yaitu:

Kalau menjadi agama negara; sehingga kegiatan keagamaan maju pesat
karena sepenuhnya didukung oleh raja. Candi Borobudur, Candi
Prambanan, dan lain-lain, dibangun karena sepenuhnya didukung oleh
raja.

Ditangani oleh kaum profesional agama (ulama); artinya sebagai ahli
pelaku agama (ulama), waktu sepenuhnya tercurah, berpikir, berucap,
dan bertindak untuk kemajuan agamanya.

Tingkat kemakmuran masyarakat mendukung;

Tingkat kerelaan umat; jika dari kemakmuran dan kerelaan cukup,
pengadaan sarana dan prasarana demi kegiatan pengembangan keagamaan
semua dengan mudah terwujud.

Tingkat keimanan umat cukup mantap; artinya tidak mudah terpengaruh
atau pindah agama
Agama Buddha pada Jaman Majapahit menjadi besar karena lima hal
tersebut di atas terpenuhi. Raja, pejabat tinggi negara, dan
rakyatnya menganut cara berpikir Buddhis, beragama Buddha. Akan
tetapi ketika yang terjadi sebaliknya, petinggi-petinggi negara
beralih agama, para profesional (ulama) agama menyimpang dari
haluannya, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, keimanan
goyah, maka lambat laun agama akan ditinggalkan. Begitu pula Agama
Buddha pada jaman pasca Majapahit menjadi merosot tajam, lenyap
hilang. Agama Buddha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan
aman, karena sah dan dilindungi undang-undang, akan tetapi karena
belum ditangani oleh kaum profesional (ulama) sepenuhnya, maka masih
tersendat-sendat, sering ngadat. Selama ini lembaga-lembaga,
organisasi agama masih ditangani oleh pemimpin-pemimpin yang belum
sepenuhnya profesional agama, sehingga perhatian dan pencurahan
energi, serta pemikirannya masih harus dibagi dua dengan tanggung
jawab kebutuhan keluarga atau profesi lain yang menjadi kendala.

Hal lain yang menjadi sebab Agama Buddha menurun adalah Raja ke-5
pada Jaman Majapahit yaitu Raja Brawijaya V mempunyai anak laki-laki
hasil pernikahannya dengan Putri Campa (China), di mana sejak kecil
anak tersebut yang diberi nama Raden Babah Patah dididik oleh Raja
Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah beragama lain. Jadi
Raden Patah diajar agama lain bukan Agama Buddha yang telah dianut
di negeri itu, sampai Raden Patah menjadi besar dan kembali ke
negeri Tanah Jawa di Kerajaan Majapahit. Oleh Brawijaya diterima dan
diberikan wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru.
Tempat tersebut oleh Raden Patah dibangun bersama dengan guru-guru
spiritualnya yakni para wali, jadilah Kerajaan Demak Bintoro, di
Jawa Tengah. Akhirnya demi kepentingan tertentu guru-guru
spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro, untuk
segera mereformasi Majapahit berganti agama baru. Meskipun berkali-
kali Raden Patah menunda-nunda permintaan gurunya, akan tetapi
karena didesak dan didesak terus, akhirnya Raden Patah menurut juga.
Oleh karena Brawijaya tidak mendidik Raden Patah untuk mempelajari
Agama Buddha, akibatnya Raden Patah tidak menganut Agama Buddha,
malah bermaksud mengganti agama yang dianut Brawijaya, orangtuanya.
Sampai suatu ketika Majapahit didatangi PANSUS tentara dari Demak,
untuk tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua
tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang berhadapan dengan
anak, sedangkan sebagai orangtua rela kurang makan minum, kurang
tidur, asal anak bahagia orangtua sudah cukup puas. Maka meskipun
negeri kerajaan dalam keadaan didesak bahaya, daripada perang dengan
anak, Prabu Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan; lewat
pintu belakang beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit menuju
Blambangan. Jadi Kerajaan Majapahit ketika itu bukan diambil alih
dengan peperangan atau perundingan, tetapi tepatnya ditinggal pergi
oleh rajanya. Raja Demak berhasil mengambil alih istana Kerajaan
Majapahit, tetapi misinya dianggap belum sukses karena Prabu
Brawijaya belum pindah agama baru. Akhirnya diputuskan untuk
mengirim Raden Sahid Sunan Kalijaga menyusul Prabu Brawijaya ke
Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa. Tujuannya membujuk dan
merayu, serta memohon agar Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit dan
berganti agama. Pembicaraan ini berlangsung berhari-hari sampai
akhirnya Prabu Brawijaya menyanggupi untuk kembali ke Majapahit.
Tetapi beliau mengatakan bahwa: "Saya mau kembali ke Majapahit bukan
untuk kekuasaan sebagai Raja Majapahit, tetapi demi anak." Sudah
jelas dikudeta, tetapi Prabu Brawijaya tetap tidak pupus rasa sayang
pada anaknya. Walaupun demikian misi para wali guru spiritual Raden
Patah belum tercapai, maka berhari-hari terus diadakan dialog.
Karena alotnya sampai suatu ketika dialog diambil alih oleh kedua
penasehat spiritual Prabu Brawijaya yaitu Sabdopalon dan
Noyoginggong (nama yang sudah diistilahkan, yang dimaksud adalah
bhikkhu). Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga
berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.

Di mana untuk membuktikan misi baru ini hebat, Raden Said mengambil
air untuk mencuci muka, begitu tersentuh tangan, air tersebut
berubah menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib ini,
maka di tempat itu diberi nama Banyuwangi. Akhirnya disepakati
rombongan meninggalkan Blambangan menuju Majapahit. Dalam perjalanan
ke Majapahit rombongan berhenti di suatu tempat peristirahatan
(villa). Di tempat itu diteruskan lagi diskusi yang belum usai.
Sabdopalon dan Noyoginggong menerima keajaiban air wangi tidak
tinggal diam, tetapi ingin menguji air wangi tersebut sampai kapan
bertahan. Air wangi yang dibawa dalam bumbung (tabung) dari
Blambangan, oleh Sabdopalon dan Noyoginggong dibuka tutupnya,
ternyata air yang semula berbau wangi itu sekarang berubah menjadi
berbau basin (busuk) dan banger. Prabu Brawijaya berkata: "Saya
sudah tua, semuanya demi anak. Permintaan saya, meskipun Majapahit
sudah berganti pemerintahan tetapi jangan sampai dinodai tetesan
darah. Saya sanggup berganti agama tetapi saya mempunyai permintaan,
kalau saya meninggal jangan ditulis di sini makam Brawijaya, cukup
diberi tanda 'di sini peristirahatan si putra bulan [trowulan]."
Begitu Prabu Brawijaya memberi disposisi, kedua penasehat
spiritualnya berkata: "Brawijaya, saya tidak akan mengikuti
perjalananmu lagi, saya akan tidur saja, dan saya tidak akan bangun
sebelum Agama Buddha kembali. Dan ingatlah keharuman air wangi nanti
akan bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman." Usai berkata demikian
Sabdopalon dan Noyoginggong "moksa" (menghilang). Mendengar kata-
kata itu Brawijaya menangis tetapi semuanya sudah terlambat. Untuk
memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau basin dan banger,
tempat itu diberi nama Jember. Dihitung-hitung perjalanan dari
Banyuwangi sampai Jember selama 4 hari dan 5 malam. Artinya
keharuman itu nanti bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman.

Inilah pentingnya dunia pendidikan, besar sekali pengaruh ucapan
seorang guru pada anak-anak. Diakui atau tidak, sebuah nasehat yang
sama isi kata-kata maupun artinya dari orangtua, masih lebih
didengar ucapan guru untuk anak-anak. Maka berhati-hatilah orangtua
mencarikan guru untuk anak-anak, karena ucapan guru lebih didengar
oleh anak-anak. Orangtua jika ingin hidupnya aman, agamanya tidak
terputus, maka seyogyanya anak-anak harus diajar agama yang sama
dengan orangtuanya. Kalau orangtua terlambat mendidik anak, suatu
ketika akan menjadi masalah dikemudian hari. Jadi jangan heran kalau
nanti anaknya tidak akan menyembayangi orangtuanya yang sudah
menjadi leluhur. Tetapi kadang orangtua terlalu merdeka, bebas, dan
bangga mempunyai keluarga yang berbeda-beda agamanya, padahal itu
akan menjadi masalah dikemudian hari. Sejak terjadi reformasi
pemerintahan di Majapahit, petinggi-petinggi Majapahit banyak yang
terpaksa atau dipaksa berubah haluan. Bagi yang tidak kuat imannya
dan goyah, demi hidup, demi jabatan, mereka pindah keyakinan agama.
Yang bimbang diberi pilihan hidup atau mati. Tetapi yang betul-betul
idealis Buddhis meskipun dengan berbagai cara ditekan, tidak
tergoyahkan. Orang-orang idealis Buddhis ini lebih baik menyingkir,
menjauh sampai ke daerah-daerah pedalaman hingga menjadi komunitas
masyarakat tersendiri. Mereka hidup apa adanya tidak banyak aturan,
tetapi aman tenteram tanpa gangguan, tidak ada gejolak, tetap
memegang teguh ajaran agama lama secara turun temurun. Ajaran
penting ini diberikan sangat tradisional/sederhana, tidak ada tulis
menulis, tetapi dihafal melalui lisan, contoh dalam perilaku dan
perbuatan, bagian-bagian yang amat penting cukup di dalam bathin.
Orang-orang idealis yang ditakut-takuti, ajarannya "diamputasi",
budayanya dilarang berfungsi, dan menyingkir ini, selanjutnya
dikenal sebagai Orang Badui di Jawa Barat, Orang Samin di Jawa
Tengah, Orang Tengger di Jawa Timur, Suku Kajang di Sulawesi
Selatan, Suku Kaly di Sulawesi Tengah, Orang Sangir di Sulawesi
Utara, Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan, Suku Karo di Sumatera,
dan lain-lain. Ajaran yang diajarkan turun-temurun melalui hafalan
lisan dan perbuatan itu tadi tetap utuh. Hanya karena tidak terbuka
secara umum dan kadang-kadang hanya di bathin-bathin saja, maka lama-
lama menjadi istilah "Kebathinan" yang di Jawa disebut "Kejawen",
sehingga ketika mengalami kebangkitan lagi 500 tahun kemudian, orang-
orang kebathinan itu umumnya sangat respon pada Agama Buddha. Ibarat
bola karet yang menggelinding di pasir, tidak lagi terlihat itu
sebagai bola karet tetapi yang tampak adalah bola pasir. Begitu juga
dengan Ajaran Buddha yang meskipun tetap dipraktikkan oleh
masyarakat, tetapi tidak dikenal lagi bahwa itu sesungguhnya Ajaran
Buddha. Ajaran ini dapat dilihat hanya dalam bentuk sastra budaya,
tradisi puja, perilaku tata krama, sopan santun, dan beberapa kosa
kata yang menjadi dialek masyarakat, atau kepingan-kepingan candi
yang kita baca lewat prasasti; tetapi bentuk agama yang kongkrit
sudah tidak dikenal lagi selama 500 tahun sejak Majapahit surut,
runtuh.

Meskipun Ajaran Buddha sudah hilang dari permukaan Bumi Nusantara
ini, tetapi tetap tidak lenyap. Ibarat sebatang pohon yang cabang
rantingnya sudah patah, daunnya sudah rontok, batangnya sudah rubuh,
tetapi akarnya belum tercabut. Jadi meskipun pohon tersebut tumbuh
tidak segar, rantingnya tidak panjang, batang tidak besar, daunnya
tidak subur karena tidak dipupuk dan iklim yang tidak menunjang,
tetapi pohon itu tetap hidup. Cuma tumbuhnya kecil seperti bonsai,
namun meskipun bonsai itu kecil, nilainya unggul harganya mahal.
Di Sulawesi Selatan dahulu ada 15 kerajaan yang masyarakatnya
beragama Buddha. Pada abad ke-15 kerajaannya berganti agama, maka
yang tersisa tinggal kosa kata. Seperti Bahasa Makasar, ada beberapa
yang persis sama dengan yang ada di Jawa. Di Kabupaten Bone ada
Kecamatan Palaka, di Kabupaten Sengkang ada Kecamatan Attangasila,
di Kabupaten Sopeng ada Kecamatan Aparitta. Di daerah Aparitta ada
satu hal yang mentradisi dari tahun ke tahun yaitu dilarang keras
orang-orang menggunakan warna kuning. Jika ditanya alasannya,
dikatakan kalau memakai warna kuning hidupnya akan sial. Ternyata
warna kuning adalah warna bagi bhikkhu, warnanya Agama Buddha.
Karena mendapat tekanan politik pada jaman itu, mereka tidak boleh
mengaku ini itu, apalagi membaca paritta (aparitta); tidak memakai
warna Buddhis supaya tidak ketahuan. Di Sulawesi Selatan pernah
diketemukan sebuah Patung Buddha posisi berdiri. Menurut ahli
antropologi patung tersebut duplikatnya ada di Jember dan Nepal.
Patung itu hadiah dari Mpu Tantular ketika melakukan perjalanan
mengunjungi daerah-daerah Wilayah Majapahit.

Disposisi Prabu Brawijaya pada waktu itu ditandai dengan Chandra
Sangkala (Tahun Caka) 'Sirno Hilang Kertaning Bumi' artinya Tahun
Caka 1400 (Tahun Masehi 1408). Itulah awal perjalanan Dhamma selama
500 tahun tidak dikenal wujud sesungguhnya. Baru di jaman Republik
ini 'api' Dhamma mulai berkelip lagi, dan yang mengelipkannya adalah
kaum Theosofi yaitu kelompok kebathinan terdiri dari kumpulan kaum
elit Belanda dan ningrat Jawa yang secara khusus mendiskusikan ilmu
agama-agama serta Ketuhanan dalam Agama Buddha. Sehingga pada tahun
1934 mengundang Bhikkhu Narada dari Sri Lanka berkunjung ke
Indonesia. Tanggal 4 Maret 1934, untuk pertama kalinya ada seorang
bhikkhu di Bumi Nusantara sejak surutnya Majapahit. Dari tahun ke
tahun Beliau selalu datang ke Indonesia mengadakan ceramah-ceramah
umum di berbagai tempat, sehingga akhirnya resmi menjadi kunjungan
negara, dan ditandai dengan penanaman Pohon Bodhi di lingkungan
Candi Borobudur. Setelah putera Indonesia menerima benih-benih
Ajaran Buddha, akhirnya beberapa dari mereka memutuskan untuk
menjadi bhikkhu.
Dihitung-hitung sejak 500 tahun lampau Pemerintahan Majapahit
runtuh, berganti jaman Kerajaan Demak, jaman penjajahan Hindia
Belanda, dan jaman pendudukan Jepang, di ketiga jaman itu Agama
Buddha tidak dikenal sama sekali, tidak sebagai agama negara.
Sekarang dihitung sejak kejatuhan Majapahit, tahun 1400 caka, 500
tahun kedepan berarti tahun 1900 caka, dan tahun 1478, ditambah 500
tahun kedepan berarti tahun 1978, sejak itulah sesuai perkataan
Sabdopalon dan Noyoginggong, Agama Buddha bangkit kembali sejak
kedatangan Bhikkhu Narada dari Sri Lanka tahun 1934. Dan duduk
sejajar dengan agama-agama lainnya di Indonesia sejak Direktorat
Urusan Agama Buddha berdiri tahun 1978.

Saat ini memang Agama Buddha sedang tumbuh kembali di Bumi
Nusantara. Maju atau mundur Agama Buddha ada di tangan kita. Oleh
karena kita sudah belajar dari sejarah mengapa agama yang begitu
besar bisa runtuh, maka dari itu hendaklah kita tidak mengulang
pengalaman tidak indah itu. Tiga hal penting tanda menjadi umat
beragama yang tidak mudah goyah yaitu beragama di tempat ibadah, di
rumah, dan di masyarakat. Tahu, mengerti, mengalami praktik sehari-
hari. Praktik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan.
"Hamemayu Hayuning Bawana"
"Rahayuning Bawana Kapurba Waskitaning Manungsa"
"Darmaning Manungsa Mahanani Rahayuning Negara"
"Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane"